Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau
ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting
sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Quran dan al-Hadist
menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung
didalamnya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang amr (perintah) dan
nahi (larangan), aam dan kahs, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum.
B.
1.
2.
3.
4.

Rumusan Masalah
Apa pengertian Amar dan Nahi?
Apa pengertian Am dan Khas?
Apa pengertian Mutlaq dan Muqayyad?
Apa pengertian Mantuq dan Mafhum?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Amar dan Nahi
1. Pengertian dan bentuk-bentuk Amar
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah)
untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang lebih rendah tingkatannya.1[1] Perintah untuk melakukan suatu perbuatan,
seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan
dalam berbagai redaksi antara lain:
a.

Perintah tegas dengan menggunakan kata amara ( )dan yang seakar dengannya.
misalnya dalam ayat:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran,
dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran. (QS. An-Nahl/16:90)


b. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang
dalam dengan memakai kata kutiba (/diwajibkan). Misalnya, dalam surat alBaqarah ayat 178:





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
c.

maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah/2:178)


Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang
dimaksud adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:


1[1]Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group.
2008.hlm. 178.
2




Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
d.

Bijaksana. (QS. al-Baqarah/2:228)


Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238
surat al-Baqarah:




Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena
Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e.

Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya,
ayat 245 surat al-Baqarah:






Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-

Baqarah/2:245)
1) Hukum-Hukum Yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh,
Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai
pengertian, yaitu antara lain:
a)

Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat.


Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan seperti ayat 51 surat alMukminun:


Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. alMukminun/23:51)

b) Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surat al-Baqarah:



Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an
itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar. (QS. al-Baqarah/2:23)
c) Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang
ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan
ayat 49:

Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS.alDukhan/44:49)
2) Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar
Apabila dalam nash (teks) syara terdapat salah satu dari bentuk perintah
tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah
yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai
pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib
dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum
tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga
atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang
menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu
perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib
adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan
menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau
cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu
perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang
4

diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali.
Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah/2:196)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan
melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan
ditunjukan oleh perintah itusendiri tetapi oleh dalil lain. Misalnya ayat 78 surat alIsra.
Kaidah ketiga adalah suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin
atau bisa ditunda-tunda? Misalnya pada dalil: yang artinya
....Maka berlomba-lombahlah dalam membuat kebaikan...
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil
Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera
dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal
waktunya maka ia berdosa.
2. Pengertian dan Bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang
menunjukkan atas hal itu.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri
Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
a) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha( )atau yang seakar dengannya
yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda:

Artinya: Dari Abi Said Al-Khudri r.a. ia berkata:Saya telah mendengar


Rasulullah SAW. Bersabda barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran
hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan
lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian
(merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.(H.R.
Muslim).2[2]
b)

Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan().


Misalnya, ayat 33 surat al-Araf:


Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-Araf/7:33).
Dan masih banyak contoh-contoh larangan yang lainnya.

3. Beberapa Kemungkinan Hukum Yang Ditunjukkan Bentuk Nahi


Seperti

dikemukakan

Adib

Saleh,

bahwa

bentuk

larangan

dalam

penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:


a.

Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:





Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah/2:221)
2[2]Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam
Mulia, 2008. hlm. 191.
6

b. Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) halhal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.(QS. al-Maidah/5:101)
c.
d.
B.
1.

Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.


Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.
Am dan Khas
Pengertian Am
Am menurut bahasa, artinya merata atau yang umum.3[3] Am ialah suatu
perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam perkataan itu hingga tidak terbatas, misalnya: Al-Insan yang bearti
manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua manusia termasuk
dalam tujuan perkataan ini sekali mengucapkkan lafal al-insan bearti meliputi jenis

manusia seluruhnya.
Jenis-Jenis Am
Lafal am dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Lafal umum yang tidak mungkin ditaksiskan, seperti dalam firman Allah:
a.

Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekynya.(Q.S. Hud:6)
2. Lafal umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya,
seperti dalam firman Allah:
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (Q.S. Ali
3.

Imran:97)
Lafal umum yang khusus seperti lafal umum yang tidak ditemui tanda yang
menunjukkan ditaksis seperti dalam firman Allah:
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan (menunggu) tiga kali
quru.(Q.S. Al-Baqarah:228)
3[3]Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia.
2001.hlm. 61.
7

2. Pengertian Khas
Lafal khas yaitu perkataan atau susunan yang mengandung arti tertentu yang
tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari am.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi
satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan.
Artinya tidak mencangkup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa iastilah yang erat hubungannya dengan
khas, antara lain takhsis dan mukhassis.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagaian lafal yang berada lingkungan umum
menurut batasan yang tidak ditentukan. Sedangkan mukhassis ialah suatau dalil
(alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.
C. Mutlaq dan Muqayyad
Secara bahasa mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan muqayyad berarti terikat. 4
[4] Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ahli
Ushul Fiqih berkebangsaan Mesir, dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqih, adalah: lafal
yang menunjukkan suatu kesatuan tanpa dibatasi secara harfiahdengan suatu
ketentuan.
Seperti misriy (seorang mesir), dan rajulun (seorang laki-laki), dan sebaliknya
lafal muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah
dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya mishriyun muslimun (sorang yang
berkebangsaan Mesir yang beragama Islam), dan rajulun rasyidun (seorang laki-laki
yang cerdas).
Lafal mutlaq misalnya terdapat pada ayat 234 surat al-Baqarah:


Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari...... (QS. al-Baqarah/2:234)
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa azwajan (istri-istri) yang mati ditinggal
suami, masa tunggu mereka (iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan
tersebut adalah lafal mutlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah
pernah digauli suaminya atau belum.
4[4] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media
Group. 2008.hlm. 206.
8

Sedangkan contoh lafal muqayyad di antaranya terdapat pada ayat 3 dan 4 surat almujadilah:

.(3).


.(4)
Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang
kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadilah/58:3-4)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang menjadim kifarat zihar (menyerupakan
punggung istrinya dengan punggung ibunnya) adalah memerdekan seorang hamba
sahaya, jika tidak mampu wajib berpuasa selama syahrain mutatabiain (dua bulan
berturu-turut. Dan jika tidak mampu juga berpuasa maka memberi makan 60 orang
miskin. Kata syahrain ( dua bulan, dalam ayat tersebut adalah lafal muqayyad
(dibatasi) dengan mutatabiain (berturut-turut. Dengan demikian, puasa dua bulan
yang menjadi kifarat zihar itu wajib dengan berturut-turut tanpa terputus-putus.
D. Mantuq dan Mafhum
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq, menurut bahasa berarti yang diucapkan, sedang menurut istilah:
Artinya : apa yang ditunjukkan oleh lafal sesuai dengan yang diucapkan.
Misalnya firman Allah SWT.:
Artinya :Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.
(Q.S. Al-Baqarah/2:275)
Adapun Mafhum, menurut bahasa berarti yang dipahami, manurut istilah:
Artinya: Apa yang ditunjukkan oleh kata tidak sesuai dengan yang diucapkan.
Misalnya firman Allah swt.:
Artinya:Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu dan
bapak) perkataan AH.(Q.S. AL-Isra/17:23)

Kata Uffin dalam ayat tersebut berarti mengatakan AH atau HUS


kepada kedua orang tua.5[5] Itulah yang disebut makna Mantuq, karena sesuai dengan
bunyi ayatnya. Namun dari kata itu dapat diperoleh makna mafhum, atau apa yang
dapat dipahami dari kata itu, misalnya kita artikan dengan perbuatan-perbuatan
lainnya yang lebih menyakitkan, seperti memukul, menampar, dan lain sebagainya.
2. Macam-macam Mantuq dan Mafhum
a. Mantuq dibagi dua, yaitu:
1. Mantuq Nas, yaitu lafal atau susunan kalimat yang sudah jelas dan tidak mungkin
ditakwilkan kepada arti yang lainnya, selain arti harfiah misalnya:
(maka hendaklah berpuasa 3hari).
2.

Mantuq Zahir, yaitu lafal atau susunan kalimat yang memungkinkan untuk
ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya. Misalnya firman Allah:
Artinya: Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap
kekal.(Q.S. Ar-Rahman/55:27)

b. Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Mafhum Muwafaqah. Ada pun pengertian mafhum muafaqah ialah:
Artinya: Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) ada kesamaan dengan yang
diucapkan (tersurat).
Misalnya, memukul kedua orang tua termasuk perbuatan menyakiti mereka.
Membentak kedua orang tua AH juga dilarang karena menyakitkan hati mereka
jadi, memukul (makna tersirat) hukumnya sama dengan AH.
2. Mafhum Mukhalafah
Artinya: Sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat), berlawanan dengan apa yang
diucapkan baik dalam menerapkan (hukum) maupun meniadakannya.
Misalnya dalam hadis Nabi SAW disebutkan:
Artinya: Dalam kambing-kambing yang dikembalakan itu ada zakatnya.
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa kambing-kambing yang tidak
digembalakan atau yang diberi makan di kandangnya tidak dikenakan wajab zakat.
5[5]Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah
kelas XII, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2008, hlm.105.
10

Mafhaum mukhalafah ini dipahami pula dalil khitab, dan semua mafhum mukhalafah
ini dapat dijadikan hujah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1. Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih
2.

tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.


Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang

menunjukkan atas hal itu.


3. Lafal al-aam adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup
4.

satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah.
Khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa

pengertian yang terbatas.


5. Mutlaq berarti bebas dari ikatan, dan Muqayyad berarti terikat
6. Mantuq menurut bahasa berarti yang diucapkan sedangkan Mafhum menurut bahasa
berarti yang dipahami.

11

DAFTAR PUSTAKA

Khairul Uman, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia. 2001.


Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII, Jakarta: PT Gelora
Aksara Pratama, 2008.
Oneng Nurul Briyah, Materi Hadits, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Penada Media Group. 2008.

12

Anda mungkin juga menyukai