Anda di halaman 1dari 12

MALAM SAWERAN

Cerpen AS Laksana
Dimuat di Suara Merdeka (05/10/2009)

AKU sepakat bahwa laporan bersambung itu terasa mengada-ada. Setidak-tidaknya, ia


terasa sebagai upaya berlebihan dari penulisnya untuk membuatmu putus asa mengikuti sepak
terkam orang-orang yang gemar menyelinap di tengah malam. Wartawan itu memang menulis
dalam gaya yang samar; ia menceritakan tabiat sejumlah orang tanpa menyodorkan petunjuk yang
memungkinkanmu menerka siapa saja sesungguhnya yang sedang ia ceritakan dan di mana
kejadiannya berlangsung.
Dan apa yang samar, apalagi jika diturunkan sebagai serial dengan label ”Dunia Malam
Orang-Orang Terhormat”, tentu akan mudah membuatmu penasaran, bukan? Dan, ketika rasa
penasaranmu tak terpuaskan, kau bisa saja memutuskan bahwa seluruh tulisan itu tidak lebih
adalah karangan belaka. Silakan. Di sini aku hanya ingin menyampaikan yang kutahu dan
meyakinkanmu bahwa tidak semua laporan itu hasil karangan si wartawan; setidak-tidaknya ada
satu yang aku yakin ditulis berdasarkan kejadian, yakni tulisan ke-11 yang berjudul Nonton Penari
Bugil, Nyawer Lima Juta. Kautahu, akulah si penyawer yang dirahasiakan nama dan jabatannya
oleh wartawan itu.
Kutuklah aku; kau punya kebebasan untuk mengutuk siapa saja yang membuatmu senep.
Atau geramlah sembari membuat tinjauan melodramatik yang bisa menguatkan rasa gerammu; kau
boleh mengatakan, misalnya, betapa tak tahu dirinya aku, menghamburkan lima juta rupiah untuk
si bugil di tengah begitu banyaknya anak yang telantar dan kelaparan. Kau boleh membenciku
dengan segala alasan yang terpikirkan olehmu, tetapi aku bisa menjelaskan apa yang kulakukan.
Aku menjadi penyawer karena gagal menjadi suami yang bahagia dan karena itu gagal juga
membuat istriku bahagia. Perempuan yang kucintai selalu menyakitiku dan ia membuatku kesepian
dengan menyalak tak putus-putus.
”Apa lagi yang mau kaukatakan?” itu satu contoh bagaimana ia menyalak. ”Bukti-bukti
sudah bicara. Kau tak perlu mengelak. Tak perlu berdalih. Tak perlu berpanjang lidah.” Ia sering
bicara tentang bukti-bukti. Kupikir ia terlalu gelap menjalani hidup. Yang ia sebut sebagai bukti-
bukti, kautahu, sesungguhnya hanyalah khayalan yang bangkit oleh kekalutannya sendiri. Ia
mengungkung diri dalam prasangka runyam tentangku dan kemudian menyebut apa saja yang
terlintas di keruwetan pikirannya sebagai bukti-bukti.
Terus terang, aku ingin menjahit mulutnya.
Tentu tak bisa kusampaikan keinginanku ini kepadanya. Tak bisa kusampaikan apa pun.
Karena itu aku lebih suka pulang larut malam atau dinihari ketika ia sudah tidur. Itu caraku
mengalah dan selama ini aku lebih suka diam menerima lolongannya, tetapi justru ia
menganggapku orang yang ribut. Aku tidak habis pikir bagaimana ia bisa menyuruhkan tidak usah
berpanjang lidah; kupikir aku tidak pernah mengulurkan lidahku di hadapannya. Dan kapan aku
mengajukan dalih-dalih?
Kurasa kau harus berhati-hati menghadapi perempuan seperti ini; ia terlalu cerewet dan
seringkali tidak bisa membedakan suara siapa yang ia dengar: apakah suaranya sendiri ataukah
suaramu. Ia sungguh menyedihkan dan ia senang mengatakan bahwa aku suka menggasak uang
yang bukan hakku. Ini tuduhan keji dan istriku sendiri yang melakukannya. Padahal, aku berbuat
apa pun demi menyenangkan hatinya.
Kautahu, aku memang telah mengambilnya, dengan cara yang tak mungkin ia tolak, dari
cengkeraman orang yang kupikir tak layak menjadi pacarnya dan kami menikah secepatnya setelah
aku berhasil memisahkannya dari lelaki tak layak itu. Mengenai riwayat perjodohan kami, aku tak
akan malu mengakui bahwa semula ia memang tidak mencintaiku —ia menyimpan pasfoto orang
lain di selipan dompetnya. Kami pernah makan di warung yang sama dan aku melihat foto lelaki
itu ketika ia membuka dompet hendak membayar. Aku menyimpan pasfoto ibu negara yang
kugunting dari sebuah majalah. Itu hanya sebuah cara untuk berbeda.
Pengetahuan tentang ”menjadi berbeda” itu kudapat dari riwayat hidup delapan orang;
salah satu dari mereka mengatakan, ”Kau tidak akan bisa memikat orang lain jika tidak ada apa pun
dari penampilanmu yang bisa diingat orang. Orang-orang hanya akan memandangmu ketika kau
berbeda dari orang-orang lain yang sebagian besar biasa-biasa saja.” (Timothy G Sapir, Delapan
Tokoh Eksentrik, Surabaya 1987, Cetakan 2, halaman 93; garis bawah dari saya). Aku setuju pada
pernyataannya. Karena itulah ketika sebagian temanku menyimpan pasfoto pacarnya di dompet,
dan sebagian yang lain tidak tahu harus menyimpan pasfoto siapa, aku menyisipkan pasfoto ibu
negara di lipatan dompetku. Ketika anak-anak lain mengenakan kacamata dengan bingkai tipis, aku
memilih kacamata penyu yang pernah digemari orang seratus tahun lalu.
Begitulah, mengikuti nasihat orang itu, aku menjadikan diriku tidak lumrah. Namun aku
tak pernah merasa bahwa gadis itu tertarik kepadaku sekalipun aku menyimpan foto ibu negara di
dompetku dan mengenakan kacamata penyu. Tak ada masalah dengan itu dan sebetulnya aku bisa
sangat ikhlas menerima kenyataan bahwa ia tidak menggubrisku. Aku tahu cara menghibur diri
dan bisa mengatakan dengan enteng kepadamu, ”Yah, aku bukan tipenya.”
Masalahnya, kau tak bisa benar-benar bersikap enteng jika kau tertarik pada seorang gadis
dan berusaha membuat gadis itu tertarik kepadamu, dan nyatanya gadis itu memilih berpacaran
dengan orang lain yang nilainya bisa dibilang tak lebih dari enam. Itu sebuah siksaan. Atau
semacam penganiayaan yang rasa sakitnya akan tetap tinggal hingga bertahun-tahun kemudian.
Kupikir kau bisa memahami perasaanku, sebab kau pun tak suka dianiaya dengan cara
seperti itu. Mestinya ia memilih pacar yang tampan; itu akan membuatku lebih rileks kalaupun ia
tak meladeni upayaku. Seorang gadis cantik berpacaran dengan pemuda tampan, apa yang perlu
dipermasalahkan? Pada pasangan seperti itu, kau tidak akan menaruh dengki berkepanjangan atau
berniat kriminal, misalnya, dengan menghamburkan kasak-kusuk agar si lelaki kelihatan tengik di
mata teman-teman. Tetapi karena gadis itu salah menjatuhkan pilihan dan ia menyimpan foto lelaki
tidak tampan di dompetnya, maka aku merasakan kesia-siaan yang memukul harga diriku.
Perempuan itu, yang kelak menjadi istriku, sama sekali tidak melirik penampilan eksentrikku.
Aku menjadi lungkrah dan malas kuliah dan melarikan diri ke mana saja mengikuti truk-
truk yang bisa kutumpangi. Dan, dalam sebuah perjalanan ke timur, aku mendapatkan inspirasi
dari truk yang terseok-seok ke barat. Aku masih murung ketika membaca tulisan pada bak truk itu
—cinta ditolak, dukun bertindak— tetapi pelan-pelan kemurunganku mereda dan aku merasakan
sebuah pencerahan. Kautahu, pencerahan memang tak terjadi seketika; ia merambat pelan-pelan ke
batok kepala seperti serangga sampai akhirnya kau menyadari bahwa kau tidak perlu menjadi
eksentrik untuk merebut seorang perempuan dari lelaki yang dipacarinya. Kau hanya perlu
melakukan tindakan wajar, sewajar tidur ketika mengantuk atau memaki ketika sakit hati.
Maka, aku pun bertingkah wajar: kudatangi seorang dukun, lalu dukun itu bertindak
untukku, lalu perempuan itu tertarik kepadaku. Seluruh dunia kurasa memanjatkan puji syukur
karena gadis cantik itu akhirnya mencampakkan lelaki yang cuma pas-pasan. Namun aku tak tahu
apakah dunia juga bersyukur ketika melihat perempuan itu, setelah lepas dari mulut buaya,
akhirnya jatuh ke pangkuan penyu. Dalam urusan ini, aku tak peduli pendapat orang. Mungkin
mereka iri kepadaku dan akan bergunjing bahwa aku memakai guna-guna untuk merebut
perempuan yang sudah punya pacar. Silakan mereka bergunjing seperti itu. Kautahu, hanya para
pendengki yang suka bergunjing dan aku tidak akan mengalami cedera parah karena digunjingkan
oleh para pendengki. Sebaliknya, semakin dengki mereka, semakin nikmat kurasakan
kemenanganku.
Perempuan itu datang pertama kali kepadaku dengan gerak orang yang melamun. Aku
menerimanya dengan penuh kesadaran dan sedikit rasa waswas bahwa besok pagi ia akan tersadar
dari lamunannya dan kembali ke pacarnya.
”Kita harus secepatnya menikah,” kataku.
”Ya,” katanya, seperti orang kurang waras.
”Apakah kau benar-benar mencintaiku?”
”Ya.”
”Tak ada lelaki lain di hatimu?”
”Ya.”
”Kau berjanji menjadi istriku selamanya?”
”Ya.”
Itu percakapan indah dan aku ingin mendengarnya berulang-ulang dan, pada
kenyataannya, dua hari penuh percakapan itu menggaung di kepalaku. Demi mengekalkannya, aku
menyalin percakapan itu pada secarik kertas dan menyimpannya di dompetku, menutupi pasfoto
ibu negara. Setiap ada kesempatan, aku mengambil kertas itu dari dompet, membuka lipatannya,
membacanya, melipatnya lagi, memasukkannya lagi ke dompet.
Kini aku agak menyesal kenapa tak kurekam percakapan itu. Tetapi, pada waktu itu, siapa
akan terpikir tentang rekaman percakapan? Belum ada ilham ke arah sana. Tanya jawab kami
berlangsung sebelum orang memutar rekaman percakapan antara jaksa agung dan presiden, jauh
sebelum percakapan lucu antara seorang jaksa dan penyogoknya diperdengarkan di ruang sidang.
Sekiranya percakapan kami terjadi sekarang, tentu kurekam baik-baik tanya jawab kami dan aku
bisa mempergunakan rekaman itu jika sewaktu-waktu kubutuhkan. Siapa tahu suatu hari ia mulai
menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya dan mulai menunjukkan gelagat hendak
meninggalkanku, aku akan bisa memutar rekaman itu dan mengatakan, ”Dengarlah, kau sendiri
yang mencintaiku; ini ucapanmu sendiri, bukan?”
Tetapi, syukurlah, sampai sekarang perempuan itu tetap menjadi istriku dan tidak pernah
menunjukkan gelagat hendak kembali kepada bekas pacarnya. Tentang lelaki itu, aku tidak
berminat mengikuti kabarnya. Mungkin ia tidak pernah bisa mendapatkan pacar lagi dan itu bukan
urusanku. Biarlah ia menyadari dirinya sendiri. Kurasa yang ia perlukan adalah cermin besar agar
ia bisa berkaca dan menyadari bahwa sudah sepantasnya ia ditinggalkan oleh perempuan cantik
yang sekali waktu pernah khilaf menjadikannya pacar. Aku hanya menaruh perhatian pada
keberhasilanku mendapatkan gadis itu dan pada rasa bahagia yang menjalari sekujur tubuhku. Dan
gadis itu, dalam gerak yang seperti melamun, selalu kubawa ke mana pun aku pergi dan aku
menggandeng tangannya ketika kami melintas di antara teman-teman.
Kami menikah dua bulan sebelum aku selesai kuliah; aku terharu pada hari pernikahan
dan ia tetap kelihatan melamun. Enam bulan setelah itu aku merasa sangat lega: itu hari pertamaku
bekerja di kantor pajak dan istriku hamil tiga bulan. Dengan janin di dalam rahimnya, kupikir ia tak
mungkin meninggalkanku. Dan, lihatlah, istriku tampak agak malas mengurus diri dan ia masih
melamun. Anak di rahimnya pasti laki-laki. Tak perlu kauragukan isyarat ini: seorang perempuan
tampak malas dan acak-acakan pada saat mengandung jika anak di dalam rahimnya adalah laki-
laki.
Anak kami lahir pada waktunya. Perempuan. Agak menyalahi isyarat yang dipercaya
orang, tetapi tidak sepenuhnya begitu: sejak berumur dua tahun, kautahu, ia tampak kelaki-lakian.
Aku tidak terganggu oleh hal ini, namun istriku risau pada tabiat anak kami. Ketika anak itu
delapan tahun, istriku seperti orang bangun tidur dan ia tidak melamun lagi; ia berubah menjadi
seorang penuduh dan mulai bicara bukti-bukti. Ia tekun menyerangku dan semakin sengit ketika
anak kami berumur dua puluh satu dan tetap kelaki-lakian.
Telah kukatakan bahwa sejak awal ia tidak pernah menaruh perhatian padaku, tetapi
kesediaannya menikah denganku sungguh membuatku terharu. Karena itu aku bertekad
membuatnya bahagia dan di situ aku gagal. Ia tidak bahagia dan kelihatannya tak pernah
mencintaiku; ia menggunakan apa saja untuk menyudutkanku, termasuk dengan terus uring-
uringan mengenai anak kami. ”Kau menjejalkan dosa ke perutnya,” katanya. ”Karena itulah ia
tumbuh menjadi anak perempuan yang tidak sewajarnya.”
”Kau berlebihan,” kataku. ”Ia hanya sedikit hiperaktif.”
”Ia begitu karena menanggung dosamu,” katanya.
Kupikir ia mestinya belajar mensyukuri rezeki berlimpah yang mengalir ke kantung
suaminya. Dan kusampaikan kepadanya apa yang kupikir. Tapi ia malah mengatakan ”cuih!” dan
meraung-raung, ”Apa yang harus kusyukuri? Semua orang jijik melihatku. Mereka membicarakan
anak kita, mereka membicarakan aku. Ketika lelaki menjadi binatang pengerat, setiap orang
menyalahkan istrinya. Aku merasakan itu.”
”Aku hanya ingin membahagiakanmu.”
”Kau menyedihkan aku.”
Benar, kau menyedihkan aku. Karena itulah aku mengendap-endap hampir tiap malam,
membahagiakan orang yang senang kubahagiakan. Ketika laporan soal nyawer muncul di koran,
aku menyodorimu tulisan itu. Suaraku riang, ”Bacalah!” Suaramu sengit, ”Tak sudi.” Aku tahu kau
tak suka membaca koran, tetapi, khusus laporan itu, aku ingin kau membacanya, lalu penasaran,
lalu menyerangku: ”Kau yang nyawer perempuan bugil ini?” Demi kebaikan, aku akan
meyakinkanmu, dan bersumpah, bahwa itu bukan aku dan bahwa laporan itu hanya karangan si
wartawan. ***

PEMETIK AIR MATA


Cip. Agus Noor
Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang

berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing

cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam

cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih

besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia

ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati,

menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan

memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan

cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan

menjelma kristal.

Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang

dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai

marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di

langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata

menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan

gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-

butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
PERCAKAPAN PENGANTIN

Cerpen Benny Arnas (Koran Tempo, 31 Januari 2010)

PERCAKAPAN mereka adalah gayung bersambut sepasang hati yang marun


merahnya. Percakapan yang mengetuk gendang telinga penduduk langit. Percakapan
sederhana dari sebuah kampung yang tak tertitik dalam peta, tak tertilik oleh sesiapa,
pun tak terbetik dalam kabar. Namun, bila para nabi dan istri mereka, para sahabat
nabi dan istri mereka, para tabi’in dan istri mereka, juga para wali dan istri mereka kita
lupakan, maka percakapan pengantin yang belum genap setengah hari itu adalah
mantra paling mustajab dalam peradaban. Jadi, petiklah pelajaran berkasih yang
menjuntai dari dahan keajaiban yang tumbuh dari pohon ketulusan yang mereka
tanam.

SEPATUTNYA, perkawinan mereka adalah pertautan tak lazim. Oh, mereka sama-sama
tulikah? Sama-sama pengkor kakinyakah? Sama-sama juling matanyakah? Tidak. Mereka tak
berkekurangan serupa itu. Mereka masih dapat mendengar dengan jernih, berjalan
tanpa sengal, dan melihat dengan terang. Mereka dapat saling meningkahi setiap tutur.

Ah, bila pun berpadunya hati mereka mengandung pikatan, siapa yang
memedulikannya. Laki-laki tukang parang. Perempuan tukang ladang. Perihal apa
yang layak dipicing untuk memaku mata pada perkawinan itu? Dua anak manusia
yang memakai mulut jiran untuk menyambung undangan, baru menghelat cinta di
hadapan penghulu, baru membongkar tarup di pekarangan rumah….

Maka, helat itu adalah perayaan yang jauh dari ingar-bingar sebuah perkawinan.
Tetamu yang datang kurang dari seperempat undangan. Lebih ramai oleh anak-anak
yang merincah. Bermain kejar-kejaran, menanti ayam kampung telanjang ditiris dari
kuali, bergelak dengan mulut penuh remahan ubi jalar…. sebagian bapak-bapak dan
ibu-ibu bagai bersepakat menajur rencana lain pada Ahad itu.

Ya, perkawinan sepasang yatim piatu itu dilindas teriknya cuaca. Terpanggang sengat
yang menudung bumi. Namun begitu, pantang mereka merunduk dagu, melumur
asam di muka, apalagi menanak dengki di dada, pada tak seberapa orang yang datang.
Gula-gula masih tertabur di sepasang katupan bibir, melengkung di bawah hidung
yang bagai mengendus tabiat buruk orang-orang kampung….

 “AH, aku bersyukur sekali, Dik. Teman-teman pandai besi banyak yang membantu
hajatan tadi. Walapun kau tahu, mereka hanya tak enak hati melakukannya. Karena
Kakak karib mereka dalam memanggang besi.” Lelaki itu baru saja mengatup pintu
kamar.

Mempelai wanita yang sedari tadi duduk di depan kaca, menoleh. “Aku mengerti,
Kak,” jawabnya setelah mendengar lenguhan napas suaminya barusan. Ah, kau pasti
sangat lelah, batinnya.

Tak banyak memang yang membantu perhelatan mereka. Bahkan saat bemasak, satu
hari menjelang perayaan perkawinan, hanya segelintir yang datang. Tak tampak pesirah
— kepala puak, kadus, lurah, dan orang-orang kantor kecamatan— yang biasanya
membuka acara dengan sambutan-sambutan.

“Inilah nasib orang tak bersanak. Di tengah orang-orang kampung pun, kita bagai tak
punya nasab kerabat.” Laki-laki itu sudah berdiri di belakang istrinya. Matanya
menatap mata perempuan itu yang terpantul di cermin.
Perempuan itu balas menatap, juga dari pantulan cermin.“Bila saja, aku tak pernah
menangkap basah ibu-ibu tengah mengundang orang-orang di hajatan anaknya,
mungkin aku takkan pernah mencecap lemaknya gulai umbut.”

“Kau sangat suka gulai umbut, Dik?” Laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya.
Kali ini ia tatap langsung mata istrinya.

“O, bukan. Bukan itu maksudku, Kak!” Perempuan itu buru-buru membuang muka.
Tampaknya ia belum terbiasa diperangkap mata lelaki. “Mereka mengundangku hanya
menenggang, sama seperti kawan-kawan pandai besimu itu….”

“Lalu?” Laki-laki itu menepuk kecil bahu istrinya.

Perempuan itu berjalan menuju kelambu. Menyingkapnya. Duduk di tepi ranjang.


Suaminya mengikuti. Kini mereka hampir berhimpitan. Hanya terluang setengah
lengan jarak mereka kini.

Perempuan itu menatap mata suaminya. “Inilah nasib hidup tak berbapak, tak beribu,
Kak. Bagaimana akan kita diundang orang dalam hajatan, bila orangtua sudah ditanam
ketika kaki belum lunas melangkah?”

Laki-laki itu mengangguk, bagai memersilahkan istrinya meneruskan kata-katanya.

“Ah, budi memang harus dibalas budi. Madu jua harus dibalas madu….” Mata
perempuan itu basah.

“Jangan sedih, Dik!”Laki-laki itu menyeka mata istrinya. “Malu pada Tuhan. Buruk
alamatnya, bila di malam punai, mata kita berinai-rinai.”

“Malam punai?” Perempuan itu mengenyitkan dahi. “Apanya yang punai, Kak, bila
jemari kita pun tanpa inai? Aku pun tak tahu mengapa ladangku terpisah jauh dari
ladang-ladang yang lain. Kakak tahu kan, hanya beberapa orang yang membantuku
menugal tahun ini. Itu pun harus diupah segera bila serombongan padi bunting itu
mulai merunduk.”

Laki-laki itu menarik kedua ujung bibirnya ke tepi. Bagai berharap, senyumnya akan
menyiram galau istrinya yang menggelegak.

“Dulu, aku tak pernah percaya pada kata-kata Wak Jasun, Dik. Ramainya hajatan orang
kampung adalah buah tabiat bapak-ibu mereka. Bila kerap orangtua mereka
menyambut undangan; rajin menjinjing ayam kampung, dan tak lalai mengantar
beberapa canting padi dayang rindu … ke rumah hajat, maka, lapanglah jalan
perkawinan anak mereka. Alamatnya, orang-orang kampung akan bersicepat mengisi
buku tamu. Tarup yang ditegak pun bagai nak rubuh. Ambal yang dibentang bagai
mengecil. Penganan yang terhidang dirasa selalu kurang. Ai, hajatan bertabuh-riang.
Banyak nian tetamu yang datang. Berlimpahan uang disumbang. Ayam-ayam
berjejalan dalam kandang. Beras-beras menggunung malam-siang. Terbayarlah semua
galau yang membikin badan kadang meriang. Lunaslah hutang. Tersiarlah kabar
bahwa hajatan itu elok tak kepalang….”

Perempuan itu meneguk liur. Lalu menengadah ke langit-langit.

“Apa yang kau pandang, Dik?” Laki-laki itu menggamit tangan istrinya. “Seandainya
cicak-cicak itu mengerti percakapan kita, apakah mereka bisa berkabar?”

Perempuan itu balas menggamit. “Ya, bukan perihal cicak-cicak itu tak kuasa berkabar,
Kak.” Ia menoleh suaminya. “Namun, kita sama malangnya dengan mereka. Apakah
kita bisa berkabar? Boleh menuntut atas perlakuan tak lazim ini? O bukan, perlakuan
ini bukan tak lazim, Kak!”

Laki-laki itu balas menoleh.

“Perlakuan ini tak berhakim, Kak!” Perempuan itu meringis.

“Dik,” dielusnya kepala istrinya yang tak bersanggul lagi. “Kelak, bila kita bersua
dengan bapak dan emak. Kita tanyakan saja pada mereka. Mengapa mereka tak
menunggu kita besar dulu baru berjazirah ke Lubuk Senalang? Mengapa mereka tak
menyambut undangan orang-orang kampung dulu, agar kawinan anaknya tak
kerontang serupa tadi siang? Oh, mereka jua tak meninggalkan kabar bahwa bunga
sedap malam yang mencuat dekat nisannya, adalah taklimat agar kita jangan
mengeram durja.”

Perempuan itu tertawa. Dijatuhkannya leher di bahu lelaki itu. “Bisa saja kau bermain
kata, Kak.” Dicubitnya sebelah lengan suaminya.

“Jadi, Dik. Lekaslah kita kubur muram. Kakak yakin, bujang-bujang kampung tak tahu
bahwa kau adalah kembang tanjung di lereng Bukit Bakung ….” Masih dibelainya
rambut perempuan itu.

Perempuan itu tersenyum sendiri. Tersanjung oleh pujian lelaki tempatnya bersandar
kini.

“…. hanya bujang yang berperangai sultan saja yang kuasa menderik tebing licin di
bukit itu, bukan?”

Laki-laki itu membuka-buka mulutnya—berteriak tanpa pekik—bagai merasakan geli


oleh cubitan sang istri di dadanya.

“Oh, hendak tertawa aku, Dik, bila ingat bagaimana kita menanak rindu. Kita hanya
bercinta dari silauan mata, tangan yang bertepuk, dan kening yang bersitindih. Tuhan
benar-benar menyayangi kita kan, Dik?” Diciumnya kini kening istrinya.

Perempuan itu mendongak. “Ya, Kak. Tuhan telah mengirimkan lelaki yang juga
berkekurangan sepertiku agar kita tak saling menguak aib yang menyertai lidah-lidah
kita. Maka, senyummu adalah seroja yang bertaburan, desahmu adalah pengaduan,
gamitan tanganmu adalah permohonan, belaianmu adalah hiburan, tatapanmu adalah
tangkai kesepian yang harus segera dipetik. Betul seperti itu kan, Kak?”

Kini, balas lelaki itu yang menggelitik pinggang istrinya. “Aku yang harusnya menjadi
pujangga di malam ini. Mengapa pula kau yang merayuku, hah?”

Perempuan itu mengambil bantal dan memukulkannya dengan manja ke punggung


suaminya.“Siapa yang merayumu, tukang parang! Dasar, perasaan tak berpantang!”

Bergelutlah mereka malam itu. Sumringah rayalah ranjang itu. Ranjang yang menjadi
saksi percakapan ajaib sepasang pengantin. Maka, derit peraduan itu adalah lintang
pukang cinta yang pecah geladak, lenguhan dan erangan pengantin baru yang hendak
mengangkat seperiuk rindu di atas nyala tanakan yang berarang-arang….

Sementara itu, makin pekat kelam yang menangkup malam, segaris cahaya bening nila
dari sebuah rumah papan, menguncup tajam menembus langit, berlapis-lapis langit.
Mengabar pada penghuni yang takjub seketika. Siapa yang bermikraj setelah
Muhammad?
RUMAH papan itu dikerumuni orang-orang kampung. Takzimnya, tak ada yang aneh
dari rumah itu. Almanak bergambar seorang artis dangdut dengan gitarnya masih
bertengger dekat jam dinding yang tinggal satu jarumnya. Piring-piring seng masih
tertata rapi di rak aluminium yang berkarat salah satu tiangnya. Gorden merah yang
sudah lusuh masih menjuntai di kusen pintu kamar. Parang-parang pesanan penduduk
masih terbaris di sudut dapur. Arit, pangkur, dan terindak, caping dari daun
bengkuang, masih mencangkung dekat jamban belakang. Hanya satu pemandangan
yang agak tak biasa. Di dalam kamar. Seprai anyar itu sudah kusut. Bantal-bantal
berserakan. Kelambu pula tersingkap setengah.

“Ke mana pengantin baru tu minggat?”

“Oi, sudah kalian tengok di seberang? Apa tukang parang itu memukul besi di gubuk
simpang? Apa perempuan itu sudah berladang dekat Belalau?”

Orang-orang menggeleng. “Tak ada, Pak Pesirah. Mereka hilang!”

“Mungkinkah berbulan madu?”

Orang-orang tergelak serta merta. Berbulan madu? Nak ke mana tukang parang dan tukang
ladang merayakan perkawinan? Ke bulankah? Ke langitkah?

“Sudahlah!” Pesirah melerai tawa orang-orang yang berkerumun. “Ambil saja


pelajaran. Bila menggelar sedekahan, undang saja yang bapak-ibunya pernah
meramaikan hajatan kita atau orangtua kita. Bila tak, tak usahlah kalian anggap. Tak
perlu pula menenggang, hingga merasa perlu berhormat pada undangan yang
diantarnya. Ini adat kampung. Pusaka nenek moyang! Nah, tukang kabar pula,
walapun pengantin itu jiran, tak lihat kalian macam mana ganjilnya mereka? Bukan
hanya perkara tak berbapak tak beribu, tapi, pernah tercatat dalam adat bahwa bujang
bisu meminang gadis bisu, hah?”

Tetamu hajatan kemarin dan para tukang kabar, merunduk. Ah, memang salah kami, Pak
Pesirah.

Orang-orang bubar. Kembali ke rumah masing-masing. Mengurung perasaan ganjil


yang berlipat-lipat. Bukan memikirkan petuah kepala puak, namun masih memercik
galau itu. Ke mana sepasang pengantin bisu mengeret badan di malam punai? Ke bulankah? Ke
langitkah? (*)
PELAJARAN BERCINTA
Cerpen Benny Arnas (Suara Merdeka, 15 April 2012)

Palung

Rinduku adalah dekap buku pada pembatas halaman, tepat pada bab perjumpaan paling
dahsyat di dunia.

Aku sangat yakin kalau kau memiliki perasaan yang sama terhadapku walau mungkin
kau memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkannya. Oh, jangan-jangan aku tengah
tergores oleh tajamnya kata-kata penantian? Ya, aku masih ingat sekali kata-katamu dulu, tepat
beberapa hari setelah kau menyatakan cinta kepadaku. Kau nyaris terluka oleh sebilah penantian
yang kuasah. Kau juga tak cukup kuat diombang-ambing ketakpastian. Padahal aku hanya ingin
menunjukkan, bahwa perjuangan memetik setangkai wijayakusuma yang mekar tak ada apa-
apanya dibanding dengan ujian kesabaran menunggu kelopak-kelopaknya merekah di bawah
bayang rembulan. Ah, rasanya aku terlalu berlebihan kala itu. Tapi, aku pikir, tidak apa-apa
untuk mengetahui seberapa tangguhnya kamu—walau aku tak yakin kalau aku akan baik-baik
saja bila kau meralat perasaanmu.

Kini, aku percaya kalau penantian dapat mengecambahkan rasa senang yang
menyebalkan. Aku dapat memaklumi ketaknyamanan yang menghinggapimu; kau memang tidak
memiliki cukup alasan untuk mencemburuiku kala itu, bukan? Ya, apalah hakmu melarang orang
lain memetik bunga yang tumbuh di tanah yang bukan milikmu? Apalah hakmu mencemburui
seorang perempuan yang belum menerima cintamu?

O, maafkan aku, Batang.

Untunglah ada Bunga! Ya, karib kita yang namanya secantik perangainya itu, tahu benar bahwa
aku telah dipilih Tuhan untuk serentetan ujian yang tidak semua orang mendapat kesempatan
untuk menjalaninya. Ya, kau mengabarkan perpisahan lewat Bunga tepat ketika Tuhan tak sabar
lagi memeluk kedua orangtuaku selama-lamanya. Aku tahu, tidaklah mudah baginya untuk
memegang rahasia yang meremukkan hati sahabatnya.

“Kita sama-sama wanita, Palung. Karena itu aku berusaha menjadi dirimu kala musibah itu
menghantammu. Ponselmu yang berdering di atas meja ruang tengah, refleks kucangking ketika
mengetahui Batang menghubungi. Tentu, aku tak sempat berpikir untuk mempersilakan Batang
berbicara kepadamu pada saat kau meraung hebat di hadapan kedua orangtuamu yang terbaring
kaku. Kau tahu, kala itu Batang mengira kaulah yang menjawab panggilannya. Nada suaranya
sangat gembira saat mengabarkan penugasan yang baru diterima. Ia harus mendadak pergi ke
beberapa negara Afrika untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, Lung. Aku belum sempat
mengatakan apa-apa ketika Batang memintamu melepas kepergiannya di bandara malam itu.
Bibirku seolah tak berdaya untuk mengatakan apa pun saat itu. Menurutku sangat tak mungkin
kau pergi di malam orang-orang berkumpul mengirimkan doa untuk kedua orangtuamu. Aku
hanya menangis saat itu. Aku pikir Batang menerjemahkan isakanku sebagai keterharuanmu atas
kabar gembira itu. Maafkan aku, bila kaupikir aku lancang, Lung….”

Sungguh, aku bagai sakura yang menolak luruh di musim gugur. Nyaris saja aku muntab bila
akal sehatku menolak bekerja. Kucerna lamat-lamat penjelasan Bunga. Aku mencoba tegar di
tengah hantaman ujian yang bertubi-tubi. Bunga menyampaikan semuanya beberapa hari setelah
kau pergi. Aku yakin ia belum tentu akan menceritakan semuanya bila tak mendapatiku merutuki
ketakpedulianmu (aku tak habis pikir bagaimana bisa kau tak hadir ketika kekasihmu dirundung
duka!).

Ah, sudahlah!

Kini aku bahkan sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Bunga. Kau tahu, ia bahkan sempat
mengungkapkan kekesalannya terhadapmu. Ia menyebutmu keterlaluan karena mengabarkan
perpisahan pada hari yang sama dengan kepergianmu. Ah, untung saja kujelaskan kepadanya
bahwa sebenarnya kita sudah membincangkan bahkan mendebatkannya cukup lama. Tapi
memang aku tak menyangka kalau penugasanmu begitu tiba-tiba, datang pada waktu yang
salah… (walau aku tahu bahwa kau tak tahu apa-apa tentang musibah yang menimpaku hari itu).

Kini, Bunga seolah menjadi belahan jiwaku. Hmm, maksudku, sahabat yang mengerti kelebihan-
kekuranganku. Bahkan kami sudah tinggal serumah. Beberapa waktu setelah peristiwa duka itu,
ibunya menawariku tinggal di rumahnya. Kau tahu ‘kan kalau kami sama-sama anak tunggal?
Maka sejak saat itu, ibu Bunga adalah ibuku juga. Aku tak membutuhkan waktu lama untuk
menjadi bagian hidupnya. Bahkan hari-hariku kembali ceria seolah taman bunga yang selalu
diciumi gerimis kala pagi dan sore menyambangi. O ya, di waktu-waktu tertentu, bila
kerinduanku kepadamu memuncak, Bunga Raya sangat pandai membuat airmataku tak keluar
dari peraduannya. Ia bahkan mengatakan, alangkah beruntungnya kau memiliki kekasih yang
setia sepertiku. Hmm, maksudku keberuntungan itu sama seperti keberuntunganku mendapati
kekasih tampan, gagah, dan bertanggungjawab sepertimu.

“Sekarang ini, tak banyak lelaki yang berminat jadi tentara, Lung. Bahkan ada yang
menjadikannya pelarian terakhir ketika sejumlah pekerjaan gagal dilakoni. Jangan heran kalau
jiwa nasionalisme dan patriotisme sudah jarang dimiliki warga negara karena tentara saja banyak
yang menghindari tugas di daerah konflik. Nah, Batang adalah pengecualian. Kalau kepada
Tanah Air-nya sendiri ia sudah sebegitu setianya, apalagi kepadamu, Lung?”

Nah, Kekasihku Batang, tentu lima tahun bukan waktu yang singkat untuk memelihara cinta agar
tetap rekah dan semerbak wanginya, bukan? Tidakkah kita ingin membuktikan kesetiaan masing-
masing? Ah, aku tak menyangka kalau di daerah konflik sana, kau masih memelihara
kecakapanmu merangkai kata-kata indah. Sebuah puisi yang kaukirim lewat email pagi ini
membuat kepalaku dipenuhi jutaan angan-angan tentangmu, Sayangku!

O, datanglah, Batang. Walaupun menikah di usia kepala tiga tak pernah masuk dalam
perbincangan kita, tapi demi melihatmu bahagia—karena impian mengabdi atas nama negara
tertunaikan, kupikir itu bukanlah hal yang layak dipermasalahkan.

Ah, Bunga harus segera tahu gembira ini!

 Bunga

Perjumpaan adalah ciuman hujan pada tanah yang kerontang oleh kemarau penantian.

Dapat kubayangkan, pertemuanmu dengan Batang akan meluapkan kebahagiaanmu, Lung.


Sungguh, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku pula. Bagiku cinta tanpa pengorbanan ibarat
menggenggam air. Omong kosong belaka! Ah, tapi apakah orang yang berkorban demi cinta
harus menyumbangkan semua kebahagiaannya untuk orang lain?

Dalamnya cintaku kepadamu umpama palung. Dan adalah bohong kalau saking dalamnya,
palung tak memiliki dasar. Namun begitu, hanya kau yang tahu bagaimana menginjakkan kaki di
lubuknya. Hanya kau. Hanya kau. Kau tahu, aku bagai lesap ke dasar kebahagiaan ketika dengan
polosnya kaunyatakan aku sebagai belahan jiwamu. Sungguh, hampir saja aku mengira sebelah
tanganku tak menepuk air di dulang bila kau tidak kerap membawa-bawa kerinduanmu kepada
Batang dalam sejumlah pecakapan kita.

Sungguh, aku sangat iri (bila tak ingin dikatakan cemburu) ketika di sela-sela kehangatan kita,
ingatanmu pada Batang serta-merta menguasai benakmu. Kauumpamakan kekasihmu itu sebagai
pohon yang berkanopi lebar dan lebat. Pohon yang kerap kausandarkan untuk sekadar
menyelonjorkan kaki sembari mecurahkan kekesalanmu pada suatu hari. Namun apakah kau tak
pernah sadar, Lung. Kalau aku kerap bersembunyi di balik pohon besar itu. Aku tahu kau
menganggap sepasang tangan yang memelukmu dari belakang adalah cecabangnya. O, tahukah
kau, alangkah bungahnya aku ketika kerinduanmu kepada Batang kambuh, kau menjatuhkan
kepalamu di bahu atau dadaku. Entah, apakah kau merasakan detak jantungku yang tergesa-gesa
atau tidak, yang jelas kedua tanganku refleks menggamitmu dalam pelukanku seolah tak ingin
kau cepat-cepat merenggangkan kehangatan.

Ya, aku sudah lama memendam perasaan terlarang ini kepadamu. Aku tahu teman-teman kita
kerap memuji atau bahkan menyindir kesetiaanku pada kau dan Batang. Palung-Batang-Bunga
memang tiga sahabat yang tak mungkin diceraikan, walau sebagian yang lain mencibirku sebagai
gadis tua yang tak sadar diri. Begitulah yang sampai di mata-mata mereka. Begitulah yang kau
dan Batang pikirkan. Oh, semua kulakukan karena aku tak sanggup jauh darimu, Palung
Sayangku. Maka, ketika kabar penugasan Batang itu mengetuk gendang telingaku, sungguh
bahagianya aku—apalagi belum ada kepastian (kapan) masa tugasnya berakhir.

Tuhan memang mencintai hamba-Nya yang pantang menyerah. Kepergian orangtua dan
kekasihmu adalah momen yang paling tepat untuk mewujudkan semua mimpiku; memilikimu
seutuhnya, Palungku!

Maafkanlah perasaan ini, wahai sahabat-sahabatku. Sungguh, aku tak tahu bagaimana
kecenderungan ganjil ini tiba-tiba tumbuh di dalam diriku. Tentu aku tak ingin
mengkambinghitamkan kekejaman Ayah kepada Ibu ketika aku masih kecil dulu. Hingga Ibu
akhirnya meracuni Ayah di suatu pagi. Dan Ibu melakukan semuanya bukan karena ia membenci
Ayah, tapi karena ia ingin membesarkanku tanpa bayang-bayang kebejatan Ayah. Aku tahu
kalau saban Jumat petang, dengan alasan menghadiri arisan teman-teman lama di luar kota, Ibu
kerap mengirim doa kepada Ayah di depan gundukan makamnya. Ibu adalah wanita yang sangat
setia. Sungguh setia. Bagiku, tak ada perempuan yang mampu menyerupai kesetiaannya sebelum
tiba-tiba kau hadir sebagai almamaterku, Lung.

Aku ingat sekali, kau menerima tawaran Batang untuk menjalin asmara dengannya di semester
pertama. Menilik kegagalanku menjalin hubungan khusus dengan beberapa lelaki, aku tak yakin
hubungan kalian akan bertahan lama. Aku bahkan mengira Batang akan mengkhianatimu
sebagaimana sejumlah laki-laki brengsek yang mengecewakanku. Namun apa yang terjadi?
Hingga kini, kesetiaanmu telah menginjak usia tiga belas tahun—termasuk lima tahun terakhir
tanpa Batang di sampingmu. Ah, yang membuatku kesal adalah Batang tak kunjung
mengabarimu setelah kepergiannya. Akun Facebook-nya serta merta menghilang, emailnya tidak
valid lagi, hingga nomor ponsel yang tidak lagi digunakan. Ke mana akan kaulacak kebahagiaan
itu, Lung?

O, tidakkah seharusnya kau bahagia dengan semua itu, Bunga? Bukankah itu artinya tidak ada
lagi yang kuasa menghalangimu meraih hati Palung?

Tidak! Kini semua tidak sesederhana itu, tidak semudah itu, tidak sematematis itu! Kesetiaanmu
kepada Batang telah memberiku pelajaran tentang arti mencinta. Cinta haruslah mengalirkan
kebahagiaan ke samudera mana pun hingga sesiapa dapat merasakannya, termasuk kepada
hatimu yang bersemayam di palung paling dalam di dunia ini. Ya, alangkah kejamnya bila harus
kupaksakan ingatanmu tentang Batang menguap lalu menggantinya dengan segala hal yang
berbau diriku. Ah, tentulah kebahagiaanku adalah nisbi apabila kau harus mati oleh tajamnya
samurai penantian, wahai Palungku!

Rindukuku adalah getah yang merekatkan tangkai dengan bunga, tepat pada kelopak yang
menguar aroma tubuhmu. Nantikan aku di hatimu, Sayang. Hanya dalam beberapa hari, aku
akan memekarkan bunga warna-warni yang selalu kusiram dengan air paling jernih yang
kuambil dari palung paling dalam di dunia ini.

Setelah kubuat email baru atas nama Batang, kugubah sekaligus kukirim puisi itu kepadamu.
Aku tahu benar kalau Batang bukan sekadar gagah dan tampan. Ia juga romantis bahkan
cenderung melankolis. Hmm, aku tak ingin kau mengendus tipu daya ini, Lung. Sungguh. Aku
tak ingin melihatmu berlayar dalam kerinduan tak berujung, yang akan menenggelamkanmu
dalam harapan yang tak menjanjikan kebahagiaan sedikit pun. Biarlah, biarlah kupikirkan
bagaimana merangkai puisi baru yang akan segera kukirimkan kepadamu.

Puisi yang mengabarkan pengunduran waktu kedatangan Batang. (*)

Anda mungkin juga menyukai