Anda di halaman 1dari 276

—1—

Eiyuu to Majo no Tensei Love


Comedy

Volume 2 (END)

Author: Kazuki Amamiya

Artist: Eeru

Type : Light Novel

Genre: Comedy, Fantasy, Romance, Slice of Life,


Shounen

Source: Kaito Novel

PDF by:

DILARANG KERAS memperjual belikan hasil karya


ini atau mengomersilkan hasil karya ini tanpa
sepengetahuan Hak Cipta secara legal. Ingat ya! !
Hanya untuk dibaca, jangan sampai dicetak sendiri,
oke? ! E-Book ini semata-mata dibuat untuk peminat
seri ini dan mendukung translasi novel di Indonesia.

—2—
—3—
—4—
—5—
—6—
—7—
Prologue — Supaya Kamu Takkan Kesepian

Alunan merdu alat musik petik mengubah cerita menjadi syair


puisi.

Penyair itu menceritakan kisah cinta antara seorang ksatria


dan seorang putri dengan status yang berbeda.

“──Begitulah cara mereka berdua mengatasi semua rintangan


dan mengikrarkan cinta abadi mereka.”

Berlokasi di Kota Renzas, Kerajaan Suci Augustia. Di dalam


kedai [Jamuan Sunyi] yang terletak di gang belakang.

Sejak awal kedai ini bukanlah tempat yang sangat bising, tapi
hari ini cukup sunyi ketika penyair berkunjung.

Semua orang menikmati cerita yang dia ceritakan,


mendengarkannya dengan seksama sembari menikmati minuman
mereka. Tempat ini merupakan permata tersembunyi di kota
Renzas, salah satu tempat yang sangat kusukai karena aku telah
melakukan perjalanan ke seluruh dunia.

Si Penyair menyapa kerumunan pengunjung, dan tepuk tangan


yang meriah memenuhi kedai.

Penyair yang berkunjung pada hari itu rupanya terkenal di


banyak tempat, dan tentunya kami tidak merasa bosan
mendengarnya.

“Memang ya, kisah percintaan selalu membuatku menangis...”

Meski begitu, satu-satunya orang yang sampai menitikkan air


mata hanyalah wanita yang duduk di hadapanku ini.

—8—
—9—
Cerys Flores. Seorang pendosa yang hampir menghancurkan
dunia. Si Penyihir Malapetaka.

“Yah, kisah itu memang cocok untuk pendamping minuman.”

“Apa cuma itu satu-satunya kesanmu setelah mendengar cerita


itu? Kamu tuh meemang pria yang tak berperasaan, ya.”

“Tak kusangka akan tiba hari dimana seorang penyihir


berbicara tentang kasih sayang dan perasaan.”

Sedangkan di sisi lain, aku adalah sosok yang dipilih oleh


Gereja Augustia, seorang pahlawan dengan misi melenyapkan si
penyihir.

Tak seorang pun di dunia ini akan membayangkan bahwa dua


orang seperti itu akan bersama di sebuah bar di pinggiran kota.

“Hmmph, karena kamu sudah menginjak-injak keinginanku,


sudah pasti kamu tidak mempunyai hati manusia, ‘kan?”

“Sebagai pahlawan, aku hanya memilih jalan yang kuyakini


benar.”

Pada kenyataannya, aku dan si penyihir berusaha saling


membunuh berkali-kali.

Namun setelah pertarungan tak terhitung jumlahnya, aku


berhasil menang dan memilih untuk tidak membunuh si penyihir.

Itu sebabnya aku—— Grey Handlet, sedang bekerja sama


dengan si penyihir.

“...Kamu itu memang bodoh, ya? Jika kamu membunuhku,


kamu tidak perlu melarikan diri dan terus bersembunyi seperti ini.
Kamu bisa meraih gelar kehormatan yang mulia dan berjalan
dengan bangga di bawah sinar matahari.”

— 10 —
“Tanpa diberitahu juga aku sudah tahu, tapi aku lebih baik
darimu.”

Aku tahu bahwa jalan yang kulalui ini merupakan jalan yang
penuh duri dan akan membuat seluruh dunia melawanku.

Meski begitu, aku tidak menyesali memilih jalan ini.

“…Walaupun aku tidak bisa menjadi pahlawan ideal yang


diinginkan semua orang, tapi setidaknya aku ingin menjadi
pahlawan yang aku yakini.”

“Haaaaa… lagi-lagi dengan logikamu yang tidak masuk akal itu.


Aku sudah bosan mendengarnya.”

Si Penyihir mengangkat bahunya sembari menghela napas.


Karena wajahnya disembunyikan oleh tudungnya di bar yang
remang-remang, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku
yakin dia memiliki ekspresi tercengang di wajahnya.

Sama halnya seperti penyihir, aku sekarang memakai tudung


lebar untuk menyembunyikan wajahku.

Di sini adalah tempat di mana asalkan kamu bisa membayar,


mereka takkan mengusikmu walaupun kamu berpenampilan
mencurigakan.

Selain kami, ada satu atau dua orang yang berpenampilan


sama seperti kami, dan diam-diam menikmati minuman mereka.

“Haa, rasanya jadi sedikit lelah ...”

Yah, bahkan orang-orang semacam mereka pasti akan terkejut


setengah mati dan pingsan jika mereka tahu identitas sebenarnya
dari wanita di hadapanku ini, tapi …. Kamu pasti takkan
menyangka bahwa wanita yang menangis seperti anak kecil ketika
mendengarkan syair puisi merupakan sang penyihir malapetaka.

“Apa kamu lelah menangis?”

— 11 —
“Ak-Aku tidak menangis, kok!”

Tidak, mana mungkin dia tidak menangis saat mendengar


isakannya yang bisa terdengar jelas.

......Atau itulah yang kupikirkan, tapi dia pasti akan tteap


menyangkalnya, jadi aku akan berhenti mengungkitnya.

“Apa kamu menyukainya? Hal yang semacam itu.”

Aku bertanya kepada si penyihir sambil melihat si penyair yang


bersiap-siap untuk pergi.

“Cuma sebatas ceritanya saja... karena pasti tidak ada yang


menyalahkanku meski aku seperti ini.”

Aku tak bisa berkata-kata saat mendengar jawabannya.

Kalau dipikir-pikir lagi, selama waktu luangnya, si penyihir


hanya membaca buku-buku yang dia kumpulkan dari suatu tempat.

Entah itu cerita mitos, otobiografi, maupun novel, dia akan


membaca semuanya.

“Aku paling menyukai kisah tentang percintaan. Karena kisah


cinta …. Bisa memberiku rasa keindahan orang yang tidak kukenal”

Si Penyihir yang berbicara begitu memiliki ekspresi bahagia


yang langka di wajahnya.

Aku belum pernah melihat ekspresi semacam ini di wajah si


penyihir.

“Kisah cinta, ya ...”

Aku juga membaca buku yang dibaca penyihir.

Tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuh hatiku. Atau


lebih tepatnya, aku masih tidak memahaminya.

— 12 —
Sebenarnya, perasaan macam apa yang disebut cinta?

“Memangnya kamu mengetahui apa itu cinta?”

Ketika aku menanyakan itu, si penyihir tampak tercengang dan


berkata,

“Mana mungkin seseorang sepertiku yang dibenci oleh dunia,


bisa merasakan yang namanya jatuh cinta.”

Dia mengatakan itu dengan nada alami.

Itu sungguh jawaban yang sangat menyedihkan, tapi karena


aku berada dalam situasi yang sama dengannya, jadi aku tidak
berkomentar apa-apa.

Atau lebih tepatnya, jika dia tidak mengenal cinta, bagaimana


bisa dia sering merasa tersentuh?

“Justru sebaliknya, memangnya kamu tidak tahu tentang cinta?


Kamu bebas memilih wanita yang kamu inginkan, bukan?”

Karena kamu adalah seorang pahlawan, imbuh si penyihir.

Aku memang sering diundang ke dalam pesta bangsawan


beberapa kali selama perjalananku. Pada waktu itu, ada banyak
wanita cantik yang berusaha mendekatiku, seolah-olah mereka
sedang mencoba menggodaku sebisa mungkin.

Namun, itu semua hanya sebatas mencoba memberikan kesan


yang baik kepadaku, yang memiliki nilai guna, dan didasarkan pada
perhitungan matang tanpa adanya ruang untuk perasaan cinta.

Aku takkan pernah jatuh cinta dengan siapa pun, dan tidak ada
wanita yang jatuh cinta denganku.

“...Aku adalah monster.”

Si penyihir tersentak dan mengguncangkan bahunya.

— 13 —
“Aku hanyalah monster yang dikendalikan dengan
gelar 'pahlawan'. Setidaknya, para petinggi kerajaan ini pasti akan
berpikir begitu. Masyarakat biasa hanya mempercayaiku dengan
polosnya.”

Keberadaanku hanyalah sebatas ‘senjata untuk membunuh


penyihir' dan ‘alat untuk menyelamatkan orang-orang'’. Mereka
yang mengetahui hal tersebut tidak menanggapku sebagai manusia.
Itu sebabnya, meski mereka bersikap ramah padaku, itu hanya
perilaku di permukaan saja.

Sebaliknya, orang-orang biasa menaruh harapan besar padaku.


Mereka menyembah dan menaruh harapan mereka padaku. Namun,
tidak ada yang berani mencoba mendekatiku, pahlawan pilihan
Tuhan. Mereka mempercayai bahwa sikap tidak hormat semacam
itu tidak dapat diterima.

Bagaimanapun juga, tidak ada yang berani mendekatiku. Itulah


satu-satunya kenyataannya.

“... Begitu. Kamu memang keberadaan yang diajuhi semua


orang, bukan?”

Dan sekarang, aku adalah pendosa besar yang menghilang


bersama si penyihir.

Orang-orang melempariku dengan batu karena mengkhianati


harapan mereka, dan para petinggi kerajaan berusaha mencoba
membunuhku.

Sekarang seluruh dunia sudah menjadi musuhku, musuh kami


berdua. Dan perasaan cinta tidak lebih dari sekedar mimpi di siang
bolong belaka.

Si penyihir tersenyum ringan dan dengan ringan mengguncang


gelas berisi minuman anggur di tangannya.

“Orang-orang pasti tidak ada yang mau mendekatimu jika


kamu sendiri bahkan tidak tersenyum.”

— 14 —
“Aku tidak keberatan sama sekali. Aku tak keberatan sendirian
terus. Perasaan cinta memang tidak cocok untuk pahlawan, iya
‘kan?”

Saat aku menggumamkan itu, si penyihir mengangkat bahunya


dan tersenyum sembari berkata, “Sungguh cara hidup yang sangat
kesepian sekali.”

“Kalau begitu apa boleh buat, deh. Setidaknya, aku akan tidak
bahagia bersamamu.”

Supaya kamu tidak terlalu kesepian, imbuhnya.

“Bukannya itu hukuman yang tepat untukmu karena sudah


menolak kebahagiaanku?”

Memang, aku pantas dihukum karena sudah menolak


keinginan si penyihir.

Diriku yang sudah mengkhianati gereja dan harapan dunia,


memang sangat pantas dihukum.

Namun, aku tidak menerima akhir seperti itu.

[... Hmm, benar juga. Kalau begitu, apa kamu bersedia


mendengarkanku untuk terakhir kalinya? Rasanya sedikit
menyedihkan bagiku untuk mati tanpa meninggalkan apa pun,
jadi tinggalkan kisah ini di dalam ingatanmu. Kisah mengenai
penyihir yang malang]

Aku memutuskan untuk mengajari wanita ini, yang menyebut


tragedi semacam itu sebagai kebahagiaan, mengenai bagaimana
rasanya kebahagiaan sejati.

Aku berharap bahwa wanita ini bisa menjalani kehidupan yang


normal, bisa memiliki hubungan yang hangat dengan seseorang,
bisa mengetahui perasaan cinta yang dia dambakan, dan
menghabiskan waktu setiap hari dengan senyuman.

— 15 —
Demi mewujudkan itu, aku tidak peduli jika aku terjatuh ke
dalam jurang neraka.

Oleh karena itu, kita tidak bisa tidak bahagia bersama. Biar aku
saja satu-satunya yang tidak bahagia.

Di dalam hati, aku bersumpah begitu.

— 16 —
Bab 1 — Liburan Musim Panas Mantan
Pahlawan Dan Mantan Penyihir

Bagian 1

“Panas sekali…”

Suhu ruangan sudah mirip seperti di dalam oven.

AC di dalam kamarku rusak parah dan butuh dua hari lagi


sebelum pihak teknisi selesai memperbaikinya.

Ada batasan seberapa banyak kamu bisa menangkal panas


hanya dengan megandalkan kipas. Pertama -tama, benda itu hanya
meniup udara panas daripada membuatnya lebih dingin. Rasanya
seperti menuangkan air ke atas batu mendidih.

Satu minggu telah berlalu sejak ujian akhir semester dan entah
bagaimana aku berhasil menghindari nilai di bawah KKM lagi.

Aku bukan anggota klub mana pun, jadi aku tidak punya
kegiatan klub untuk dihadiri. Walaupun aku memiliki banyak
pekerjaan sambilan, entah kenapa aku masih memiliki banyak
waktu luang.

Tapi, aku masih tidak memiliki keinginan untuk menyeret


kakiku ke luar karena cuacanya terlalu panas untuk melakukan apa
pun. Tapi sekali lagi, AC-ku sedang sekarat, jadi tinggal di dalam
kamarku juga tidak ada bedanya. Terlebih lagi menurut BMKG,
musim panas tahun ini lebih panas dari biasanya.

“Aku sudah tidak tahan lagi ...”

Aku lalu meninggalkan kamarku, menuju ke ruang tamu, dan


menyalakan AC.

Aku seharusnya melakukan ini sejak awal. Sejujurnya, sampai


beberapa waktu yang lalu, aku sedang ter tidur.

— 17 —
“Ak-Aku berhasil hidup ...”

Hembusan angin dingin menyejukkan keringat yang telah


menempel di dekat kulitku.

Ah, rasanya segar sekali. Aku harus mengambil es krim atau


sejenisnya supaya terasa lebih nikmat.

Oleh karena itu aku menuju ke dapu, karena ada beberapa es


krim di dakam kulkas. Aku menyalakan TV dan mengetahui bahwa
ada permainan bisbol yang terjadi di Koshien. Aturannya adalah
pelari pada inning kesembilan kedua, bawah. Skornya 3 v 2s dan
saat ini sedang berada pada inning keempat. Permainnnya mulai
memanas. Ketika aku menontonnya sambil menikmati es krim, bel
pintuku berbunyi.

“Ya ampun, siapa sih? Padahal lagi seru-serunya ...”

Saat ini liburan musim panas, tapi ibu masih bekerja dan ayah
berada di luar kota.

Dengan kata lain, hanya ada aku saja sendirian di rumah dan
cuma aku yang bisa menjawab pintu.

Ketika aku membuka pintu depan, ada seorang gadis cantik


dengan wajah yang sudah sangat kukenal sedang berdiri di sana.

Dia adalah teman masa kecilku, Kirishima Hina.

“Halo, halo ~ apa aku sedang mengganggumu?”

Hina menatapku saat dia melambaikan tangannya.

Dia mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek, jadi


penampilannya yang sekarang menunjukkan lumayan terbuka.
Payudaranya yang besar dan paha montoknya sangat terlihat jelas.

— 18 —
Penampilannya saat ini sangat beracun bagi seorang remaja
puber seperti diriku, jadi aku pura-pura terbatuk dan mengalihkan
pandanganku.

“Emang, aku sedang sibuk dengan Koshien.”

“Sejak kapan kamu bagian dari tim bisbol?”

“Aku sibuk menonton. Padahal pertandingannya baru saja


mencapai bagian yang seru. ”

“Hah ... aku tidak pernah tahu kamu kalau kamu bersemangat
menonton pertandingan olahraga.” Kata Hina dengan nada yang
tidak tertarik.

Aku merasa kalau pertandingan olahraga sangat menarik. Di


sana mrupakan tempat di mana orang dapat memamerkan
keterampilan mereka dan saling bertarung menggunakan
keterampilan mereka. Tidak seperti perang, tidak akan ada korban
jiwa, sehingga mereka bisa berjuang sesuka hati mereka.

Meskipun aku memberitahunya begitu, aku ragu dia akan


memahaminya.

“Kamu tidak ada kegiatan klub hari ini?”

“Tidak. Cuaca hari ini terlalu panas. Kami bukanlah orang


ODGJ yang berlari di bawah suhu panas ini. "

Hina menyelonong masuk ke dalam rumahku sambil


mengipasi wajahnya dengan tangannya.

Ketika aku melihat TV lagi, pertandingannya sudah berakhir.

Bagus, aku melewatkan segalanya.

Pertandingannya berakhir pada inning keempat, jadi pasti ada


seseorang yang melakukan pukulan homerun.

— 19 —
“Baiklah, aku akan menonton TV saat kamu bersiap -siap.”
Ujar Hina ketika dia duduk di sofa dan mengoperasikan remote TV.

“Hah? Bersiap-siap? Untuk apa?”

“Membeli pakaian renang. Sekarang sudah saatnya kamu


membeli yang baru, ‘kan?”

“Baju renang?…”

Ketika aku memiringkan kepalaku, Hina mengangkat bahunya


dengan ekspresi putus asa.

“Bukannya kita ada rencana untuk pergi ke kolam renang?


Besok adalah harinya ...”

“… Ah, benar juga.”

Benar, kami sudah merencanakan sesuatu seperti itu. Kami


awalnya berencana untuk pergi ke pantai, tapi karena terkendala
masalah biaya, jadi kami beralih untuk pergi ke kolam renang.

Yang kumaksud dengan kami adalah orang -orang yang pergi


berkaraoke bersama pada saat itu; Aku, Shinji, Hina, Yuuka, dan
Shiina.

Ketika memikirkan keikutsertaan Shiina, aku tersenyum. Apa


ini yang biasa disebut sebagai kasih sayang orang tua?

“Sekarang setelah kamu mengungkitnya, aku memang perlu


pakaian renang baru, ya ...”

Baju renang lamaku terlalu kecil untuk kupakai dan


mengenakan baju renang sekolah untuk acara begitu juga terasa
salah.

“Sudah kuduka bakalan begitu. Itu sebabnya aku akan


menyeretmu keluar denganku!”

— 20 —
Ucap Hina dengan senyum lebar. Dia kelihatannya sangat
bahagia hari ini, baguslah untuknya.

Setelah berganti pakaian dan selesai bersiap -siap, aku kembali


ke ruang tamu dan Hina mendorongku dari belakang.

“Baiklah, ayo cepat pergi. Waktu adalah uang!”

“Oke, oke, aku paham, jadi jangan dorong-dorong terus, baju


renangnya takkan kabur ke tempat lain juga kali!”

“Kata siapa! Orang lain akan membelinya dan mereka akan


menghilang!”

“Jika itu yang jadi perhatianmu, bukannya model yang bagus-


bagus sudah habis dari penjualan sejak awal musim panas?”

Kalau dipikir-pikir, tumben sekali dia membeli pakaian renang


tepat sebelum hari-H.

Dia adalah tipe gadis yang selesai mempersiapkan semuanya


seminggu sebelum hari pelaksanaan.

“... Baju renang yang aku beli tahun lalu sudah tidak cocok lagi
denganku.”

Seakan-akan bisa menebak pikiranku, Hina berbisik kepadaku


dengan wajah yang sedikit merah.

“Hah? Padahal ‘kan kamu belum tumbuh sebanyak itu ...”

Setelah mengatakan itu, tatapanku beralih menuju dadanya.

Aku tidak perlu menyentuh secara langsung untuk mengetahui


bahwa ukurannya sudah semakin membesar dari tahun lalu.

“Kamu lihat-lihat apa, hah?!”

“Aduduh! Dilarang melakukan kekerasan!”

— 21 —
Hina mendengus dan meninggalkan rumah duluan.

Aku mengenakan sepatuku dan mengikutinya di belakang.

“Uwaah, panasnya benar-benar gila...”

Perlindungan dari AC sudah menghilang dan aku terasa mulai


meleleh oleh udara panas.

Biasanya, aku bakalan kembali masuk ke dalam setelah


merasakan panas semacam ini.

“Tahan sedikit napa.”

“Yah, baiklah.”

Tetapi karena aku bersama Hina, kupikir sesekali mengalami


panas seperti ini tidak ada salahnya.

◇◇◇◇

Kami berdua menuju ke pusat perbelanjaan terdekat.

Butuh waktu sepuluh menit dengan sepeda untuk sampai di


sana dari rumah kami. Biasanya kita bisa sampai di sana dengan
gampang, tapi di bawah cuaca yang panas begini, rasanya seperti
sedang disiksa saja. Hina yang awalnya bersemangat ketika kami
pergi, tampak sedikit linglung di jalan. Cuaca panas bahkan
menguras energi dari anggota klub trek yang biasanya mempunyai
stamina tinggi. Dunia ini memang berbahaya…

Namun, begitu kami masuk ke pusat perbelanjaan, dinginnya


AC membuat kami merasa hidup kembali.

“Karena kita akan membeli pakaian renang, berarti kita harus


pergi ke lantai dua, ‘kan?”

— 22 —
“Hmm, ya... tapi aku ingin istirahat dulu. Ayo mampir di kedai
kopi dulu.”

Atas saran Hina, kami pergi istirahat di sebuah kedai kopi di


dalam mal.

Aku memesan es teh, sedangkan Hina memesan parfait.

Ketika pesanan parfaitnya datang, tatapan matanya langsung


berbinar-binar. Dia lalu mengambil ponselnya dan memfoto parfait
itu.

“Oke, fotonya terlihat sangat bagus!”

Suara klik kamera ponselnya terus berlanjut. Astaga, mau


sampai berapa banyak foto yang ingin dia ambil? Setelah beberapa
saat, dia meletakkan ponselnya dengan wajah puas dan mulai
memakan parfait dengan sendok.

“Mantapnya~”

“Kamu sudah makan siang sebelum datang ke sini, ‘kan? Kamu


bakalan jadi gemuk jika makan terlalu banyak.”

“Aku memiliki bagian dalam perut terpisah untuk manisan


seperti ini! Selain itu, aku akan membakar kalori di kegiatan klubku,
jadi aku akan baik-baik saja!”

“Yah, aku bisa melihatmu membakar banyak kalori setelah


berjalan di bawah panas seperti itu…”

“Panas hari ini sangat tidak normal. Kira-kira cuaca besok


bakalan panas enggak ya?”

“Kamu benar-benar sudah terbiasa dengan ini sekarang, ya?”

Mereka tidak memiliki kegiatan klub hari ini, tapi biasanya


klub lari dan halang rintang akan berlatih setiap hari selama liburan
musim panas.

— 23 —
“Mana ada. Aku hampir mendapatkan sengatan panas tempo
hari.”

“Apa kamu baik-baik saja? Berlatih di luar terdengar lebih


berbahaya setelah mendengarmu mengatakan itu.”

“Maksudku, berlatih di dalam gedung juga tidak ada bedanya.


Kata mereka yang berlatih di sana sih rasanya sama saja. ”

Ngomong-ngomong, kulitnya terlihat lebih kecoklatan dari


terakhir kali aku melihatnya.

Setelah melihat-lihatnya lagi dari dekat, aku bisa melihat garis


belang di lengannya.

“Apa? Jangan menatapku terus.”

“Aku hanya berusaha menghargai kulit kecoklatanmu.”

“Ugh ... aku memakai tabir surya, tapi sinar matahari masih
terlalu kuat ...”

Hina menghela nafas dengan pasrah.

Ketika kami berbicara seperti itu, ponselku tiba-tiba bergetar.

Ternyata itu pesan Rine dari Shiina.

[Kita akan pergi ke kolam renang besok, ‘kan?]

Ah, sepertinya dia mengingat tentang hal itu. Berbeda


denganku.

[Aku tidak mempunyai baju renang dan tidak tahu harus


berbuat apa ...]

Itulah pesan yang dia kirimkan padaku.

— 24 —
Singkatnya, dia ingin aku membantunya memilih baju renang
untuknya.

Aku menunggunya mengirim teks lain, tapi hanya itu saja.

Seperti biasa, dia adalah gadis dengan sedikit kata.

Yah, mumpung kami ada di sini, mungkin lebih baik sekalian


mengajaknya juga.

“Ada apa?”

“Hina, boleh aku mengajak Shiina kemari?”

Ketika aku bertanya, Hina mengedipkan matanya dan bertanya


kembali,

“…Kenapa?”

"Gadis itu mengalami kesulitan memilih baju renang untuk


dirinya sendiri.”

Aku menunjukkan pesan Rine dari Shiina.

“Hahaha! Tentu! Ajak saja dia kemari.”

Karena Hina sudah memberi izin, aku menelepon Shiina untuk


datang di sini.

Bagian 2

Ketika aku hampir menghabiskan minuman es tehku, Shiina


akhirnya tiba.

Gadis itu mempunyai rambut panjang dan wajah yang cukup


manis sampai-sampai membuat semua orang yang lewat di jalanan
akan secara tidak sengaja menatapnya. Tapi, sifatnya yang pemalu
benar-benar menghancurkan penampilannya.

— 25 —
Dia mengenakan gaun one-piece berwarna putih.

Model pakaian yang takkan pernah sesuai dengan kehidupan


sebelumnya sebagai penyihir, tapi baju tersebut benar-benar cocok
dengan penampilannya yang sekarang.

“Ha-Halo…”

Shiina yang bertingkah malu-malu seperti kucing karena Hina


ada di sini, menyapa kami dengan suara rendah.

“Wuaah! Kamu juga terlihat manis hari ini, Mai-chan! Aku


mencintaimu!”

Setelah mengatakan itu, Hina segera memeluk Shiina.

Gadis itu dipeluk mengaitkan tangannya dan mengalihkan


pandangannya ke arahku.

“Mmm! Sudah kuduga, baunya wangi~”

“Hentikan. Kamu itu mengganggunya tau.”

“Hehe, apa, kamu cemburu ya? Cuma sesama gadis yang


diizinkan untuk menempel-nempel pada seorang gadis cantik
seperti Mai-chan, loh?”

“Yang namanya kejahatan masih merupakan kejahatan, tau?”

Aku bangkit dari kursiku karena jika aku terus membiarkannya,


mereka tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

“Oi, mari kita selesaikan dengan cepat urusan kita di sini.”

“Baiklah~”

Hina dengan enggan menjauh dari Shiina.

Sementara itu, aku membayar minuman kami. Melihatku


melakukan itu, Hina melebarkan matanya dengan terkejut.

— 26 —
“Kamu juga membayar minumanku? Tumben-tumbennya
kamu perhatian sekali.”

“Tumben? Kamu sendiri yang tidak pernah memintaku. Aku


punya banyak uang dari pekerjaan sambilanku, tau?”

“Kalau gitu, terima kasih~”

Hina memberi hormat kepada aku sebelum keluar dari toko,


meninggalkanku dan Shiina.

Ketika aku akan mengatakan kepadanya untuk jangan pergi


sendirian, Shiina tiba-tiba mulai berbicara.

“Bukannya aku hanya menghalangi kalian?…”

Aku mengerutkan alisku sejenak, tidak memahami apa yang


dia bicarakan.

Memangnya dia berpikir kalau aku dan Hina sedang berkencan


atau apa?

“Jangan risau. Hina dan aku hanyalah teman masa kecil, tidak
lebih.”

Selain itu, kami lah yang menyeretnya kemari. Jadi dia tidak
perlu merasa tidak enakan tentang apa pun.

“Be-Begitu ya ... syukurlah, itu melegakan ...”

Untuk beberapa alasan, dia terlihat bahagia.

Apanya yang membuatnya lega? Fakta bahwa dia tidak


menghalangi kami? Mungkin itu, ‘kan?

“Kita akan ketinggalan, jadi kita harus mengejarnya dengan


cepat.”

— 27 —
Shiina meraih ujung kemejaku dan menyeretku sembari
tersenyum lembut.

Belakangan ini, gadis ini terlihat sering tersenyum.

Senyumnya juga sangat manis ... tunggu, tenanglah dulu, aku


seharusnya tidak membiarkan pikiranku mengembara seperti itu!

Maksudku, aku tidak menganggapnya dalam artian seperti itu.


Hanya saja, wajahnya yang biasanya cari gara-gara denganku,
tersenyum bahagia seperti ini membuatku lengah. Tidak ada
perasaan lain selain itu.

“Apa ada yang salah?”

Shiina memiringkan kepalanya. Untuk beberapa alasan,


suaraku sedikit melengking saat membalasnya

“Bu-Bukan apa-apa. A-Ayo pergi.”

Aku berusaha mencoba menjaga diriku tetap tenang, tetapi ada


sesuatu yang menggangguku.

Dia terlalu dekat!

Aku ingin memperingatinya tentang hal itu, tapi melihat dia


bersenandung dengan gembira di sebelahku membuatku menutup
mulut dengan tidak sengaja. Hal ini juga bukan masalah baru. Sejak
kami menjadi teman, dia selalu menjaga jarak yang sangat dekat
dariku.

Rasanya sedikit menggangguku, karena sampai baru -baru ini,


kami adalah musuh.

Dalam kehidupan kami sebelumnya, kami adalah pahlawan


dan penyihir. Kami selalu berusaha membunuh satu sama lain
setiap kali kami bertemu.

— 28 —
Aku selalu berpikir, meskipun kami bisa menjadi teman, mana
mungkin hubungan kami menjadi langsung dekat dalam waktu
singkat.

Tapi Shiina tampaknya berpikir secara berbeda.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia tidak pernah punya teman


sebelumnya, jadi tidak bisa dihindari bahwa dia tidak tahu bahwa
yang namanya teman tidak seharusnya sedekat ini.

Oleh karena itu, dia sepertinya benar-benar mempercayaiku,


teman pertamanya.

Itulah sebabnya dia menjaga jarak yang sangat dekat denganku.


Begitu dekat sampai-sampai membuatku merasa sangat gugup.

“Mengapa di sini ada begitu banyak orang?”

“Karena sedang liburan musim panas. Mana ada yang mau


tinggal di luar dalam cuaca panas seperti ini mungkin.”

Kadang-kadang lengan kita saling bersentuhan.

Aroma harum dan lembut menggelitik lubang hidungku.

Seperti yang dikatakan Hina, Shiina memancarkan bau harum.

Hal tersebut membuatku penasaran, memangnya gadis ini


tidak menyadari kalau aku adalah seorang pria?

Aku tidak menyuarakannya, karena perkataan itu membuatku


terdengar jadi gede rasa padanya.

“Um… menurutmu ... apa aku terlihat aneh?”

Aku sedikit bingung dengan apa yang dia bicarakan ketika


menanyakan pertanyaan itu, lalu aku menyadari kalau dia sedang
membicarakan penampilannya.

— 29 —
Yah, baju tersebut merupakan model baju yang tidak pernah
dia gunakan dalam kehidupan sebelumnya.

Padahal baju tersebut terlihat bagus untuknya.

“Jangan khawatir, kamu tidak terlihat aneh sama sekali, kok.”

“Benarkah? Shindou-san yang memilihkannya untukku tempo


hari dan kupikir itu terlihat lucu. Aku khawatir kalau ini tidak cocok
untukku, tapi karena kamu mengatakan demikian, kurasa aku tidak
perlu khawatir.”

Logika masam apa itu? Jika aku mengatakan kalau baju itu
tidak terlihat aneh maka itu tidak terlihat aneh? Apa?

Dia mengelus dadanya dengan lega.

Bagaimanapun juga, sepertinya dia lumayan akrab dengan


Yuuka dan Hina.

“Oi! Kalian berdua lama banget!”

Hina yang tadinya berjalan duluan, berbalik dan memanggil


kami. Aku berjalan ke arahnya lebih cepat sebagai tanggapan.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di toko yang menjual baju


renang. Ada banyak orang di sini, mungkin karena sekarang sudah
memasuki musim panas. Area di dalam tokonya lumayan luas, jadi
keramaian pengunjung tidak membuatnya sempit.

Lalu, aku menyadari keadaanku sendiri. Bagaimana bisa aku


berakhir dalam situasi ini, harus memilihkan baju renang untuk
kedua gadis ini?

Aku sendiri tidak keberatan kalau hanya memilihkan baju


renang untuk Hina, karena kami adalah teman masa kecil, tapi
masalahnya jadi berbeda jika itu mengenai Shiina.

Hal pertama yang kulihat di toko adalah boneka manekin yang


mengenakan bikini terbuka.

— 30 —
Kira-kira, apakah Shiina atau gadis-gadis lain akan memakai
bikini semacam ini? ... A-Ahem.

“Asal kamu tahu saja, aku takkan memakai sesuatu yang


seperti itu.”

Ketika aku berpura-pura terbatuk, aku bisa mendengar suara


dingin Hina di samping telingaku.

Aku menoleh ke arahnya dan melihat Hina serta Shiina


menatapku dengan tatapan jijik.

Wajah Shiina terlihat memerah seperti tomat matang.

Memangnya dia tidak menyadari kalau inilah model baju yang


biasa dia kenakan dalam kehidupan sebelumnya?

“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan. Aku akan
membeli baju renangku dulu, jadi sampai jumpa lagi.”

Aku melarikan diri ke bagian baju renang pria dan mengambil


baju renang yang tampak sederhana. Celana renang tersebut
berwarna abu-abu dengan pola baris tunggal di atasnya. Yah,
mendingan pilih ini saja.

Sejujurnya, semua baju renang pria terlihat sama. Harusnya


aku akan baik-baik saja memilih yang tampak aman.

Satu-satunya hal yang perlu kuperhatikan adalah ukurannya,


tapi sepertinya itu bakalan cocok tanpa perlu mencobanya.

“Kamu akan memilih yang itu? Kelihatannya lumayan bagus,


kok.” ujar Hina saat mendekatiku.

Dia memegang tiga atau empat pakaian renang di tangannya.

“Bagaimana denganmu? Kamu akan memilih salah satu dari


itu?”

— 31 —
“Hmmm~. Aku akan mencobanya terlebih dahulu, jadi bantu
aku memilihnya, oke.”

Dia berkata sambil tersenyum lebar. Terlepas dari nada


cerianya, memilih baju renang untuknya masih terasa terlalu
merangsang untuk anak SMA puber sepertiku.

Terlepas dari apa yang kurasakan, aku mengangguk dengan


wajah tenang. Tenangkan lah dirimu, nafsu bejatku!

Di sisi lain, Shiina masih kesulitan untuk memilih baju renang


sendiri.

“Ya-Yang ini terlalu mencolok untuk gayaku ...”

“Kamu ini bicara apa? Bukannya model begini sama persis


dengan yang biasa kamu kenakakan di kehidupanmu yang dulu.”

“Du-Dunia itu dan dunia ini berbeda! Se-Selain itu, baju


renang ini lebih terbuka daripada pakaian yang bisa aku kenakan
saat itu!”

Shiina memprotes dengan wajah memerah. Setidaknya, dia


sadar diri kalau pakaiannya di kehidupan sebelumnya lumayan
terbuka ...

“Berbeda dari kehidupanku sebelumnya ... Aku tidak merasa


yakin tentang penampilanku ...”

“Jadi itu karena kamu yakin tentang penampilanmu sehingga


kamu memamerkan tubuhmu seperti itu?”

“Aku tidak bermaksud begitu!”

Dia langsung membantah, tapi kedengarannya tidak


meyakinkan.

Ketika aku hendak berpikir kalau aku akan memperlakukannya


seperti orang cabul mulai sekarang, Hina muncul dari balik tirai
ruang ganti.

— 32 —
Hal pertama yang menarik perhatianku adalah dadanya yang
besar ditutupi oleh kain putih. Setelah dari sana, aku mengalihkan
pandangan ke bawah ke pinggangnya yang ramping dan baju
renang dengan model yang mirip seperti rok mini. Ups, aku terlalu
lama menatapnya.

“Cukup bagus, iya ‘kan? Bagaimana menurutmu?”

Hina bertanya mengenai pendapatku, aku lalu membalasnya.

"Tidak buruk."

Pahanya terlihat mulus dan montok, mungkin itu karena dia


sering berolahraga sebagai anggota klub lari.

“… Sepertinya masih ada sesuatu yang ingin kamu katakan,


Godou.”

“Ak-Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”

Sudah lama sejak aku mendengar nada dingin Shiina. Hal


tersebut membuatku takut sekaligus lega.

“Bagaimana menurutmu, Shiina?”

“Aku pikir dia terlihat cantik.”

“Benarkah? Aku senang kalian berdua berpikir begitu! Nah,


karena aku sudah membawa pakaian renang lainnya, mungkin aku
harus mencobanya juga.”

Setelah mengatakan itu, Hina menutup tirai ruang ganti lagi.

Seketika itu juga, Shiina menjatuhkan semua kepura-puraan


dan memelototiku dengan tajam.

“Tatapanmu terlihat menjijikkan.”

— 33 —
“Kamu salah paham! Yah, mau salah paham atau tidak, apa
boleh buat, oke? Aku juga masih remaja yang puber, oke!”

“Hah ... yah, itu berarti setidaknya kamu memiliki emosi


seperti itu. Aku merasa lega…..”

“Emangnya menurutmu aku ini boneka tanpa emosi atau


sejenisnya?”

Saat kami bertengkar dengan suara bisik-bisik seperti itu, tirai


ruang ganti kembali terbuka.

Kali ini, Hina muncul dengan baju renang berwarna pink.

“Apa menurutmu ini terlihat sedikit kekanak-kanakan?”

“Tapi kamu masih terlihat cocok.”

Shiina berkata begitu, tapi memang benar dia terlihat sedikit


kekanak-kanakan.

Biasanya, pakaian yang dia kenakan akan menonjolkan


kecantikannya daripada sisi imutnya seperti ini. Padahal,
kesenjangan antara Hina yang cantik dan imut justru lebih
menonjolkan sisi imutnya.

“Bukannya baju renang ini terlihat seperti yang pernah aku


pakai dulu?” Hina bertanya padaku.

“Ah, benar, saat di SD dulu, ya?”

“Mhmph! Saat kita masih kecil, setiap kali kita pergi ke kolam
bersama, aku dulu memakai sesuatu seperti ini, kan?”

“Jujur saja, aku hampir tidak ingat apa yang kamu kenakan
pada saat itu.”

“Hahaha, aku tahu kamu takkan mengingatnya. Yah, itu


kejadian yang sudah lama sekali sih ...” ujar Hina dengan tertawa.

— 34 —
Sejujurnya, aku cenderung melupakan kenangan masa kecilku
berkat kenangan kehidupanku sebelumnya.

“… Kalian berdua benar-benar teman masa kecil, ya?”

“Aku benci mengakuinya, tapi ya. Kami sudah saling kenal


sejak TK, ‘kan?”

“Ya.”

Aku sudah tinggal di daerah Gunma sepanjang hidupku, jadi


tidak jarang aku memiliki teman yang kukenal untuk waktu yang
lama, tapi cuma Hina satu-satunya teman yang kumiliki sejak TK.
Pada titik ini, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.

"Harus berurusan dengan orang semacam ini sejak TK... aku


turut berbelasungkawa ...”

“Akhirnya, ada seseorang yang mengerti penderitaanku! Orang


ini sangat nyebelin! Cowok berkepala batu dan satu-satunya hal
yang dikuasainya cuma menggerakkan tubuhnya!”

“Belum lagi sifatnya yang suka benar sendiri, suka memerintah


dan tukang ngayal.”

“Uhh ... aku masih di sini, tau? … lagian, apa kalian berdua
benar-benar berpikir seperti itu mengenai aku, hah?”

Setelah aku mengatakan itu, mereka berdua menatapku dan


tertawa bersama.

Oh yah tidak apa-apa lah, selama mereka merasa senang.

Rutinitas Hina yang mencoba pakaian renang dan aku yang


dicemooh oleh kedua gadis itu terus berlanjut.

Pada akhirnya, Hina memilih baju renangnya dengan nada


yang sedikit frustasi.

— 35 —
“Hmmmmm ... kurasa aku akan mengambil yang pertama saja
deh. Rasanya sangat disayangkan buat yang lainnya ... tapi yah,
gapapa lah.”

Dia kemudian menutup tirai setelah mengeluh bahwa akan


sedikit merepotkan untuk bergantilagi.

Pilihan yang pertama memang paling cocok untuknya.

“Kamu sendiri gimana? Apa kamu sudah memutuskan baju


renang yang kamu inginkan?”

Ketika aku bertanya kepada Shiina pertanyaan itu, dia


mengangguk dan menunjukkan pakaian renangnya.

Baju renang yang dia tunjukkan adalah bikini merah dengan


embel-embel di atasnya dan terlihat cukup mencolok. Aku
membayangkan dia mengenakan baju renang ini ... yup, terlihat
cantik untuknya.

“Ba-Bagaimana menurutmu?”

“Kurasa itu tidak terlalu buruk. Walaupun aku perlu


melihatmu memakainya dulu untuk bisa memastikannya sih.”

“Kamu ingin melihatnya… ?”

Tanya Shiina dengan muka songong. Aku dengan cepat


menggelengkan kepalaku untuk menyangkal.

“Tidak juga…”

“Begitu ya?”

Dia bergumam dengan ekspresi yang sedikit sedih. Aku tidak


paham, mana jawaban yang tepat di sini?!

"Tidak apa-apa. Aku paham kalau kamu tidak ingin melihat


tubuhku yang tidak menarik ...”

— 36 —
Shiina menunjukkan senyum gelap padaku.

Keminderannya tentang penampilannya saat ini lebih dalam


dari yang aku kira.

‘Kamu hanya menyadari betapa pentingnya sesuatu setelah


kehilangannya’, apa mirip pepatah yang seperti itu?

Shiina menghela nafas sebelum berkata,

“Kurasa aku seharusnya tidak pergi saja... lagipula, aku tidak


bisa berenang ...”

“Kamu tidak bisa berenang?”

Ketika aku bertanya begitu, dia mengangguk sambil cemberut.


Yah, aku sudah sedikit menduganya, sih.

“Ak-Aku tidak perlu berenang saat di kehidupan yang dulu,


oke?!”

“Ya, tapi ada hal yang disebut pelajaran renang di dunia ini,
tau?”

“... Aku membolos karena aku takut.”

Penyihir Malapetaka yang terkenal takut pada kolam renang?

“Ja-Jangan menertawakanku!”

“Aku bahkan belum mulai tertawa.”

“Kamu pasti akan tertawa!”

Setidaknya marahi aku setelah aku selesai melakukannya, oke.

“Aku tidak peduli apa aku tidak bisa berenang atau tidak!
Selain itu, aku hanya seorang gadis SMA yang normal sekarang!”

“'Gadis SMA normal' biasanya harus tahu cara berenang, loh?”

— 37 —
Ketika aku mengatakan itu, dia menampar keras punggungku.

Yah, aku tahu kalau dia tidak punya kemampuan atletis.

“Jika kamu tidak bisa berenang, terus kenapa kamu malah


setuju untuk ikut?”

Jika aku jadi dia, aku bahkan takkan mempertimbangkan


untuk pergi ke sekitar kolam renang.

“... Habisnya, semua orang sudah repot-repot untuk


mengajakku. Aku tidak ingin menolaknya.”

“Tapi kamu selalu bisa menolaknya kok, tidak ada yang


mengeluh juga.”

“Aku tidak mau!”

“Kamu tidak mau?!”

Sungguh gadis yang kekanak-kanakan.

Kenapa dia tidak bisa jujur ​ ​ dan memberitahu kalau dia


tidak bisa berenang daripada memaksakan dirinya seperti ini?

“... Aku tidak ingin ditinggalkan sendiri, oke? Aku ingin


bermain dengan semua orang juga!”

...Begitu rupanya.

Aku tidak menyangka kalau dia akan memberikan jawaban itu.


Sekarang, aku tidak tahu harus berkata apa padanya.

Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena dia


menyembunyikan wajahnya, tapi aku bisa melihat telinganya yang
memerah.

“Be-Begitu ya ...”

— 38 —
Jangan mendadak bertingkah lemah lembut seperti ini, aku
tidak tahu bagaimana harus menanggapinya!

Suasana di sekitar kami berubah menjadi canggung dan


keheningan yang tidak nyaman yang terasa seperti akan bertahan
selamanya.

Tepat ketika aku berpikir tentang bagaimana cara keluar dari


situasi ini, Hina keluar dari ruang ganti.

“Kalian berdua sedang apa?”

“Bu-Bukan apa-apa.”

Aku mendorong Shiina yang masih menyembunyikan


wajahnya dan membalas Hina yang kebingungan.

“Ayo, kamu juga mau mencoba pakaian renang itu, kan?


Lakukan dengan cepat.”

Shiina mengangkat wajahnya, mengangguk, dan melangkah


masuk ke dalam ruang ganti dengan ekspresi tegas di wajahnya.

... Pertukaran semacam ini tidak terlalu buruk. Tapi,


tanggapannya yang baru saja membuatku agak merindukan Shiina
yang dulu. Aku merindukan hari-hari dimana dia
memperlakukanku dengan dingin.

“... kalian berdua kelihatannya sangat dekat belakangan ini.”

Hina berbisik dengan suara yang terdengar agak tegang.

“Apa terlihat seperti itu dari sudut pandangmu?”

Sebenarnya, aku tidak begitu yakin tentang pernyataannya.


Sejak Shiina dan aku menjadi teman, aku mengalami banyak
kesulitan menyesuaikan diri dengan kedekatannya.

Aku justru merasa lebih mudah berkomunikasi dengannya


ketika kami masih menjadi musuh.

— 39 —
“Mai-chan terlihat sangat menempel lengket padamu, tau?”

“Menempel….?”

Aku ingin mencoba menyangkal kata-katanya, tapi setelah


kupikir-pikir lagi, perkataannya masih ada benarnya juga.

Shiina mungkin telah memaafkanku atas perbuatan yang


sudah kulakukan padanya. Hanya aku saja yang masih kebingungan
tentang semua ini.

“Beberapa waktu yang lalu, kalian berdua terus berdebat, tapi


meskipun begitu, kalian berdua sudah terlihat sangat dekat. Saat ini,
dia bertingkah lemah lembut di sekitarmu dan kalian berdua
tampaknya semakin dekat. Jadi, apa yang sudah kamu lakukan
padanya? ”

“Pertanyaanmu membuatnya terdengar seperti aku sudah


melakukan sesuatu yang salah padanya ...”

“Hehe, bercanda doang kok~”

“... Yah, jika kamu penasaran mengenai apa yang terjadi, hanya
saja kami akhirnya menjadi teman sekarang.”

Hanya itu saja yang terjadi.

Aku menyeretnya keluar dari zona nyamannya.

Aku menjadi temannya dan berjanji kepadanya kalau aku akan


meringankan penderitaannya dan membuatnya bahagia.

Setelah itu, sikapnya terhadapku semakin hari semakin


melunak.

“… Apa benar-benar hanya itu saja?”

“Apa maksudmu?”

— 40 —
Ketika aku menanyakan itu kepadanya, dia hanya
menggelengkan kepalanya. Apa sih yang sebenarnya dia pikirkan?

“... jangan terlalu dipikirkan. Aku akan merahasiakannya


darimu, Godou.”

Apa-apaan? Kenapa kamu tidak mau memberitahuku?

Aku hampir melontarkan kata-kata tersebut, tetapi aku


memutuskan untuk menahannya.

Karena saat ini, Hina memiliki tatapan kosong dan nada


bicaranya sangat serius.

“U-Um ... aku sudah selesai berganti ...”

Shiina mengintip melalui celah di belakang tirai ruang ganti.

Pada saat itu, tatapan mata Hina segera bersinar.

“Mana! Mana! Biar kulihat!”

“Ja-Jangan! Ma-Maksudku... tu-tunggu! Ku-Kumohon tunggu


dulu! ”

Hina dengan paksa membuka tirai meskipun ada permohonan


Shiina.

... Hina mengalahkannya dengan telak di area dada, tapi dia


masih memiliki payudara yang cukup montok. Tubuhnya
melengkung di tempat yang tepat juga. Sementara itu, kakinya
tampak ramping dan mulus.

Bikini merah tua yang menutupi bagian-bagian penting dari


tubuhnya tampak sedikit menggoda.

Dia menyembunyikan bagian-bagian penting itu dengan


tangannya dari tatapanku.

— 41 —
Gerakannya terlihat sangat lucu, tapi hal itu membuatku secara
tidak sengaja mengalihkan pandanganku.

Hati nuraniku yang bersalah tidak tahan melihatnya.

“Ja-Jangan lihat aku!”

Telat, aku sudah membalikkan badanku.

Namun, jika dia tidak ingin aku melihatnya, kenapa dia bahkan
melakukan ini?

“Jangan malu, Mai-chan! Kamu itu imut kok!”

Hina mencibir layaknya om-om paruh baya.

Aku tidak bisa melihat apa yang dia lakukan, tapi dari suara
mereka, aku mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi.

“Umu~ umu~ biar kutebak, titik lemahmu ada di sini!~”

“Kyaa! Ja-Jangan menyentuhku di tempat-tempat aneh!”

— 42 —
— 43 —
Tunggu, apa yang sedang mereka lakukan?

Kami masih berada di tempat umum tau!

Sementara aku measa dilema untuk memutuskan apakah aku


harus menghentikan kebodohan mereka atau tidak, Hina sudah
berhenti.

Bagaimanapun juga, sepertinya baju renang itu sangat cocok


untuk Shiina.

“Kamu yakin tidak ingin melihatnya, Godou?”

“Dia bilang aku tidak boleh melihatnya

“Dia cuma malu-malu! Ayo, lihat gadis imut ini~”

Hina meraih bahuku dan dengan paksa membalikkan tubuhku.

Tatapan mataku kemudian bertemu dengan Shiina. Dia


membeku di tempat sebelum panik sebentar, tetapi dia akhirnya
mulai tenang dan meletakkan kedua tangannya di punggungnya.

Wajahnya semerah tomat dan berusaha memalingkannya


seolah-olah tidak berani bertemu dengan tatapanku. Walau begitu,
dia tetap menunjukkan baju renangnya kepadaku.

Penampilannya yang tidak biasa ini membuatku sulit untuk


mengalihkan pandanganku darinya.

“…Bilang sesuatu napa.”

“... Ak-Aku pikir kamu kelihatan imut.”

“… Be-Begitu ya. Ak-Aku akan berganti lagi nanti.”

Dia segera menutup tirai ruang ganti lagi. Jantungku masih


berdegup kencang. Apa sih yang sedang terjadi?

— 44 —
Aku merasakan keinginan untuk melarikan diri dan kembali ke
rumah tetapi, pada saat yang sama, aku ingin tetap tinggal di sini.

… Aku harus menenangkan diri.

Aku menghela nafas dalam-dalam dan segera mendapatkan


kembali ketenanganku.

Di medan perang, menjaga emosimu tetap stabil merupakan


sebuah keharusan.

Berkat pelatihanku, aku bisa mendapatkan kembali


ketenanganku setelah mengambil nafas dalam-dalam sekali.

Detak jantungku yang tadinya berdetak kencang, sekarang


sudah mulai melambat juga.

... Sekarang hormone adrenalin telah mereda, dan gelombang


rasa malu melanda diriku.

Apa sih yang sedang kami lakukan di tempat semacam ini?

Untung saja tidak ada orang lain di sekitar kami. Jika beneran
ada, rasanya akan sangat memalukan. Memuji Shiina dengan
sebutan ‘imut’ saja sudah cukup buruk, aku tidak membutuhkan
serangan mental yang merusah martabatku ...

Aku menghela nafas dan mengalihkan pandanganku ke


samping ... lalu baru menyadari kalau Hina sedang menatapku.

“Ap-Apa?”

“Bukan apa-apa~”

Ucap Hina saat dia berbalik.

Setelah itu, dia mulai berjalan menjauh dariku. Karena dia


membawa pakaian renangnya, dia mungkin pergi untuk
membayarnya di meja kasir.

— 45 —
Tak berselang lama kemudian, Shiina keluar dari ruang ganti
dan mengatakan bahwa dia akan membeli baju renang yang merah
tadi.

Aku tidak bisa memaksa diriku untuk menatapnya, jadi aku


hanya mengangguk.

“Kamu sendiri bagaimana? Kamu tidak mau mencobanya?”

“Tidak, seharusnya sih tidak masalah kalau buat cowok.”

Berbeda dengan baju renang perempuan di mana mereka perlu


mempertimbangkan ukuran dada dan pinggang, baju renang cowok
cuma sekedar celana pendek saja.

“Enggak adil, padahal aku ingin melihat punyamu juga ...”

Shiina bergumam begitu.

“Lagipula, kamu akan melihatku memakainya besok ...”

“Benar juga ... sekarang setelah kupikir-pikir lagi, pasti ada


banyak orang yang akan melihatku mengenakan baju renang itu ...”

“... jika kamu beneran tidak mau, kamu tidak perlu pergi, tau?”

Sejujurnya, aku tidak ingin orang-orang lain menatapnya


sebanyak itu.

“Tidak apa-apa. Selain itu, aku sudah membiarkanmu


melihatnya dulu sebelum orang lain...”

Kami melakukan percakapan seperti itu saat berdiri dalam


antrean dan menuju meja kasir.

... Aku ingin bertanya apa yang dia maksud dengan


mengatakan itu, tapi aku terlalu takut.

— 46 —
Akhir-akhir ini, aku merasa kesulitan untuk mengatakan apa
yang kupikirkan.

Berbicara dengan teman seharusnya tidak sesulit ini, iya ‘kan?

Sementara aku memikirkan hal itu, kasir toko telah selesai


menghitung segalanya.

“Hei ~ sebelah sini~”

Hina yang sudah mendahului kami, melambaikan tangannya


kepada kami.

“Lihat deh apa yang kudapatkan dari sana ~”

Walaupun kami sudah menyelesaikan urusan kami di sini, tapi


sepertinya kami masih akan tinggal sebentar.

Setelah itu, Shiina digunakan sebagai boneka dandan oleh


Hina sepanjang sisa hari itu. Kami baru membubarkan diri setelah
Shiina merasa kelelahan.

Bagian 3

Keesokan harinya, kami pergi ke kolam renang bersama sesuai


rencana.

Ada fasilitas kolam renang umum terdekat yang bisa kami


kunjungi, tapi daripada pergi ke sana, kami justru mengunjungi
fasilitas rekreasi yang paling terkenal di prefektur. Untuk sampai ke
sana, kami harus menaiki kereta selama tiga puluh menit.

Jadi begitulah, kami memutuskan untuk bertemu di Stasiun


Maebashi dulu pada jam 9 pagi.

Karena jam internalku berantakan selama liburan musim


panas, jadi aku cukup kesulitan untuk bangun jam sembilan. Yah
walaupun masalah itu dengan mudah teratasi karena Hina
menerobos masuk ke rumahku dan membangunkanku.

— 47 —
Aku langsung bersiap-siap dan pergi ke stasiun.

“Apa kita terlalu cepat ke sini?”

Ketika kami tiba, masih tidak ada tanda-tanda orang di sana.

Jika aku tahu kalau inilah yang terjadi, mendingan aku kembali
tidur lagi saja.

“Lebih baik datang lebih awal daripada terlambat. Kita harus


memperbaiki keterlambatanmu itu.” kata Hina. Aku tidak bisa
membalasnya karena aku tahu ucapannya ada benarnya.

Suasana di sekitar stasiun terlihat sepi pada jam segini.


Kesunyan ini membuatnya sulit dipercaya bahwa ini biasanya
menjadi stasiun yang ramai. Karena di dekat stasiun ada
McDonald's, jadi Hina dan aku pergi ke sana untuk sarapan sambil
menunggu yang lain.

Orang yang pertama muncul adalah Yuuka.

Seperti biasa, dia mengikat rambut hitamnya dengan gaya ikat


samping. Kemeja lengan pendek sederhana dan rok panjang terlihat
cocok dengan wajahnya yang tampak lembut dan memberinya
kesan tenang. Secara keseluruhan, pakaiannya sangat cocok dengan
kepribadiannya.

“Selamat pagi. Lama enggak ketemu ya, Godou. Kapan terakhir


kali kita nongkrong bareng, lagi?”

“Hari terakhir sebelum liburan, jadi yah memang cukup lama.


Dengar-dengar kamu sering pergi jalan-jalan bersama Hina
beberapa kali?”

“Mhm! Dia selalu meneleponku setiap kali dia ingin pergi


berbelanja. Kenapa kamu tidak ikut bergabung saja?”

“Hina tidak pernah mengundangku. Yah, kalian mungkin pergi


keluar saat aku mendapat giliran kerja.”

— 48 —
“Itu salah satu alasannya. Tapi alasan utama kenapa aku tidak
mengundangmu adalah karena kamu selalu cari-cari alasan untuk
pulang lebih awal.”

“Karena kamu selalu butuh waktu lama untuk berbelanja!”

Aku pergi berbelanja dengan Hina sesekali, tapi menemaninya


berbelanja sangat melelahkan. Aku tahu bahwa gadis-gadis
biasanya meluangkan waktu untuk berbelanja, berkat bimbingan
ibuku, tetapi waktu belanja Hina dengan mudah menggandakan
waktu rata-rata gadis biasanya.

Saat aku muak dengan pikiran menemani Hina berbelanja,


Shinji mengirimiku RINE.

Aku menyuruhnya pergi ke McDonald's dan Ia mengirim stiker


beruang mengejar kupu-kupu. Aku tidak tahu apa yang ingin
disampaikannya dengan mengirim stiker ini.

Aku bertanya pada Yuuka, yang sedang meminum kopinya.

“Kenapa kamu tidak bersama Shinji?”

“Kenapa kamu menanyakan itu? Kita berdua tidak selalu


bersama, oke!”

Bibirnya sedikit berkedut karena ketidakpuasan.

Pada saat itu, Shinji datang ke tempat duduk kami.

“Sebenarnya kami pergi bersama. Dia bilang kalau dia tidak


ingin kalian salah paham, jadi dia membuatku bersembunyi di toilet
dan pergi untuk bertemu dengan kalian dulu.”

“Shi-Shinji!”

— 49 —
— 50 —
Yuuka langsung tersipu dan mencoba menutup mulut Shinji
dengan tangannya, tapi Shinji dengan lihai menangkis gerakannya
dan duduk tepat di sebelahnya. Melihat rencananya gagal, Yuuka
menggembungkan pipinya.

“Seharusnya kamu diam saja, bung.”

Padahal, melihat Yuuka yang biasanya tenang dan tenang


menjadi sekesal ini merupakan pemandangan yang sangat langka.

“Niatnya sih begitu, tapi waktunya sangat tepat sekali.”

Shinji mengangkat bahunya saat memamerkan senyum


sembrononya yang biasa.

Ia mengenakan kaos biru lengan pendek dan celana pendek


hitam longgar. Ada kalung perak tergantung di lehernya dan arloji
di pergelangan tangannya. Ia juga mengenakan sandal yang terlihat
keren.

Secara keseluruhan, penampilannya terlihat bergaya dan modis.


Kesenjangan antara penampilanku dan penampilannya seperti
bumi dan langit.

“Hehe, kalian berdua masih sedekat dulu.”

“Enggak! Aku membawanya bersamaku karena aku takut anak


ini akan terlambat!”

“Iya deh, iya~”

Hina mengabaikan alasan Yuuka .

“Kamu memang sulit diatur.”

Aku berkata kepada Shinji.

— 51 —
“Seharusnya kamu ngaca dong. Kamu sama terlambatnya
denganku.”

“Asal kamu tahu saja, aku datang ke sini lima belas menit lebih
awal darimu.”

“Itu sih karena Hina menyeretmu keluar dari tempat tidurmu


tadi.”

Bahkan tanpa Hina, aku tahu kalau aku orang yang lebih baik
darinya.

“Kalian berdua itu sama saja.” Gumam Yuuka sambil menatap


pertengkaran kami.

Dan begitulah, empat orang sudah berkumpul di dalam


McDonald's Stasiun Maebashi pada pagi hari.

“Sisanya tinggal Mai-chan saja, ‘kan?” tanya Hina.

Aku melihat jam tanganku dan menyadari kalau sekarang


sudah jam Sembilan lebih. Tidak biasanya dia terlambat. Gadis itu
adalah tipe orang yang menunggu satu jam sebelum waktu yang
ditentukan. Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?

“Aku akan meneleponnya dulu.”

Saat aku mengatakan itu dan membuka ponselku, Shiina justru


menelponku duluan.

{M-Maaf! Ak-Aku hampir sampai… mungkin…}

Aku bisa mendengar napasnya yang terengah-engah melalui


telepon. Apa dia sedang berlari?

“Baiklah, tidak apa-apa. Tapi apa yang terjadi padamu?”

Sesuatu yang besar pasti terjadi jika Shiina, dari semua orang,
terlambat.

— 52 —
{U-Um… A-Aku tersesat…}

Tanggapannya merusak suasana hatiku yang serius.

“Eh...”

Benar, bahkan di kehidupan sebelumnya, dia sama sekali tidak


bisa membedakan arah.

{A-Aku jarang menggunakan kereta, oke?! Su-Sudah pasti


aku akan tersesat!}

Cari-cari alasan.

Meski dia tidak sering menggunakan kereta, bagaimana


mungkin dia tidak tahu di mana stasiunnya?

Dia telah tinggal di sini sejak bulan Juli, bagaimana mungkin


dia tidak tahu tentang ini?

“Yah kesampingkan itu dulu. Kami sdang berada di


McDonald's dekat stasiun, jadi cepatlah kemari.”

Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang terjadi di dalam


kepalanya itu. Aku punya firasat bahwa sesuatu yang berantakan
akan terjadi hari ini.

◇◇◇◇

Beberapa menit kemudian, kami meninggalkan McDonald's


dan bertemu dengan Shiina yang berada di pintu masuk.

Dia mengenakan blus putih dan celana pendek hitam. Rambut


hitam panjangnya diikat dengan gaya ekor kuda.

— 53 —
Aku melihatnya dalam pakaian kasualnya kemarin dan hari ini
dia mengenakan gaya pakaian yang berbeda. Untuk gadis kikuk
seperti dirinya, dia ternyata sangat bergaya…

“Woah, Mai-chan dengan gaya kuncir kuda! Manis banget!”

Saat Shiina masih meminta maaf dengan mata berkaca-kaca,


Hina segera memeluknya dengan binar di matanya.

“Kamu hanya terlambat tiga menit, jadi tidak perlu meminta


maaf segala.”

“Te-Terima kasih…”

Ketika Yuuka tersenyum dengan tenang padanya, dia menghela


nafas lega.

“Baiklah, ayo pergi!”

Yuuka memimpin jalan dan kami semua mengikuti di


belakangnya.

Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu jalan menuju kolam renang,


tapi Hina dan Yuuka seharusnya mengetahuinya.

Walaupun para siswa sedang berlibur musim panas, para orang


dewasa tetap bekerja. Berkat itu, penumpang di dalam gerbong
kereta sedang kosong. Semua orang duduk berdampingan. Shiina
duduk di sebelah kiriku.

… Untuk beberapa alasan, dia duduk sangat dekat denganku.


Tangan kami bahkan sempat bersentuhan.

Shinji yang duduk di sisi kiri Shiina, menatapku dengan


bingung. Dari sudut pandangnya, rasanya seolah-olah Shiina
mencoba menghindarinya.

“A-Aku sangat gugup…” Bisik Shiina padaku.

“Kenapa?”

— 54 —
Seharusnya akulah yang merasa gugup di sini.

“Aku tidak pernah pergi ke kolam renang bersama teman-


temanku sebelumnya…”

“Koreksi, ini pertama kalinya kamu pergi jalan-jalan bersama


teman-temanmu.”

Saat aku menggodanya seperti itu, dia menjawab,

“Karaoke juga masih termasuk, oke ?! Ngo-Ngomong-ngomong,


ini pertama kalinya aku naik kereta dengan semuanya…”

Aku mengerti maksudnya. Tidak seperti saat kami pergi


karaoke bersama, jalan-jalan hari ini memiliki perasaan yang
berbeda.

“A-Apa yang harus kulakukan di kolam renang nanti?”

“Berenang. Kalau kamu bisa berenang, rasanya pasti asyik bisa


main-main di kolam.”

Setelah aku mengatakan itu, aku mengingat kalau dia baru saja
memberitahuku beberapa hari yang lalu kalau dirinya tidak bisa
berenang.

“…Kamu akan mengajariku cara berenang, ‘kan?”

Ketika Shiina menatapku dengan pandangan gugup, aku


memalingkan muka darinya.

“A-Aku akan melakukan yang terbaik…”

Dengan kemampuan fisiknya, rasanya akan sulit untuk bisa


langsung berenang.

Tetap saja, dia sepertinya membawa pelampung, jadi dia bisa


bersenang-senang sendiri.

— 55 —
“Tapi tetap saja, bukannya lebih baik jika Hina atau Yuuka
yang mengajarimu?”

Saat aku menanyakan itu, dia memiringkan kepalanya.

“…Memangnya kenapa?”

“Maksudku, kamu tahu sendiri lah…”

Jika aku mengajarinya cara berenang, aku mungkin tidak


sengaja menyentuh tubuhnya atau sesuatu ...

Lambat laun, wajahnya memerah saat dia memahami apa yang


kubicarakan.

“Ji-Jika itu kamu… A-Aku tidak keberatan…”

Dia langsung menoleh setelah menggumamkan sesuatu seperti


itu.

Tidak, tunggu dulu, apa-apaan ucapannya itu?!

Kamu tidak keberatan? Hahh?!

Serius, dia selalu membuatku salah tingkah. Belakangan ini dia


selalu mengatakan sesuatu seperti ini, aku jadi tidak bisa
memahaminya lagi!

“…”

“…”

Oleh karena itu, kami berusa sama-sama terdiam.

Suasana di antara kami berubah menjadi canggung.

Ketika aku mencoba untuk melihat-lihat, hanya ada kursi


kosong di sekitar kami. Shinji yang duduk di sebelah Shiina, sedang

— 56 —
asyik memainkan game di ponselnya. Hina dan Yuuka
merencanakan jadwal kami sambil melihat pamflet.

Aku tidak bisa mengajak salah satu dari mereka ke dalam


percakapan.

Apa yang harus kulakukan sekarang?!

Tidak menyadari konflik batinku, Shiina tersenyum dan


berkata,

“Aku sangat menantikan itu.”

“…Ya aku juga.”

Aku menanggapinya dengan tersenum kecut.

Mantan penyihir, Shiina Mai, berhasil tersenyum dari lubuk


hatinya. Aku tidak menginginkan apapun. Jika aku bisa menjadi
bagian dari alasan di balik senyuman itu, hanya itu saja sudah
cukup bagikku.

◇◇◇◇

Setelah menaiki kereta api selama tiga puluh menit, kami


akhirnya sampai di tempat tujuan, yaitu kolam renang.

Tempat ini merupakan salah satu kolam renang terbesar di


seluruh Wilayah Kanto, yang terletak di Kota Kiryu. Dulu, aku
pernah ke sana bersama keluarga dan aku ingat tempat itu sangat
besar dan menyenangkan bermain-main di sana. Namun, tempat
itu cukup ramai untuk saat ini, kemungkinan besar karena sedang
liburan musim panas.

“Ugh, ini sangat ramai ...”

— 57 —
Hina mengeluh sambil tersenyum kecut. Mendengar ucapan itu,
Shinji menanggapi sambil mengipasi wajahnya dengan tangannya,

“Ayo cepat masuk. Aku sudah tidak tahan dengan cuaca panas
ini.”

“Aku juga sama.”

Cuaca panas mulai menggerogoti jiwa kami.

“Untung saja tempat ini adalah kolam renang dalam ruangan.


Jika di luar ruangan, aku pasti akan mati karena dehidrasi.”

"Luruskan punggungmu, Shinji, kamu terlihat sangat acak-


acakan.”

“Panas ini melelehkan tulang punggungku, aku tidak bisa


meluruskannya kembali.”

Setelah memeriksa Shinji dan Yuuka, yang sedang berbicara


satu sama lain, aku memeriksa Shiina.

“Ad-Ada… Ba-Banyak orang… Te-Terlalu banyak…”

Dia terlihat hampir pingsan. Bukan karena kepanasan, tapi


karena keramaian.

“Apa kamu baik-baik saja?”

“Aku biasanya tidak datang ke tempat ramai seperti ini…”

Dia meraih lengan bajuku saat mengatakan itu. Jika ada gadis
lain yang melakukannya, aku akab curiga jika dia mencoba
merayuku entah bagaimana, tapi karena orang yang melakukannya
adalah Shiina, yang bahkan tidak kepikiran untuk melakukannya,
aku membiarkannya melakukan apa pun yang dia inginkan.

“Yah, hanya pintu masuk saja yang ramai. Seharusnya jumlah


orangnya sudah sedikit berkurang ketika kita masuk ke dalam.”

— 58 —
Shiina balas mengangguk setelah mendengar kata-kataku.

Bagian 4

Setelah itu, kami membeli tiket masuk, memasuki fasilitas


rekreasi, dan menuju ke ruang ganti.

Karena ruang ganti dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, jadi


tentu saja Shinji akan pergi bersamaku.

“Ah, aku jadi sangat bersemangat!”

“Bersemangat untuk apa?”

“Ayolah, kamu tahu apa yang kumaksud!”

Ia mulai menepak-nepak bahuku.

Kurasa Ia membicarakan tentang baju renang gadis-gadis.


Padahal aku sudah melihat Hina dan Shiina beberapa hari yang lalu.

Meski begitu, aku masih merasa gugup saat membayangkan


mereka mengenakan baju renang.

“Yang namanya musim panas pasti tentang baju renang!”

“Ini tentang pantai atau kolam renang. Kamu terlalu blak-


blakan, oi.”

Aku membalas sambil mengganti pakaianku. Setelah


mendengar tanggapanku, Ia justru menegurku dan berkata, “Kamu
tidak mengerti maksudmu, ‘kan?”

“Dengar, pada akhirnya, selama kita bisa melihat gadis-gadis


dengan pakaian renang mereka, yang lainnya menjadi tidak
masalah.”

“Itu terlalu berlebihan…”

— 59 —
“Apa? Apa kamu masih menyebut dirimu sebagai laki-laki?
Atau kamu sudah berubah menjadi seorang pertapa?”

“Aku tidak mengerti mengapa kamu begitu bersemangat


tentang ini. Kamu terbiasa melihat gadis telanjang, ‘kan? Kenapa
baju renang bisa membuatmu sampai bersemangat seperti ini?”

“Dasar bego! Itu ya itu dan ini ya ini!”

Aku meninggalkan ruang ganti setelah berganti pakaian,


mengabaikan Shinji yang mulai mengoceh tentang sesuatu yang
tidak relevan.

Ketimbang mendengar ocehan ngelanturnya, aku lebih suka


bertemu dengan grup gadis-gadis terlebih dahulu.

Pokoknya, bagian dalam fasilitas kolamnya ternyata tidak


seramai di pintu masuk.

Shiina akan bisa bermain-main dengan tenang sekarang,


syukurlah untukunya.

“Oi oi, jangan ninggalin aku sendirian gitu dong!”

Sayangnya, sebelum aku bisa berkumpul kembali dengan


gadis-gadis, Shinji sudah menyusulku terlebih dahulu.

Yah, bahkan setelah semua obrolan receh semacam itu, kami


para kaum laki-laki berganti lebih cepat daripada perempuan, jadi
kurasa ini wajar saja.

“Oh, aku bisa melihat seorang gadis cantik di sana! Di sana


juga! Ada Onee-san berbikini yang sedang bersantai di sana!”

“Hentikan itu.”

Orang ini langsung saja berubah menjadi orang cabul.

“Uwah…”

— 60 —
Aku mendengar suara kecewa dari belakang, jadi aku berbalik.
Di sana, aku menemukan tiga gadis dengan balutan baju renang
mereka. Yuuka menatap Shinji dengan tatapan kecewa, Hina
terkikik di sampingnya dan Shiina terlihat gugup karena keramaian
orang.

“Rasanya aku mulai menyesal membawanya bersamaku.” Ujar


Yuuka.

Dia mengenakan bikini hitam dan menunjukkan lebih banyak


kulit daripada dua lainnya. Mungkin karena dia mendengar Shinji
berbicara tentang Onee-san yang berbikini, dia terlihat tidak
nyaman saat melihatnya.

“Tapi, bukannya Shinji yang memilihkan baju renang itu


untukmu?”

Hina memiringkan kepalanya. Seketika itu juga, wajah Yuuka


langsung memerah.

“Jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu!”

“Ah, h-hei! Ahaha! Ja-Jangan menggelitikku! H-Haha!”

Yuuka menggelitik pinggang Hina, sementara Hina mencoba


melepaskan diri dari genggaman Hina.

… Dada Hina bergetar hebat karena bergerak sembarangan.


Bisa dibilang, ini adalah pemandangan yang menyegarkan mata.

“Jadi, kamu yang memilih baju renang itu.”

“Ya, karena bikini itu sangat cocok untuknya. Dia terlihat imut
mengenakannya dan dengan kulit sehalus itu, penampilannya
sudah pasti tampak cantik.”

“Tapi, kita ‘kan sedang berada di kolam renang. Orang-orang


akan menatapnya, tau? Apa kamu baik-baik saja dengan itu?”

Shinji berpikir sejenak sebelum menjawab,

— 61 —
“Aku akan membiarkan mereka lolos untuk saat ini.”

“… Kenapa malah KAMU yang memutuskan itu?”

Yuuka memelototi Shinji saat mengatakan itu, tapi tatapannya


tidak menunjukkan permusuhan seperti biasanya.

Aku baru menyadari kalau Shiina dari tadi terdiam terus


beberapa saat, jadi aku melirik ke arahnya… dan menemukan dia
sedang menyentuh dadanya sendiri. Tuh anak lagi ngapain sih?

“S-Shiina?”

Ketika aku memanggilnya, dia menjadi panik dan segera


melepaskan tangannya.

“J-Jangan pedulikan aku!”

“A-Apa yang tadi kamu lakukan dengan dadamu…?”

“A-Aku tidak melakukan apa-apa! A-Aku hanya… merasa


cemburu…”

Dia berbisik sebelum mengalihkan pandangannya ke arah dada


Hina dan Yuuka.

Begitu ya. Dibandingkan dengannya, Hina memiliki dada yang


sangat besar dan Yuuka memiliki ukuran yang cukup lumayan. Jika
itu tubuh dari kehidupan sebelumnya, Shiina mungkin mendapat
kesempatan bertarung, tapi dengan tubuhnya yang sekarang, dia
hanya akan mengalami kekalahan telak.

“...laki-laki suka yang lebih besar, iya ‘kan?”

Shiina bertanya padaku dengan ekspresi putus asa. Aku harus


cepat-cepat mengatakan sesuatu padanya!

“Y-Yah, secara umum, mungkin?”

— 62 —
Aku memalingkan wajahku dan menjawab pertanyaannya.

“Begitu ya…”

Balasnya sambil menghela nafas panjang.

Namun aku terus melanjutkan,

“Tapi, secara pribadi, aku tidak terlalu peduli tentang itu…


Dada kecil juga memiliki daya tariknya tersendiri…”

Aku mengatakan itu tanpa berpikir. Ampun dah, kenapa kita


membicarakan hal semacam ini sih?!

“Benarkah?”

Dia mungkin menatap wajahku dengan sangat keras sekarang.

Aku tidak akan tahu karena aku berusaha sangat keras untuk
tidak melihatnya. Tapi aku bisa merasakan tatapannya padaku.

“Kenapa kamu menatapku seperti ini?”

“Karena kamu tidak mau menatap mataku!”

Aku tidak punya pilihan selain melakukan kontak mata


dengannya.

Wajahnya masih terlihat cantik seperti biasanya.

Cantik secara objektif, oke? Bukan secara subyektif.

“Sudah puas sekarang?”

Saat aku bertanya, Shiina mengangguk.

“Ya. Akhir-akhir ini, kamu terus menghindari kontak mata


denganku…”

— 63 —
Shiina terkikik saat mengatakan itu. Aku tidak bisa
mengatakan apapun untuk membantahnya.

“Jangan ngobrol melulu dan ayo mulau bersenang-senang!”

Seru Yuuka dengan suara ceria. Sepertinya dia sudah selesai


bermain-main dengan Hina.

Syukurlah, dia tidak mendengar percakapan kami yang


memalukan.

… Yah, Shinji sepertinya mendengar kami, tapi aku berpura-


pura untuk tidak memperhatikannya.

◇◇◇◇

Sebelum terjun ke dalam kolam, kami membentangkan seprai


di dekat tepian dan mengamankan tempat duduk.

Yuuka dan Hina mempersiapkan area dengan baik. Setelah


kami selesai meletakkan barang bawaan kami di atas seprai, Hina
mengangkat tangannya ke langit dan berkata dengan penuh
semangat,

“Ayo pergi ke kolam arus!”

Semua orang mengangkat tangan serempak, termasuk Shiina,


meskipun dia tidak seenergik kami semua.

Kami kemudian menuju ke arah kolam arus. Shiina membawa


pelampung di lengannya.

“Lagipula, apa itu kolam arus?”

“Hm... Ini adalah kolam berbentuk donat dengan aliran air


yang mengalir melewatinya.”

— 64 —
Aku tidak tahu detailnya, tapi penjelasanku hampir mendekati
kebenarannya.

“Apa kamu berenang di sana?”

“Jika kamu mau. Ada aliran di sana, jadi cukup mengapung


saja. Kolamnya sendiri dangkal, jadi kamu bisa berdiri di sana.
Kamu tidak perlu khawatir tenggelam. Jika kamu masih takut,
kamu bisa berpegangan pada pelampungmu.”

“O-Oke…”

Shiina mengepalkan tinjunya dan meletakkannya di depan


dadanya.

Kamu tidak perlu bertekad seperti itu untuk pergi ke sana.

Sementara itu, Yuuka dan Hina segera melompat ke dalam air


sambil berteriak. Shinji mengikuti sambil duduk di atas pelampung
dan mengapung dengan malas di dalam kolam.

Shiina mencoba ikutan masuk ke dalam air tapi dia ketakutan


ketika jari kakinya menyentuhnya. Dia kemudian menatapku
dengan mata berkaca-kaca.

“Jika kamu tidak segera masuk ke sana, semua orang akan


meninggalkanmu.”

“A-Aku tahu, kok! Semuanya akan baik-baik saja… akan baik-


baik saja…”

Suaranya terdengar bergetar. Dia beneran baik-baik saja?

Aku memasuki air terlebih dahulu dan mengulurkan tanganku


padanya. Dia meraih tanganku saat dia perlahan-lahan masuk ke
air. Sungguh gadis yang menyusahkan.

— 65 —
Saat aku menghela nafas, aku merasakan sensasi lembut di
lengan kananku. Hampir seketika, jantungku mulai berdetak lebih
cepat.

“H-Hei! Da-Dasar bodoh, kenapa kamu malah menempel


padaku ?! ”

“A-Aku takut, jadi apa boleh buat oke!”

“Tenanglah dulu! Sudah kubilang kolamnya dangkal! Kamu


bisa berdiri di dalam kola mini, tau!”

Setelah aku mengatakan itu, dia menyadari bahwa kakinya


benar-benar menyentuh dasar kolam. Kemudian, dia segera berlari
menjauh dariku dengan wajah semerah tomat. Aku bisa merasakan
tatapan hangat di sekeliling kami.

“Ini pelampungmu.”

Aku meletakkan pelampung di kepalanya dan menariknya


sampai ke pinggangnya. Sambil merengut, Shiina meraih sisi
pelampung dan mulai hanyut mengikuti arus.

“W-Waah, a-aku terhanyut!”

“Biar saja. Lama-kelamaan kamu akan terbiasa dengan cepat,


kok.”

Aku meletakkan tanganku di pelampungnya dan mengambang


di sampingnya sambil sesekali menghindari orang-orang di sekitar
kami. Shiina tampak gugup untuk beberapa saat, tapi ekspresinya
berangsur-angsur menjadi santai.

“Rasanya nikmat.”

“Syukurlah untukmu. Kalau aku sih sudah merasa lelah.”

Ketika aku mengatakan itu sambil mengangkat bahu, Shiina


segera meminta maaf,

— 66 —
“Maafkan aku… aku sangat menyusahkanmu hari ini…”

… Ayolah, jika kamu meminta maaf dengan sungguh-sungguh


seperti itu, aku jadi merasa tidak enakan.

Rasanya seolah-olah akulah yang membuatnya bersalah.

“Jangan khawatir tentang itu. Kita ‘kan berteman.”

Ketika aku mengatakan itu, wajahnya tampak berseri-seri.

“Terima kasih.”

Tepat pada saat itu, ada seseorang menyembul keluar dari


dalam air tepat di hadapan kami.

“Pwah! Heya~ apa kamu menikmatinya?”

Walaupun orang itu mengenakan kacamata renang, tapi aku


tahu kalau dia adalah Hina.

“Kamu terlalu energik, tau? Lihatlah Shinji, Ia menikmati


hidupnya dengan baik di sebelah sana.”

Aku menunjuk ke arah Shinji, yang mengambang malas-


malasan sambil menatap langit. Seriusan, tuh orang lagi ngapain
sih?

“Apa kamu merasa bersenang-senang, Mai-chan?”

“Ya, aku cukup menikmatinya. Meski pada awalnya aku sedikit


takut, sih…”

Hina terlihat bingung, jadi aku menjelaskan padanya,

“Dia tidak bisa berenang.”

“Eh?! Kalau gitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk


mengikuti kami!”

— 67 —
“Tidak, aku tidak apa-apa… Jika aku tidak melakukan ini, aku
tidak bisa bersenang-senang dengan semua orang…”

Mungkin dia merasa tersentuh dengan ucapan Shiina, tatapan


mata Hina terlihat berbinar.

“Mai-chan! Aku mencintaimu!”

Dia kemudian menyerbu Shiina dan memeluknya.

Setelah itu, datanglah percikan air yang besar.

Pelampungnya terbalik. Tapi tak lama kemudian mereka


berdua keluar dari dalam air.

“Oi, jangan melakukan itu. Dia nanti akan tenggelam, tau.”

Meski aku memperingatkannya, tepi Hina tidak


mengindahkanku sama sekali.

Kedua gadis itu saling menatap dan tertawa segera setelah itu.
Aku sudah tidak paham lagi dengan mereka berdua.

Ketika melihatnya seperti ini, Shiina terlihat seperti gadis SMA


biasa.

“Ayo, kamu juga harus bergabung dengan kami!”

“Apa yang sedang kamu lakukan?! Ini akan terbalik— Woah!”

Sementara itu, di depan kami, Yuuka dengan paksa menarik


Shinji menjauh dari pelampungnya.

Segera setelah itu, ada percikan air yang besar. Yuuka menoleh
ke arah kami dan memamerkan tanda peace.

Tak berselang lama, Shinji muncul dari dalam air, meraih


bahunya, dan menyeretnya ke dalam air. Percikan air besar lainnya
muncul saat Shiina dan Hina tertawa melihat pemandangan itu.

— 68 —
Semua orang bersenang-senang, bagus untuk mereka.

…Ngomong-ngomong, Yuuka dan Shinji tampaknya tidak


keberatan untuk saling bersentuhan. Mereka berkelahi di dalam air,
meskipun jika dilihat dari posisiku, mereka malah tampak
berpelukan. Bikin iri saja.

Sementara itu, aku justru merasa gugup setiap kali Shiina


menyentuhku.

“Semuanya, ayo pergi ke seluncuran!”

Menanggapi kata-kata Hina sebagai isyarat, kami semua


meninggalkan area kolam arus. Baik Hina dan Yuuka dengan penuh
semangat pergi ke seluncuran. Sementara Shiina…

“Itu… kurasa aku tidak bisa…”

“Yah, karena kamu tidak bisa berenang, jadi lebih baik kamu
tidak memaksakan dirimu.”

“Tidak, sejak awal aku memang tidak pandai menangani hal-


hal seperti itu … aku bahkan tidak bisa naik roller coaster…”

“Kamu ‘kan bisa terbang dengan sapu di kehidupanmu


sebelumnya. Apa yang membuatmu begitu takut?”

Bukannya dia takut ketinggian. Bibir Shiina berkedut saat dia


berbicara,

“Aku bisa mengendalikan sapuku, tapi aku tidak bisa


mengendalikan benda itu!”

Begitu rupanya…

Yup, aku tidak mengerti sama sekali.

“Selain itu, aku sudah merasa lelah.”

— 69 —
“Baiklah, ayo beristirahat dulu di sini sampai semua orang
kembali.”

“Mm… aku ke toilet dulu.”

Dia berkata begitu sebelum pergi ke toilet sendirian. Aku


duduk dan menikmati waktu tenang ini sendirian.

Lalu, Shinji tiba-tiba mendatangiku dengan sekaleng kopi di


kedua tangannya. Ia melemparkan salah satunya ke arahku.

“Kamu tidak pergi ke seluncuran?”

Aku menangkap kaleng itu dan membukanya.

“Tidak, lagi enggak mood untuk melakukan itu.”

Ia kemudian duduk di sebelahku dan menyeka rambutnya


dengan handuk.

“Shiina-san sangat menempel lengket padamu.”

“… Kamu juga berpikir begitu, ya?”

Kurasa memang seperti itulah kelihatannya dari sudut


pandang orang luar.

“Tak peduli bagaimana kamu melihatnya, kalian berdua


terlihat seperti pasangan bodoh, memamerkan kemesraan kalian di
depan semua orang seperti itu.”

“Ugh…”

Kata-katanya sangat menusuk hatiku.

Aku sudah mempunyai firasat kalau kami terlihat seperti itu


dari sudut pandang orang lain, tapi ketika ada seseorang yang
benar-benar menunjukkannya kepadaku, rasanya sangat
memalukan.

— 70 —
Semua ititerjadi karena Shiina tidak memahami bagaimana
mengatur jarak. Aku harus mengajarinya dengan cepat tentang ini.
Jika dia memperlakukan semua orang seperti dia
memperlakukanku, orang-orang pasti akan salah paham dengannya.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan tentang ini?”

Aku tidak memahami maksud dibalik pertanyaannya itu.

Meski begitu, setidaknya aku tahu kalau Shinji sedang serius.

Biasanya, Ia cuma tertawa dengan hati-hati dalam situasi


seperti ini, tapi saat ini, Ia menatapku tanpa sedikit pun main-main.

"…Apa maksudmu?"

Aku memikirkannya, tapi aku masih tidak mengerti


pertanyaannya.

Jadi, aku bertanya balik. Shinji lalu meletakkan kopinya dalam


diam.

Keheningan menyelimuti kami. Setelah beberapa saat, Ia


membuka mulutnya untuk berbicara,

“Melihat kalian berdua seperti itu, hal tersebut menyakiti Hina,


memangnya kamu tidah tahu mengenai itu?”

“… Apa kamu yakin kalau dia cuma tidak enak badan atau
semacamnya?”

Kami sudah saling kenal sejak kami masih kecil, jadi aku tahu
bahwa Hina telah memaksakan diri untuk sementara waktu.

Dia selalu berusaha bersikap sedikit lebih ceria setiap kali


merasa sedih.

Tapi, berbeda dengan pria yang ada di sampingku ini, aku tidak
tanggap, jadi aku tidak tahu alasan mengapa dia merasa sedih.

— 71 —
Shinji berkata bahwa dia tersakiti, tapi aku tidak memahami
penyebabnya.

Ia menatap wajahku yang bermasalah. Mungkin sepertinya Ia


mengerti apa yang ada di pikiranku, jadi Shinji memberitahuku
dengan tegas.

“Aku tahu kalau kamu orang yang tidak terlalu peka, tapi
sebelum aku bisa memberitahumu segalanya, kamu harus memilah
perasaanmu terlebih dahulu.”

…Jawabannya cuma membuatku semakin bingung.

Tapi aku percaya kata-katanya. Berdasarkan pengalamanku,


Shinji tidak pernah salah dalam situasi seperti ini.

“…Huh, Kudou-san juga ada di sini?”

Pada saat itu, Shiina kembali dari toilet.

“Ya. Aku semakin tua, jadi aku cepat kecapekan.”

“…Bukankah kita seumuran?”

Shiina terkikik mendengar lelucon Shinji sebelum duduk di


sebelahku.

Akhir-akhir ini, gadis ini menjadi lebih nyaman dengan


kelompok teman kami karena bisa berbicara dengan yang lain
secara normal. Padahal, sepertinya dia masih memakai bahasa
formal pada nama semua orang.

“Secara mental aku sudah.”

Kami berdua tetap diam setelah mendengar lelucon itu. Ia


terkejut dengan reaksi kami. Maksudku, kami berdua memiliki
ingatan dari kehidupan kami sebelumnya, jadi kami tidak
menganggap lucu lelucon tersebut.

— 72 —
...Sebaliknya, fakta bahwa sifatnya jauh lebih dewasa dari kita
terasa lebih lucu daripada leluconnya.

Aku berbisik kepada Shiina,

“… Jika kita menghitung usia kita dari kehidupan sebelumnya,


kita sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun sekarang.”

Tiba-tiba aku merasa seperti sudah menjadi om-om sekarang.

“T-Tidak, bukan begitu cara kerjanya. Kita tidak segera


mengingat kehidupan kita sebelumnya, jadi kita tidak bisa
menambahkan total umur kita seperti itu!” Bantah Shiina dengan
suara bergetar.

Perkataannya memang benar, tapi semua itu terlihat tidak


meyakinkan karena ucapannya yang cepat.

“Pertama-tama, Shiina Mai dan Cerys Flores adalah dua orang


yang berbeda! Kamu sendiri yang bilang begitu, bukan?!”

“Jangan gunakan pidato inspirasionalku untuk membuat


dirimu terdengar lebih muda!”

“Aku sama sekali belum tua! Jangan berani-berani


memanggilku tua!”

Saat kami saling berdebat, Shinji mengangkat bahunya.

“Ayolah, jangan bermesra-mesraan di hadapanku ...”

“Si-Siapa juga yang bermesra-mesraan!”

Aku melirik Shiina sambil menyangkal ucapan Shinji. Tapi


untuk beberapa alasan, pipi Shiina terlihat merah merona.

Melihat reaksinya yang seperti itu membuatku merasa malu


juga.

— 73 —
Shinji cuma bisa menepak dahinya setelah melihat ekspresi
kami berdua. Ia mungkin tidak tahu harus berkata apa kepada kami.

Bagian 5

Beberapa saat kemudian, Yuuka dan Hina kembali.

Setelah itu, semua orang duduk bersama sambil beristirahat


dan mendiskusikan apa yang harus kita lakukan selanjutnya.

“Enaknya ngapain lagi? Masih terlalu dini untuk makan siang.”

Aku melirik jam dan menyadari bahwa perkataan Yuuka ada


benarnya karena sekarang masih pukul 10.30.

“Aku ingin pergi ke kolam di sebelah sana bersama Godou.


Sudah lama sejak kita bertanding!”

Hina mengusulkan hal itu padaku. Dia lalu dengan ringan


menepak dadaku dengan tinjunya.

“Ayo ayo saja sih, tapi kamu harus sadar bahwa tidak peduli
seberapa banyak kamu menantangku, kamu takkan pernah
mengalahkanku.”

Hina selalu berusaha menantang aku di semua jenis kompetisi,


tidak terbatas pada berlari dan berenang saja.

Tapi, tidak peduli berapa banyak dia mencoba, dia tidak


pernah bisa mengalahkanku kecuali dalam belajar. Selain
perbedaan gender, aku merupakan seorang pahlawan dari
kehidupanku sebelumnya, dan spesifikasi dasarku sudah sangat
berbeda dengan manusia biasanya.

“Aku akan menang kali ini! Tunggu dan lihat saja!”

Dia mengacungkan jarinya ke arahku sebelum berjalan menuju


kolam renang.

— 74 —
Sepertinya dia telah mendapatkan kembali beberapa
kekuatannya. Kurasa bermain -main di tempat ini membantunya
dengan itu.

Aku tidak tahu apa yang salah dengannya, tetapi selama dia
seceria, seharusnya semuanya bakalan baik-baik saja.

Ketika aku memikirkan hal ini, aku merasa ada seseorang yang
menatapku dari samping.

Orang tersebut adalah Shiina.

“Ah… u-um… semoga berhasil?”

Mengapa dia terdengar begitu tidak yakin? Yah, terserah lah.


Aku mengangguk padanya sambil membuat kepalan yang kuat.

“Aku sudah memikirkannya untuk sementara waktu sekarang ...


tapi ototmu terlihat kekar...”

Dia menatap tubuhku karena suatu alasan.

Yah, aku tahu bahwa ototku akan terlihat jelas jika aku
bertelanjang dada begini.

“Itu karena aku melatihnya dengan baik. Tidak ada ruginya


untuk memiliki lebih banyak kekuatan, tau?”

Walaupun aku berhenti mencoba mengorbankan


kesejahteraanku demi orang lain, aku masih rajin melatih tubuhku.
Karena alasan itu, memiliki lebih banyak kekuatan akan membantu.

Lagi pula, hanya dengan kekuatanku saja yang bisa memilih


apakah aku akan membantu seseorang atau tidak.

Jika aku tidak dapat membantu seseorang yang meminta


bantuanku, aku takkan pernah memaafkan diriku sendiri.

Sejak aku mendapatkan kembali ingatanku kembali, aku sudah


melatih otot-ototku dan masih terus melakukannya.

— 75 —
Tiba-tiba, Yuuka ikut bergabung di antara percakapan kami.

“Betul sekali! Aku tidak menyadarinya ketika kamu memakai


bajumu, tetapi otot-ototmu memang sesuatu banget!”

Dia melanjutkan untuk menyentuh perutku. Rasanya sedikit


menggelitik.

Shinji menatapku dengan tatapan iri. Ini bukan salahku,


berhenti menatapku seperti itu!

Yuuka kemudian melanjutkan untuk menasehati Shinji sambil


menunjukku.

“Ayo, Shinji, contohi Godou dan mulailah melatih otot-


ototmu!”

“Aku tidak ingin kamu menyamakanku dengannya. Lagipula,


aku punya beberapa otot juga, tau?”

“Bohong.”

“Setidaknya aku tidak punya lemak berlebih di perutku.”

“Ap-Apa?! H-Hey! ”

Yuuka mendadak tersipu dan menjadi marah ketika Shinji


mengatakan sesuatu yang tidak perlu lagi.

Shinji berlari ke arah kolam renang dan Yuuka mengejarnya.

Hubungan mereka sangat rukun sekali, syukurlah untuk


mereka.

Di sisi lain, Hina sibuk melakukan pemanasan untuk


'pertarungan' kami. Suasananya benar-benar terlihat serius.

“Godou! Aku mempertaruhkan hidupku di sini, kenapa kamu


terlihat santai-santai begitu?!”

— 76 —
“Maaf, maaf. Baiklah, ayo kita lakukan.”

Hina memanggilku dengan nada yang jelas-jelas frustrasi.


Karena dia sangat bersemangat, aku memutuskan untuk
menganggapnya serius.

Kami berkompetisi dalam renang gaya bebas 50 meter.

Tak perlu diketahui, aku benar-benar menang telak.

“Ugh ...”

Dia frustrasi dengan hasilnya. Gadis ini benar-benar benci


kekalahan, ya.

Nah, semakin banyak waktu berlalu, semakin terlihat jelas


perbedaan gender di antara kami.

Selain itu, secara khusus teruntuknya sendiri, dia harus


berurusan dengan resistensi air karena besarnya ... ahem ...

“... tatapanmu menjijikkan.”

“Apa yang kamu maksud dengan itu?”

Hina memelototiku saat aku bersiul untuk menghindari


tatapannya.

Lalu, dia menghela nafas dalam-dalam sebelum memiringkan


kepalanya karena bingung.

“Mai-chan pergi kemana?”

Aku melihat sekeliling.

Aku melihat Shinji dan Yuuka berenang, tetapi aku gagal


melihat Shiina di mana saja.

... tapi ada percikan air besar di tengah kolam.

— 77 —
“Jangan bilang…”

Aku memiliki perasaan buruk tentang hal itu, jadi aku langsung
berenang ke arah percikan besar itu. Ketika aku semakin dekat, aku
melihat si idiot mengepakkan anggota tubuhnya. Aku tidak tahu
bagaimana dia sampai di sana, tetapi dia jelas-jelas tenggelam!

Aku memegangi tubuhnya dan menyeretnya ke permukaan.

Pada titik ini, aku berhenti peduli untuk menyentuhnya atau


semacamnya.

Dia dalam bahaya!

“Hei, kamu baik -baik saja?!”

“*Uhuk* ... Ma-Maaf ... kolamnya lebih dalam dari yang


kuduga...”

Shiina kemudian menempel padaku dengan erat. Dia tampak


ketakutan.

“Astaga, kamu ini benar-benar…”

Aku menghela nafas lega. Setidaknya air tidak masuk ke dalam


paru-parunya atau semacamnya.

Dia hanya terbatuk, tetapi dia tampaknya tidak dalam bahaya


serius.

Ketika aku merasa lega dengan fakta itu, aku menjadi sadar
dengan sensasi lembut karena dia melekat pada tubuhku.

“Apa kamu baik-baik saja, Mai-chan?!”

Hina bertanya khawatir saat berhasil menyusulku.

Shinji dan Yuuka juga datang setelah mengetahui bahwa


sesuatu yang salah telah terjadi.

— 78 —
Pokoknya, aku menarik Shiina keluar dari kolam renang
terlebih dahulu. Ketika kami keluar, dia meminta maaf dengan
ekspresi cemberut.

“… Maaf, aku sudah merepotkan semua orang.”

“Jangan terlalu di[ikirkan, selama kamu baik-baik saja.”

Hina menepuk dadanya seraya menghela napas lega.

“Tapi…”

“Jangan khawatir tentang itu.”

“Ya, jangan khawatir. Semuanya itu salah Godou karena Ia


tidak mengawasimu dengan benar meskipun tahu kalau kamu tidak
bisa berenang.”

“... Mengapa kamu bertingkah seperti kamu tidak melakukan


kesalahan sama sekali?”

Yuuka memelototi Shinji yang bertindak sombong seperti biasa.

Jadi, mereka berdua juga sama-sama menghibur Shiina yang


tampak tertekan.

Shiina yang tadinya sudah hampir akan menangis, melihat


adegan ini dengan muka tercengang.

“…Lihat? Kamu tidak perlu khawatir. Tidak ada yang


menyalahkanmu.”

Ketika aku membisikkan ini padanya, Shiina menatapku


dengan tatapan serius.

“Semua orang sudah tahu kalau kamu itu orang yang kikuk,
jadi jangan khawatir.”

— 79 —
Aku mengatakan itu dengan keras untuk semua orang untuk
mendengarnya. Mereka pun membalasnya dengan tertawa.

“Yah, aku tahu kalau kamu sedikit payah dalam pelajaran


olahraga… ” Kata Shinji saat mengangkat bahu.

“Kamu juga selalu terlihat gelisah ~” Kata Yuuka sambil


terkikik.

“Kamu tidak perlu khawatir, kecanggunganmu adalah poin


lebih yang membuatmu lucu!”

Hina mungkin mengatakan itu untuk membuatnya merasa


lebih baik, tapi dia tidak menyangkal bahwa gadis itu orang yang
canggung.

Semua orang memandang Shiina dengan tatapan hangat.

Lihat, Shiina? Kamu tidak perlu khawatir.

Semua orang di sini adalah temanmu.

Bahkan jika kamu tidak berpikir begitu, mereka semua sudah


menganggapmu sebagai teman mereka.

Jadi, kamu tidak perlu takut. Kamu bisa bahagia di dunia ini.

Mungkin, perasaan kita berhasil mencapainya. Dia


mengumpulkan keberanian dan berteriak,

“Aku bukan orang yang kikuk!”

Walaupun, isi teriakannya benar-benar tidak meyakinkan.

Bagian 6

Tanpa kusadari, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore.

“Capeknya…”

— 80 —
Setelah makan siang, kami berkeliling gedung untuk
bermain.Waktu berlalu dengan cepat sebelum kami menyadarinya.

Aku berganti dari baju renangku dengan baju kaos biasa dan
duduk santai di area istirahat di lantai dua gedung.

Dinding area istirahat terbuat dari kaca, jadi aku bisa melihat
area kolam dari sini.

Tempat ini sepertinya tempat yang sempurna bagi para orang


tua untuk istirahat sambil mengawasi anak-anak mereka yang
bermain di dalam kolam renang. Bahkan, hampir semua orang di
sini tampak lebih tua dariku, hampir tidak ada remaja sepertiku di
sini. Berkat hal itu, suasananya tenang dan nyaman.

Aku menjilati es krim yang kubeli di kios indoor ketika


menatap kosong area kolam renang.

Yuuka dan Shinji masih bermain-main di sana.

Mereka berdua benar-benar main sepuasnya hari ini, ya? Yah,


sebenarnya Yuuka yang begitu, karena Shinji cuma diseret
mengikutinya.

… Hari ini sangat menyenangkan. Aku berharap semua orang


juga merasakan hal yang sama.

Shiina tampaknya bersenang-senang juga, meskipun dia


sesekali membuat kekacauan di sana-sini.

Ketika aku berpikir seperti itu, ada seseorang yang


mendekatiku dari belakang.

“Boleh aku duduk di sebelahmu…?”

Aku tidak perlu berbalik untuk mengetahui kalau orang


tersebut adalah Shiina.

— 81 —
Dia langsung duduk di sampingku tanpa menunggu jawabanku.
Kenapa dia perlu bertanya segala?

Apalagi, kursi itu tempak duduk Hina ... yah biarlah...

“Aku sangat capek…”

“Tunggu, kamu juga bisa merasa capek?”

“Tentu saja lah, aku bukan pahlawan lagi. Tidak peduli


seberapa banyak aku berolahraga, aku masih tidak bisa memiliki
stamina yang tak ada habisnya seperti sebelumnya. "

Ketika aku mengatakan itu, Shiina tertawa kecil dan tersenyum


kepadaku.

Setelah itu, kami berdua jatuh ke dalam keheningan.


Keheningan yang nyaman.

Tiba-tiba, Shiina memulai pembicaraan.

“… Apa kamu masih mengingat dengan apa yang kamu katakan


sebelum kita menjadi teman?”

“Ja-Jangan mengingatkanku akan hal itu ... waktu itu aku


banyak mengatakan kalimat yang memalukan ...”

Kejadian itu membuat aku berguling-guling di tempat tidur


setiap kali aku mencoba mengingatnya. Itu adalah sejarah gelapku.

‘Jadilah temanku.'

‘Aku akan tetap berada di sisimu. Aku akan menjadi satu-


satunya orang yang mencintaimu di dunia ini. Itu sebabnya, aku
akan menghilangkan kutukan itu dari hati dan jiwamu.’

‘Aku akan menyelamatkanmu! Aku akan membuatmu


bahagia! Oleh karena itu, jadilah temanku dan biarkan dirimu
diselamatkan olehku! Aku ini pahlawan yang pernah
menyelamatkan dunia lain, tau? Aku cukup dapat diandalkan

— 82 —
untuk menyelamatkanmu. Jadi, kamu bisa mengandalkanku.
Jangan pendam semuanya untuk dirimu sendiri. Bicaralah
denganku jika kamu membutuhkan bantuan. Untuk itulah
gunanya teman, setidaknya itulah yang dikatakan Hina’

‘Terlebih lagi, jika kamu menjadi temanku ... aku bisa menjadi
satu-satunya pahlawanmu.’

(Hentikan!! Otakku! Jangan memutar ulang kalimat-kalimat


itu! Aaaaahh !!)

Ketika aku sekarat karena merasa ngeri, Shiina terus


melanjutkan.

“Kamu tidak perlu merasa malu tentang hal itu. Hari itu adalah
hari paling bahagia dalam hidupku. Berkat kata-katamu, kutukanku
telah diangkat ...”

Nada lembutnya mengejutkanku, jadi aku mengalihkan


pandanganku padanya.

Dia sedang menatapku. Tatapannya membuatnya terlihat


seperti dia sedang melihat sesuatu yang paling dia sayangi.

“Aku tahu kalau perkataan ini masih sedikit lebih awal, tapi
aku ingin mengucapkan terima kasih dengan benar.”

Aku tidak bisa menatap matanya untuk sementara waktu.

Jadi, ketika aku melihat ekspresi wajahnya, rasanya seperti aku


diseret oleh mata hitamnya yang jernih.

“Berkat dirimu, aku merasa menjadi orang yang


paling bahagia seumur hidupku.”

— 83 —
— 84 —
Senyumnya mirip dengan bunga yang mekar di bawah sinar
matahari.

“Kamu sudah menyelamatkanku dan sudah membuatku


bahagia, satu-satunya pahlawanku. Terima kasih banyak.”

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari senyum itu.

Aku ingin mengukir pemandangan ini ke dalam otakku, tapi


sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Untuk beberapa alasan,
penglihatanku mulai kabur.

“Ke-Kenapa kamu tiba-tiba menangis?”

“… Hah?”

Setelah mendengar suara panik Shiina, aku akhirnya


menyadari bahwa air mataku lah yang mengaburkan pandanganku.

Seorang pria seharusnya tidak boleh menangis seperti ini,


sungguh menyedihkan sekali. Aku mencoba menghentikan air
mataku yang mengalir, tapi semua itu sia-sia. Justru sebaliknya, air
mataku terus mengalir lebih deras dari sebelumnya.

“Ma-Maaf…”

Kenapa aku menangis?

Aku tidak tahu. Satu-satunya yang kutahu ialah bahwa aku


selalu ingin mendengar kata-kata itu.

Sejak aku mendengar tentang masa lalunya.

Aku selalu ingin melihat senyumnya. Aku selalu ingin dia


belajar tentang arti dari kebahagiaan.

Itulah sebabnya aku bersedia menjadi musuh dunia.

“…Syukurlah.”

— 85 —
Dari lubuk hatiku, aku merasa benar-benar bersyukur
untuknya. Aku belum pernah merasakan kebahagiaan sebanyak ini
sebelumnya.

Kutukan yang terikat pada hatiku perlahan-lahan terangkat.

Semua orang di dunia itu, bahkan si penyihir sendiri terus


mengatakan kalau pilihanku adalah sebuah kesalahan. Tapi Shiina
berterima kasih padaku untuk itu. Pilihanku bukanlah sama sekali
kesalahan. Aku akhirnya dihargai untuk semua pengorbananku.

“Po-Pokoknya, gunakan saputanganku!”

Aku menerima saputangan dari Shiina yang panik. Setelah aku


menyeka air mata yang keluar untuk sementara waktu, aku
akhirnya bisa menghentikannya.

Shiina menghela nafas lega setelah melihatnya.

Ketika aku mendapatkan kembali ketenangan aku, gelombang


rasa malu menghampiri tubuhkuku. Aku tidak menyangka kalau
aku mendadak menangis seperti itu.

Orang-orang di sekitar kami menatap kami dengan keheranan.

Tentu saja, reaksi mereka akan begitu. Ada cowok SMA yang
tiba-tiba menangis di tempat umum seperti ini…

Aku bisa mendengar beberapa dari mereka membisikkan


sesuatu tentang pertengkaran cinta dan semacamnya.

Bagaimanapun, aku berhasil menambahkan halaman lain ke


sejarah gelapku.

“Ya ampun, kamu seriusan mulai menangis karena kamu


merasa bahagia…?”

Mendengar pertanyaan menggoda Shiina, aku hanya balas


mengangguk.

— 86 —
“Ya…”

“Hah?”

“Aku merasa sangat bahagia mendengarnya ..."

Ketika aku membalasnya dengan perasaan jujurku, dia


langsung terdiam.

Aku menatapnya, yang menyembunyikan wajah merahnya


yang semerah apel.

Ketika aku melihat pemandangan yang imut dan


menggemaskan ini, aku akhirnya mulai menyadari perasaanku
terhadapnya.

Ah, aku sangat mencintainya…

Jantungku tiba-tiba mulai berdetak kencang.

Detakannya begitu keras sehingga aku curiga kalau Shiina bisa


mendengarnya dari tempatnya berada.

... Sebenarnya, aku sudah menyadari perasaanku lebih awal,


tapi aku selalu berpura-pura tidak menyadarinya.

Tapi, begitu aku melihat senyumnya yang mempesona itu, aku


tidak bisa terus-terusan membodohi diriku lagi.

Aku mencintai Shiina Mai. Bukan sebagai teman, tapi sebagai


seorang wanita.

Aku benci mengakuinya, tapi itu adalah perasaanku yang


sebenarnya.

“Shiina ...”

Saat aku mulai mengakuinya, rasanya jauh


lebih plong daripada yang kukira.

— 87 —
Aku mencintainya, aku sangat ingin memeluknya.

“Iya, apa?”

“Aku berhasil menemukan sesuatu yang ingin kulakukan.”

Aku memberitahunya sambil tersenyum.

Sejak hari dimana Hina memarahiku, aku terus mencari tujuan


baru untuk dicapai.

Sesuatu yang ingin kulakukan. Aku ingin memutuskan


bagaimana menjalani hidupku sendiri.

Tapi hal tersebut merupakan hal yang sulit bagiku. Lagi pula,
untuk waktu yang lama, aku selalu menjalani hidupku sesuai
dengan prinspip keyakinanku. Sial, aku bahkan tidak bisa mengakui
perasaanku sendiri sampai hari ini. Tapi sekarang, aku akhirnya
menyadari apa yang ingin kulakukan.

Aku ingin selalu tinggal di samping Shiina.

Aku ingin mengenalnya lebih baik.

… Aku ingin menciumnya lagi.

“…Begitu ya.”

Shiina mengedipkan matanya sebelum tersenyum bahagia.

“Itu hebat. Apa kamu tidak keberatan memberitahuku tentang


hal itu?”

Dia bertanya dengan senyum polos di wajahnya. Seketika itu


juga wajahku mulai memanas.

Apa sih yang aku lakukan? Tentu saja, dia akan bertanya
tentang itu jika aku mengungkapkannya.

— 88 —
Aku bahkan belum memiliki keberanian untuk menembaknya.
Tidak satu jam sejak aku menyadari perasaanku, rasanya masih
terlalu dini untuk menyatakan perasaanku ...

“I-Itu sih rahasia!”

“Jangan rahasia-rahasiaan! Ayo katakan padaku!”

Ketika aku mencoba menyembunyikan tujuanku darinya, dia


bahkan memaksaku dengan lebih agresif.

“Ak-Aku akan memberitahumu ketika waktunya sudah tepat!”

Akhirnya, aku akan memberitahunya. Tapi bukan sekarang.

Aku menyukainya dan aku ingin mengenalnya lebih baik.

Demi melakukan itu, aku harus menembaknya dan menjalin


hubungan dengannya.

Namun, aku tidak perlu terburu-buru. Lagi pula, jika dia


menolakku, maka semuanya akan berakhir untukku.

Pertama-tama, aku harus memperdalam persahabatan kami


terlebih dahulu dan membuatnya menatapku.

... Adapun bagaimana caranya, aku masih belum tahu.

Kurasa ini akan menjadi jalan yang lumayan sulit, huh?

Lagipula, memangnya gadis merepotkan ini bisa jatuh cinta


dengan seseorang yang mudah?

Di tambah lagi, kami berdua dulunya adalah musuh. Walaupun


sekarang kami adalah teman, tapi titik kasih sayang awalnya adalah
negatif, jadi ini lebih rumit dari biasanya. Ternyata ini jauh lebih
menantang dari yang kuduga

— 89 —
“Ke-Kenapa kamu mendadak murung begitu? Kamu lebih
ekspresif dari biasanya hari ini ...” Kata Shiina dengan wajah
kbingungan. Tentu saja dia akan bingung.

Aku sendiri merasa bingung dengan perasaanku, apalagi dia.

“Aku tidak percaya bahwa kamu dulunya adalah pria yang


tidak pernah tertawa saat di kehidupanmu sebelumnya.”

Seperti yang dikatakan Shiina, aku adalah pria yang sangat


berbeda dari kehidupan sebelumnya.

Di kehidupan itu, aku selalu berusaha menyembunyikan


emosiku.

“... Yah setidaknya, diriku yang saat ini jauh lebih baik
ketimbang waktu itu.”

Meski demikian, kami tidak boleh terjebak di masa lalu


selamanya. Kami bukan lagi Gray Handlet dan Cerys Flores lagi.
Kami berdua adalah Shiraishi Godou dan Shiina Mai.

Ketika aku mengatakan ini padanya, Shiina tertawa.

“Ya, memang lebih mudah untuk menebak apa yang kamu


pikirkan sekarang dibandingkan dengan saat itu. Di dunia itu, kamu
lebih menakutkan ...”

“Menakutkan? Kok bisa?”

“Rasanya sulit untuk memilih dek percakapan ketika berbicara


denganmu. Lagipula, aku tidak bisa membaca apa yang ada di
pikiranmu...”

Gadis ini benar-benar menyiapkan kartu percakapan demi bisa


berbicara denganku?

“Bukannya itu cuma karena kamu tidak memiliki keterampilan


sosial saja?”

— 90 —
“La-Lantas kenapa?! Manusia tuh sangat menakutkan,tau?! ”

Shiina mulai membuat klaim yang tidak masuk akal, jadi aku
mencoba menenangkannya. Ketika sedang melakukan itu, aku
mendengar langkah kaki mendekati kami.

Aku melirik melalui bahuku untuk melihat Yuuka dan Shinji


yang tampak kelelahan.

“Ca-Capeknya ... aku tidak percaya aku bermain sampai sepuas


itu ...”

“Jika kamu saja secapek ini, maka pikirkan bagaimana


perasaanku ... huh, kalian berdua kenapa? Kalian berdua
bertengkar lagi?”

“Enggak! Cowok ini terus menjahiliku!”

Shiina menjadi lebih baik dalam berbicara dengan semua orang


setelah acara sebelumnya di kolam renang. Sekarang, dia bisa
berbicara menggunakan nada normal dengan semua orang selain
diriku.

“Eh?! Kenapa kamu begitu jahat padanya, Godou?! ”

Tapi, untuk beberapa alasan, semua orang selalu memihaknya


setiap kali terjadi sesuatu. Aku berharap suatu hari mereka akan
menyadari bahwa segala sesuatu yang keluar dari mulut gadis ini
adalah cuma sebatas omong kosong murni.

“Yah, Godou selalu menjadi cowok yang berdosa, kita semua


sudah tahu itu.”

Sementara Yuuka berdiri dengan kuat di sisi Shiina, Shinji


mulai menghinaku sebagai gantinya.

Ia mengabaikan tatapan bermusuhan aku dan melihat


sekeliling.

“Ngomong -ngomong, Hina pergi kemana?”

— 91 —
“Ah, kalau dipikir-pikir, dia sudah menghilang dari tadi ...”

Sampai beberapa saat yang lalu, tempat di mana Shiina duduk


adalah milik Hina.

Shiina datang tepat setelah Hina pergi ke toilet.

Tapi sudah lebih dari sepuluh menit sejak dia pergi, dan dia
masih belum kembali.

“Katanya sih dia pergi ke toilet, tapi ...”

“Jangan-jangan dia sakit perut…?”

Gumam Yuuka. Kemudian, aku mendengar seseorang


mendekati kami dari belakang.

Yuuka yang tidak menyadari hal itu, mendapat tepakan keras


dari Hina di punggungnya.

“Enak saja kalau ngomong! Aku membeli beberapa makanan


cemilan di sana, tau!?” Kata Hina ketika dia memamerkan
cokelatnya.

Sebagai tanggapan, Yuuka hanya menghela nafas lega.

... Ada sesuatu tentang perilaku Hina yang membuatku


penasaran, tapi aku memutuskan untuk tetap menutup mulutku.

◇◇◇◇

Setelah itu, kami semua pergi meninggalkan kolam renang dan


pulang.

— 92 —
Sementara semua orang berbicara tentang betapa serunya
pengalaman hari ini, aku menatap ke luar jendela sambil
memikirkan perilaku aneh Hina.

Dia bilang kalau dia membeli beberapa makanan ringan, tapi


apa benar hanya itu saja?

Berkat pengalaman tempurku dari kehidupan sebelumnya, aku


bisa dengan mudah merasakan kehadiran orang lain.

Aku tidak tahu siapa itu, tapi ada seseorang yang menatapku
dan Shiina dari kejauhan ketika kami berbicara. Aku mencurigai
kalau orang itu adalah Hina.

Meski, aku tidak bisa memahami sedikit pun mengapa dia


sampai berbohong begitu.

Mungkin, itu hanya imajinasi aku.

“Aku tahu kalau kamu orang yang tidak terlalu peka, tapi
sebelum aku bisa memberitahumu segalanya, kamu harus
memilah perasaanmu terlebih dahulu.”

Untuk beberapa alasan, ucapan Shinji kembali muncul di


benakku.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Hina)

Hari ini sangat menyenangkan, tapi juga melelahkan…

Apa aku berhasil tersenyum dengan benar?

Aku masih bertingkah normal, ‘kan?

— 93 —
Jika itu Godou, Ia mungkin menyadari keadaanku yang tidak
enak badan, tapi Ia takkan tahu alasannya.

... Shinji sepertinya menyadari apa yang sedang terjadi. Ia


hanya menatapku dalam diam.

“Hina?”

Godou yang berjalan di sebelahku, tiba-tiba memanggil


namaku. Ia mungkin mengkhawatirkanku.

Kami berjalan pulang bersama setelah berpisah dengan semua


orang di Stasiun Maebashi.

“Aku baik-baik saja. Aku cuma sedikit lelah ...”

Aku tidak berbohong. Aku beneran baik -baik saja, aku hanya
lelah…

Godou hanya membalasku dengan tersenyum masam dan terus


berjalan.

Jarak di antara kami lebih dekat dari teman normal, tapi tidak
sedekat sepasang kekasih.

Sejak kami masih kecil, kami selalu mengatur jarak sejauh ini
di antara kami.

Aku selalu berpikir bahwa kami akan melakukan ini untuk


sementara waktu lebih lama.

Bukannya berarti aku tidak memiliki keinginan untuk menutup


jarak di antara kami.

Aku hanya takut jika aku melakukan itu, tiba-tiba aku akan
kehilangan posisiku yang sekarang. Aku sudah cukup senang
dengan status saat ini.

— 94 —
... Tapi, setiap kali aku membayangkan bagaimana Ia akan
berpacaran dengan orang lain membuatku merasa sedih. Setiap kali
aku melihat wajahnya yang bahagia ketika berbicara dengan Mai-
chan, dadaku mulai terasa sakit dan rasanya semakin sulit bagiku
untuk bernafas.

Kurasa aku sangat menyukainya daripada yang kukira.

Setelah sekian lama, aku baru menyadarinya.

Walaupun, bukan berarti aku ingin Ia menjadi milikku. Selama


Godou tetap berasa di sisiku, itu saja sudah cukup untukku.

Selama ini, aku secara naif mempercayai karena kami sudah


saling kenal sejak kecil, meski kami tidak menjadi sepasang kekasih,
aku masih bisa tetap berada di sisinya selamanya. Aku bahkan
berpikir bahwa, jika suatu hari Ia tiba-tiba menemukan seseorang
yang menjadi tambatan hatinya, aku masih bisa tinggal di sisinya.

Tapi, aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukan itu.

Ketika aku melihat adegan itu, aku bahkan tidak bisa berpikir
untuk menghalangi hubungan mereka.

Sudah sangat jelas bahwa mereka berdua saling mencintai.

Aku melirik teman masa kecil yang ada di sebelahku.

Godou tampak sedikit lelah ketika menatap matahari terbenam.

Sulit dipercaya bahwa ini adalah orang yang sama yang


menangis sebelumnya.

Jika aku tidak melihatnya dengan kepala mataku sendiri, aku


mungkin takkan menyadari kalau matanya sedikit bengkak.

Hari ini adalah baru pertama kalinya aku melihatnya menangis.

Bahkan ketika kami masih anak-anak, aku belum pernah


melihatnya menangis sekali pun.

— 95 —
Tidak peduli seberapa absurd situasi yang dihadapinya, Ia
selalu berani melaluinya dengan tenang.

Tak pernah kubayangkan bahwa dirinya memiliki wajah konyol


seperti itu ketika menangis.

Fakta bahwa Ia menunjukkan ekspresi semacam itu kepada


gadis lain membuatku merasa cemburu.

Padahal selama ini, aku selalu berada di sisinya.

Tanpa kusadari, Ia mendadak menjadi dekat dengan seorang


gadis yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan kami.

Rasanya seolah-olah mereka berdua terikat oleh benang merah


takdir.

Godou, apa kamu bisa memberitahuku?

Kenapa kamu hanya menunjukkan sisi lemahmu pada gadis


itu?

Mengapa kamu terlihat begitu peduli padanya?

Mengapa kamu memaksakan dirimu sendiri begitu keras


untuknya?

... Aku harus berhenti memikirkannya, atau jika tidak, aku


akan mulai membenci diriku sendiri. Merasa cemburu seperti ini
merupakan hal terburuk yang pernah kulakukan.

Aku harus pulang dengan cepat sekarang, naik ke tempat tidur


dan mencoba melupakan semua yang terjadi hari ini.

... Walaupun, kurasa aku membutuhkan waktu yang lama


untuk bisa pulih dari peristiwa ini.

— 96 —
Bab 2 — Cara Bersosialisasi dan Festival
Kembang Api

Bagian 1

Hari ini aku ada jadwal kerja sambilan lagi. Aku mulai
menyesal karena mengambil terlalu banyak shift selama liburan
musim panas yang menyenangkan ini.

“Haah…”

“Sampai Senpai menghela nafas seperti itu, sungguh


pemandangan yang langka sekali.”

Kawasaki yang sedang mencuci piring di sebelahku, menatapku


dengan tatapan serius.

“Kupikir kamu itu mirip seperti mesin yang dibuat untuk


bekerja.”

“Sembarangan, aku ini manusia biasa. Kadang-kadang aku juga


bisa masuk ke dalam suasana hati seperti ini.”

“… Aku baru mendengar hal itu.”

“Kenapa mukamu terlihat sangat terkejut ?!”

Aku akan memaklumi jika ada seseorang yang bereaksi seperti


ini terhadap diriku dari kehidupan sebelumnya, tapi sekarang aku
tidak seperti itu lagi!

Lagipula, pada waktu itu, aku adalah subjek eksperimen


manusia, jadi sangat diragukan kalau sejak awal aku adalah
manusia.

— 97 —
Yah, orang-orang bisa menyebutku manusia, tergantung
pendapat mereka tentang definisi manusia. Tunggu, kenapa aku
mendadak jadi filosofis begini?

Saat aku memikirkan omong kosong tersebut, Kawasaki


memanggilku. Sepertinya dia memperhatikan sesuatu.

“Apa jangan-jangan … Senpai habis ditolak, ya?”

“Bagaimana bisa kamu sampai pada kesimpulan itu?”

Aku bersumpah demi tuhan, aku cuma merasa sedikit lesu saja.

“Maksudku, sekarang ‘kan musim panas. Musim panas adalah


musimnya cinta mulai bermekaran!”

“Begitu ya, jadi kamu sudah menonton film yang lagi viral itu,
ya.”

“Ya! Aku gampang terharu dengan film emosional semacam


itu—”

Kemudian, dia melanjutkan berbicara tentang film yang


ditayangkan dalam bioskop dengan tatapan mata yang berbinar-
binar. Aku mendengarkannya saat melakukan pekerjaanku. Karena
tidak ada pelanggan yang berkunjung, jadi kami punya waktu luang
untuk mengobrol santai seperti ini.

“Ya ampun, dengarin aku dong, Senpai!”

“Iya, iya, aku dengar kok. Jadi pria itu dicampakkan oleh
seorang gadis karena suatu alasan, lalu?”

“Jangan mengabaikan detailnya! Detailnya juga sangat penting,


tau!”

Kawasaki mulai mengeluh sambil menggembungkan pipinya.


Gerakannya terlihat sempurna, tapi aku tahu bahwa dia
melakukannya dengan sadar. Karena aku terbiasa Shiina

— 98 —
melakukan hal yang sama, meskipun gadis itu melakukannya tanpa
sadar, gerakan Kawasaki tidak berpengaruh padaku.

Aku memasang tampang sombong, tapi Kawasaki


mengabaikannya dan mengatakan sesuatu yang lain kepadaku,

“Oh iya, aku ingat kalau Senpai pernah bilang tidak terlalu
tertarik dengan film romantis, kan?”

“…Ya.”

Daripada tidak tertarik, aku hanya tidak bisa memahaminya


ketika aku menontonnya.

Pada waktu itu, aku tidak tahu seperti apa rasanya jatuh cinta,
jadi aku sama sekali tidak bisa memahami film-film itu.

… Tapi, kurasa aku akan menganggap kalau film-film itu


sedikit menarik sekarang. Maksudku, aku mengerti sedikit
mengenai cinta.

Setidaknya, aku tahu kalau aku mencintai Shiina.

Walaupun aku tidak seratus persen yakin kalau aku benar-


benar mencintainya. Aku tidak pernah jatuh cinta dengan siapa pun,
jadi aku masih belum tahu pasti.

Itu sebabnya aku ingin memastikan bahwa aku benar-benar


mencintainya sebelum menembaknya. Apalagi jika aku
menembaknya sekarang, aku ragu apa aku bisa mengucapkan kata-
kata itu dengan benar padanya.

“Apa kamu pernah jatuh cinta, Kawasaki?”

Ketika aku menanyakan itu, dia berhenti bergerak dan


menatapku.

Aku menatap wajahnya dengan saksama. Dia memiliki wajah


yang begitu menawan. Dengan wajah seperti itu, dia pasti termasuk

— 99 —
gadis yang populer. Jika demikian, dia pasti punya banyak
pengalaman dengan cinta.

“Yah begitulah. Ketika aku SD, aku menyukai teman sekelasku


yang sangat jago bermain sepak bola. Kemudian, selama masa SMP,
ada seorang anak laki-laki pendiam yang kusukai.”

“Keduanya adalah tipe orang yang berbanding terbalik.”

“Orang yang aku cintai menjadi tipe orang yang aku sukai.”

Kalimat yang diucapkannya terdengar dangkal, tapi pada saat


yang sama, terasa mendalam juga.

“Jadi, apa yang terjadi pada mereka?”

“Aku dibuat kecewa dan perasaan cintaku hilang begitu saja.


Takahashi-kun, anak laki-laki yang sangat pandai bermain sepak
bola, tapi Ia ternyata orang yang tidak beretika. Hoshino-kun yang
sekilas terrliaht seperti cowok pendiam, ternyata cuma seorang
chuunibyou yang hanya berusaha terlihat keren.”

“Eh...”

“Yah, begitulah adanya. Aku jatuh cinta dan patah hati dengan
sendirinya. Memang begitulah yang namanya cinta~”

Apa benar begitu cara kerja cinta?

Yah, Kawasaki sendiri yang mengatakannya, jadi itu pasti


benar.

Saat aku menganggukkan kepalaku, dia tiba-tiba berbicara


dengan suara yang lebih pelan.

“… Cintaku selalu redup. Perasaan tersebut tidak pernah


tumbuh terlalu besar, dan selalu mendingin dengan cepat. Kupikir
aku bukan orang yang tepat untuk ditanya tentang hal seperti itu.
Maksudku, aku sendiri masih mencari seseorang yang spesial untuk
diriku sendiri.”

— 100 —
Dia berbicara kepadaku dengan cara yang serius, ekspresi yang
jarang terlihat di wajahnya.

“Itu hanya pertanyaan iseng, tahu? Bu-Bukannya berarti aku


sedang mencari nasihat atau semacamnya…”

“Senpai, memangnya kamu tidak sadar kalau kamu tuh tipe


orang yang gampang sekali dibaca?”

Sepertinya semua orang tahu apa yang kupikirkan belakangan


ini.

Dia sama pekanya dengan Shinji.

“Seseorang yang spesial, ya…”

Tiba-tiba, wajah Shiina muncul di benakku.

…Hah? Mengapa wajahnya muncul dalam situasi ini?

Aku mulai dibuat tersipu dengan pemikiranku sendiri. Tiba-


tiba, Kawasaki tersenyum sedih padaku.

“Padahal kuharap itu akan berhasil kali ini ...”

… Apa dia kepikiran tentang seseorang?

Ketika aku mencoba bertanya apa yang dia maksud dengan itu,
dia menggelengkan kepalanya.

“Jangan pedulikan aku. Perasaanku hanya sekedar naksir


belaka. Aku tidak bisa menang tidak peduli seberapa keras aku
mencobanya.”

Dia melanjutkan dan mengubah topik,

“Jadi, dengan siapa kamu jatuh cinta, senpai?”

“…Bagaimana kamu bisa tahu?”

— 101 —
“Karena ini bukan sesuatu yang biasanya kamu tanyakan.”

Kemudian, dia bertanya dengan mata berbinar.

“Ayo kasih tahu, kasih tahu. Siapa yang berhasil menggaet hati
Senpai? Apa dia masuk ke sekolah yang sama dengan kita? Apa dia
cantik? Siapa Namanya? Aku penasaran! Karena kamu jatuh cinta
padanya, apa dia sama-sama orang aneh sepertimu, senpai?”

“Ta-Tanya satu-satu kek! Y-Yah, memang benar dia orang aneh,


sih…”

Ketika aku mencoba menjawabnya, aku malah dibuat bimbang.


Reaksiku memicu sesuatu di Kawasaki saat dia menyeringai sambil
berkata, “Woah, kamu benar-benar jatuh cinta dengan seseorang
~". Serius, apa-apaan sih dia itu?!

“Tidak banyak orang yang sepolos dirimu saat ini, senpai.”

“…Ce-Cerewet. Dia itu cinta pertamaku, oke?!”

“Hah, begitu rupanya. Tidak heran kamu jadi bertingkah


seperti ini. Ayo, jangan ngambek terus~”

Dia tertawa gembira saat mencoba menghiburku. Hal tersebut


membuatku penasaran siapa yang lebih tua di antara kami. Jika aku
menghitung kehidupanku sebelumnya, aku sudah pasti jauh lebih
tua darinya …

“… Namanya Shiina Mai.”

Ketika aku membeberkan itu, Kawasaki sgera mengangguk


mengerti.

“Ah, murid pindahan itu. Anak-anak cowok di angkatanku


berbicara tentang betapa imutnya dia.”

“Apakah begitu?”

— 102 —
Memang benar kalau Shiina itu imut. Setiap kali dia berjalan di
jalanan, semua orang akan mencuri-curi pandang ke arahnya.

Itu sebabnya aku tidak terlalu terkejut mendengar bahwa anak-


anak kelas 1 membicarakan dirinya.

Bahkan jika aku membandingkannya dengan 'gadis idola',


penampilannya lebih baik dari artis di layar kaca.

… Aku yakin pasti ada banyak cowok yang memperebutkannya.

Tentu saja, aku tidak ingin ada yang mengambilnya dariku.


Kira-kira apa ini yang mereka sebut sebagai posesif.

Awalnya, aku berpikir kalau aku tidak perlu terburu-buru,


tetapi saat melihat situasinya, aku menyadari bahwa aku tidak bisa
tinggal diam terus.

“Kawasaki, boleh aku menanyakan sesuatu?”

“Apa?”

“Aku ingin tahu apakah aku benar-benar mencintainya. Hanya


untuk memastikan saja, oke? Karena kamu tahu banyak tentang
masalah cinta.”

“Ba-Bagaimana kamu bisa mengatakan kalimat memalukan itu


dengan santainya!?”

Dia tampak sangat tersipu malu.

— 103 —
— 104 —
“La-Lagipula, aku tidak pernah punya pacar sejak awal, jadi
sepertinya aku juga tidak tahu banyak tentang masalah ini. Tapi
tentu saja, jika kamu benar-benar membutuhkan bantuan Onee-san
ini, aku akan dengan senang hati membantumu~ Ayo kemarilah~”

Dia lalu membusungkan dadanya dengan penuh pecaya diri.


Sungguh gadis yang bisa diandalkan.

Aku tidak yakin menyebut dirinya sebagai 'Onee-san', tapi aku


tahu dia lebih berpengalaman dariku dalam hal ini.

Karena aku masih pendatang baru dalam pertempuran ini, aku


tidak tahu banyak mengenai percintaan. Aku tidak memiliki teknik
atau kepercayaan diri untuk menginjaknya. Itu sebabnya aku akan
menerima bantuan apa pun.

Jadi, aku memberitahunya tentang perasaanku terhadap Shiina


dan apa yang sudah kulalui sampai aku menyadari perasaanku
terhadapnya. Tentu saja, aku menghilangkan bagian mengenai
kehidupan kami sebelumnya.

“Nah, itulah intinya— Hah, kamu kenapa?”

Saat aku melihat ke arah Kawasaki, dia menyembunyikan


wajahnya dengan kedua tangannya. Untuk beberapa alasan
telinganya sampai terlihat memerah.

“K-Kenapa kamu tidak mencoba menempatkan dirimu pada


posisiku?”

Dia mengipasi wajahnya karena suatu alasan.

“Kamu sangat menyukainya sampai-sampai kamu hanya bisa


memikirkannya terus? Apa-apaan itu?! Jika itu bukan cinta lalu
apaan?! Apa yang membuatmu sangat bingung ?! ”

“Jelas sekali kalau kamu sedang jatuh cinta.” gumam Kawasaki.

— 105 —
Begitu ya… Sejujurnya, aku tidak tahu perbedaan antara
menyukai dan mencintai seseorang. Yah, kalau Kawasaki
mengatakan bahwa perasaanku adalah cinta, maka sudah pasti
begitu.

“Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Ajak saja dia berpacaran.”

Ujarnya dengan tegas, tetapi aku bahkan tidak tahu harus


mulai dari mana. Pertama-tama, aku bahkan tidak mengerti
konsep 'pacaran'. Aku tahu kalau itu merupakan proses untuk
membuatku dan Shiina menjadi lebih dekat, tapi hanya sebatas itu
saja.

“Tapi, aku tidak tahu harus mulai dari mana…”

“Yah, dari yang sudah kupahami, hubungan kalian berdua


sudah lumayan dekat, jadi seharusnya lumayan mudah. Yang perlu
Senpai lakukan adalah membuatnya sadar tentang Senpai. Demi
melakukan itu… Coba saja ajak dia berkencan.”

“Cu-Cuma kita berdua? Rasanya terlalu memalukan!”

“Kenapa kamu bahkan merasa malu-malu dengan ini ?!”

Ketika aku mencoba membayangkan adegan di mana aku


mengajak Shiina berkencan, tiba-tiba aku langsung merasa gugup.
Ya, kami memang berhubungan cukup dekat, tapi dia masih bisa
menolakku.

Bagaimana jika aku mengacaukannya dan masih


memperlakukanku sebagai teman setelah semuanya berakhir?
Hanya membayangkannya saja sudah membuatku merasa malu
sampai-sampai aku hampir ingin berguling-guling di lantai.
Untungnya aku masih bisa mempertahankan kewarasanku.

“Se-Selain itu… aku tidak tahu apa yang harus dilakukan


selama kencan…”

— 106 —
Bisakah aku melakukan hal yang sama seperti ketika aku
bermain-main dengan teman-temanku?

Jika itu diizinkan, maka segalanya akan menjadi lebih mudah,


tapi aku ragu hubungan kami bisa berkembang lebih jauh.

Tiba-tiba, Kawasaki tampak seperti mendapat kilasan inspirasi


saat dia mengetuk telapak tangannya dengan tinjunya.

“Oh iya! Kalau tidak salah ada festival kembang api akhir pekan
ini! Coba ajak dia ke sana.”

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Akan ada festival


kembang api pada hari Sabtu ini.

Aku berencana untuk pergi bersama Hina seperti biasa tahun


ini, tapi sepertinya lebih baik kalau aku melakukan apa yang
disarankan Kawasaki.

Karena Shiina menyukai hal-hal yang cantik, dia pasti akan


menyukai kembang api juga.

… Walaupun, dia membenci keramaian, sih. Kurasa aku perlu


waktu untuk meyakinkannya terlebih dahulu.

“Baiklah. Aku akan mencoba melakukan itu.”

Saat aku mengangguk, Kawasaki dengan cepat berbicara,

“Nanti, kalau mood-nya sedang bagus, pastikan untuk


memegang tangannya erat-erat. Jika dia tidak keberatan, kamu bisa
menyeretnya ke tempat yang sepi dan saling berpelukan di sana.
Setelah itu, bawa dia ke hotel dan–”

Kawasaki tertawa menyeramkan saat dia melanjutkan


fantasinya. Aku melihat manajer mendekati kami, jadi aku diam-
diam kembali bekerja.

“Apa yang kamu bicarakan di tempat kerja?”

— 107 —
“Aduh!”

“Jika tidak ada pelanggan yang harus dilayani, ikuti apa yang
dilakukan Shiraishi dan bersihkan tempat itu!”

“Ya…”

Kawasaki menatapku dengan tatapan kesal saat dia


menanggapinya.

Aku memang tidak tahu apa-apa tentang cinta, tapi bahkan aku
pun tahu kalau fantasimu terlalu dibuat-buat, Kawasaki.

Bagian 2

(Sudut Pandang Shiina Mai)

... Kira-kira apa yang sedang Ia lakukan sekarang?

Setiap kali aku membiarkan pikiranku mengembara seperti ini,


aku selalu memikirkan Godou.

“Godou…” Aku menggumamkan namanya. Entah bagaimana,


rasanya memalukan ketika aku melakukan itu.

Aku dulu memanggilnya 'Pahlawan', tapi Ia bersikeras kalau


dirinya bukan pahlawan lagi, jadi aku memanggilnya dengan
namanya. Aku tahu sudah terlambat untuk memikirkan hal ini, tapi
aku masih tidak tahu kenapa aku
memanggilnya 'Godou' bukannya 'Shiraishi.'

Yah, semuanya sudah tidak terlalu penting karena aku merasa


nyaman memanggilnya 'Godou'.

...Sebaliknya, aku merasa jengkel karena dia terus


memanggilku 'Shiina'. Setidaknya itu lebih baik daripada
dipanggil 'Penyihir', tapi, tetap saja...

— 108 —
Karena aku memanggilnya 'Godou', jadi Ia harus mulai
memanggilku 'Mai'.

… Tunggu, memangnya itu masuk akal? Tenanglah, diriku!


Rasanya tidak adil, iya memang begitu, tapi aku tidak boleh
memikirkan hal seperti itu!

Aku membayangkan Godou memanggilku dengan namaku.

“Hng!!~”

Aku mengeluarkan erangan aneh dan berguling-guling tidak


karuan di tempat tidur.

Kemudian, aku mengambil salah satu boneka kolekku dan


memeluknya dengan erat.

Jalan-jalan ke kolam tempo jari terasa menyenangkan.

Aku tidak bisa berenang, jadi aku hanya menghabiskan


waktuku melayang-layang dengan ban pelampung, tapi bersama
Godou dan semua orang di sana, tidak pernah ada momen yang
membosankan. Berada di sekitar teman-teman yang bisa aku
percaya terasa menyenangkan dan menyegarkan.

…Meskipun, aku tidak merasa cukup bahagia untuk menangis.

Aku merasakan otot-otot di wajahku mengendur saat


mengingat wajah konyol Godou yang menangis.

Akhir-akhir ini, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada


diriku. Jantungku akan berdenyut tanpa peringatan.

Apa aku sedang sakit?

Tidak, tentu saja tidak. Itu mungkin karena 'kutukan' yang


menggerogoti hatiku.

— 109 —
Aku mengingat wajah orang yang 'mengutuk'ku, Godou. Setiap
kali aku mencoba memikirkannya, pikiranku menjadi kosong tanpa
sadar.

Sejak hari itu…

Hari dimana dirinya memintaku untuk menjadi temannya...

Hubungan kami menjadi aneh. Setiap kali aku melakukan


kontak mata dengannya, aku tanpa sadar memalingkan muka.
Setiap kali aku bersamanya, pipiku akan semakin panas dan aku
menjadi gelisah. Untuk beberapa alasan, aku mendapati diriku
menatapnya tanpa kusadari. Apakah ini efek samping dari
persahabatan?

Jika memang demikian, maka yang namanya persahabatan


sungguh luar biasa sekali. Hal tersebut membuat hatiku merasa
hangat dan gembira.

Aku ingin bertemu dengannya lagi. Kapan kami bisa bertemu


lagi?

Meskipun aku 'dikutuk', aku sudah menemukan obatnya.

Sejak pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa diberkati


meskipun aku 'dikutuk'.

Saat aku berguling-guling di tempat tidur sambil memikirkan


hal-hal seperti itu, ponselku tiba-tiba berdering.

Aku segera berdiri dan meraihnya, karena mengira itu dari


Godou. Sayangnya, ternyata bukan. Tapi aku tidak terlalu kecewa
karenanya.

Orang yang menelponku ternyata adalah Kirishima-san.

Aku menghela nafas panjang sebelum menjawabnya. Suara


ceria datang dari sisi lain.

{Ah, heyo, Mai-chan~ Apa kabar?~}

— 110 —
“A-Aku baik-baik saja… Ha-Hanya saja, di luar sangat panas,
jadi aku tetap berada di dalam kamarku…”

Sejak jalan-jalan ke kolam renang, aku mencoba berbicara


dengan mereka lebih santai.

Ketika aku secara tidak sengaja mengubah nada normalku


kembali ketika aku menyangkal menjadi orang bebal, Kirishima-san
dan Shindou-san menyambutnya dengan gembira. Itu sebabnya aku
mencoba memperlakukan mereka dengan lebih santai.

…Rasanya aku semakin dekat dengan mereka. Rasanya bagus.

Namun, aku masih merasa gugup memperlakukan semua


orang dengan santai seperti itu.

Saat aku merasa bertentangan, aku mendengar suara


Kirishima-san.

{Ahaha, paham banget! Sejujurnya, jika aku tidak memiliki


aktivitas klub, aku akan melakukan hal yang sama sepertimu!}

Jadi dia pergi latihan di klubnya hari ini juga. Kirishima-san


benar-benar luar biasa. Jika aku menjadi dirinya, aku bahkan
takkan berusaha lari di tengah panas seperti ini.

Sebenarnya, aku akan pingsan saat aku mencoba


melakukannya.

{Oiya, Mai-chan, kamu suka novel, ‘kan? Apa kamu sudah


membaca novel yang satu itu? Yang sedang tren sekarang?}

Novel apa yang dia bicarakan? Dia tidak menyebutkan


judulnya sama sekali.

Aku menebak-nebak dan menyebutkan judul populer yang


sedang tren karena mendapat adaptasi live action. Sepertinya
tebakanku benar. Sebenarnya, itu adalah salah satu judul favoritku

— 111 —
sepanjang masa. Meski aku kebanyakan membaca novel ringan
akhir-akhir ini, aku biasanya juga membaca buku semacam itu.

Genre romantis adalah salah satu genre favoritku. Aku selalu


menemukan diriku mencarinya setiap kali mengunjungi toko buku.

{Kamu tahu filmnya sedang tayang, ‘kan? Jadi, Yuuka dan


aku membicarakan tentang menontonnya bersama. Apa kamu
ingin pergi bersama kami?}

“Y-Ya! A-aku ingin sekali!”

Ketika aku menjawab itu, aku bisa mendengar pekikannya yang


bersemangat dari sisi lain.

Akhir-akhir ini, Kirishima-san memanggilku seperti ini untuk


mengajakku jalan-jalan.

Secara kebetulan, apa dia menyukaiku? Jika demikian, aku


akan sangat senang!

Bisakah aku menganggapnya sebagai temanku? Aku ingin tahu


apakah dia menganggapku sebagai temannya.

Kalau saja dia memberitahuku langsung seperti yang Godou


lakukan.

Tapi biasanya orang normal tidak mengatakan hal ini dengan


lantang, bukan?

Lagipula itulah yang Godou katakan padaku. Berbeda


denganku, dia punya banyak teman, jadi dia harus tahu banyak
tentang ini.

Oh benar, aku harus bertanya pada Kirishima-san tentang itu.

“…Apa kamu mengajak Godou dan Kudou-kun?”

{Ah… Yah, mereka tidak terlalu suka film romantis. Bahkan


jika kami mengajak mereka, mereka akan menolaknya. Aku belum

— 112 —
bertanya pada Godou, Yuuka juga belum bertanya pada Shinji,
kurasa.}

“Begitu ya…”

Aku tidak sabar untuk menonton filmnya karena aku menyukai


novelnya. Tapi aku merasa sedikit kecewa karena Godou tidak akan
ada disana.

Kalau dipikir-pikir, di kehidupan sebelumnya, Ia pernah


berkata kalau Ia tidak begitu mengerti kisah cinta.

Padahal cinta adalah emosi yang indah. Sayang sekali dia tidak
bisa memahami perasaan itu.

…Lagipula, aku juga tidak pernah jatuh cinta, jadi aku tidak
terlalu memahaminya.

Tiba-tiba, wajah Godou muncul di benakku. Aku


menggelengkan kepalaku dengan panik.

A-Apa sih yang kupikirkan?! Godou cuma teman!

Selain itu, walaupun kami sudah menjadi teman, kami adalah


musuh di kehidupan kami sebelumnya. Mana mungkin dia
menganggapku seperti itu.

{…Apa ada yang salah?}

Saat aku membuat alasan seperti itu di dalam kepalaku,


Kirishima-san memanggilku.

“Bu-Bukan apa-apa. Jangan pedulikan aku.”

Ahem.

Apa aku melakukan sesuatu yang aneh? Kirishima-san terdiam


beberapa saat…

— 113 —
{Ngomong-ngomong, apakah kamu ingin bertemu sekarang?
Aku baru saja kembali dari aktivitas klubku.}

Aku setuju untuk bertemu dengannya. Tidak seperti dia atau


Godou, aku tidak punya aktivitas klub maupun pekerjaan paruh
waktu, jadi aku punya banyak waktu luang.

◇◇◇◇

Aku meninggalkan rumahku dan berjalan menuju sebuah


taman yang tidak terlalu jauh. Di sana, aku menemukan Kirishima-
san sedang duduk di bangku di bawah naungan.

Dia mengenakan kemeja lengan pendek, seragam klubnya. Ada


handuk yang tersampir di lehernya.

“Hai, Mai-chan~! Kamu juga terlihat manis hari ini! Yay~”

Ketika dia menyadari keberadaanku, dia mengangkat


tangannya dengan semangat tinggi.

“Y-Yay?”

Aku mengikutinya dan membalas dengan mengangkat tangan.


Sebagai tanggapan, dia segera bertepuk tangan dengan tangannya.
Sepertinya aku membuat tanggapan yang tepat. Itu adalah pertama
kalinya aku melakukan tos. Entah bagaimana, rasanya cukup
tersentuh.

Dia kemudian menepuk area kosong di sebelahnya. Aku


dengan patuh duduk di sana.

Setelah melihatnya dari dekat seperti ini, aku menyadari sekali


lagi bahwa dia sangat cantik dan bergaya.

— 114 —
Dia memiliki sepasang payudara yang besar, kaki dan pinggang
yang ramping. Secara keseluruhan, dia mengalahkanku dalam
setiap aspek.

Kepribadiannya juga periang, cerah dan baik hati. Aku ingin


menjadi seseorang seperti dirinya.

“Hari ini masih panas seperti biasanya, ya. Ah, jangan terlalu
dekat denganku, aku berkeringat, jadi kurasa aku tidak akan berbau
harum.”

“Ah maaf…”

Aku mencoba menyelinap lebih dekat dengannya, tapi


sepertinya dia menyadarinya.

Dia meneguk minuman lemon yang dia beli dari mesin penjual
otomatis. Bagaimana aku harus mengatakannya? Dia tampak
sedikit erotis? …Tunggu, apa sih yang kupikirkan? Tenanglah diriku!

Ngomong-ngomong, kenapa dia memanggilku ke sini?

Apa mungkin dia hanya ingin bertemu denganku? Jika


demikian, aku merasa sangat tersanjung. Hehe~

“Aku ingin berbicara tentang jadwal menonton film. Aku tahu


kita bisa membicarakannya lewat telepon, tapi mumpung aku
sedang berada di dekat sini, kupikir aku bisa membicarakannya
langsung saja. Maaf jika itu membuatmu tidak nyaman!”

“Ti-Tidak, tidak sama sekali, kok!”

Dia bertepuk tangan dengan tatapan minta maaf. Aku


menggelengkan kepala sebagai tanggapan.

Setelah itu, kami mengecek jadwal film dan memutuskan


tanggal.

Karena Shindou-san dan aku bebas selama masa liburan, kami


hanya perlu menyesuaikan dengan jadwal Kirishima-san. Setelah

— 115 —
mengetahui hari-hari ketika dia tidak memiliki kegiatan klubnya,
kami memutuskan untuk tanggalnya dengan mudah. Aku sangat
menantikan hari menonton nanti.

Ketika aku berpikir tentang filmnya, aku melihat Kirishima-san


tersenyum bahagia sambil melihat ponselnya.

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Menyadari itu,


dia meminta maaf kepadaku sebelum menunjukkan layar ponselnya.

Itu adalah RINE dari Godou.

“Jadi aku mencoba mengajaknya untuk menonton film itu.


Anehnya, Ia mengatakan kalau Ia sedikit tertarik.”

…Itu berarti Godou akan datang juga? Ah gawat, lalu baju apa
yang harus kupakai? Aku tidak bisa memakai gaun yang sama
dengan yang kugunakan kemarin, bukan? Aku harus memakai
beberapa pakaian lucu.

Aku mulai memeras otakku, namun tiba-tiba respon Godou


selanjutnya datang dan memadamkan semua kegembiraanku.

[Ah, tapi aku ada jadwa shift hari itu.]

“Duhh, dasar.”

Kirishima-san terlihat sangat tidak senang ketika melihat


balasan tersebut.

Aku memahami perasaannya. Aku seperti bodoh saja karena


kegirangan sendiri. Bahuku merosot.

Setelah itu, mereka berdua mencoba bekerja sesuai jadwal.

“Ngh… kurasa ini tidak akan berhasil. Kalau begitu, ayo pergi
dengan kita bertiga saja.”

Itulah kesimpulan akhirnya. Sepertinya semua orang cukup


sibuk selama liburan musim panas.

— 116 —
Tapi tetap saja, mereka berdua selalu berkomunikasi dengan
santai seperti ini, ya?

… Enak, ya. Sosok mereka berdua berjalan bersama muncul di


benakku.

Mereka berdua sangat serasi satu sama lain. Siapa pun dapat
melihat bahwa Kirishima-san sangat cantik sehingga orang dapat
dengan mudah salah mengira dia sebagai artis idola. Sedangkan
Godou, meski aku benci mengakuinya, Ia adalah pria paling keren
di dunia ini.

Apalagi mereka sudah saling kenal sejak kecil.

“Apa ada yang salah?”

Saat aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, Kirishima-san


tiba-tiba memanggilku.

“Bu-Bukan apa-apa. Ha-Hanya saja, kamu dan Godou


sepertinya dekat sekali ya, Kirishima-san.”

“… Tapi dari sudut pandangku, hubunganmu lebih dekat


dengannya, tau.”

Aku dan Godou? Apa benar-benar memang begitu yang terjadi?

Memang benar kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya


sejak kami berdamai, tapi hubungan kami tidak sebanding dengan
hubungannya dengan Kirishima-san. Maksudku, kami masih saja
sering bertengkar dan berdebat.

“…Mai-chan, apa pendapatmu tentang Godou?”

“Eh...?”

Aku tidak bisa segera memberikan jawaban.

Apa yang kupikirkan tentang Godou?

— 117 —
Sejujurnya, aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu mengapa
aku tidak tahu.

Pada kehidupan kami sebelumnya, kami adalah musuh, tapi


sekarang kami adalah teman.

Dialah orang yang menyelamatkanku

Ia mengajariku seperti apa yang namanya kebahagiaan sejati.

Godou adalah pahlawanku.

Setiap kali bersamanya, aku merasa dibuat gugup, tetapi pada


saat yang sama, aku merasa bahagia. Setiap kali melihatnya, aku
menyadari bahwa dialah pria yang paling keren di dunia. Setiap kali
Ia menemukanku melakukan sesuatu yang konyol, meskipun
Godou menertawakanku, senyumnya tetap membuatku sangat
bahagia.

Perkataan saja tidak sanggup menggambarkan perasaan yang


kumiliki terhadapnya.

Tapi sepertinya Kirishima-san mengerti perasaanku.

“Mai-chan, kamu terlihat seperti seorang gadis yang sedang


jatuh cinta, apa kamu tidak menyadari itu?”

“Eh ….?”

Aku membeku sejenak, tidak tahu apa yang dia maksud dengan
itu.

Kemudian, dia mengeluarkan cermin tangan dan


mengarahkannya ke arahku.

Cermin itu memantulkan wajahku yang merah cerah dari


pangkal leher hingga ujung telingaku.

— 118 —
… Itu persis seperti ekspresi yang akan dibuat oleh seorang
heroine setiap kali dia memikirkan tentang sang pahlawan.

“Kamu mencintai Godou, bukan?”

Ketika dia bertanya padaku tanpa kepura-puraan seperti itu,


aku tidak bisa membuat alasan untuk menyangkalnya.

Selama ini, aku pura-pura tidak menyadari perasaan ini.

Padahal aku tahu persis apa perasaan ini. Perasaan yang


selama ini memenuhi hatiku.

Perasaan ingin bertemu dengannya, perasaan rindu akan


sentuhannya.

Aku ingin Ia memelukku erat-erat, menciumku dengan


bibirnya lagi…

Aku ingin menjadi kekasihnya.

Ketika Kirishima-san menghadapiku dengan berani seperti itu,


rantai yang menahan perasaan ini hancur berkeping-keping.
Dengan begitu, kesadaran datang kepadaku.

Aku kecewa pada diriku sendiri.

Aku tidak bisa mengakui perasaan ini.

Jika aku mengakuinya, aku takkan bisa memaafkan diriku


sendiri.

Karena Godou memintaku untuk menjadi temannya.

Ia mengulurkan tangan kepadaku untuk memulai hubungan


baru denganku. Sebuah hubungan yang penuh dengan kehangatan.

Jika aku meminta sesuatu yang lebih, aku justru akan


mengkhianati perasaannya.

— 119 —
Godou takkan mengatakan apa-apa, tapi aku tahu kalau dirinya
akan kesal jika mengetahui perasaanku. Itu sebabnya, akan lebih
baik bagiku untuk menyimpan perasaan ini untuk diriku sendiri.

“Tidak, aku tidak …”

Jadi aku menggelengkan kepala dan menyangkal perasaanku.


Itulah satu-satunya pilihan yang tersedia bagiku.

“Mana mungkin aku jatuh cinta padanya…”

Saat aku mengatakan itu, Kirishima-san menutup mulutnya


untuk waktu yang lama.

Tatapanku menghadap ke bawah, jadi aku tidak tahu wajah


seperti apa yang dia buat.

Dia mungkin merasa tidak nyaman karena nada suaraku keluar


dengan kuat.

“… Begitu ya. Maaf sudah menanyakan pertanyaan aneh


padamu.”

Dia meminta maaf dengan suara rendah.

“Aku juga. Maaf, aku tidak bermaksud menyangkalnya dengan


ngotot seperti itu… ”

“Tidak, jangan meminta maaf segala. Akulah yang bersalah di


sini. Kepo dengan perasaan orang adalah hal terburuk yang bisa
dilakukan seseorang…”

Suasana ceria Kirishima-san hilang.

Aku ingin menghiburnya, tapi karena kurangnya keterampilan


sosialku, jadi aku tidak tahu caranya.

Itu sebabnya aku meminta maaf padanya, berpikir kalau hal


tersebut mampu membuatnya merasa lebih baik. Tapi, senyum
cerianya tidak pernah kembali lagi.

— 120 —
“… Baiklah, itu saja. Sampai jumpa di bioskop nanti, oke?”

Dia tersenyum lemah dan berjalan pergi.

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menghentikannya

Bagian 3

(Sudut Pandang Godou)

Pada saat aku menyelesaikan shift kerja sambilanku, matahari


sudah terbenam.

Sekarang sudah jam 8 malam, tapi sepertinya sang mentari


tidak ingin berlama-lama lagi, meskipun seharusnya matahari
musim panas.

Hembusan angina sejuk mengacak-ngacak rambutku. Hanya


pada malam musim panas seperti ini aku akan menghargai
kekuatan angin Gunma. Berbeda dengan hari-hari musim panas di
mana itu hanya membuat hari lebih panas saat udara panas
berhembus, pada malam musim panas angin sepoi-sepoi bertiup
sejuk.

Aku memegang selebaran di tanganku, yang berisi


pemberitahuan untuk festival kembang api yang akan datang.
Beberapa waktu lalu, tepat sebelum aku meninggalkan restoran,
Kawasaki memberikannya padaku.

Festival Kembang Api Maebashi. Mereka mengadakannya


setiap tahun di Taman Shikishima dan aku selalu pergi
menontonnya bersama Hina. Butuh dua puluh menit dengan
sepeda untuk sampai ke sana dari rumahku dan tiga puluh menit
dengan sepeda untuk sampai ke sana dari tempat Shiina.

Festival tersebut diselenggarakan pada hari Sabtu depan, 13


Agustus.

— 121 —
Acara ini bisa menjadi alasan yang sempurna untuk mengajak
Shiina berkencan.

Walaupun aku sudah melihatnya beberapa hari yang lalu


selama perjalanan kolam renang, aku tidak sabar untuk bertemu
dengannya lagi.

Selama liburan musim panas ini, aku jarang bertemu


dengannya.

Yah, aku bertemu dengannya sesekali karena aku harus


mengobati kutukannya, tapi itu saja masih belum cukup.

Jika bisa, aku ingin melihatnya setiap hari.

Aku jadi merasa kangen dengan sekolah.

...Meski aku mengatakan itu, tapi aku mungkin akan malu jika
aku berduaan dengannya.

“Ba-Baiklah…”

Aku mengeluarkan ponselku dan membuka RINE-ku. Aku


membuka layar obrolanku dengan Shiina.

Sekarang, bagaimana aku harus mengundangnya? Mungkin


lebih baik kalau aku mengabaikan subjek tanpa berbelit-belit? Baru
pertama kalinya aku merasa bimbang ketika mencoba
mengiriminya pesan. Biasanya, aku hanya menyatakan urusanku
dengan jelas.

Bahkan setelah memeras otak beberapa saat, aku gagal


menemukan cara untuk mengajaknya kencan. Persetan dengan itu,
aku tinggal meneleponnya saja.

Aku membiarkan diriku terbawa suasana dan memanggilnya.


Hampir seketika, dia menjawab teleponku.

“H-Heya.”

— 122 —
{…Halo. Apa ada yang salah?}

Suaranya yang tenang mencapai telingaku.

“Aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu. Apa kamu ada


waktu luang hari Sabtu depan?”

{Sabtu depan? Yah begitulah. Sebenarnya, aku punya banyak


waktu luang.}

“Ah, be-begitu ya…”

Aku tidak tahu bagaimana perasaanku setelah mendengar


jawaban itu.

Bagaimanapun juga, aku harus mengatakannya terus terang.

“Jika kamu bebas, ayo pergi ke festival kembang api bersama.”

{Festival kembang api? …Ah, kalau dipikir-pikir, sekarang


sudah waktunya. ya.}

Gumam Shiina. Setelah itu, ada keheningan singkat.

Apa dia masih berpikir? Apa bayangan berada di keramaian


mengintimidasinya?

Keheningan beberapa detik terasa lebih lama dari yang


sebenarnya.

{Siapa lagi yang kamu undang?}

Butuh sedikit keberanian bagiku untuk menjawab


pertanyaannya.

“… Tidak ada. Aku hanya ingin pergi bersamamu.”

Apa dia menyadari arti dari kata-kata tersebut?

— 123 —
Dia mungkin tidak menyadarinya. Maksudku, kita sedang
membicarakan Shiina di sini, seseorang yang memiliki gangguan
komunikasi.

Mungkin karena aku merasa sangat gugup, tenggorokanku


terasa sangat haus. Aku menyeruput teh di tanganku.

{Hanya kita berdua? … A-Apa kamu mengajakku


berkencan ?!}

Aku hampir menyemburkan tehku.

Bertentangan dengan harapanku, dia segera menyadarinya.

“Y-Yah, kamu bisa mengatakannya seperti itu …”

Aku tidak bisa memikirkan tanggapan yang tepat. Kondisi


pikiranku sedang kacau balau.

{O-Oke… M-Maaf, aku salah paham maksud mu…}

Dia meminta maaf untuk beberapa alasan. Padahal dia sama


sekali tidak salah paham.

Aku benar-benar mengajaknya berkencan. Aku ingin


bersamanya.

Aku sangat ingin mengatakan kata-kata itu padanya, tapi aku


hanya bisa memberikan penegasan yang ambigu pada kata-katanya.

{A-Aku mengerti semuanya kalau begitu… Ba-Baiklah, aku


akan pergi denganmu…}

“O-Oke.”

Aku merasa sangat bersyukur dia setuju untuk pergi denganku,


tetapi sebagian dari kata-katanya membuatku merasa tidak nyaman.

Sayangnya, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk


meanyakannya.

— 124 —
Setelah itu, kami memutuskan waktu dan tempat untuk
bertemu dan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain.

“Baiklah, sampai jumpa lagi.”

{Aku tak sabar untuk itu.}

Suara Shiina yang tadinya terdengar sangat bahagia, tiba-tiba


berubah menjadi monoton.

{Kita akan tetap sebagai teman, kan?}

Ucapannya itu terasa seperti ditusuk oleh paku yang tak


terhitung jumlahnya.

Tapi ini mengenai Shiina, mana mungkin dia menggunakan


cara bertele-tele semacam itu untuk menolak ajakanku.

Aku masih punya kesempatan. Sudah pasti.

◇◇◇◇

Hari perayaan festival kembang api akhirnya tiba tanpa


kusadari.

Jadwal kerja sambilanku berakhir pada jam 3 sore. Aku selalu


melamun sepanjang hari sampai-sampai Kawasaki kagum bahwa
aku berhasil melewati hari tanpa kecelakaan. Aku bingung
menentukan apa yang harus dipakai untuk acara festival ini, tapi
pada akhirnya aku lebih memilih baju dan celana jins normal. Aku
berpikir untuk mengenakan jinbei, tapi kupikir Shiina mungkin
tidak akan memakai yukata. (T/N: Jinbei adalah pakaian musim
panas tradisional Jepang. Bagian atasnya terlihat seperti kimono,
tetapi bagian bawahnya adalah celana panjang. Pakaian yang
sering dipakai Gojou , MC dari Kono bisque doll koi wo suru)

— 125 —
Maksudku, dia mungkin pergi ke festival mengugunakan
sepeda, jadi mana mungkin dia akan mengayuhnya jika memakai
yukata. Gadis-gadis yang pergi ke festival mengenakan yukata
biasanya datang dengan kendaraan orang tua mereka, tapi karena
Shiina hidup sendirian, jadi mustahil dia akan mengenakannya.

Belum lagi lokasi perayaan festival itu kurang strategis karena


tidak ada stasiun kereta di dekatnya, jadi dia takkan datang dengan
kereta api.

Masih ada satu jam sebelum waktu yang dijanjikan, tapi aku
tidak tahan menunggu lagi, jadi aku mengambil sepeda dan
meninggalkan rumahku. Hari ini cuacanya cukup cerah, tapi
suhunya tidak sepanas biasa.

Kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi di


dekat taman tempat festival akan diadakan.

Semakin dekat aku mengayuh menuju tujuan, semakin ramai


orang-orang berjalan di jalanan.

Aku tidak terlalu suka berada di kerumunan, tapi aku juga


tidak benar-benar membenci suasana yang ramai ini.

Akhirnya, aku tiba di kedai kopi tiga puluh menit sebelum


waktu yang ditentukan.

Aku datang terlalu cepat, aku sendiri menyadari itu.

Aku harus membeli kopi atau sesuatu sambil menunggu


kedatangan Shiina.

Ketika sedang berpikir begitu, aku mendengar suara berlari


datang dari belakangku.

Ketika aku berbalik, aku melihat seseorang mengenakan yukata


merah cerah.

“Halo. Kamu datang lebih cepat, ya.”

— 126 —
Dia menata rambutnya secara berbeda dari biasanya.
Rambutnya disanggul dan dijepit dengan Kanzashi. (TN: Kanzashi
adalah jepit rambut tradisional.)

Ada senyum samar di bibirnya. Wajahnya tampak lebih cantik


dari biasanya karena riasannya.

Segala sesuatu tentang penampilannya tampak sangat


menyegarkan sampai-sampai aku menyatakan perasaanku yang
sebenarnya tanpa sadar.

— 127 —
— 128 —
“… Astaga, kamu terlihat sangat imut.”

“E-Eh….?!”

Dalam sekejap mata, wajahnya langsung memerah.

Dia terlihat lebih manis. Aku tidak bisa ... Aku hampir tidak
menahannya ...

Tapi sekali lagi, apa pun yang dia lakukan, dia selalu terlihat
lucu.

Aku mungkin telah mengalahkannya dalam kehidupanku


sebelumnya, tetapi dia benar -benar memilikiku dalam hidup ini.

“Ja-Jangan bercanda! Ay-Ayo masuk ke dalam!”

“Aku tidak bercanda... lagian, jika kamu datang ke sini lebih


awal dariku, kamu seharusnya menungguku di dalam."

“Aku baru saja tiba. Kupikir aku datang terlalu cepat, tapi
ternyata kamu sudah datang.”

Dia menatap wajahku dan tertawa ringan.

Kenapa dia terlihat sangat santai?! Aku merasa sangat gugup,


itu membunuhku!

Aneh sekali. Aku seharusnya menjadi orang yang


mengawasinya tersandung seperti orang bodoh, tapi mengapa aku
yang tersandung seperti orang bodoh?! Apa ini karena efek samping
cintaku padanya?!

“Ngomong -ngomong, bagaimana kamu bisa sampai di sini?


Kamu tidak mengendarai sepeda saat mengenakannya, bukan?”

Tetap saja, aku harus menyembunyikan keadaan pikiranku saat


ini darinya.

— 129 —
“Taksi.”

Oh iya, benar juga. Dia ‘kan gadis kaya!

Aku sampai kelupaan kalau dia bisa memanggil taksi kapan


saja. Aku penasaran seberapa banyak uang yang harus dia habiskan
untuk itu?

“Aku biasanya tidak naik taksi, tapi ...rasanya sangat


menyenangkan mengendarainya sesekali”, lanjutnya.

“Karena memakai yukata, kamu harus pakai taksi, ya?”

“Ya. Karena jaraknya jauh untuk sampai ke sini dengan


berjalan kaki.”

Dia bisa mengenakan pakaian normal dan datang ke sini


dengan sepeda, mengapa dia bersikeras mengenakan yukata?

Mungkin karena aku menatapnya untuk waktu yang lama, dia


melirik ke bawah untuk melihat yukata-nya.

“… Apa aku kelihatan aneh?”

“.. Aku baru saja mengatakan kalau kamu terlihat manis, ‘kan.”

“… Be-Benar juga, kamu sudah bilang begitu. Ma-Maaaf, ini


pertama kalinya aku mengenakan yukata.”

“Kenapa kamu memakainya? Maksudku, aku merasa senang


melihatmu memakainya, tapi, kamu tahu ...”

Oh sialan, lagi-lagi aku keceplosan.

“Ka-Kamu merasa senang? Be-Begitu ya ... ma-makasih ...”

Dia bergumam malu-malu.

— 130 —
Aku merasakan pipiku mulai memanas. Gawat, aku harusnya
lebih berhati–hati lagi. Aku tidak bisa membiarkan perasaan asliku
keluar lagi.

“Po-Pokoknya, aku melihat-lihat di internet


mengenai 'bagaimana menikmati festival kembang api bersama
teman-temanmu', dan di sana tertulis bahwa aku harus
mengenakan yukata, jadi aku menyiapkannya dengan terburu-
buru ... apa aku salah?”

“Eng-Enggak juga kok ... kamu tidak benar-benar harus


memakainya, tapi ada banyak orang yang melakukannya juga.”

Kami berhasil menemukan kursi kosong di dalam kedai kopi


yang ramai saat berbicara.

Tempatnya lumayan sejuk karena ada AC di dalamnya.

Aku memesan es kopi dan Shiina memesan teh apel.

Ketika es kopi pesananku tiba, aku menyeruputnya. Rasanya


pahit.

Shiina menatapku dengan keheranan.

“Kamu suka meminum kopi hitam?”

“Aku lebih suka yang hitam.”

Aku dulu menikmati menambahkan lebih banyak gula ke


dalam kopiku, tetapi belakangan ini, aku menemukan bahwa kopi
terasa lebih enak tanpa gula.

“Aku tidak terlalu suka hal-hal pahit seperti itu.”

“Aku tahu. Bahkan di kehidupan sebelumnya, kamu cuma


memakan makanan manis.”

Kami berhasil melakukan percakapan yang menyenangkan.

— 131 —
Aku melirik jam dan menyadari bahwa masih ada waktu
sebelum festival dimulai.

Kami bisa menghabiskan waktu di kios-kios yang ada di luar,


tetapi mengingat stamina Shiina yang lemah, akan lebih baik bagi
kami untuk tetap di sini saja. Maksudku, itulah alasan mengapa
kami memutuskan tempat ini sebagai tempat pertemuan.

Tentu saja, kami bisa mencoba untuk bertemu tepat sebelum


festival dimulai, tapi,…

Aku ingin bertemu dengannya lebih cepat.

Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

“… Untung saja cuaca hari ini cerah, ya.”

“…Benar, ‘kan? Aku yakin kembang apinya akan terlihat


cantik.”

“…”

“…”

Namun, kami segera kehabisan topik dan terdiam.

Kami akhirnya menghabiskan minuman kami dengan sangat


cepat karena kami menggunakannya untuk menutupi
kecanggungan yang ada di antara kami.

“… Oi, bukannya gadis yang ada di sana itu terlihat sangat


imut?”

“Woah, apa dia seorang idola?”

Mungkin karena kesunyian, aku bisa mendengar suara para


gadis mengobrol dari kejauhan.

“Lihat gadis itu, dia terlihat sangat imut…”

— 132 —
“Aku harus mencoba untuk merayunya.”

“Bukannya kamu harus fokus pada pacarmu yang duduk di


depanmu dulu?”

Aku bisa mendengar percakapan pasangan yang duduk dua


kursi dari kami.

Selain itu, aku merasakan tatapan yang tak terhitung


jumlahnya pada kami. Shiina sepertinya juga memperhatikan ini
saat dia tersenyum masam.

“… Apa mereka sedang membicarakanku?”

“Iya, sudah jelas begitu.”

Tidak peduli seberapa mindernya Shiina tentang dirinya


sendiri, ketika orang dengan jelas menunjukkan ketertarikan
mereka padanya seperti ini, dia pasti akan menyadarinya. Yah, dia
adalah gadis termanis di dunia, jadi jelas dia menonjol.

“Aku tidak terbiasa menerima tatapan seperti ini…”

“Itu mengejutkan.”

“Kalau saja mereka malah mencemoohku, itu akan membuatku


merasa lebih nyaman…”

“Itu justru mengagetkanku. Kupikir kamu akan menyukai


tatapan seperti ini.”

“Maksudku, ketika mereka melihatku seperti itu, rasanya


mereka menaruh banyak harapan padaku…”

Aku tidak tahu mengenai itu… Dia menatapku dan tersenyum.

“Kurasa aku sedikit memahami apa yang kamu alami pada


waktu itu …”

Ah, jadi dia berbicara tentang itu. Aku mengerti maksudnya.

— 133 —
Dulu pada kehidupanku sebelumnya, tatapan orang-orang
yang diarahkan kepadaku dipenuhi dengan harapan. Rasanya
sangat mencekik.

“Jika tatapannya dipenuhi dengan cemoohan, aku tidak perlu


khawatir tentang apa pun.”

Jika ada, kupikir dia hanya merasa mati rasa pada saat ini.

Orang normal tidak akan merasa baik dengan dicemooh oleh


orang lain.

“Ingat baik-baik, tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin
menyakitimu.”

“Apa begitu? Yah, meski begitu, setiap orang mempunyai suka


dan bencinya sendiri. Mungkin saja ada orang yang diam-diam
membenciku, dan kebetulan saja mereka tidak ada di sini saat ini.”

Dia ada benarnya.

“Tetap saja, semua orang yang kutemui sejauh ini sangat baik
hati…”

“Kamu harus menghargai mereka dengan baik, oke?”

Jika dia menghargai mereka, mereka juga akan menghargainya.

Ketika aku mengatakan ini padanya, dia menatapku dengan


tatapan kosong.

“Aku tahu. Nah, setelah mengalami kehangatan mereka, sulit


rasanya untuk melepaskannya… Itu membuatku merasa tidak ingin
sendirian lagi…”

Ada senyum lembut menghiasi wajahnya.

“… Aku tidak akan membiarkanmu sendirian.”

— 134 —
“Benarkah? … kalau begitu, maukah kamu berteman denganku
selamanya?”

Aku tidak bisa mengangguk pernyataan itu. Aku tidak ingin


kita tetap berteman.

“Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku takkan pernah


membiarkanmu sendirian lagi.”

Itu sebabnya aku mengulangi kata-kataku.

“Apa itu sebuah janji?”

“…Ya, aku berjanji padamu.”

Aku mengangguk dan menyodorkan kelingkingku padanya.

Dia kemudian menjalin kelingkingnya dengan kelingkingku.

Untuk beberapa alasan, dia tampak seperti akan menangis.

“Itu janji jari kelingking”, kataku.

Kemudian, dia bergumam,

“… Jika kamu mengingkari janji, aku akan mengutukmu untuk


dibakar selamanya di neraka.”

“Bukannya hukuman itu terlalu berat ?!”

Meski aku mmeprotesnya, tapi sejujurnya aku pikir itu terlalu


ringan.

“Aku bercanda. Seharusnya aku satu-satunya yang akan


terbakar selamanya di neraka.”

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan menyeretmu


ke surga bersamaku.”

“… Be-Begitu.”

— 135 —
“…”

“…”

“A-Ahem…”

Aku mengeluarkan batuk untuk menghilangkan suasana


canggung dan menarik kembali jari kelingkingku.

Melakukan hal-hal ala Jepang seperti ini adalah bukti bahwa


kami sudah terbiasa hidup di dunia ini.

Tiba-tiba, Shiina membuka mulutnya. Seakan dia mengerti apa


yang ada dalam pikiranku, dia berkata lalu,

“Yah, melakukan sebanyak ini seharusnya baik-baik saja.


Bagaimanapun juga, kita masih anak SMA.”

◇◇◇◇

Ketika kami meninggalkan kedai kopi, langit di atas sudah


berubah menjadi berwarna jingga.

Matahari akan segera terbenam dan terlihat sudah ada banyak


orang yang datang memadati jalanan.

Aku berjalan bersama Shiina menuju lokasi festival kembang


api.

Ada kios makanan yang berjejer di jalan-jalan dekat dasar


sungai.

Lentera menerangi jalan, menemani orang-orang yang lewat.

“Tempat ini sangat ramai.”

— 136 —
“Jadi, apa kamu ingin pulang sekarang?”

“Tidak. Berada di keramaian sesekali tidak terasa buruk juga.”

…Sesekali, ya? Kalau dipikir-pikir, tempo hari, kolam itu cukup


ramai.

Dia mungkin sedang bertingkah sungkan padaku. Aku harus


mengundangnya ke tempat yang lebih tenang lain kali.

Saat aku memikirkan hal itu, dia lalu bertanya padaku,

“Aku tidak sabar untuk melihat kembang api. Kapan


pertunjukannya akan mulai?”

“Hm… mungkin sebentar lagi, kurasa. Ayo beli sesuatu dulu


dari kios untuk menghabiskan waktu.”

“Aku sangat lapar”, tambahku sambil mengelus perutku.

Karena dia memakai geta dan cukup sulit untuk berjalan


sambil memakainya, aku memperlambat langkahku. (TN: Geta
adalah sandal jepit yang terbuat dari kayu dan memiliki tumit.)

Ketika aku melihat sekeliling, aku melihat lebih banyak


pasangan daripada yang kudugA. Tentu saja, keluarga atau siswa
yang berjalan berkelompok dapat dilihat di sana-sini, tetapi
dibandingkan dengan mereka, jumlah pasangan jauh lebih banyak.
Keberadaan mereka cukup menonjol karena mereka berjalan
sambil berpegangan tangan satu sama lain.

… Aku kemudian melihat tangan Shiina.

Tangan kecilnya sedang bebas.

Tunggu, kami belum berkencan! Rasanya masih terlalu dini


untuk mengambil tangan itu!

Tenanglah, diriku! Cepat singkirkan pikiran berdosa itu!

— 137 —
“Aku belum pernah pergi ke festival semacam ini dengan
seorang teman sebelumnya.”

Sementara itu, Shiina berjalan dengan gembira. Jika aku


meninggalkannya sendirian, dia mungkin akan mulai tersandung
dengan langkahnya.

… Dengan seorang teman, ya? Akulah yang menyuruhnya


menjadi temanku.

Serius, aku benar-benar bego. Aku seharusnya memintanya


untuk menjadi pacarku saat itu! Siapa tahu dia mungkin akan
mengangguk karena suasana saat itu!

“Ah, aku mau itu! permen kapas!”

Dia dengan bersemangat membeli permen kapas besar di salah


satu kios jajanan. Matanya berbinar saat melihatnya. Pria paruh
baya yang menjaga kios itu memandangnya dengan hangat.

Apa-apaan dia itu, memangnya dia anak SD? Yah, aku tidak
cukup jahat untuk mengatakannya di depan wajahnya saat dia
sebahagia ini.

Dia menjilati permen kapas. Bagaimana dia bisa terlihat imut


saat melakukannya?

Sepertinya dia berjuang karena ukurannya yang besar. Meski


demikian, dia tampak seperti sedang menikmati dirinya sendiri.

“Lezatnnya! Manis sekali~!”

“Tentu saja rasanya manis. Karena itu segumpal gula.”

“Be-Benar juga … Ap-Apa aku bakalan gemuk karena makan


ini?”

“Nikmati saja, jangan terlalu dipikirkan. Lagipula tidak apa-


apa bagimu untuk menjadi sedikit lebih gemuk, karena—”

— 138 —
Aku hampir mengatakan 'Kamu akan tetap terlihat
manis' padanya, tapi aku berhasil menahan diri di saat-saat
terakhir. Aku terus mengulanginya sendiri, tapi dia sangat imut hari
ini. Namun, rasanya memalukan untuk mengatakannya berulang
kali.

“Karena ….?”

Dia menungguku untuk melanjutkan perkataanku.

“Bu-Bukan apa-apa…”

Ketika aku mencoba mengabaikannya, dia tampak sedikit


jengkel.

“Jika aku bertambah gemuk, wajah cantikku akan hilang, aku


tahu sebanyak itu, oke?”

“Jadi kamu menyadari kalau kamu imut, ya.”

“Ba-Bawel! Karena semua orang terus mengatakan bahwa aku


imut, jadi mau tak mau aku tetap menerimanya!”

Aku memanggilnya dengan sebutan imut lagi. Wajahnya


menjadi merah cerah.

Serius, aku harus berhenti.

Kalau melakukannya lebih dari ini, aku akan mati karena malu.

… Pokoknya, aku lapar. Aku juga harus membeli sesuatu.

“Aku mau membeli yakisoba dulu.” gumamku.

Shiina kemudian memutar kepalanya untuk melihat berbagai


kios.

“Kalau begitu aku akan membeli okonomiyaki.”

— 139 —
“Kamu masih mau makan lagi? Kali ini kamu akan benar-benar
gemuk, loh.”

“Mana mungkin permen kapas cukup untuk mengisi perutku!"

Shiina mengerang sebelum pergi ke kios okonomiyaki.

Aku berpisah dengannya untuk membeli yakisoba sebelum


kembali ke sampingnya lagi.

“Di mana kita akan makan?”

“Karena sebentar lagi akan segera dimulai, kita harus mencari


tempat yang layak untuk melihat kembang api.”

Banyak orang sudah menempati padang berumput di pinggir


jalan.

Karena aku membawa seprai, aku hanya perlu mencari tempat


kosong.

Saat aku berjalan menuju tempat yang tidak terlalu ramai,


Shiina menghentikanku.

“… Ah.”

“Apa ada yang salah?”

Aku mengikuti arah pandangan Shiina, lalu mendapati Shinji


dan Yuuka di sana.

Mereka begitu dekat satu sama lain. Atau bisa dibilang, mereka
praktis menempel satu sama lain.

Yuuka menyadari keberadaan kami dan segera menjauh dari


Shinji.

“Ka-Kalian juga ada di sini? Ke-Kebetulan sekali, ya!”

— 140 —
Yuuka mengatakan itu dengan wajah merah cerah. Matanya
berkeliaran seperti penjahat yang bersalah. Dia perlu bertingkah
tenang.

Sementara itu, Shinji hanya mengangkat bahunya dengan


tenang saat melihatnya. Bagaimana orang kampret ini bisa begitu
tenang?

“Ha-Halo.”

Shiina membungkuk saat dia menyapa mereka.

Setelah melihat keduanya secara bergantian, dia sedikit


memiringkan kepalanya.

“… Apa kalian berdua pacaran?”

Pertanyaan yang begitu blak-blakan dan langsung yang sama


sekali mengabaikan usaha Yuuka untuk menyembunyikan
semuanya.

“A-Ahaha… Kami belum pacaran…”

Bagian 'belum' diucapkan dengan suara kecil. Sejujurnya, tadi


itu kedengarannya lucu.

“Oh, benarkah?”

Tanya Shinji dengan nada menggoda.

Nah, setelah melihat apa yang mereka lakukan, sulit dipercaya


bahwa mereka belum berpacaran.

“K-Kamu bisa diam dulu sebentar enggak!”

Yuuka mati-matian berusaha menutup mulutnya, tapi Shinji


berhasil menghindarinya.

Mereka masih melakukan lakon yang biasa.

— 141 —
Kemudian, Yuuka berdehem dan mencoba mengganti topik
pembicaraan.

“Pokoknya! Kamu terlihat imut dengan yukata itu, Mai-chan!”

“B-Benarkah?”

“Aku juga harus memakai yukata. Aku ingin berfoto


denganmu…”

“Kamu tidak perlu memakai yukata untuk melakukan itu…”

Shiina menarik ponselnya dan membuka kameranya.

Yuuka tersenyum ketika melihat itu dan keduanya melanjutkan


untuk berfoto selfie.

Sementara itu, Shinji dan aku sibuk mengagumi keduanya.

“Jadi, sejak kapan? Aku perhatikan kalian berdua menjadi


lebih baik akhir-akhir ini.”

“Sejak awal liburan musim panas. Dia sudah menyukaiku


untuk sementara waktu dan dia baru saja mendapatkan keberanian
untuk menembakku.”

Sikap sombongnya adalah tipikal khas dari dirinya.

Yah, memang benar Yuuka sudah lama menyukainya.

“… Tapi dia bilang kalau kalian tidak berpacaran.”

“Maksudku, itu benar. Karena aku belum memberinya


jawaban.”

“… Namun kamu menggodanya di tempat terbuka seperti ini?”

“Aku akan membalasnya malam ini. Aku banyak


memikirkannya dan aku pikir aku menyukainya, jadi yeah.”

— 142 —
Shinji memiliki ekspresi yang luar biasa serius.

Ekspresinya yang serius membuatnya terlihat keren. Ia jarang


menunjukkan wajah seriusnya seperti ini, sungguh menyia-nyiakan
ketampanannya.

“Begitu rupanya, ya.”

“Kamu sendiri bagaimana?”

Ia bertanya balik padaku.

“Hina Dimana? Bukannya kamu biasanya pergi bersama


dengannya?”

“Aku mengundang Shiina sebagai gantinya. Ya, aku sudah


memberi tahu Hina tentang itu, tapi dia mengatakan bahwa dia
ingin pergi dengan teman-temannya hari ini.”

Karena aku selalu pergi dengan Hina, aku merasa perlu


memberitahunya. Tapi, sepertinya itu tidak perlu karena dia
berencana untuk pergi bersama teman-temannya.

Kurasa aku terlalu kepikiran saja.

Dia mengatakan kepadaku untuk melakukan yang terbaik


malam ini.

Sepertinya dia sudah menyadari dengan apa yang aku coba


lakukan.

Begitu ya.”

Shinji menyandarkan tubuhnya di pagar pinggir jalan dengan


sebotol ramune di tangannya.

Ia lalu membuka botol itu.

“Apa kamu beneran baik-baik saja dengan itu?"

— 143 —
Entah bagaimana aku memahami apa ingin yang Shinji
sampaikan.

Setelah aku menyadari apa itu cinta, aku menjadi sadar akan
perasaan yang diarahkan Hina kepadaku.

“Kamu tidak berpikir kalau dia beneran menyemangatimu


ketika dia mengatakan itu, kan?”

“… Aku menyadari kalau dia memalsukan senyumnya.”

Dia sepertinya telah berlatih membuat senyum palsu.

“… Kamu menyukai Shiina Mai, ya?”

“…Ya.”

Shinji mengangguk, sebelum melirik ke arah langit malam


sambil menyeruput ramune-nya.

Matahari sudah lama menghilang dari langit. Langit malam


yang dipenuhi bintang-bintang kini menghiasi cakrawala.

“Jika memang itu masalahnya, aku takkan mengatakan apa-


apa lagi.”

Shinji lalu meninggalkan sisiku dan bergabung dengan Yuuka,


yang sedang bermain dengan Shiina.

“Ayo pergi. Kembang apinya akan segera dimulai.”

“E-E-Eh? T-Tunggu…”

Shinji dengan santainya merangkul bahu Yuuka.

Yuuka menegang karena tindakannya, sementara itu, wajah


Shiina memerah setelah dia melihat ini.

“Sampai jumpa, Godou, Shiina.”

— 144 —
Sementara itu, Shinji mengabaikan kedua reaksi tersebut dan
pergi bersama Yuuka.

Yuuka yang biasanya akan memarahi Shinji, sepertinya


membiarkannya melakukan apapun yang Ia inginkan.

Shiina memperhatikan kepergian mereka dengan penuh minat.

“…A-Aku baru saja melihat sesuatu yang luar biasa.”

“Yah, jika mengenai mereka berdua, itu tinggal masalah waktu


saja.”

“Be-Benarkah? …A-Aku tidak menyadari bahwa mereka


mengalami hal seperti itu…”

Yah, dia belum lama pindah ke sini, jadi tentu saja dia tidak
menyadarinya.

“Ngomong-ngomong, perkataan Shinji ada benarnya,


pertunjukan kembang apinya akan segera dimulai.”

Kami bergegas mencari tempat kosong di rerumputan dan


meletakkan seprai di atasnya. Mungkin karena sprei kami tidak
terlalu lebar, bahu kami jadi saling bersentuhan.

Sambil memakan yakisoba aku, aku melirik Shiina.

Dia meniup okonomiyaki miliknya untuk mendinginkannya.

Ketika dia menyadari tatapanku, dia memalingkan wajahnya


dan berkata, “Bisa tidak jangan terlalu sering menatapku?”

Jadi, aku mematuhinya dan fokus memakan yakisobaku.


Setelah beberapa saat, aku menyadari kalau dia sedang menatapku,
jadi aku balas menatapnya. Ketika tatapan mata kami saling
bertemu, dia mengalihkan pandangannya.

Aku menatapnya lebih lama. Kemudian, dia balas menatap lagi


dan memalingkan wajahnya lagi.

— 145 —
Apa sih yang sedang kami lakukan? Yah, karena ini terasa
menyenangkan, jadi aku tidak keberatan.

Bahkan suasana ramai di sekitar kami terasa sangat nyaman.

Kami tidak berbicara, tapi entah bagaimana rasanya begitu


memuaskan.

Setelah menghabiskan makanannya, Shiina meminum teh


hijau yang dibelinya dari mesin penjual otomatis.

Aku lalu dengan lembut meletakkan tanganku di tangannya


yang lain yang tergeletak di tanah.

Karena merasakan sentuhanku, bahunya bergetar.

Kemudian, dia menatapku dengan malu-malu.

“A-A-A-Apa? A-Apa yang kamu lakukan?”

Pertanyaan bagus. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang


kulakukan juga.

“U-Um… Kau tahu, penyembuhan kutukan itu? A-Aku berpikir


untuk melakukannya sekarang.”

“Tapi bukannya sulit untuk berkonsentrasi di tempat seperti


ini?”

“Benar sih…”

Alasan yang berhasil aku temukan ditolak oleh argumen


logisnya yang tidak biasa.

Meski begitu, aku tidak melepaskan tanganku dan dia juga


tidak menepisnya.

Untuk beberapa alasan, dia terlihat sedih. Seolah-olah dia


mencoba memberitahuku sesuatu.

— 146 —
Pada saat itu, kembang api pertama ditembakkan.

Kami berdua memandangi langit malam.

Seberkas cahaya membumbung menembus langit malam.

Dengan ledakan keras, percikan besar dilepaskan.

Rasanya seperti percikan api akan menghujani kami.

Aku bisa mendengar sorakan orang-orang di sekitarku,


bersamaan dengan tepuk tangan yang meriah.

Cahaya yang menerangi langit malam yang gelap dalam sekejap,


memudar dalam sekejap juga. Kemudian tempat itu diselimuti
keheningan.

“Cantik sekali…”

Gumam Shiina dengan tenang.

Pipinya tampak rileks, tapi ekspresi wajahnya tampak seperti


akan menangis.

Kemudian, rentetan kembang api dilepaskan secara beruntun.

Satu demi satu, mereka meledak berturut-turut, diiringi sorak-


sorai dari para penonton yang melihatnya.

Kembang apinya pasti indah untuk dilihat jika orang banyak


menjadi liar seperti ini.

Aku tidak pernah tahu seberapa indahnya kembang api


tersebut karena mataku tidak pernah lepas dari sisi Shiina.

◇◇◇◇

— 147 —
Setelah beberapa saat, suara kembang api yang keras perlahan-
lahan berhenti.

Aku memalingkan muka dari Shiina dan melihat percikan api


terakhir yang tersebar di atas langit.

Aku akhirnya hanya melihat percikan pertama dan terakhir.


Tapi aku tidak menyesal karena aku harus menghabiskan waktu
duduk di sebelah Shiina. Secara keseluruhan, aku sudah merasa
puas.

Bagaimana dengan Shiina?

Aku penasaran apa dia merasakan hal yang sama denganku?

Seraya berpikir begitu, aku kembali mengalihkan pandanganku


ke arahnya dan melihat setetes air mata mengalir di pipinya.

Kemudian, tetesan air meluncur melalui pipinya yang halus


dan jatuh ke tanah.

Dia sedang menangis.

“… Shiina?”

“… Bisakah kamu menjauhkan tanganmu?”

Aku mengangkat tanganku yang diletakkan di atas tangannya.

Kehangatannya masih melekat di telapak tanganku.


Bagaimanapun juga, aku telah memegang tangannya untuk waktu
yang lama.

Shiina menggelengkan kepalanya.

“Kita tidak boleh melakukan ini. Kita berdua berteman, iya ‘kan?
Sesama teman seharusnya tidak melakukan hal seperti ini…”

— 148 —
Dia benar.

Kami berdua berbeda dengan Shinji dan Yuuka. Kami


seharusnya tidak boleh sedekat itu.

“… Berhentilah melakukan hal-hal yang akan menyebabkan


kesalahpahaman.”

Ujar Shiina sebelum dia mengambil jarak dariku.

“Aku tidak ingin mengkhianatimu…”, lanjutnya.

Di antara orang-orang yang tenggelam dalam sisa-sisa


kembang api, kami adalah satu-satunya yang terisolir dari yang
lainnya.

“…Maaf.”

“… Kamu tidak perlu meminta maaf segala.”

Setelah itu, aku tidak pernah meliriknya lagi.

Aku tidak tahu wajah seperti apa yang dia buat.

Bagaimanapun, kami mencapai tujuan kami hari ini, menonton


kembang api.

Jadi, kami kembali pulang ke rumah masing-masing. Shiina


memanggil taksi dan aku pergi ke tempat parkir untuk mengambil
sepedaku.

Aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya


berkencan, tetapi entah bagaimana ujung-ujungnya menjadi sangat
salah.

Shiina menolak untuk membiarkanku menjadi lebih dekat


dengannya.

Kurasa itu berarti dia hanya menyukaiku sebagai teman. Dia


tidak memiliki keterikatan denganku secara romantis.

— 149 —
Dengan kata lain, aku sudah ditolak oleh Shiina.

Aku membutuhkan waktu beberapa jam untuk menerima


kenyataan itu.

Bagian 4

(Sudut Pandang Shiina Mai)

Teks akuan film mulai diputar.

Beberapa suara isak tangis terdengar dari sekeliling kami.


Sepertinya ada banyak orang yang tersentuh dengan film tersebut.

Aada banyak yang mengatakan kalau film ini adalah salah satu
film romantis paling populer dan aku tahu alasannya. Kualitas
produksinya tinggi dan dua karakter utamanya gampang disukai.
Tapi menurut pendapat pribadiku, rasanya agak kosong.

Saat ruangan menjadi cerah, kesunyian berangsur-angsur


pecah.

“Tadi itu sangat menakjubkan…” ujar Shindou-san sambil


tersenyum.

Sementara itu, Kirishima-san masih menangis sangat keras


sampai-sampai aku bahkan tidak tahu apa yang ingin dia katakan.

“Hiks… Tadhi… byagus banghet….!”

Mendengar isak tangisnya, Shindou-san terkikik.

“Tenanglah dulu. Ini, gunakan saputanganku.”

Kirishima-san menyeka air matanya dengan sapu tangan.


Dalam situasi normal, kemungkinan besar aku akan menangis
sekeras dirinya, mengingat kualitas filmnya yang sangat bagus.

— 150 —
Tetapi situasiku yang sekarang sedang tidak normal. Ada
sesuatu yang menggangguku, jauh di lubuk hatiku.

Rasanya seperti aku melihat diriku sendiri dari dalam sangkar.

Penyebab dari perasaan ini kemungkinan besar adalah malam


festival kembang api.

Pada hari itu, Godou dan aku menonton kembang api bersama
sambil bergandengan tangan.

Saat itu, aku merasa sangat bahagia.

Aku menyadari seberapa besar aku mencintainya.

Tapi, aku harus menekan perasaanku yang menjadi lebih besar


dari saat ini.

Berkat itu, hatiku terasa hampa akhir-akhir ini.

“… Aku jadi lelah menangis.”

Mata Kirishima-san membengkak saat dia menjatuhkan


tubuhnya ke kursinya.

Shindou-san mengangkat bahunya. Sementara itu, aku terkikik


melihat pemandangan itu.

Aku merasa iri dengan empati Kirisihma-san, meskipun aku


tidak menginginkannya sekarang.

“Pokoknya, mari kita istirahat dulu.”

Baik aku maupun Kirishima-san tidak keberatan dengan


usulan Shindou-san.

◇◇◇◇

— 151 —
Teater bioskop yang kami kunjungi terhubung dengan pusat
perbelanjaan, jadi area makanan berada dalam jarak berjalan kaki.
Sesampainya di sana, sebagian besar kursi sudah terisi oleh pelajar
seperti kami. Untungnya, kami berhasil menemukan tempat duduk
kosong di dekat jendela. Karena haus, aku membeli teh, sedangkan
Shindou-san dan Kirishima-san membeli jajanan crepes. Aku tidak
memesan makanan apa pun karena aku sudah makan siang
sebelum menonton film dan—

Aku seharusnya tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku akan


membuat diri aku merasa tertekan.

“Mm! Rasanya sangat lezat! Makanannya enak, filmnya bagus,


liburan musim panas memang waktu terbaik untuk menikmati
hidup!”

Kirishima-san terlihat sangat senang saat mengatakan itu.

“Tapi, kamu harus melakukan kegiatan klubmu besok ‘kan,


Hina?”

“Jangan ingatkan aku tentang itu! Aku sudah berusaha untuk


mengalihkan pikiranku dari itu!”

“Haha~ Kasihan banget~ Untung saja aku dan Mai-chan


adalah anggota klub langsung pulang ke rumah~”

Shindou-san tersenyum padaku.

“Ya. Aku tidak memiliki pekerjaan sambilan atau kegaiatan


lainnya, jadi aku hanya menghabiskan keseharianku dengan
membaca.”

“Kalau aku sih, aku masih pergi jala-jalan dengan teman-


temanku yang lain setiap hari.”

— 152 —
Shindou-san selalu memiliki suasana tenang dan santai di
sekitarnya. Itu membuatku merasa nyaman.

“… Atau tidak, itu bohong. Sebenarnya, aku menghabiskan


hari-hariku dengan bermalas-malasan di kamarku.”

“Hahaha, aku juga. Selain membaca, aku bermalas-malasan


sambil menonton video acak di MeTube.”

Aku mengangguk pada kata-kata Yuuka-san.

Sementara itu, Kirishima-san menatap kami dengan cemburu.

“Kamu bisa saja keluar dari klubmu, tetapi kamu tidak ingin
melakukan itu, kan?”

“…Ya. Maksudku, rasanya menyenangkan dan aku ingin


menang…”

Suara Kirishima-san terdengar lebih rendah dari biasanya, tapi


itu membuatnya terdengar lebih keren.

“Keren abis.”

Ketika aku tanpa sadar mengatakan apa yang ada di pikiranku,


Kirishima-san menggelengkan kepalanya dengan malu-malu dan
berkata, “Ja-Jangan menggodaku seperti itu.”

“Ma-Manis sekali…”

“A-Aku menyuruhmu berhenti!”

“Haha, Mai-chan tahu bagaimana menghadapi Hina


sekarang~”

“Tapi aku hanya mengatakan yang sebenarnya padanya.”

“Ngh!”

Reaksi Kirishima-san cukup ekstrim.

— 153 —
Aku terkejut dengan itu, tapi Shindou-san hanya menatapnya
dengan tenang. Setelah beberapa saat, Kirishima-san terbatuk
dengan wajah merah dan mencoba mengganti topik pembicaraan.

“Ngomong-ngomong, kupikir kamu sibuk dengan sekolah


bimbelmu, Yuuka?”

“Tidak juga. Aku hanya perlu menghadirinya tiga kali seminggu,


jadi aku punya banyak waktu luang.”

“… Kamu mengikuti sekolah bimbel, Shindou-san?”

“Yah begitulah. Maksudku, kita sudah kelas 2 sekarang dan


setelah liburan musim panas, kita akan memasuki semester kedua.
Sudah waktunya untuk memikirkan ujian masuk universitas kita.
Kupikir aku akan lebih banyak belajar, jadi aku memutuskan untuk
menghadiri sekolah bimbel saat ini.”

“Aku memicu percakapan yang menjengkelkan…”

Kirishima-san menutupi kedua telinganya dengan tangannya.


Tapi karena Kirishima-san yang sedang kita bicarakan, meskipun
dia bertingkah seperti ini, dia mungkin belajar dengan baik setiap
hari.

Sementara itu, soal ujian masuk perguruan tinggi tidak pernah


terlintas di dalam pikiranku.

Sebenarnya, aku tidak pernah benar-benar memikirkan masa


depanku.

Bagaimanapun, aku tahu sendiri kalau aku takkan pernah


bahagia dalam kehidupanku. Penyihir bukanlah eksistensi yang
pantas untuk bahagia, jadi tidak ada gunanya memikirkan masa
depan. Tapi, sekarang aku menyadari bahwa aku diperbolehkan
untuk bahagia, berkat Godou.

Ketika memikirkan tentang Godou, dadaku mulai terasa sakit.

— 154 —
Masa depan… kebahagiaanku…

Aku membayangkan adegan yang membuatku merasa paling


bahagia.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk membayangkannya.


Bagaimanapun juga, itu adalah keinginan terbesarku.

Untuk menjadi kekasih dengan Godou. Adegan di mana kami


memperlakukan satu sama lain dengan penuh kasih sudah cukup
membuatku merasa bahagia.

“…Mai-chan?”

Suara Kirishima-san membawaku kembali ke dunia nyata.

“Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat murung tadi.”

Shindou-san juga menatapku dengan ekspresi khawatir.

“Maaf, aku harus pergi ke toilet…”

Aku berhasil menipu mereka dengan senyuman dan melarikan


diri ke toilet.

Pokoknya, aku harus tenang dulu.

◇◇◇◇

Aku duduk di bangku dekat toilet dan menghela nafas panjang.

Setelah banyak berpikir, emosiku yang kacau sebelumnya


berangsur-angsur menjadi tenang.

… Tinggal sedikit lagi, dan aku akan kembali normal lagi.

— 155 —
Emosiku yang meluap-luap ini bisa ditampung di dalam
sangkar.

Sebagai seorang penyihir, menekan emosiku sendiri


merupakan sesuatu yang aku kuasai.

Tapi sebelum itu…

“…Mai-chan.”

Kirishima-san memanggilku.

“Maaf, apa aku membuatmu khawatir?”

“Jangan meminta maaf segala”

Suaranya terdengar begitu lembut dan kemudian duduk di


sampingku.

“Sepanjang hari ini kamu terlihat melamun terus.”

Jadi dia menyadarinya, ya…

“Ah, aku bukannya marah padamu atau semacamnya, kok. Apa


terjadi sesuatu antara kamu dengan Godou…?”

Aku tidak bisa memberinya jawaban. Sepertinya dia


menganggap diamku sebagai penegasan.

“Kamu pergi ke festival kembang api bersamanya, bukan?”

“…Ya. Apa Ia sendiri yang memberitahumu?”

“Ya. Karena kami selalu pergi ke sana bersama, Ia mungkin


berpikir lebih baik memberitahuku tentang itu.”

…Aku penasaran mengapa Godou perlu memberi tahu


Kirishima-san dulu kalau Ia lebih memilih untuk pergi bersamaku
ketimbang dirinya.

— 156 —
Namun demikian, perkembangan seperti ini bukanlah sesuatu
yang aku inginkan.

“…Aku tidak tahu.”

Aku merasa bodoh karena membiarkan diriku menuruti


keinginan kotor seperti itu. Pokoknya, setelah menegaskan kembali
hubunganku dengan Godou, suasananya mulai membaik.

Godou adalah temanku, tidak kurang maupun kurang.

'Jadilah temanku.'

Kata-kata tersebut menyelamatkan aku waktu itu.

Aku ingin menghargai perasaannya, kata-kata yang dia pilih


untuk mendefinisikan hubungannya denganku.

Itulah mengapa aku harus meninggalkan kesombonganku,


keinginanku untuk menjadi kekasih dengannya.

“… Begitu rupanya. Jadi Godou gagal, ya.”

“… Gagal?”

Perkataan Kirishima-san membuatku bingung. Aku


memiringkan kepalaku dan bertanya padanya.

Alih-alih menjawabku, dia mengedipkan matanya karena


terkejut.

“Jangan bilang … Kamu belum menyadarinya?”

“?”

Aku memiringkan kepalaku lebih dalam, sampai-sampai


leherku sakit.

Begitu melihat responku, Kirishima-san meletakkan tangannya


di dagunya.

— 157 —
“Kurasa bukan ide yang bagus jika aku memberitahumu. Aku
akan diam untuk saat ini.”

“… Karena kamu sudah memberitahuku sebanyak ini, tidak adil


membuatku penasaran seperti itu.”

“Maaf. Masalah di antara kalian berdua berjalan berbeda dari


yang kukira … ”

Lagi-lagi dengan kata-kata yang gagal aku mengerti.

Sepertinya dia tahu sesuatu tentang Godou yang tidak kusadari.


Sejujurnya, itu membuatku sedikit kesal, tapi perasaan itu ditekan
oleh kecemasanku.

“…Kirishima-san, bagaimana pendapatmu tentang Godou?”

Kata-kata itu meluncur dari mulutku.

Aku tidak tahu mengapa aku mengajukan pertanyaan itu.

Tapi, aku merasa jika aku kembali ke masa lalu, aku masih
akan menanyakan pertanyaan yang sama padanya.

Keheningan menyelimuti kami.

Kemudian, Kirishima-san tersenyum. Ada semburat kesepian


dalam senyuman itu.

“…Apa maksudmu bertanya begitu?”

“Kamu tahu…”

Kupikir pertanyaan aku cukup jelas.

Padahal, aku tahu apa jawabannya. Tidak perlu bagiku untuk


menanyakan pertanyaan ini sama sekali sejak awal.

— 158 —
“Apa kamu bertanya padaku apa aku menyukainya sebagai
seorang pria?”

Pertanyaannya membuatku membeku di tempat. Aku tidak


bisa menggerakkan mulutku untuk menjawabnya.

“Kenapa kamu menanyakan itu padaku?”

“Aku hanya penasaran…”

“Bukannya berarti kamu juga menyukainya, kan, Mai-chan?


Jadi kenapa?”

Benar, aku mengatakan itu padanya saat itu.

Sehari sebelum festival kembang api, aku memberitahunya


kalau aku mana mungkin jatuh cinta pada Godou.

“… Yah, memang, aku tidak menyukainya.”

Aku hanya bertanya karena penasaran, tidak lebih.

Seharusnya tidak ada yang lebih dari itu, iya ‘kan?

“Kalau gitu…”

Kirishima-san berhenti di tengah kalimat.

Dia tampak ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.


Memangnya ada yang salah?

Aku mendongak dan melihatnya menatapku dengan wajah


serius.

“… Apa kamu tidak keberatan alau aku berpacaran dengan


Godou?”

Aku langsung terkesiap dan nafasku tertahan.

— 159 —
Membayangkan pemandangan itu saja sudah terasa
menyakitkan.

Tetap saja, tidak peduli berapa kali aku memikirkannya,


mereka berdua sangat serasi satu sama lain.

Dia adalah orang yang sempurna untuk berdiri di samping


Godou.

Berbeda dengan diriku yang selalu membutuhkan bantuannya,


Kirishima-san adalah seseorang yang bisa membantunya kapanpun
Ia membutuhkannya.

Mereka sudah saling mengenal sejak mereka masih kecil.


Mereka adalah teman masa kecil.

Bukannya itu hal yang membahagiakan jika mereka bisa


bersama?

“… Silakan saja.”

Godou sudah memberiku kebahagiaan.

Jadi, aku harus memberinya kebahagiaan sebagai balasannya.

Kirishima-san seharusnya bisa memberinya kebahagiaan yang


lebih besar daripada yang bisa kulakukan.

Ini akan menjadi perkembangan terbaik.

Akhir yang bahagia untuknya.

Setelah banyak berpikir, inilah jawaban terbaik yang bisa


kudapatkan.

“Untuk menjawab pertanyaanmu sebelumnya…”

Untuk beberapa alasan, Kirishima-san terlihat seperti akan


menangis.

— 160 —
Tapi, dia berhasil menahannya. Dengan nada yang kuat, dia
terus melanjutkan,

“Aku mencintainya. Aku mencintai Shiraishi Godou. Dari


semua orang di dunia ini, aku paling mencintainya.”

Aku tahu itu.

Tapi mengapa kata-katanya lebih menyakitiku daripada


tebasan pedang?

Namun, aku harus menanggung rasa sakit ini. Itu adalah


hukumanku karena memendam perasaan seperti itu.

“… Maafkan aku, Mai-chan.”

Untuk beberapa alasan, Kirishima-san meminta maaf


kepadaku dengan suara bergetar.

Mengapa kamu membuat wajah seperti itu? Mengapa kamu


meminta maaf kepadaku?

Aku tidak paham. Aku hanya ingin cintanya terbalaskan.

Dia mengenal Godou lebih baik dariku, dia mengenalnya lebih


lama dariku, dia pantas mendapatkan hal ini.

Jadi, aku menyemangatinya dan berkata, “Semoga berhasil.”

◇◇◇◇

Di sana tergeletak tubuh pahlawan tanpa kepala.

Tidak, dirinya sudah bukan pahlawan lagi. Sebaliknya, itu


adalah tubuh tanpa kepala dari seorang pria bodoh yang
mengkhianati dunia karena terlena oleh rayuan si penyihir.

— 161 —
Rupanya, Ia dipenggal di panggung eksekusi di alun-alun kota.

Algojonya adalah seseorang dari gereja dan warga


menyaksikan eksekusinya.

Alun-alun, yang tadinya hiruk pikuk, tiba-tiba diselimuti


kesunyian setelah kemunculanku yang tiba-tiba.

Setelah aku diberitahu tentang eksekusi pahlawan, aku


langsung melakukan teleportasi ke sini.

Aku berdoa supaya aku tidak terlambat, tapi sepertinya itu sia-
sia.

“Sungguh bodoh sekali…”

Aku bergumam dengan darah mengalir dari ujung mulutku.

Dari sisiku, darah mengucur deras karena luka dalam yang


kuderita.

…Sepertinya aku akan segera bergabung dengannya.

Setelah aku mendengar tentang eksekusinya, musuhku


menggunakan celah kesempatan itu untuk melakukan serangan
fatal padaku.

Para penjaga keamanan yang akan menahanku berhenti


setelah melihat lukaku. Mereka mungkin bertanya-tanya,
bagaimana mungkin aku masih hidup. Semua orang menatapku
seolah-olah mereka sedang melihat seseorang yang menakutkan.

Di hadapan tatapan itu, aku berlutut di samping sang pahlawan.

Bahkan di akhir hidupnya, Ia gagal mencapai kebahagiaan.

Semua itu karena dirinya mencoba menyelamatkanku. Kalau


saja Ia memilih pilihan yang tepat saat itu, untuk membunuhku,

— 162 —
dirinya mungkin hidup dalam kebahagiaan sekarang. Padahal ini
bukanlah jenis akhir yang kuinginkan.

Tapi sekali lagi, aku mungkin takkan bisa membuatnya bahagia.

Dan hal yang sama berlaku untuknya, Ia takkan bisa


membuatku bahagia.

Tetap saja, mungkin kita bisa menderita melalui


ketidakbahagiaan bersama.

Lambat laun, kesadaranku memudar dan aku jatuh tergeletak


di samping mayatnya.

Darahnya ditutupi oleh darahku.

“… Semoga kehidupanmu berikutnya bisa merasakan


kebahagiaan.”

Dengan kekuatan terakhirku, aku merapalkan sihir reinkarnasi


padanya.

Itulah akhir dari ingatan kehidupanku sebelumnya.

Itulah akhir dari cerita kami. Sebuah akhir yang buruk.

Begitulah akhir dari penyihir yang membawa ketidakbahagiaan


kepada orang-orang di sekitarnya.

— 163 —
Bab 3 — Akhir dari Cinta Pertama

Liburan musim panas telah usai dan semester kedua pun


dimulai.

Ketika aku memasuki ruang kelas, pandangan mataku bertemu


dengan Shiina yang sudah duduk di kursinya.

“…Yo.”

“…Selamat pagi.”

Aku memanggilnya, tapi dia menundukkan kepalanya dan


menghindari tatapanku.

Setelah membalas sapaanku, dia mengalihkan fokusnya


kembali ke novel yang ada di tangannya. Sepertinya dia tidak ingin
berbicara denganku.

Sejak festival kembang api, dia sudah bertingkah seperti ini


terhadapku.

Dia terus menghindari membuat kontak denganku.

Kami masih melakukan pengobatan untuk kutukannya, meski


demikian, kami hanya berbicara seperlunya saja. Rasanya seperti
aku sudah berubah menjadi seorang dokter yang melakukan
pekerjaanku sendiri ketimbang membantu teman.

Aku ingin melakukan sesuatu tentang itu, tapi aku baru saja
dicampakkan olehnya, jadi aku tidak ingin terlalu memaksanya.

Semoga saja hubungan kami bisa kembali seperti dulu sebelum


semua ini. Untuk saat ini, aku harus membiarkan waktu
menyembuhkan segalanya.

Banyak orang yang bilang kalau cinta menghancurkan


persahabatan. Ini adalah pertama kalinya aku mengalaminya,

— 164 —
meski aku sudah membaca tentang ini sepanjang waktu di cerita.
Sejujurnya, aku menyesalinya. Seharusnya aku membiarkan
semuanya berjalan apa adanya daripada mencoba mendorong
hubungan kita melangkah jauh seperti itu.

Ketika aku membiarkan pipiku bersandar di meja, aku


merasakan tamparan di punggungku.

“Selamat pagi! Kenapa kamu kelihatan lesu begitu?”

Hina tampaknya dalam suasana hati yang baik hari ini. Aku
ingin dia menahan tamparannya sedikit, karena itu menyakitkan.

“Aku mengantuk. Jam biologisku kacau karena liburan musim


panas.”

“Seperti yang diharapkan dari anggota klub langsung pulang.


Kamu menikmati masa kehidupan yang baik selama liburan, ya?”

“… Ya, tapi aku bekerja sambilan, tau?”

Aku mengangguk pada pertanyaan Hina.

Setelah Shiina mencampakkanku, aku mengalami banyak


malam tanpa tidur dan perlahan-lahan aku menjadi tukang
begadang. Yah, sebagian karena shift kerjaku kebanyakan pada sore
atau malam hari.

Berkat itu, aku akhirnya jadi kurang tidur. Sekarang jam


sekolah sudah dimulai, rasanya akan sangat merepotkan untuk
mengatur kembali jam biologisku.

“Aku bangun jam enam setiap hari selama liburan, kenapa


kamu tidak melakukan itu saja?”

“Aku bukan orang aneh sepertimu yang rela pergi ke aktivitas


klub. Lagipula, mumpung sedang liburan musim panas, kamu
seharusnya bersantai di rumah.”

— 165 —
Setelah mendengar jawabanku, dia bertindak seolah-olah dia
telah menemukan kebenaran dunia. Hentikan itu, Hina. Jika kamu
terus melanjutkannya, kamu akan berakhir seperti diriku dan
bergabung dengan klub langsung pulang!

“Hina, lama enggak ketemu~!”

“Ah, Misuzu! Heya~!Lihat dirimu, nona! Kulitmu jadi


kecokelatan?”

“Karena aku pergi ke pantai, sih! Oh iya, coba dengerin dej,


ketika aku pergi ke sana dengan pacarku—”

Tiba-tiba, seorang gadis teman sekelas mendekati Hina. Hina


kemudian memunggungiku dan mulai mengobrol dengan gadis itu
sebagai gantinya.

Aku menatap punggung rampingnya. Hah, apa dia bertambah


tinggi lagi?

Rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku melihatnya.

Sekarang setelah kupikir-pikir, aku belum terlalu sering


bertemu dengannya selama liburan.

Yah, aku sibuk melakukan pekerjaan sambilanku untuk


mengatasi patah hatiku dan dia juga sibuk dengan kegiatan klubnya.
Tapi, masalahnya, biasanya dia mengunjungi rumahku untuk
bergaul denganku ketika keadaan tidak terlalu sibuk. Dia tidak
melakukannya akhir-akhir ini dan rasanya jadi sedikit kesepian.

Terakhir kali dia mengunjungiku adalah ketika dia menyeretku


untuk berbelanja baju renangnya dan itu sudah cukup lama sekali.

Saat aku duduk diam sambil termenung seperti itu di kursiku,

“Yo, ada apa?”

“Selamat pagi semuanya.”

— 166 —
Shinji dan Yuuka memasuki kelas.

Mereka berjalan begitu dekat satu sama lain. Dilihat dari


suasana mereka, sepertinya Shinji menerima pengakuannya di
festival, ya?

Kemudian, Shinji duduk di kursinya, tepat di depanku.

Sementara Yuuka, dia ikut mengobrol dengan gadis-gadis lain.

Aku memergokinya mencuri pandang ke arahku, bukan, ke


arah Shinji.

Ketika gadis-gadis itu menyadari wajahnya memerah, semua


orang mulai menggodanya.

Shinji kemudian mengacungkan jempol pada gadis-gadis itu


untuk membuat Yuuka kecewa dan gadis-gadis itu semakin
menggodanya.

“Selamat, bung.”

Ketika aku mengatakan itu, Shinji mengeluarkan senyum polos


yang tidak biasa.

“Terima kasih.”

Me-Menyilaukan... Apa ini yang mereka sebut kebahagiaan?


aku tidak bisa…

Untuk seseorang yang patah hati sepertiku, auranya terlalu


berat untuk ditangani…

“Bagaimana denganmu?”

“…Bagaimana menurutmu?”

Pertanyaannya membuatku jadi berkaca-kaca.

“Hah, kamu ditolak?”

— 167 —
Ia mengangkat alisnya karena terkejut.

“Bagaimana kamu bisa menanyakannya dengan begitu santai?


Aku sedang patah hati di sini…”

Shinji menatapku sebelum melirik ke arah Shiina, yang sedang


membaca novel sendiri. Ia kemudian menepuk pundakku.

“Tetaplah kuat, masbro.”

“Terima kasih.”

Saat kami melakukan percakapan semacam itu, wali kelas


memasuki kelas.

“Silakan duduk, kita akan memulai jam pelajaran hari ini.”

Kemudian, keseharian sekolah yang membosankan pun


dimulai.

Aku sudah merindukan liburan musim panas.

Selama liburan, aku ingin sekolah dimulai cepat-cepat tetapi


sekarang aku telah kehilangan alasan mengapa aku ingin pergi ke
sekolah, aku berharap bisa tinggal di rumah saja. Aku bahkan tidak
bisa memaksa diriku untuk berbicara dengan Shiina sekarang.

…Yah, hanya dengan melihatnya saja sudah membuatku


bahagia, tapi itu tidak cukup!

“Aku tahu semua orang masih ingin liburan musim panas, tapi
cepat sadarkan diri kalian. Masih terlalu dini untuk membicarakan
hal ini, tetapi turnamen bola antar kelas akan segera hadir. Silakan
putuskan pesertanya nanti, oke?” kata wali kelas kami itu.

Turnamen bola… Benar, ada acara semacam itu.

Tahun lalu aku hanya melewatkan semuanya bersama dengan


Shinji.

— 168 —
… Jika aku berpartisipasi, kira-kira apa aku bisa menunjukkan
sisi kerenku kepada Shiina?

…Tidak. Bahkan jika aku mencobanya, dia sudah


mencampakkanku. Aku sudah tidak punya harapan lagi.

“Aku tidak ingin melakukannya.” aku menghela nafas seraya


bergumam begitu.

Namun, tidak ada gunanya untuk depresi terus.

Liburan musim panas sudah berakhir, jadi sudah waktunya


bagiku untuk memperbaiki suasana hatiku.

Aku sudah memutuskan untuk menyerah pada Shiina.

Jika aku mencoba untuk berpegang teguh pada perasaan sia-


sia ini, hal itu hanya akan menjadi bumerang bagiku.

“…Baiklah.”

Pertama-tama, aku harus memperbaiki hubungan kami yang


rusak. Dengan mengingat hal itu, aku berjalan menuju tempat
duduknya.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Shiina)

Aku sudah menyerah pada Godou. Aku sudah menyerah pada


Godou.

Aku mengulangi kata-kata tersebut seperti melantunkan sutra


sambil berpura-pura membaca novel di tanganku. Aku sadar bahwa

— 169 —
aku belum pindah dari halaman yang sama untuk sementara waktu
sekarang. Dengan kemauan keras, aku menahan gerakan kepalaku
yang tanpa sadar melihat ke arah Godou jika aku lengah.

Awalnya, aku optimis perasaan ini akan memudar selama aku


tidak bertemu dengannya untuk sementara waktu. Tapi Ia masih
perlu memberiku pengobatan untuk kutukanku, jadi aku harus
bertemu dengannya beberapa kali selama liburan musim panas.

Sebagian dari diriku merasa senang karena hal tersebut. Bagian


lain dari diriku kecewa pada diriku sendiri karena berpikir seperti
itu.

“Kami hanya berteman… Kami hanya berteman… Kami hanya


berteman…”

Ketika aku mengulangi kata-kata itu dengan berbisik,

“Oi.”

Suara Godou memasuki telingaku. Aku melompat kaget.

“Hyaa!”

“Woi! Apa yang salah denganmu?!”

Mungkin, dikejutkan oleh suaraku, Godou juga melompat


kaget.

Aku sangat bingung sehingga aku membuang novel di


tanganku.

Aku bergegas untuk menangkapnya sebelum mencapai lantai,


tapi karena gerakan tiba-tiba, tubuhku jadi kehilangan
keseimbangan.

Dan kemudian aku jatuh.

— 170 —
...Atau begitulah yang kupikirkan. Godou menangkapku
dengan salah satu lengannya sementara lengan lainnya meraih
novel yang baru saja kulempar. Itu tangkapan yang luar biasa.

— 171 —
— 172 —
“Oh…”

“I-Itu berbahaya…”

“Seperti yang diharapkan dari Godou…”

Aku bisa mendengar keributan yang dibuat teman sekelasku


dari kejauhan.

Lalu, Kirishima-san dan yang lainnya datang untuk


memeriksaku.

“Mai-chan, kamu baik-baik saja ?!”

Aku merasa malu dengan semua perhatian yang diberikan


semua orang kepadaku, jadi aku menjauhkan diriku dari lengan
Godou.

Sayang sekali aku harus meninggalkan sisinya dan sepertinya


Ia berbagi perasaan yang sama denganku, menilai dari ekspresinya.
Tunggu, mana mungkin itu masalahnya. Itu mungkin hanya
imajinasiku saja.

“M-Maaf, aku cukup terkejut…”

“Seriusan, dah. Apa sih yang salah denganmu?”

Godou segera memarahiku. Aku tahu itu, perasaan dari


sebelumnya hanyalah imajinasiku.

“I-Itu salahmu sendiri karena mendatangiku tiba-tiba seperti


itu!”

“Itu salahmu karena dikejutkan oleh hal seperti itu. Selain itu,
kamu harusnya berterima kasih kepadaku karena telah
menyelamatkanmu. Jika itu orang lain, mereka tidak akan bisa
menangkapmu dengan anggun seperti yang kulakukan.”

— 173 —
Aku mengerucutkan bibirku frustasi.

Ia membuat argumen bagus yang tidak bisa aku bantah dan


aku membencinya.

Sebelum aku menyadarinya, aku berbicara secara normal


dengannya. Meskipun aku telah berjuang untuk melakukannya
untuk sementara waktu sekarang. Mungkin itu karena emosiku
kembali berkecamuk.

“Seperti biasa, refleks Godou luar biasa.” Kata Yuuka.


Sementara itu, Shinji bersiul kagum.

“Keren banget…”, kata salah satu gadis di kelas.

Kalau aku bisa mendengarnya, itu artinya Godou juga bisa


mendengarnya. Tapi untuk beberapa alasan, Ia mengabaikannya
dengan wajah santai… Ugh, sunguh menjengkelkan.

“Ada apa, Shiina?”

“…Tidak ada apa-apa. Jangan pedulikan aku.”

Jawabku dengan nada ketus. “Begitu ya,” jawabnya dengan


senyum bahagia.

Karena senyuman itulah aku terus salah memahami niatnya.


Serius, bisakah dia berhenti?

“Tadi itu keren banget~”

Kirishima-san menyenggolnya dengan bahunya.

“Sejak awal aku sudah keren, tau?”

“Hahaha, coba ngaca lagi di cermin dan katakan itu sekali lagi.”

“Aku cuma bercanda doang! Jangan meledekku terus napa!”

— 174 —
Mereka tampak bahagia ketika melakukan percakapan seperti
itu. Hari ini juga, mereka bergaul dengan baik.

Baik Godou dan Kirishima-san adalah temanku.

Selama mereka bisa tersenyum bahagia seperti itu, tidak ada


lagi yang bisa aku minta.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Godou)

Dua hari telah berlalu sejak liburan musim panas berakhir.

Jam biologisku diperbaiki dan tubuhku akhirnya terbiasa


dengan perubahan tempo.

“Oper, ayo oper kemari!”

Seorang anggota klub sepak bola, Sakuragi, meminta umpan,


jadi aku mengoper bola di kakiku kepadanya.

“Operan yang bagus, Godou!”

Ia menerima bola dengan baik dan menembaknya tepat ke


gawang.

Kemudian, dia datang ke arahku dan kami melakukan tos.

“Tembakan bagus!”

“Operanmu juga bagus! Kamu seharusnya sudah bergabung


dengan klub sepak bola, bung. Kamu pasti menjadi pemain inti
dalam waktu singkat.”

— 175 —
“Nah, aku ingin hidup seperti orang santai lebih lama lagi.”

“Ah, baiklah, aku mengerti, aku juga tidak ingin menyia-


nyiakan kehidupan seperti itu.”

Sakuragi menganggukkan kepalanya.

Mungkin karena turnamen bola yang akan datang, jam


pelajaran olahraga berubah menjadi sesi latihan untuk berbagai
permainan bola.

Perlombaan yang akan aku ikuti adalah sepak bola. Ketika


mereka menugaskan orang mana yang akan mengikuti perlombaan
yang mana, aku tertidur, jadi mereka memutuskannya tanpa
memberitahuku.

Yah, aku tidak punya keluhan tentang itu. Aku menyukai


semua permainan bola, jadi aku bisa mengikuti apa pun yang
mereka putuskan untukku.

Padahal, aku pikir masih terlalu dini untuk mengadakan


turnamen bola. Maksudku, liburan musim panas baru saja berakhir.
Itu masih lebih baik daripada jam pelajaran biasa, tapi kamu tahu…

Aku hanya bermain sepak bola di pelajaran olahraga, namun


berkat pengalaman dari kehidupanku sebelumnya, aku
mendapatkan kebiasaan untuk mengamati pergerakan orang dan
pola pikir untuk mengantisipasi dan melawannya. Sedari awal
kemampuan refleksku lumayan bagus, jadi menerapkan
kekuatanku ke olahraga akan sangat mudah.

Tidak hanya itu, aku juga bisa meniru gerakan pemain yang
sangat bagus dengan sempurna.

Dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengalahkan aku dalam
olahraga jika aku serius.

“Tolong oper padaku”

— 176 —
Biasanya, aku akan mencoba menahan diri, tapi karena
turnamen bola akan segera tiba, aku memutuskan untuk lebih
serius.

Aku menerima izin dari Sakuragi.

Pada saat itu, dua penjaga musuh sedang mendekatiku.

Saat mereka berdua mencoba meraih bola di kakiku, aku


menghentikan bola dan berputar.

Roulette, begitulah sebutan gerakan ini. Aku dengan mudah


menghindari mereka berdua, menendang bola dengan ringan ke
kanan bek yang mencoba menghentikanku dengan tergesa-gesa dan
menggiring bola menjauh darinya.

Aku masuk dari sayap kanan lapangan dan mengoper bola ke


Shinji yang menungguku di tengah kotak penalti.

Sayangnya, tembakan Shinji gagal dan membentur sisi gawang.

Saat itu, aku berhasil membaca lintasan bola duluan, jadi aku
sudah berlari menuju area pendaratan bola. Kemudian, aku
melompat ke arah bola dan menembaknya dengan kaki kananku
dan mencetak gol.

Takahashi, sang penjaga gawang, tidak berhasil bergerak


sedikit pun untuk menghentikanku. Ia langsung tersungkur di
tempat.

… Ups, aku terlalu berlebihan. Kurasa aku perlu menahan diri


sedikit.

Saat aku merasa berkonflik seperti itu, aku bisa mendengar


suara teriakan para gadis.

Rupanya sekelompok gadis lalai berlatih olahraga mereka


sendiri untuk menontonku bermain sepak bola.

“Luar biasa! Kamu hebat!”

— 177 —
“Godou, kamu hebat!”

Olahraga adalah satu-satunya bidang di mana aku bisa


menggunakan pengalaman dari kehidupanku sebelumnya, jadi
tidak dapat dihindari kalau kemampuanku lumayan jago, bukan,
tidak ada bandingannya.

Namun, semua orang di kelas tidak mengetahui fakta ini, jadi


mereka memujiku daripada mencaciku.

Karena aku sedang bersemangat, aku merasakan gelombang


kegembiraan dan akan lebih pamer. Lalu, aku melihat Shiina
menatapku dengan jijik.

Memangnyna dia tidak bisa memaafkanku sebentar? Aku ingin


pamer sesekali juga!

Terlepas dari perasaanku yang bertentangan, permainan


berlanjut karena semua orang terus mengoper bola kepadaku.

Yah, itu masuk akal karena tim kami sebagian besar


bergantung pada Sakuragi, anggota klub sepak bola dan diriku.

Setelah itu, aku menghindari melakukan gerakan mencolok


karena tatapan Shiina melukai hati nuraniku, jadi aku hanya
memberikan umpan kepada rekan satu timku.

Aku merasa percaya diri dengan permainanku, tetapi aku juga


merasa percaya diri dengan bidang penglihatanku.

Aku telah berurusan dengan ratusan iblis sekaligus sebelumnya


dan aku dapat mengetahui posisi timku dan lawan dari langkah kaki
mereka, itulah sebabnya aku dapat memberikan umpan kepada
rekan satu timku bahkan tanpa melihat ke arah posisi mereka.

Karena aku sudah lama tidak menggerakkan tubuh ini, kurasa


aku cukup bersenang-senang lebih dari yang kukira.

“Bagus!”

— 178 —
Aku menepuk bahu Sayama setelah dia menerima umpanku
dan mencetak gol.

Mendukung orang lain juga terasa menyenangkan. Sebelum


aku menyadarinya, aku terlalu asyik dengan peranku.

Aku melirik ke arah Shiina dan para gadis lainnya.

Untuk beberapa alasan, Shiina menatapku dengan bingung.


Tatapan mata kami bertemu tanpa sadar.

Hampir seketika, dia memalingkan wajahnya dariku.


Memangnya dia tidak menyadari kalau di sana tidak ada apa-apa
selain satu pohon?

Sementara itu, gadis-gadis lain melambai padaku.

Ketika aku balas melambai, mereka mulai berteriak kegirangan.


Apa jangan-jangan… ini awal dari fase populerku?!

Yah sebenarnya, kejadian ini selalu terjadi selama jam olahraga.

Sebelum ingatanku terbangun, aku sudah menjadi orang yang


atletis. Setelah ingatanku terbangun, aku bisa memanfaatkan
pengalaman bertarungku dengan bebas. Itulah mengapa aku
biasanya menjaga semuanya tetap dalam batasan dan menahan diri.

Lagi pula, sudah jelas apa yang akan terjadi jika aku
menanggapinya dengan serius.

Maksudku, meski aku sudah menahan diri, tapi Sakuragi dan


yang lainnya gemetar saat melihatku.

“Apa kamu benar-benar jenius…?”

“Kagaklah, aku hanya merasa bersemangat saja hari ini.”

Aku penasaran sampai berapa lama alasan itu akan berhasil?

— 179 —
Sudah jelas sekali kalau aku bukan seorang amatir dan dengan
sedikit latihan, aku akan menjadi lebih baik dengan mudah.

Inilah alasan mengapa aku tidak bergabung dengan klub


olahraga mana pun.

Ketika masih SMP, aku berada di klub basket. Mereka


mengundangku untuk bergabung dengan klub di SMA juga, tetapi
aku memutuskan untuk tidak bergabung.

Karena kenangan hidupku sebelumnya, aku tumbuh terlalu


kuat. Aku tahu bahwa jika aku ingin sukses dengan mudah, aku bisa
berolahraga sepanjang hidupku, tetapi aku tidak menginginkannya.

Yah walaupun aku tidak segan menggunakan kekuatanku ini


untuk sesuatu yang menyenangkan seperti turnamen bola yang
akan datang.

◇◇◇◇

Sepulang sekolah. Angin sejuk menerpa lembut wajahku,


pertanda musim gugur yang semakin dekat.

Dalam perjalanan pulang, aku pergi ke sebuah apartemen


mewah tertentu. rumah Shiina.

“…Selamat malam.”

Hari ini merupajkan hari yang dijadwalkan untuk pengobatan


kutukannya.

Shiina muncul di ambang pintu. Dia membungkuk dengan


ekspresi gugup. Dia masih memperlakukanku seperti orang asing
lagi.

— 180 —
Kupikir percakapan kami pagi ini telah memperbaiki hubungan
kami, tetapi tampaknya tidak demikian.

“Aku akan menyajikan teh untukmu.” Kata Shiina sebelum dia


pergi ke dapur.

Aku duduk di sofa sambil menunggunya dengan tenang.

Setelah dia menyajikan teh, dia duduk tepat di sebelahku.

Alasan kenapa dia tidak duduk di depanku adalah karena kami


harus melakukan kontak fisik untuk menyembuhkan kutukan itu.

Sejak aku menyadari perasaanku pada Shiina, setiap kali aku


sedekat ini dengannya, jantungku akan mulai berdetak lebih cepat.
Aku penasaran apakah suara detak jantungku bisa terdengar
sampai di telinganya? Bagaimanapun juga, aku harus menyesap teh
yang sudah dia sajikan dan menenangkan diri.

Menyeruput teh panas di dalam ruangan ber-AC terasa


menyenangkan. Rasanya sama seperti saat kamu memakan es krim
sementara separuh tubuh Anda berada di dalam kotatsu.

Untuk sementara, hanya suara menyeruput teh saja yang


terdengar di dalam ruangan.

Mungkin karena dia tidak tahan dengan kesunyian, Shiina


menyalakan TV.

Program dengan suasana santai mulai dimainkan. Itu sedikit


menenangkan sarafku.

“…Hei.”

“A-A-Apa?”

Tetapi untuk beberapa alasan, cuma aku satu-satunya yang


tenang.

Shiina membalasku dengan suara bernada tinggi.

— 181 —
Kegugupannya itu menular, jadi aku berharap dia akan sedikit
tenang. Lagian kenapa dia bahkan merasa gugup segala?

…Yah, kurasa rasanya canggung berada di ruangan yang sama


dengan orang yang baru saja kamu tolak.

“Bisakah kita berbicara dengan normal lagi?”

“...Berbicara dengan normal?”

“Ya. Memang kamu tidak menyadarinya? Suasana di antara


kita cukup canggung… Kita masih berteman, bukan?”

Setidaknya aku ingin kita tetap sebagai teman. Kedengarannya


memang menyedihkan, aku tahu itu.

Hatiku mulai merasa nyeri karena kata-kataku sendiri.

Shiina mulai ketakutan. Entah kenapa, matanya mulai berkaca-


kaca.

… Kenapa?

“Be-Benar. Ki-Kita berteman, jadi mari kita bicara secara


normal.”

Nada suaranya seolah-olah dia mencoba berbicara pada dirinya


sendiri.

Apa sesulit itu untuk berbicara denganku? Dia tampaknya


memaksakan dirinya begitu keras hanya untuk melakukannya.

Tanpa sadar, aku telah menempatkan beban yang sangat besar


di pundaknya.

Kurasa itu bisa dimengerti. Lagi pula, seseorang yang hanya


seorang teman dan memiliki hubungan seperti bisnis dengannya
tiba-tiba mencoba menjadi lebih dekat seperti itu. Tidak heran dia

— 182 —
merasa tidak nyaman, terutama ketika dia tidak memiliki perasaan
yang sama denganku.

Aku sudah mengabaikan perasaannya selama ini, bukan?

Terbawa suasana hanya karena dia cinta pertamaku. Semua


kebencian diri ini mulai membuatku gila.

“… Minggu lalu, aku pergi menonton film dengan Kirishima-


san dan yang lainnya.”

Shiina melakukan kontak mata denganku untuk pertama


kalinya hari ini dan mulai berbicara.

“Kalau dipikir-pikir, kalian juga mengundangku saat itu, kan?”

“Ya. Tapi kamu tidak bisa ikutan”

“Mau bagaimana lagi. Jadwalku dan Hina bentrok.”

Saat itu, aku masih tertarik dengan film itu, tetapi saat ini,
tidak ada setitik rasa tertarik yang tersisa.

“Setelah menonton filmnya, Kirishima-san, Shindou-san dan


aku pergi ke area jajanan. Kami mengalami hari yang
menyenangkan.”

Dia terkekeh sambil melanjutkan ceritanya.

Saat dia mulai mengenang, ekspresinya yang kaku mulai rileks.

Fakta bahwa dia tidak mengatakan apa-apa tentang film itu


berarti itu tidak meninggalkan banyak kesan padanya.

Jika memang iya, itu akan menjadi hal pertama yang dia
sebutkan.

“Kami bahkan berhasil mengetahui tentang apa yang terjadi


antara Kudou-san dan Shindou-san…”

— 183 —
“Kedengarannya menyenangkan.”

Jika Shinji yang pergi bersama mereka, dia akan menemukan


cara untuk menghilangkan topik itu. Tapi, karena itu Yuuka,
mereka bisa memaksanya dan dia menumpahkan segalanya.
Sementara Yuuka selalu bertingkah seperti sosok ibu bagi semua
orang, penampilannya yang malu benar-benar imut.

“…Juga, aku dan Kirishima-san berbicara tentangmu.”

“Hina dan aku? Mengapa? Apa kamu tertarik dengan


hubungan kami? Kami hanya teman masa kecil.”

“Kisahmu menarik. Kalian berdua sudah bersama sejak kalian


berdua masih kecil dan berhubungan baik satu sama lain.
Kedengarannya seperti cerita dari dalam novel, tau?”

Aku bisa mengerti maksudnya.

Bagiku, itu adalah sesuatu yang sudah biasa aku lakukan, jadi
aku tidak terlalu memikirkan hubungan kami.

Sejujurnya, aku pikir hubunganku dengan Shiina akan menjadi


cerita yang lebih baik.

“…Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Tidak menyadari apa yang aku pikirkan, Shiina mengajukan


pertanyaan kepadaku.

“Mau bertanya apa?”

Nada suaranya memberiku firasat buruk.

“Bagaimana pendapatmu tentang Kirishima-san?”

Kenapa dia malah menanyakan pertanyaan itu padaku?

Orang yang aku sukai bertanya kepadaku tentang gadis lain,


betapa menakjubkan situasi yang aku alami.

— 184 —
…Tapi, Kirishima Hina, ya? Dia adalah teman masa kecilku
yang penting.

Dia sudah bersamaku sejak kami masih kecil. Kami sangat


dekat sampai-sampai aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa
dirinya.

Gadis itu sudah merawatku, memperbaiki kekuranganku saat


kami tumbuh bersama.

Dia selalu energik dan ceria, suasana hatiku selalu lebih baik
saat berada di samping dirinya.

Bagaimana pendapatku tentang diria?

“Jelas, aku menyukainya.”

Aku bahkan tidak perlu berpikir banyak. Aku menyukainya dari


lubuk hatiku.

Dia adalah sahabatku, seseorang yang paling mengerti diriku.

“…Jadi begitu ya. Bagus untukmu.” ujar Shiina.

Aku tidak mengerti mengapa dia mengatakan itu.

Aku memang menyukai Hina, tapi itu bukan tipe yang


romantis.

Satu-satunya orang yang pernah membuatku jatuh cinta secara


romantis adalah Shiina Mai.

Aku pikir dia menyadari hal ini. Kenapa dia malah


menanyakan pertanyaan ini padaku?

Alasan mengapa aku mengutarakannya seolah-olah aku


memiliki perasaan romantis untuk Hina adalah untuk membuat
Shiina merasa lebih nyaman. Jika begini, dia tidak perlu khawatir
tentang perasaanku terhadapnya lagi. Yah, aku tidak dapat

— 185 —
menyangkal bahwa aku mengatakannya sebagian karena aku
merasa jengkel terhadap pertanyaannya.

Tetap saja, aku sama sekali tidak siap untuk mendengar


jawaban semacam ini darinya,

“Aku akan mendukung cintamu. Aku harap kamu bisa


menemukan kebahagiaanmu.”

Seluruh perkataannya menghilangkan sedikit harapan yang


aku miliki.

Hal tersebut memaksaku untuk menghadapi kenyataan bahwa


aku harus menyerah padanya.

Ketika Shiina memegang tanganku dan memberi isyarat


kepadaku untuk memulai perawatan, aku tidak merasakan
kegembiraan lagi.

‘O, kejahatan yang terletak jauh di dalam, tunjukkan


wujudmu di hadapanku ...’

Seperti biasa, aku mulai melakukan eksorsisme.

Demi menyembunyikan hatiku yang hancur, aku sengaja


memasang senyum terpampang di wajahku.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Shiina)

Apanya 'baik untukmu?' jelas-jelas aku berbohong ketika


mengatakan itu.

— 186 —
Selama festival kembang api, Godou memegang tanganku,
sepertinya dia mencoba untuk lebih dekat denganku.

Aku hampir membuat kesalahan dengan berpikir kalau ia


benar-benar menyukaiku seperti itu. Jadi aku menegaskan kembali
hubungan kami hari itu.

Kami hanya berteman. Memiliki sahabat seperti dirinya


membuatku bahagia.

Itu sebabnya aku harus melepaskan perasaan ini di hatiku.

Aku mengumpulkan semua keberanian aku untuk mencari


tahu siapa sebenarnya yang dia sukai.

Dugaanku memang benar, orang yang disukainya adalah


Kirishima-san.

Tidak hanya dia teman masa kecilnya, dia juga orang yang ceria,
imut dan satu-satunya orang yang tinggal di sisinya untuk
mendukungnya. Berbeda denganku yang kikuk, pemurung, polos
dan menyusahkan. Tidak ada alasan bagi Godou untuk tidak
menyukainya.

Dengan begitu, aku sudah tahu pasti bahwa dia tidak memiliki
perasaan apapun terhadap aku. Aku bisa dengan aman move
on darinya.

'Aku mencintainya. Aku menyukai Shiraishi Godou. Dari


semua orang di dunia ini, aku paling mencintainya.’

Aku mengingat kembali pernyataan Kirishima-san.

Kedalaman perasaannya, aku bisa memahaminya dengan jelas.

Sekarang aku tahu bahwa mereka berdua memiliki perasaan


satu sama lain, aku bisa dengan aman menyerahkannya pada
Kirishima-san. Dia pasti akan membuat Godou bahagia.

— 187 —
Itu sebabnya aku akan memberi mereka dukunganku. Semoga
hubungan mereka berjalan dengan baik.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Godou)

Hari turnamen bola akhirnya tiba.

Semua orang merasa sangat bersemangat karena tidak ada


jadwal pelajaran untuk hari ini.

Mereka berkumpul di gedung olahraga atau halaman,


tergantung pada pertandingan mana yang mereka ikuti atau
turnamen mana yang ingin mereka tonton.

Saat ini awal September. Suhu dari musim panas masih tersisa,
tetapi angin musim gugur membuatnya lebih tertahankan.
Setidaknya, bermain dalam cuaca seperti ini jauh lebih baik
daripada bermain di bawah terik musim panas.

“Pertandingan tenis akan segera dimulai!”

“Ayo bersorak untuk Sagami-kun!”

“Bukannya itu pacar Misuzu? Hebat, aku ingin melihat seperti


apa orangnya!”

Teman sekelas perempuanku berjalan melewatiku sambil


berbicara dengan penuh semangat.

Semua orang dalam suasana meriah, kurasa itu masuk akal


karena itu adalah festival olahraga.

— 188 —
Yah, walaupun aku bilang semuanya, tapi ada seseorang yang
masih bertingkah seperti biasanya. Itu adalah pria yang berbaring
di sebelahku.

Pria itu, Shinji, menguap dan menatapku.

“Apa? Aku akan melakukan bagianku, jadi biarkan aku tidur


sebisa mungkin.”

“Bersoraklah untuk teman sekelasmu, bung.”

“Kenapa? Bukannya berarti sorakanku akan membuat mereka


menang.”

“Setidaknya bersoraklah untuk Yuuka.”

“Terlalu merepotkan. Selain itu, memalukan untuk


menghiburnya di tempat terbuka seperti itu…”

“Jadi kamu bisa merasa malu juga ya.”

“Inilah disebut gap moe.”

Ketika Shinji dan aku melakukan percakapan bodoh ini, aku


mendengar seseorang mendekati kami.

Aku berbalik untuk melihat Hina dalam balutan seragam


olahraganya.

“Kalian berdua lagi ngapain sih? Setidaknya kasih semangat


untuk teman kelas kita kek! Kita akan menyapu bersih semua
pertandingan tahun ini!”

Aku bisa melihat kobaran api di matanya.

Kelihatannya dia akan habis-habisan tahun ini juga.

— 189 —
Karena kata-kata kami tidak berhasil padanya, Shinji dan aku
memutuskan untuk menyerah dan mengikuti keinginannya untuk
saat ini.

… Sejujurnya, aku tidak merasa termotivasi hari ini.

Aku bahkan dianggap benar-benar membolos sekolah. Aku


hanya merasa terlalu lelah untuk menggerakkan tubuhku. Tapi, jika
aku tidak pergi, teman sekelasku akan bermasalah, jadi aku tidak
punya pilihan selain pergi.

“Rasanya menyenangkan, bukan?”

Saat kami tiba di lapangan tenis, kami bisa melihat teman


sekelas kami, Satou dan Takahashi, sedang bermain di lapangan.

Teman sekelas kami yang lain bersorak untuk mereka, jadi


kami bergabung.

Hina segera memimpin semua orang dan mulai bersorak dari


tengah kelompok. Sementara itu, Shinji bergegas ke sisi Yuuka.

Aku tidak bisa mengikuti semangat tinggi semua orang, jadi


aku bergerak ke sudut. Saat itulah aku menyadari tatapan seseorang
padaku.

Tatapan itu berasal dari Shiina. Dia berdiri sendirian sedikit


lebih jauh dari tempat orang lain berada.

Wajahnya tampak agak pucat. Pada awalnya, aku ragu apakah


akan memanggilnya atau tidak, tapi kekhawatiranku melebihi rasa
canggung yang aku rasakan terhadapnya.

“Apa kamu baik-baik saja?”

“Y-Ya. A-aku hanya gugup…”

Shiina akan bermain di pertandingan bola basket jika aku ingat


dengan benar, dan pertandingannya akan dimulai sebentar lagi.
Bagaimanapun, bisa dimengerti kalau dia gugup. Kemampuan

— 190 —
atletiknya nol. Dia mungkin khawatir bahwa dirinya hanya menjadi
beban bagi timnya.

“Coba tarik napas dalam-dalam.”

Dia menghirup napas dalam-dalam.

“Jika kamu terlalu gugup, kamu bakalan mengacaukan


segalanya. Untuk saat ini, kosongkan saja kepalamu dan fokuslah
untuk bersorak.”

“O-Oke… A-Agak sulit untuk melakukan itu…”

Sepertinya nasihatku sedikit menenangkan sarafnya, tetapi


kulitnya masih terlihat pucat.

“Yah, semua orang tampak sangat bersemangat, tapi ini hanya


acara sekolah, mereka tidak akan menganggapnya terlalu serius.
Jangan mengatakannya keras-keras. Juga, bahkan jika kamu
mengacau nanti, tidak ada yang akan menyalahkanmu, jadi dibawa
santai saja.”

Aku berulang kali mengatakan kepadanya bahwa semuanya


akan baik-baik saja.

Sejujurnya, aku ingin memberitahunya bahwa aku akan


melawan siapa saja yang berani menyalahkannya, tapi…

Aku tidak berpikir dia akan menghargainya jika aku


mengatakan itu. Bukannya seperti aku ini pacarnya atau apa pun.

Itu sebabnya aku hanya mengatakan sebanyak itu padanya.

Meski begitu, dia tersenyum lembut dan berkata, “Terima


kasih.”

“Kamu juga semoga sukses. Aku akan mendukungmu.”

— 191 —
Ketika aku mendengar dia mengatakan itu, aku merasa
gembira. Pada saat yang sama, aku merasa bodoh karena merasa
senang akan hal itu.

...Aku telah memutuskan diriku untuk menyerah padanya. Aku


hanya ingin menjadi temannya.

Jika aku terus memendam perasaan ini padaku, aku takkan


bisa menjadi teman yang baik untuknya.

Tetap di sampingnya akan sulit karena perasaanku ini.

Akulah yang memintanya untuk menjadi temanku.

Oleh karena itu, aku harus melakukan bagianku sendiri demi


dirinya. Dia adalah orang yang berusaha keras untuk menerima
permintaanku itu.

Bahkan jika kita tidak bisa menjadi sepasang kekasih, aku


bersumpah untuk membuat Shiina Mai bahagia sebagai temannya.

Selama dia bisa menghabiskan hari-harinya dengan bahagia,


aku tidak peduli jika aku terluka.

“Terima kasih. Yah, aku adalah pemain yang tiada taranya, jadi
kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.”

“Siapa juga yang khawait! …Selain itu, bukannya kamu pikir


kalau kamu itu curang?”

“Yang benar saja. Hanya sebatas ini harusnya masih bsia


diizinkan. Selain itu, aku bahkan tidak bermain sepak bola di
kehidupanku sebelumnya.”

“Aku bercanda. Yah, karena aku kamu bereinkarnasi ke dunia


ini sejak awal. Aku tidak punya hak untuk mengeluh jika Anda ingin
menggunakan pengetahuan kehidupanmu sebelumnya di sini…
Bagaimanapun, semoga berhasil.”

— 192 —
“Kurasa logika itu berhasil… Yah, aku akan melakukan yang
terbaik.”

Aku tersenyum seperti biasa sambil meletakkan kepalan


tanganku di depan dadaku.

◇◇◇◇

Pertandingan sepak bola pertama kami akan segera dimulai.

Kami bertanding melawan tim kelas 1, jadi kami harusnya bisa


menangani mereka jika kami bermain seperti biasa.

Karena sepak bola adalah acara utama turnamen bola, ada


banyak orang yang datang untuk menonton pertandingan. Mereka
juga menyediakan ruang yang luas untuk penonton.

Aku sedang melakukan beberapa pemanasan untuk


menghabiskan waktu di tepi lapangan ketika Hina mendatangiku.

“Bagaimana perasaanmu? Kira-kir apa kamu bisa menang?”

“Entahlah. Kurasa Sakuragi akan melakukan sesuatu tentang


itu, jadi bukannya mustahil untuk menang. Shinji juga akan ada di
sana.”

Omong-omong, Shinji adalah mantan anggota klub sepak bola,


jadi kami selalu bisa mengandalkannya.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku akan membantu kapan pun aku bisa.”

Hina mengambil langkah lebih dekat denganku.

Wajahnya yang tegas memenuhi pandanganku.

— 193 —
“… Apa itu benar alasan kenapa kamu terpuruk akhir-akhir ini
karena Mai-chan mencampakkanmu?”

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Untuk sesaat,


keheningan menyelimuti kami.

“…Bagaimana kamu mengetahui itu?”

“Itu baru terlintas di benakku ketika aku melihat kalian


berdua.”

“…Jadi begitu ya.”

Dia memukul dadaku saat aku berdiri diam.

“Semangatlah.”

“Jika semudah itu, aku tidak akan merasa galau begini…”

“Merasa galau sih boleh-boleh saja, tapi menggunakannya


sebagai alasan untuk bertindak seperti ini sungguh tindakan yang
payah.”

“Ugh…”

Kata-kata terdengar menyakitkan. Kenapa dia tidak bisa


menghiburku dengan cara yang normal?

“Semoga beruntung.”

“Kenapa perkataanmu sangat nyelekit padaku?”

“Karena itu kamu. Aku yakin kamu akan melewati ini.:

"Darimana itu datangnya keyakinan itu? Kupikir aku hanya


chuunibyou yang terlalu sadar diri?”

Aku menggunakan kata-katanya sendiri untuk merendahkan


diri sendiri.

— 194 —
“Yang itu juga benar.”

“Harusnya kamu menghiburku untuk bagian itu kek!”

“Apa kamu akan menerima kata-kataku dengan tenang jika aku


melakukannya? Kamu takkan mendengarkanku. Kamu tahu itu.”

Kami tidak tahu itu. Aku bersumpah, teman masa kecilku ini
terlalu ketat padaku.

“…Bahkan jika kamu adalah chuunibyou yang terlalu sadar diri,


itu tidak masalah.”

Dia berkata dengan suara rendah.

“Bahkan jika kamu benar-benar manusia tidak berguna, aku


akan selalu ada di sini untuk membantumu. Jika terlalu berat
bagimu, bersandarlah padaku. Aku sudah melakukan ini sejak lama
dan itu takkan berubah dalam waktu dekat.”

Setiap kalimatnya yang lembut meresap ke dalam hatiku.

Tapi, meskipun aku tahu bahwa dia adalah gadis yang baik, dia
bukanlah orang yang manis.

“Jadi, sebagai gantinya…” dia melanjutkan.

“Tunjukkan sisi kerenmu.”

“...Mau bagaimana lagi, deh.”

Aku tersenyum kecut. Aku bukan tandingannya.

Gadis ini selalu menemukan cara untuk membuat suasana


hatiku lebih baik. Dia selalu mendukungku.

Dia benar-benar orang yang berharga bagiku.

“Serahkan saja padaku.”

— 195 —
Itulah sebabnya, aku pasti akan menjawab permintaannya
dengan benar.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Shiina)

Kerumunan orang bersorak dengan meriah.

Godou yang dikelilingi oleh tiga bek, berhasil menggiring bola


melewati mereka dan mencetak gol dengan menembakkan bola
tepat di bawah selangkangan kiper.

Gadis-gadis di sekelilingku mulai berteriak setelah melihatnya.

Ia adalah seorang pahlawan di kehidupan sebelumnya, tapi ia


tidak pernah bermain sepak bola di masa itu. Selain itu, tubuhnya
saat ini adalah tubuh manusia biasa. Itulah sebabnya, rasanya
sungguh luar biasa baginya untuk bisa bermain sebaik ini.

Tetap saja, kupikir ia masih memasang wajah acuh tak acuh


penuh kebencian saat melakukan ini, tapi kali ini tidak. Aku curiga
ada sesuatu yang terjadi.

Cowok itu bermain lebih agresif dari biasanya dan memasang


ekspresi serius yang sama sekali tidak seperti biasanya.

Dengan kata lain, Ia bermain dengan tujuan untuk menang.


Sudah lama sekali sejak aku melihat tatapan seriusnya.

Mungkin karena ada dua anggota klub sepak bola di tim lawan,
mereka terus menjaga Godou dan membuatnya sulit bergerak. Tapi,
Ia berhasil menemukan celah dan bergerak cepat menuju gawang.

— 196 —
Setelah menerima umpan dari Kudou-kun, Ia menembak bola
ke arah gawang.

Layaknya mirip anak panah, bola tersebut masuk ke sisi kanan


gawang.

Shindou-san yang berdiri di sampingku, membuat pose


kemenangan dan berteriak gembira, “Hore!”

Dia hanya melakukannya karena Kudou-kun yang mengoper


bola ke Godou.

“Hehe, terkadang Ia sangat keren, bukan?”

“Aku tidak menyangka Kudou-kun bisa sejago ini.”

“Kare Ia mantan anggota klub sepak bola, sih. Ia lalu merasa


muak, itu sebabnya Ia berhenti... Tetap saja, Godou entah
bagaimana lebih baik darinya. Aku tahu kalau tuh cowok cukup
atletis, tapi aku tidak pernah menyangkanya sampai sejago ini…”

Itu sih sudah pasti, karena Ia adalah orang terkuat di dunia


sebelum bereinkarnasi ke dunia ini.

Ini juga yang menjadi alasan kenapa aku tidak terlalu kagum
saat melihat penampilannya.

Aku khawatir jika aku melihatnya seperti ini, perasaan ku


terhadapnya akan semakin kuat.

Beberapa saat yang lalu, ketika Godou menunjukkan


perhatiannya kepadaku, aku sudah mencapai batasku.

Aku merasa lega karena perasaanku tidak bertambah kuat,


tetapi kelegaanku hanya berlangsung sesaat.

Setelah mencetak gol, Godou menyeringai, memperlihatkan


gigi putihnya.

“Yoshhaaaa!”

— 197 —
Dengan Sakuragi-kun dan Kudou-kun memeluk bahunya, Ia
mengangkat tangan kanannya ke udara.

… Ia terlihat sangat imut. Tidak, aku tidak boleh begini.

Kebahagiaan di wajahnya terlihat tulus, Ia terlihat sangat


berbeda dibandingkan dengan sikap tenang yang biasanya Ia
tunjukkan kepada semua orang.

Begitu aku melihat perebdaan moe itu, aku baru tahu bahwa
aku sudah kalah. Aku terlalu terbiasa dengan tampangnya yang
tenang, I menunjukkan tatapan serius yang sudah lama tidak
kulihat dan tampang bahagianya benar-benar tidak adil. Aku
merasakan dadaku sesak.

“Me-Menyebalkan…”

Aku merasa sangat kesal. Mengapa aku terus merindukan


sesuatu yang sudah kupasrahkan?

“Ada apa, Mai-chan?”

Shindou-san memiringkan kepalanya.

“Bu-Bukan apa-apa.”

Aku berpura-pura berdeham untuk menipunya.

Mana mungkin aku membiarkannya tahu kalau aku jadi


tergila-gila dengan Godou.

“Shiraishi-kun sangat keren…”

“Bener banget, iya ‘kan~? Tapi Ia sudah punya Hina. Aku tidak
pernah bisa menang melawannya.”

“Kenapa sih setiap cowok yang baik sudah diambil?”

— 198 —
Tiba-tiba, aku mendengar gadis-gadis di belakangku mulai
berbisik pada diri mereka sendiri.

Kirishima-san yang berada di garis depan, sepertinya tidak


mendengar apa yang mereka katakan.

“Tembakan bagus, Godou!”

“Ya!”

Kirishima-san melambai ke arahnya dan Ia balas melambai.

Aku bukan orang yang berada di garis pandangnya.

Tapi itu tidak apa-apa. Aku terus mengulangi kata-kata itu


berulang kali, mencoba meyakinkan diriku akan hal itu.

◇◇◇◇

Setelah itu, tim kelas kami berhasil memenangkan semua


pertandingan dan berhasil masuk final, berkat Godou dan kerja
keras semua orang.

Hampir semua teman sekelas kami berkumpul untuk


menonton final karena itu adalah satu-satunya permainan yang
diikuti kelas kami selama ini. Semua orang sungguh-sungguh
bersorak untuk Godou dan yang lainnya supaya bisa memenangkan
pertandingan.

Pertandingan akan segera berakhir. Skor saat ini imbang 2 : 2,


jadi situasinya lumayan tegang.

Bahkan Godou mengalami kesulitan karena Ia dijaga oleh tiga


orang sepanjang waktu.

— 199 —
Para pemain tim lawan jauh lebih terampil dari tim kelas kami,
kecuali Godou, tentu saja. Selain mereka sudah kelas 3, dua dari
anggota mereka adalah pemain andalan dari klub sepak bola,
sedangkan sisanya adalah berbagai anggota dari klub terkait
olahraga lainnya. Mereka bekerja keras untuk pertandingan sepak
bola, itu sudah jelas.

Tepat saat aku memikirkan betapa sulitnya situasi ini, Godou


melewati ketiga orang yang menghalanginya dan berlari menjauh
dari mereka.

Begitu menerima bola, dalam sekejap Ia berhasil menembus


pertahanan tim lawan dan mencetak gol. Segera setelah itu, wasit
meniup peluitnya, menandakan akhir pertandingan.

Semua orang bersorak dan bergegas ke lapangan sepak bola.

Aku tidak dapat mengikuti semua orang, jadi aku ditinggalkan


sendirian di bangku penonton.

Semua orang berkumpul di tengah lapangan, melakukan


perayaan dan semacamnya.

Di pusat semua orang adalah pahlawan pada pertandingan itu


sendiri, Godou.

Kirishima-san berdiri di sampingnya. Dia mengangkat tangan


kanannya ke langit. Melihat kegembiraannya yang kegirangan,
Godou tersenyum kecut.

Seseorang dari kelas kami bersiul setelah melihat seberapa


dekat hubunganmereka berdua.

Dengan itu sebagai isyarat, semua orang mulai bergabung dan


menggoda mereka berdua.

“Hentikan itu!”

— 200 —
Godou mengatakan kepada mereka untuk berhenti, tapi pada
saat yang sama, Ia terkekeh. Jelas-jelas sekali kalau perkataannya
itu tidak serius.

“I-Ini tidak seperti itu!”

Sementara itu, Kirishima-san tersipu malu saat dia mencoba


untuk mengusir yang lain.

“Iya deh, iya.”

“Bagus, Hina.”

“Kalian berdua sudah jelas-jelas kayak orang pacaran, tau?”

“Dasar riajuu, pergi meledak sana.”

Kudou-kun mengangkat bahunya dengan acuh dan yang


lainnya mengikuti.

Kirishima-san panik dan mulai membuat keributan, tapi semua


orang hanya menatapnya dengan hangat.

...Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, mereka berdua


terlihat sangat serasi satu sama lain.

Seseorang sepertiku, yang hanya terjebak sendirian di sudut


seperti ini, sama sekali tidak pantas mendapatkan seseorang seperti
Godou.

Aku menemukan alasan lain untuk menyerah padanya.

Tapi, seakan-akan ingin mengejek tekadku, Godou berpisah


dari semua orang dan mendekatiku.

“Kami menang, Shiina.”

“…Apa? Aku tahu itu, aku menonton semuanya.”

“Kamu bersorak padaku, ‘kan? Terima kasih.”

— 201 —
“… Memangnya itu penting?”

Aku mendengus dan memalingkan wajahku darinya. Kemudian,


dia berbicara dengan nada cemberut,

“Tentu saja, itu penting. Permainan kami bisa terpengaruh


menjadi lebih baik ketika seseorang bersorak untuk kami. Bagiku,
dukunganmu membuatku menjadi bermain lebih baik.”

Untuk beberapa alasan, Ia menutup mulutnya setelah


mengatakan itu. “Bagimu…?” Aku memiringkan kepalaku dengan
bingung.

“Memangnya ada sesuatu yang istimewa tentang sorakanku?”

“Uh ya… maksudku, kamu adalah temanku…”

“Bukannya semua orang di kelas adalah temanmu?”

Sepertinya aku salah memahami sesuatu. Godou


menggelengkan kepalanya.

Setelah hening sejenak, Ia memberitahuku sesuatu dengan


suara berbisik.

“…Maksudku, itu sorakan dari seseorang yang kusukai, tentu


saja itu lumayan spesial.”

“Hah?”

Seseorang yang Ia sukai? Seseorang yang Ia suka??

Hah? Bukankah itu Kirishima-san? Apa? Apa yang Ia maksud?

“Bukannya menyukai Kirishima-san?”

“…Hah?”

Godou menatapku dengan wajah tercengang.

— 202 —
Tatapannya seolah mempertanyakan kewarasanku, tapi itulah
yang seharusnya kurasakan terhadap sikapnya.

“Mustahil, apa kamu seriusan menerima kata-kataku tempo


hari begitu saja? Serius, kamu…”

“???”

“Ya ampun, apa sih yang sudah kulakukan? Aku tidak


seharusnya memberitahumu ini jika aku ingin tetap berteman
denganmu… Tunggu, bukankah lebih baik memberitahumu untuk
meluruskan hal-hal di antara kita?”

Ia sepertinya bergumam tentang sesuatu yang tidak bisa aku


pahami.

“Tu-Tunggu, apa jangan-jangan gadis yang kamu sukai


adalah…”

“Kamu.”

Wajahnya memerah saat mencoba mengalihkan pandangannya.


Im-Imut sekali…

…Tidak, tunggu, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan


itu!

Apa yang baru saja dikatakannya? Aku? Gadis yang Ia sukai


adalah aku??

Godou menyukaiku??

Mana mungkin itu masalahnya, tapi orangnya sendiri yang


mengatakannya dengan jelas kepadaku.

“… Biarlah masa lalu berlalu, lagipula, kamu sudah menolakku.


Jadi mendingan jangan membicarakan ini lagi”

“… A-Apa maksudmu?”

— 203 —
Apa? Aku menolaknya? Apa sih yang Ia bicarakan sejak tadi?
Kapan aku melakukan itu?

Menyadari kebingunganku, Godou menjelaskan,

“… Oi, bukannya kamu memberitahuku di festival kembang api


bahwa kita harus tetap sebagai teman?”

“Ke-Karena tindakanmu bisa membuatku salah paham tentang


perasaanmu! Aku hanya ingin meluruskan hubungan kita!”

“Salah paham?”

“Aku mungkin salah paham bahwa kamu sebenarnya


menyukaiku seperti itu…”

“Tapi aku memang menyukaimu, tau??”

“…”

“…”

“U-Um… K-Kamu benar-benar menyukaiku?”

Saat aku mencoba memastikan ini dengan ketakutan, Godou


menganggukkan kepalanya.

“Se-Secara romantis?”

“Ya. Emangnya itu salah?”

“…T-Tidak, tapi…”

“…Oke”"

Wajahnya memerah seperti tomat, bukti bahwa Ia tidak


berusaha membodohiku.

— 204 —
Ahhhhh! Wajahku juga mulai ikutan memanas. Aku bisa
merasakan gelombang kegembiraan mengalir di hatiku.

“Tunggu, kamu seriusan tidak tahu tentang itu?”

“T-Tentu saja tidak! Bagaimana aku bisa menyadarinya sejak


awal….?”

“Kupikir kamu sudah menyadarinya. Jadi apa yang kamu


katakan padaku saat itu bukanlah cara bertele-tele untuk menolak
perasaanku?”

“Aku bahkan tidak bisa memahami arti menjadi hubungan.


Jadi mana mungkin aku bisa tahu bagaimana melakukan sesuatu
yang begitu!”

Sulit untuk mengakuinya, tetapi itu benar.

“… Jadi, kamu tidak menolakku?”

Aku mengangguk pada kata-katanya. Maksudku, aku tidak


pernah bermaksud melakukan itu sejak awal.

“… Jadi, aku tidak harus menyerah padamu?”

“I-Itu…”

Aku hampir mengatakan bahwa Ia tidak boleh menyerah


padaku.

Tapi, aku menahan mulutku sendiri di saat-saat terakhir. Apa


ini akan baik-baik saja?

Aku juga menyukainya, jadi jika aku mengatakan hal itu


padanya, kita bisa mulai berpacaran saat ini juga.

Alasanku akan menyerah padanya adalah karena aku tidak


ingin mengkhianatinya. Ia mengatakan kepadaku bahwa Ia
menginginkan aku menjadi temannya, jadi aku ingin memenuhi

— 205 —
keinginannya itu. Walaupun perasaannya berubah menjadi
menyukaiku, menyukainya kembali tidak akan menjadi masalah.

Aku tergoda oleh godaan manis ini. Namun seketika itu juga,
ingatan dari kehidupanku sebelumnya terlintas di benakku.

Aku sekarat sambil melihat mayat sang pahlawan.

Kemudian, adegan bergerak menuju adegan yang baru saja aku


lihat.

Adegan dimana Godou tersenyum gembira, dikelilingi oleh


teman sekelas lainnya dengan Kirishima-san di sisinya.

“…”

Aku hanya perlu mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.


Hal itu saja sudah cukup membuatku bahagia.

Tapi, aku tidak bisa menggerakkan kepalaku. Seluruh tubuhku


membeku kaku.

“… Maaf itu salahku. Tolong lupakan itu.”

Setelah melihat keheninganku, Godou menggelengkan


kepalanya.

“Baiklah, aku akan menyerah padamu. Bisakah kita setidaknya


tetap menjadi teman?”

“…Tentu saja. Kita masih bisa berteman.”

Meskipun itu adalah kata-kataku sendiri, dadaku masih terasa


sakit seakan tertusuk ratusan jarum. Godou tersenyum kecut.

Tidak. Itu bukan niatku. Ia seharusnya bahagia, bukan seperti


ini.

“Ngomong-ngomong, sorak-soraimu membantuku. Jadi,


terima kasih. Sampai jumpa.”

— 206 —
Aku tidak bisa memaksakan diri untuk mengatakan apa pun
sebelum Ia memunggungiku dan berjalan pergi.

Aku mencoba meraih punggungnya, tetapi tanganku tidak


pernah menggapainya.

◇◇◇◇

Ketika tiba jam istirahat makan siang. Aku sedang berlatih


basket sendirian di sudut gedung olahraga.

Mungkin karena semua orang sedang makan siang, jadi tidak


ada seorang pun di sini.

Karena sudah diputuskan kalau aku akan bermain basket, aku


sudah berlatih sendiri di taman. Padahal, sepertinya semua
usahaku sia-sia karena aku masih membebani semua orang dalam
latihan kelompok.

Aku mencoba menembakkan bola ke arah ring, tapi bolanya


memantul kembali dan membentur lantai.

Ketika aku pergi untuk mengambil bola, seseorang sudah


memungutnya.

Orang tersebut adalah Godou.

Ketika mengingat percakapan yang baru saja kami lakukan,


aku mulai merasa gugup

Rupanya, Ia merasakan hal yang sama denganku karena Ia


terlihat sangat ragu untuk mengatakan sesuatu.

Kemudian, Ia mulai menggiring bola. Tidak seperti dribelku


yang kikuk, Godou melakukannya dengan sempurna. Meski Ia tidak

— 207 —
pernah benar-benar bermain bola basket, refleksnya cukup untuk
mengimbangi kurangnya pengalamannya.

Setelah beberapa saat, Ia menembak bola. Pada saat yang sama,


dia akhirnya membuka mulutnya.

“Berlatih sendiri? Gadis yang serius sekali.”

“…Apa? Memangnya itu buruk?”

“Enggak juga. Itu bukan sarkasme.”

Bola yang ditembaknya melewati ring dengan sempurna.

Melihatnya melakukannya dengan sempurna membuatku kesal.


Aku berlatih sangat keras, namun aku masih belum bisa menembak
dengan benar.

Bahkan di kehidupan kami sebelumnya, ketika aku sibuk


menghitung langkahku dalam pertempuran, pria ini hanya
menyerahkan semuanya pada instingnya. Serius, bagaimana
mungkin seseorang menjadi tidak masuk akal seperti dirinya?

“Kamu baru saja mulai berlatih, jangan berpikir bahwa kamu


tiba-tiba bisa menembak dengan baik.”

“… Kalau gitu apa yang harus kulakukan?”

“Ini."

Godou tiba-tiba mengoper bola kepadaku, yang coba kuterima


dengan tergesa-gesa.

“Jika kamu mengulurkan tangan seperti itu, kamu bisa melukai


lenganmu. Tempatkan mereka di depan dadamu dan tunggu bola
sampai di tanganmu.”

“Apa yang ingin coba kamu katakan?”

“Berikan padaku.”

— 208 —
Untuk beberapa alasan, aku mengoper bola kepadanya.

Seperti yang dikatakannya padaku, Ia meletakkan tangannya di


depan dadanya dan menerima bola dengan sempurna.

“Aku akan memberimu umpan lambat, jangan takut.”

Itu karena aku takut pada bola sehingga aku mengulurkan


tangan setiap kali aku melihatnya datang ke arahku.

Tapi, saat aku mengikuti apa yang Godou katakan padaku, aku
berhasil menerima bolanya dengan baik.

Meskipun aku belum pernah bisa menerima umpan seperti ini


sebelumnya. Bola selalu memantul dari tanganku.

“Bagus. Pundakmu terlalu tegang. Santailah sedikit”

Sekali lagi, Godou memintaku mengoper bola padanya, jadi


aku melakukannya.

Aku mengoper bola, Ia menerimanya, Ia kembali melemparnya


kepadaku. Hal tersebut berulang beberapa kali lagi.

Godou dengan tenang menerima semua operanku. Gerakannya


lembut, mungkin karena Ia ingin aku menggunakannya sebagai
referensi.

Jadi, aku mencoba meniru apa yang dilakukannya. Tentu saja,


aku tidak memiliki kemampuan fisik untuk langsung meniru
gerakannya dengan sempurna, tetapi aku ingin setidaknya
menerima operan. Aku beruntung Godou memutuskan untuk
mengajariku.

Lagi pula, aku tidak bisa berlatih mengoper sendiri.

“Bagus. Mari tingkatkan kecepatannya sedikit.”

— 209 —
Hanya pada saat-saat seperti inilah Ia tidak mengatakan hal
bodoh kepadaku. Itu membuatku sedikit kesal.

Tanpa kusadari, aku dapat menerima umpan dengan benar.


Saat aku menghela nafas panjang, Godou bertepuk tangan.

“Kamu masih belum bisa menembak atau menggiring bola


dengan benar, tapi setidaknya kamu bisa mengoper bola sekarang.
Itu seharusnya cukup untuk saat ini.”

“… Mm.”

Kenapa Ia sampai bersedia membantuku?

Bodoh, jawabannya sudah jelas, itu karena Ia menyukaiku.


Setelah menyadari itu, aku menyadari pipiku mulai memanas.

… Sayangnya, aku tidak bisa menjawab perasaan itu. Lagipula


aku tidak bisa membuatnya bahagia.

Tentu, jika kami menjadi sepasang kekasih, aku akan sangat


bahagia.

Tapi aku ragu apakah aku bisa membuatnya bahagia.

Jika kami tetap sebagai teman, Ia tidak perlu dibebani dengan


orang seperti diriku.

Aku tidak layak untuk mendapat posisi penting dalam


hidupnya.

Aku ingin Godou merasa bahagia.

'Aku mencintai nya. Aku menyukai Shiraishi Godou. Dari


semua orang di dunia ini, aku paling mencintainya.’

Lagipula, orang yang layak untuknya sudah berada di sisinya.

“… Pertandingannya akan segera dimulai. Terima kasih.”

— 210 —
Itulah sebabnya aku harus menjauhkan diri darinya.

Aku tidak ingin Ia menyadari perasaan yang telah kuputuskan


untuk dikubur dalam-dalam di hatiku.

Ketika aku membelakanginya, aku mendengar suara


lembut “Lakukan yang terbaik” dari belakang.

◇◇◇◇

Peluit telah dibunyikan, tanda berakhirnya pertandingan.

Aku berlari sekuat tenaga selama pertandingan itu. Baru


setelah itu berakhir aku merasakan kelelahan merayapi seluruh
tubuhku. Nafasku yang berat sepertinya takkan berhenti untuk
sementara waktu.

“Shiina-san, kerja bagus!”

Salah satu teman sekelasku, Kiyama-san, mendekatiku dan


memelukku.

Teman sekelas lain yang juga anggota tim bola basket


berkumpul di sekitarku.

“Kamu menjadi lebih baik!”

“Apa kamu berlatih sendiri? Terima kasih!”

“A-Aku hanya tidak ingin membebani semua orang…”

“Sungguh gagah sekali! Dan lucu!”

“Gadis baik~, gadis baik~. Sudah menjadi kewajibanku untuk


membuat gadis baik sepertimu bahagia~”

— 211 —
“Cepat menjauh dari Yumi, Shiina-san! Dia akan merusakmu!”

Kiyama-san dan teman sekelasku yang lain, Akasaka-san,


saling menatap. Aku terjebak di antara mereka berdua.

“Pokoknya, bagus sekali kita bisa menang. Kesulitannya


dinaikkan terlalu tinggi karena tim sepak bola memenangkan
semuanya.”

“Kita masih babak penyisihan pertama. Yah, sebenarnya aku


tidak berpikir kita bisa menang.”

Bahkan orang-orang yang belum pernah aku ajak bicara


berkumpul di sekitarku.

Tiba-tiba, mereka memberi jalan bagi seseorang untuk lewat.


Godou berjalan mendekatiku.

“A-Aku sudah melakukan yang terbaik.”

Ia memberiathuku untuk melakukan yang terbaik, jadi aku


melakukannya.

Aku tidak tahu apakah itu memengaruhi pertandingan secara


keseluruhan, tetapi aku ingin memberitahunya bahwa setidaknya
aku melakukan semua yang bisa kulakukan.

Ketika aku mengatakan itu padanya, Ia berkedip terkejut


sebelum tertawa.

“Bagus untukmu.”

Dia meletakkan tangannya di atas kepalaku dan membelainya


dengan lembut.

Aku hampir mengeluarkan suara tercengang. Apa yang orang


ini lakukan di tempat terbuka seperti ini?

Rasanya memalukan, tetapi pada saat yang sama, rasanya


menyenangkan. Aku ingin Ia memanjakanku selamanya.

— 212 —
Tidak baik. Jika ini terus berlanjut, aku takkan bisa menyerah
padanya. Semakin aku berinteraksi dengannya, semakin aku
menyukainya.

Aku sangat ingin menjadi pacarnya.

Jika memungkinkan, aku ingin menikmati perasaan ini selama


mungkin. Tapi pada saat itu, pandangan mataku bertemu dengan
mata Kirishima-san. Dia tersenyum sedih.

Hampir seketika, aku mendorong Godou menjauh dariku.


Suasana di antara kami seketika membeku.

“Maaf… kurasa aku tidak bisa menjadi temanmu lagi…”

Ketika aku mengatakan ini padanya, wajahnya berubah masam.

Tidak, kamu seharusnya jangan membuat wajah seperti itu.


Maaf.

Aku tidak bisa tinggal bersamamu lagi. Karena jika tidak, aku
takkan bisa menahan perasaan ini.

Itu sebabnya aku tidak mampu menjadi temanmu.

Hal tersebut mungkin terlalu arogan dan egois jika aku, yang
selalu membawakanmu kemalangan, ingin tetap berada di sisimu.
Padahal, perasaan jahat semacam ini adalah sesuatu yang bisa
dimiliki oleh mantan penyihir sepertiku.

Berkat dirimu, aku akhirnya bisa merasakan seperti apa


rasanya kebahagiaan.

Jadi, sekarang giliranmu untuk menjadi bahagia saat ini.

Sudah ada seseorang yang bisa membuatmu bahagia.

Kamu tidak akan membutuhkanku.

— 213 —
Jika kamu tetap bersamaku, kamu akan menggoyahkan
tekadku.

Perasaan yang telah kukubur dalam-dalam di dalam hatiku


akan mulai membesar beberapa kali lipat.

Itu sebabnya, aku tidak bisa bersamamu lagi …

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Godou)

Sehari setelah turnamen, Shiina tidak masuk sekolah.

Karena dia absen terjadi tepat setelah kejadian itu beberapa


hari yang lalu, semua orang jadi menatapku.

“Godou?”

“…Maaf.”

Setelah hal itu terjadi, Shiina meninggalkan tempat itu dan


seluruh tempat menjadi sunyi.

Semua orang menatapku, tatapan mereka memberitahuku


bahwa entah bagaimana aku mengacau.

Acara yang awalnya merupakan turnamen menyenangkan


berubah menjadi pertunjukan yang menyedihkan bagiku.

Pada akhirnya, kelas kami mendapat tempat kedua secara


keseluruhan untuk seluruh turnamen.

Hina berusaha menghiburku dengan fakta itu, tapi aku tidak


melakukannya sepanjang sisa hari itu.

— 214 —
Sejak Shiina pulang lebih awal kemarin, aku berpikir untuk
meminta maaf hari ini, tapi…

“Hah…”

Aku menundukkan kepalaku.

Seperti apa yang dipikirkan semua orang, aku mengacau.

Suasana pada saat itu membuatku terbawa suasana dan


membuat Shiina merasa tidak nyaman.

Meskipun aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan


menyerah padanya, aku masih melakukan sesuatu seperti ini ...

Tetap saja, aku tidak mengharapkan penolakan terang-


terangan darinya.

Sungguh menggelikan sekali. Aku bisa merasakan bahwa


semua orang diam-diam tertawa di belakangku.

Aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia.

Terutama ketika aku masih merasa bahwa aku dapat


memperbaiki semuanya jika aku memberinya waktu untuk
menenangkan diri.

Hanya keberuntunganku saja dia bahkan tidak datang ke


sekolah hari ini.

Aku berkata pada diriku sendiri bahwa dia mungkin terlalu


banyak bekerja beberapa hari yang lalu dan dia sedang sakit atau
semacamnya.

Tapi dia masih tidak datang ke sekolah selama beberapa hari


setelah itu.

Semua orang yang mencibir padaku karena kekacauan yang


aku buat, menoleh ke arahku dengan tatapan khawatir dan mulai

— 215 —
bertanya padaku apakah semuanya baik-baik saja. Guru wali kelas
kami mengatakan bahwa Shiina tidak masuk karena sakit, tapi aku
merasa ragu bahwa apa memang itu yang benar-benar terjadi…

Bagaimanapun juga, kekhawatiranku semakin tumbuh seiring


berjalannya waktu.

Namun, aku takut jika aku mengunjunginya sekarang, hal itu


justru akan memiliki efek sebaliknya.

Lagi pula, ada kemungkinan besar bahwa akulah yang menjadi


alasan mengapa dia absen sejak awal.

Ketika pemikiran seperti itu muncul di benakku, tubuh aku


menjadi kaku seperti batu.

Aku tidak bisa melakukan apa pun untuknya. Yang ada justru
itu hanya akan menyakitinya lebih dari ini.

... Benar-benar tidak ada yang bisa aku lakukan untuknya.

Sehari setelah itu, dia masih absen. Suasana di kelas berubah


lebih berat dari sebelumnya.

Pada jam pelajaran matematika. Aku sedang melihat ke luar


jendela. Di luar hujan deras sampai-sampai aku bisa mendengar
suara tetesan jatuh ke tanah meskipun jendelanya tertutup rapat.
Udara lembap menempel erat di tubuhku dan rasanya tidak
nyaman.

Aku mendapati diriku mengalihkan pandanganku ke kursi


Shiina.

Gadis yang biasanya mencatatnya pada jam-jam seperti ini


tidak terlihat di mana-mana.

Lambat laun, kehidupan sehari-hari tanpa dirinya mulai


menjadi rutinitas baru kami. Aku benci hal itu.

— 216 —
Tapi, lantas, apa yang bisa aku lakukan? Akulah yang
menyebabkan semuanya.

“Apa kamu sudah mendengar sesuatu dari Mai-chan,


Godou…?”

Setelah kelas selesai, Hina datang ke tempat dudukku dan


bertanya padaku.

Suaranya lebih lemah dari biasanya.

“…Tidak.”

Meski begitu, aku masih harus memberikan pengobatan untuk


kutukannya.

Aku benar-benar harus menghubunginya segera.

Tapi, apa aku harus melakukannya? Bukankah lebih baik jika


aku menunggunya menghubungiku terlebih dahulu?

“Kamu tidak menghubunginya?”

“… Aku tidak ingin menyakitinya lagi.”

Aku meletakkan tubuhku di atas meja saat mengatakan itu.


Ketika dia mendengar kata-kataku, Hina menarik tanganku dan
menarikku.

Dia menatapku dengan ekspresi serius.

“Apa menurutmu semua ini baik-baik saja?”

“Tentu saja tidak, tapi tidak ada yang bisa kulakukan.”

Hina mengangguk sebelum melanjutkan,

“Bukankah kamu bilang akan menunjukkan sesuatu yang keren


padaku?”

— 217 —
“…Maaf. Aku tidak cukup keren untuk melakukan itu. aku
memang yang terburuk…”

Satu-satunya hal yang berhasil kulakukan adalah menyakiti


gadis yang aku sukai.

Apanya yang mantan pahlawan? Omong kosong macam apa


yang membuatnya bahagia?

Aku hanya bisa mengayunkan pedangku, pedang yang sama


yang kugunakan untuk melukainya.

Itu tidak bisa digunakan untuk melindunginya.

Bahkan ketika aku bereinkarnasi, aku masih melakukan hal


yang sama. Dia masih ditimpa kemalangan sampai-sampai dia
memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan aku. Aku tidak
pantas bersama seseorang sebaik dirinya.

Setelah aku merapikan mejaku, aku mengucapkan selamat


tinggal kepada Hina dan mencoba untuk pulang.

“… Godou.”

Hina memanggilku, tapi aku tidak berbalik.

Karena aku lupa membawa payung, aku memutuskan untuk


berjalan di bawah guyuran hujan yang deras. Dalam waktu singkat,
seluruh tubuhku langsung basah kuyup.

Akhirnya, aku harus berlindung di sebuah bangku di sebuah


taman dalam perjalanan pulang.

Atap di atasku bocor, tapi tidak masalah jika pakaianku basah


seperti ini.

Saat aku berdiri diam sambil menunggu hujan sedikit reda, aku
merasakan seseorang mendekatiku dari samping.

— 218 —
Aku tidak perlu mengalihkan pandanganku untuk mengetahui
bahwa itu adalah Hina.

Pada saat seperti ini, dia akan menjadi satu-satunya orang yang
melakukan hal seperti ini.

Dia selalu mendukungku dan selalu bertindak jauh seperti ini.

“Godou…”

Saat dia memanggilku, aku mengalihkan pandanganku ke


arahnya.

Dia basah kuyup seperti diriku.

“Kamu akan masuk angin.”

“Kita berdua akan masuk angin.”

“Aku tidak membawa payungku, tapi aku membawa


handukku.”

“Tidak. Kamu sudah menyeka keringatmu dengan handuk itu,


bukan?

“Aku sudah mencucinya, jadi tidak apa-apa. Kita berdua ‘kan


teman masa kecil, jadi jangan terlalu memikirkannya.”

Aku mengambil handuk dari tasku dan melemparkannya


padanya.

Karena tasku tahan air, jadi isinya tidak basah.

Handuk itu mendarat di wajahnya. Kemudian, dia


menggunakannya untuk menyeka rambutnya dengan ringan.

“Badanmu juga basah kuyup, tau?”

“Aku tidak merasa ingin mengeringkan diri. Omong-omong, di


mana payungmu?”

— 219 —
“Ini dia.”

Dia mengeluarkan payung lipat dari tasnya.

Karena dia tidak mengendarai sepedanya sekarang, dia


mungkin pergi ke sekolah dengan bus.

Sepertinya dia tahu bahwa hari ini akan hujan.

“Di mana sepedamu?”

“Aku lagi merasa ingin berjalan saja.”

“Kalau begitu, di mana payungmu?”

“Aku ingin merasakan hujan secara langsung dengan tubuhku.”

Aku meninggalkan sepedaku di tempat parkir sekolah.

“Jadi begitu ya. Kita sama.”

Hujan sedikit melemah. Hujan deras telah berubah menjadi


gerimis yang lembut.

“Godou, apa alasan kenapa kamu seperti ini karena Mai-chan


menolakmu?”

“Memangnya kenapa lagi?”

“Menurutmu mengapa dia menolakmu?”

“Entahlah… Mungkin karena aku membuatnya muak. Dia


sepertinya membenciku.”

Hal tersebut akan menjelaskan mengapa dia


memperlakukanku seperti itu.

Kebenciannya terhadapku mungkin sangat dalam sampai-


sampai sulit baginya untuk menahannya lagi.

— 220 —
“Yah, memang benar kalau kamu mendadak mengelus
kepalanya akan membuatnya tidak nyaman, tapi…”

“Ugh…”

Alih-alih menghiburku, kata-katanya hanya memberikan lebih


banyak kerusakan mental padaku.

Aku tidak ingin mengatakan adegan itu dengan lantang karena


terasa menyakitkan bagiku untuk mengingatnya. Aku harap dia bisa
berhenti mengungkitnya.

“Tetap saja, bukan itu masalahnya ketika kita berbicara tentang


Mai-chan.”

Dia terlihat percaya diri saat mengatakan itu.

“Bagaimana kamu tahu itu?”

“Karena dia mudah dimengerti… Selain itu, aku memahami


perasaannya dengan sangat baik.”

Gampang dimengerti? Shiina?

Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di dalam kepala gadis
itu.

“Mai-chan itu gadis yang baik. Terlalu baik malahan. Aku tidak
memercayai kalau ada seseorang bsebaik dirinya. Dia tidak percaya
diri untuk beberapa alasan, meskipun dia mempunyai wajah
cantik.”

Itu sebagian karena ingatan kehidupan sebelumnya.

“…Gadis itu dulu dibenci semua orang di sekitarnya karena


sesuatu yang bukan salahnya. Dia terjebak dalam perasaan
menyalahkan diri sendiri sepanjang hidupnya, itu sebabnya dia
tidak percaya diri. Itu juga menjadi alasan dia selalu berusaha

— 221 —
memperlakukan semua orang yang memperlakukannya dengan
hangat sebaik mungkin.”

“… Mm.”

Penjelasan itu sepertinya meyakinkannya.

“… Jadi itulah sebabnya dia memendam perasaannya. Dia


melakukannya untukku.”

Aku bisa mendengar gumamannya, tapi aku tidak tahu apa


yang dia bicarakan.

“Godou, bisakah aku memberitahumu sesuatu?”

Dia bangkit dari bangku dan berdiri tepat di depanku.

Dengan taman hujan sebagai latar belakangnya, dia tampak


mempesona.

Ada tetesan air yang mengalir di pipinya.

Apakah itu teteasan air hujan? Atau mungkin air matanya?

Tapi kenapa dia menangis?

Tepat saat aku memikirkan hal itu, kata-kata selanjutnya


sampai ke telingaku.

“Aku menyukaimu.”

Ekspresi wajahnya memberitahuku bahwa dia tidak bercanda.

Tak peduli tidak seberapa pekanya diriku, aku tahu bahwa dia
tidak bermaksud bahwa dia menyukaiku sebagai teman masa kecil
belaka.

…Meskipun, aku sudah menyadari hal ini.

— 222 —
Setelah belajar tentang cinta untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku mengerti seperti apa rasanya cinta.

Pada saat yang sama, aku menyadari perasaan yang belum


pernah aku perhatikan sebelumnya.

Menilik kembali ke belakang, dia meninggalkan banyak


petunjuk untuk bisa kusadari.

Itu sebabnya aku tahu bahwa perasaan yang dia miliki untukku
adalah perasaan yang sama dengan yang aku miliki terhadap Shiina.

"…Apa kamu bersedia berpcaran denganku?”

Tapi, kenapa dia baru menembakku pada waktu ini?

Dia orang yang cerdas dan perseptif, dia tahu bahwa aku
menyukai Shiina.

Selama perasaan ini tetap ada, aku takkan bisa menjawab


perasaannya itu.

“… Maaf, aku tidak bisa. Aku sudah mempunyai orang lain


yang kusukai.”

Jika aku berpacaran dengannya, mungkin perasaan ini


akhirnya akan hilang.

Mungkin akan ada saat dimana aku akhirnya jatuh cinta pada
Hina.

Aku tahu bahwa jika aku tinggal bersamanya, aku akan bahagia.

Lagipula, gadis manis inilah yang selama ini berada di sisiku,


mendukungku tanpa meminta imbalan apapun.

Dia terlalu baik untukku. Seharusnya aku yang menembaknya


dan memohon padanya untuk tetap di sisiku.

— 223 —
Aku tahu itu, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Jadi aku meminta maaf padanya.

“Lantas, mengapa kamu menyerah? Jangan menyerah


semudah itu!” Kata Hina tiba-tiba, seolah dia menunggu untuk
mengucapkan kata-kata itu.

“Bukannya menyukai Mai-chan?”

“…Ya.”

“Kalau begitu setidaknya tanyakan langsung padanya tentang


perasaannya yang sebenarnya! Bukannya berarti kamu bisa
meninggalkannya sendirian seperti ini! Jika kamu berpikir kalau
kamu sudah menyakitinya, minta maaf padanya! Sampai kapan
kamu akan depresi seperti ini?!”

Ada keputusasaan yang tersembunyi dalam suaranya.

Setiap kata yang dia ucapkan adalah demi diriku.

Meskipun itu sudah jelas sekali kalau aku mencampakkannya


sekarang. Padahal dia berhak untuk memaki-makiku dalam situasi
seperti ini.

Namun, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kata-


kata dukungan untukku.

Aku penasaran mengapa dia melakukannya sampai sejauh ini


demi diriku?

Tapi aku tahu jawabannya. Dia sangat mencintaiku.

Dia mencintaiku sama seperti aku mencintai Shiina.

“Jadilah Shiraishi Godou yang keren yang kucintai.”

Sembari berlinangan air mata, dia tersenyum lembut.

— 224 —
— 225 —
“Tunjukkan sisi kerenmu padaku, Godou.”

Dia mengatakan kata-kata yang sama seperti yang dia katakan


saat itu.

Meskipun aku menunjukkan banyak sisi lemahku, dia masih


percaya padaku.

Itu sebabnya aku ingin menjawab harapannya itu. Bukan


karena kewajiban, tapi sebagai sesuatu yang benar-benar aku
harapkan.

Sejujurnya, aku tahu ada yang tidak beres dengan perilaku


Shiina belakangan ini.

Tapi, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku pura-pura


tidak memperhatikan itu dan terus mengalihkan pandanganku.

Aku akhirnya menjadi depresi saat tidak melakukan apa-apa.

Dan itu seharusnya bukan sesuatu yang dilakukan oleh orang


keren yang membuat Hina jatuh cinta.

“Aku akan menemui Shiina.”

Aku segera berdiri. Di bawah hujan ini, aku melihat ke depan.

“Boleh aku mengatakan sesuatu?”

Saat aku melewati Hina, aku bisa mendengar suaranya yang


lemah dan bergetar.

Aku berpura-pura tidak menyadari isakan tangis di antara


kata-katanya.

“… Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku… Jadi, raihlah


kebahagiaanmu, oke… ?”

— 226 —
Aku pun berlari. Aku mengabaikan tetesan hujan saat berlari
ke depan.

Aku ingin menjadi Shiraishi Godou keren yang membuat Hina


jatuh cinta.

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Hina)

Aku memperhatikan punggung Godou sampai menghilang dari


pandanganku.

Sepuluh tahun cintaku telah berakhir… Atau memang sudah


sepuluh tahun?

Aku menyadari perasaanku padanya ketika aku berusia enam


tahun, tapi aku mungkin sudah mulai mencintainya bahkan
sebelum itu.

“Ah… Kenapa aku selalu seperti ini?”

Aku tahu bahwa aku akan ditolak jika aku menembaknya


sekarang.

Aku selalu tahu bahwa Ia sangat mencintai Mai-chan.

Jika aku tidak membantunya, aku mungkin punya kesempatan.

Aku tahu bahwa ini akan terjadi jika aku memberinya


dorongan.

…Aku tahu itu, tapi aku tetap melakukannya.

“Sungguh peran yang buruk untuk dimainkan ...”

— 227 —
Suara tiba-tiba mengagetkanku.

Aku berbalik untuk melihat Shinji yang berdiri di dekatku


dengan tangan bersedekap.

“… Sejak kapan kamu ada di sana?”

“Sejak awal. Aku penasaran karena aku melihatmu


mengejarnya, jadi aku mengikuti kalian berdua ke sini.”

Ia mengangkat bahu dengan santai. Aku ingin melabraknya


karena sudah menguntitku, tapi aku tak bisa melakukan itu karena
aku baru saja melakukan hal yang sama pada Godou. Kurasa itu
sebabnya Ia secara terbuka mengumumkan kehadirannya seperti
itu. Kudou Shinji selalu menjadi orang yang seperti itu.

“...Aku ini memang idiot, bukan?”

“Jika tujuanmu adalah kebahagiaanmu sendiri, ya, memang.”


Kata Shinji dengan nada terus terang.

“Tapi bukan begitu masalahnya. Tujuanmu adalah


kebahagiaannya, bukan?”

Ya, perkataannya memang benar. Jika tindakanku bisa


membuatnya bahagia, maka itu sepadan. Tidak perlu bagiku untuk
menjadi depresi.

“…Ya. Aku tidak keberatan selama dia bahagia...”

“Aku tidak peduli apa yang ingin kamu katakan pada dirimu
sendiri, tapi tidak ada salahnya untuk menangis.”

Selama Godou bahagia, tidak ada lagi yang penting. Bukan


harus aku yang membuatnya bahagia.

…Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak menginginkan itu.

— 228 —
Aku ingin Ia menatapku. Aku ingin menjadi alasan
kebahagiaannya

Aku ingin dirinya berhenti memikirkan Mai-chan. Setiap kali


Godou memikirkannya, itu selalu membuatku merasa kesepian.

Menginginkan kebahagiaannya? Menginginkan dirinya


mengikuti perasaannya? Itu semua bohong, aku tidak
menginginkan itu. Tapi di saat yang sama, aku tidak ingin Ia
meninggalkan Mai-chan sendirian. Aku ingin Mai-chan juga
bahagia.

Itu sebabnya aku tidak menyesal.

Seandainya aku bisa memutar kembali waktu dan berada


dalam situasi yang sama lagi, aku tahu bahwa aku akan melakukan
hal yang sama lagi.

“Aku tahu kalau kamu tidak ingin menangis di depannya.


Karena itu, menangislah di sini.”

Itu tidak adil, Shinji. Kamu tidak boleh mengatakan hal-hal


seperti itu dengan lantang.

Tapi, aku tidak punya keinginan untuk membantahnya.


Pandangan mataku menjadi kabur dan aku tidak bisa mengatakan
apa-apa tanpa mengeluarkan isak tangis. Buliran air yang mengalir
di pipiku terus keluar meski aku berusaha menghentikannya.

Aku sama sekali tidak menangis. Ini hanya tetesan air hujan
yang membasahiku.

— 229 —
Bab 4 — Cinta Abadi

Setelah itu, aku mengunjungi rumah Shiina, tapi tidak ada


jawaban dari dalam. Dia mungkin tidak ada di rumah karena
tempat itu tampak kosong.

Apa itu berarti dia pergi ke suatu tempat. Sekarang, dia sedang
pergi kemana?

Aku memikirkan semua tempat yang dapat aku pikirkan.

Tiba-tiba, sebuah tempat dari kehidupanku sebelumnya


muncul di benakku.

Tempat yang tinggi. Kembali pada kehidupan kami sebelumnya,


setiap kali penyihir itu merasa tertekan atau ingin sendirian, dia
selalu pergi ke tempat yang tinggi.

Kira-kira di mana tempat tertinggi di dekat sini?

Aku mati-matian memeras otakku untuk mencari


kemungkinan tempat di mana dia bisa berada.

Di atap apartemen bertingkat tinggi ini? Tidak. Atap sekolah?


Tidak. Taman di dekat Gunung Akagi? Tidak… Tunggu, karena saat
ini sedang hujan, jadi mungkin aku bisa berasumsi dengan aman
kalau dia takkan berada di luar.

Tempat tinggi yang tidak ada di luar.

Aku segera mengetahuinya. Kantor Pemerintah Prefektur


Gunma, ada ruang observasi yang bisa bebas dikunjungi di lantai 32.
Aku segera pergi ke sana dan ketika aku sampai di ruang observasi,
aku melihat seorang gadis berambut hitam di sana, berdiri di dekat
jendela sambil melihat pemandangan malam.

Mungkin karena sekarang waktu malam di hari kerja atau


karena menunjukkan seberapa kosongnya Gunma, aula tersebut

— 230 —
terlihat sepi dari kehadiran manusia kecuali kami dan penjaga
keamanan.

“… Shiina.”

Ketika aku memanggil namanya, bahunya bergetar.

Dia berbalik menghadapiku dengan tatapan ketakutan.


Wajahnya dipenuhi kecemasan saat berkedip ke arahku.

“… Kenapa kamu basah kuyup begitu?”

“Hah? Kupikir aku sudah menyekanya sampai kering...”

Aku memeras pakaian aku dan mengeringkannya sedikit


sebelum aku memasuki gedung supaya tidak menetes ke seluruh
lantai.

“Apa kamu mencariku di tengah hujan?”

“Ya, memangnya kenapa?”

“Kenapa kamu sampai melakukan itu…?”

“Karena kamu membolos sekolah selama berapa hari


sekarang?”

Aku berjalan mendekatinya. Mukanya tampak pucat, tetapi aku


tidak tahu penyebabnya.

“Apa kamu baik-baik saja? Kamu tidak masuk angin, kan?”

“… Tidak, aku tidak masuk angin atau semacamnya.”

“Benarkah? Syukurlah kalau begitu.”

Ada satu kekhawatiranku. Dia sama sekali tidak sakit, jadi


semuanya baik-baik saja dalam hal itu.

— 231 —
Ada kemungkinan dia tidak sehat karena kutukannya mulai
kambuh lagi.

Padahal, dari tatapan tajamnya, aku bisa berasumsi bahwa


tidak ada masalah dalam hal itu juga.

“Kenapa kamu malah mencemaskanku? Kita berdua sudah


bukan teman lagi.”

“Kenapa begitu? Kamu tidak bisa mengusirku begitu saja tanpa


memberitahuku apa pun.”

“Itu…”

Dia mencoba mengatakan sesuatu tetapi segera menutup


mulutnya.Kenapa dia seperti ini? Memangnya dia tidak bisa
mengatakannya secara langsung kepadaku?

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu bolos sekolah? Apa itu


karena kamu tidak ingin melihatku?”

Dia tetap diam seribu bahasa. Keheningannya menjawab


pertanyaan itu. Hatiku mulai merasa tertusuk sakit.

“… Kenapa kamu menghindariku?” Aku bertanya padanya.

Bahkan jika aku terluka oleh jawabannya, aku tetap ingin


mendengarnya, karena jika tidak, pembicaraan kita takkan bisa
kemana-mana.

Jika dia menghindariku karena dia merasa terbebani karena


cintaku padanya atau karena aku melakukan sesuatu yang
menyinggung perasaannya atau bahkan karena dia membenciku
sejak awal, apapun jawabannya, aku tetap harus meminta maaf dan
memaafkannya. kesempatan untuk berbaikan dengannya.

“…Kamu tidak mengerti?”

“Tentu saja tidak, aku bukan pembaca pikiran.”

— 232 —
“Itu karena…”

Saat aku bingung dengan kata-katanya, dia berteriak dengan


suara putus asa.

“Itu karena aku menyukaimu!”

“…Hah?”

Kepalaku menjadi kosong. Gadis ini, apa-apaan maksudnya?


Dia menyukaiku? Hah?

“…K-Kalau begitu, di mana masalahnya?!”

Tidak pernah aku berharap tanggapan seperti ini keluar dari


mulutnya.

“Semuanya!” Kata Shiina sambil melambaikan tangannya


seperti anak kecil.

“Ji-Jika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu, bukannya


itu berarti kita bisa berpacaran?!”

Apa sih yang dia bicarakan? Aku tidak memiliki cukup sel otak
untuk memahami kata-katanya.

“Y-Ya? Lalu, kita tinggal berpacaran saja??”

Aku justru menginginkan itu. jadi, apa masalahnya?!

“Kami tidak bisa! …Tidak, kami sebenarnya bisa, tapi tetap


tidak bisa!”

Yup, aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Apa kita


bahkan berbicara dalam bahasa yang sama?

“Jika kita berpacaran, maka hanya aku yang merasa bahagia!


Aku takkan bisa membuatmu bahagia dan aku benci itu! Apa
gunanya kita berpacaran jika kamu tidak bahagia ?!”

— 233 —
“… Apa?”

Jadi itulah alasan mengapa dia menghindariku?

“Jika kamu berpacaran denganku, tentu saja aku juga akan


merasa senang!”

Dia menggelengkan kepalanya sebelum memulai


pembicaraanya.

“… Ini bukan buku cerita. Kehidupan kita takkan berakhir


hanya dengan pergi berpacaran dan hidup bahagia selamanya.
Kehidupan kita akan terus berlanjut bahkan setelah itu. Aku
percaya kamu bisa membuatku bahagia, tetapi jika hubungan kita
hanya sepihak seperti itu, kamu akhirnya akan putus denganku
karena sudah tidak tahan lagi. Begitulah hubungan kita akan
berakhir.”

Su-Sungguh pemandangan yang pesimis sekali...

Tapi sekali lagi, bukan Shiina namanya jika dia tidak bertindak
seperti ini...

“Jadi, kamu lebih suka tidak berpacaran denganku?”

“Ya. Selain itu, seharusnya ada seseorang di dunia ini yang


lebih pantas bersamamu daripada aku.”

…Seseorang yang lebih pantas bersamaku, ya?

Pastinya ada banyak gadis yang jauh lebih tidak merepotkan


untuk dihadapi ketimbang dirinya.

Tetapi aku tahu bahwa aku tidak lebih baik darinya.

Juga, aku menyukai bagian dirinya yang begiitu.

“… Misalnya saja seperti Kirishima-san.” Kata Shiina dengan


berbisik.

— 234 —
Dia berhenti berbicara setelah itu.

Jadi itu sebabnya dia menghindariku. Dan itulah alasan


mengapa Hina memberiku dorongan seperti itu.

Aku semakin mengagumi Hina sekarang. Aku harus memenuhi


harapannya.

Demi melakukan itu, aku harus membujuk gadis keras kepala


yang ada di hadapanku ini untuk mencapai akhir yang bahagia
denganku.

“Apa kamu menyiratkan bahwa aku harus berpacaran dengan


Hina?”

“Ya. Dia adalah teman masa kecilmu, dia selalu berada di


sisimu, ditambah lagi dia menyukaimu. Tidak ada yang lebih baik
daripada Kirishima-san.”

Lihatlah dia, ekspresinya yang sedih ketika dia mengatakan itu.

Dia mengatakan semua itu, tapi dia terlihat seperti akan


menangis kapan saja.

“… Aku baru saja menolaknya sebelum aku datang ke sini.”

Ketika aku mengatakan ini padanya, Shiina menunjukkan


ekspresi terkejut.

“Ke-Kenapa ?!”

Aku mengambil langkah lebih dekat dengannya dan


mencengkeram bahunya.

Wajah kami sangat dekat sampai-sampai hidung kami hampir


bersentuhan. Dengan pandangan mata kami yang saling terkunci
satu sama lain, aku meneriakkan perasaanku padanya.

“Karena aku tidak ingin menyerah padamu!”

— 235 —
Air mata menetes dari sudut matanya.

Gadis ini cenderung terlalu banyak berpikir, membenci dirinya


sendiri, dan depresi. Dia membenci keadaannya saat ini, tapi dia
terlalu terbiasa untuk mencoba melupakannya. Di satu sisi, bisa
dibilang kalau dia buruk dalam menangani hidupnya.

Beruntung baginya…

Tidak peduli betapa sedihnya dirinya, aku akan melakukan


yang terbaik untuk membuatnya bahagia.

Itulah tekad aku, keinginanku, bahkan sebelum aku


bereinkarnasi ke dunia ini.

Dia mengatakan kalau berpacaran denganku akan


membuatnya bahagia. Jadi aku tidak perlu merasa ragu lagi.

Pergunakan kesemapatan dengan baik, itulah kata orang bijak.


Aku akan membanting perasaanku yang meluap ini padanya,
supaya dia bisa mengerti.

“Shiina. Izinkan aku menjelaskan hal ini kepadamu. Aku


mencintaimu.”

Aku bisa melihat matanya bergetar ketika mendengar kata-


kataku, tapi dia tetap menunduk.

“… Tapi, Kirishima-san selalu mencintaimu.”

Aku tahu itu. Tentu saja aku tahu itu.

Aku juga menyukai Hina.

Aku juga sangat ingin membuatnya bahagia.

Tapi satu-satunya orang yang aku cintai secara romantis adalah


Shiina.

— 236 —
"Berkat dirimu, aku merasa menjadi orang yang paling
bahagia seumur hidupku.’

Ketika aku melihat senyumnya saat itu, aku merasa sangat


bahagia.

Rasanya seperti aku diselamatkan. Keberadaannya


menyelamatkanku.

Dia terlihat sangat cantik sehingga aku tidak bisa menahan diri
untuk tidak terpesona oleh kecantikan itu.

Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamanya, demi


bisa melihatnya tersenyum lagi dan lagi.

Selama dia bisa menghabiskan hari-harinya dengan senyum


di wajahnya, aku akan merasa puas. Itu saja sudah cukup
membuatku bahagia.

“Kenapa… Untuk orang sepertiku…?”

“Jangan meremehkan orang yang aku cintai.”

— 237 —
— 238 —
Bahunya bergetar ketika aku mengatakan ini padanya.

“Maaf, tapi perasaanku ini tidak begitu sepele sehingga aku


bisa menyerah begitu saja sesuai permintaan. Tidak ada gunanya
mencoba melarikan diri dariku! Aku takkan pernah membiarkanmu
pergi kecuali kamu mau berpacaran denganku! Jadi, persiapkan
dirimu, aku akan mengejarmu sampai ke ujung bumi, Shiina!
Fuhahaha!”

…Tunggu, entah kenapa kedengarannya salah.

Tidak, tidak, maksudku, kami saling mencintai, jadi


seharusnya tidak ada masalah meski aku mengatakannya seperti itu.

Dengan sedikit kesal, Shiina berteriak padaku,

“Ak-Aku mencintaimu lebih daripada kamu mencintaiku!


Kamu tidak bisa mengalahkan cintaku padamu!”

“Enggak! Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintaiku!”

“Mana mungkin seperti itu! Yang bisa kupikirkan sebelum aku


tidur setiap malam adalah percakapan yang aku lakukan
denganmu!”

“Aku selalu mendapati diriku menatapmu di kelas! Aku


melakukannya sepanjang waktu!”

“…Be-Benarkah….?”

Wajahku mulai terasa panas.

“Tapi, itulah alasan mengapa aku tidak bisa berpacaran


denganmu!”

“Karena kamu tidak bisa membuatku bahagia? Kenapa kamu


begitu peduli?”

— 239 —
“Karena yang bisa kulakukan hanyalah membuatmu tidak
bahagia! Aku sudah membuatmu tidak bahagia!”

“… Itu terjadi di kehidupan kita sebelumnya. Sekarang berbeda.


Kamu bukan penyihir lagi dan aku juga bukan pahlawan lagi!”

“Aku tahu, tapi itu tidak mengubah apapun! Kita masih orang
yang sama seperti saat itu!”

“Kenapa kamu merasa perlu membuat ini begitu rumit…”

“Kamu sama sekali tidak mengerti. Berbeda dengan Kirishima-


san, aku tidak memiliki kekuatan untuk mendukungmu! Menerima
cintamu secara sepihak terlalu membebaniku! Aku baik-baik saja
dengan tetap sebagai temanmu!”

Rupanya Shiina terobsesi apakah dia bisa mendukungku atau


tidak.

“Memangnya aku terlihat sangat tidak dapat diandalkan


sampai-sampai membuatmu berpikir kalau aku membutuhkan
seseorang untuk mendukungku?”

“Ya. Jika seseorang tidak mendukungmu, kamu akan segera


menjadi tidak bahagia.”

“Aku tidak ingin mendengar itu darimu!”

Ketika aku menunjukkan itu, Shiina menundukkan wajahnya


dan bergumam, “... itu ada benarnya juga.”

Tidak, jangan depresi sekarang …

“Saat kamu sudah sedikit tenang nanti, kamu akan mengerti


apa yang aku bicarakan. Cinta itu buta, iya ‘kan? Kamu sedang
dalam kondisi itu sekarang.”

Pada akhirnya, masalahnya berasal dari kepercayaan diri gadis


ini yang sangat rendah.

— 240 —
Dia tidak percaya pada konsep seseorang menyukainya sejak
awal. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak percaya bahwa aku
menyukainya.

“Salah. Aku mencintaimu! Apapun yang terjadi, aku akan


selalu mencintaimu! Terlepas cinta membutakanku atau tidak, itu
tidak masalah!”

“Berhentilah mengatakan hal seperti itu…”

“Aku takkan berhenti! Ini bukan tentang diriku, hal ini


mengenai cintaku padamu! Aku menyukaimu karena kamu adalah
kamu!”

“Aku tidak bisa menerima cinta itu!”

“Lalu, apa yang harus kulakukan untuk meyakinkanmu?”

“Ceritakan satu hal yang kamu sukai dariku!”

Dia membusungkan dadanya dengan percaya diri. Dia


sepertinya yakin bahwa aku takkan pernah bisa menyebutkan satu
hal pun yang baik tentang dirinya.

Sungguh keyakinan yang luar biasa, walaupun itu ke arah


negatif.

“…Baiklah.”

Aku akan memberitahunya.

Satu per satu, aku akan membuat daftar sisi bagus dari Shiina.

“… Oke, pertama-tama, aku menyukai wajahmu. Pada


kehidupan kita sebelumnya kamu mempunyai wajah yang begitu
cantik dan saat ini penampilanmu tidak terlihat lebih buruk.
Bahkan di antara para idola, kamu terlihat paling cantik, paling
cantik di dunia! Kamu harus menyadari hal itu, oke?”

— 241 —
“… Apa yang 'tercantik di dunia'? Mengapa aku harus
menyadari hal itu?”

“Aku bukan narsisis,” lanjutnya dengan pipi memerah.

“… Kedua, aku suka kebaikanmu. Orang-orang selalu


memperlakukanmu dengan buruk, tetapi kamu tetap
memperlakukan mereka dengan baik meskipun tidak ada yang akan
menyalahkanmu jika kamu tidak memberikan belas kasihan kepada
orang-orang itu.”

“… A-Ahem. K-Kamu tahu tidak ada gunanya menyanjungku


seperti ini, kan? Aku sudah mencintaimu sejak awal, jadi tidak
peduli seberapa keras kamu mencoba merayuku, itu tidak akan
mengubah apapun. Sayang sekali.” Ujar Shiina.

Dia terdengar sangat yakin bahwa dia memiliki logika kuat


yang mendukung kata-katanya. Walaupun kata-katanya terdengar
kontradiktif, sih.

Aku mengabaikan kata-kata idiot itu dan terus berbicara.

“… Aku suka caramu memperlakukanku. Aku tidak tahu


apakah kamu menyadarinya, tetapi rasanya nyaman. Ketika kamu
membuka hatimu untukku, kamu menutup jarak dariku dan itu
membuatku merasa bahwa kamu bergantung padaku. Aku
menyukai itu.”

“Be-Begitukah….?”

Dia memalingkan muka sambil gelisah.

“… Aku menyukai sikapmu saat mencoba menjauhkan orang.


Kamu terlihat seperti tidak tahan untuk memperlakukan mereka
dengan kasar dan selalu berusaha untuk menjaga mereka setelah
kamu menjauhi mereka. Kecanggunganmu itu, aku menyukainya.”

Karena dia menyembunyikan wajahnya, aku tidak bisa melihat


ekspresinya lagi, tapi aku tahu kalau telinganya merah cerah.

— 242 —
“… Aku suka ekspresi bahagiamu setiap kali kamu bercerita.
Suaramu menjadi lebih lembut dari biasanya, kamu menjadi lebih
ekspresif dan bahagia. Aku suka ekspresi cerah yang kamu buat
setiap kali aku berhasil bersimpati denganmu.”

Dengan berbisik, dia berkata “Tolong hentikan…” sambil


menutupi wajahnya dengan tangannya. Sayang sekali untuknya,
aku tidak akan berhenti.

"…Aku suka senyummu. Aku suka cara pipimu bergerak seperti


bunga mekar.”

Kata 'suka' terus keluar dari mulutku.

Aku sangat mencintainya. Aku selalu memperhatikannya.

Sejak awal, aku tertarik padanya dan baru-baru ini, perasaan


itu berkembang menjadi cinta.

Aku ingin membuatnya bahagia, melihat senyumnya dan selalu


bersamanya.

“A-aku mengerti, aku mengerti, jadi tolong hentikan!”

“Aku mencintai semua bagian tentang dirimu. Aku suka sisi


merepotkanmu, kecanggunganmu, rasa mindermu,
ketidakmampuanmu sebagai manusia, aku mencintai segalanya!”

“… Sudah cukup… aku tahu kau mencintaiku!”

“Kalau begitu, kamu harus tahu betapa bahagianya aku jika aku
berpacaran denganmu."

“Uu…”

Shiina menggeser tangannya yang menutupi wajahnya dan


menatapku.

“Ha-Haruskah kita benar-benar… Berpacaran…?”

— 243 —
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tetapi aku bisa melihat
dengan jelas bahwa wajahnya yang semakin memerah.

“Se-Seperti yang kuduga, lebih baik jangan! Jika kita beneran


pacaran, aku tidak akan menjadi diriku sendiri lagi!”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan menjadi gila karena menjadi terlalu bahagia!”

“Tapi aku akan berada di posisi yang sama sepertimu?”

“… Tapi, jika kita menjadi sepasang kekasih, ada kemungkinan


kita akan putus. Jika itu yang terjadi, hal tersebut akan menjadi
akhir dari hubungan kita, kita bahkan tidak bisa kembali menjadi
teman lagi. Jika aku harus melalui itu, aku lebih memilih kalau kita
tetap menjadi teman…”

Luar biasa, dia selalu memikirkan skenario terburuk.

Karena dia selalu bertingkah seperti ini, dia mungkin tidak


pernah menyadari bahwa semua hal negatif hanyalah kekhawatiran
yang tidak perlu.

“Kalau begitu, ayo menikah.”

“… Hah?”

“Aku bersumpah akan bersamamu selama sisa hidupmu. Jika


begini, kamu pasti tidak perlu khawatir mengenai kalau kita akan
putus.”

“… K-Kita tidak bisa menikah di usia segini.”

“Kalau begitu ayo bertunangan dulu. Kita bisa menikah setelah


kita sudah cukup umur.”

Bahkan setelah aku mengatakan semua itu, dia masih terlihat


ragu-ragu. Aku merasa kesal.

— 244 —
“Shiina! Berhenti memikirkan yang tidak perlu!”

“T-Tapi… aku tidak yakin bahwa aku akan membuatmu


bahagia…”

“Kalau begitu cobalah! Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa


jika kamu tidak mencobanya! Dengarkan aku!”

Aku menarik napas dalam-dalam. Apa yang akan aku katakan


akan terdengar menyedihkan, tapi…

“Kamu akan membuatku bahagia!”

Kata-kata itu mengejutkan Shiina saat dia mengedipkan


matanya.

“A-Apa…?”

“Itu sebabnya jangan menyerahkanku pada orang lain! Katakan


pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa melakukan ini! Jangan buang
aku tanpa mencobanya! Shiina Mai. Aku yakin kamu bisa
membuatku bahagia!”

Aku tidak tahu apa yang kukatakan padanya, tapi setidaknya


sepertinya kata-kataku sampai padanya.

“Mencobanya…” gumamnya sambil melihat telapak tangannya.

“… Mungkin kita tidak bisa hidup normal seperti orang normal


lainnya karena ingatan kita di kehidupan sebelumnya. Mungkin kita
mengerikan dalam mencoba meraih kebahagiaan kita, tetapi itulah
sebabnya kita akan menjadi sempurna satu sama lain. Aku berjanji
akan membuatmu bahagia, jadi…”

“…Aku bisa membuatmu bahagia?”

Aku mengangguk mendengar kata-katanya.

Tiba-tiba, kenangan dari kehidupanku sebelumnya terlintas di


kepalaku.

— 245 —
'Mau bagaimana lagi kalau begitu. Mari kita jalani hidup kita
yang tidak bahagia bersama.’

Dia pernah mengatakan itu padaku.

Saat itu, aku tidak bisa menerima kata-kata tersebut.

Menjalani hidup kita yang tidak bahagia bersama-sama? Mana


mungkin, harusnya aku saja yang menjadi satu-satunya menjalani
kehidupan yang tidak bahagia.

Itulah yang aku sumpahi pada hari itu. Tapi, ternyata apa yang
dikatakan penyihir itu benar.

“… Bisakah kita benar-benar melakukannya?” Gumam Shiina.

“Tentu saja.”

Di kehidupan kami sebelumnya, Grey Handlet dan Cerys Flores


menjalani kehidupan kami yang malang bersama.

Tapi kali ini, sebagai Shiraishi Godou dan Shiina Mai,


semuanya akan berbeda.

Aku bukan pahlawan seperti di kehidupanku sebelumnya.

Itu sebabnya aku akan menjalani hidupku lebih arogan saat itu.

Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan.

Aku akan melakukan apapun yang ingin kulakukan.

Karena yang aku inginkan adalah kebahagiaannya, aku akan


melakukan yang terbaik untuk membuatnya bahagia.

Itu sebabnya aku menjangkau dirinya.

“Mari kita jalani hidup bahagia kita bersama.”

— 246 —
Bersamaan dengan tawanya, diiringi dengan air matanya. Dia
memiliki ekspresi yang agak menyedihkan di wajahnya.

Wajahnya yang cantik hancur saat matanya menjadi bengkak


dan air mata mengalir di pipinya.

Meski begitu, dia menyeka air matanya dan meraih tanganku


dengan ekspresi tegas di wajahnya.

“…Aku akan melakukan yang terbaik.”

Dia menarik tanganku dan memelukku.

“O-Oi, bajuku masih basah karena hujan.”

“Aku tidak peduli.”

Aroma wangi menggelitik lubang hidungku. Kehangatan


badannya mengusir hawa dingin dari tubuhku.

“…Aku akan membuatmu bahagia, Godou.”

Dia mengatakan itu dengan berbisik. Kekuatan memenuhi


tangan yang memelukku.

“Aku juga akan membuatmu bahagia. Bukan sebagai teman,


melainkan sebagai sepasang kekasih.”

◇◇◇◇

Sudah berapa lama sejak Shiina dan aku mulai berpelukan?

Mungkin kurang dari satu menit, tapi dalam waktu singkat itu,
seluruh bagian dalam diriku dipenuhi dengan kebahagiaan.

Namun, perasaan seperti itu tidak bertahan lama.

— 247 —
Karena semuanya diselesaikan, aku secara bertahap
mendapatkan kembali ketenanganku.

… Jadi, kapan kita harus berpisah?

Shiina memelukku begitu erat sehingga aku bahkan tidak bisa


melihat wajahnya. Sepertinya dia takkan melepaskanku dalam
waktu dekat. Yang ada justru gadis ini telah menggosokkan pipinya
ke dadaku untuk sementara waktu sekarang. Kenapa dia sangat
imut? aku tidak bisa…

Ngomong-ngomong, selain itu, meski tidak ada orang di sekitar,


kami masih berada di tempat umum.

Ini adalah Kantor Pemerintahan, kami benar-benar membuat


kekacauan besar di sini…

Kami bertengkar satu sama lain dengan keras, meneriakkan


cinta kami satu sama lain dan yang terpenting, kami saling
berpelukan.

Jika seseorang melihat kami, itu akan menjadi bencana bagi


kami …

“Um, boleh minta waktu kalian sebentar?”

Seseorang memanggilku dari belakang. Dalam sekejap, seluruh


tubuhku gemetar.

Biasanya, aku bisa melihat langkah kaki mereka, tapi


perhatianku terlalu teralihkan untuk memperhatikan sekelilingku.

Aku buru-buru berbalik dan menjauh dari Shiina. Di


belakangku ada petugas satpam.

“Maaf mengganggu kalian berdua, tapi sekarang sudah


waktunya untuk tutup…”

“Y-Ya… M-Maaf…”

— 248 —
Kami berdua menundukkan kepala karena malu. Aku bisa
merasakan wajahku menjadi lebih panas dari sebelumnya ketika
aku meneriakkan cintaku pada Shiina.

Apa sih yang sedang kami lakukan?

“Tidak masalah, tidak masalah. Aku baru saja melihat sesuatu


yang bagus berkat kalian berdua. Ah, indahnya masa muda…” (TN:
Pak Satpam adalah kita :v)

Penjaga satpam itu menganggukkan kepalanya beberapa kali.


Tatapan hangat yang Ia tunjukkan kepada kami terasa menyengat.

Aku bahkan tidak punya energi untuk mengomentari


pandangannya.

“Aku senang tidak ada orang lain di sini atau aku harus
menghentikan kalian di tengah jalan. Sekarang, rasanya menjadi
sangat canggung, bukan?”

Kata satpam sambil mengantar kami ke lift.

“Baiklah, aku berharap kalian berdua bisa hidup bahagia.”

Ia mengantar kami pergi sambil tersenyum saat kami


memasuki lift.

Kami berdiri berdampingan saat lift perlahan turun ke lantai


paling bawah.

Aku melirik Shiina yang berdiri di sampingku, dan mendapati


dirinya juga melirikku. Pada saat itu, pandangan mata kami
bertemu. Untuk beberapa alasan, aku mengalihkan pandanganku.
Setelah beberapa saat, aku mengalihkan pandanganku padanya lagi
dan mata kami bertemu lagi. Kali ini, Shiina lah yang memalingkan
pandangannya.

Apa yang harus kami lakukan sekarang? Rasanya menjadi


sangat canggung begini…

— 249 —
Omong-omong, apa ini berarti kami sudah resmi menjadi
sepasang kekasih?

Bagaimana seseorang melakukan sesuatu sebagai sepasang


kekasih? Ugh, aku tidak tahu satu hal pun tentang ini!

Maksudku, berada di sampingnya saja sudah membuatku


gugup…

… Tapi tetap saja … Kami resmi berpacaran, ya?

“Kita sudah sampai.”

Saat lift mencapai permukaan tanah, pintu terbuka. Kakiku


masih membeku, tapi Shiina meraih tanganku dan mendesakku
untuk pergi bersamanya, bergandengan tangan.

“S-Shiina?”

“Se-Seharusnya ini baik-baik saja… K-Kita ‘kan sepasang


kekasih…”

Dia memalingkan wajahnya, tapi tangannya masih


menggenggam erat tanganku. Meskipun pandangan kami terpisah,
tangan kami bergandengan satu sama lain.

“… Godou?”

Menyadari kesunyianku, dia mengalihkan pandangannya ke


arahku.

“Apa kamu merasa malu dengan ini?” Katanya, berusaha


menggodaku, meski wajahnya sama-sama merah seperti diriku.

“…Kamu sangat imut.”

Dia mengeluarkan tawa yang berubah menjadi senyum


menggoda beberapa saat kemudian. Ini adalah sisi baru dirinya
yang tidak pernah kuketahui keberadaannya. Sebelum ini, akulah

— 250 —
yang terus menggodanya sepanjang waktu, tapi sekarang kami telah
menjadi sepasang kekasih, dinamika hubungan kami sepertinya
jadi terbalik.

… Tidak, seharusnya tidak demikian. Dia sama putus asanya


dengan aku dalam hal percintaan.

Selama aku bisa menggodanya kembali, aku harus bisa


menjaga martabatku sebagai pria dalam hubungan kami.

“S-Shiina.”

Aku memanggilnya, tapi dia bergerak cepat dan meletakkan


jarinya di bibirku.

“Aku benci itu.”

“A-Apa maksudmu?”

“… Bukannya aku ini pacarmu? Panggil aku dengan namaku.”

Apakah itu berarti dia ingin aku memanggilnya 'Mai'?

...Aku tiba-tiba merasa malu. Mungkin karena aku terlalu


terbiasa memanggilnya 'Shiina'.

Dia memanggilku 'Godou' segera setelah aku menyuruhnya


berhenti memanggilku 'Pahlawan', jadi dia sudah terbiasa dengan
ini. Aku mungkin seharusnya memanggilnya 'Mai' ketika aku
memutuskan untuk berhenti memanggilnya 'Penyihir.'

Kalau saja aku melakukan itu, aku tidak akan terjebak dalam
situasi ini.

“… Godou?”

“…M-Mai…”

Saat aku memanggil Shiina— Mai, dengan namanya, dia


tertawa cekikikan.

— 251 —
“Ayo coba katakan sekali lagi.”

“Tapi kenapa?”

“…Bukannya kita sepasang kekasih?”

Berhenti menatapku dengan tatapan memelas seperti itu! Aku


ingin mengatakan itu, tapi aku tidak bisa!

“…Mai.”

Ketika aku memanggil namanya lagi, dia menyandarkan


kepalanya di bahuku.

Dia melepaskan genggaman tanganku dan mengubah posisinya


sehingga dia bisa memeluk lenganku sebagai gantinya.

Posisi ini terlalu berbahaya. Aku bisa merasakan dadanya yang


lembut di lenganku.

“Padahal awalnya kamu sangat enggan, tapi kamu benar-benar


langsung mendapat mood dengan…”

Ketika dia mendengar itu, dia menggembungkan kedua pipinya.

“Aku sudah lama menahan perasaan ini, jadi setidaknya aku


harus melakukan ini untuk menebusnya. Karena kamu mengatakan
bahwa aku tidak perlu menahan diri, aku akan melakukan yang
terbaik untuk menghujanimu dengan cintaku…”

“…Jadi begitu ya.”

Walaupun tingkah imutnya itu buruk untuk hatiku, tetapi pada


saat yang sama, itu membuatku bahagia.

Kami berjalan pulang bersama di bawah langit malam.


Guyuran hujan sudah lama berlalu. Awan telah pergi ke suatu
tempat saat langit malam dipenuhi dengan bintang-bintang

— 252 —
bersinar yang tak terhitung jumlahnya. Bajuku masih lembap, jadi
udara terasa sedikit dingin.

Meskipun aku bisa merasakan kehangatan musim panas, udara


dingin mengingatkanku bahwa musim gugur akan segera tiba.

Tiba-tiba, Mai angkat bicara.

“Mulai sekarang tolong jagalah aku ya, Darling~”

“Da-Darling?!”

“Bukankah kita akan menikah nanti?”

“I-Iya sih, tapi kamu tahu…”

Bukannya masih terlalu dini untuk itu!

Meskipun aku berpikir demikian, pikiranku berhasil


membayangkan kehidupan pengantin baruku dengannya.

'Selamat datang di rumah, darling~ Apakah kamu mau


makan malam? Mandi? Atau mungkin…'

Ya tolong, panggil aku darling, tolong. Ayo menikah sekarang


juga!

“Aku hanya bercanda, kok. Aku akan menggunakannya setelah


kita benar-benar menikah. Untuk saat ini, mari bertingkah laku
sebagai sepasang kekasih biasa.”

“E-Eh… Be-Begitu ya…”

“Apa? Kamu beneran berpikir bahwa aku akan memanggilmu


'Darling' sepanjang waktu saat kita masih menjadi kekasih?”

Dia benar. Aku menganggap leluconnya terlalu serius, astaga,


betapa menyedihkannya diriku ini.

“Ngomong-ngomong, kamu akan melamarku lagi nanti, kan?”

— 253 —
“A-Apa aku harus…?”

“Tentu sajalah. Aku tidak akan pernah bosan dengan


lamaranmu, ini mirip seperti makanan enak, tau? Seseorang tidak
akan pernah bosan dengan makanan yang enak, bukan?

Jika memungkinkan, aku benar-benar tidak ingin melakukan


pengakuan yang menegangkan dan memalukan itu lagi.

Tapi, jika itu bisa membuatnya bahagia…

Aku mendongak ke arah langit malam dan melihat bintang


jatuh yang berkelap-kelip. Sebelum cahayanya menghilang, aku
berdoa dalam hati.

Semoga kita bisa hidup bahagia di masa depan.

— 254 —
Epilog — Aku Lebih Memilihmu Daripada Dunia
Ini

Keesokan harinya. Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan


kurang tidur karena terlalu gembira.

Ketika aku membuka pintu kelas, aku disambut dengan


pemandangan yang biasa …. Atau tidak.

Untuk beberapa alasan, semua orang menatapku. Ditambah


lagi, mereka menatapku dengan tatapan yang lembut dan hangat.

Jika diperhatikan lebih dekat lagi, aku melihat kalau Shiina


sudah mengambil tempat duduknya. Mungkin karena sudah lama
sekali sejak dia muncul di sekolah, dia tampak dikelilingi oleh
semua orang di kelas. Untuk beberapa alasan, wajahnya terlihat
memerah dan dia terlihat meminta maaf ketika pandangan
matanya bertemu denganku.

“Godou? Katanya kamu habis melakukan pengakuan perasaan


yang menggairahkan kepada Mai-chan, ya~?”

Hina tiba-tiba memancing dengan ekspresi menyeringai dan


tertawa.

...... Dasar Mai, apa dia memberi tahu sampai sejauh itu?
Kepada semua orang yang ada di dalam kelas?

“Kamu ……”

“Ak-Aku minta maaf”

“Hei, jangan salahkan Mai-chan, dong. Kamilah yang


memaksanya untuk bercerita.”

“Jangan memaksanya untuk bercerita. Aku di sini malah ingin


melupakannya karena itu terlalu memalukan dan sudah menjadi
sejarah kelam”

— 255 —
“... Iy-Iyakah?”

Jangan terlihat sedih begitu napa. Aku sedang membicarakan


tentang tempat atau situasi!

“Tidak, aku sedang membicarkan tentang itu saja. Apa yang


dilihat oleh penjaga keamanan ata sesuatu seperti itu.”

“It-Itu benar. Kupikir itu hanya kesalahpahamanku dan


berpikir kalau kejadian kemarin hanyalah mimpi ...”

“... ya mana mungkinlah. Aku benar-benar men ...”

Aku hendak melanjutkan kata-kataku ketika aku baru ingat


kalau aku sedang berada di dalam ruangan kelas.

Semua orang menatapku dan Shiina dengan ekspresi yang bisa


membuat kata “hehe” tertulis di wajah mereka.

“Oi, oi, pagi-pagi udah langsung mesra-mesraan aja.”

“Ciee~ Ciee~”

“Yah, namanya juga baru jadian kemarin, ‘kan? Setidaknya kita


perbolehin pada hari pertama mereka.”

Dan seterusnya. Aku belum pernah melihat mereka tampak


bersenang-senang begini sejak turnamen sepak bola.

“Eeeeeii! Kalian terlalu nyebelin! Cepetan bubar!”

Aku melambaikan tanganku. Semua orang menertawakanku


sebelum kembali ke tempat duduk mereka. Ada beberapa orang
yang tetap tinggal, kelompok Hina, Shinji dan Yuuka yang biasa.

“Selamat untukmu, bung.” Kata Shinji sambil memberiku


tepuk tangan ringan.

— 256 —
Yuuka menatap Hina dengan ekspresi rumit di wajahnya.
Seolah ditarik olehnya, aku mengalihkan pandanganku ke arah
Hina juga.

“Jangan khawatir tentang itu. Akulah yang membuatmu


melakukannya, ingat?”

Dia mengatakannya sambil menunjukkan senyumnya yang


biasa. Paling tidak dia tidak terlihat depresi atau semacamnya.

Senyumnya begitu cerah sehingga sulit bagiku untuk


mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya.

“Kamu tahu, kamu harus berterima kasih padaku sebagai


gantinya. Akulah yang membuat kalian jadian, ‘kan?”

Dia membusungkan dadanya yang besar. Melihat itu, Mai


menganggukkan kepalanya.

“Orang bodoh ini terlalu berat untuk kutangani, jadi Mai-chan,


aku serahkan cowok ini padamu, oke?”

“Y-Ya! Aku akan melakukan yang terbaik!"

Mai, kamu mulai bicara formal lagi, ya ampun. Bukannya


kalian berdua berteman?

Pokoknya, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di antara


mereka berdua. Tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang harus aku
ketahui. Yah, aku hanya bisa berharap kalau semuanya akan segera
kembali normal.

“Tetap saja, aku tidak pernah menyangka bahwa akan datang


suatu hari ketika aku mendengarmu meneriakkan pengakuan
cintamu.”

Shinji mencoba mengubah topik pembicaraan, dan itu upaya


yang bagus. Kecuali bahwa topic yang Ia ungkit sama sekali tidak
baik bagi mentalku.

— 257 —
“Aku tidak tahu seberapa banyak Mai memberitahumu, tapi
mendingan kamu tutup mulutmu.”

“… Mai?”

“Mai, ya?”

“Heee~”

Berhenti memberiku tatapan hangat itu!

Sial, aku bahkan tidak bisa membantah mereka karena mereka


tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan apapun!

…Kurasa aku harus menahan tatapan seperti ini lebih lama lagi.

“Ah, uh… A-Aku bilang aku ingin dia memanggilku dengan


namaku, jadi…”

Kenapa kamu merasa perlu untuk menjelaskannya kepada


mereka?! Itu adalah hal terburuk yang dapat kamu lakukan dalam
situasi ini!

“Hm~”

“Jadi begitu rupanya~”

“Hehe~”

Mereka bertiga mengangkat sudut mulut mereka dengan geli.

“Uh! Persetan dengan itu.”

“Aku berharap kalian berdua bahagia~!”

Kemudian mereka bertiga pergi menjauh sambil tertawa.

Hanya ada aku dan Mai saja satu-satunya yang tersisa.

— 258 —
Walaupun aku merasa kalau masih ada beberapa orang yang
menatap kami, sih.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Mai, yang berdehem


ringan.

“Se-Semua orang khawatir tentang kedaanku, j-jadi mereka


bertanya kenapa aku mengambil cuti beberapa hari…”

“Jadi, apa yang kamu katakan kepada mereka?”

“Se-Semuanya…”

“Sudah kuduga bakal begitu! Jadi itu sebabnya mereka


menatapku seperti itu!”

Jika seseorang absen dari sekolah untuk waktu yang lama, tiba-
tiba datang ke sekolah dan semua orang menemukan bahwa alasan
mengapa mereka absen adalah karena masalah cinta, tidak
mengherankan kalau mereka akan mengirimkan tatapan hangat
kepada orang tersebut seperti itu! Serius, aku berharap mereka bisa
berhenti… rasanya terlalu memalukan…

Aku harus menghabiskan sepanjang malam berjingkrak-


jingkrak di atas tempat tidur karena rasa malu dan sekarang aku
harus berurusan dengan ini…

Ke mana pun aku pergi, aku menerima dampak emosional. Aku


bersumpah, aku akan segera mati karena malu.

Sejak aku terlibat dengan Mai dalam kehidupan ini, rasanya


aku telah melalui banyak hal yang memalukan.

Aku perlahan-lahan menjadi produser massal sejarah hitam


yang hidup. Serius, yang benar saja. Hanya ada begitu banyak yang
bisa kulakukan untuk bersembunyi di balik kata 'masa muda'.

“… Boleh aku berbicara denganmu sebentar?”

Setelah sedikit ragu, Mai menanyakan pertanyaan itu kepadaku.

— 259 —
“Apa?”

“Apa kamu ada waktu senggang pada hari Sabtu?”

“Ya, aku tidak memiliki jadwal pada shift hari itu. Memangnya
kenapa?”

“A-Apa kamu mau… Be-Berkencan denganku…?”

“Ke-Ke-Kencan?! …Te-Tentu… T-Tapi apa yang ingin kamu


lakukan pada kencan itu?”

“A-Aku tidak tahu… T-Tapi sepasang kekasih seharusnya biasa


pergi berkencan, jadi…”

“Be-Benar juga…”

Aku sudah tahu itu. Aku sudah mencari informasi


mengenai 'hal-hal yang dilakukan kekasih' di internet tadi malam.

“K-Kalau begitu, ayo berkencan…”

“Baiklah… Kalau begitu, aku akan meneleponmu malam ini


agar kita bisa memutuskan apa yang harus dilakukan untuk kencan
itu.”

Ketika Mai mengatakan itu, guru wali kelas kami memasuki


kelas.

Jam pelajaran pagi dimulai dengan damai seperti biasa. Satu-


satunya perbedaan adalah Mai dan aku adalah sepasang kekasih.

Aku melirik ke kursi Mai dan melihatnya menatapku sambil


melambai ringan.

Ada senyum lembut di bibirnya.

…Imut sekali.

— 260 —
Sulit dipercaya bahwa ini adalah gadis yang sama yang
memelototiku saat mata kami bertemu belum lama ini.

Dia pindah ke sekolah ini dua bulan lalu. Kami menjadi teman
hanya sebulan setelah itu dan kami menjadi kekasih kemarin.
Setelah mengingatnya lagi, ada banyak terjadi selama periode dua
bulan tersebut. Atau bisa dibilang kalau dua bulan ini adalah
periode waktu yang penting.

Aku, seorang pahlawan dari dunia lain dan dia, seorang


penyihir dari dunia lain. Tidak ada yang pernah membayangkan
bahwa dua orang yang selalu saling bertarung akan menjadi
sepasang kekasih setelah bereinkarnasi di dunia lain.

“Sekarang setelah Shiina kembali, ruang kelas terasa lebih


cerah.”

Lelucon guru memaksaku kembali ke kenyataan. Aku bisa


melihat Mai menundukkan kepalanya.

Tak lama kemudian, jam wali kelas selesai dan pelajaran


pertama kami, fisika, dimulai. Karena kami harus pindah ke kelas
lain, aku bangkit dari tempat dudukku sambil membawa buku
catatan dan buku pelajaranku.

“Ayo pergi.”

Mai yang sudah selesai bersiap-siap menungguku.

“Ah, kita pergi ke sana bersama?”

Mulai sekarang, kemanapun kita pergi, kita akan bersama.

“Tatapan semua orang membuatku merasa malu…”

“Kamu menuai apa yang kamu tabur."

“Ma-Maksudku, jika aku tidak mengatakan apa-apa, seseorang


mungkin mencoba merebutmu dariku…”

— 261 —
“Tidak ada yang akan berpikir untuk melakukan itu.”

“Kamu tidak pernah tahu. Berbeda denganku, kamu populer.”

“Kamu seharusnya bercermin dulu sebelum mengatakan itu.


Kamu juga populer di kalangan laki-laki.”

Kami berjalan berdampingan di lorong sambil melakukan


percakapan seperti itu.

Tiba-tiba, Mai menggumamkan sesuatu.

“… Aku berharap aku bisa tinggal bersamamu selamanya.”

“Aku juga.”

“Sampai aku mati? Kamum akan berada di sisiku ketika aku


mati, ‘kan?”

“Tidak. Kamu akan hidup lebih lama dariku, itu sudah pasti.”

“Enggak mau. Aku hidup lebih lama darimu di kehidupan kita


sebelumnya, sekarang giliranmu.”

“Hidupku terasa tidak ada gunanya jika kamu mati.”

“Aku merasakan hal yang sama. Tolong pikirkan perasaanku


jika kamu mati sebelum diriku.”

“…Maaf.”

“Aku takkan menerima permintaan maaf itu sampai kamu


berjanji padaku bahwa kamu akan hidup lebih lama dariku.”

“Mustahil.”

“Kenapa?!”

“Karena kamu lah alasan mengapa aku hidup.”

— 262 —
“… Be-Begitu ya.”

“…Y-Ya, se-seperti itu…”

“T-Tapi, bagaimana jika kita punya anak?… Atau mungkin


bahkan cucu…”

“… An-Anak, ya? Ku-Kurasa mereka bisa menjadi alasanku


untuk hidup…”

“T-Tuh, ‘kan?”

“H-Hmm… An-Anak, ya?…”

Aku melirik Mai, yang menatapku dengan wajah merah.

Pada saat itu, tatapannya berubah tegas. Bibirnya berkedut


sebelum dia bergumam,

“… Kenapa kamu menatapku seperti itu, dasar mesum?!”

“Jangan minta yang ngaco-ngaco!”

Bukannya kamu sendiri yang mengangkat topik itu!

“Pandanganmu menjijikkan.”

“Tidak! …Mungkin. Setidaknya aku ingin berpikir begitu…”

“Mengapa kamu terdengar sangat tidak yakin?”

Jika aku mengatakan kalau pikiranku tidak mengarah ke sana,


aku akan berbohong.

“… Jika itu kamu, aku tidak keberatan bahkan jika kamu


melihatku dengan tatapan seperti itu.”

“…O-Oke…”

— 263 —
Dia mengatakannya sambil menggeliat badannya. Aku tidak
tahu bagaimana menanggapinya.

“Tapi, kita masih terlalu dini untuk itu. Kita harus menikah
dulu.”

“Standarmu terlalu ketinggalan jaman…”

“… Lagipula kita akan menikah, jadi bersabarlah.”

“…Ya, tentu.”

Jika dia berkata demikian, kurasa aku tidak punya pilihan lain
selain bersabar dengannya. Aku bisa menahan diri dengan mudah.
Lagipula aku sangat mencintainya.

Aku ingin melakukannya dengannya secepat mungkin, tapi aku


harus bisa menahan diri.

“… Itu bohong.”

Saat aku mengangkat bahu, Mai mengatakan itu padaku.

“Apa maksudmu?”

“… Aku takkan bisa menunggu sampai kita menikah.”

“…”

Eh, apa? Dia baru saja mengalihkan pandangannya. Apa-apaan


itu tadi?

Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya setelah mendengar


itu.

Serius, apa sih yang kita bicarakan pagi-pagi begini? Terlebih


lagi di lorong sekolah!

Kami berbisik satu sama lain, jadi orang lain takkan bisa
mendengar apa yang kami bicarakan, tetapi karena fakta bahwa

— 264 —
kami berpacaran diketahui semua orang, jadi orang pasti akan
memperhatikan kami. Jika mereka melihat wajah merah kami…
Sejarah hitamku mulai menumpuk lagi, bukan….?

“Ma-Mari kita berhenti membicarakan ini! Ke-Kenapa kita


tidak membicarakan sesuatu yang lebih... Sehat?”

“Y-Ya, ayo lakukan itu!”

Jelas-jelas kalau kami berdua sedang panik.

Aku bisa mendengar suara cekikikan dari orang-orang di


sekitar kami.

“Oi, mereka menertawakanmu."

“I-Itu karena kamu menatapku dengan tatapan mata aneh!”

“A-Aku hanya melakukannya karena kamu mulai mengatakan


hal-hal aneh!”

“M-Maaf…”

“T-Tidak, A-Aku juga minta maaf…”

Aku merasa setiap kali Mai dan aku bersama, orang-orang akan
menertawakan kami seperti ini. Kami akan terus membuat sejarah
hitam dan akhirnya berguling-guling di tempat tidur kami untuk
merenungkannya setiap malam.

Bagaimanapun, kami berdua masih baru dalam hal ini. Untuk


mencintai dan hidup secara umum.

Tapi, jika aku bersamanya… Rasanya tidak seburuk yang


kupikirkan sebelumnya.

◇◇◇◇

— 265 —
Di masa depan yang tidak terlalu jauh, seorang pria bernama
Shiraishi Godou berkata,

“Aku mencintaimu. Kumohon menikahlah denganku.”

Di masa depan yang tak terlalu jauh, seorang wanita bernama


Shiina Mai berkata,

"…Ya. Aku juga mencintaimu.”

— 266 —
— 267 —
Kata Penutup

Aku paling suka akhir yang bahagia.

Kisah ini adalah kisah yang dimulai setelah sebuah tragedi,


yang disebut template akhir yang buruk (?), terjadi. Aku selalu
menyukai cerita semacam ini. Seperti cerita yang dimulai setelah
pahlawan dikalahkan oleh raja iblis, tetapi itu ditulis sedemikian
rupa yang mengarah pada akhir yang bahagia.

Bagaimanapun, lama tidak berjumpa, aku Amemiya Kazuki.

Nah, dengan begiini, 'komedi romantis reinkarnasi seorang


pahlawan dan penyihir' selesai.

Dua orang yang seharusnya saling membunuh dalam jilid


pertama berakhir sebagai sepasang kekasih dalam jilid kedua.

Sejujurnya, aku telah menyiapkan lebih banyak hal untuk


pengaturan dan pengembangan cerita. Aku ingin menuliskannya
pada awalnya, tetapi setelah menyelesaikan jilid kedua ini dan
melihat seberapa pas pahlawan dan penyihir bisa bersama, aku
merasa itu tidak diperlukan lagi. Aku sudah merasa puas dengan
bagaimana cerita ini berakhir.

Mantan pahlawan dan mantan penyihir. Kisah dua orang yang


canggung bersatu untuk mencapai kebahagiaan.

Kepribadian mereka cukup rumit, jadi mereka harus


mengambil banyak jalan memutar untuk mencapai titik itu, tapi
bukannya begitu yang namanya rom-com? Keduanya mengalami
cinta pertama mereka, jadi tidak dapat dihindari bahwa semuanya
ternyata seperti itu.

Jika kalian berpikir bahwa cerita ini menarik, hal tersebut


membuatku bahagia.

— 268 —
Aku akan senang jika kalian memberi cuitan tentang ceritanya.

Ngomong -ngomong, mari kita beralih ke ucapan terima kasih.


Terima kasih M-San, yang bertanggung jawab atas proyek atas
realisasi jilid kedua ini. Terima kasih kepada ilustrator, Eru-san,
untuk ilustrasi yang indah. Aku terutama menyukai ilustrasi sampul,
di mana Mai dalam balutan yukata -nya. Senyuman singkat itu
terlihat sangat imut!

Juga, terima kasih banyak untuk semua orang yang terlibat


dengan proyek ini!

Dan kepada kamu yang membaca kata penutup ini, terima


kasih!

Terima kasih kepada kalian bahwa kami dapat mengirimkan


volume kedua ini kepada mu.

Kisah ini akan segera berakhir, tetapi aku berharap aku bisa
melihat kalian nanti dalam karyaku yang lain.

Juga, sedikit iklan, aku akhirnya merilis volume


kedua 'Haibara's Teenage New Game+' (HJ Bunko) bulan lalu. Aku
akan menghargainya jika kamu juga membaca karya itu!

Aku ingin menerbitkan karya lain di Kodansha Ranobe Bunko


juga. Aku punya berbagai ide untuk itu. Aku harap kalian dapat
membantuku dengan doa-doa agar salah satu dari mereka akan
disetujui oleh pihak penerbit.

Jadi, aku akan meletakkan penaku untuk saat ini.

Ketika aku melihat ilustrasi terakhir, aku merasa senang bahwa


aku memutuskan untuk menulis cerita ini.

Aku berharap bahwa keduanya menjalani kehidupan bahagia


di masa depan.

— 269 —
Cerita Sampingan — Kencan Pertama

* Harap membacanya setelah membaca cerita utama

Sabtu siang. Aku sedang menunggu Shiina di depan stasiun.

Kami baru saja mulai resmi jadian beberapa hari yang lalu dan
saat ini merupakan kencan pertama kami. Sejujurnya, aku tidak
tahu harus berbuat apa, tetapi aku memutuskan untuk
mengunjungi akuarium setelah mencari ide kencan di internet.

“Ma-Maaf sudah membuatmu menunggu, Godou ...”

Aku mendengar namaku dipanggil dari belakang dan ketika


aku berbalik, aku melihat Mai dengan pakaian santainya.

Dia tampak sedikit gugup, tapi wajahnya tampak ceria. Dari


leher hingga ke bawah, dia mengenakan cardigan dengan warna
hangat dan rok putih panjang. Kesan yang dia berikan sedikit lebih
dewasa dari biasanya.

Mai memiringkan kepalanya dalam kebingungan saat aku


tutup mulut sambil mengaguminya. Melihat reaksinya itu, aku
mendapatkan kembali kesadaranku, berdeham dan merespons
dengan kalimat yang sudah kusiapkan.

“Ak-Aku baru saja sampai di sini, jangan pedulikan itu ...”

“…Benarkah? Kedengarannya seperti tanggpan umum yang


bisa ditemukan di internet.”

“Mengapa kamu bahkan meragukanku? Lagian juga, bukannya


kamu datang terlalu dini! ”

— 270 —
Saat ini jam 12 siang. Kami berjanji untuk bertemu jam 1 siang.
Itu berarti kami tiba satu jam sebelum rencana. Juga, aku tidak
berbohong ketika aku mengatakan bahwa aku baru saja sampai di
sini.

“Kamu benar, sekarang masih sedikit lebih awal.”

“Makanya. Tapi yahh, aku hanya di sini karena aku tidak punya
kegiatan apa-apa untuk dilakukan.”

Jelas bukan karena aku tidak tahan menunggu lagi di rumah.

Mai menatapku dengan malu-malu, tapi dia masih menatap


mataku.

“… Be-Begitu ya. Aku datang ke sini lebih awal karena aku


ingin melihatmu secepat mungkin.”

Perkataan manisnya itu hampir membuatku pingsan.


Untungnya, aku berhasil menjaga tubuh aku yang goyah berakar ke
tanah.

“… Aku merasakan hal yang sama sepertimu.”

“Benarkah? Kalau gitu, kamu tadi berbohong? ”

“…Ya. Maksudku, rasanya terlalu memalukan mengatakan itu


dengan keras ...”

Pipiku memanas. Aku tidak bisa lagi melihat wajahnya dengan


benar, jadi aku melihat ke atas langit dan melihat langit biru jernih
dengan nyaris tidak ada awan di dalamnya. Hari ini adalah hari
yang indah. Melakukan itu berhasil menenangkanku sedikit.

Setelah aku mendapatkan kembali ketenanganku pada tingkat


tertentu, aku mengalihkan pandangan ke wajah Mai lagi.

“Hehe, aku sangat senang ...” kata Mai sambil tersenyum


bahagia.

— 271 —
Seriusan, gadis ini ... apa dia sebenarnya ingin mencoba
membunuhku dengan rasa malu?

Sepertinya dia masih menyimpan dendam terhadapku karena


kehidupan kami sebelumnya. Jika aku menghadapinya secara
langsung seperti ini, aku akan menjadi orang yang kalah. Situasi ini
membutuhkan strategi mengundurkan diri.

“Po-Pokoknya, ayo pergi.”

“Mm. Kitai akan pergi ke akuarium hari ini, kan?”

“Ya, apa kamu pernah ke sana sebelumnya?”

“Aku pergi ke sana dengan orang tuaku dulu ketika aku masih
kecil.”

“Aku juga ... tunggu, kurasa aku pergi ke sana dengan Hina
dulu ketika kami masih SMP.”

Ketika aku menggumamkan bagian terakhir dari kalimat untuk


diriku sendiri sambil menggali kenanganku yang kabur, aku bisa
merasakan tatapan dingin Mai.

... Ups, kurasa aku baru saja menginjak ranjau darat.

“Begitu rupanya, jadi kamu pergi dengan Kirishima-san, ya~


hmm? Jadi begitu rupanya. Yah, aku bukannya keberatan atau
apapun.” Kata Mai sambil mencibir bibirnya. Dia tidak keberatan,
katanya.

“Kejadian itu sudah lama sekali, oke? Aku bahkan tidak


mengingatnya!”

“… Mengapa kamu bertingkah seperti ini? Aku bilang aku tidak


keberatan, bukan?”

Aku hanya bertindak seperti ini karena dia terlihat marah…

— 272 —
"…Cuma bercanda. Tapi, akulah yang berpacaran denganmu
sekarang, jadi ingatlah itu baik-baik, oke?”

Setelah mengatakan ini, Mai meraih lenganku dan


memeluknya.

Jarak di antara kami segera menjadi lebih dekat. Sebaliknya,


tubuh kita saling menyentuh saat dia menekan tubuhnya ke
tubuhku.

Agar lebih spesifik, dia menekan dadanya yang lembut ke


lenganku.

“M-Mai?”

Aku memanggilnya karena tindakannya yang terlalu mendadak.


Wajahnya kelihatan memerah.

“Ap-Apa? Pa-Pastinya aku diizinkan melakukan ini, ‘kan? Ki-


Kita ‘kan sepasang kekasih.”

Dia menjawab dengan cepat meskipun dengan terbata-bata.


Mungkin itu karena dia gugup, dia melanjutkan sambil memeluk
lenganku dengan erat dan sepertinya dia takkan membiarkannya
pergi dalam waktu dekat. Wajahku sampai ikutan memerah juga.

“... Ka-Kalau gitu, ayo pergi.”

“... i-iya.”

Kami sudah berada dalam suasana hati seperti ini meskipun


kami belum meninggalkan stasiun.

Kencan pertama kami hampir tidak dimulai, tetapi kami sudah


hampir mencapai batas kami.

“... Ba-Bagaimana kalau kita berpegangan tangan saja?... Ak-


Aku pikir terlalu dini bagi kita untuk berjalan seperti ini ..."

— 273 —
Posisi ini terlalu merangsang bagi kami. Aku bersumpah akan
mati karena terlalu bahagia di sini.

Kami harus melakukannya secara perlahan dan mencoba


terbiasa dengan segalanya sedikit demi sedikit.

Hubungan kami masih memiliki jalan panjang untuk bisa


bergerak maju.

— 274 —
— 275 —
— 276 —

Anda mungkin juga menyukai