Anda di halaman 1dari 29

Bab 1

Ratu Gila
Di ibukota
Ratu Gila menatap pada neraka yang dia ciptakan dari tempat
yang tinggi—dari menara lonceng gereja di ibukota. Kobaran
api menyinari kota yang terbakar, dipantulkan melalui mata
abu-abunya yang dingin, kosong tanpa emosi. Tanpa perasaan
marah, sedih, terluka, atau apa pun. Hanya kekosongan.
Dia berdiri di sana melawan dinginnya angin malam dengan
baju putihnya, yang tercelup dalam darah merah musuhnya,
dan rambu keabuan yang berkibar kasar.
Semua akan berakhir malam ini. Segala rasa sakit hati. Segala
kesedihan. Segala kebahagiaan. Segala kenangan. Semuanya.
Semua akan tersapu dengan bersih.
“Adira!” Sebuah suara rendah khas pria itu penuh kebencian
memanggil sang ratu dan mencoba mendapatkan
perhatiannya.
Dulu suara itu terdengar indah di telinganya, biasanya akan
mengisinya dengan kehangatan. Biasanya suara itu akan
menenggelamkannya dengan penuh cinta
Tapi tidak.
Sekarang, semua itu hanya ada kebencian. Suara itu hanya
mengganggu telinganya, layaknya bunyi hiruk-pikuk pada
akhir doa kematian yang dibenci. Itu hanya menyiramnya
dengan rasa dingin yang menusuk menembus bagian terdalam
dirinya. Itu hanya menenggelamkannya, menyatakan secara
langsung harapan dirinya telah mati.
“Harusnya kau memanggilku dengan panggilan Queen
Adira.” Wanita itu melemparkan tatapan dingin dari atas
naganya sambil memerhatikan si pria tersentak di bawah
tatapan jahatnya.
Dulu dia tidak seperti ini. Dia tidak pernah seperti ini. Tapi
mereka mendorongnya sepenuhnya hingga pada batasnya dan
membuat dirinya menjadi seperti yang saat ini. Lalu siapa
yang bisa orang-orang salahkan atas tragedi yang menimpa
mereka? Tentu saja bukan dia, itu seharusnya diri mereka
sendiri.
Aku bukanlah apa-apa melainkan monster di mata kalian.
Karena itu biarlah aku menjadi monster yang paling
mengerikan.
Merupakan sumpah bisunya selagi mereka mendorongnya
hingga ke ujung akal sehatnya. Mencuri segala kewarasan
yang selama ini dia miliki sebelum akhinya dia menjadi segila
ini.
Menyentuh sisik dari naga hitam yang sedang bertengger di
atap gereja—yang berada di sampingnya, naga itu,
menggeram sebagai peringatan pada tamu tidak diundang,
berangsur-angsur mengumpulkan napas panas dari dadanya.
"Aku akan membakar jatuh segalanya dan membersihkan
dunia ini. Aku akan membangun dunia baru yang bebas dari
kebencian, kesedihan, dan ketidakbahagiaan. Aku akan
membangun dunia baru." Kegilaan bersinar dari mata sang
Ratu.
Naga itu hanya perlu instruksinya—dengan gestur ringan,
sentuhan, ataupun kata terbuka untuk membakar pria yang
dibencinya ini menjadi abu. Tidak menyisakan satu jasad pun
untuk dendam dari wanita lain, bahkan tidak menyisakan apa
pun untuk berduka cita atasnya.
"Heise, baka—" Ucapannya terpotong ketika sesuatu yang
tajam tiba-tiba menusuk tubuhnya, menusuk bahunya hingga
ke dalam hatinya. Bersamaan dengan sebuah tubuh jatuh dari
langit dan mendarat di atas wanita itu.
Hal terakhir yang dia lihat, sebelum jatuh dari puncak menara,
adalah kobaran rambut merah muda yang menari melawan
angin malam, dan Heise, naga miliknya, segera membakar
menara hingga runtuh, mengeluarkan rasa sakitnya karena
kehilangan ibunya yang dijatuhkan oleh musuh kejamnya,
selagi menyelam turun dan berharap dapat menangkap sang
ratu yang terjatuh.
[1] Heise is her dragon name
[2] Ibu yang dimaksud adalah si naga sudah menganggap
Mad Queen sebagai ibunya, ketimbang disebut sebagai
majikan
Ah, bahkan hingga akhir pun, kau tetap tidak memilihku. Kau
lebih memilih menontonku mati dibandingkan melihat orang
terkasihmu sekarat di tanganku.
Jatuh ke dalam kobaran api neraka yang ratu ciptakan pasti
menjadi jalan yang sempurna untuk kematiannya. Sedangkan
wanita satunya akan menjadi tokoh utama yang
menyelamatkan seluruh warga kota dari Ratu Gila yang
membakar hampir setengah populasi dan Duke akan diangkat
menjadi pangeran karena telah menjadi pahlawan yang
melindungi sang tokoh utama.
Mereka berdua akan menikah dan memiliki banyak anak.
Mereka akan hidup bahagia di dunia baru yang mereka
ciptakan setelah mengalahkan ratu iblis. Mereka akan
memimpin orang-orang menuju era yang makmur dan damai.
Hanya... Di mana? Di mana letak kesalahanku?
Jika aku memiliki kesempatan lagi dalam hidup, akankah aku
berakhir dengan ending yang sama? Jika kau, Dewa plin-
plan, memberiku kesempatan lain di hidup ini, aku harap aku
dapat hidup sederhana dan lepas jauh dari mereka semua.
Bab 2
A child?!
Di Estate : sayap timur
Sinar matahari mengalir hingga ke jendela dan memberikan
sinar halus pada ruangan suram dari seorang lady yang tinggal
di situ.
The lady manor is same with the noble woman
Itu hangat dan terang. Dengan kata lain, itu menjengkelkan.
Perlahan membuat matanya mengedip terbuka, layaknya
kepakan sayap kupu-kupu, bulu mata berwarna hitam dan
bola mata dingin keabuan dengan sebuah kilatan dingin begitu
matahari menyinari figurnya dari balik siluet merah kanopi.
Seorang wanita, berpakaian pelayan, melihat pergerakan kecil
dari nonanya tergesa-gesa menghampiri sisi ranjang dengan
ekspresi khawatir.
"Nona! Apa kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?"
Nona? Apa yang wanita ini bicarakan?
Gadis itu mengerang halus selagi mendorong dirinya untuk
bangun serta memeriksa sekitarnya.
Apakah aku selamat dari jatuh? Atau dari tikaman?
"Nona! Apakah kau memerlukan sesuatu?" Pelayan itu terus
mengganggunya dengan pertanyaan. "Ah, air! Apa kau ingin
air?"
Ya, air. Pertama dari yang pertama, aku haus.
Dengan sedikit usaha dia menganggukkan kepala pelan. Dia
merasa haus. Seakan dia telah tertidur selama beberapa hari.
Pelayan yang menungguinya menatap gestur persetujuan sang
nona sehingga dia segera pergi mengambil air dan kembali
menuju sisi ranjang. Menyajikan minuman untuk memuaskan
dahaga gadis itu.
Setelah minum dari gelas, tenggorokannya terasa jelas, dia
bicara dengan suara serak. "Di mana... Aku?
"Kau ada di mansion, Nona! Kau terjatuh dari kudamu dan
kemudian jatuh sakit! Tolong bertahanlah! Nyonya dan Tuan
sangat khawatir tentang keadaanmu. Aku akan segera
memanggil mereka." Pelayan itu berseru sebelum menghilang
dari balik pintu putih besar dengan hiasan dan kenop
berwarna perak.
Pemilik mansion ini pasti memiliki obsesi terhadap warna
perak.
Dia berbaring di kasur sambil sambil menyesuikan diri. Dia
mempelajari sekitarnya—yang anehnya terasa familiar
baginya.
Ada apa ini? Kenapa rasanya mirip dengan kamar lamaku?
Apakah bajingan mesum itu mendekorasi ulang kamar?
Pandangannya kembali menjelajahi sekitar dan tiba-tiba suara
keras muncul bersamaan dengan pintu yang terbuka. Seorang
wanita, yang kira-kira berada di akhir umur 20-an, dan
seorang pria, yang terlihat berada di awal 30-an, menyerbu
masuk dan segera saja mereka berkumpul di kasur gadis itu.
Si wanita memiliki rambut hitam dengan sedikit warna
keabuan yang indah. Selagi pria itu memiliki warna cokelat
hangat dan dengan bola mata keabuan dingin. Tetapi kau tidak
bisa melihat kedinginan yang seharusnya ada di mata itu, yang
ada hanyalah kekhawatiran, keraguan, perasaan lega, dan
bahagia.
"Oh anak kesayanganku, apa kau baik-baik saja? Di mana kau
merasa sakit? Katakanlah pada Ibu."
"Sayang, bagaimana keadaanmu? Apa kau perlu sesuatu?"
Mereka menanyainya dengan cepat secara bergantian. Gadis
itu hanya duduk di sana, tercengang. Mereka berdua
seharusnya sudah mati. Mereka mati karena mencoba
melindunginya. Mereka mengorbankan hidup deminya, untuk
membuktikan bahwa gadis itu tidak bersalah.
"Kenapa? Kenapa kalian di sini?" Gadis itu bergumam dengan
suara yang rendah dan lemah, hampir tidak dapat didengar.
Dia kebingungan. Apa yang terjadi? Kenapa orang tuanya ada
di hadapannya, bagaimana bisa mereka masih hidup dan baik-
baik saja?
Apakah aku bermimpi? Aku sudah benar-benar mati?
"Apakah... Apakah aku di surga?" Gadis itu terus bertanya
ketika mereka berdua tidak menjawabnya, mereka bingung
dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut.
"Sayang, kau di sini. Dengan kami. Kau masih hidup dan
baik-baik saja." Ibunya lebih dulu menjawabnya sebelum
menatap singkat pada sang suami.
"Itu benar. Kau jatuh dari kudamu, tidak ada hal yang serius.
Doktor berkata bahwa kau hanya terkilir ringan." Ayahnya
menenangkannya, dengan lembut, penuh perhatian menyentuh
rambutnya. Dengan cara yang sama yang dia ingat selama
bertahun-tahun lalu.
"Ya, tetapi kau tiba-tiba jatuh sakit dengan demam yang
sangat tinggi dan membuat kami khawatir. Kau sudah tertidur
selama tiga hari. Kami sangat, sangat khawatir dengan
keadaanmu." Ibunya menaikkan tangannya untuk memeriksa
suhu tubuh gadis itu, lalu menghela napas lega ketika
menyadari kondisi putrinya sudah kembali normal.
"Kuda? Demam? Tiga hari?" Dia mengulang kata-kata itu.
Tidak mungkin. Dia seharusnya berada di ibukota, seperti hal
terakhir yang dia ingat. Dia juga tidak jatuh dari kuda
melainkan dari menara lonceng setelah dia didorong jatuh.
Setelah ingat dirinya yang ditusuk di bahu, gadis itu segera
berbalik melihat bahu kirinya dan menarik turun bagian gaun
tidurnya dan tidak menemukan luka sama sekali. Bahkan
tidak ada goresan sedikitpun.
Terlebih, bahunya tampak lebih kecil dari penglihatannya.
Bahkan tangan dan jari-jarinya, keduanya terlalu kecil dan
gempal. Dia menarik beberapa helai rambut dan
memerhatikan bahwa itu lebih pendek daripada apa yang dia
ingat. Akhirnya, dia menyingkirkan selimut yang
menutupinya dan menunjukkan sepasang kaki yang pendek
dan kecil miliknya.
Apa-apa? Aku... Aku... Jadi anak-anak?
Dan dengan cepat menyadari, dia, sekali lagi, ingat bahwa
demam itu dulu membuat seisi mansion gempar di masa lalu.
Bab 3
Layaknya nasib menyedihkan!
Pertama mari susun apa yang terjadi.
Aku kembali ke masa ketika aku berusia enam tahun. Belum
terjadi masalah besar apa pun pada masa ini, kan? Jika
ingatanku tidak salah, selama beberapa hari kedepan, orang
tuaku akan menerima sebuah proposal pertunangan dari
keluarga monster.
Adira merenung sembari menyesap teh chamomile
kesukaannya—yang merupakan buatan dari pelayan
favoritnya, Lyfa. Karena bingung setelah mengalami sekarat
dari kematian tragis, itu membuatnya perlu waktu untuk
mempelajari dan mengenal Lyfa—terutama karena
seharusnya mudah baginya mengenali Lyfa karena dia selalu
menjadi orang yang rendah diri dan mudah malu.
"Nona, apakah kau suka teh chamomilenya?" Dia bertanya
dengan nada yang manis selagi meletakkan manisan di depan
Adira.
Adira menaikkan pandangan dan tersenyum dengan lembut
dan cerah—senyum layaknya ratusan tahun cahaya yang
sudah dia tampilkan sejak seminggu yang lalu.
Itu sudah seminggu sejak Adira bangun di kehidupannya yang
kedua dan baru beberapa hari sejak demam tingginya yang
kedua. Dia sudah mengumpulkan banyak informasi di
kepalanya dan menyusun perasaannya pada masa ini serta
mencari solusi untuk permasalahan yang bermula karena
takdir pertunangan itu.
Pelayan di Mansion Sylveris kebingungan dengan perubahan
sikap tiba-tiba dari nona kecil mereka. Dia hanya tiba-tiba...
Berubah. Layaknya orang yang ada di dalamnya tersapu
hilang, berganti sepenuhnya menjadi orang lain yang penuh
pengampunan dan kebaikkan layaknya malaikat, jauh berbeda
dengan nona kecil iblis yang mereka kenal.
Sebelumnya dia biasanya akan mencambuk pelayannya saat
melakukan kesalahan kecil, atau membuat mereka melakukan
hal yang tidak masuk akal untuk menghiburnya ditambah
dengan berbagai kekejaman dari otak jahat nona kecil itu. Dia
juga biasanya akan menyakiti secara verbal pelayannya setiap
ada kesempatan.
Tetapi sekarang, dia telah menjadi tenang, baik hati, dan
manis. Udara di sekitarnya memancarkan suasana
kedewasaan. Saat ini gadis itu sering tersenyum kepada para
pelayan, menyapa mereka setiap waktu, berterimakasih dan
bahkan meminta maaf pada mereka!
“Apakah demam itu menggeser sekrup di kepala si iblis
kecil?” Seorang pelayan, ketakutan karena perubahan tiba-tiba
dari nona mereka, berbisik sepelan mungkin pada rekan
kerjanya.
“Shh! Kita tidak pernah tahu kapan dia kembali lagi ke sifat
iblisnya. Lebih baik untuk terus mempertahankan
kewaspadaan.” Temannya menjawab sembari menautkan
kedua tangannya erat, berdoa dalam diam—berharap bahwa
nona kecil mereka akan tetap seperti ini untuk selamanya!
Adira melirik mereka dan membuat kedua pelayan itu kaku
seketika sebelum akhirnya mereka terburu-buru pergi ke arah
lain, kabur sebelum iblis kecil itu menangkap mereka.
Wajah Lyfa, yang juga tertuju pada mereka, berubah kusut
setelah melihat aksi tidak sopan pelayan itu, lalu dia beralih
ke arah nonanya yang tampak tenang dan tidak peduli dengan
tatapan khawatir. Adira hanya menikmati tehnya tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
“Nona, tolong jangan hiraukan mereka. Nona adalah nona
terbaik di dunia! Aku bersumpah atas hidupku!” Lyfa
melebih-lebihkan selagi mengepalkan tangan dan memukul
ringan dadanya untuk menekankan kata-katanya.
Adira terkekeh pada kesetiaan mutlak—entah itu di kehidupan
sebelumnya maupun sekarang—Lyfa selalu dan penuh
percaya berada di sisinya. Bahkan ketika seluruh dunia
berbalik memusuhi nonanya, Lyfa tetap percaya padanya
dengan sepenuh hati.
“Aku tahu, Lyfa. Terimakasih.” Dia mengekspresikan rasa
syukur dalam kata-kata. Meskipun dia tahu itu sama sekali
tidak cukup untuk menyampaikan betapa dalam rasa
syukurnya karena kesetiaan dan cinta Lyfa, dia harap entah
bagaimana caranya supaya perasaannya dapat menggapai
Lyfa.
Lyfa memerhatikan ketulusan hangat yang bersinar dari mata
sang nona dan merasa mata cokelat kemerahannya memanas
dan pedih. Air mata hampir jatuh dari bola matanya yang
memaksanya untuk mengangkat wajah, mencoba menahan
agar tidak jatuh dan membuatnya malu di depan sang nona.
“Kesetiaanku akan selamanya untukmu, Nona.” Lyfa tiba-tiba
bersumpah, hal itu membuat Adira tersenyum manis padanya,
sebagai untuk meringankan suasana hati berat dan serius dari
pelayannya. Lyfa tidak berubah sama sekali. Hal itu
meringankan beban di bahu sang nona saat melihatnya.
Itu merupakan sore yang tenang layaknya hari-hari
sebelumnya dan Adira menyukai itu. Ketenangan ini
merupakan salah satu hal yang dia rindukan dari kehidupan
terdahulunya, karena semua kebodohan dan
kekeraskepalaannya, dan, pada waktu ini, dia akan melakukan
apapun untuk mempertahankan kedamaian ini.
Ketika, layaknya sebuah nasib menyedihkan, seorang pelayan
tersenyum senang datang ke kamarnya dengan tampang
ceroboh, itu adalah bendera kehancurannya yang terangkat
selagi pelayan itu mengumumkan pada Adira dan Lyfa
tentang kabar yang memulai segala nasib menyedihkannya,
“Nona! Duke Dalriada!”
Hanya dengan mengucapkan nama keluarga itu saja, Adira
membeku dengan cangkir tehnya hanya beberapa inchi dari
bibir cerinya yang lembab sebelum dia berusaha menutup
matanya dan beberapa kali menghela napas, sedikit meminum
tehnya. Berharap akal sehatnya segera kembali tenang.
Dia dengan berlahan dan elegan bangkit dari tempat
duduknya, menguatkan dirinya agar berani menjatuhkan
bendera ini. Sekarang atau tidak sama sekali.
Dengan Lyfa, Adira melangkah keluar dari tempat
perlindungannya, yaitu rumah kaca pribadinya dan dia diikuti
oleh seorang pelayan yang mengantarkan ke ruang tamu di
mana perwakilan dari keluarga Darialda ingin bertemu.
Jika itu sesuai dengan apa yang terjadi di masa lalu, maka
seharusnya kepala pelayan Darialda akan mewakili sang Duke
dan Duchess karena ‘keadaan’ tak terduga yang menghalangi
kehadiran mereka.
Bagaimanapun, Adira sudah tahu itu hanyalah alasan mereka.
Pertunangan ini, dari awal, tidak pernah diberkati oleh para
Dewa maupun roh. Ini telah ditakdirkan sebagai malapetaka
sejak awal.
Karena keluarga itu menolak untuk berhadapan denganku
dan keluargaku, kami harus melakukan hal yang sama juga.
Aku tidak akan membiarkan ayah dan ibuku yang berharga
menerima mereka sebagai besan. Aku, sendiri, sudah cukup
untuk menghadapinya. Seorang gadis kecil berumur enam
tahun.
Mendorong pintu berat untuk Adira, Lyfa dan pelayan
pengiring lainnya membuka jalan untuk membiarkan Adira
masuk lebih dulu. Adira mengangkat kepalanya tinggi dan
berjalan dengan percaya diri serta elegan, sama sekali tidak
menunjukkan sikap kekanakan yang seharusnya ada pada
kecantikan imutnya.
“Selamat sore. Saya Adira Remeria Eir Sylveris. Senang
bertemu denganmu.” Dia membungkuk dengan keanggunan
yang sempurna, termasuk di atas rata-rata untuk anak seusia
enam tahun yang seharusnya, bahkan itu sama sekali tidak
terlihat dipaksakan maupun canggung. Keanggunannya,
elegan, dan kepercayadirian mengalir sangat alami darinya.
Seakan dia memang dilahirkan menjadi seorang ratu.
“Saya turut bahagia dapat bertemu denganmu, Nona Adira.”
Sebuah suara kekanakan dengan sedikit nada tinggi dari suara
anak laki-laki menjawab Adira yang masih menuntup mata,
membuatnya kaku sejenak dan kepala serta tubuhnya dalam
posisi membungkuk.
Dia tidak berani mengangkat kepala ketika masuk ke dalam
ruangan karena mendengar suara ini menjawab salamnya.
Seharusnya itu tidak mungkin terjadi, namun itu benar-benar
terjadi. Monster itu sendiri yang kini menemuinya! Dia datang
dengan sendirinya!
“Tolong angkat kepalamu, Nona.” Anak laki-laki itu
menambahkan ketika dia melihat keterdiaman Adira.
Akhirnya Adira menuruti perkataannya untuk menghindari
kecurigaan, tetapi tetap saja dia berusaha mati-matian untuk
menghindari tatapan anak itu.
Adira takut.
Dia takut apabila dia melihatnya lagi maka semuanya akan
kembali seperti kehidupannya yang pertama, bahwa jika dia
menatap matanya akan membuat Adira mendorong segalanya
dengan paksa dan mengulang semua kesalahanya lagi.
Dia menarik napas dalam-dalam sambil terus mengingatkan
dirinya tentang segalanya yang telah berubah mulai saat ini,
itu adalah dirinya, dirinya sendiri, yang akan membuat
perubahan terjadi dan itu bukanlah Adira di masa lalu lagi.
Dia sudah lelah akan perasaan cintanya di masa lalu, jadi
seharusnya sekarang dia baik-baik saja.
Mengangkat pandangannya dan segera bertemu dengan mata
sejernih air, dia melihat kebaikkan yang menarik hatinya lagi
dan lagi yang selama ini telah membutakannya, membuatnya
mengabaikan batas yang telah dilewati dan juga
pengkhianatan yang dengan setia dia derita, dengan
kekeraskepalaan, serta kegilaan yang selalu dia pertahankan.
Adira mencintainya tanpa syarat.
“Halo, Nona Adira. Saya Triton Aurelian Ghille Darialda,
anak pertama dari Duke Darialda, di sini secara langsung
meminta izinmu dan orang tuamu untuk bertunangan.” Dia
tersenyum.
Kenapa... kamu di sini?
Bab 4
Harum dan Manis
“Nona... Nona...” Lyfa dengan lembut menyentuh Adira yang
membeku, yang tiba-tiba berubah pucat saat menatap mata
anak laki-laki itu.
Lyfa ingat bahwa Triton adalah anak pertama dari Duke
Darialda, dari seorang Perdana Menteri kerajaan, dan
merupakan penerus selanjutnya dukedom. Jika dia tidak salah
ingat, anak laki-laki ini adalah orang yang nonanya sukai,
kan? Ini bukanlah pertemuan pertama mereka, kan?
Lalu, kenapa dia menjadi pucat seperti ini?
“Oh! Maafkan kami, Tuan Darialda, anda telah melakukan
perjalanan jauh tetapi sayang sekali orang tuaku tidak ada di
sini sehingga tidak dapat menemuimu.”
Adira dengan lancar mengatakan kebohongan dari mulutnya,
jika saja para pelayan tidak melihat tuan dan nyonya di tempat
kerja, mereka juga akan segera percaya pada perkataan nona
kecil, sedangkan Adira sekali lagi membungkuk untuk
menunjukkan perasaan bersalah.
Pelayannya, termasuk Lyfa, semuanya menatap pada sang
nona dengan bingung karena kebohongan terang-terangan itu.
Kastil ini besar, tentu saja, tetapi bukankah itu akan menjadi
masalah jika anak laki-laki ini mendapatkan kenyataan Adira
bahwa berbohong? Akankah itu membawa masalah antar
keluarga?
Apa yang nona kecil lakukan? Apa dia telah kembali menjadi
iblis lagi?
Tolong, selama kalian mengikutiku, segalanya akan baik-baik
saja. Hanya jaga mulutmu tetap tertutup.
Adira menjawab dalam diam melalui tatapannya.
“Begitukah? Sayang sekali. Padahal saya diberitahu bahwa
Duke Sylveris selalu ada di rumah sejak berita kecelakaan
yang menimpa nona.” Dia tersenyum sedih.
Ah, kau tidak bisa membodohiku lagi. Batin Adira, menolak
empati palsu dari anak laki-laki tersebut.
Lalu sebuah pikiran tiba-tiba menghampiri anak laki-laki itu,
tepat ketika kata kecelakaan, segera ekspresinya berubah
khawatir selagi dia bertanya, “Ngomong-ngomong, apa anda
baik-baik saja, Nona Adira? Saya dengar itu kecelakaan
kecil.”
“Ya, tolong jangan terlalu memikirkannya. Itu hanya
membuat saya sedikit terkilir dan saya baik-baik saja.” Adira
menjawab, dengan sopan namun berjarak. Khas seorang nona
—yang terlatih pada lingkaran sosial yang menuntut mereka
menjadi kuat dan tidak lemah maupun mudah dibodohi
dengan tusukan dari balik punggungnya.
“Itu kabar yang bagus.” Anak laki-laki itu menghela napas
sebelum kembali menunjukkan senyum sempurnanya, senada
dengan kabar gembira yang dia dengar.
“Well, karena Duke Sylveris tidak ada, saya harus undur diri
hari ini. Saya akan sangat menghargai itu jika Nona Adira
bersedia menghabiskan waktu untuk memikirkan soal
proposal dan saya mungkin dapat mendengar kabar baik pada
kunjungan selanjutnya.”
Dia segera memberi aba-aba agar butlernya maju dan
mengambil kotak dari tangan si pelayan sebelum akhirnya
menyerahkannya pada Adira.
“Saya tidak tahu hal apa yang pantas diberikan sebagai hadiah
untuk pertunangan, tetapi saya dengar nona menyukai teh. Ini
adalah sedikit hadiah dari saya. Tolong terimalah.”
Adira berbalik menatap Lyfa, yang sedari tadi menunggu
instruksinya, dan mengangguk pelan. Akhirnya Lyfa
mengambil langkah maju dan mengambil kotak hadiah untuk
nona kecilnya tersebut. Adira memeriksa bahwa-hadiah itu
berisi berbagai jenis teh—kecuali teh favoritnya chamomile.
Dia menghela napas dalam diam dan mengejek secara
sembunyi-sembunyi sebelum menyapu ekspresi itu dari
wajahnya dan tersenyum kepada Triton.
“Terimakasih banyak, Tuan. Saya menghargainya. Tolong
hati-hati dalam perjalanan. Lyfa, tolong temani mereka ke
pintu ke luar.”
Triton, senang karena Adira tersenyum, membungkuk rendah
sebelum mengikuti Lyfa keluar dari mansion.
Selagi Adira, yang ditinggal di ruang tamu, berbalik ke arah
para pelayan yang mendampinginya. Dia menginstruksikan
seseorang untuk mendekat dan membuat pelayan itu bergetar
ketakutan.
“Y-ya, Nona?” Ucapnya. Saat itu dia hanya ingin segera
bersujud dan memohon pengampunan ketimbang menerima
salah satu kekerasan nona kecilnya itu.
Adira bertanya dengan sehalus dan selembut mungkin,
“Namamu Kairina kan? Bolehkah aku memanggilmu Rina?”
Terkejut karena nona kecilnya ingat namanya, si pelayan
tersentak, “Y-ya! Tentu saja boleh, Nona!”
“Ambilah ini dan bagikan dengan yang lain.” Pinta Adira
selagi dia memberikan kotak tersebut ke si pelayan.
“Tetapi.... Nona, bukankah Tuan Muda memberikan ini
untukmu?” Pelayan itu bertanya hati-hati. Karena rasanya
tidak pantas memberikan hadiah yang kau terima dari orang
lain. Bahkan memberinya begitu saja saat anak laki-laki itu
baru pergi!
Tersenyum, dengan ejekan pada pria yang menolak untuk
mengenalnya baik di masa lalu maupun sekarang, Adira
menjawab, “Kau seharusnya tahu diriku lebih baik. Aku tidak
suka hadiah ini. Chamomile paling cocok denganku.”
Pelayan itu masih kebingungan, memutuskan untuk menutup
mulut dan mengambil kotak dengan rasa terimakasih. Teh-teh
ini sangat indah dan sulit untuk diperoleh, hal ini benar-benar
menunjukkan kekuatan dan pengaruh keluarga Darialda.
Namun nonanya malah lebih memilih chamomile yang biasa
ketimbang teh-teh ini.
“Apakah kau begitu menyukai teh buatan Lyfa, Nona?”
Dengan penasaran bertanya kenapa nonanya lebih memilih
chamomile dibandingkan teh ini, dia sampai memberanikan
diri untuk bertanya.
Adira tiba-tiba terkekeh, suaranya mirip dengan bunyi bel
kecil yang berdering di telinga para pelayan, selagi mereka
memerhatikan malaikat kecil itu menganggukkan kepala.
“Aku sangat suka teh buatan kalian.”
Ma... Malaikat!!! Nona kecil adalah seorang malaikat!!!
Semua pelayan menatapnya dengan rahang terjatuh dan mata
yang berkilauan, perasaan memuja membuat mereka jatuh
cinta — pada sosok baru nona kecil mereka, menyimpan ini
semua di dalam hati mereka.
“Kalau begitu kami akan lebih menghaluskan tehnya agar
nona semakin menyukainya.” Rina memancarkan semangat.
“Kami juga akan membuat seduhan yang memuaskan nona!”
Pelayan lain
Pelayan lainnya setuju dengan usulan itu dan mulai berbicara
satu sama lain dengan ide-ide baru yang terus mereka
lontarkan.
Selagi merasa excited membahas tentang prospek pembuatan
teh, Rina berbalik ke arah Adira dan bertanya spesifikasi teh
kesukaannya. Akhirnya, Adira yang sedari tadi menikmati
percakapan pelayannya, tertahan dengan pose berpikir setelah
diberi pertanyaan itu.
Sejujurnya, di kehidupan yang sebelumnya, Adira berhenti
meminum teh karena Triton berkata bahwa dia menyukai
kopi. Karenanya, meski Adira tidak menyukai hal-hal yang
pahit atau berbau kuat seperti kopi, dia harus menahan dan
menyimpan ketidaksukaannya demi membuat Triton terkesan
dan menyesuaikan diri dengan kesukaan pria itu.
“Aku suka sesuatu yang harum dan manis.”
Mata para pelayan berkedip pada keinginan normal nona
mereka—selagi ide-ide kembali bermunculan di kepala dan
mereka kembali saling berbicara satu sama lain. Sedangkan
Adira merasa bahwa seharusnya lebih memberi mereka
perhatian dan kasih sayangnya. Sehingga mereka tidak perlu
tersiksa di bawah perintahnya. Keluarganya pun tidak akan
menderita karenanya.
“Nona,” Lyfa, yang baru saja kembali setelah mengantar tamu
dari The Darialda, memanggil Adira selagi memerhatikan
para pelayan yang ribut dan tersenyum pada nona kecilnya.
Dia bersenang-senang. Layaknya yang anak-anak lain
lakukan.
Memerhatikan Adira yang menoleh ke arahnya, setelah
mendapat perhatian Adira dari keributan para pelayan lain,
Lyfa bertanya, “Kenapa kau berbohong mengenai Tuan dan
Nyonya yang tidak ada di rumah?”
“Hmm... Karena, aku tidak berencana untuk mengikat diriku
dengan dia lagi.”
Lagi?
“Apa ada sesuatu yang salah dengan Tuan Darialda?
Bukankah kau menyukainya?”
Adira akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan berjalan
keluar ruangan, mendadak meninggalkan para layan, dengan
Lyfa yang segera mengikutinya. Adira menjawab dengan
suara yang lembut, terdengar hampir seperti bisikan di telinga
Lyfa.
“Aku sudah selesai dengannya. Hal di antara kami adalah
malapetaka. Aku berharap untuk tidak berhadapan dan
berurusan dengannya lagi sekarang.”

Bab 5
An awkward gaping duck
Beberapa ketukan—tidak terlalu keras maupun lemah—
memenuhi ruang dengan baluran warna perak yang tercelup
merah crimson.
Matahari telah terbit sejak beberapa saat yang lalu, namun
tidak satupun ada yang melihat nona mereka keluar dari
ruangannya bahkan setelah pintu diketuk beberapa kali.
Akhirnya, karena habis kesabaran serta khawatir dengan apa
yang mungkin terjadi pada Adira, Lyfa mendorong pintu
hingga terbuka selagi dengan pelan mengumumkan
kehadirannya, “Nona, saya akan masuk.”
Hal pertama yang dia lakukan adalah menarik tirai hingga
terbuka dan membiarkan sinar matahari menyelinap masuk
memenuhi ruangan dan menerangi ruangan yang sebelumnya
gelap, sembari berjalan ke sisi tempat tidur, dan perlahan
membuka kelambu tidur untuk membangunkan nonanya,
kemudian Lyfa terkejut dan sontak berteriak.
...
7 am di alun-alun Fief.
Sesosok figur dengan pakaian sederhana dan tertutup tudung,
berkeliling di sekitar pertokoan selagi orang-orang
menawarkan bermacam-macam barang.
Memeriksa satu persatu toko dengan perasaan senang, Adira
berkeliling melihat-lihat, tanpa mengetahui bahwa seisi kastil
Sylveris dalam kegemparan yang dia ciptakan, membuat
mereka mengumpulkan para ksatria segera.
Adira melanjutkan jalan-jalannya dengan satu masalah besar.
Aku tidak membawa uang!
"Ugh, bodohnya aku." Adira menggerutu pada dirinya sendiri
selagi mendengar perut laparnya yang berbunyi. Adira merona
saat seorang pria, pemilik sebuah toko roti melewatinya,
berbalik menatap Adira saat mendengar suara keroncongan
itu.
"Nona, apa kau belum makan?" Dia bertanya sesopan
mungkin, agar tidak menakuti gadis kecil itu. Dia,
bagaimanapun juga, memiliki tubuh sebesar beruang dan
semua anak-anak takut saat pertama kali melihatnya.
Sebenarnya itu adalah kelemahannya.
Adira yang masih merasa malu karena kejadian barusan,
menganggukkan kepalanya pelan. Seperti binatang mungil
yang malu pada manusia.
Pria toko roti itu tersenyum karena keimutan Adira, memukul
dadanya seakan dia terobati oleh keimutan tersebut, sebelum
akhirnya dia berpikir tentang jawaban Adira, "Aneh. Alun-
alun Fief jarang memiliki seorang pengemis di jalan, bahkan
meski kau memakai pakaian sederhana, tetapi kau tidak
terlihat seperti salah satu dari mereka."
"Jarang ada pengemis? Kenapa bisa seperti itu, Mister?"
Adira mengangkat kepalanya sambil menunjukkan puppy
eyes yang menyebabkan panah cinta lainnya di hati si pria
toko roti.
Pria itu tersenyum pada adira dan.... menepuk kepalanya yang
dilapisi tudung, karena dia tidak bisa menahan diri untuk tidak
melakukannya, dia lalu menjawab, "Apa kau bukan dari
daerah sini? Tidak mungkin orang tidak tahu bagaimana Duke
Sylveris memerhatikan kami. Duke membuatkan panti asuhan
untuk anak-anak yang tidak memiliki rumah dan memberikan
mereka pekerjaan bagi para pengemis sehingga mereka bisa
memperbaiki hidup. Tentu saja ada beberapa pemberontakan
dan sampah yang menolak patuh pada Duke tetapi semuanya
dapat terselesaikan. Kami sangat merasa berterimakasih pada
Duke."
"Wow. Betapa baiknya Duke!" Mata kecil Adira bersinar saat
memuji ayahnya yang biasanya terlihat konyol, terutama saat
menangis dengan seember air mata dan ingus saat melihat
Adira pingsan dan demam tinggi. Ayah yang selalu
memanjakan dan tergila-gila padanya.
"Kan? Duke juga sangat keren! Bagaimana jika nanti aku
bawa kau ke panti, mereka mungkin bisa merawatmu setelah
kau makan? Kau datang di saat yang tepat, istriku memasak
omelet spesial hari ini dan kau pasti akan menyukainya!"
Pria itu dengan bangga memamerkan soal masakan istrinya
dan mengundang Adira untuk ikut. Meskipun Adira merasa
pria itu terlalu percaya pada orang asing, yang menurut Adira
aneh, tetap saja dia bersyukur. Karena jika pria itu tidak
mengundangnya, maka dia harus merangkak kembali ke
rumah dengan perut kosong.
Sang istri bertubuh mungil, seorang wanita dengan rambut
hitam mengkilat, dengan wajah kecil yang halus dan bibir
merah muda, menatap kepada dua orang pendatang itu, sekilas
terkejut dengan pengunjung mungilnya sebelum akhirnya
wajahnya menghangat dan dia tersenyum.
"Halo, mungil. Apakah kau tersesat? Apakah pria besar ini
menakutimu? Jangan takut dan beritahu saja Kakak. Aku kuat
kok." Dia berkedip pada Adira, suaranya terdengar manis dan
pada akhirnya membuat orang ingin turut tersenyum.
"Halo, Sis. Tuan Bakery sama sekali tidak menakutkan!
Sebenarnya, dia menawarkan solusi dari rasa laparku. Tolong
maafkan bila aku mengganggu." Adira, secara tidak sengaja
berbicara dengan formal dan intonasi bangsawan, bahkan dia
hampir membungkuk tepat setelah selesai bicara tadi.
Pemilik toko roti dan istrinya sempat kebingungan dengan
sikap sopan Adira dan saling bertatapan sebelum memandang
Adira dengan kehangatan layaknya orang tua yang bangga
pada anaknya.
"Astaga, apa kau menyukai cara para bangsawan melakukan
perkenalan? Kau melakukan persis seperti mereka! Itu hampir
membuatku berpikir kau mungkin salah satu dari mereka!"
Sang istri tersenyum senang, dengan lembut dia menepuk
kepala Adira yang ditutupi tudung, gembira karena
penampilan kecil Adira.
Well, sebenarnya aku memang salah satu dari mereka.
Apa yang membuat pasangan ini berpikir lain adalah karena
tidak ada anak bangsawan yang sengaja memakai pakaian
sederhana orang biasa dan berkeliaran di alun-alun Fief, kan?
Bangsawan mana yang akan melakukan itu?
Sebagian lagi, juga, mereka telah mendengar soal nona kecil
Sylveris yang seperti iblis kecil. Tentu saja mereka tidak akan
berpikir malaikat kecil ini adalah iblis, kan? Ini jauh sekali
berbeda dengan iblis itu.
"Apa kau mau makan bersama kami sebelum berangkat
dengan pria besar menakutkan ini untuk mencari orang
tuamu?"
"Hey, Hya! Berhenti mengatakan pria besar menakutkan ini,
pria besar menakutkan itu! Dia akan benar-benar takut
padaku!" Pia itu, si suami, protes dan mencebik.
Astaga, pria ini terlalu menyukai istrinya dan bahkan
sekarang tidak bisa melawan balik, heh?
"Haha! Salahku, sayang. Well, haruskah kita makan sebelum
makanannya menjadi dingin?" Hyacinth bertanya dan
menatap Adira serta suaminya, Peter, sebelum mengarahkan
mereka ke meja makan.
Sepanjang mereka makan, Adira dapat mengenal mereka lebih
jauh. Rupanya, Hyacinth dan Peter adalah pasangan yang baru
menikah dan mereka belum dikaruniai anak. Dan well, Peter,
jika mungkin, ingin memiliki anak yang imut seperti Adira—
imut, cantik, dan seperti malaikat. Sial! Dia bahkan ingin
maju dan mengadopsi Adira.
Bagaimanapun juga, dia harus memastikan Adira seorang
yatim piatu. Jika iya, mereka akan sangat senang menjadikan
Adira bagian dari keluarga kecil sederhana mereka.
Hanya beberapa menit dari sarapan mereka, setelah
mengatakan terimakasih dan membersihkan meja, sebuah
keributan terdengar dari luar.
Adira, kini dengan tudungnya yang terbuka dan menunjukkan
rambut gelombang keabuan serta bola mata peraknya,
memalingkan pandangan ke luar.
Apa yang terjadi? Kenapa di luar ribut?
Selagi Adira berpikir, suara Hyacinth sampai padanya, "Aku
penasaran ala gang salah? Itu sedikit ribut di luar. Ada terlalu
banyak kerusuhan pagi ini."
"Perlukah kita keluar dan bertanya pada seseorang?" Peter
bertanya dan berjalan terlebih dahulu selagi Hyacinth
mengusap tangannya pada apron dan Adira yang mengenakan
kembali tudungnya—untuk tujuan keamanan.
Sebuah pasukan Ksatria, dengan lambang bulan sabit perak,
yang jelas menunjukkan
Dengan jelas beberapa orang dari kumpulan ksatria
berkeliaran di sekitar. Sebagian lainnya duduk di atas kuda,
bergerak lebih cepat dan mengamati titik yang lebih jauh,
mereka berjalan dengan tegas layaknya hendak pergi perang.
Kekhawatiran dan kegelisahan mengalir seiring gelombang
ksatria yang berlalu, yang membuat penduduk kota tidak bisa
tidak terpengaruh perasaan gelisah tersebut.
“Apa yang salah? Kenapa ksatria perak ada di sini?”
“Aku tidak tahu. Mereka terlihat seperti sedang mencari
seseorang.”
“Mungkinkah itu mata-mata?”
“Ya Tuhan, apakah itu berarti kita dalam bahaya?”
Kerumunan penduduk mulai berbicara satu sama lain selagi
Adira hanya bisa menaikkan kembali tudungnya untuk
menutupi wajahnya dan mundur beberapa langkah,
mengurangi eksistensinya perlahan dan kabur di antara
kerumunan ketika melihat kesempatan.
“Nak, sepertinya kita harus menunda pergi ke—huh? Di mana
dia?” Peter menatap istrinya, yang hanya bisa mengangkat
tangannya dan menggelengkan kepala, ekspresi mereka
berdua berubah khawatir.
...
Adira berlari dan terus berlari, kembali ke tempat dia
menyelinap kabur, kembali ke rumahnya. Dia mempercepat
langkah dan berbalik melewati gang-gang untuk
memperpendek rute sebisa mungkin.
Ya Tuhan! Aku tidak menyangka ini akan menyebabkan
masalah besar! Kenapa mereka harus mengumpulkan ksatria
keluarga?!
Oh, itu pasti salahku! Seharusnya aku tidak menyelinap
keluar! Matilah aku!
Berbalik ke gang lainnya, kembali pada jalan terbuka namun
hanya bisa di isi beberapa—karena sebagian lainnya sedang
berkumpul di pusat alun-alun—secara tidak sengaja Adira
menabrak seseorang.
Karena sebagai anak perempuan, tubuhnya lebih kecil
membuat Adira terjatuh ke tanah dan membuat tudungnya
terbuka.
Adira meringis dan menahan rasa sakitnya. Dia membuka
mata peraknya untuk melihat seorang anak laki-laki dengan
rambut perak, kulit seperti porselen dan wajah yang cantik—
hampir seperti wajah anak perempuan di daerah sini—
menatap Adira dengan ekspresi khawatir dan tangannya
terulur pada Adira selagi bertanya, “Apa kau baik-baik saja?
Aku minta maaf karena tidak memperhatikan sekitar.”
Adira, duduk dengan mulut terbuka seperti bebek canggung di
depan keindahan ini, angsa putih, mulut terbukanya segera
ditutup setelah beberapa saat. Adira tidak tahu harus berkata
apa!
Kecantikan anak laki-laki itu menghilangkan kemarahannya
dan protesnya. Kecantikannya berkilau dengan mata platinum
seperti krim yang berada di atas permata kerajaan. Dan oh,
bibir kecil merah muda cerinya!
Adira!!! Dia masih anak-anak! Berhenti berpikir seperti itu!
“Ummm... Uhhhh...” Suara aneh keluar dari bibir Adira
Dan dia bisa melihat dirinya yang benar-benar memalukan.
Pikirannya penuh dengan anak laki-laki tampan ini.
Tunggu... Kenapa di kehidupan lalu aku bisa tidak tahu
dengan dia? Kenapa aku tidak tahu? Seseorang secantik ini
bisa terlewat dari radarku?! Sangat tidak masuk akal!
“Kau... Kau bukan dari sini... Kan?”
Bab 6
I’ll overlook it!
“Kau... Kau bukan dari sini... Kan?”
Anak laki-laki tampan itu samar-samar membeku karena
pertanyaan Adira.
Tuh kan! Aku pasti akan ingat padanya jika dia berasal dari
sini!
“Iya. Aku hanya ummm.... berencana untuk mengunjungi
seorang.... Teman.” Dia menjawab hampir seperti bisikan
pada kata terakhir, sulit untuk didengar.
Adira kembali memerhatikan penampilannya. Itu benar-benar,
sangat, sungguh, memanjakan mata! Adira bisa memandangi
anak laki-laki itu sepanjang hari dan pasti itu tidak akan
cukup.
Merasa tatapan gadis cantik itu yang tidak lepas darinya,
membuat si anak laki-laki bergerak dengan tidak nyaman
selagi tangannya menjadi kaku karena berdiam dalam posisi
mengulur.
Akhirnya Adira menyadari kekakuan si anak laki-laki, segera
menyentak dan menggenggam tangan kecil itu—tidak terlihat
terlalu tergesa, namun cukup cepat—bahkan sebelum bocah
itu sempat bereaksi.
“Te-terimakasih, umm...” Adira terdiam.
“Oh, namaku Casi—“ Dia membuat nada yang canggung saat
mengucapkannya. Seperti ada lanjutan lain, namun enggan
diucapkan. Kenapa dia menghentikannya?
Terserah. Yang penting dia tampan jadi biarkan saja.
“Terimakasih Casey. Namaku A—“
“Nona!”
“Ya Tuhan, Nona!”
“Nona ada di sana!”
“Nona! Baju apa itu yang kau pakai?!”
Adira tidak sempat memperkenalkan dirinya ketika para
pelayan, yang juga mencarinya—atau lebih seperti dipaksa
mencarinya juga—akhirnya menemukan keberadaannya dan
segera mengepungnya. Mereka memeriksa apakah dirinya
terluka atau ada hal lain.
Pada kehidupan sekarang bukan hanya Lyfa saja yang
mengoceh padanya. Sekarang dia sukses membuat semua
orang khawatir.
“A-aku baik-baik saja.” Adira menjawab selagi mengamati
ekspresi khawatir orang-orang di sekitarnya. Wajah mereka
terlihat menjadi bertambah tua karenanya.

Anda mungkin juga menyukai