Anda di halaman 1dari 3

CERITA HORROR

Karya: Carmen Maria Machado (AS) Diterjemahkan oleh: Muhammad Iqbal


Mulanya, tidak ada apa-apa selain sebuah lubang kecil yang tersumbat secara misterius;
membentuk celah di jendela. Kami baru saja pindah, namun lubang itu sudah ada dengan kondisi
kaca yang baik-baik saja awalnya lalu retak di keesokan paginya. Istriku mengetukkan kuku nya
pada lapisan kaca itu, lalu terdengar seperti suara ketukan pintu meminta untuk masuk.
Kemudian, bumbu-bumbu dapur pun hilang. Garam, daun Marjoram dan Rosemari, bahkan
simpanan daging kami pun juga hilang, hingga bubuk kunyit seharga empat puluh dolar musnah
pula. Aku pun menanyakan istriku apakah dia merapikan dapur sebelumnya. Namun ia berkata
tidak. Keesokannya, aku menemui helain rambut merah berserakan di kutangku. Aku pun
menoyodorkannya ke hadapan istriku sebagai bukti, walaupun aku tidak yakin bukti akan apa
itu. Aku juga menyadari bahwa dia pergi keluar kota semalaman dan pastinya tidak ada yang
menyentuh kutangku, tergeletak di lantai sampai esok paginya. Lalu aku pun mencoba untuk
mengumpulkan kembali bubuk kunyit yang tumpah di jariku hingga butuh berhari-hari untuk
membersihkannya.
Kami pun menyalahkan para tetangga, kucing, maupun satu sama lain, terutama saat aku berada
di kamar mandi dan dia berada di kamar tidur. Ia berkata, “Sayang, apakah kamu mendengar
suara dari rubanah? Maukah kamu pergi memeriksanya?” Aku pun membalas, “Sayang, apakah
kamu mendengar suara dari loteng? Maukah kamu pergi memeriksanya?” Untungnya, kami pun
berpapasan di aula rumah, membayangi kira-kira apa yang menunggu kami di ruangan-ruangan
sempit nan gelap itu.
Tetapi kemudian hanya aku yang mengalami semua itu. Kala itupun, kami tetap menuduh dan
menuduh, sampai kami sepakat untuk tidak membicarakannya.
Kejanggalan ini meresahkan kami. Kami pun akhirnya sudah tidak peduli lagi namun peka, dan
benar-benar terbiasa dengan semua yang ada di langit-langit, sepeka layak nya bayi. Kami
sebelumnya sudah berencana untuk memanggil psikiater, tetapi siapa yang dapat memanggilnya
ketika istrimu menangis kepada sesuatu yang hampa? Yang dimana telapak tanganmu secara
terus-menerus diketukkan olehnya layaknya sandi Morse, sangat dingin seperti yang pernah ku
alami di malam sebelumnya saat listrik padam?
Setelah itu, sesuatu berlalu-lalang di malam hari. Terdengar seperti suara Langkah kucing sampai
suara itupun hilang; lalu berlanjut lagi, mengitari kamar kami layaknya sebuah satelit, langkah
lembut namun tidak lagi mengenakkan. Kami pun terbaring dalam kegelapan, saling bertanya,
“Apakah kamu ingat saat kita bertemu?” “Apakah kamu ingat saat kamu menumpahkan sebotol
Sampanye di atas kasur hotel Reno dulu?” “Apakah kamu ingat Wanita tua yang kita lihat di took
swalayan kala itu dengan boneka bayinya?” “Apakah kamu ingat saat sepupumu terjatuh dari
tangga saat hari ulang tahun pernikahan kita yang kelima belas?” “Apakah kamu ingat saat aku
menggoyangkan jari tangan mu dengan pelan dan aku terjatuh sangat keras?” Suara langkah
diatas terdengar seperti air mendidih saat kami terdiam, sehingga kami tetap berbicara hingga
lelah. Lalu kami beranjak, mengambil piyama dari kolong ranjang. Keesokan paginya, aku
melihat engkel istriku terikat dengan pita biru, yang disimpul dengan lonceng perak kecil.
Sikat rambutku hilang dan muncul di toilet. Vitamin harian istriku diganti dengan paku seharga
delapan sen. Pada hari Selasa, cermin berukuran penuh hanya memperlihatkan bayangan kami saat
masih remaja: dia canggung, aku gendut, canggung, dan bertahun-tahun lagi dari wahyu yang
membawa kami ke satu sama lain, ke rumah ini. Saya memecahkan cermin, bukan karena
kecelakaan.

Kami melakukan penelitian di perpustakaan, di balai kota, di lembaga sejarah lokal. Ternyata di
tanah tempat rumah kami sekarang berdiri, terdapat kuburan para penjahat. Selain itu, seorang wanita
dicekik oleh kekasihnya di kamar tidur kami tepat setelah rumah itu dibangun. Juga, seorang pria
gantung diri di loteng selama Depresi Hebat. Selain itu, seorang gadis remaja telah diculik dan
ditahan di ruang bawah tanah selama satu tahun pada tahun tujuh puluhan sebelum penculiknya,
yang tidak pernah repot-repot menawarkan uang tebusan, mengirimkan potongan tubuhnya kepada
keluarganya dalam bentuk set boneka bersarang Rusia dan kemudian membakar apa yang tersisa.
tentang dia di halaman depan. Kami melacak penyewa yang pernah tinggal di sana sebelum kami.
Putra mereka yang berusia delapan tahun mengklaim bahwa batas antara dunia orang hidup dan
dunia mati melintasi serambi.

Kami memanggil seorang pendeta, yang berdoa di setiap ruangan dan menyiramkan air suci ke kertas
dinding, namun menatap kami dengan curiga dari setiap pintu, sampai akhirnya dia bertanya apakah
kami bersaudara. Kami memanggil seorang paranormal, yang berpindah-pindah rumah seolah-olah
dia bosan sampai dia membuka tutup pengering, yang menyebabkan dia tersentak ke udara seperti dia
tergantung di salib yang tidak terlihat dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak kami
kenali,tapi kedengarannya sangat kuno. Kami meletakkan papan Ouija di meja dapur, tetapi sebelum
kami dapat menanyakan apa pun, papan tulis itu melesat ke udara dan terkubur di dinding kering di
sebelah kepala kami.

Terakhir, kami menelepon seorang wanita yang kami dengar dari mulut ke mulut, yang hanya
bernama “Nona”. Yang lain bersumpah bahwa dia berspesialisasi dalam mencapai kesuksesan ketika
orang lain gagal, tetapi dia juga gagal, dan ketika dia pergi, dia menyarankan agar kami membakar
semua harta benda kami dan pindah. “Cerita seperti ini tidak memiliki akhir yang bahagia,” katanya
sambil mengambil pecahan kaca dari rambutnya dan melambaikan asap rokok ke sekeliling
tubuhnya saat dia pergi.

Aku dan istriku juga bertengkar mengenai hal itu. Dia ingin pergi, aku tidak. “Aku tidak bisa
menangani ini,” katanya. “Aku hanya ingin menjalani hidupku.” Dia membuang ingus ke penyaring
kopi karena semua tisu di rumah telah berubah menjadi abu.

"Tetapi hidup kita ada di sini sekarang,” kataku. “Juga, kami tidak mampu membatalkan sewa.”
Itu adalah penghinaan terbesar: pemilik rumah telah menyewakan kami rumah berhantu dengan
harga di atas harga pasar dan kami tidak punya uang untuk pindah. Kami mengiriminya beberapa
pesan suara tentang masalah ini, tapi selain mengirimkan seorang tukang—yang mengeruk gumpalan
rambut pirang dan tulang burung pipit yang diberi simbol tak terbaca dari dalam selokan—dia
tampaknya tidak terlalu peduli dengan penderitaan kami.

Sore terakhir itu, aku membuka pintu kamar tidur dan bukannya melihat kamar tidur kami, tempat
istriku beristirahat dengan tirai tertutup, aku malah melihat ke dalam kamar kerja seorang wanita
muda dari abad yang lalu. Dia sedang duduk telanjang di depan cermin, menjepit rambutnya, dan
sepertinya tidak memperhatikanku. Di tempat tidur, di bawah kanopi kasa, sesosok tubuh bergerak
seolah baru saja keluar dari mimpi panjang dan lesu. Sebuah kaki menyembul dari balik selimut, dan
telapak kakinya berwarna abu-abu karena tanah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan,
bukan interiornya yang terasa penuh ancaman. Sudah berapa lama sejak jendela menjauhkan bahaya
yang ada di dunia, dan bukannya menahannya? Tapi ruangan ini aman, penuh dengan lampin dan
parfum, serta suasana pagi yang tenang di akhir musim panas

Wanita muda itu merapikan rambutnya dengan tangannya, mengangkat dagunya ke atas, dan
menarik bibirnya sebelum membiarkannya kembali menutupi giginya. Kemudian dia merangkak ke
tempat tidur, di mana kekasihnya

—wanita muda lainnya, dengan kulit kemerahan dan senyuman yang mengukir parit di pipinya—
duduk dan membelai wajahnya. Mereka mendekat dan aku mendengar mereka tertawa, dan
ciuman mereka basah dan nyata, seperti tiram lewat di antara mereka. Aku merasakan sedikit air
mata. Aku membanting pintu hingga tertutup.

Ketika aku membukanya lagi, istriku berdiri di sana, tampak baru saja bangun dan sedih.

Setelah itu, kami berdua saja, bersama.

Anda mungkin juga menyukai