Anda di halaman 1dari 4

Judul Cerpen  

: Kabut  Ibu
Nama Pengarang : Mashdar Zainal
Tanggal Penerbit : 8 Juli 2012
Jumlah Halaman : 1 halaman

Kabut Ibu

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke
teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun
menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut.
Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah
tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”

***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti
warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika
itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar
belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah
berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya
mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa
kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk
pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak
terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan
pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari
laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur
sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah
abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya
tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu,
sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar
riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah
menyuruhku untuk segera memejamkan mata.

Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu
sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak
tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan
pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna
merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan,
membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di
depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-
lunta mengangkat karung keranda.

”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta
untanya.

”Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

”Ya banjir.”

”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

”Hus!”

***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku
tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian


jemput ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah
dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama
sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di
depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong
tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang
sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun,
beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup
dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku
paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa
menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah.
Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan.
Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam
kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia.
Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari,
menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke
kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut,
melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak
mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba.
Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi
dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu
bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari
matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah
kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya.
Entahlah.

***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka
pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami
menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami.
Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak
lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan
membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil
nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan
pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak
pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir
dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan
hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya,
mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan
kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar
lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada
ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana.
Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan
dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor
kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju,
berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul
dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana
muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu
masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut
ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan
kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang
tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi
memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan,
rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi,
kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.

Anda mungkin juga menyukai