Anda di halaman 1dari 93

I am (Not) a Monster

Tolonglah, jangan takut padaku! Aku bukan monster jahat seperti yang kalian
kira!

Sinopsis :
Apakah kamu pernah bermimpi buruk? Jika iya, apa yang biasa kamu rasakan saat
bangun tidur? Marah, kesal, atau takut? Dan apakah kamu pernah merasa, bahwa
mimpimu bisa menjadi pertanda tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang?

Itulah yang biasa kurasakan tiap bangun pagi. Aku selalu benci mimpi itu, karena
mimpi itu hampir membuatku kehilangan akal. Seperti mimpi tentang seorang anak
yang diculik oleh seorang ilmuwan gila, kemudian tentang monster yang sering
membuatku takut sendirian.

PadaNamun pada suatu hari, ketika aku memutuskan untuk menjauh agar orang
lain tidak mengetahui keberadaanku. S, seorang anak bernama Reina Natsuki, gadis
yang selama ini kubenci, gadis yang bahkan tak bisa mengeja namaku dengan benar,
dialah satu-satunya anak yang tetap mau bersamaku.

SaatKetika aku menanyakan alasan mengapa ia mau saja bersamaku, ia hanya


menjawab, ‘“Karena kau adalah temanku ... ,’

‘mMeskipun kau sering dianggap sebagai monster sekali pun, meskipun orang-
orang menjauhimu, aku akan terus bersamamu,’”

Aku terkesiap. Apakah ia benar-benar yakin atas keputusannya untuk tetap


berteman denganku, meskipun aku telah berubah menjadi monster sekali pun?
Thanks To...

Yang pertama dan yang paling utama, Allah Swt, karena melalui rahmat dan
karunia-Nya, saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan tulisan ini. Tak lupa juga
kepada nabi junjungan semua umat Islam, Rasulullah Saw.

Yang kedua, untuk kakak saya, Raditya Jehan Andias, karena sudah mau
meminjamkan laptopnya sebagai media untuk menyelesaikan cerita ini (Thanks ya Kak,
walaupun kita sering rebutan laptop gara-gara aku, hehe). Terima kasih juga untuk
keluarga besar saya.

Yang ketiga, untuk guru Bahasa Indonesia saya di SMAN 1 Muntilan, Dra. Puji
Handayani, M.Pd, karena beliau mau mensupport saya dalam pembuatan cerita saya ini.

Yang keempat, untuk teman-teman seangkatan saya di SMAN 1 Muntilan


(terutama untuk Genduk Nur Asrikah, makasih buat supportnya juga).

Yang kelima, untuk Penerbit Mizan Fantasi, karena mau menerbitkan karya saya.
Untuk editor, maaf kalau saya sudah merepotkan, soalnya ‘“level’” gaya bahasa saya
memang masih jauh, jauh dibawah penulis yang udah pro macam Ahmad Tohari, Eka
Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer, Andrea Hirata, Dan Brown, Haruki Murakami,
Agatha Christie, Raditya Dika, Dewi Lestari ataupun Tere Liye.

Terima kasih juga kepada pemilik blog RBTH Indonesia, yang sudah bersedia
menyediakan beberapa istilah yang belum saya mengerti. Untuk siapapun yang
mengelola

situs itu, bolshoye spasiba!

Oh iya, buat kakak-kakak mahasiswa yang kuliah di Sastra Rusia (kalo ada),
tolong kasih kritik saran ke email saya. Itu translatenya sudah benar kah? (Terus, kalo
boleh tahu, kehidupan / kultur di Rusia itu seperti apa, selain soal Kremlin, huruf kiril,
sejarah Soviet, Cheburashka dan matryoshka?) Kalau salah, ya aku minta maaf.
Maklum susah nyari kamus Rusia di kotaku. Soalnya, kamus non-Inggris yang sering
ada di toko buku itu biasanya kamus Jerman, Jepang, Korea, Mandarin, Belanda dan
Prancis.

Dan yang terakhir, untuk para pembacaku, terima kasih kalian sudah mau
menyempatkan diri untuk meluangkan waktu dan uang kalian demi ‘“memerdekakan’”
buku ini dari pajangan rak buku, di toko buku terdekat kalian. Aku harap, semoga
tulisanku ini bisa menghibur hati kalian yang sedang dirudung duka dan pilu.
Dan aku juga berharap, suatu hari kita bisa menjadi teman, walaupun kalian
mengenalku hanya berawal dari tulisanku. Akan kuhargai semua pengorbanan kalian,
karena :

Yakusoku wa mou shinai, sonna no dareka o yorokobasu tame no mono


Ima iu koto wa, ukeuri nanka janai
Yakusoku demo nai, chikai da yo
Usotsuki datta, boku ni wa modorenai1

(Tiada lagi janji, itu hanya untuk membuat orang bahagia


Apa yang kukatakan sekarang, bukanlah opini dari pihak kedua
Ini bukanlah janji, ini adalah sumpah
Aku tak bisa kembali ke diriku yang lama, yang seorang pembohong)

Ya, aku tahu ceritaku ini memang tidak sempurna. Jika tidak sesuai dengan
ekspetasi kalian, sekali lagi aku minta maaf. But at least, aku sudah berusaha
semaksimal mungkin agar kalian terhibur oleh tulisanku ini.

Salam semanis es krim vanilla dan seharum teh melati,

Raiden Yuuki aka Yustine Melinda

1
Chikai (secara harfiah berarti ‘‘Sumpah’’), dinyanyikan oleh Hikaru Utada sebagai OST Kingdom Hearts
3
Prologue : The Beginning of Nightmare

‘“Kumohon, jangan sakiti dia!”

!’
‘“Tenang saja, aku tidak akan membunuhnya. Asalkan kau mau menjadi kelinci
percobaan penelitianku, hanya itu saja.’”

PSeorang pria berpakaian serba putih itu menatap seorang sinis perempuan yang
terikat di hadapannya dengan tatapan sinisnya. TTampaknya ia ampak tak peduli
dengan rengekannnya perempuan itu untukagar ia mau melepaskannya.

‘“Lepaskan aku!!’” Perempuan itu kembali memberontak.

‘“Atau apa? Kau mau kehilangan temanmu yang malang ini?’” Pria kejam itu malah
mengancam dengan menodongkan bayonet ke kepala seorang gadis kecil.

‘“Jangan dengarkan dokter gila ini! Dia cuma menggertak!’” Teriak anak perempuan
tersebut.

‘“Diam kau!’” Pria itu menendang tawanannyagadis itu dengan keras, kemudian bersiap
mengokang senapannya.

Sudah pasti dia tidak terima dengan perlakuan kasar kepada temannya.
‘“Jika memang itu yang kau mau, baiklah ... aAku bersedia menjadi kelinci
percobaanmu itu. Asalkan kau jangan macam-macam dengan anak itu!!’”
Entah kekuatan apa yang merasuki tubuhnya, tiba-tiba gadis bertubuh tinggi itu bangkit
dari kursi yang ia duduki.

‘“Oh, jadi itu ya keinginanmu? Pilihan yang bagus. Selain itu juga, melalui kekuatan
barumu itu, aku jamin kau bisa membalaskan dendammu pada musuh yang sangat kau
benci itu, bukan?’”

‘“Ya, aku yakin!.’”

Dengan tenang, ia berdiri tegak, sementara si ilmuwan gila itu tengah


menyuntikkan sejenis cairan aneh ke lengan kiri remaja itu. Agak sakit memang, tetapi
ia lebih memilih untuk membungkamnya sendiri.

‘“Nah, bagaimana rasanya? Nyaman, bukan?’”

‘“Apanya yang nyaman?! Berani-beraninya kau menipuku! Awas, ya! Kkalau aku
berhasil mendapatka— - Aaduh, sakit sekali!’” Ia mengaduh kesakitan, merasakan sakit
di sekujur tubuhnya, terutama di bagian lengannya, karena di bagian situlah cairan aneh
tersebut disuntikkan.

Ia memegangi lengan kirinya, meringis menahan sakit. Ia hanya bisa merutuki


ilmuwan jahat yang sedang menertawakan penderitaannya.

‘“Kakak! Kau baik-baik saja kan?’” Gadis kecil itu berlari menghampiri anak
tersebut yang seperti sedang sekarat.

‘“Cepatlah pergi! Tinggalkan aku disini, aku akan baik-baik saja.,’”

‘“Tapi--‘”

‘“Tidak ada waktu lagi! Ayo cepat pergi dari sini, sebelum ia menangkapmu!’”
‘“Baiklah ....’” Dengan perasaan sedih, perempuan kecil itu langsung berlari di
antara lorong-lorong panjang sebelum sang ilmuwan menyadarinya.

Sementara itu, ia berjalan terseok-seok kepayahan, sebelum akhirnya ia terjatuh


akibatkarena kakinya dijegal oleh orang jahat tersebut.

‘“Di mana dia?!’” Si ilmuwan menarik kerah remaja perempuan itu tinggi-tinggi.

‘“Aku tidak tahu!’”

‘“Kalau begitu, katakan!!’”

‘“Sumpah, aku tidak tahu! Kau memasang CCTV, ‘kan?’”

‘“Well, kau ada benarnya juga. Kali ini, akan kumaafkan kau ... Nah, sekarang ... kKau
harus ikut menangkapnya juga!’”

‘“Bagaimana jika aku menolaknya?’”

‘“Kau akan kubunuh!!’”

‘“Ba-—baiklah ...’” Jawab gadis itu terbata.

Apa? Aku harus menangkap temanku sendiri? Ini sungguh gila! Bagaimana
mungkin aku harus menyerahkan orang yang paling aku percayai kepada orang jahat
itu? Ah, semoga saja dia selamat,... bBatinnya.

Dengan berjalan perlahan-lahan, akhirnya sang gadis keluar dari lab terkutuk itu.
Sambil menatap rembulan, ia terus berdoa, semoga dengan kecerdikan si gadis kecil, dia
bisa lolos dari tipu muslihat ilmuwan gila tersebut.

Namun, harapan hanyalah harapan. Saat melangkahberjalan di sebuah jalan yang


sepi, tubuhnya mulai mengejang karena bereaksi dengan cairan kimia tersebut.
Sepertinya zat kimia itu telah menyebar ke seluruh bagian tubuhnya melalui darahnya.

Seketika itu juga, rambut panjangnya memutih, tangannya menumbuhkan cakar-cakar


tajam, kulitnya menjadi abu-abu pucat, seluruh giginya menjadi tajam, dan matanya
berubah menjadi merah.

Setelah sempurna berubah wujud, monster itu sempat mengerang begitudengan


keras, pertanda ia ikut memburu anak malang tersebut. Ia berlari dengan sangat cepat,
sebelum akhirnya ia menghilang dibalik pekatnya malam.
Chapter 1 : The Origins

October 23 2020, 5.00 A.M.

‘“Kyaaa! Mimpi buruk itu lagi!’”

Rutukku kesal pada suatu subuh yang masih gelap gulita, karena gara-gara mimpi
tersebut, aku tak bisa tidur dengan tenang.

Baru saja aku membuka mata, sebuah nada dari telepon asrama berbunyi.
Pengurus asrama memberitahuku perihal telepon itu. Aku mulai beringsut dari selimut,
kemudian memakai kacamata yang biasa kutaruh di meja kecil, bersebelahan dengan
jam weker dan lampu tidur.

‘“Dobroye utro2, Kak Alina. Bagaimana kabar kakak manisku di Sankt


Petersburg sana? Kau pasti mimpi buruk lagi ya? Hihihi,’”

Itu adalah suara adik perempuanku.


‘“Bisa saja kau ini, Tanya. Dan ngomong-ngomong, jangan kau bilang begitu pada
kakakmu ini.’”

‘“Ehk-hem, Tatiana?’” Suara ayahku di seberang sana menginterupsi perbincangan


kami berdua.

‘“Sebentar Yah, tadi Tatiana barusan bangunin Kakak. Abis, Kakak nggak
mau bangun sih!’” Seloroh adikku.

‘“Sok tahu kamu, Tanya!!’” GGeramku.

‘“Hajar saja kalau bisa! Kau kan sedang di Sankt Petersburg, bukan di sini,
weeek!’” Itu adalah respon terakhir dari Tatiana.

2
Selamat pagi
‘“Sudahlah Alina, adikmu kan memang begitu. Lebih baik kau sarapan dulu saja.
Jam berapa kau berangkat sekolah?’” Kali ini yang kudengar adalah suara ayahku.

‘“Baik, Yah. Jam 7 baru dimulai.’”

Aku pun segera beranjak ke dapur asrama, menyiapkan segala bahan untuk
sarapan diriku sendiri. Karena malas memasak, atau ribut dengan cewek lain karena
terlalu lama memasak, aku hanya mengambil sekotak sereal dan sekotak besar susu
(hasil membeli menggunakan uang pesangon yang dikirim kepadaku tiap bulan),
kemudian menuangkan keduanya ke mangkuk.
Setelah selesai sarapan, aku mencuci piring bekas di bak cucian, baru kemudian segera
mandi, mumpung matahari belum terbit, dan anak-anak lain belum terbangun dari alam
mimpi masing-masing (hanya beberapa yang sudah bangun).

Well, mungkin aku hampir lupa mengenalkan diri. Namaku Alina Kirashenko,
(terdengar seperti nama laki-laki, karena memang mengikuti marga ayahku), tetapi
kalian bisa memanggilku Alina. Seperti yang kalian duga, aku adalah anak SMP kelas 9
yang yang yah, mau tak mau harus sekolah asrama di Saint Petersburg, kota maju kedua
di Rusia setelah Moskow. Berbeda dengan adik perempuanku yang bersekolah di SD
biasa di Yakustk, kota kecil tempat kelahiranku.

Pyuh, tubuhku rasanya segar kembali setelah mandi. Setelah mandi, dengan
segera aku memakai seragam. Tidak lupa juga aku menyisir rambutku agar terlihat rapi.

Nah, semua sudah siap. Bangun pagi, cek. Sarapan, cek. Mandi, berpakaian rapi
dan membawa buku pelajaran untuk hari ini, cek, cek, dan cek.

Sekarang tinggal berjalan kaki menuju sekolah. Puluhan mobil berlalu-lalang,


trem bergerak mengikuti jalurnya, dan orang-orang berjalan kaki untuk menempuh
tujuannya masing-masing. Itulah pemandangan di jalanan setiap hari.

Karena bangunan asrama tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya membutuhkan 5
hingga 10 menit bagiku untuk sampai ke sekolah.
Chapter 2 : The Little Troublemaker

October 23 2020, 11.00 P.M.

Di suatu siang yang begitu terik, seorang anak gadis berwajah oriental tampak
kebingungan memasuki pelataran Saint Petersburg Junior Highschool. Semua informasi
yang terpampang di sekolah, semuanya ditulis menggunakan aksara Cylliric3 ; ia bisa
mengejanya sedikit-sedikit, tapinamun tak mengerti keseluruhan isinya. TNampaknya,
ia adalah siswa pindahan dari negara lain. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan oleh
siswa baru macam dirinya.

Setelah puas bertanya sana-sini mengenai seluk beluk sekolah (dalam bahasa
Inggris, karena ), ia mulai berkenalan dengan siswa penghuni sekolah tersebut, siapa
tahu mendapat teman baru, baginya. Hingga pada saat itu juga, seorang gadis
berkacamata, rambut panjangnya berwarna coklat tua dan tampak misterius, berlalu
melewati gadis itu. Refleks anak perempuan itu langsung menanyakan nama perempuan
tersebut.

‘“Siapa dia?’” Gadis itu bertanya, dalam bahasa Inggris tentunya.

3
Aksara Rusia
‘“Si cewek kutu buku aneh yang barusan lewat itu?’” Sahut salah satu kakak senior,
dalam bahasa Inggris juga, sambil menahan tawa.

‘“Ya,’”

‘“Namanya? Alina Kirashenko. Sebaiknya kau jangan dekati dia, dia itu cewek aneh
dan kampungan.,’”

‘“Memangnya ada apa?’”

‘“Dia itu anti-sosial, tidak mau bersosialisasi dengan orang asing, apalagi dengan anak
baru sepertimu. Introvert. Orang macam dia tentu tak akan mau bersikap ramah dengan
orang asing sepertimu. Jangan harap dia akan tersenyum padamu,’”

‘“Aku tak peduli. Aku jadi ingin berteman dengannya. Justru kau itu yang aneh,
langsung menghakimi seseorang hanya dari luarnya saja,’” sahut gadis itu dengan
berkacak pinggang di hadapan seniornya, kemudian berlalu begitu saja. Diam-diam ia
mengikuti anak tersebut hingga ke lorong dalam gedung sekolah, mengamatinya yang
sedang membuka loker pribadinya, dari kejauhan.

Yah, beginilah kehidupanku di sekoah sehari-hari, sepi, semua orang sibuk dengan
urusannya masing-masing, tanpa ada yang memperhatikanku sedikitpun. Welcome
back, lonelynessy.
Daripada aku larut dalam kesedihan itu terus, lebih baik aku pergi ke perpustakaan
untuk menyepi, atau mengambil buku simpanan dari lokerku lalu membaca bukuku,
untuk sekedar menghibur diri.

Kupikir itu kesalahanku juga sih, selalu menghindari diri dari pergaulan dan curiga
terhadap orang asing, karena selalu teringat dengan nasihat orang tuaku agar aku tetap
menjaga harga diri, walau bersekolah yang jauh dari Siberia sekalipun. Agak berat
memang, namun aku juga ingin melihat dunia luar, ingin tahu seberapa luas tanah
kelahiranku ini, sekaligus mencari pengalaman baru, karena jenuh dengan kebosanan
selama tinggal di desa kecil.

Namun, di siang itu juga, aku melihat seorang gadis. Gadis itu nampak manis
dengan rambut hitam khas orang Asia, tidak seperti kebanyakan yang biasa kutemui.

Saat aku sedang menutup pintu lokerku, sebuah suara mengagetkanku.

‘“Konnichiwa4, kutu buku!!’”

Apa? Gadis itu menyapaku? Langsung muncul di hadapanku pula. Dilihat dari
penampilannya yang tampak imut dan kekanakan, sepertinya aku lebih tua 2 atau 3
tahun darinya. Kuakui, anak itu cantik sekali!

‘“Watashi wa Natsuki Reina desu, yoroshiku! 5’“ Belum sempat menanyakan


namanya, gadis itu sudah mengulurkan tangannya ke arahku. Tetapi aku menampiknya.
‘“Maaf, aku sedang tidak ingin berteman dengan siapapun,” jawabku sambil menutup
pintu loker dengan keras, kemudian pergi.

Anak yang menyebalkan, gerutuku dalam hati. Dia masih saja mengekorku dari
belakang.

“Hei, kau belum memperkenalkan diri!” Serunya sambil berusaha menjajarkan


dirinya agar berjalan beriringan denganku.

“Pergi sana, Bocah! Cari teman lain!”

“Tapi aku ingin menunjukkan padamu-“

“Biar kutebak, kau pasti mengajakku ke tempat yang membosankan, kemudian kau
memintaku untuk mendengarkan semua omong kosongmu, kan?” Jawabku dengan nada
yang sinis.

4
Sapaan ‘“selamat siang’” dalam bahasa Jepang, bisa juga berarti ‘“halo’”
5
Namaku Natsuki Reina, salam kenal!
“Oh, jadi begitu ya, caramu berteman dengan orang lain? Pantas saja kau tak pernah
punya seorang teman.”

“Aku memang sendirian dan tak mau terikat hubungan dengan orang asing sepertimu!
Dan aku tetap ingin seperti itu! Puas?”

Merasa terpancing emosinya, tiba-tiba ia menyeruak maju, memukulku di bagian


wajah. Tentu saja aku tak terima dengan perlakuan kasar dari adik kelasku sendiri, maka
aku balik memukulnya juga dengan buku tebal yang kubawa. Setelah itu, dia
menjambak rambutku. Agak sakit memang, tetapi untungnya aku bisa mengatasinya,
berkat tinggi badanku yang sekitar 20 senti melebihi tinggi badan Rei. Aku bangkit,
kemudian kucekik lehernya sambil membenturkan badannya ke loker.

Semua anak yang menonton pertunjukan gratisan tersebut, mulai bereaksi dengan
macam-macam ekspresi. Ada yang berteriak memprovokasi agar kami tetap
melanjutkan pertarungan kami, ada yang berusaha melerai kami. Sampai akhirnya guru
pun terpaksa turun tangan untuk melerai kami.

Sesuatu yang kuramalkan, akhirnya terjadi juga. Kami berdua sama-sama


mendapat panggilan untuk ‘“disidang’” oleh kepala sekolah.

Tentu saja penampilan kami berdua sama-sama tak karuan, aku memiliki luka
lebam di sekitar wajah. Tetapi Rei lebih parah lagi, rok pendeknya sobek, dan tentu saja
itu hal yang memalukan bagi perempuan, aku rasa.

Kalau saja aku tak bertemu dengannya, mungkin malapetaka ini takkan terjadi.
Aku terus yang disalahkan, sementara kesalahan Rei dimaklumi hanya karena dia adik
kelas baru.

Dunia memang tak pernah adil padaku.


Chapter 3 : Here’’s The Trouble

Saat sepulang sekolah ....

‘“Semua ini salahmu!’” Rei menyikut rusukku perlahan.

‘“Tidak, jika kau tidak memulai duluan!’” Sanggahku.

“Aku kan berniat baik padamu, kenapa kau membalasnya dengan kasar begini?” Ia
mendorongku dengan keras. Dilihat dari ekspresinya, jelas ia juga kesal terhadapku,
seperti halnya aku yang kesal terhadap sikapnya yang menjengkelkan. (menurutku).

“Masa bodoh dengan itu, Monster Pengganggu!” Bentakku.

“Kau itu yang monster!” Sahutnya.

‘“Dengarkan aku, Bocah. Masalah ini seharusnya tak akan terjadi jika kau ... Oi! Mana
kacamataku?’”
‘“Oh, kamu mencari ini, ya? Hihihi!’” Begundal cilik itu dengan bangganya
memamerkan kacamata itu di hadapanku.

‘“Hei, Bocah! Cepat kembalikan itu kepadaku!’” kKataku dengan marah.

‘“Kau menginginkannya? Cepat tangkap aku, kalau bisa! Wleek!’” Rei berlari keluar
gerbang sekolah sambil tertawa riang, sepertinya ia senang karena berhasil mengerjaiku.

‘“Tunggu saja, Nak ... Kali ini kupastikan kau tak akan bisa tertawa lagi!’”

Dengan kekuatan penuh, kupaksakan kedua kakiku untuk mengejar Rei yang
sedang berjalan santai di pinggir jalan. Walaupun sebenarnya aku sedang mengalami
suatu masalah : pandanganku terasa kabur, semua yang terlihat dari jauh tampak buram
di netraku. Apalagi jika Rei berusaha menjauh dariku, maka bayangannya akan semakin
tidak jelas.
Merasa seperti dibuntuti, ia mulai melancarkan taktik agar bisa menghindariku. Seperti
melewati gang-gang sempit, menjatuhkan tong sampah, memanjat pagar pembatas, dan
lain sebagainya.

Kau pikir, hanya karena mataku minus, aku tak bisa mengejarmu, huh?

Kuakui, gadis itu memang cukup cerdik dan telah berhasil membuatku kepayahan
dalam mengatasi berbagai hambatan yang kudapatkan, seperti menyingkirkan tong
sampah yang berserakan, berusaha membuka pintu pagar dengan meraba-raba, dan lain-
lain. Apakah ia memang sengaja mengajak main-main denganku?

‘“‘Hei, aku disini! Kau pasti mau ini, ‘kan?’”’ Anak Jepang itu berseru padaku,
sambil berdiri di pinggir jalan, seperti sedang menungguku.

Dengan napas tersendat-sendat, aku berusaha mendekatinya. Namun, Rei tidak


mengindahkan peringatanku. Dia tampak menunjukkan sesuatu yang dipegangnya
selain kacamataku. Sebuah skateboard! Aku perkirakan, dia bakal melaju dengan cepat
menuruni tanjakan dengan skateboard itu. Yang jadi pertanyaan : darimana ia
mendapatkan skateboard itu?

Benar saja, dia langsung menaiki skateboard itu, kemudian dia langsung meluncur
menuruni jalan.
Serta merta aku juga ikut mempercepat langkahku, walau aku tak peduli dengan
umpatan para pejalan kaki kepada kami berdua, karena bisa saja kami menabrak
mereka.

Yang menjadi fokusku kali ini hanyalah satu ; menangkap Rei dan memaksanya
untuk mengembalikan kacamataku itu. Walaupun lagi-lagi aku tak peduli dengan fakta
bahwa sebenarnya kami sudah meninggalkan rumah terlalu jauh, terlalu jauh hingga
melewati kawasan hutan pinus dan perkebunan yang luas.

S, sampai akhirnya kami melintasi sebuah jalan yang sebelah kirinya adalah ceruk
tebing karang, sementara sebelah kanannya berbatasan dengan laut, yang berakhir di
sebuah dermaga yang sepi, di sebuah pantai yang terpencil. Satu-satunya akses ke pantai
itu adalah jalan tadi. Nampak beberapa puing bangunan bekas pemukiman warga dan
sebuah bangunan besar bekas pabrik dengan cerobong raksasanya, serta tumpukan peti
kemas raksasa yang mulai mengarat di dermaga.

Suasananya cukup sepi dan mencekam. Aneh memang, padahal setahuku, Sankt
Petersburg itu kota yang ramai, sepertiga penduduk tinggal di sini, dan dulu sempat
dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Selain itu juga, aktivitas angkutan barang juga
sering dilakukan di pelabuhan. Namun, sejak beredarnya isu mengenai pembuangan
limbah kimia oleh sebuah pabrik di sekitar Sungai Neva, daerah bantaran sungai ini
terkena imbasnya, jadi terpaksa ditutup untuk umum, gunauntuk menghindari kejadian
yang tidak diinginkan. Jalan tersebut juga diblokir dengan papan ‘‘dilarang masuk’’
(tapinamun tetap saja kami nekat menerobos hingga ke tempat terpencil itu).
Sekarang satu-satunya yang tetap bersuara di sini hanyalah suara desir arus sungai.

TNampaknya Rei mulai terlena dengan pemandangan di depan mata kami. Waktu
yang tepat untuk ‘‘menangkap mangsa’’ku.

‘“Ha! Kamu kena!’” Dengan napas tersengal-sengal setelah pengejaran yang


cukup melelahkan, kupegang bahunya erat-erat untuk memastikan dia tak bisakan lepas
dariku.

‘“Kau curang!’” Rei berusaha menampik tanganku.


‘“Tidak, kau saja yang terlalu bodoh dalam memainkan petak umpet ini.
Permainan selesai, Tuan Puteri. Cepat serahkan kacamata itu kepadaku!’” Teriakku.

‘“Tidak akan! Asal kau mau berjanji padaku agar kau mau menjadi temanku!’”

‘“Masa bodoh, pokoknya serahkan sekarang!’”

‘“Tidak mau!’”

Kami pun kembali bertengkar lagi. Saat Rei hendak memukulku, dia pun mulai
kehilangan keseimbangan. Dengan refleks, aku pun segera menarik tangannya. Namun
terlambat. Kami semua sama-sama melewati batas jalan, kemudian jatuh terguling di
atas lereng tanah berdebu, tetapi untungnya kami semua baik-baik saja. Saat aku melihat
sekeliling, lamat-lamat sebuah taman bermain yang tak terurus terhampar di depan
kami.

Hei, sepertinya aku pernah melihat tempat ini, namun di mana? Apakah aku
pernah melihatnya sebelumnya?
Chapter 4 : Here’”s The Trouble (Part 2)

‘“Sepertinya aku pernah mengunjungi tempat ini... tapiNamun kapan?’”

‘“Hmm?’” Rei melongokkan kepalanya, tanda ingin tahu apa maksudku.

‘“Kau lihat itu?’” Aku menunjuk pada sebuah bianglala raksasa di taman bermain
tersebut.

‘“Ya, memangnya kenapa? Itu cuma bangunan bekas taman bermain, apa bagusnya?’”
Jawabnya dengan polos.

‘“Aduh, masa kau tak paham juga? Maksudku, apakah kau punya memori tentang
tempat tersebut?’”

‘“Memori? Uh, aku tak pernah mengunjungi tempat ini. Aku kan baru saja tiba di kota
ini minggu lalu,’”

‘“Bah, aku lupa soal itu.’”

Entah mengapa, aku merasa tak asing dengan tempat ini, sebuah taman hiburan
raksasa yang terletak di dekat pantai ini. Dulunya taman ini ramai dengan berbagai
atraksi, mesin yang memacu adrenalin (seperti roller coaster dan pendulum), komedi
putar, bianglala, suara pedagang popcorn, es krim dan arum manis yang menawarkan
dagangannya pada para pengunjung, dan suara riang anak-anak pada saat mereka
bermain disitu. Saat pertama kali menginjakkan kakiku ke kota ini, aku pernah ke sini,
walaupun yang kulakukan hanyalah duduk di bangku taman, menatap kerumunan orang
sambil sesekali membaca buku dan mendengarkan musik.

Namun sejak isu pencemaran limbah itu juga, tempat ini mulai sepi pengunjung,
dan akhirnya ditutup karena bangkrut. Sekarang yang tersisa di sana hanyalah
kesunyian, dan etalase bekas kios yang berserakan. Tak terasa dua tahun berselang,
tetapi tempat ini keadaannya sudah seperti di Nier Automata saja.
Bukannya pulang, kami justru menghabiskan waktu disini untuk berkeliling,
melihat-lihat untuk mengusir kejenuhan saat di sekolah tadi.

5.00 P.M.

Hari beranjak sore,. Matahari mulai condong ke barat. Oh bodohnya aku, seharusnya
pada jam ini aku sudah pulang ke asrama, kemudian makan malam, mengerjakan PR
dan tidur sesuai jadwal.

‘“Kau takut dengan tempat ini, ya? Kalau kau takut, kau pulang saja duluan.’” Saranku.

‘“Tidak, lebih baik aku menemanimu disini. Lagipula kalau boleh jujur, aku juga takut
pulang sendirian.’”

‘“Jangan konyol! Lebih baik kau segera pulang! Jangan kembali lagi kesini!’”

‘“Tapi, apa kau baik-baik saja, walaupun kau sendiri--’”

‘“Ya, aku bisa menjaga diri. Aku akan baik-baik saja. Sekarang pulanglah, tempat ini
berbahaya untukmu. Bukan berarti aku peduli padamu ya, aku cuma tidak ingin
kerepotan gara-gara mengurusi bocah ingusan sepertimu,’”

‘“Lalu, aku harus bilang apa jika ada yang bertanya tentangmu?’”
‘“Bilang saja ‘; Alina sedang mengerjakan tugas di sekolah hingga malam’,’ mudah
‘kan? Masalah selesai.’”

‘“Itu sama saja dengan berbohong!’”

‘“Masa bodoh. Pokoknya lakukan saja apa yang kukatakan barusan!’”


‘“Um, baiklah ....’” Rei akhirnya mau menurut juga.

‘“Oi, kau lupa satu hal lagi! Kembalikan kacamataku dulu!’” tTeriakku, karena aku
baru ingat alasan mengapa aku bisa terdampar sampai kesini.

‘“Iya, iya, dasar cerewet!’” sSahutnya agak kesal, ia berbalik ke arahku sambil
menyerahkan kacamataku. Kemudian ia berlalu .

6.00 P.M.

Hari berganti gelap. Mentari telah tenggelam di balik cakrawala, digantikan oleh
gemerlap kartika di langit hitam itu.

Jujur, aku merasa kesepian disini. Mungkin kalian bertanya ; mengapa kau tidak
ikut pulang bersama Rei saja?

Well, sebenarnya aku di sini karena aku ingin menyelidiki misteri tentang mimpi-
mimpi yang sering menghantuiku akhir-akhir ini. F, karena firasatku mengatakan,
semua mimpi-mimpi aneh itu sumbernya dari tempat ini. Yah, walaupun alasan yang
sebenarnya, karena aku takut dalam perjalanku pulang, aku bertemu dengan teman
seasrama, lalu ia menginterogasiku seperti polisi menginterogasi maling yang
tertangkap basah tengah merampok rumah orang.

Kupasang kembali kacamataku. Tanganku mulai menyentuh pintu pagar bercat


hitam setinggi kira-kira tiga3 meter itu, bunyi ‘“kriik...’” terdengar nyaring. Mungkin
dahulu aku harus bersusah payah membeli tiket seharga belasan rubel untuk masuk.
Namun, sekarang, aku tinggal memasukinya, tanpa ada yang menghardikku karena
masuk begitu saja.

Suasananya senyap, terlalu senyap malahan. Hanya ada suara gemericik air yang
mengalir pelan di saluran pembuangan bawah tanah, suara desir ombak, dan suara
gemerisik daun-daun kering yang diterpa oleh angin malam. Untungnya aku ditemani
oleh beberapa lampu jalanan di luar taman, sehingga taman ini tidak terkesan terlalu
suram.

Sempat takut juga, karena suasananya seperti di film-film horor, namun berkat
senter kecil yang kupegang, rasa takutku sedikit berkurang.

Kulangkahkan kakiku untuk menelusuri setiap sudut. Setiap ada sesuatu yang
tampak bergerak, segera kujauhi saat itu juga. Takutnya, jika aku menyorotkan lampu
senter secara sembarang ke ‘“sesuatu’” itu, riwayatku akan segera ‘“tamat’”.

Tiba-tiba ....

‘Dong! Dong! Dong!’

Aku sempat kaget dengan suara misterius itu. Ternyata hanya menara jam di
puncak sebuah bukit, yang berdentang sebanyak delapan kali. Pertanda sekarang sudah
pukul delapan malam. Tak terasa dua jam sudah aku berputar-putar tidak jelas disini,
hanya untuk mencari ‘‘petunjuk’’. Namun, di sisi lain ada satu pertanyaan yang
mengganjal hatiku ; untuk apa jam itu difungsikan, di tempat sepi seperti ini?

Aku tak tahan berlama-lama disini. Aku harus segera keluar dari taman ini
sekarang juga. Firasatku mengatakan, ada seseorang yang tengah membuntutiku,
tapinamun aku tak tahu siapa dia, dan apa tujuan dia untuk membuntutiku malam-
malam begini.

Segera aku berlari menyusuri lorong-lorong taman. Jejak sepatu yang tercetak di
atas lapisan debu, mengantarku ke pintu gerbang utama.

Ah, sial! Kenapa gerbangnya harus macet sekarang juga?

Kutarik terus gerbang itu. Awalnya memang susah, tetapi akhirnya mau terbuka
juga. Setelah gerbangnya terbuka, aku langsung berlari meninggalkan tempat yang
tampak angker itu.

Huft, tadi itu hampir saja.

Belum juga jauh berjalan, tiba-tiba saja aku mendengar suara gesekan daun di
sebuah semak-semak, di luar dinding pembatas taman. Di satu sisi, aku penasaran apa
itu yang tampak bergerak-gerak di semak-semak itu, tapinamun di sisi lain, jantungku
serasa mau copot dari rongganya.
Akhirnya kuberanikan diriku saat itu juga, walaupun sebenarnya di dalam hatiku,
aku takut.

Perlahan-lahan kudekati, lalu kusorotkan lampu senter, kemudian kusibakkan


semak-semak itu, dan kemudian...

‘“WUAAA!’”

Seorang gadis berteriak mengagetkanku. Ternyata itu adalah ulah Rei.

‘“REI!!!’”

‘“Hahaha, kamu takut ya, Ssenpai6?’” Rei tertawa melihat ekspresi spontanku.

‘“Aku tidak takut! Hanya terkejut saja! Dan ini bukan saatnya untuk main-main,
bocah!’” Makiku.

“Maaf ....’” Dia tampak menyesal.

“Hmm, baiklah, kali ini kumaafkan. Dan satu lagi, tolong jangan panggil aku dengan
sebutan senpai, itu terlalu menggelikan. Panggil saja aku Alina,’”

“Arina-san7... Arina-san...” Dia menggumamkan namaku berkali-kali.

Ngomong-ngomong, mendengar dia saat menyebut namaku itu terdengar sangat


lucu bagiku, karena jelas sekali kalau dia tidak bisa mengucapkan huruf ‘“L’” dengan
benar. Dan soal penampilannya, jelas sekarang penampilannya berbeda. Sekarang ia
mengenakan sweater berwarna turqouise, syal biru muda yang melingkari lehernya, dan
rok pendek berwarna biru gelap. Mungkin saja ia menyempatkan diri untuk mandi,
kemudian ganti baju dan makan malam sambil bercengkrama bersama dengan teman-
teman barunya sesama penghuni asrama putri, kemudian setelah kebahagiaan itu, diam-
diam ia menyelinap keluar. Uh, aku jadi ingin merasakannya juga, kalau saja aku tidak
terjebak dalam misteri konyol ini.

‘“Kau kan sudah kusuruh pulang, kenapa kau malah kembali?’”


6
Panggilan untuk kakak kelas
7
Panggilan untuk teman sebaya. Bisa juga digunakan untuk orang yang lebih tua
‘“Aku takut.,’”

‘“Takut apa memangnya? Takut hantu? Zaman modern kok masih percaya hal mistis
begituan,’” ledekku.

‘“I...ya,’”

Aku menepuk dahiku. Bodoh, hanya alasan begitu saja dia kembali ke sini? Dasar
anak cengeng. Akan tetapi, setidaknya dia membuatku sedikit lega, meskipun aku juga
was-was jika seandainya teman seasramaku itu kebingungan mencariku, lalu ketika aku
kembali, dia malah marah-marah, sambil bertanya segala tetek bengek kenapa aku tidak
segera pulang ke asrama.

Tiba-tiba saja, perasaanku menjadi tak enak. Sayup-sayup, aku mendengar suara
langkah kaki seseorang sedang menuju kemari. Aku tak mau mengambil resiko, bisa
saja itu adalah orang yang membuntutiku saat di bekas taman bermain tadi.

Segera kutarik tangannya, lalu kuajak bersembunyi di balik tembok. Suara


langkah kaki itu terdengar lagi, sebelum akhirnya menjauh.

‘“Sebenarnya ada apa-‘”

‘“Sshh! Diam!’” Kututup mulutnya agar ia tidak bersuara.


Dugaanku benar. Suara itu datang lagi, akan tetapi lagi-lagi suara itu hilang. Apakah ia
benar-benar telah pergi?

‘“Biar kuperiksa dulu. Kau tetap disini, jangan kemana-mana. Kalau kau merasa takut
atau menemukan hal yang aneh, segera beritahu aku, oke?’”

Dia hanya mengangguk.

Kulihat jalan di sampingku. Tampaknya aman, karena sepi.

‘“Aman!’” Kuberi isyarat pada Rei untuk mengikutiku.


Kulihat lingkungan sekitar lagi, tampaknya aman-aman saja. Seperti biasa, ia
selalu mengikuti langkahku dengan takut-takut.
‘“Di sini aman! Ayo!’”

Namun untuk kali ini berbeda. Ia hanya bengong menatapku, sambil menggumam tak
jelas.

‘“Rei? Ada apa denganmu?’”

‘“Arina-san ... I ... itu ....’” Rei mulai berceloteh tidak jelas, sambil menunjuk ke
arahku.

‘“Ada apa? Coba katakan dengan jelas?’”

‘“A...ada... bayangan... hitam...’” Katanya dengan terbata-bata.

‘“Bayangan hitam apa?’” Aku menengok ke kanan dan ke kiri, tidak ada apa-apa
disana.

Ia mulai menarik napas dalam-dalam, tampaknya ia mengumpulkan segenap


tenaga untuk mengucapkan sesuatu.

‘“ADA ORANG JAHAT DI BELAKANGMU!!’” Rei berteriak, berusaha


memperingatkanku.

Aku menengok ke belakang. Benar saja, sedetik kemudian orang misterius itu
berhasil menangkapku.
‘“REI! CEPATLAH LARI! SELAMATKAN DIRIMU!!’” Teriakku.

Rei langsung berlari. Namun, sayangnya terlambat. Ada satu ‘“bayangan’” lain
yang berusaha menghalanginya.

Sebuah saputangan yang menguarkan aroma chloroform, memberangus hidungku


dengan telak. Mataku terasa berat, aku mulai mengantuk.
Sebelum aku benar-benar memejamkan mataku, lamat-lamat aku melihat Rei
sedang digiring oleh ‘“orang’” itu, dan ia berteriak memohon agar ia dilepaskan.
Setelah itu, yang tersisa hanyalah hitam dan hitam.

Aku telah kehilangan kesadaranku. Bahkan sekarang aku tak tahu aku berada di
mana sekarang.

“Akhirnya kau sadar juga ya...”

“Huh?”

Perlahan-lahan aku mulai sadar. Kulihat, aku tengah ditempatkan dalam sebuah
sel (seperti penjara) yang menghadap langsung ke sebuah ruangan seperti lab rahasia.
Ruangan ini tampak gelap, sepertinya letak ruangan ini di bawah tanah.
Aku tak mengerti apa yang orang asing itu ucapkan padaku. Orang itu! Dia sering
muncul dalam mimpiku! Ya, si ilmuwan yang berpakaian serba putih dan sering
mengadakan eksperimen gilanya terhadap manusia. Aku tahu semua itu, karena dalam
tidurku, aku sering memimpikan hal-hal seperti ini.

Aku tidak tahu siapa namanya, tapi yang pasti dia sering hadir dalam mimpiku.

Apakah ia adalah cenayang? Ah, itu tidak mungkin. Setahuku, dari zaman tsar hingga
sekarang mana ada hal-hal berbau klenik seperti penyihir, voodoo, kutukan dan hal-hal
lain seperti itu. Itu hanya ada di dongeng-dongeng Eropa klasik zaman abad
pertengahan.

Yang jadi pertanyaan; : apakah mimpiku ini benar-benar sebuah peringatan


bagiku, tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan? Siapakah dia? Mengapa ia
selalu hadir dalam mimpiku? Apakah ia yang merencanakan semua ini?

Kebetulan saja Rei berada satu sel denganku. Ia sedang tertidur pulas di dekatku,
sepeti seekor kucing kecil yang tidur berdekatan dengan induknya. Sontak saja aku
langsung membangunkannya.

‘“Oi, bangun! Kita berada dalam masalah!’”


‘“Ada apa sih, Baniya? Kalau kau hanya main-main, aku tak mau bangun!’” Ia kembali
tidur.
‘“Bangun, bodoh! Aku bicara serius!’” Kuguncang badannya dengan keras.
‘“Huahem... Iya deh, aku bangun... Tunggu, apa?’” Ia membelalakkan matanya, karena
ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

‘“Wah, wah... Kita lihat siapa yang datang!’” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan
kami.

‘“Siapa kau? Dan apa maumu?’” tTanyaku dengan nada ketus, kemudian bersiap-
siaga, berdiri di depan Rei untuk melindunginya.

‘“Siapa orang itu, Arina...?” cicit Rei ketakutan sambil bersembunyi di balik
punggungku.

‘“Oh, jangan lancang begitu, Anak Manis ... Tenanglah, aku akan melepaskan kalian...’”

Sejenak, kami pun langsung sumingrah.

‘“Namun dengan satu syarat... Kalian harus mau menjadi kelinci percobaan dalam
bahan penelitianku ... Atau setidaknya salah satu dari kalian...’”

‘“APA?!’” Teriak kami berbarengan.

‘“Dan tentu saja, kalian tidak boleh memberitahukan ini kepada siapa pun!’”

‘“Itu namanya pemerasan! Kau tak bisa melakukan itu pada kami! Atau
setidaknya, jangan sakiti adikku!’” Bentakku marah pada pria asing tersebut, sambil
memeluk erat Rei.
Pada saat-saat seperti ini, aku harus bertindak seperti seorang kakak perempuan yang
wajib melindungi adiknya dari bahaya apapun. Dan tunggu dulu... Apakah barusan aku
mengatakan ‘“adik’”?

‘“Kisah persaudaraan yang manis, ya? Lihat saja nanti!” Tiba-tiba orang gila
tersebut membuka pintu sel, kemudian menyeretku keluar.

Kulihat Rei mulai khawatir, memohon pada orang jahat itu agar tak menyakitiku.

‘“Rei, tolong jangan menangis dulu, aku baik-baik saja... Ungh!’” Aku
didudukkan secara paksa.
‘“Jangan sakiti dia, Orang Jahat!’” Rei keluar dari sel dalam keadaan marah.
Dilihat dari ekspresinya, jelas sekali ia ingin memukul orang jahat yang ingin
menyakitiku itu.

‘“Sebaiknya kau jangan ikut campur, Anak Kecil!’”

‘“Ugh!’” Rei terhempas ke tembok.

Apa? Hanya dengan satu gerakan saja, ia mampu menepisnya?

‘“Nah, sampai dimana kita tadi?’”


Aku hanya menggeleng tak tahu.

‘“Ah! Akhirnya aku ingat juga. Apa kau siap, Anak Manis?’”

‘“Siap untuk apa?’”

‘“Ini dia...’” Ia mengangkat sebuah jarum suntik di hadapanku. Jarum suntik yang berisi
cairan berwarna kehijauan. Tentu saja aku tak mau.

‘“Kau gila ya? Aku tak mau!’” Teriakku.

‘“Kau harus mau!’”

‘“Dalam mimpimu!’”

‘“Baiklah. Jika kau tak mau... Itu berarti kau harus menggantinya dengan adikmu
sekarang juga!’”

Rei tampak meronta ketika ia diseret oleh pria misterius tersebut.

‘“JANGAN! Jangan dia! Dia itu cuma gadis lemah! Dia takkan bisa menanggung
semua rasa sakit yang akan ia hadapi!’” Semua keberanianku akhinya kukeluarkan juga.
‘“A... ri... na...’”

‘“Tidak apa-apa, Rei... Asalkan kau selamat, aku tidak apa-apa...’”

Akhirnya, jarum suntik tersebut mendarat juga di lengan kiriku.

Setelah rasa sakit yang mendera tubuhku (terutama di lengan kiri), kini yang
tersisa hanyalah kegelapan.

Dalam kegelapan tersebut, aku menemukan diriku tengah berada di hutan yang sepi,
hanya ditemani oleh cahaya rembulan.
Saat tengah berjalan sendirian, tiba-tiba aku melihat sekelabat bayangan. Bayangan
yang bergerak sangat cepat. Aku harus waspada, bisa jadi itu adalah makhluk kegelapan
yang biasa memburu mangsanya di malam hari seperti ini.

Saat aku hendak menjelajahi setiap tempat yang nampak mencurigakan,


perasaanku tak enak. Firasatku bilang, makhluk itu sedang mengawasiku. Ah, segera
kutepis pikiran itu, mungkin hanya perasaanku saja, hiburku dalam hati.

Sesuatu diluar dugaan terjadi. Dengan secepat kilat, makhluk itu menerkamku! Dengan
cakar tajam dan gigi runcingnya, ia mengamuk, berusaha untuk menggigit leherku,
disertai dengan suara desisannya. Namun aku berpikir, aku harus lebih pintar darinya.

Kutendang perut makhluk tersebut. Ia tampak mengerang kesakitan.


Kumanfaatkan peluang tersebut untuk berlari sejauh-jauhnya.

Akan tetapi... O-ow! Aku terpojok! Di depanku adalah sebuah jurang yang
menganga lebar dan sangat dalam. Nyaris saja aku terjatuh. .

Namun masalah baru muncul lagi. Makhluk itu segera menyusulku, seolah ia tahu aku
sedang berada di sini.

Pada saat-saat seperti ini, aku merasa seperti memakan buah simalakama ; jika aku diam
saja, aku akan mati dimangsa olehnya, namun jika aku melompat turun untuk
menghindarinya, maka sama saja, karena aku akan mati juga.
Makhluk itu mendekatiku. Sepintas ia terlihat seperti manusia, akan tetapi ia lebih tepat
disebut sebagai ‘“monster’”, karena dilihat dari wajahnya saja, sepertinya ia bernafsu
ingin mencabik-cabik dagingku saat itu juga.

Maka kuputuskan untuk mengambil pilihan kedua. Akhirnya aku nekat terjun. .
Walaupun itu terkesan seperti bunuh diri, tapi setidaknya aku bisa lolos dari makhluk
tersebut.

Chapter 5 : Where Am I? What Should I do Now?

‘“Wuaaaa!’”

Aku terbangun karena mimpi terjatuh ke jurang. Kesadaranku mulai pulih. Sinar
matahari menembus melalui celah-celah kecil di sebuah ventilasi besar dekat langit-
langit ruangan. Malam telah berganti menjadi pagi. Aku tak tahu sekarang aku berada di
mana, sampai kulihat sekeliling sehingga bisa kusimpulkan kalau aku disekap di sebuah
gudang penyimpanan bekas sebuah pabrik tua. Ruangan ini cukup besar, banyak karung
dan kayu berserakan, penuh debu dan sarang laba-laba di berbagai sudut.

Hei, perasaan semalam tadi aku masih berada di lab, lalu mengapa di pagi ini,
aku berada di gudang? Pasti ada seseorang yang memindahkanku ketika aku tertidur,
namun siapa? Dan untuk apa?
Lebih buruknya lagi, Rei tidak berada dalam ruangan yang sama denganku, tidak
seperti semalam tadi. Itu artinya, aku harus segera mencarinya, karena bisa jadi ia
berada dalam masalah yang cukup serius. Aku khawatir, Rei menjadi kelinci percobaan
berikutnya setelah aku.

Yang jadi pertanyaan : bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini? Semua
pintu terkunci, tidak ada jendela untuk memanjat, satu-satunya lubang hanyalah
ventilasi itu. Semakin kecillah harapan untuk kabur dan menyelamatkan Rei.

Aku sadar, seharusnya pada pagi seperti ini, aku sudah harus berada di sekolah,
menyimak pelajaran dari guru.

Di saat seperti ini, sebuah benda mengilap, namun menyilaukan (karena benda itu
memantulkan cahaya matahari) menarik perhatianku. Sebuah cermin besar yang
tergantung di dinding. Sejenak, kulihat penampilanku di cermin itu. Seorang perempuan
berkacamata minus 2 dioptri dengan bingkai metal tipis, berumur 15 tahun (tapi banyak
yang sering mengira aku sudah SMA, bahkan mahasiswi karena tinggi badanku),
dengan baju yang sama saat pertama kali bertemu Rei, namun sekarang tampak dekil
dan lusuh, dan rambut panjang berwarna coklat tua yang acak-acakan. Itulah yang
kulihat di bayangan cermin saat ini.

Namun, saat aku balik badan sejenak dan menatap cermin kembali, tiba-tiba saja
bulu kudukku meremang. Karena yang kulihat kali ini bukanlah bayangan diriku lagi,
namun sesosok wanita monster dalam mimpiku semalam yang cukup mengerikan.
Sekilas penampilannya mirip denganku, namun bedanya ia memiliki rambut putih dan
kulit abu-abu pucat (dan tentu saja ia tidak memakai kacamata, tidak sepertiku).
Yang lebih seramnya lagi ; tangannya memiliki cakar-cakar tajam, kulitnya tampak
mengelupas dan mengeluarkan nanah yang membusuk, giginya runcing semua, dan ia
juga memiliki mata dengan iris merah darah!

Ia menyeringai ke arahku. Seluruh tubuhku seakan telah mati rasa. Kakiku terasa
berat dan kaku, tak bisa melangkah mundur. Lidahku kelu dan bibirku tertutup rapat, tak
bisa mengucapkan sepatah kata pun. Apalagi ketika ia membuka mulutnya lebar-lebar,
bersiap untuk menerkamku. Air liurnya tampak menetes dari sela-sela gigi taringnya.
Ditambah lagi, tangan dan kuku-kuku tajamnya berlumuran darah juga, seolah ia baru
saja membunuh seseorang. Sungguh pemandangan yang cukup membuatku mual saat
melihatnya. Ketika ia maju menyergapku, kontan saja aku langsung berteriak sambil
memejamkan mataku.

Ketika aku membuka mataku, aku baru sadar kalau itu tidak benar-benar terjadi.
Aku menengok kembali ke cermin, sekarang kembali ke bayanganku sendiri. Aku pun
langsung mengucap syukur kepada Tuhan. Puji Tuhan, aku masih hidup.

Positive thinking, mungkin saja itu hanyalah halusinasiku akibat


claustrophobiaku.

Aku harus segera bersiap siaga. Sekarang ada masalah baru lagi. Grendel pintu
yang terkunci di hadapanku, tampak bergerak-gerak. Jangan-jangan itu adalah penjahat
yang sedang memeriksa keadaanku. Jika memang benar, maka mau tak mau aku harus
membuatnya roboh dengan kemampuan beladiri yang sempat kupelajari di SD dulu.

Grendelnya mulai berhenti bergerak. Suara ‘ceklekceklek’ mengiringi terbukanya


pintu tersebut. Bukan sosok penjahat seperti yang kubayangkan, namun seorang anak
gadis berambut hitam legam khas orang Asia, rambutnya dikuncir seperti ekor kuda,
masih memakai baju yang sama ketika kami bertemu malam tadi, dengan jepit rambut
batang di tangannya.

Reina!

Tak kusangka, bocah yang selama ini kubenci, mau saja bersusah payah datang
untuk menyelamatkanku.

‘“Kau tak apa-apa, Arina?’” Dia langsung memelukku.

‘“Ya, aku tak apa-apa. Ngomong-ngomong, kau dari mana saja?’” Tanyaku penasaran.

‘“Ya sama sepertimu, disekap dalam ruangan.’”

‘“Lalu bagaimana kau bisa kabur?’”

‘“Semua berkat benda mungil ini, hihihi. Seharusnya penjahat itu berpikir dua kali
untuk menjebakku.’” Rei memasang kembali jepit rambutnya ke rambut bagian dekat
telinga.
Ah, aku mulai mengerti. Rei menggunakan ujung jepit yang runcing itu untuk
mengorek-orek lubang kunci agar pintunya bisa terbuka.

‘“Oh iya, bagaimana kau bisa tahu kalau aku di sini?’”

‘“Emm, dari suara teriakanmu. Sudahlah, ayo kita pergi dari sini! Jika kita berlama-
lama disini, kita akan semakin terjerumus dalam bahaya!’”

Dengan segera aku berjalan di depannya. Di saat-saat tertentu, kami harus selalu
waspada, bisa jadi ada penculik yang mau menculik kami, atau setidaknya salah satu
dari kami.

Seperti main film tentang agen rahasia saja, batinku.

‘“Kali ini kita harus serius, Rei.’”

‘“Hmm?’”

‘“Ini masalah tentang strategi kita.’”

‘“Memang ada masalah apa? Kenapa tiba-tiba wajahmu tegang seperti itu?’”

‘“Jika seandainya aku tertangkap-‘”

‘“Aku takkan membiarkanmu tertangkap oleh penjahat itu. Kita semua akan keluar dari
tempat sunyi ini, apapun yang akan terjadi, ya kan?’” potong Rei.

‘“Dengarkan aku dulu! Jika aku tertangkap, aku minta padamu untuk segera lari. Segera
menjauh dari sini. Tolong jangan pedulikan aku.’”

‘“Tapi sungguh aku mengkhawatirkanmu! Bagaimana jika kau terluka? Bagaimana jika
kau mati?’”
Aku terdiam sejenak, ucapan Rei ada benarnya. Baru pertama kalinya dalam
hidupku, ada orang yang mau mengkhawatirkanku, selain keluargaku. Sementara itu,
sejak kecil aku telah didoktrin untuk menghindari orang asing. Bahkan untuk tersenyum
padanya juga tidak boleh. Itulah mengapa, aku sering bersikap kasar pada Rei, karena ia
adalah orang asing bagiku8.

Perasaanku mulai tak enak, aku merasa ada seseorang yang sedang menguping
pembicaraan sekaligus mengawasi kami. Serta merta kuajak Rei untuk segera
meninggalkan tempat ini.

“Hei, apa kau punya tali, pita, atau sesuatu yang bisa dipakai untuk mengikat
sesuatu?” Tanyaku ketika kami berada di pinggir jalan.

“Untuk apa memangnya?”

‘“Aku akan mengikat ujungnya di tanganmu, kemudian ujung yang satunya lagi akan
kupegang. Kau tak perlu mengayunkan kakimu lagi, cukup pegang saja talinya, biar aku
saja yang menarikmu.’”

‘“Ide bagus, tapi...’”

‘“Tapi apa? Kau tak punya?’”

‘“Sayangnya, iya.’”

‘“Lalu, yang di lehermu itu apa?’”

‘“Oh iya juga, mengapa aku tak kepikiran dari tadi?’”

Nasib baik. Kugunakan syal miliknya Rei untuk menariknya. Sekarang ia cukup
berdiri di atas skateboardnya, karena aku yang akan menariknya dari atas.

8
Karakter orang Rusia pada umumnya cenderung kasar, menutup diri, selalu menaruh curiga terhadap
orang asing, dan jarang tersenyum kepada orang yang baru dikenalnya. Namun sisi positif mereka yaitu
memiliki ketertarikan terhadap literasi (Asa’”ud Muhammad, 2014:134)
Belum jauh kami berjalan, hal yang tak kuinginkan terjadi lagi. Orang misterius
itu mengejar kami lagi! Tentu saja kami langsung panik, apalagi Rei. Dia tampak
bersusah payah menjaga keseimbangan ketika melewati jalan yang menanjak di tengah.
Begitu juga denganku, tak peduli seberapa cepat aku berlari, tetap saja terlihat lamban.

‘“Aduh! Tunggu aku!’” Ternyata Rei tertinggal jauh di belakang, lututnya tampak
lecet dan berdarah karena ia terjatuh dari skateboardnya. Itu adalah reaksi dari sobeknya
syal Rei karena tidak kuat menanggung berat badannya.
Segera aku berhenti, berlari menghampirinya, lalu kugandeng tangannya. Karena belum
siap, skateboardnya meluncur begitu saja, menuruni tanjakan.

‘“Skateboardku!!’” Teriaknya, tampaknya ia tak rela melepaskan benda


kesayangannya.

‘“Lupakan skateboardmu sejenak saja. Nyawamu lebih penting.’” Kataku sambil


menggandeng tangannya, mengajaknya untuk segera berlari.

Akan tetapi, sebuah keajaiban terjadi. Orang misteius yang tadinya ingin mengejar
kami, jatuh terpeleset karena menginjak papan skateboard itu, ketika ia berusaha untuk
menaiki tanjakan, untuk menggapai kami.

‘“Hahaha! Lihat, dia terjatuh!’” Rei tertawa mengejek orang itu.


‘“Jangan senang dulu! Pegangan erat-erat!’” Aku mulai ‘“mengebut’” dengan kecepatan
penuh.

Tujuanku kini berubah ; kembali ke kota secepatnya, lalu melapor pada polisi
dengan alibi bahwa ada pedofil yang mau menculik anak gadis seperti kami.

Ah, mengapa jalan ini terlalu panjang? Umpatku dalam hati. Baru saja berhasil
menaiki tanjakan, tetapi kakiku mulai pegal, sementara kami harus melalui ladang orang
dulu sebelum sampai ke kota. Aduh, itu kan jaraknya masih beberapa kilometer lagi!
Bisa-bisa aku pingsan duluan, ditambah lagi jalan ini memiliki banyak tanjakan. Aku
harus istirahat dulu, namun sebelumnya aku harus mengecek situasi dan kondisi.

12.00 P.M.

‘“Bagaimana keadaan di belakang?’”


‘“Aman! Tidak ada ancaman apapun!’”

Kami berhenti sejenak, memasuki hutan sedikit jauh untuk bersembunyi sekaligus
mengobati lukanya Rei.

‘“Boleh kulihat lukamu?’”

‘“Tidak mau! Pasti sakit.’” Rei menyembunyikan lukanya.

‘“Hei, tidak apa-apa. Sini, akan kuobati lukamu.’”

Pada awalnya ia bandel, tapi akhirnya ia mau menurut juga. Kubersihkan lukanya
dengan alkohol yang kebetulan kubawa di tas. Permasalahan mulai muncul ketika aku
tak menemukan perban sehelaipun. Serta merta kusobek lengan bajuku di bagian kanan
untuk membalut lukanya.

‘“Oi! Kenapa kamu menyobek bajumu sendiri?’”

‘“Kau mau lukamu cepat sembuh atau tidak?’”

‘“Uh... Iya.’”

Matahari berada di tengah langit. Cuaca hari ini tidak terlalu panas, langit terlihat
cerah, dan angin meniup rambut kami dengan lembut. Karena sekarang musim gugur,
jadi udaranya cukup sejuk.

‘“Rei, kita harus segera pulang,’”

‘“Auw!’” Rei mengaduh kesakitan ketika ia mencoba untuk berdiri.

‘“Oh, aku hampir lupa, kau sedang terluka. Kau disini dulu ya? Jangan banyak
bergerak. Aku akan mencari bantuan, agar ada yang menjemputmu.’”

‘“Tapi aku takut ditinggal sendirian!’” Rengeknya.


‘“Baiklah, aku akan menuntunmu.’”

Kupegang tangan kanannya, dia berjalan agak pincang. Kalau begini terus, akan
ada banyak waktu yang terbuang. Untungnya aku diberkati dengan fisik yang lebih kuat
darinya, jadi aku mampu menggendong badan kecilnya itu.

Saat kembali ke tepi jalan, ia kembali merengek.

‘“Arina-san, aku lapar...’”

‘“Tidak bisa, Rei. Kita harus cepat sampai di rumah. Kalau kita bisa pulang, kau boleh
makan sepuasnya,’”

‘“Tapi aku belum makan seharian!’”

‘“Ya, ya, ya, jangan kemana-mana dulu, akan kucarikan makanan. Dan jangan lupa, jika
penjahat itu muncul kembali, segera beritahu aku ya?’” Aku mengalah untuk kedua
kalinya. Aku kembali memasuki hutan, sambil menenteng botol minum besar untuk
menampung air bersih.

Mengapa aku mau saja menolong Rei, walaupun sebenarnya aku membencinya
(karena dia orang asing bagiku)? Karena untuk saat ini, satu-satunya teman yang bisa
kupercayai hanyalah Rei. Selain itu juga, dialah yang membebaskanku ketika aku
disekap dalam gudang tadi.

Berada dalam hamparan ladang yang homogen ini, tentu sulit untuk mencari
makan. Sepanjang perjalanan, yang kutemui hanyalah deretan gandum dan pepohonan.
Akan tetapi, setidaknya aku menemukan sebuah sungai besar yang airnya jernih, bahkan
kau dapat melihat dasar sungai tersebut. Biasanya sering ada ikan di sungai. Menurut
kalkulasiku, beberapa ekor ikan ditambah dengan kumpulan batu dan kayu kering,
mungkin sudah cukup untuk mengisi perut kami hingga semalaman.

Kucari kayu yang ujungnya runcing, untuk menombak ikan. Awalnya memang
susah untuk mencari posisi yang tepat, namun akhirnya aku berhasil mendapatkan 3
ekor ikan. Tak lupa juga aku mengisi botol minumnya sampai hampir penuh dengan air
sungai. Sekarang tinggal mencari kayu bakar, dan semua akan selesai.
Kembali ke Rei, dia hanya melongo ketika kubawakan ikan dan air minumnya.

‘“Tunggu disini, akan kubawakan kayu bakarnya. Tolong jaga barang bawaan kita
ya?’”

Dia hanya mengangguk, meski ia tak mengerti.

Lagi-lagi aku kesulitan. Hari ini, aku hanya bisa menemukan beberapa batang
kayu kecil. Saat aku hendak mengumpulkan kayu, tiba-tiba saja aku merasakan sakit di
lengan kiriku.

‘“Aduh!’” Kusentuh lengan kiri di bagian atas. Kusibakkan lengan seragamku


yang masih utuh. Sedetik kemudian, alangkah terkejutnya aku. Bekas suntikan itu
membentuk pola menyebar dengan warna agak kehitaman. Bekas itu juga yang
menyebabkan rasa sakitku ini.

‘“Aah... Sakit sekali!!’” Rasa sakitku semakin menjadi-jadi. Rei yang mendengar
suaraku itu, langsung tergopoh-gopoh menghampiriku, seolah ia lupa dengan luka di
kakinya.

Aku hanya bisa merintih kesakitan sambil berguling di atas tanah, memegangi
lengan kiri dengan tanganku yang satunya.

8.00 P.M.

‘“Hei, apa kau tidak apa-apa?’”

Seorang anak perempuan duduk di sampingku. Perlahan-lahan, semua tampak


jelas. Tentu saja ia adalah Rei. Ia tengah menempelkan kain basah ke dahiku.

‘“Aku ada di mana? Kenapa langitnya tampak gelap?’” Itulah pertanyaan


pertamaku setelah siuman.

‘“Tadi sore, aku melihat kau teriak-teriak kesakitan waktu mencari kayu, setelah itu kau
langsung pingsan. Tadinya aku ingin langsung meninggalkanmu, tapi aku tak tega
meninggalkanmu sendirian di sini. Makanya kutunggu saja sampai kamu sadar. Maaf,
jika aku terlalu menyusahkan bagimu.’” Rei menundukkan kepalanya sebagai tanda
penyesalan.

‘“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kau tidak apa-apa,’” Kuelus
kepala gadis itu dengan telapak tanganku, dia hanya tersipu malu.

‘“Well, tentang makanan dan api unggun ini... Apa kau yang menyiapkan semua
ini?’” Selidikku.

Dia membalas pertanyaanku hanya dengan anggukan kepala, karena mulutnya


sedang asyik mengunyah ikan tersebut.

‘“Anak pintar,’” kali ini aku memuji kecerdikannya. Dia tersipu sekali lagi.

‘“Oh iya, Rei...’”

‘“Ada apa?’”

‘“Kau ingat dengan pesanku tadi?’” Tiba-tiba aku teringat sesuatu, karena merasa ada
yang kurang beres disini.

‘“Pesan apa?’” Dia tampak linglung.

‘“Aduh, masa kau tak ingat, sih?! Kan sudah kuberitahu, lebih baik kau segera
pergi saja. Kenapa malah jadi menungguku sadar sampai malam begini? Apa kau tidak
ingat dengan ucapanmu sendiri? Dan satu lagi, apa kau melihat penjahat itu? Jika ya,
kenapa kau tak menyelamatkan dirimu saja, dasar bocah naif!’”

‘“Penjahat? Penjahat apa? Aku tak melihat siapapun selain kita disini! Sumpah!
Itulah mengapa aku masih tetap disini, untuk menjagamu! Seharusnya kau pikirkan itu,
dasar tak tahu terima kasih!’” Rei balik marah padaku.

Aku terdiam, untuk kedua kalinya ucapannya benar. Dibalik sifatnya yang usil,
manja, cerewet dan menyebalkan itu, sebenarnya dia anak yang baik. Buktinya dia
sudah membantuku untuk kabur dari tempat seram itu, sampai rela bermalam di hutan
ini hanya demi menjagaku dikala aku pingsan.

Aku tersenyum, menatap ribuan bintang di langit sana.


Dan... Hei! Mengapa aku bisa melihat kerlip cahaya bintang itu dengan jelas, padahal
aku sedang tidak memakai kacamata sedikitpun sejak aku terbangun? Ditambah dengan
luka di pelipisku karena dipukul oleh Rei 2 hari lalu, kini telah sembuh, tanpa
meninggalkan bekas luka sedikitpun. Aku tahu itu karena aku sempat membuka
perbannya di hadapan gadis kecil ini.

‘“Oi, kenapa kau tersenyum? Pipimu terlihat memerah tuh,’” tanyanya.


‘“Kau tak perlu tahu.’”
‘“Lalu, kenapa kau tidak memakai kacamatamu itu? Bukankah itu alasan utama kita
bisa tersesat sampai sini?’”
‘“Entahlah, aku juga tidak tahu,’”

‘“Arina, tanganmu!’” Rei terkejut sambil menunjuk ke tangan kiriku.

Dia benar! Tangan kiriku mulai merasakan hal aneh ; kulitnya perlahan memucat
dan kuku tajam mulai mencuat dari kelima jemariku. Kontan saja Rei langsung menutup
mulutnya, dia tampak ketakutan ketika aku berusaha mendekatinya.

Karena melihat air muka Rei yang ketakutan, maka akhirnya kuputuskan untuk
menjauhinya.

Aku berlari menyusuri hutan belantara di tengah malam, tanpa mempedulikan


kelamnya malam, semak-semak yang menghalangi langkahku, suara binatang malam
yang menyeramkan, rasa sakit di sekujur tubuh, serta teriakan Rei yang tengah
mencariku.

Rasa sakitku semakin menjadi-jadi, bahkan gejala aneh itu mulai menyebar ke bagian
tubuhku yang lain.
Sekarang tujuanku berubah lagi : bersembunyi sampai akhirnya ia bosan mencariku,
lalu ia pergi meninggalkan hutan ini, untuk pulang ke asramanya.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku terlalu kejam, meninggalkan bocah itu di hutan
sendirian, malam-malam pula.
Tetapi demi kebaikannya, aku akan menjauhinya, karena aku takut dia berada dalam
bahaya jika terus bersamaku.

‘“Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi!’”


Akhirnya aku menemukan persembunyian yang tepat. Sebuah rumah tua di tengah
hutan.

Namun ketika aku hendak memasuki rumah itu, seseorang tampak


‘“menyambutku’”. Dia membekapku dari belakang, menarikku paksa ke dalam rumah
tua itu, menutup kedua mataku dengan kain hitam. Aku sudah berusaha untuk melawan,
namun sia-sia.

Nampaknya ia mendudukkanku di sebuah kursi, kemudian aku diikat dengan


kencang.

‘“Kau datang lagi ya?’” Sebuah suara menyapaku lagi.


‘“Siapa kau?’” Selidikku.
‘“Soal siapa diriku, itu bukan urusanmu.’”
‘“Jadi, kau yang-?’” Kalimatku terpotong.
‘“Benar. Aku yang telah menyuntikkan serum itu ke lengan kirimu! Kau merasakannya
sendiri, bukan?’”
‘“Aku akan melaporkanmu pada polisi!!’” Gertakku.

‘“Hohoho, kau takkan pernah bisa melakukannya, Nak. Kecuali jika kau berhasil
lolos dalam ‘“ujian’” yang aku berikan padamu ini.’”

Ia menyelipkan beberapa ikatan kain di mulutku sampai penuh, bahkan aku sama
sekali tak bisa mengatupkan rahangku karena kain yang mengganjal tersebut.

Aku berusaha memberontak, dan memberontak, sampai akhirnya aku mulai


mengantuk, lagi-lagi karena aroma chloroform itu. Uh, aku benar-benar benci aroma itu.
Ia langsung menendang kursi tempat aku diikat dengan kerasnya.

‘“Selamat tidur, Gadis Cantik! Mimpi yang indah!’” Lagi-lagi orang misterius itu
berlari meninggalkanku sendirian di rumah tua ini, membuat kesan bahwa ia tak ingin
bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia perbuat kepadaku.

Aku cuma bisa tersiksa semalaman di rumah itu. Seluruh tubuhku diikat, mataku
ditutup, belum lagi mulutku disumpal dengan kain, membuatku susah untuk
mengeluarkan suara.

Hingga lagi-lagi dalam kegelapan, aku menemukan diriku sedang berada di kota
yang sunyi. Tak ada siapa-siapa di sana. Hingga akhirnya aku berjumpa dengan adik
perempuanku yang tampak terluka. Aku ingin menolongnya, namun tiba-tiba saja ia
memintaku untuk segera pergi dari tempat itu.

‘“Tolong...’” rintihnya.
‘“Apa yang bisa kubantu, Tanya?’”
‘“Kumohon, Kakak cepat pergi dari sini!’”
‘“Aku? Pergi? Bagaimana dengan kau? Kalau begitu ayo kita pergi!’” Segera
kugandeng tangan adikku, untuk mengajaknya pergi bersamaku.
‘“Tidak, Kak... Aku sudah tak punya harapan untuk hidup lagi...’”

‘“Apa? Kau pasti bercanda kan? Ayo pergi selagi masih ada kesempatan!’”
Kuajak ia berlari menjauh, namun ia tetap menolak.
‘“Tidak bisa... Ia akan segera datang...’”
‘“Hah? Siapa maksudmu?’” Aku tak mengerti dengan ucapannya.
‘“DIA DATANG! DIA DATANG!‘” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, tiba-tiba
saja sebuah tangan dengan kuku-kuku tajamnya menggores perut adikku hingga
berdarah.

Setelah itu, aku melihat sekelabat bayangan melompat-lompat di puncak gedung,


hingga akhirnya ia berdiri di atas puncak Katerdal Kremlin. Cahaya bulan purnama
semakin memperjelas wujudnya.

Sekali lagi kutegaskan, ‘“perempuan’” itu memang mirip sepertiku, namun ia


memiliki rambut putih panjang, kuku tajam, giginya runcing semua, serta iris merahnya
yang bersinar. Sorot matanya seperti dengan penuh amarah dan kebencian yang
ditujukan padaku. Dan kalau boleh jujur, penampilannya terkesan agak vulgar bagiku,
karena lebih banyak memperlihatkan kulit abu-abu pucatnya ketimbang kain perban
yang menutupi tubuhnya. Kulitnya ada yang mengelupas di beberapa bagian di wajah,
punggung, dada dan kakinya (bahkan lukanya ada yang sampai bernanah). Namun yang
paling membuat badanku ngilu adalah, bagian lengan, leher dan kakinya dijahit
menggunakan benang merah, yang memperkuat kesan ‘“boneka mayat hidup’”nya.

Aku terlambat. Monster itu datang lagi!

Ketika aku bersiap untuk mengajaknya pergi, tiba-tiba makhluk itu menendangku
dengan posisi lututnya menjegal perutku, kemudian ia mencekik Tatiana.
‘“Cepatlah pergi, Kak... Sebelum ia mengincar-’” belum selesai kalimatnya,
monster tersebut sudah merenggut nyawa adikku yang malang tersebut. Tanpa belas
kasihan, ia menggerogoti perutnya sampai ususnya terburai. Sungguh pemandangan
yang mengerikan. Tadinya aku ingin menolongnya, namun karena rasa takutku,
kuputuskan untuk berlari saja.

Sebuah suara mengusikku, ‘“Apa kau berusaha kabur dariku?’”


Namun kuabaikan saja suara tersebut sambil terus berlari.

Setelah lama berlari, yang kutemukan hanyalah sebatang besi panjang. Kugunakan besi
panjang tersebut untuk mempertahankan diri.

‘“Apa kau takut terhadapku?’” Bisikan tersebut mengusik mentalku kembali.


‘“Tidak! Aku takkan takut! Kau hanyalah bayangan kan!?’” Aku bersiap-siaga dengan
tongkat besi di tanganku.

Sebuah kabut hitam pekat muncul di hadapanku, kira-kira jaraknya 20 meter dari
tempat aku berdiri. Kabut tersebut kemudian berubah menjadi sosok monster tadi.

Ia berjalan perlahan untuk mendekatiku, dengan aura kegelapan yang pekat. Aku
takut bukan main. Nyaliku langsung ciut, lenyap begitu saja. Jantungku berdetak
kencang, seperti saat lari sprint. Aku hanya bisa menggenggam erat batang besi, bersiap
untuk menikam dada atau menusuk rongga matanya jika ia macam-macam denganku.

‘“Apa kau masih ingat aku, Alina?’” Untuk pertama kalinya, aku melihat
bayangan tersebut berbicara padaku.
Hah, apa? Bagaimana ia bisa tahu namaku?

‘“Kenapa kau memegang besi karatan itu? Apa karena kau takut denganku,
dengan bayanganmu sendiri?’”

‘“SUDAH CUKUP BICARANYA!!’” Aku sudah tak tahan lagi mendengar


suaranya.
‘“Kau sudah membuatku gila, kau telah membunuh adikku! Kau memang tak punya
perasaan! Sudah saatnya aku harus mengakhirimu!’”
Dengan amarah yang berapi-api, aku berlari, sambil mengayunkan tongkat
tersebut.
Namun sayangnya, aku meleset, karena ia bisa mengelak dengan sangat cepat.

Dengan sekejap mata, tiba-tiba makhluk tersebut bergerak cepat ke arahku. Hanya
dengan mengayunkan cakarnya tanpa menyentuhku saja, dia sudah membuatku terluka.

Aku harus mundur dulu. Ada darah yang mengalir cukup banyak dari luka di
perutku.

Ah, sial. Dia seperti membaca isi pikiranku. Baru saja ingin bersembunyi, dia
sudah bergerak cepat untuk menerkamku. Jelas aku tak bisa berkutik. Tubuhnya yang
lebih besar dariku sedang memepet badanku ke tembok sebuah bangunan besar agar aku
tak bisa kabur lagi. Kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku dengan erat,
selain membuatku tak bisa bergerak, kuku-kukunya juga menambah perih kulitku.

‘“Sudah jelas, kan? Sampai kapanpun kau takkan bisa menghindariku?’”

‘“Uff!’” Kakiku berusaha meraih batang besi yang tergeletak di tanah. Namun
lagi-lagi dia membaca pikiranku. Dia menendang besi itu, sehingga menggelinding
menjauh dariku, diiringi dengan suara besi berkelontang.

‘“Camkan baik-baik, Gadis Lugu. Sampai kapanpun kau takkan bisa


menghidariku, kau takkan bisa lari dari bayanganmu sendiri, karena aku adalah bagian
dari dirimu,, dan kau adalah bagian dari diriku... Kau takkan bisa menyangkal itu...’”

‘“Bicara apa kau ini?! Tentu saja aku takkan mempercayai semua omong kosong-
hnghh!’” Kalimatku belum selesai, namun ia sudah mencekikku, sehingga aku tak
mampu berkata-kata lagi. Kedua tanganku berusaha memberontak agar tangannya lepas
dari leherku, namun dia malah semakin mempererat cengkeramannya.

‘“Kau ini, memang tidak pernah berubah ya... Selalu keras kepala, seperti
biasanya...’” Ia mulai menumbuhkan cakar tajamnya.

‘“Sudahlah, sepertinya kau memang tidak bisa diajak bernegosiasi... Sebaiknya


aku memakanmu saja, berhubung aku masih lapar...’” Ia membuka mulutnya lebar-
lebar, memperlihatkan deretan giginya yang tajam semua, yang mampu membuat anak
kecil manapun akan menangis ketakutan begitu melihatnya. Air liurnya menetes ke
tanah.
Ia mengendus-endus, lalu ia menjilati wajah dan leherku, membuatku semakin
bertambah jijik padanya. Langkah selanjutnya, ia menggigit leherku dengan brutal.
Darah langsung mengucur deras dari luka di leherku yang semakin menganga lebar.
Aku hanya bisa pasrah.

Berikutnya, ia langsung mencabik-cabik tubuhku, kemudian mulai menggigiti isi


perutku.

Pada malam itu, aku hanya bisa meronta kesakitan, layaknya mangsa yang sedang
dimakan hidup-hidup oleh predatornya.

Sepertinya, aku telah dibunuh oleh bayanganku sendiri.

Chapter 6 : Did I Look Like a Monster?

‘“Hiyaaaaa!’”

Lagi-lagi Sang Surya membangunkanku dari tidur. Sinarnya yang lembut menyentuh
pipiku.

Aku terbangun dari mimpi mengerikan tersebut. Masih untung itu hanya mimpi,
walaupun terasa nyata bagiku.

Aku merasakan sebuah ikatan kuat mengekang tubuhku. Setelah susah payah
melepaskan ikatannya dan kain yang memberangus mulutku (aneh, aku bisa memutus
talinya, padahal aku tidak membawa pisau lipat sama sekali), kemudian aku langsung
bangkit.

‘“Di manakah aku ini?’” Aku berbicara pada diriku sendiri, karena aku sadar,
tidak ada siapapun disini selain aku.

Aku berjalan menyusuri ruangan dalam rumah itu dengan meraba-raba (karena
kedua mataku masih tertutup oleh kain), sampai (lagi-lagi) aku meraba sebuah
permukaan kaca yang mengilap. Aku perkirakan, itu adalah sebuah cermin besar yang
tergantung di sebuah dinding. Mungkin rumah ini dulunya dihuni oleh seseorang,
namun sekarang rumah ini ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.

Karena penasaran, kudekati cermin itu. Kemudian kubuka kain hitam yang
menutupi netraku.
Kini semuanya tampak jelas.

Sedetik kemudian...

‘“KYAAAAAAAA!’”

Aku berteriak keras.

Monster itu adalah diriku sendiri!

Lihatlah, penampilanku telah berubah, sama seperti dalam mimpiku (minus soal
mata merah dan jahitan di tubuh) dan bayangan yang kulihat di sebuah cermin
sebelumnya, ketika aku disekap di sebuah gudang kala itu. Ditambah lagi baju yang
kukenakan kini koyak tak beraturan, banyak sobekan dan benang semrawut di sana-sini,
karena aku merasa kalau tubuhku (mungkin) sedikit lebih besar daripada kemarin.

Tidak, ini tidak mungkin. Ini pasti hanya mimpi kan? Mana mungkin diriku
seperti ini.

Tentu saja aku khawatir Rei akan ketakutan jika ia melihatku dalam keadaan
begini, apalagi orang-orang jika mereka melihatku berkeliaran di kota.

Setelah lama hening, kini terdengar sebuah suara lagi. Suara yang tak lagi asing di
telingaku. Itu suara Rei!
Aku heran, mengapa anak ini tidak pulang saja, bukannya malah mencariku di tempat
senyap ini?

‘“Arina, kamu di mana?’” Gadis itu meneriakkan namaku.


Aku panik bukan main. Sontak saja aku langsung bersembunyi di bawah meja,
yang salah satu sisinya menempel dengan jendela kaca besar. Seekor tikus besar
melintas dengan cepat di dekatku.
Karena lapar, segera kutangkap, dan kumakan saja tikus itu hidup-hidup, daripada
berteriak. Jika seandainya kau berada dalam ruangan yang sama denganku, kau pasti
akan jijik ketika kau melihat caraku memakan tikus gempal tersebut, yang lebih terlihat
seperti seekor kucing memangsa tikus.

Semenit kemudian, anak itu menempelkan wajahnya ke permukaan jendela,


mengintip segala sesuatu yang berada dalam rumah ini. Beruntungnya aku, dia tak
melihatku.

Sepertinya perasaan kecewa menyelimuti hatinya, dia beranjak pergi dari sini.
Setelah memastikan suara langkah kakinya benar-benar menjauh, aku menghela napas
lega.

‘“Fuuh, untung saja dia tidak melihatku,’” lagi-lagi aku berbicara sendiri.

Perlahan aku membuka pintunya. Memang benar, tidak ada apa-apa selain hanya
pohon dan padang rumput.

‘“Boo! Aku menemukanmu!’”

Aku terkesiap. Seorang anak berdiri tepat di belakangku. Ternyata (lagi-lagi) ini
adalah keisengan Rei. Sudah berapa kali aku dipermainkan oleh seorang bocah? Aku
tak tahan lagi!

Segera aku berlari lagi dengan perasaan marah. Kontan saja Rei ikut berlari
mengejarku.

‘“Hei! Tunggu aku! Aku ingin bertanya sesuatu padamu!’” Teriaknya, namun aku
tetap tak peduli dengan teriakannya. Aku semakin mempercepat langkahku. Namun
karena sering berlari itulah, akhirnya aku kecapekan dan terpojok juga oleh bocah itu.

‘“Mau berlari kemana kamu?’” Anak itu menghalangi jalanku.

‘“Hrrrrrrr!’” Aku menggeram marah, mengatupkan gigi-gigiku yang tajam


padanya, yang berarti, ‘“Pergi dari sini, Bocah! Atau kau akan kubunuh!’”

Melihat reaksiku itu, anak itu bukannya mundur ketakutan, ia justru semakin
mendekatiku. Semakin keraslah desisanku itu.
‘“Hei, tidak apa-apa. Aku takkan menyakitimu. Aku janji, aku akan menjadi
teman yang baik bagimu.’” Katanya dengan lembut.

Tadinya aku tetap menggeram, tanda tak percaya dengan semua omongannya, tapi
demi melihat wajahnya yang penuh ketulusan, akhirnya aku luluh juga.

‘“Walaupun kau ini monster, tapi kau tetap terlihat manis bagiku,’” Baru pertama
kalinya Rei menghiburku seperti itu.

Aku hanya bisa tersipu, tadinya aku ingin menyanggahnya dengan kalimat ‘“Ah,
kau terlalu berlebihan, Rei’”, tapi nanti sajalah.

Siang itu juga, Rei mengajakku untuk kembali ke kota. Baginya ini bukan
masalah, tinggal ceritakan semua peristiwa masa lalu yang telah ia alami dengan jujur,
semua selesai, meskipun itu mungkin saja akan disertai dengan omelan orangtuanya,
karena seharian belum memberi kabar.
Lalu anehnya, entah kenapa Rei merasa nyaman begitu saja saat bersamaku.

Bagaimana denganku, jika aku pulang ke Siberia dalam keadaan seperti ini?

Sebagai keluarga penganut Ortodoks, mungkin ayah atau adikku langsung


ketakutan, lalu menelpon pendeta untuk datang ke rumahku, membacakan ayat-ayat
Alkitab, kemudian aku diikat sambil disiram dengan air suci (karena mereka mengiraku
sebagai sosok iblis dari neraka yang membuat kekacauan di bumi, aku rasa) 9, padahal
baru melihat wajahku saja, belum termasuk aku berbicara kepada mereka.

Kembali ke Rei, dengan antusias ia bercerita padaku, sambil menunjuk ke arah komplek
perumahan. Sepertinya ia berusaha mengajakku berbicara.

‘“Nah, sebentar lagi kita akan pulang ke rumah. Bagaimana menurutmu? Apakah
pemandangan ini indah bagimu?’”

Kami beristirahat sejenak. Dari tadi Rei berlari dengan riang seperti anak kecil yang

9
Biasanya film horor Barat sering di-identikkan dengan pengusiran roh jahat cara Kristiani. Contoh : The
Conjouring series atau Paranomal Activity
dibebaskan untuk bermain, sementara aku harus bersusah-payah berlari sambil
memegang kain usang untuk menutupi seluruh tubuhku.

Aku menulis di kertas, ‘“Ah, pemandangan ini terlalu biasa di siang hari bagiku.
Lebih indah lagi kalau kita pulang malam, lalu melihat jutaan cahaya lampu. Seakan ada
jutaan bintang dari kota itu.’”

‘“Yah, kau ada benarnya juga.’” Ia seperti menangkap isi hatiku. Padahal aku tak
mengatakannya sekalipun. Untungnya masih ada pensil dan buku kosong di tas yang
kubawa kemarin.

‘“Well, kau yakin tak membutuhkan ini lagi? Apa sebaiknya kubuang saja?’” Rei
mengacungkan sebuah benda yang selama ini kucari-cari. Sebuah kacamata.

Aku langsung menulis, ‘“Jangan! Walaupun aku sudah bisa melihat dengan jelas,
tetapi aku akan tetap menyimpannya,’”

‘“Sungguh, kau masih tetap mau menyimpan ini?’” Tanyanya, seolah ia tahu apa
yang sedang kupikirkan.

Aku mengangguk.

Ah, aku bersyukur punya teman sebaik Rei. Walaupun ia tampak bodoh, nakal,
dan naif, tapi setidaknya ia tahu perasaanku walaupun aku tak mengucapkan sepatah
kata pun.

Sebenarnya, aku bisa bicara, namun untuk saat ini aku memilih untuk membisu,
menunggu waktu yang tepat untuk berbicara terus terang padanya. Biarlah waktu dan
tindakanku yang menjawab semua pertanyaan ini.

Dan satu pertanyaan lagi : bagaimana ia bisa tahu jika sosok monster itu adalah
diriku sendiri?
Chapter 7 : Are You Really Fine With Me?

Setelah beberapa jam yang menyakitkan, akhirnya sampai juga ke asrama putri.

‘“Kalau kau ingin sesuatu, cukup panggil aku saja.’” Dia menepuk-nepuk kepalaku
dengan lembut. Ah, aku jadi ingin memeluk badan mungilnya itu, tetapi tidak untuk kali
ini.

Midnight

‘“Makan malam sudah siap, Kak,’” bisik Rei padaku. Sepertinya ia berhasil
mempraktekkan resep sesuai dengan petunjuknya. Dan yah, sebenarnya kami melanggar
peraturan karena kami nekat begadang sampai tengah malam sampai semuanya tertidur,
namun bagiku itu lebih baik daripada membuat heboh satu asrama gara-gara
penampilanku ini.

Udara malam ini terasa menusuk tulang. Aku mulai kedinginan (walaupun semua
jendela ditutup rapat untuk mencegah udara dingin). Akhirnya kulepas saja baju lusuh
itu. Kemudian segera memakai sweater butut berwarna navy, pemberian dari Rei.

Aku hanya menatapnya heran, mengapa ia mau saja bersusah payah di dapur
hanya untuk memberi makan monster sepertiku?

Menu makan malam hari ini adalah sup dan teh hijau. Sekilas terlihat
menggiurkan, tapi tidak bagiku, karena aku sedang ingin makan daging, bukan sup
sayuran. Tapi sebisa mungkin kutahan sifat liarku itu di hadapannya. Aku tak ingin
mengecewakannya dengan mengamuk sambil mengacak-acak isi dapur asrama.

‘“Kau tak ingin makan?’” Ia bertanya padaku, mengapa aku terlihat seperti tidak
nafsu makan.
Aku hanya mengangguk perlahan, sambil mendorong semangkuk sup hangat itu
menjauh dari hadapanku.
‘“Kau harus makan, apapun makanannya, seberapa tidak enak makanan itu. Kau bisa
mati kelaparan lho.’” Gadis itu mendorong kembali mangkuk supnya ke arahku.
‘“Hnngrh!’” Aku mendengus kesal, kudorong lagi mangkuk itu.
‘“Kau harus makan sekarang juga!’” Sahutnya agak keras.

‘“SUDAH KUBILANG AKU SEDANG TIDAK MAU MAKAN, GADIS


BODOH!’” Teriakku marah sambil menggebrak meja. Otomatis, kuah sup dan air
tehnya berceceran di permukaan meja. Akhirnya keluar juga kalimat pertamaku, meski
itu terjadi karena keceplosan. Segera kututup mulutku dengan telapak tanganku. Aku
takut kalau anak lain terbangun gegara suaraku.

‘“Kau... Kau bisa bicara?’” Tanyanya, seolah ia tak percaya dengan apa yang
kuucapkan barusan.

‘“Memang aku bisa bicara, kau pikir aku ini bisu?’” Jawabku ketus.

Rei hanya diam saja. Sepertinya ia sedang berusaha menahan air matanya agar
tidak jatuh. Dugaanku benar, ia benar-benar marah.

‘“Kalau kau memang tidak suka... MENGAPA KAU TIDAK BERTERUS


TERANG KEPADAKU SEJAK AWAL, DASAR BODOH!’”

Ia menangis. Hatinya telah terluka olehku. Ia langsung melewatiku begitu saja,


kemudian membanting pintu kamarnya dengan keras.

‘“Rei, aku minta ma-‘”


‘“PERGI!’”
‘“Aku serius, aku sungguh ingin-‘”
‘“SUDAH KUBILANG, PERGI DARI SINI, MONSTER TAK TAHU DIRI!’”

Aku terdiam. Dia benar (lagi). Oh, monster macam apa aku ini? Mengapa aku
tega menyakiti perasaannya?
Tadinya aku ingin berteriak : ‘“REI! BUKA PINTUNYA! AKU TAHU KAU ADA DI
DALAM, KAN?’” sambil mencakari pintunya, lalu dengan wajah beringas bak harimau
kelaparan, kukejar Rei seolah-olah Rei adalah rusa kecil yang menjadi mangsaku.

Namun urung kulakukan, karena itu percuma saja. Atau kemungkinan kedua ; sama
seperti yang kujelaskan tadi.
Saat aku hendak meninggalkan asrama, sayup-sayup aku mendengar kalau Rei
sedang ‘“diinterogasi’” mengenai suara teriakanku itu, akan tetapi kuputuskan untuk
mengacuhkannya dan segera pergi.

Kini aku sadar, tanpa mencakar mukanya ataupun menggigit lehernya pun, aku
juga bisa menyakiti manusia hanya dengan ucapanku.

Chapter 8 : Why You All are Scared of Me? I’”m Not an Evil Monster, You
Know

Akhirnya aku pergi juga dari asrama itu. Kuputuskan untuk terus berjalan, tanpa
mempedulikan dinginnya udara dan gelapnya langit malam. Kurasa malam adalah
waktu yang tepat bagiku untuk keluar rumah, karena pada saat itu, manusia sudah
pulang dari tempat kerjanya, untuk kemudian terlelap di kasur mereka. Jadi mana
mungkin mereka bangun malam-malam hanya untuk melihat monster yang sedang
berjalan sendirian di tengah hujan deras ini.

‘“Oh, dingin sekali!’” Aku menggumam sendiri lagi, menggigil kedinginan.


Walaupun aku sudah memakai sweater pemberian Rei sekalipun, namun tetap saja hawa
dinginnya merembes ke dalam, seolah tak peduli dengan keluhan tubuhku. Kurapatkan
kedua tangan di depan dadaku.

Seandainya saja aku tidak mencampakkan Rei seperti itu, tentu aku sudah
mendapat jatah makanan hangat buatannya, dan tidur di kasur empuk dan selimut
hangat menutupi tubuhku, untuk melindungiku dari suhu dingin dari luar itu.

Angin makin dingin saja, namun aku mengacuhkan itu. Aku hanya ingin
bersembunyi dari manusia, hanya itu saja. Meski aku harus melewati jalan dekat
pemakaman yang tampak angker dan gelap sekalipun, itu tetap akan kulakukan daripada
mencari resiko dengan berjalan di tempat yang ramai.
Bah, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak mau berbaikan denganku. Ketika aku
melewati perempatan jalan, tiba-tiba saja beberapa lampu rumah menyala, dan
kerumunan orang melihatku dari tepi jalan dan dari jendela kamar mereka.

Aku hanya bisa mematung di tengah persimpangan, seolah aku adalah pusat
perhatian bagi mereka. Sesaat kemudian, akhirnya kuputuskan untuk berbicara kepada
mereka, agar tidak tejadi kesalahpahaman.

‘“Uh... Privet?10,’” Karena gugup, hanya itu yang bisa kuucapkan kepada mereka.

Sebuah kilat menyambar, cahayanya memperlihatkan wujud asliku kepada mereka


yang menatapku. Kemudian disusul oleh suara guntur yang memekakkan telinga.

‘“MONSTER!’” Seorang ibu-ibu berteriak sambil menunjuk ke arahku. Kontan


saja semua orang panik.
‘“Hei, tunggu dulu! Biar kujelaskan semua ini!’” Aku berteriak pada mereka, namun
sayangnya mereka tidak mau mendengarku.

Terjadi kekacauan malam itu, cuma gara-gara aku numpang lewat. Daripada
suasana makin runyam, kuputuskan untuk segera berlari pergi meninggalkan tempat itu,
takutnya jika ada yang menelpon polisi (atau yang paling parah pasukan militer, karena
mereka bisa saja langsung menembakiku hingga mati).

Tak ada pilihan lagi selain kabur. Aku harus pergi dari sini. Tak boleh berhenti
sedikitpun. Satu-satunya harapan terakhirku adalah hutan itu tadi. Pulang ke asrama? Itu
tak mungkin, bisa jadi aku yang bakal ‘“terpojok’”.

Ku terus berlari dan berlari, sampai akhirnya aku tiba di hutan. Gelap dan dingin,
namun setidaknya tak ada manusia yang merasa terganggu atas keberadaanku. Sampai
akhirnya kuputuskan untuk tidur di dahan sebuah pohon besar.

Lagi, lagi dan lagi, aku tersesat dalam kegelapan. Dalam lorong kegelapan
tersebut, aku melihat sebuah titik cahaya di kejauhan sana. Segera kudekati cahaya
tersebut.

Sampai akhirnya, aku menemukan diriku berada di tengah kota. Saat aku sedang
melihat sekeliling, aku mendengar derap langkah kaki yang cukup ramai. Sampai
akhirnya aku menyadari suatu hal ; itu adalah suara langkah kaki pasukan militer!

10
Uh... Halo?
Tiba-tiba saja, aku dikejar-kejar oleh mereka, begitu mereka melihatku. Mereka
mengacungkan moncong senapan ke arahku, disertai dengan teriakan-teriakan penuh
amarah mereka dalam bahasa Rusia. Tentu aku mengerti apa yang mereka teriakkan ;
mereka memintaku untuk menyerahkan diri kepada mereka, atau mati.

Tembakan peluru yang dilontarkan bebas dari senapan mereka, mengincar


tubuhku. Aku harus bersembunyi.

Setelah berselang kira-kira lima menit, akhirnya tembakan peluru mulai mereda.
Aku mengela napas lega.

Tetapi, itu hanya berlangsung sebentar.

“Hah, akhirnya kau tertangkap juga, Iblis Pengacau!” Teriak seorang prajurit yang
menodongkan bayonetnya ke arahku.

“Kalian jangan salah paham dulu! Aku juga manusia seperti kalian!” Aku
mengangkat kedua tanganku, tanda menyerah.

“Apanya yang sama dengan kami? Sudah jelas-jelas kalau kau itu pengkhianat!”
Sahut seorang komandan sambil menendangku dengan keras. Bekas sepatunya
meninggalkan rasa sakit di ulu hatiku.

“Pengkhianat? Aku tidak melakukan apapun!” Kataku membela diri.

“Masih mengelak, ya? Sudah jelas-jelas kau sudah memangsa ratusan orang yang
merupakan bangsamu sendiri! Beritamu tentangmu telah tersebar !

Ah sudahlah, karena kau itu monster, kau takkan paham perasaan kami, para
manusia yang menjadi mangsamu! Sebaiknya dari tadi aku membunuhmu saja! Ada
kata terakhir?” Komandan itu mengokang senapannya, membidik ke arah pelipisku.

“AKU BERANI BERSUMPAH, AKU TAK MELAKUKAN APAPUN!!” Hanya


itu yang bisa kuucapkan.

“Baiklah, hanya itu saja kalimat terakhirnya? Nah, selamat tidur untuk
selamanya!”

DOR!

Timah lonjong panas tersebut menghantam pelipis, kemudian menembus tulang


tengkorak, kemudian melubangi otakku.
Akhirnya, tubuhku ambruk ke tanah, sayup-sayup aku melihat tatapan mereka
memandangku dengan muak, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Chapter 9 : The Connecting Heart from Friendship (Part 1)

6.00 A.M.
‘“Ah, itu tidak mungkin... Tidak mungkin terjadi...’”

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Hujan telah berhenti. Sesaat kemudian,


terlihat sesosok gadis dengan piyama merah muda sedang duduk di dahan pohon, tepat
di depan mataku.

‘“Ohayou gozaimasu!’” Dia mengucapkan salam ‘“selamat pagi’” kepadaku


dengan cerianya, begitu aku melihat wajahnya.

Kontan saja aku terjatuh dari ketinggian karena kaget. Masih untung aku tidak
mengalami gegar otak ataupun patah tulang, hanya sedikit nyeri saja. Mengapa anak ini
tidak pernah bosan menggangguku? Apa karena ia ingin berteman denganku?

‘“Kenapa kau sering menggangguku sih?!’” Teriakku kasar dari bawah pohon.
‘“Ahihihi...’” Yang ditanya malah cengar-cengir. ‘“Karena aku ingin berteman
denganmu.’” Lanjutnya.
Sumpah, itu adalah jawaban paling konyol yang pernah kudengar. Mengganggu orang
hanya untuk mengajak berteman? Teori sinting macam apa itu. Aku saja sama sekali
tidak berminat untuk berteman dengannya. Umurnya (menurut perkiraanku) sudah
menginjak 13 tahun, tetapi usia mentalnya seperti mundur 5 tahun, yang membuatnya
seolah-olah ia masih berumur 8 tahun, didukung dengan tinggi badannya yang hanya
sekitar 140 cm.
Nyaris tak ada bedanya dengan Tatiana, adikku yang baru berumur 7 tahun itu.

‘“Hei Bocah, jawablah pertanyaanku! Mengapa kau lancang sekali mengikutiku


sampai sini, ha?’” Aku mulai memanjat pohon tempat Rei berada, berusaha untuk
menggapai pergelangan kakinya, memaksanya turun.
Mungkin karena aku lebih terlihat seperti zombie kelaparan yang tengah mengincar
manusia untuk dijadikan santapan, ia hanya diam di atas sana sambil terus
‘“memancingku’” agar naik kesana.

‘“Jawab! Atau aku akan memakanmu hidup-hidup!’”

‘“Pergi kau, zombie-yang-bisa-bicara! Cari manusia lain sana!’” Ketika aku


hampir mencapai puncak, ia memetik sebuah ranting kering, berusaha mengusirku
dengan suara ‘“hus-hus’”nya.
‘“Ouch!’” Karena ia berusaha untuk menusuk mataku dengan rantingnya, segera
kulindungi mataku dengan kedua telapak tanganku, lalu aku kehilangan keseimbangan
dan karena itulah aku terjatuh lagi.

Tawanya meledak begitu melihatku terjatuh. Perlahan-lahan, aku mulai tersenyum


demi melihat dia yang sedang tertawa gembira. Lihatlah, wajahnya tampak manis
sekali!

Namun sayangnya, karena kurang hati-hati, ia terpeleset ketika mencoba berdiri


sambil mengejekku dari atas dahan yang licin. Refleks aku segera mengulurkan kedua
tanganku untuk menangkapnya.
‘“Aku datang, Rei!’”

Sayangnya lagi, aku kalah cepat. Aku gagal menangkapnya. Akan tetapi, takdir
berkehendak lain. Rei jatuh tepat di atas tumpukan daun kering. Jadi suara ‘“grusak!’”
mengiringi jatuhnya itu. Mungkin jatuhnya tidak terlalu keras, hanya lecet sedikit saja.
‘“Rei! Kau tidak apa-apa kan?’” Tentu aku sangat khawatir dengan keadaannya.
Namun dengan entengnya ia menjawab, ‘“Daijobou!11’“ sambil menyembulkan
kepalanya secara tiba-tiba.
‘“Boo! Aku berhasil menipumu lagi, kan?’” Katanya.

Pada pagi itu, kami habiskan dengan canda tawa, sebelum akhirnya ia mengajakku
pulang untuk kedua kalinya. Jadi inikah rasanya memiliki seorang teman?

8.00 A.M.

‘“Well, Rei...’”
‘“Ya? Ada apa? Katakan saja apa masalahmu, aku siap membantumu.’”
‘“Kau tahu kan, kejadian semalam tadi? Maafkan aku, aku seharusnya tak bersikap
kasar padamu,’” kataku menyesal sambil duduk di kursi depan meja makan, dengan
tubuh diselubungi selimut karena kedinginan. Untuk mengusir hawa dingin tersebut,
kuseruput secangkir besar cokelat panas di hadapanku ini.
‘“Sudahlah, tidak apa-apa. Ini juga salahku, mengusirmu hingga membuatmu tidur di
hutan, sendirian dan kedinginan lagi. Maaf, ini demi kebaikanmu juga, karena aku tak
ingin membuat teman-temanmu ketakutan hanya karena mereka mengiramu sebagai
hantu asrama,’” sahutnya sambil mengaduk terigu, gula, telur dan susu, yang kemudian
campuran bahan tersebut akan dituangkan ke dalam wajan panas.

Pagi ini, aku merasa tidak enak badan, ya maklum semalam kan aku berjalan
sendirian malam-malam. Ngomong-ngomong soal Rei, dia mengaku sudah membuat
surat izin hari ini dengan alasan sakit, padahal sebenarnya untuk menjagaku yang
sedang sakit. Yah, hitung-hitung menemaniku, karena sejujurnya, walaupun aku
memiliki teman sekamar, tetap saja aku merasa kesepian.

‘“Kau mau pancake?’” Rei telah selesai memasak, kini ia tengah menuangkan
sirup maple di atas tumpukan pancake tersebut.
‘“Tidak, terima kasih. Aku mau tidur saja,’” hujan gerimis pagi-pagi begini, lebih enak
tidur daripada berangkat sekolah. Lagipula mana mungkin aku berkeliaran di sekolah
dengan wajah mengerikan seperti ini, bisa-bisa terjadi kehebohan massal dan aku bakal
segera masuk berita koran di headline utama.

11
Aku baik-baik saja!
‘“Kamu harus makan,’” paksanya.
‘“Iya deh, daripada kamu berisik,’” terpaksa aku makan juga, padahal aku sedang tidak
berselera dalam memakan makanan manis, maunya sup panas dengan kuah daging.
Hayo jujur, kalau kalian sedang demam begini, kalian juga pasti malas makan kan?
Maunya tidur terus.

Setelah selesai makan, aku mulai mengantuk. Tetapi mengapa begitu kembali ke
tempat tidur, mataku sulit untuk terpejam?

Ah, sudahlah, daripada pusing memikirkannya, lebih baik aku membaca komik di
sambil berbaring di kasur (siapa tahu aku akan mengantuk, kemudian tertidur lagi).

‘“Sedang membaca komik ya?’” Sebuah suara mengagetkanku, ketika aku sedang
asyik membolak-balik halaman, setelah selesai membaca semua percakapan dalam
aksara Cylliric tersebut.
“Aah!’” Aku terlonjak kaget untuk kedua kalinya.

‘“Hayo, kamu membawa komik ya? Itu kan melanggar peraturan!’” Rei sempat
mengamati sampul komik yang kupegang ini, kemudian ia merebutnya dari tanganku.
“Kalau aku suka membaca komik, memangnya kenapa? Kau ingin mengadukanku pada
pengurus asrama? Dasar pochemuchka12.”
“Pochemuchka itu apa?” Ia malah balik bertanya dengan nada polosnya.
“Pochemuchka itu, umm... Artinya... ‘“kau tampak cantik”, aku berbohong padanya,
karena aku takut ia tersinggung jika kuberitahu arti aslinya.
‘“Kau bohong,’” Ow, aku mulai terpojok karena kebohonganku terbongkar.
Namun ia tak marah, malahan ia menganggap itu sebagai bercanda.
“Ngomong-ngomong, kau tak usah malu. Aku juga suka membaca komik kok.
Peraturan asrama memang terlampau ketat.” Ia berusaha menghiburku, yang menurutku
malah lebih terlihat seperti membocorkan rahasianya sendiri.
Baru kali ini juga, aku punya teman manusia yang bisa diajak bercanda denganku,
walaupun aku bukan ‘“manusia’” sekalipun.

Pagi itu aku mandi, karena walaupun baru kemarin tidak mandi, tubuhku sudah
merasa tidak nyaman akibat keringat dan debu yang menempel. Begitu Rei selesai
mandi, akupun langsung tancap gas untuk mandi.
12
Istilah Rusia untuk menggambarkan orang yang kepo, selalu ingin tahu urusan orang lain yang bukan
urusannya. (Gustaaf Kusno, 2014:9)
Kunyalakan keran air untuk mandi. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku
merasakan mual di perutku. Aku ingin muntah.

‘“Wueeek!’” Akhirnya aku muntah juga. Namun yang membuatku terkejut, yang
kumuntahkan itu adalah cairan pekat berwarna merah, yang kini menggenang di sudut
lantai kamar mandi, sebelum akhirnya hanyut, masuk ke lubang pembuangan.

Aku muntah darah!

Namun pada akhirnya kuputuskan untuk segera menyelesaikan mandi daripada


hanya termangu di dalam kamar mandi. Tapi tetap saja rasa mual yang kualami makin
menjadi-jadi.

“Kau baik-baik saja kah?’” Ia berteriak dari luar kamar mandi dengan panik.
‘“Aku tidak apa-apa... uhuk-uhuk!’” Kataku sambil terbatuk-batuk.

Aku merasakan mual, kemudian muntah darah lagi, tapi kali ini lebih banyak dan
langsung merubah warna lantai yang awalnya putih, menjadi merah semua. Buru-buru
aku mengenakan handuk untuk menutupi tubuhku ; aku tak ingin menahan malu di
hadapannya, walaupun kami sama-sama wanita sekalipun.

‘“Hah! Kau muntah darah! Apa perlu aku menelpon ambulans?’” Ia langsung
menghambur ke kamar mandi.
‘“Tidak usah! Aku baik-baik saja, Rei!’”
‘“Tapi kondisimu seperti kurang sehat!’”
‘“Huh, terserah lah!’”

9.30 A.M.

‘“Baru pertama kalinya aku menemukan kasus ini, hmm-hmm-hmm, ya, ya,
ya...’” Seorang dokter dengan kumis lebatnya itu tengah memeriksa badanku. Ia
menyedot sedikit darahku sebagai sampel, kemudian ia mulai meneliti darahku tersebut.
Tidak seperti dugaanku, si dokter ini malah tampak biasa-biasa saja denganku.

Pagi itu juga, aku memeriksa keadaan tubuhku di rumah sakit, walaupun itu
sebenarnya paksaan dari Rei.
Dengan hoodie, rok panjang, dan cadar merah maroon, setidaknya orang-orang yang
tengah mengantri di ruang tunggu pasien takkan memperhatikanku.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun bertanya padaku, ‘“Mengapa
kau memakai cadar?’”
Kujawab saja dengan acuh, ‘“Aku sedang terkena flu dan aku tak mau menulari
siapapun.’”
‘“Lalu mengapa warna matamu tampak berbeda?’”
‘“Err, ini... Warna lensa kontakku. Kau tahu lensa kontak kan, Nak? Sudahlah,
sebaiknya kau segera menemui ibumu saja, daripada ia akan menceramahimu tentang
jangan berbicara dengan orang asing bla-bla-bla...’” Kuusir anak itu, daripada ia
melanjutkan pertanyaan yang aneh-aneh tentangku.

‘“Kau terinfeksi sebuah parasit, Nona.’” Sang dokter tersebut datang, memberi
‘“vonis’” kepadaku yang tengah duduk di ruang tunggu.
‘“Apa maksud Bapak?’” Aku tak mengerti dengan ucapannya.
‘“Parasit yang cukup berbahaya. Nampaknya parasit itu akan menggerogoti tubuhmu
secara perlahan-lahan. Apa gejala yang pernah kau alami?’”
‘“Aku pernah muntah darah dua kali.’” Jawabku.
‘“Hati-hati, bisa jadi itu pendarahan yang terjadi akibat dari parasit tersebut.’”

‘“Apakah itu masalah yang serius?’” Kali ini aku bertanya lagi, karena aku sadar, kalau
Rei yang bertanya, pasti ia akan kebingungan mau bertanya apa ; karena ia tak mengerti
bahasa kami.

‘“Ya.’”
‘“Apa dampaknya?’”
‘“Kalau dibiarkan terus-menerus… Kau bisa meninggal,’”

Aku menatap tak percaya.

‘“Kalau begitu, bisakah Anda mencarikan vaksin untuk menyembuhkan penyakit


ini, kumohon?’”

Ia menghela napas, ‘“Sekali lagi kutegaskan, maaf, Nona, belum ada obat untuk
membunuh parasit itu, karena ini kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya.’”

Aku shock saat mendengar itu. Aku langsung terduduk lemas, di bangku panjang.
Rei langsung duduk di sampingku.

‘“Apa yang ia katakan padamu?’”


‘“Dia bilang kalau umurku takkan panjang lagi.’”
Aku hanya menatap kosong pada layar TV 24 Inch yang tergantung di ruang
tunggu pasien, tanpa harapan. Huh, acaranya sangat membosankan, sampai-sampai aku
harus meminta izin pada resepsionis untuk meminjam remote TV, untuk mencari-cari
channel yang menayangkan acara yang menyenangkan. Hitung-hitung ‘“pelampiasan’”
karena selama 2 tahun ini aku tidak menonton TV, karena disana dilarang keras
menonton TV, bermain video game, membawa handphone, majalah mingguan ataupun
komik. Ya, untuk yang terakhir kuakui aku memang melanggarnya secara diam-diam,
bukankah peraturan dibuat hanya untuk dilanggar?
Sampai pada akhirnya, aku dikejutkan oleh sebuah siaran breaking news.

‘“Berita terkini. Dua siswi SMP Sankt Petersburg tiba-tiba dikabarkan


menghilang. Pihak sekolah tempat korban bersekolah sempat mengira bahwa mereka
berusaha kabur dari asrama. Pihak kepolisian tengah menyelidiki kasus ini, namun
hingga sekarang belum menemukan petunjuk lebih lanjut. Teman salah satu korban
mengaku tak tahu-menahu soal hal ini, “Dia menghilang begitu saja, tanpa memberiku
kabar atau pesan apapun,” akunya.

Berita kedua, penampakan monster di Sankt Petersburg? Beberapa warga


mengaku melihat sesosok makhluk berjalan di tepi jalan. Makhluk itu memang mirip
manusia, namun memiliki rambut putih, kulit putih pucat dan kuku-kuku yang tajam.
Berikut adalah kesaksian dari seorang warga.

“Malam itu suasananya sangat mencekam. Aku melihat makhluk itu berjalan
sendirian. Aku takut jika ia makhluk yang berbahaya, ia bisa saja memangsa suami dan
anak-anakku. Makanya aku langsung berteriak begitu melihatnya.”

“Baik, terima kasih atas kesaksiannya, Nyonya Yanashka. Kembali ke studio,


karena dua kejadian itu terjadi hampir bersamaan, monster itu menampakkan diri tepat
dua hari setelah dua siswi itu menghilang, kini ada spekulasi terbaru ; apakah kedua
siswi tersebut mati dimangsa oleh monster tersebut? Jika ya, mengapa hingga saat ini
jasad mereka belum ditemukan? Kita tidak akan tahu secara pasti, hingga update info
berikutnya. Saya, Zinaida Karashova dari XYZ TV, melaporkan.”

Mataku terbelalak, tak percaya dengan semua yang ada di depan layar kaca ini.
Apa? Aku menjadi berita utama di TV? Ini tak mungkin!
‘“Eh, bukankan tadi kita ada di TV-‘”
“Sssh! Tutup mulutmu, Reina! Mereka pasti akan curiga pada kita!” Kubisikkan itu
sambil menutup mulutnya.

Ketika aku melihat kerumunan orang yang mengamatiku, air liurku sempat
menetes, ingin memakan mereka. Namun aku harus menahan diri. Akhirnya kuputuskan
untuk menjauhi mereka.
Namun sungguh sial nasibku. Tiba-tiba aku merasakan mual lagi, jadi aku harus segera
menemukan kamar mandi. Setelah perjalanan yang menyakitkan, akhirnya aku
menemukan wastafel, melepas cadarku. Sialan, aku muntah darah lagi.

Sayup-sayup, dari luar terdengar percakapan antara seorang ayah dan anak
perempuannya.

‘“Ayah, aku mau ke kamar mandi!’”


‘“Tunggu sebentar, kita harus menunggu Ibu dulu,’”
‘“Tapi aku sudah tidak tahan lagi!’”
‘“Baiklah, tapi jangan lama-lama ya, Ayah tunggu di luar,’”

Aduh! Anak kecil itu masuk! Aku tahu itu, karena aku melihat bayangannya dari
cermin besar yang memanjang di atas deretan wastafel, ketika aku sedang sibuk
berkumur untuk menghilangkan sisa darah di mulutku.

Ia juga melihat wajahku dari bayangan cermin, sekaligus kuku-kuku tajamku yang
sedang membasuh muka.
Ah, sial! Umpatku dalam hati.

Ketika aku membalikkan badan, mereka tampak ketakutan.

‘“Ayah! Monster yang tadi di berita TV, dia ada di sini!’” Uh-oh, tampaknya aku
menakuti anak tersebut hingga menangis.

‘“Menjauhlah dari anakku, Monster!’” Bapak itu menatap galak padaku, ketika
aku hendak keluar dari kamar mandi.

Aku terpojok. Tak ada pilihan lain lagi, selain terjun dari jendela kamar mandi.
Maka kuputuskan untuk langsung terjun saja.

Awalnya aku sempat takut, akan tetapi untunglah aku bisa mendarat dengan
selamat.
Kini muncul masalah baru. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitar rumah
sakit, untuk sekali lagi melihatku dalam diam.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik...

‘“Lari! Selamatkan diri kalian! Monster itu menyerang rumah sakit!’”

Aku lalai. Cadarku tertinggal dalam kamar mandi itu! Tapi sudahlah, itu bukan
masalah penting. Yang terpenting saat ini ; aku harus lari secepatnya!

Sekali lagi aku harus berlari sambil parkour (jika aku menemukan berbagai
halangan yang menutupi jalanku). Bahkan sampai-sampai aku harus mengangkat bagian
bawah rokku hingga ke paha, karena rok laknat ini menghalangi gerakanku.
Lama kusadar, tiba-tiba aku baru teringat sesuatu. Rei! Dia pasti celingukan mencariku
di rumah sakit. Maka kuputuskan untuk kembali.

Dugaanku benar. Ketika aku sampai di sana, ia berdecak kesal.


‘“Kamu dari mana saja, sih?’”

‘“Ceritanya panjang!’” Sahutku sambil menggandeng tangannya.


“Oi, ada apa in-“
‘“Sshh!’”

Kami bersembunyi di bak sampah rumah sakit yang besar itu. Tadinya Rei sempat
protes soal baunya, tetapi kuyakinkan padanya bahwa ini hanya sementara. Setelah
memastikan tidak ada siapapun yang mengincar kami, kugendong Rei sambil berlari
pulang.

12.00 P.M.

Siang ini agak berbeda. Masih saja ada angin kencang yang membuat badan siapapun
akan menggigil. Maklumlah, namanya juga musim gugur. Dedaunan berterbangan ke
langit, sebagiannya lagi ikut tersapu oleh tukang sapu di pinggir jalan.
Sepulang dari rumah sakit, terpaksa kami mandi lagi, sebab Rei masih saja mengeluh
soal bau sampah yang terlanjur hinggap di tubuh masing-masing. Aku masih saja terus-
terusan menggigil, menyeruput teh panas buatanku sendiri sambil menerawang
pemandangan di luar melalui jendela. Seandainya saja aku hidup normal seperti gadis
lainnya, tentu aku bisa bebas bermain kemana saja, tanpa harus repot-repot menyamar.
Ini semua salah si profesor gila itu. Tapi aku sendiri juga salah sih, main-main di tempat
yang sudah jelas ditutup untuk publik.

Sepulang dari rumah sakit tadi, Rei bilang kalau ia akan berbelanja bahan
makanan di supermarket terdekat. Sudah pasti aku tidak bisa menemaninya, bisa-bisa
kejadian di rumah sakit tadi terulang kembali. Sebagai gantinya, aku harus
mengikhlaskan puluhan rubel simpananku agar ia bisa berbelanja.

Karena sampai sekarang ia belum pulang juga, maka kuputuskan untuk tidur siang
sejenak.

Kejadian ini berulang lagi. Lagi-lagi aku terdampar di kota yang asing dan gelap.

Chapter 10 : The Connecting Heart from Friendship (Part 2)

Matahari telah tenggelam, dan malam mulai tiba.

Aku mendengar suara rintihan. Rintihan seorang gadis kecil yang teraniaya.
Kulihat gadis malang itu dipalak oleh dua anak laki-laki (dari asrama putra) dan satu
perempuan yang terkenal nakal di sekolahku. Siapa lagi kalau bukan Oriana dan antek-
anteknya, Yuri dan Alexei? Mereka adalah ‘“Trio Anak Badung’”, mereka terkenal
karena aksi jahil mereka yang meresahkan para guru dan murid lainnya, termasuk aku
yang menjadi salah satu korban keisengan mereka. Aneh memang, disekolahkan di
sekolah berasrama bukannya jadi anak baik, tetapi kenakalan mereka semakin menjadi-
jadi saja.

Saat aku menemui mereka, mereka langsung bersembunyi ketakutan begitu


mereka melihatku, meninggalkan gadis kecil itu sendirian di lapangan basket. Ayo
kemarilah, jangan takut padaku! Aku hanya ingin mengajak kalian bermain, hanya itu
saja!
Mungkin mereka takut, karena wujudku sekarang berubah menjadi makhluk yang
kutemui di mimpi-mimpiku sebelumnya.
Hati nuraniku berkata, jangan bunuh teman-temanmu, mereka hanyalah anak
kecil yang tak bersalah, walaupun mereka sering membully-mu, tapi tolong maafkan
mereka. Tolong pikirkan juga tentang perasaan keluarga mereka, jika mereka mati
karenamu.

Namun di sisi lain, aku mendengar sebuah bisikan. Bisikan jahat yang menyesatkan,
agar aku membunuh mereka saja. Ditambah lagi perutku makin memberontak, ingin
makan daging.
Barangkali jika aku berhasil menangkap dan membunuh mereka, aku bisa makan daging
mereka sepuasnya, sehingga parasit dalam tubuhku takkan menggerogoti tubuhku
sendiri untuk sementara, sampai aku mendapatkan mangsa berikutnya. Terdengar sangat
sadis dan tidak manusiawi, tetapi aku tak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Bukankah manusia sekalipun, pasti juga akan melakukan segala cara untuk
mempertahankan hidupnya di alam liar? Termasuk saling membunuh, kemudian
memakan jasad temannya sendiri demi melangsungkan hidupnya.

Di saat seperti itulah, aku merasa pusing, kepalaku mendadak sakit, seperti mau
pecah saja. Aku pusing, karena tak bisa memutuskan mana sebaiknya yang kupilih.
Menyerah dan menahan diri hingga mati kelaparan demi mereka, atau membunuh setiap
kali aku berhasil menemukan anak-anak badung itu, agar bisa kenyang. Walaupun
untuk menemukan mereka saja, aku hanya bisa mengandalkan indera pendengaran dan
penciuman karena semuanya serba remang-remang, tak bisa melihat siluet mereka
dengan jelas.
Saat itu juga, aku muntah lagi, mengeluarkan darah kental berwarna kehitaman.

Tiba-tiba, sebuah kabut hitam pekat mulai memasuki tubuhku, dadaku terasa sakit
dan panas. Sepertinya itu adalah kekuatan dari kegelapan. Kegelapan murni yang
tercipta dari kebencian. Aku langsung berteriak menggelinjang, tak bisa menahan
kekuatannya. Beberapa saat kemudian, muncul juga sifat liarku yang terpendam; aku
mulai menggeram layaknya predator buas yang kelaparan.

‘“Rrrr... grraawl!’” Desisku.


Reaksi mereka macam-macam. Namun yang paling membuatku marah (entah
mengapa), Alexei langsung melemparkan gadis kecil itu ke arahku, seraya berkata, “Ini,
makan saja dia! Jangan makan aku! Dagingku tidak enak untuk kau makan!”

Betapa egoisnya dia! Hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Maka


kuputuskan untuk langsung memburu anak tersebut.

“T-tolong lepaskan aku!” Teriaknya. Namun kupilih untuk tetap mengacuhkan


rintihannya. Langsung saja kucakari tubuhnya untuk mengulitinya, kemudian
menggigiti jeroannya, sampai ia tak bersuara lagi.

Beberapa menit kemudian, telingaku menangkap sebuah suara mencurigakan. Itu


adalah suara pagar jaring-jaring kawat yang bertubrukan dengan sesuatu. Yuri yang
berusaha kabur dengan memanjat pagar. Oh, tidak secepat itu, Bocah.

Refleks aku berlari, kemudian menarik pergelangan kakinya untuk menyeretnya


turun. Ia berteriak memohon ampun padaku agar aku melepaskannya, tetapi aku tak
peduli.
Kulakukan hal yang sama seperti mangsa pertamaku tadi.

‘“Grrrrhh... Aku masih lapar...’” Gumamku sambil menjilati jari-jariku yang


masih berlumuran darah segar.

Seperti mendengar gumamanku, tiba-tiba Oriana menggertakku.

‘“Mundur kau, Iblis! Aku punya senjata! Kalau kau berani macam-macam
denganku, aku akan membelah tubuhmu menjadi dua bagian!” Gertaknya. Namun lagi-
lagi aku tidak mengindahkan peringatannya. Mau bagaimanapun juga, dia hanyalah
gadis sok berani bagiku.

Dasar bodoh, dia malah menampakkan dirinya begitu saja.

Kuterjang tubuhnya, tetapi ia masih bisa bertahan. Kuakui, dia adalah yang
terkuat, untuk ukuran gadis. Aku sudah berusaha untuk menyerangnya secara membabi
buta, dia masih tetap berdiri tegak.

Hingga akhirnya, ia mulai lengah. Kumanfaatkan kesempatan itu untuk membalik


keadaan. Segera kurebut tongkat itu dari tangannya, kemudian melemparnya jauh-jauh.

‘“Aku lapar... Bolehkah aku menggigitmu, sedikit saja? Dagingmu pasti lebih
lembut dan lebih lezat daripada dua laki-laki badung itu...’”
Sekarang tinggal satu lagi, dan (mungkin) semua akan berakhir. Tiga anak tadi
masih belum cukup untuk memuaskan rasa laparku, walau dendamku pada para
pembully seperti mereka sudah terbalaskan.

Ketika mataku melihat seorang anak perempuan yang bersembunyi di balik pagar,
ia hanya bisa terdiam ketakutan.

“Hai, Manis. Apakah kau mau menjadi temanku?” Tanyaku sambil berusaha
mendekatinya dengan merangkak perlahan-lahan di permukaan tanah. Bau anyir darah
bertebaran di mana-mana, karena percikan darah mengotori tempat kejadian, sekaligus
tubuh dan rambutku.

‘“Ja-jangan sakiti aku...’” Bisiknya dengan nada lemah. Dia hanya bisa diam di
tempat ketika aku semakin dekat dengannya.

‘“Tenanglah, aku sudah membunuh para hama pengganggu itu. Jangan takut, aku
takkan menyakitimu,’”

Padahal sebenarnya, kalimat itu hanyalah kebohongan belaka.

Ketika ia mulai berlari menjauhiku, langsung kukejar gadis itu. Ketika ia berhasil
kutangkap, ia hanya bisa berteriak meronta.

‘“Laki-laki ataupun perempuan, kau tetaplah mangsaku, grrawrr!!’”

Byur!

Baru saja bersiap menggigit lehernya, air dingin itu mengguyurku dengan mutlak.

‘“Hei, bangun, Gadis Pemalas! Kau bermimpi berburu mangsa lagi ya? Lagipula
ini masih belum musim dingin, malah hibernasi melulu, seperti beruang Siberia saja,’”
Rei mengomel panjang lebar sambil menenteng ember, seperti seorang ibu yang kesal
karena anaknya tidak mau bangun pagi juga. Pantas saja aku basah kuyup.
Ia benar. Sebentar lagi pukul empat sore, tanda pulang sekolah.

‘“Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Barusan aku mimpi yang aneh-aneh lagi,’”
‘“Hah, mimpi? Kau bermimpi apa memangnya?’”
‘“Pokoknya ceritanya panjang. Nanti akan kuceritakan.’”

Musim gugur sebentar lagi akan usai. Hewan-hewan mulai mempersiapkan diri
untuk hibernasi ; tidur panjang selama musim dingin, hingga salju mencair dan bunga
bermekaran kembali.
Biasanya pada musim dingin seperti ini, sekolah diliburkan, anak-anak merayakan Natal
bersama keluarga mereka. Tapi lagi-lagi aku tak bisa merasakan itu.

Terpaksa kami mencari tempat yang sunyi ; akan ada masalah jika kami tetap
berada di asrama. Dan yah, lagi-lagi kami nekat kabur sambil membawa makanan
secukupnya.

8.00 P.M.

‘“Umm, tadi kau dengar kan kalau aku berjanji akan bercerita padamu?’”
‘“Uh-hum,’” Yang ditanya cuma bisa mengangguk karena sedang asyik menyesap kuah
sup dalam kaleng.
‘“Tapi aku tak bisa menjelaskannya padamu. Kau takkan mempecayaiku, kau pasti
menganggapku seperti orang gila kan?’”
‘“Ceritakan saja! Barangkali aku bisa membantumu. Kau kan temanku.’”
‘“Walaupun kuakui, wajahmu memang seram seperti Kuchisake-onna13, tapi kalau kau
itu, Kuchisake-onna versi Rusia-nya! Setelah ini, apa yang akan kau lakukan? Bertanya
pada setiap orang yang kau temui di jalan, lalu kau bertanya, ‘“Apakah aku cantik?’”
Ahihihi...’” Di saat-saat seperti ini, dia malah tertawa cekikikan, meledekku. Padahal
aku berani bersumpah, mulutku tidak robek sedikitpun tuh.

‘“Jaga omonganmu, Bocah. Atau aku akan menyanyikan Tilli Tilli Bom14 untukmu, agar
kau tak bisa tidur setiap malam, karena ada bayangan hitam di bawah kasurmu yang
siap mencekikmu kapan saja, huahahaha....’” Aku balik menakut-nakutinya, dengan
ekspresi seperti saat bercerita tentang monster malam kepada anak-anak SD yang lugu,
agar mereka kapok berbuat nakal. Lucunya, Rei langsung bungkam begitu mendengar
ancamanku tadi. Semakin kuat keyakinanku kalau sifatnya Rei memang masih terlihat
seperti anak-anak.

Jujur saja, aku paling tidak suka dengan orang yang suka bergosip tentang hantu di
13
Hantu dalam mitologi Jepang, ia digambarkan sebagai hantu perempuan yang memakai masker untuk
menutup mulut robeknya dan sering bertanya apakah ia cantik atau tidak (referensi : Fantasteen
Kuchisake karya Hastom N.H.)
14
Lagu nina bobo dari Rusia, konon sekarang lagu ini sudah jarang digunakan karena makna liriknya yang
dianggap terlalu menyeramkan
malam-malam seperti ini. Mitosnya sih, nanti dia bakal segera datang menghantuimu
karena dia tersinggung, karena kau telah meremehkan keberadaannya. Bukan berarti
aku ini penakut ya, cuma aku tidak mau malam ini kacau oleh keberadaan makhluk
astral hanya karena Rei sibuk membuat lelucon tentangnya.

‘“Eh, maaf... Kalau begitu tolong ceritakan,’”

Aku menghirup napas dalam-dalam. Kuceritakan semuanya.

Tentang saat pertama kali aku bertemu dengannya (dan kalau boleh jujur, English
speaking kami berdua sebenarnya sama-sama kacau dan jauh dari grammar, karena
kami sama-sama tidak terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Namun kami tetap bisa
memahami satu sama lain. Apa karena hati kami saling terikat? Ah, mungkin hanya
perasaanku saja).
Tentang saat kami sama-sama nekat bermain di area terlarang. Tentang mimpi buruk
yang membuatku gila. Tentang mengapa aku bisa berubah menjadi makhluk
mengerikan yang ditakuti oleh semua orang. Tentang saat aku menjadi buronan para
polisi. Tentang perasaanku setelah bertemu Rei. Tentang segalanya.
Akhirnya, aku bisa tenang karena semua keluh kesah yang selama ini hanya dipendam
dalam hatiku, sudah kukeluarkan semua. Aku harap, ia adalah orang yang pengertian.

Ia hanya terdiam saat mendengar ceritaku. Apakah ia akan mempercayaiku? Atau,


ia menganggapku sebagai pembohong?

‘“Well, apa kau bersungguh-sungguh? Maksudku, apa kau bersungguh-sungguh


membagi semua rahasiamu padaku?’” Ia malah bertanya begitu.
‘“Ya,’” Aku mengangguk mantap.
‘“Atas dasar apa?’”
‘“Atas dasar... Persahabatan, kau tahu? Lagipula, kaulah satu-satunya yang tidak takut
terhadapku, malahan kau tetap menganggapku sebagai manusia. Sebelumnya, terima
kasih untuk segalanya. Terima kasih, karena sudah mau menjadi temanku.’”

‘“Ah, tidak usah repot-repot!


Dan hei, mengapa kau tak makan juga? Punyamu sudah mulai dingin tuh,’”
‘“Itu kan menurutmu, tapi aku memang tak suka.’” jawabku asal-asalan.
Bagaimana mau nafsu makan, ternyata yang ia masak malam ini hanyalah sup
kalengan.

Ketika aku menanyakan mengapa ia memasak itu, ia hanya menjawab, ‘“Maaf,


daripada terlalu lama menunggu matang. Soalnya aku terlalu capek menunggu, hehe.
Lagipula ini cocok untuk malam yang dingin seperti ini kan?’”
‘“Iya juga sih. Tapi sebenarnya...’” Aku ragu meneruskan kalimatku.
‘“Sebenarnya apa?’” Ia malah penasaran.
‘“Sebenarnya... Aku sedang ingin lasagna.’”
‘“Duh, tadi aku tidak beli parmesan ataupun mozzarela. Dua-duanya mahal, padahal
aku sangat menginginkannya. Lagipula memangnya asrama menyediakan microwave?’”
‘“Tapi kau beli daging kan? Aku ingin makan itu sekarang juga,’”
‘“Kau yakin mau makan daging mentah? Tidak dibakar dulu?’”
‘“Uh-hum,’”
‘“Hmm, baiklah,’” Akhirnya ia mengalah, mengambil beberapa potong daging dari tas
punggung. ‘“Jika kau memang mau sih,’” lanjutnya.

Baru saja dia mengadahkan tangannya di depanku, lagi-lagi sifat liarku makin
menjadi-jadi. Segera kuambil, kemudian kumakan semuanya dengan rakus, tanpa tersisa
sedikitpun.

‘“Hei! Pelan-pelan! Nanti kau bisa tersedak! Setan apa sih, yang merasukimu?’”
‘“Tapi ini enak. Aku mau lagi...’”
‘“Tidak bisa. Dagingnya habis. Kalau masih mau, kembali ke asrama sendiri sana, aku
nggak mau mengambilnya, jauh banget tau,’”
‘“Tapi aku lapaaar! Pokoknya, aku mau daging!’” Aku merengek layaknya anak kecil
yang kelaparan, minta diberi makan lagi.

Namun, lagi-lagi ia hanya terdiam. Aku takut kalau dia marah, makanya
kuputuskan untuk pergi. Selain itu juga, alasan sebenarnya adalah ingin kembali ke zona
terlarang tersebut, kemudian memaksa si profesor sinting itu untuk memberi serum
penawarnya. Pokoknya aku ingin hidup normal, hanya itu saja. Aku tak mau menjadi
‘“mesin pembunuh’” bagi manusia hanya demi mempertahankan hidupku sendiri.
Sebelum kami pergi tadi, aku mengenakan kaus lengan panjang hitam, celana panjang
hitam, kemudian mantel yang berwarna hitam juga, untuk menutupi rambut dan seluruh
tubuhku (pokoknya semuanya serba hitam, agar aku terlihat seperti ‘“bayangan’”).
Siapa tahu hujan, atau mungkin saja salju akan turun.

‘“Kau masih marah, ya? Ya sudah, aku mau pergi dulu. Jika aku tak kembali
dalam 10 hari, anggap saja aku sudah mati.’” Kukatakan itu dengan nada yang ketus.

‘“Tunggu, Kak!’” Teriaknya.


‘“Ada apa?’” Aku balik badan.
Perkiraanku, ia pasti tak sanggup melepas kepergianku, seperti halnya di film-film
kolosal, sang gadis tak rela melepas kepergian sang pria yang dicintainya yang sedang
berangkat ke medan pertempuran. Atau mungkin ia sudah berubah pikiran.

‘“Kau seperti anggota Organization XIII saja, pfft.’” Katanya sambil menahan tawa.

Antiklimaks. Aku hanya bisa menatap sebal padanya.

“You think I’”m your Nobody, huh? Now is not a suitable time for chit-chat about video
games, you fool. Be grateful to me, I don’”t have any Keyblade for hit it right to your
head,” Kukatakan itu sambil menyentil dahinya.

‘“Iya, iya, aku minta maaf. Anyway, apa aku boleh ikut?’” Ia memohon padaku
agar ia boleh ikut denganku.
‘“Tidak boleh! Aku tak ingin kau berada dalam bahaya!’”
‘“Tapi...’”
‘“Masa kau tak tahu arti kata ‘“tidak’”? Pokoknya kau pulang saja!’”
‘“Huh, baiklah...’” Akhirnya ia menurut.
‘“Nah, begitu baru adikku yang manis!’”

Malam itu aku berlari menyusuri jalanan yang sepi, sampai akhirnya aku melihat
laut. Jika biasanya pada malam seperti ini, manusia membasuh muka dan menggosok
giginya, kemudian ia bersiap tidur. Namun aku tidak. Aku harus mencari cara agar bisa
kembali menjadi manusia seperti dulu.

Akhirnya sampai juga. Di siang hari saja sudah tampak seram, apalagi waktu
malam, maklum itu kan daerah yang tak berpenghuni.
Aku mengendap-endap, takutnya ada penjaga yang sedang berjaga di pintu masuk
ataupun kamera CCTV yang mengawasi segala gerak-gerikku.
Huh, kubilang juga apa. Ada seorang penjaga yang tampak kurus, sedang berjaga di
posnya sambil menahan kantuk yang menderanya.
Itu artinya, aku tak boleh berisik dalam mengendap-endap. Seperti seorang ninja saja,
batinku.

Tapi...

‘“Bruk! Krompyang!’”

Secara tak sengaja aku sudah pasti menyenggol beberapa tumpukan kayu dan tong
sampah yang berjejer di luar pagar depan. Aku harus cepat-cepat bersembunyi di balik
pagar luar, tepatnya di bagian pagar yang berbelok.

Benar saja. Penjaga itu langsung terbangun dari kantuknya.

‘“Siapa itu?’” Ia memeriksa sekeliling dengan senternya. Sorot lampunya


menjelajah setiap sudut.

Butiran keringat bercucuran di pelipisku. Aku takut kalau ia menemukanku. Apa


aku harus membunuhnya, jika ia berhasil menangkapku? Aku bimbang.

‘“Huh, tidak ada siapa-siapa. Palingan cuma kucing numpang lewat. Dasar kucing
kurang ajar, mengganggu tidurku saja.’” Ia kembali ke posnya sambil menggerutu.
Puuh, untungnya dia tak melihatku.

Aku harus bersabar lagi, menunggu hingga ia tertidur.

Satu menit, dua menit, tiga menit...


Hingga sepuluh menit aku sampai bosan menunggu, akhirnya ia kembali tidur juga.

Akhirnya! Kini aku dapat bebas menyelinap di bawah palang pintu pos tersebut.

Akan tetapi, sesuatu di luar rencanaku terjadi. Sebuah jaring dengan tongkat
panjangnya, menjerat kepalaku! Tentu saja aku memberontak. Namun sia-sia saja. Dia
lebih kuat menggeretku untuk masuk ke sebuah bangunan bekas pabrik yang besar.
Bangunan itu tampak kosong, banyak benda berserakan, sarang laba-laba di berbagai
sudut, dan kaca-kacanya buram tertutup debu, sebagian ada yang pecah. Tiba-tiba saja
aku jadi teringat tempat ini.
Kemudian, aku diikat di sebuah kursi. Dia juga menyingkap mantel yang kupakai,
sehingga wajahku terlihat.

‘“Hei! Mengapa kau menangkapku?’” Kubentak orang yang berjas putih itu di
hadapanku.

‘“Justru aku yang seharusnya bertanya padamu, Monster Kecil. Mengapa kau
lancang sekali memasuki wilayahku?’” Dia mengarahkan silet itu di leherku.

Whoops, sepertinya aku berada dalam masalah besar.

Chapter 11 : The Truth

‘“Kuulangi sekali lagi, mengapa kau memasuki wilayahku?!’”

Sepertinya profesor gila itu mulai kehilangan kesabarannya, karena aku tak juga
menjawab pertanyaannya. Kalau dilihat dari penampilannya, kuperkirakan usianya
sekitar 30 tahunan.

‘“Ayo jawab! Atau kau mau kubunuh?!’” Bentaknya.

‘“Justru kau itu yang aneh! Mengapa kau mengubahku jadi begini, hanya karena
aku menerobos wilayahmu?’” Sahutku tak mau kalah juga.

‘“Akan kuceritakan segalanya. Kau pasti penasaran kan, Anak Manis?’”

Aku hanya mengangguk.

‘“Dahulu... Aku adalah seorang ilmuwan yang terkenal di kota ini... Semua orang
memujiku, menganggapku sebagai ilmuwan hebat... Hingga suatu hari, pemerintah
merebut segalanya dariku! Dia menganggapku sebagai buronan yang wajib
dipenjarakan, hanya karena aku dianggap membuat penelitian yang berbahaya, padahal
aku hanya melalukan eksperimen gen... Agar takkan ada lagi istilah manusia lemah dan
tak berguna...’”

‘“Lalu, mengapa aku yang ikut terlibat juga? Bukankah itu masalah pribadimu
dengan pemerintah, kan? Lagipula, aku tak ada sangkut pautnya dengan pemerintah,’”
sanggahku.

‘“Diam kau! Aku melibatkanmu, supaya melalui wujud monster dan naluri
pembunuhmu itulah, semua orang akan takut padamu, dan mereka juga akan tunduk
kepadaku, Boris Mashiyakov!
Dengarkan aku, Bocah. Bukankah kita ini memiliki takdir yang sama? Sama-sama
orang yang terlupakan? Dengan hanya ditemani oleh kesepian, kesedihan, depresi dan
keputusasaan?’”

Hah, bagaimana ia tahu semuanya tentang perasaanku?

‘“Bagaimana kau bisa tah-‘”

‘“Shhh... Kau mau tahu? Akhir-akhir ini aku sering mengintaimu. Membuntutimu
melalui droneku. Tapi kau sama sekali tidak tahu akan keberadaannya, kan? Dan,
apakah kau mau tahu juga, mengapa kau sering bermimpi buruk? Itu juga
perbuatanku.’”

Aku hanya menatap tak mengerti. Bagaimana ia juga tahu kalau aku sering
bermimpi buruk akhir-akhir ini? Dan hei, orang macam apa dia, sampai-sampai dia mau
memasang drone hanya untuk melihat segala gerak-gerikku?

“Kau masih bingung? Baik, akan kujelaskan. Ketika kau sedang tertidur, akulah
yang ‘“menghipnotismu’” agar kau bermimpi buruk.”

Hei, itu kan kejam sekali! Teriakku dalam hati. Atau mungkin saja aku yang
sering teledor? Sering tidur dimana saja, sampai-sampai tidak tahu dengan keadaan
sekitar?

‘“Dan sejujurnya... Satu saja tidak cukup. Aku ingin memiliki dua. Aku akan
menempuh segala cara untuk mendapatkan adik-’”

‘“TIDAK AKAN! Takkan kubiarkan kau mengubahnya menjadi monster


sepertiku! Karena jika kau berani menyentuhnya, bahkan sehelai rambutnya pun... Kau
akan kubunuh!’” Teriakku sambil berusaha melepaskan ikatan tali yang menjerat
tubuhku. Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya tali itu putus juga.

‘“Tidak secepat itu, Nak. Coba pikirkan lagi. Bukankah dengan wujudmu yang
sekarang ini, kau bisa bebas meneror satu kota, bahkan satu negara sekalipun? Dengan
begitu, semua orang akan mengakui keberadaanmu. Bahkan mereka juga akan menaruh
perhatian padamu!
Nah, bagaimana, apakah kau mau bekerjasama denganku?’”

Kedua tanganku mengepal erat. Jelas aku menolak tawaran itu. Walaupun aku
bisa menjadi makhluk yang lebih kuat daripada manusia biasa sekalipun, apa gunanya
jika aku terus hidup kesepian karena semua orang menjauhiku? Maka dengan tegas aku
menjawab,

‘“TIDAK MAU, DAN TIDAK AKAN PERNAH! Lebih baik aku hidup normal seperti
manusia lainnya, daripada punya kekuatan tapi harus menjadi mesin pembunuhmu!’”

‘“Sayang sekali, jadi keinginanmu hanya itu saja ya? Hmm, baiklah, akan
kukabulkan. Kau ingin ini, kan?’” Dia menunjukkan botol kecil berisi cairan berwarna
biru bening, seperti batu safir.

Aku langsung bergembira, ‘“Oh, kau punya serum penawarnya? Kalau begitu,
tolong berikan padaku?”

Ah, betapa liciknya dia! Ketika aku ingin menggapai botol itu, dia malam
melemparnya jauh-jauh.

‘“Namun dengan satu syarat...’” Dia menggantung kalimatnya. Aku jadi makin
penasaran.

‘“Kau harus mengalahkanku terlebih dahulu!’”

Uh, dia bicara serius. Dia tampak mengeluarkan sebuah botol seukuran
genggaman tangan dari balik jasnya. Botol itu berisi cairan berwarna hijau neon, yang
hampir penuh. Setelah itu, kamu bisa menebaknya sendiri.

Dia menenggak semua cairan itu!

Beberapa detik setelah ia melempar botol dan menyeka sisa cairan di mulutnya
dengan lengan jasnya, tiba-tiba saja tubuhnya langsung bereaksi dengan cairan kimia
tersebut (tidak seperti perubahanku yang membutuhkan waktu semalaman. Apa jangan-
jangan ia meminumnya dengan dosis tinggi?)

Tubuhnya langsung membesar, otot-otot besarnya muncul, dan saat itu juga,
jasnya langsung sobek, memperlihatkan badannya yang bertelanjang dada. Gigi-gigi
tajam dan kuku runcingnya tumbuh dengan cepat. Rambutnya juga ikut memutih. Dan
yang paling mengejutkan, dilihat dari tubuhnya saja, ia sudah tidak bisa dikatakan
sebagai ‘“manusia’” lagi, karena menurutku, ia lebih terlihat seperti monster raksasa
yang buas. Pokoknya, melihat wajahnya pada saat ia masih berwujud manusia saja
sudah menjijikkan bagiku, apalagi kalau dia bermutasi menjadi seperti ini.

‘“Roaarr!’” Ia mengaum dengan keras. Ditambah dengan air liur yang menetes
dari sela-sela giginya, membuat kesan kalau dia ingin segera memakanku hidup-hidup.

Aku hanya bisa menelan ludah. Ukuran tubuhnya lebih besar dariku, sepertinya ia
sangat kuat. Aku sempat pesimis, bagaimana jika aku tak bisa mengalahkannya?

Bagaimanapun juga, aku harus mengalahkannya. Demi menyongsong kehidupan


yang normal di masa depan. Demi penduduk kota Sankt Petersburg yang tak bersalah.
Demi keluargaku. Demi Rei.

Demi semuanya.

Untuk kali ini, aku harus bisa menggagalkan ‘“ramalan’” dalam mimpiku
secepatnya, atau semuanya akan menjadi terlambat, dan hanya penyesalan seumur hidup
yang didapat.

Sejenak, aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan-lahan.


Kemudian aku memasang kuda-kuda, bersiap untuk bertarung.

‘“Ya, aku siap... Mashiyakov...’” Jawabku dengan mantap.

Walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku takut.

Chapter 12 : The Final Battle

Malam ini, adalah penentuan akhir. Karena ini adalah pertarungan antara hidup
dan mati, bagiku.
Angin malam yang dingin bertiup kencang, sepertinya akan turun hujan (atau bisa
jadi salju yang akan turun). Akan tetapi, aku tidak mempedulikannya.

Aku sudah bersiap-sedia, dan ia juga sudah siap. Siap untuk membunuhku,
maksudku.

Aku lalai. Dia menyerangku duluan!

Ia berlari menghampiriku, seperti seekor badak yang mengamuk. Segera aku


melompat ke samping, menghindari serangannya. Tapi sayangnya, aku lengah. Dia
berhasil mengenaiku!

Ternyata kekuatannya tidak main-main. Tubuhku menubruk tumpukan rak kayu


di belakangku, seketika rak kayu tersebut langsung hancur, menjadi serpihan-serpihan
yang tak bernilai lagi.

‘“Hei! Aku kan belum siap!’” Makiku sambil mencoba untuk bangkit. Tetapi ia
mengacuhkan teriakanku.

Kembali ia menyerangku dengan membabi buta. Mungkin ini saatnya untuk


melakukan serangan pembalasan.

Ketika ia hendak menghantamku, aku segera melompat, melangkahinya. Sebelum


aku benar-benar ‘“pergi’”, kutinggalkan sebuah ‘“tanda’” untuknya. Sebuah bekas
cakaran di wajahnya.

Coba tebak, apa yang terjadi setelahnya? Ia mengerang kesakitan, walaupun bekas
itu hanya membuat satu-dua tetes darah.

Ia mendesis marah. Seketika itu juga, ia langsung berlari ke arahku.

9.00 P.M.

Gadis itu hanya mondar-mandir dengan gelisah. Bagaimana tidak, waktu telah
menunjukkan pukul sembilan malam, namun Alina belum kembali juga. Pasti sesuatu
yang buruk telah terjadi padanya, begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh gadis
tersebut.

Nasihat untuk menunggu saja, ia langgar. Bagaimanapun juga, ia tak mau senpai
yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya sendiri itu terluka, atau yang paling
parah, meninggal di tempat antah berantah sana.
Segera ia mengobrak-abrik seisi gudang di rumah kosong itu. Ia berharap dapat
menemukan senjata keren seperti crossbow, dagger atau nunchaku, namun yang ia
temukan hanyalah pisau lipat, ketapel dan tongkat baseball. Baginya, itu juga sudah
cukup.

Semuanya ia bawa dalam tas ransel di punggungnya. Sebelum mereka pergi dari
asrama, untungnya ia sudah membawa kotak P3K, jika temannya sedang terluka, ia
dapat langsung merawatnya. Ia berangkat menuju tempat terpencil itu.

Ia terus berlari dan berlari. Aku harus segera sampai di sana, sebelum semuanya
terlambat,begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh gadis tersebut.

Ia bergerak ke arah utara dari kota, melewati jalan panjang yang melelahkan,
sampai akhirnya ia sampai di tempat sepi, dekat Teluk Finlandia. Tempat yang dapat
mempererat hubungan pertemanan mereka, sekaligus berhasil mengubah pola pikir
Alina tentang Rei.

Ia berhenti sejenak di teluk itu, mencari batu kerikil sebagai ‘“amunisi’”


ketapelnya. Dan betapa beruntungnya ia ; tak disangka ia menemukan skateboardnya
kembali.

Sesampainya disana, ia berjalan mengendap-endap, melewati pos penjagaan.


Kosong. Tak ada siapapun disana. Pasti itu hanya jebakan, aku harus hati-hati,
batinnya.

Sayup-sayup ia mendengar suara perkelahian, lebih tepatnya desisan dua monster


buas yang sedang bertarung. Ia hanya bisa mengintip dengan perasaan ngeri, takut
melihat secara terang-terangan. Kalau ia ketahuan mengintip, bisa-bisa ia yang menjadi
sasaran berikutnya, mengingat ia hanyalah manusia yang sama sekali tak tahu cara
bertarung. Tetapi ia yakin, salah satu dari monster tersebut pasti kameradnya, dilihat
dari rambut putih panjangnya.

Ia memutuskan untuk melapor pada polisi saja, karena ia yakin, takkan bisa
menangani masalah ini sendirian. Namun yang menjadi masalah, ia takut kalau
laporannya hanya dianggap sebagai bualan semata. Setelah memastikan tidak ada
siapapun, dia pun kembali ke kota untuk mencari kantor. Lagi-lagi ia harus menempuh
perjalanan yang berat. Akan tetapi setidaknya ia berjumpa dengan yang sedang duduk-
duduk di dalam mobil di pinggir jalan.
Tanpa permisi ia langsung menghampiri keduanya. “Umm, excuse me, Sir, can
you help me, please?” Sahut Rei agak terbata. Karena ia tak mengerti bahasa Rusia,
maka terpaksa ia menggunakan bahasa Inggris.

“...Help you for what?” Setelah saling menoleh satu sama lain untuk menunjuk
siapa yang akan berbicara pada gadis kecil itu, akhirnya ada juga yang mau menjadi
‘“penerjemah’”nya.
“There’”s monsters attack in Saint Peterburg dock, Sir.”

“Monsters?” ‘“Penerjemah’” tersebut tak percaya dengan apa yang didengarnya.


Setelah ‘“penerjemah’” itu berdiskusi dengan polisi satunya, mereka menyimpulkan
bahwa ini pasti ulah anak-anak iseng yang suka melakukan laporan palsu sambil
mengarang-arang cerita khayalan mereka.

“Sorry, but are you kidding me, Kid? Monsters is only exist on fairytale and
cartoon, you kno-”
“NO! I’”M SERIOUS, SIR!”

Setelah berdebat cukup lama (karena dari awal mereka memang tidak percaya
dengan ucapan Reina), akhirnya mereka mengalah, “Okay, okay, we’”ll go there. Can
you tell me the current location, please?”
“I repeat, in near the Neba River-“ belum selesai melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba Rei
diseret oleh seseorang, yang diam-diam membuntuti Rei saat gadis itu hendak mencari
bantuan.

“HEEELP! HELP MEEEE!!” Itu adalah teriakan terakhir Rei.

“Hello, Kid, are you-“ Baru saja si penerjemah menoleh sebentar, Rei sudah tidak
ada. Hanya ada skateboard yang tertinggal di samping badan mobil patroli.

“Dia menghilang, Pak. Tadi aku melihat sesosok misterius menculik anak itu.”
“Apa kau yakin?”
“Da.15 Walaupun aku hanya melihatnya sekilas, tetapi aku bersumpah, aku sedang tidak
mabuk, Pak.”

“... Sepertinya anak itu benar, ini masalah yang serius.”

10.30 P.M.

15
Ya.
Ah, sial! Kenapa ia kuat sekali? Batinku sambil bersembunyi dibalik tumpukan
kardus bekas.

Aku tak kuat menahan lebih lama lagi. Kekuatannya semakin menjadi-jadi saja.
Jika aku terus memaksakan diri untuk meladeninya, bisa jadi nyawaku sendiri yang
terancam. Terpaksa aku mencari tempat lain untuk bersembunyi.

Saat itu juga, tiba-tiba aku langsung teringat Rei. Bagaimana jika aku tak pernah
kembali? Bagaimana jika Rei terus menunggu dan menunggu tanpa ada kepastian?
Bagaimana jika Mashiyakov tahu keberadaan Rei, lalu menculiknya dan mengancamku
dengan nyawa Rei sebagai taruhannya? Bagaimana jika aku mati disini, hanya
ditemani kesepian dan keputusasaan?

Berbagai pertanyaan itu terus menggangguku, sampai-sampai sakit kepalaku


kambuh lagi.

‘“Di mana kau?! Pertarungan kita masih belum selesai!’” Sebuah suara parau
mengagetkanku, diiringi dengan langkah kaki berat.

Kupikir tahunya hanya menggeram saja. Ternyata ia juga bisa bicara.

Namun tetap saja aku khawatir. Setahuku, yang bisa bicara biasanya lebih cerdas
daripada yang hanya bisa menggeram. Itu artinya, bisa saja ia menggunakan taktik
kotornya untuk menggagalkan rencanaku dengan segala cara.

‘“Kau bisa lari, namun takkan bisa sembunyi selamanya dariku!’” Ia tampak
mengendus-endus sekeliling ruangan. Gawat jika ia sampai mencium hawa
keberadaanku.

Duh, aku lalai lagi. Tanpa sengaja aku merobohkan tumpukan kardus yang
seharusnya melindungiku dari pandangannya. Jadinya aku segera terlihat. Tak ada
pilihan lagi selain kabur.

“Rupanya kau disitu, ayo kemarilah! Permainan kita masih belum selesai!”

Tolong, kasihanilah aku sedikit saja. Aku bukan pengecut, aku hanya ingin
mengembalikan tenagaku saja. Setelah itu, aku akan melanjutkan pertarungan kita. Aku
janji.
Kujatuhkan tumpukan kardus yang tersisa untuk menghalangi jalannya, namun
sia-sia saja.
Dengan mudahnya ia menyingkirkan kardus yang berjatuhan.

‘“Ha! Kau pikir itu akan menghalangiku?’”

Aduh, aku harus bagaimana? Di depanku, hanya ada pintu besar yang terkunci,
padahal itu satu-satunya jalan untuk melarikan diri. Sementara itu, dia makin mendekat.

“Mendekatlah! Bukankah kau merindukanku?”

“Tidak!” Teriakku sambil mengorek lubang kunci dengan ujung kuku, dengan
harapan pintu itu segera terbuka. Tetapi sama saja, pintunya tidak mau terbuka.

“Mau kabur kemana lagi, hah? Tidak ada jalan keluar untukmu!”

Ugh, dia benar. Tak ada jalan untuk kabur. Tak ada harapan lagi.

Kini satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah duduk pasrah.

Namun...

“Tembakan arah jam 12, banzaaii!!” Sebuah suara kecil dan melengking,
memecah kesunyian. Tentu aku mengenal pemilik suara tersebut. Siapa lagi kalau
bukan Rei?
Ia sibuk melempari kerikil dengan bantuan ketapelnya. Dan salah satu lemparannya
tepat mengenai salah satu matanya. Momen itu ia manfaatkan untuk mendekatiku,
selagi makhluk itu mengerang sambil menutupi matanya.

Dengan gagah berani, gadis yang tinggi badannya tak lebih dari bahuku, nekat
datang ke tempat seperti ini hanya untuk menolongku. Saat itu juga aku merasa sangat
malu, seharusnya akulah yang berada di posisinya sekarang, bukannya dia yang malah
menyelamatkanku.

Kau bodoh, Rei. Kau benar-benar anak terbodoh yang pernah kutemui...

“Kau baik-baik saja, kan?” Dengan lugunya ia menanyakan pertanyaan tersebut


padaku.

Aku merasa sakit hati dengan pertanyaan tersebut, entah mengapa. Apa karena
aku tampak sebagai wanita lemah baginya? Maka dengan berat hati kusampaikan semua
yang ingin kukatakan padanya.
“Kau bodoh, Rei. Mengapa kau mau saja datang ke sini, hanya untuk
menyelamatkanku? Selain itu pula, kau juga keras kepala. Bukankan tadi kau sudah
kusuruh untuk tetap di dorm?
Kau juga terlalu naif! Kau pikir, dengan membantuku dalam pertarungan ini, aku akan
senang begitu? Justru aku kecewa padamu.
Kumohon, biarkan aku menyelesaikan urusan ini. Aku tak ingin kau melibatkan diri,
karena aku takut kau akan mendapat masalah besar...”

Akhirnya (lagi-lagi) kukeluarkan juga beban hatiku. Dan sekali lagi Rei hanya
terdiam, sudut matanya meneteskan cairan bening, sebening kristal. Air mata.

“Kau tahu... kenapa aku datang kesini...? Itu semua... Karena aku
mengkhawatirkanmu, bodoh! Teman macam apa yang tidak peduli terhadap
keselamatan temannya sendiri?” Ia menangis di hadapanku.

Aku sudah bersiap untuk menampar, atau mencakar wajahnya, berhubung ini
adalah saat yang tepat untuk melampiaskan dendamku padanya. Dendam pada saat
pertama kami bertemu, karena kelakuannya yang memalukan itulah, menyebabkan aku
‘“bermasalah’” di sekolah. Selain itu juga, dia yang menyebabkan sekolah lebih
menyayangi dia daripada aku. Dan jika ia mendapat masalah, maka akulah yang kena
getahnya, karena aku bakal dianggap sebagai ‘“kakak yang tidak becus’”. Ya,
sebenarnya hingga saat ini, aku masih menyimpan dendam itu.

Namun, karena tak tega melihat wajahnya yang sedang bersedih, kubatalkan niat
itu, dan mulai mengelus kepalanya yang kudekapkan di dadaku, seraya memeluk
badannya itu. Sungguh hina diriku jika ia sudah berusaha menjadi ‘“adik’” yang baik
demi diriku, namun aku membalasnya dengan pengkhianatan.

Reina... jujur aku masih penasaran denganmu. Mengapa kau mau saja
menolongku? Padahal kau sendiri juga tahu kalau aku ini tidak layak untuk berteman
dengan siapapun. Selalu dijauhi orang. Ditakdirkan untuk selalu sendirian. Cewek
aneh. Antisosial. Dan semua hal itu kombinasi yang tepat untuk menciptakan monster
seperti diriku.

Mengapa, Rei? Mengapa? Tolong jawablah rasa penasaranku.

“Sudah cukup bersedih-sedihnya? Hanya itu saja ucapan salam perpisahanmu?”


Hah, aku hampir lupa! Mashiyakov masih ada! Dengan sigap aku langsung
mengajak Rei ke lantai 2, mencari pintu yang bisa dibuka. Setelah cukup lama berlari,
akhirnya kami menemukan sebuah ruangan lain. Ruangan yang tampak kumuh dan
jorok karena memang telah lama ditinggalkan. Namun setidaknya ruangan tersebut
memiliki pintu yang bisa ditutup dan jendela terbuka yang menghadap ke luar.

Kusuruh Rei masuk duluan, kemudian aku masuk sambil mengunci pintunya dari
dalam. Aku bersusah payah menahan pintunya, dengan posisi punggungku bersandar di
daun pintu.

Benar saja, beberapa detik kemudian, terdengar suara dobrakan dari luar.

“Hei, kalian! Buka pintunya! Dasar kurang ajar! Berani-beraninya kalian


meremehkanku! Kalau kalian berhasil kutangkap, akan kupotong-potong tubuh
kalian!!”

“Dia... Dia... Bicara apa?” Walaupun Rei tak mengerti apa yang diucapkan oleh
Mashiyakov, nampaknya geraman tersebut cukup untuk membuatnya bertingkah seperti
tokoh kartun si anjing merah muda penakut itu, karena nada suaranya yang parau dan
menyeramkan.

“Abaikan saja. Dia hanya menggertakmu. Sekarang kau harus keluar dari sini
dulu,”
Dia hanya membalas dengan gumaman, ketika kami berusaha turun melewati jendela
dengan perlahan. Ketika kami berhasil mendarat, tiba-tiba terdengar siulan dari
kejauhan.

“Sstt, masih ada penjaga!” Reina mengajakku bersembunyi di balik tembok.

“Biar aku yang menanganinya, aku pasti bisa,” katanya, sambil berusaha
meyakinkanku
Jelas aku menolak ide itu. Bagaimana kalau perlawanannya sia-sia karena dia
tertangkap?
“Ayolah, kita kan teman. Teman harus saling percaya dong,” bujuknya.
Puh, baru kenal kemarin tapi dia sudah berlagak sok kenal sok dekat saja. Tapi kurasa ia
benar.

Sebagai yang lebih tua, kuputuskan pilihan yang menurutku terbaik. Menyuruh Reina
untuk segera pergi dari sini, tapi jangan sampai ketahuan oleh penjaganya. Tetapi Reina
bersikeras agar ia yang mengalihkan perhatiannya, agar penjaga gerbang itu tak
mengincarku. Akhirnya aku mengalah lagi.

“Baiklah, sebaiknya kau pergi secepatnya. Tapi jangan sampai tertangkap.”


Bisikku sambil memanjat tembok dengan bantuan cakarku.

“Baik!” Ia menganggukkan kepalanya sesaat, kemudian melesat pergi.

Semoga kau beruntung, Reina.

“Aku kembali, sesuai dengan keinginanmu.”


“Ah, kukira kau kabur seperti seorang gadis penakut, Gadis Kecil.”
“Jangan pikir hanya karena aku seorang gadis, lalu kau merendahkanku seperti itu.”

Aku kembali ke ruangan, untuk menyelesaikan ‘“urusan’” yang belum selesai.

“Apakah kau sudah siap?”


“Tunggu sebentar...” Kusobek kedua bagian celanaku hingga mencapai bagian atas
lutut, agar aku lebih leluasa bergerak.
“Aku sudah siap,” Kataku sambil kembali memasang kuda-kuda.

Ia mengerang sekali lagi, dan mulai berlari ke arahku. Aku harus lebih siap
darinya. Saat dia hendak menyerudukku dengan kepalanya, refleks kutahan kepalanya
dengan lempengan logam. Tenaganya besar sekali! Sampai-sampai kakiku bergeser
mundur.

Aku harus membuat gerakan perlawanan. Kujegal perutnya dengan lututku. Tapi
dia tak menyerah begitu saja. Dia balas memukulku juga. Begitu seterusnya, saling
menyerang dengan memukul dan menendang seperti pertarungan antar manusia pada
umumnya (namun terkadang ada kalanya saling menggigit dan mencakar, yang
membuat kami tak ada bedanya dengan binatang).

“Menyerah sajalah, berikan saja adikmu itu, dan kau akan kuampuni. Tubuhmu
penuh dengan luka begitu, kau masih saja menantangku?”

“Tidak, bagiku lebih baik mati sebagai gadis yang terhormat, daripada hidup
sebagai gadis yang hina karena harus mengkhianati sahabatnya sendiri!” Teriakku
lantang.
Padahal memang benar apa yang ia ucapkan. Tubuhku penuh dengan darah, dan
kurasakan darah mulai mengalir dari luka di bahuku.

Bagaimanapun juga, kekuatanku juga ada batasannya. Dengan satu gerakan, ia


berhasil menendangku dengan kaki besarnya itu, kurasakan sakit melanda perutku. Aku
hanya bisa berusaha bangkit perlahan-lahan, tetapi ia bergerak lebih cepat. Ia
mencengkeram kedua lenganku, lalu mulai menarik kedua lenganku ke arah yang
berlawanan.

“Aku sudah peringatkan, tapi kau masih tetap saja keras kepala,” ocehnya.
“Aku tak peduli!”

Dia makin mengencangkan tarikannya. Kutahan rasa sakitnya itu dengan


menggigit bibir bawahku.

“Kuberi kau kesempatan terakhir ; serahkan gadis kecil itu, dan kau akan
kuberikan serum penawarnya!” Bentaknya sambil memperlihatkan deretan gigi
tajamnya ke wajahku.

“Aku tidak butuh janji busukmu, Mashiyakov. Kau benar-benar iblis. Iblis
memang sudah tidak ada lagi di neraka, karena iblis sepertimu tersebar di dunia ini!”
Geramku.

“Padahal sudah kuberikan tawaran yang menarik, tapi kau masih saja tidak mau.
Jika kau kehilangan lenganmu, jangan salahkan aku, karena memang kau yang
memintanya. Kau pasti akan menyesalinya!”

Dia tidak main-main. Aku hanya bisa terus-terusan berteriak kesakitan. Daripada
nanti aku harus tidak memiliki tangan, terpaksa aku menyanggupinya.

“Baik, baiklah! Aku menyerah! Aku akan menyerahkan dia untukmu!”

“Ah, jawaban yang kuharapkan.” Akhirnya ia mau juga melepaskan


cengkeramannya.

“Kau jangan kemana-mana, sepertinya aku mencium bau polisi disini. Bukankah
mereka juga akan mengincarmu jika kau nekat keluar?” Dia melemparku begitu saja ke
sudut ruangan.
Justru kau itu yang akan mendapat masalah besar, bodoh. Kau sudah
mengubahku menjadi makhluk aneh, sudah begitu kau juga melakukan kekerasan fisik
padaku.

Baru saja keluar dengan mendobrak kaca jendela depan, ia sudah disambut
dengan . Firasatnya benar. Aku hanya bisa mengintip, jauh di pojok belakang ruangan
lantai 2.

“Here’”s that monster!” Teriak Rei. Sayangnya, justru karena teriakannya itu,
Mashiyakov terlanjur melihatnya, jadi sekarang perhatiannya beralih pada Rei. Ia buru-
buru berlari.

“Angkat tangan! Jangan kejar anak kecil itu! Ini perintah!”

Alih-alih menyerahkan diri, ia malah menggeram marah, kemudian mengejar anak


itu. Terpaksa para polisi itu melepaskan tembakan. Namun peluru itu seolah-olah tidak
berarti, mungkin seperti kerikil kecil baginya. Yang ia pedulikan hanyalah bagaimana
cara mendapatkan Rei.

“Rei... na...?”

Perlahan-lahan aku mulai berdiri, berjalan tertatih-tatih, karena tubuhku mulai


lemas.

“Reina!” Panggilku saat mendekat ke kaca depan yang menganga, tetapi tidak ada
respon darinya. Kulihat sekeliling, sepi. Aku berani bertaruh, pasti mereka sedang sibuk
mengurusi makhluk menjijikan tersebut, sambil berusaha menenangkan Reina yang
sedang panik karena ia takut mati. Kuputuskan untuk balik badan, kemudian menuruni
anak tangga.

Aduh, luka di tubuhku ini makin sakit saja, tapi mau tak mau aku harus tetap
bergerak, kalau tidak hal buruk akan menimpa Rei (atau yang paling parah, orang lain
juga terkena imbasnya).

Apa yang harus kulakukan?

Aku terus berjalan, melangkah pelan-pelan, sampai akhirnya kembali ke lantai


dasar. Yang harus kulakukan pertama-tama adalah... Oh ya ampun, kenapa aku malah
jadi bingung begini?
Berpikirlah, Alina! Berpikirlah! Kau harus lakukan sesuatu!

“Aduh...” rintihku ketika kupaksakan kakiku untuk melangkah. Melihat lukaku


ini, sepertinya yang paling utama adalah aku harus menemukan obat, perban, ataupun
penghilang rasa sakit, atau apapun itu, agar rasa sakit yang menderaku ini tak terus
menghalangiku untuk melakukan sesuatu. Meskipun aku tahu, itu terdengar mustahil
untuk menemukan obat di bangunan mangkrak seperti ini.

Kujelajahi setiap inci sudut ruangan, tetap tidak ada. Sampai akhirnya aku
menemukan sesuatu yang membuatku sangat penasaran. Sebuah pintu yang terkunci.
Pintu yang tadinya kupikir itu adalah tempat untuk melarikan diri. Jika aku berhasil
membukanya, siapa tahu ada obat untuk menyembuhkan lukaku.

Sekali lagi kucoba untuk membukanya dengan ujung kuku, tetap tidak bisa.
Kudobrak pintunya, tidak bisa terbuka juga. Sebaiknya cari cara lain daripada harus
menambah lecet tubuhku.

Saat aku mondar-mandir untuk mencari ide, kakiku menginjak sesuatu.


Untungnya saja benda itu berada dalam posisi horizontal, jadi kakiku tidak terluka.
Sesuatu itu memiliki ujung yang runcing. Ah, penjepit kertas! Aku jadi teringat saat Rei
berusaha membebaskanku waktu itu. Akan kutiru apa yang ia lakukan.

Kuluruskan penjepit itu agar menjadi panjang, lalu kumasukkan ujungnya ke


lubang kunci. Awalnya memang susah, namun perlahan-lahan akhirnya terbuka juga.

Aku melongokkan kepalaku, ternyata ada sebuah tangga yang menurun, menuju
sebuah basement. Di sana serba gelap, di sepanjang lorong hanya ada lampu remang-
remang berdaya 5 watt, dan tiap lampu jaraknya agak jauh. Duh, aku jadi takut.
Bayangan mengenai monster penjaga dalam kegelapan yang lebih besar dariku dan
bersiap untuk menerkamku kapan saja, kembali menggerayangi memoriku. Salahku
juga karena lupa membawa senter.
Tapi di sisi lain, waktuku tidak banyak ; aku harus segera mencari senjata, atau sesuatu
untuk membantu mereka.

Akhirnya kuberanikan juga diriku.

Aku menyusuri lorong gelap ini, sendirian. Pintu demi pintu kuperiksa, tetap nihil.
Aku sempat putus asa, sampai akhirnya kutemukan sebuah ruangan yang tampak
bercahaya di ujung sana. Kuhampiri ruangan itu. Ruangan yang selama ini membuatku
ketakutan, sekaligus mengalami deja vu. Ya, itu adalah ruangan di saat kami ditahan,
untuk dijadikan bahan percobaan. Walaupun hanya aku yang harus menanggung rasa
sakit ini sendirian, akan tetapi setidaknya anak kecil tak berdosa seperti Rei tak harus
ikut menanggungnya juga.

Kembali aku menjelajahi tiap sudut ruangan. Hei, melihat deretan cairan kimia
berwarna-warni ini... Aku jadi teringat sesuatu lagi. Saat ia berkata tentang serum
penawar itu... Ah, kenapa tak kupikirkan itu juga sejak tadi?

Segera kucari cairan berwarna biru bening itu. Kuakui, agak susah memang,
karena lebih banyak warna lainnya daripada warna biru yang kumaksud. Akan tetapi
aku tetap yakin, serum biru itu pasti bakal kutemukan.

Lima belas menit kemudian...

“Ketemu juga kau!” Seruku riang saat berasil menemukan serum itu

Epilogue

Satu tahun kemudian...

Ujian akhir telah kulalui. Aku telah melihat nilai-nilai ujian dan raportku.
Walaupun nilaiku hanya pas-pasan, yah tapi setidaknya aku punya kabar gembira, kalau
sebentar lagi aku akan lulus. Walaupun aku juga sempat dianggap bolos sekolah dikala
kami diberitakan menghilang itu, tapi nyatanya aku masih bisa mengejar
ketertinggalanku itu.
Aku bersyukur, kini aku bisa kembali hidup normal seperti gadis lainnya
(walaupun tidak seratus persen parasit itu musnah, tapi setidaknya tidak separah dulu),
semua ini berkat kecerdikan Reina. Kalau saja aku tak pernah bertemu dengannya,
mungkin hidupku akan terus kosong melompong, dan mungkin saja, aku harus
menghabiskan sisa hidupku bersembunyi karena tak ingin membuat orang lain takut
padaku.

Angin bertiup kencang, tetapi ombak tetap tenang. Sekarang aku tidak perlu takut
lagi mampir ke pelabuhan itu, karena akhirnya penjahat itu tertangkap, dan keadaan
kembali normal juga. Isu pencemaran limbah itu ternyata hanya akal-akalan agar proyek
rahasianya tidak diketahui oleh warga sipil hingga pemerintah.

“Arina-san!”

Dia melambaikan tangannya ke arahku, kemudian berlari kecil agar duduk di


sampingku. Saat sepulang sekolah tadi, kami sempat janjian untuk bertemu di dermaga.
Tampaknya ia ingin mengabariku sesuatu yang agak penting.

“Ada apa? Kau ingin bilang apa?”


“Selamat ya! Kau akan lulus!”
“Terima kasih, kau juga naik kelas, kan?”
“Iya, tapi...”
“Tapi apa?”

“Aku tak bisa meneruskan sekolah disini lagi... Orangtuaku menyarankan aku untuk
segera pulang saja...”

Bagai petir di siang bolong, tentu aku terkejut dengan jawaban itu.

“Serius, Reina?”
“Ya... Mereka bilang kalau mereka kangen padaku.”

Aku merasa terpukul dengan jawaban itu, entah mengapa. Aku mulai merasakan
kalau mataku mulai panas, ingin mengeluarkan air mata. Tapi sebisa mungkin kutahan
air mata itu, aku tidak ingin dianggap cengeng.

Maka tanpa ba-bi-bu lagi, buru-buru aku pulang.

“Rei, aku mau pulang dulu,”


“Eh, ada apa? Kenapa kau terburu-buru?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku terus berlari. Berlari untuk menghindar dari
kenyataan.

Dalam perjalanan pulang, aku menangis. Terus menangis. Untuk pertama kalinya,
aku merindukan sosok Reina, bocah asing yang mau peduli padaku, bocah yang tetap
mau berteman denganku apa adanya, dan yang mau membantuku dikala aku kesulitan.

Bahkan sepanjang jalan, orang lain terus bertanya, “Kenapa kau menangis?”,
tetapi aku tidak menggubrisnya karena sibuk membenamkan wajah ke telapak tangan
yang mulai basah oleh air mataku.

Sampai detik ini, aku bersumpah tidak akan melupakan anak itu, apapun yang
akan terjadi.

Besoknya...

Gadis itu tengah bersiap-siap. Bersiap-siap untuk pergi dari sini. Karena dia akan
kembali ke negara asalnya.

Pagi ini dia terlihat sibuk. Sejak kemarin dia hanya sibuk beres-beres,
memasukkan semuanya dalam kardus dan troli.

‘“Hei, Kak. Ternyata kau datang lebih awal, ya,’”

Segera aku menoleh ke arah sumber suara. Di depanku, tampak seorang gadis
manis, berdandan rapi, membawa sebuah bingkisan yang disertai dengan sepucuk surat.
Ia adalah Reina.

‘“Berhubung sebentar lagi aku akan pergi, kuberikan saja bingkisan ini, sebagai
kenang-kenangan. Aku harap, walau kita berpisah jauh, kita akan tetap terhubung, ya?
Oh iya, suratnya jangan lupa dibaca,’” Ia menyerahkan bingkisan itu padaku.

‘“Terima kasih, tapi menurutku kau tampak berlebihan. Dan maaf, aku tidak
memiliki apapun untuk kuberikan padamu, kecuali hanya ini.’” kataku sambil menerima
bingkisannya, kemudian kubalas hadiahnya dengan kado berisi sebuah mainan boneka
berbentuk wanita gemuk yang ekspresi wajahnya tampak ceria itu.
‘“Woah, boneka lucu! Makasih, ya! Kok kamu tahu kalau aku pengen punya ini?”
Serunya sambil menggenggam gemas matryoshka16 tersebut, setelah ia membuka
kadonya.

“Emm, rahasia. Oh iya, Reina...”


“Ya, Arina?”
“Aku boleh meminta sesuatu padamu?”
“Meminta apa?”
“Apakah aku boleh... Meminta ini?” Tanyaku sambil mengambil boneka terkecil dari
matryoshka yang kuberikan pada Reina tersebut.
“Ya, tapi untuk apa?”

“Untuk... Yah, aku tahu ini terdengar sangat mustahil, tapi suatu hari nanti jika
kita bertemu lagi, aku akan mengembalikan ini padamu. Meskipun pada saat itu kau
tidak mengenaliku sekalipun, akan tetapi setidaknya boneka ini telah menjadi saksi bisu,
kalau aku pernah memberimu boneka itu sebagai lambang persahabatan kita.”

Tiba-tiba aku mendengar seruan seorang wanita, yang kuperkirakan itu adalah
ibunya Rei. Oh, ternyata ia sudah menunggu dari tadi. Walaupun aku tidak mengerti apa
yang wanita itu ucapkan, namun dilihat dari ekspresinya sudah jelas kalau dia menyuruh
Rei untuk segera masuk ke taksi.

“Maaf, aku harus segera pergi. Selamat tinggal, Kak. Aku harap, kita bisa bertemu
lagi, suatu hari nanti,” Untuk terakhir kalinya, kupeluk badannya dengan erat. Tangisku
mulai pecah saat aku melepaskan pelukanku, kemudian meletakkan semua barang
bawaannya ke bagasi.

“Aku juga berharap begitu, Reina.”

Ketika ia mulai memasuki taksi, dan kemudian taksinya bergerak perlahan


menjauhiku, ia berteriak padaku.

“Sayonara!” Ia berteriak sambil melambaikan tangan kecilnya dari balik kaca


mobil belakang.

Aku hanya bisa menjawab “Da svidanya17,” sambil balas melambaikan tangan.

16
Sejenis boneka kerajinan tangan khas Rusia. Boneka ini memiliki ciri khas unik, yaitu bisa ditumpuk
berurutan, mulai dari boneka terbesar yang terletak paling luar, hingga ke boneka terkecil yang terletak
paling dalam.
17
Sampai jumpa.
Akhirnya, sosoknya mulai mengecil, dan menghilang karena taksinya berbelok ke
arah lain.

Kubaca surat dari Rei. Dengan hati bergetar, kubaca isi surat tersebut. Walaupun
memang agak panjang, tetapi tidak apa-apa. Itu tandanya ia menulisnya dengan sepenuh
hati.

“Dear Arina-senpai,

Ingat saat kita pertama bertemu dulu? Waktu itu kita bertengkar karena hal
sepele, dan kuakui, itu hal yang sangat konyol untuk dikenang (sekaligus untuk
ditertawakan).

Ingat saat kau diubah menjadi monster oleh ilmuwan gila itu? Sekarang ia telah
dipenjara dengan pasal berlapis, yaitu dugaan pelanggaran rekayasa genetika
terhadap manusia, sekaligus kekerasan terhadap wanita. Kudengar kau lebih memilih
tubuhmu penuh luka demi melindungi diriku, daripada kau harus menebusnya dengan
aku, ataupun harga dirimu.

Namun dibalik itu semua, hanya ada satu hikmah yang perlu aku syukuri, yaitu
dirimu.
Mau tahu kenapa? Karena kau satu-satunya teman yang mau mengerti diriku apa
adanya. Mungkin kau pernah menganggapku sebagai anak manja, keras kepala,
kekanak-kanakan, cerewet, egois...

Tapi itu tidak apa-apa, karena semua itu memang benar. Dan kau tetap saja mau
berteman denganku, walaupun kau telah mengetahui sifat asliku. Berbeda dengan
teman-temanku sebelumnya yang pernah aku temui ; semuanya langsung menjauhiku
begitu mereka mengenal watakku yang sesungguhnya.

Selain itu juga, kau rela melakukan apa saja, demi persahabatan.

Itulah alasanku mengapa aku tetap menjagamu, meski kau pada saat itu menjadi
monster. Karena aku yakin, kau masih memiliki perasaan, kan? Bahkan pada saat
pertama kali kau melihatku, tatapanmu melembut, meskipun juga pada saat itu kau
ingin segera membunuhku, karena aku tahu, kau masih menyimpan dendam padaku
dalam hatimu. Ya, dendam karena aku telah mempermalukanmu di hari pertama aku
sekolah.
Sejujurnya, aku ingin lebih lama bersamamu. Lebih lama, dan lebih lama lagi.
Namun sepertinya takdir tak mengizinkan kita untuk bersama.

Jika itu memang takdirnya, aku hanya berharap, kelak semoga kita bisa bertemu
lagi, kapanpun dan dimanapun kita berada.

P.S. : Tolong jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku janji, aku akan menjaga
diri, maka aku akan baik-baik saja.

P.S. 2 : Ini alamat email-ku, jika kau ingin terus berkomunikasi denganku setiap
hari

Sweetsakura21@yahoo.co.id

Sincerely,

Your kouhai, Reina Natsuki.”

Air mataku jatuh saat selesai membacanya. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi,
kecuali hanya tiga kata;

“Bolshoye spasiba, Reina.18”

18
Terima kasih banyak, Reina
Tentang Penulis

Yustine Melinda (atau bisa disebut Yustine saja),

Walaupun I am (Not) a Monster ini adalah buku pertamanya, tapi ia mengakui


bahwa mengembangkan ide cerita agar menarik untuk dibaca itu memanglah susah.
Sejujurnya, ia ingin berkarya di Mizan Fantasteen, namun niatnya itu terhalangi oleh
usianya yang sudah mulai menuju kepala dua.

Cita-citanya yang sebenarnya adalah ingin menjadi komikus di situs web komik
online, meskipun keadaan memaksanya untuk memilih jurusan Sastra Bahasa Asing,
karena tidak memiliki skill menggambar yang bisa dibilang tidak bagus dalam
menggambar gaya anime

Ingin kenalan atau sekadar mengirim kritik dan saran? Ayo, inbox emailnya di
yustinemelindam@gmail.com. Atau bisa juga via Facebook, Line, Wattpad dan
Fanfiction.net.

Facebook : Yustine Melinda


Line : yustinemelinda_
Fanfiction.net : Raiden Yuuki
Wattpad : Raiden Yuuki

Mau mabar Arena of Valor juga? Cari aja Raiden_Yuuki di kolom pencarian

Da svidanya. See you next time!

Anda mungkin juga menyukai