Anda di halaman 1dari 18

Fragmen-Fragmen Sunyi Karya: Iswadi Pratama

Fragmen Pertama

I
Malam hari. Sebuah sudut kota. Di dalam gelap yang tersiram lampu
jalanan, Samana berlari berusaha mencapai sebuah toko kelontongan yang
baru saja tutup, berteduh dari hujan yang tiba-tiba menyergap. Ia
membawa tas besar berisi pakaian dan peralatan topeng monyet. Di dalam
tas yang sama dekil dengan tubuh dan pakaiannya itu, ia menyimpan juga
bungkusan makanan yang nanti akan diambilnya. Setelah meletakkan
tasnya itu, ia memberi isyarat kepada seseorang yang pada saat ini masih
berada dalam gelap agar segera berteduh di tempatnya. Bertepuk.

LEKASLAH, KEMARI

II

Lorin, seorang perempuan yang lebih ringkih dan tua muncul dari balik
remang cahaya. Tubuhnya basah. Perempuan itu menggendong seekor
monyet yang tak kalah ringkih. Monyet tua yang pucat dan jinak. Bulu-
bulunya telah rontok. Hujan makin deras. Sesekali masih ada orang yang
melintas, bergegas. Lalu senyap. Hanya suara hujan di atap-atap toko dan
gemuruh selokan yang mulai meluap. Jalan-jalan digenangi air dan
sampah dan bau tak sedap mengendap di setiap sisi kota yang separuhnya
telah gelap.

III

Kini Samana, Lorin, dan monyet itu mulai kedinginan. Dalam diam,
Samana membuka tasnya dan mengeluarkan tiga bungkus nasi yang telah
basah terkena rembesan air. Samana, Lorin, dan monyet itu bersiap
menyantap makan siang mereka.

KITA DAPAT KUAH GRATIS.


(SAMANA MENCOBA BERGURAU SAMBIL MEMERAS NASI YANG
TELAH TERCAMPUR AIR. SEMENTARA LORIN HANYA DIAM,
JUGA MEMERAS-MERAS NASINYA. SEDANGKAN SI MONYET
TAMPAK TELAH ASYIK MENIKMATI MAKANANNYA)

IV
Setelah menyelesaikan makan siang yang kemalaman itu, Lorin menggelar
beberapa potong kardus yang tergeletak di emper toko lalu tidur
meringkuk memeluk monyetnya. Samana membuka sebuah bungkusan
kecil dari kantungnya yang berisi puntungan rokok. Memilih
puntung paling panjang lalu membakar dan menghisapnya. Dalam
beberapa saat tak ada peristiwa apa pun. Di kejauhan, kleneng becak
bekejaran dengan nafas-nafas mereka.

Mereka tertidur dan saya sendirian. Begitulah akhirnya. Kedua mahluk ini
maksud saya perempuan dan monyetnya itutak pernah bisa saya ajak bicara.
Padahal kami telah hidup bersama bertahun-tahun lamanya. Berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya, mengamen dari kampung ke kampung. Tepatnya
kami sudah seperti keluarga kecil yang bertekad saling setia sampai maut
memisahkan kami, meskipun itu tak pernah kami ucapkan.

Perempuan itu bernama Lorin. Kami bertemu ketika masih sama-sama belia dan
penuh impian; barangkali saat usia kami masih 25. Meski tak terlalu cantik, dia
amat menawan. Dia memiliki apa yang tak dimiliki oleh kebanyakan
perempuan seusianya di kota ini. Dia punya keberanian untuk berkata tidak
terhadap apa pun yang tidak disukainya. Kata-kata yang oleh sebagian besar
wanita paling sulit diucapkan, terutama apabila mereka menghadapi rayuan dan
godaan laki-laki berkelas. Dia juga cukup kuat bertahan dan menghadapi
berbagai kesulitan yang bahkan tak bisa dilakukan oleh seorang laki-laki yang
cukup sabar sekalipun. Ah, maaf, kalau saya terlalu berlebihan menyanjungnya.
Ini sekadar agar Anda semua tahu bahwa dia tidak serapuh seperti yang Anda
saksikan sekarang.

Dia bukan kekasih saya, apalagi isteri. Dia lebih tepat saya sebut sebagai partner
dalam bisnis kecil-kecilan yang kami tekuni ini, maksud saya topeng monyet.
Saya memang pernah jatuh cinta dan beberapa kali menyatakan cinta padanya.
Tapi, dia tetap berkata tidak, karena dia memang tidak pernah mencintai saya
sebagai kekasih. Meskipun saya telah melakukan berbagai cara dan
mencoba menyatakan perasaan saya itu dalam berbagai situasi. Pernah saya
meminta dia menjadi kekasih saya ketika saya masih jaya dulu, dia menolak.
Lalu saya ulangi hal itu ketika dia amat berduka karena ditinggal pergi laki-laki
yang dicintainya, dia pun menolak. Kemudian saya ulangi lagi saat hidup saya
mulai hancur dan dia bersimpati terhadap keadaan saya itu, tapi dia tetap saja
berkata tidak. Dia Cuma berjanji akan menemani saya mewujudkan apa yang
menjadi impian sayasetelah saya memohonnya jangan pergikarena saya
amat membutuhkan kehadirannya. Dan itu dia lakukan sampai saat ini. Pernah
saya meminta, bahkan mengusirnya dari hidup saya karena saya tak mampu lagi
menyaksikan bagaimana hari demi hari dia makin menderita. Tapi dia tidak mau
pergi. Dia malah berkata: Saya telah berjanji menemanimu sampai kau mampu
mewujudkan impianmu. Jadi, saya tidak akan pergi sebelum itu terjadi.

Dialah yang membuat hidup ini masih mungkin saya jalani. Tapi, menyaksikan
bagaimana dia menderita bersama saya, jauh lebih pedih dari penderitaan apa
pun yang pernah saya terima sepanjang hidup.

Bayangkan, saya harus menyaksikan seseorang yang amat setia kepada saya
terus menerus didera kelaparan sementara saya tak bisa melakukan lebih dari
memberinya sebungkus nasi yang kadang telah basi. Melihat mulutnya yang
dulu harum dan segar itu mengunyah butiran jagung bakar bekas anak-anak
lantaran tak kuat lagi menahan lapar, melihat rambutnya direnggut para lelaki
dan kepalanya dibenturkan ke meja karena disangka akan mencuri makanan dari
sebuah warung, melihat bagaimana dia berusaha tetap tersenyum saat ada yang
memaksanya berjoget menggantikan monyet demi uang beberapa ribu rupiah,
menyaksikan bagaimana tubuhnya yang dulu dibalut daging dan kulit halus kini
berubah seperti seonggok kotoran, melihat dadanya yang tipis itu diterjang
seorang petugas keamanan lantaran mencuri satu kaplet obat demam, melihat
dia meringkuk kedinginan di bawah jembatan, gerbong kereta, atau di emper
toko seperti sekarang setelah seharian menemani saya berkeliling menempuh
belasan kilo..

Di bagian diri saya yang mana lagi saya harus menyimpan seluruh
penderitaannya itu?

Bagaimana seandainya itu terjadi pada isteri, kekasih, teman dekat, atau anak
Anda...
Dan dia adalah semua itu bagi saya. Kalau saja saya bisa menggantikan
menanggung semua kegetirannya itu, mungkin saya tidak akan terlalu
menderita. Tapi tangan nasib seakan telah menyalib saya agar saya bisa melihat
dengan jelas seluruh kesengsaraannya tanpa memberi sedikit pun kesempatan
untuk melakukan sesuatu. Bahkan perempuan itu tak mengizinkan saya sekadar
mengusap seluruh bekas lukanya. Dia selalu bilang; Jangan hiraukan apa pun
selain impianmu. Hidup yang kau tanggung jauh lebih berat dari nasib yang
saya terima.

Seandainya saya tidak pernah tahu masa lalunya, seandainya kami bertemu
setelah sama-sama sengsara dan hidup di jalanan, mungkin saya bisa lebih
tenang menjalani hari demi hari sampai akhirnya saya menjelma jadi
penderitaan itu sendiri. Tapi nyatanya, saya seperti seorang yang tiba-tiba
menjadi buta lalu hidup dengan seluruh kenangan tentang keindahan
penampakan dunia. Makin saya mengenang dan memimpikannya, makin dalam
saya ditenggelamkan kesedihan. Saya pernah mencoba melupakannya, tapi saya
tidak bisasebab saya pernah begitu dekat dengan impian itu.

Dia adalah seorang penonton setia dari kelompok teater kami. Setiap kali kami
melakukan pementasan, dia menjadi penonton pertama yang memesan bangku.
Dia anak seorang pengusaha sukses di kota kami. Berpendidikan, dan punya
apresiasi yang baik terhadap seni. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh para gadis
dari kalangan seperti dia. Bahkan, dia juga sering datang mengunjungi kami
saat-saat latihan, membawakan makanan, menghubungi orang-orang tertentu
yang kami butuhkan bantuannya, dan menulis sejumlah artikel untuk lakon-
lakon yang kami mainkan. Kehadirannya di antara kami, selalu menggugah
inspirasi. Di saat kelompok kami dihantam berbagai kesulitan finansial, dia
akan cepat mengulurkan pertolongan. Mungkin uang, atau apa saja yang bisa
dia lakukan.

Kadang kami bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu perduli. Sebuah


perhatian yang terlalu jauh kami rasakan, yang bahkan tak pernah kami peroleh
dari orang-orang yang seharusnya melakukannya. Ya, begitulahakhirnya dia
menjadi seperti malaikat bagi kami. Tahun demi tahun berlalu, dan kami
menjadi sebuah kelompok teater yang terbilang cukup berhasil di kota kami.
Meski tak seorang pun dari kami yang berani sepenuhnya menggantungkan
hidup dari teater. Tapi lambat-laun kami mulai percaya bahwa seni mulai
dihargai lebih dari yang bisa kami bayangkan sebelumnya. Setiap tahun, jumlah
penonton kami makin bertambah, simpati dan dukungan datang dari berbagai
pihakkecuali para pejabat dan penguasa pemerintahanmereka hanya
perduli pada seni bila kebetulan ada kepentingan. Tapi itu pun sudah cukup
bagus, daripada tidak sama sekali. Maklum, hampir sebagian besar pejabat
pemerintahan di kota kami adalah produk dari sebuah sistem kekuasaan yang
sangat konsumtif alias rakus dan korup!
Seiring dengan kemajuan yang kami capai itu, tumbuh keberanian dalam diri
saya meninggalkan perkerjaan pokok saya di sebuah perusahaan swasta,
tepatnya pabrik kertas.

Saya mulai menjalani hidup yang benar-benar ideal dalam kepala saya: menjadi
seorang aktor! Begitu bersemangatnya saya, penuh impian untuk mengabdi
pada seni. Pentas demi pentas saya alami. Mulai dari peran-peran biasa, hingga
peran-peran besar dan spektakuler saya mainkan dengan penuh keyakinan dan
kebanggan sebagai seorang aktor. Saya menerima begitu banyak sanjungan,
pujian, simpati, sekaligus kritikan. Saya bacakan syair-syair dari para sastrawan
besar, saya rebut hati setiap penonton dengan bakat dan kecerdasan yang saya
miliki. Saya menjadi pujaan setiap orang.
Semua kehormatan dan kebanggan yang saya terima itu, selalu membuat saya
tergetar. Saya benar-benar merasa utuh-penuh, saya merasa telah benar-benar
hidup! Saya tak membutuhkan apa pun lagi. Bahkan, saya merasa tak
membutuhkan pendamping hidup karena setiap saat saya bisa mendapatkan
perhatian berlebih dari perempuan mana pun yang saya inginkan!

Sampai suatu hari, seusai sebuah pertunjukan, dia menghampiri saya di


belakang panggung dan memberi sebuah pelukan. Saya coba merayunya,
maukah kamu menjadi kekasih saya malam ini? Lalu apa katanya:
Terimakasih, tidak malam ini dan tidak kapan pun. Saya benar-benar kaget
mendengar jawaban itu. Hal yang tak pernah saya sangka akan saya dengar dari
seorang wanita.

Tapi justru penolakannya itulah yang membuat saya mulai jatuh hati padanya.
Hari-hari selanjutnya, saya mulai merindukan dia. Beberapa kali saya mencoba
menaklukkannya, tapi gagalseperti yang saya katakan di awal tadi. Dia tetap
seangkuh gunung es. Tapi dia memiliki perhatian yang begitu besar, dan itulah
yang membuat saya makin menginginkannya. Dia telah menjinakkan seorang
aktor besar dengan caranya sendiri.

Tapi masa gemilang itu tak berlangsung lama. Satu per satu teman-teman saya
meninggalkan teater dengan alasan-alasannya sendiri. Tapi semuanya dengan
tujuan sama; mencoba hidup lebih realistis. Untuk beberapa kali pertunjukan,
saya masih bisa meyakinkan mereka kembali ke pentas. Namun, cara mereka
mencintai seni; sejauh mereka masih memiliki hasrat tertentu. Sementara saya,
telah menrima seni seperti sebuah anugerah dan takdir yang harus saya terima.
Saya merasa tak bisa lagi hidup di luar itu.
Maka, berbekal keangkuhan dan impian yang tak pernah berakhir, saya
memutuskan untuk tetap menjalaninya, meski sendirian. Saya mulai memainkan
lakon-lakon kecil, kadang dibantu dengan beberapa orang pemain amatir atau
petugas gedung pertunjukan. Berpindah dari satu panggung ke panggung
lainnya hanya untuk menegaskan bahwa saya tidak akan menyerah.

Saya tetap menjadi seorang aktor, meskipun penonton mulai melupakan


kelompok kami dan lebih asyik menghibur diri di mall-mall, supermarket,
bioskop, diskotek, atau menghabiskan waktunya untuk nonton sinetron-sinetron
kacangan di televisi. cuih! Saya juga tidak perduli ketika tak sepotong pun dari
teman-teman saya datang untuk menyaksikan pertunjukan saya. Semuanya
nyaris saya lakukan sendiri. Hanya perempuan itulah yang masih setia
menemani saya.

Saya pernah memainkan sebuah lakon dan hanya dia, petugas lampu, dan
petugas kebersihan gedung pertunjukkan yang menonton. Tapi saya tidak
berkecil hati. Saya tidak mau menyerah, walau apa yang terjadi. Karena saya
seorang aktor! Bahkan, ketika orang-orang mulai mencemooh, menganggap
saya tidak waras, saya tetap menciptakan panggung saya sendiri. Sampai
akhirnya bencana itu menghampiri. Pengelola gedung pertunjukan datang untuk
menagih hutang-hutang saya yang jumlahnya tak akan terbayar meski saya
bermain selama lima tahun. Saya tak bisa menerimanya. Bayangkan, mereka
telah mengeruk keuntungan bertahun-tahun dari popularitas saya, tapi mereka
tidak mau bersedekah sedikit saja di saat saya jatuh miskin. Mereka hitung
seluruh kerugian, ketika pertunjukan saya tidak diminati penonton lagi.
Kenyataan ini membuat saya benar-benar merasa dipojokkan. Saya mencoba
memberi pengertian pada pengelola gedung itu, tapi dia malah menghardik
saya dan menyebut saya sebagai aktor tak bermutu! Saya marah, saya terkam
batang lehernya dan saya benturkan kepalanya di dinding berkali-kali. Laki-laki
itu pun roboh dengan kepala bersimbah darah.

Peristiwa itu terjadi di gedung pertunjukan, seusai saya melakukan latihan untuk
mempersiapkan sebuah pertunjukan yang lakonnya saya tulis sendiri.
Dia tidak mati, cuma sempat sekarat beberapa hari. Tapi saya dipenjara selama
tujuh tahun dengan tuduhan penganiayaan dan penipun. Selama di penjara, juga
perempuan itulah yang rajin menjenguk saya. Dia tidak pernah berubah sedikit
pun. Acap saya juga merindukan kehadiran teman-teman saya. Tapi hanya satu-
dua orang yang datang, itu pun hanya satu kali. Lalu lenyap. Selama di penjara,
saya kian tersiksa karena kenangan
tentang sanak-keluarga tiba-tiba tumbuh lebih kuat dari sebelumnya. Saya tidak
tahu di mana mereka. Sejak masih sekolah saya telah berpisah dengan ayah, ibu
dan adik-adik saya. Kabar terakhir yang saya dengar dari perempuan itu, ayah
dan ibu saya telah meninggal. Sedangkan adik-adik saya pindah ke kota lain,
ada juga yang jadi TKI.

Tanpa dia, saya benar-benar sebatang kara.

Tujuh tahun di penjara, saya mulai mengubur impian saya sebagai seorang
aktor. Semua itu telah menjadi sekadar bayangan yang pudar. Tapi perempuan
itulah yang membangkitkan kembali mimpi itu. Setahun sebelum saya
dibebaskan, dia mengatakan bahwa dia tinggal sendirian di kota kami itu. Orang
tua dan keluarganya telah pindah ke Paris. Dia katakan pada orang tuanya
bahwa dia tetap bertahan di kota kami itu dengan alasan ingin menyelesaikan
studinya dan membuka usaha di sana. Padahal dia hanya ingin menunggu saya
bebas dan berjanji akan menemani saya sampai saya bisa mewujudkan lagi
impian dan kejayaan saya dulu.

Setelah saya bebas, dia gunakan semua uangnya untuk membangun sebuah
sanggar kecil agar saya memiliki panggung pertunjukan sendiri. Mulanya saya
tidak begitu yakin. Tapi dia terus menerus mendorong saya. Dan saya
melakukannya.
Tapi saudara-saudara, apa yang bisa dilakukan oleh seorang mantan pesakitan
di atas pentas? Kesengsaraan selama tujuh tahun dipenjara, telah menghisap
semua bakat yang saya miliki. Berkali-kali saya pentaskan drama-drama besar
bersama orang-orang yang saya sulap menjadi aktor, selalu gagal. Penonton
tak meminati lagi permainan saya. Lalu kami mencoba memainkan drama-
drama komedi yang ringan dan menghibur, hasilnya tetap sama. Bahkan, kami
tak ubahnya seperti badut di atas panggung yang tak mampu membuat penonton
tertawa barang sedikit pun. Lalu, untuk kedua kalinya saya ditinggalkan.

Betapa sakitnya menyimpan impian ini sendirian

Karena tak kuat menanggung kenyataan seperti itu, jiwa saya mulai terguncang.
Dan perempuan itu, lagi-lagi datang sebagai malaikat. Dia menjual rumah
pemberian orang tuanya untuk membiayai pengobatan saya. Sejak itu, dia
tidak sekejap pun membiarkan saya sendirian. Dia juga terus menerus
mengingatkan bahwa saya adalah seorang aktor hebat,
seorang dengan bakat dan kecerdasan panggung yang luar biasa. Dengan
kesabarannya, dia lebih cepat berhasil membuat saya pulih daripada psikiater
yang menangani saya. Meski dia tahu, saya tidak akan mampu lagi menjadi
seorang aktor. Setidaknya, saya bisa hidup dengan impian itu. Saya memang
menderita, tapi saya tidak menjadi gila. Bertahun-tahun saya hidup seperti
sebuah bayangan; ada tapi tidak ada. Sampai pada batas tertentu, satu-satunya
yang bisa dilakukan perempuan itu adalah mendampingi saya. Dia tidak punya
apa-apa lagi. Bahkan, dia telah dilupakan dan melupakan keluarganya.
Kenyataan itu membuka kesadaran saya.

Suatu malam, dia sakit parah, batuk darah. Saya tidak punya apa pun untuk
menolongnya. Lalu saya putuskan untuk bekerja, membantu tetangga yang
mengontrak di sebelah bilik kami. Sejak itulah, saya berkeliling ke seantero
kampung, ke pinggiran kota, mengamen dengan topeng monyet. Dan setelah
laki-laki pemilik topeng monyet itu mati karena TBC, saya menjadi pewaris
satu-satunya profesi ini. Mulanya saya terpaksa. Tapi lambat laun saya mulai
menikmatinya. Saya kira, ini adalah sebuah awal yang tidak buruk untuk
kembali ke pentas yang sebenarnya. Bahkan, saya mulai mencintai monyet itu.
Saya kira, monyet itu pun berhak menjadi seorang aktor dan mendapat
kehormatan.

Sudah larut malam saudara-saudara. Kini saya ingin tidur barang sekejap. Satu-
satunya impian saya saat ini adalah melihat perempuan itu berbicara lagi seperti
dulu. Dia tidak pernah berkata apa pun lagi, bahkan membisu, sejak kami
menekuni bisnis warisan ini..Maaf, permisi sebentar, saya ingin istirahat.
(Baru saja ia merebahkan tubuhnya, tiba-tiba bangkit dan meraih tasnya.
Mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya itu; lipatan-lipatan kertas)

Lihat ini, poster-poster pertunjukan yang masih saya simpan. Sebagian besar
sudah tidak ada. (Ia mengeja lagi judul-judul pertunjukan yang ada pada poster-
poster itu. Perlahan-lahan, tubuhnya makin luruh. Ia melipat lagi poster-poster
itu dan menyimpannya, lalu mengambil sebuah rebab dan memainkannya)

Untuk mengenang masa gemilang(Samana memainkan rebab itu dalam


keletihannya hingga ia tertidur bersandar di dinding sambil tetap memegangi
rebabnya).

Fragmen Kedua

Senyap. Hujan tinggal rintik. Dingin merayap. Beberapa saat kemudian,


perempuan itu terbangun.

Begitulah akhirnya, dia akan tertidur setelah larut malam dan bercerita tentang
kenangan perjalanannya. Lalu saya akan terbangun, dan juga mulai bercerita,
kepada senyap, kepada malam yang angkuh, kepada lampu-lampu yang pucat,
kepada dinding-dinding yang dingin, kepada jalanan yang lengang, kepada
bayang-bayang. Kalian adalah penonton-penonton yang paling setia dan siap
mendengarkan apa saja yang kami muntahkan.
Jadiwahai kegelapan malam, wahai senyap, wahai cahaya lampu, wahai
dinding-dinding yang dingin, wahai jalanan yang senyap, biarkan kami tetap
memanggil kalian Anda atau saudara-saudara. Ini kami lakukan untuk
menghormati ketulusan kalian menyimpan semua kisah yang kami sendiri
Tak mampu lagi menyembunyikannya.

Saya memang tak pernah lagi berbicara dengan laki-laki itudia bernama
Samana. Saya takut, dia akan makin mederita bila mengetahui bahwa saya tidak
seperti yang dia kira. Karena itu saya memilih diam.

Satu-satunya alasan yang membuat saya sanggup bertahan mendampinginya


hingga saat ini adalah karena saya amat mencintainya. Maksud saya, saya
mencintai sosoknya sebagai aktor dalam peran-peran yang telah dia mainkan,
bukan sebagai dirinya. Saya telah terpesona dan tenggelam begitu jauh dengan
sosok-sosok itu, sehingga saya ingin mereka semua tetap hidup dalam dirinya.
Dan tidak seorang aktor pun yang pernah saya kenal, yang mampu
menghidupkan sosok-sosok itu begitu nyata seperti yang pernah dia lakukan.
Karena ittu, saya terus berusahahingga detik inimengembalikannnya
sebagai seorang aktor. Hanya dia yang bisa melakukannya.

Setiap malam, saat dia bercerita kepada Andasebelum akhirnya terlelap


saya menikmati semua kesedihannya itu. Karena di dalamnya saya bisa
merasakan kehadiran tenaga, pikiran, dan jiwa dari peran-peran yang pernah dia
mainkan dan amat saya kagumi itu. Makin dia menderita, makin kuat
pesonanya. Membuai saya dalam keperihan yang amat memukau.

Saya telah bertahan hidup dengan cara seperti ini; menunggu malam datang
membukakan jubah kesunyiannya, lalu dia akan bercerita dan diam-diam saya
menikmatinya. Dia memang tidak memerankan apa pun lagi. Tapi, setiap kali
dia bercerita, semua jiwa dari peran-peran yang telah dia mainkan seolah-olah
hadir kembali dan mendekap saya. Bahkan, suatu malam, saya pernah
merasakan orgasme saat dia bercerita sambil menangis. Apa yang dia ceritakan
itu selalu sama. Hingga saya begitu hafal setiap kata, titik, koma, nada bicara,
getar emosi, dan helaan nafasnya. Dan ini telah berlangsung selama bertahun-
tahun. Lalu, saya pun mulai terbiasa dan menikmatinya sebagai sebuah
pertunjukan.

Saya tidak tahu persis sejak kapan dia memiliki kebiasaan seperti itu. Dulu dia
memang sering bercerita tentang masa lalunya kepada siapa pun yang
dijumpainya. Dia pernah mengatakan kepada beberapa orang yang menonton
pertunjukan topeng monyet kami bahwa dia dulu adalah seorang aktor hebat.
Tapi orang-orang itu hanya tersenyum dan menganggapnya membual. Lalu dia
berusaha meyakinkan mereka hingga memeragakan beberapa peran yang pernah
dia mainkan. Namun dia justru menjadi bahan tertawaan dan ditepuki tak
ubahnya seperti mereka bersorak saat menyaksikan monyet itu berjoget.
Lagi.lagi.ayoayo.menangis, ayo menangis.tertawalompat, ayo
lompat.marahmarahcepat marah.bawa pedangbawa pedang, bunuh
lawannyaterusterus!!!
Begitulah orang-orang itu akan menanggapnya, dan dia akhirnya mengikuti
permintaan mereka. Setelah orang-orang pergi, dia akan menangis sambil terus
berjalan menggendong monyetnya. Saya tidak bisa mengatakan apa pun, saya
hanya mengikutinya dari belakang sambil terus memukul gendang.

Dia juga pernah melakukan hal itumenceritakan bahwa dia seorang aktor dari
sebuah kelompok teater yang ternama di kotanyasaat saya disel di sebuah
sektor polisi lantaran mencuri satu kaplet obat demam. Dua hari saya meringkuk
di penjara hingga salah seorang polisi menemukan alamat kontrakan kami dan
memberitahukan padanya. Dalam keadaan sakit dia datang menjemput saya.
Polisi minta uang tebusan. Tapi apa yang bisa dia berikan?
Lalu dia mendatangi apotek itu dan menemui pemiliknya. Dia memohon agar
pemilik apotek berkenan memaafkan saya dengan begitu saya bisa dibebaskan.
Hasilnya, nihil. Kemudian dia kembali ke sektor polisi dan berjanji akan
membayar uang tebusan setelah saya dibebaskan. Karena permohonannya tidak
dihiraukan, keangkuhannya bangkit dan bicara dengan suara lantang: Saya
adalah seorang aktor. Saya kenal dengan banyak orang penting di kota ini. Saya
telah berkali-kali bertemu dengan walikota, gubernur, dan pejabat-pejabat
penting di sini. Jadi, tolonglah pak, saya mohon, demi semua yang pernah saya
lakukan itu, bebaskan dia! Lalu dia menunjukkan simpanan guntingan-
guntingan koran dari artikel-artikel yang pernah saya tulis tentang
pertunjukkannya. Namun yang dia dapatkan adalah sebuah tendangan di
perutnya karena dianggap telah bersikap kurang ajar; berkata keras di hadapan
petugas. Tendangan itu rupanya mengenai tulang rusuk-nya, mungkin retak,
mungkin pula patah, sehingga sampai sekrang dia tidak bisa berdiri tegak.
Polisi baru memenuhi permintaannya setelah dia kelelahan, terjatuh, dan tak
mampu bangkit lagi dari lantai.

Berkali-kali dia menceritakan masa lalunya sebagai aktor, tapi setiap kali pula
tidak ada yang menggubrisnya. Terakhir kali itu dia lakukan saat ada sebuah
festival kesenian di kota kami. Dia mendatangi panitia dan meminta diberi
kesempatan untuk mementaskan sebuah lakon kecil. Setelah dia bercerita
panjang lebar, juga dengan memeragakan beberapa peran yang sangat
dibanggakannya, panitia festival itu berkata: Silahkan Bapak mengisi acara
selingan di luar gedung pertunjukan. Untuk acara di dalam gedung, kami sudah
mengundang beberapa artis dari luar kota

Saat acara festival itu berlangsung, dia memang datang dan melakukan sebuah
pementasan di luar gedung. Tapi dia tidak memainkan lakon apa pun. Dia
mengumbar semua kemarahan dan kekecewaannya. Apa yang bisa diharapkan
dari sebuah masyarakat yang tidak menghargai seniTidak ada apa pun yang
kalian pikirkan selain kesenangankalian semua hanya menjadikan seni
sebagai topeng untuk menutupi kebohongan dan kebusukan kalian.kalian
berpura-pura menghargai seni tapi kalian merampok uang kamikalian rampas
kesempatan kami untuk hidup!!!

Begitulah, dia terus memuntahkan kemarahannya, meracau seperti orang


mabukmenimbulkan kegaduhan. Orang-orang yang semula tidak perduli
akhirnya berkumpul, menyaksikan dari kejauhan. Lalu beberapa orang panitia
menghampiri dan membujuknya. Dia dibawa masuk ke sebuah ruangan.
Rupanya, salah seorang pejabat pemerintahan yang menghadiri festival itu dan
kebetulan mengenalnya, meminta agar panitia menenangkannya. Pejabat itu
memberikan sejumlah uang kepada salah satu panitia untuk diberikan
kepadanya. Ini ada sekadar bantuan Pak. Mudah-mudahan bisa digunakan
untuk membeli peralatan, biar topeng monyetnya tambah rame
Mendengar itu, kemarahannya makin meledak. Dia membalikkan meja lalu
merampas uang itu dan mengoyak-ngoyaknya. Aku bukan pengemis, aku
seorang aktor! Ambil ini untuk kalian. Dan katakan pada pejabat yang kalian
jilat itu, kota ini memang tidak akan hancur hanya karena telah mengabaikan
seorang aktor, tapi kalian tidak berhak menyebut diri menghormati seni untuk
menutupi kerakusan dan kbusukan kalian!!

Dia memang menyimpan begitu banyak kemarahan. Terutama terhadap orang-


orang yang seringkalidengan sikap dan cara yang amat anggunberlagak
sangat menjunjung dan menghormati seni, namun sebenarnya bermuslihat agar
dirinya dipandang sebagai orang yang memiliki martabat dan berbudaya. Cukup
banyak orang-orang berkedudukan penting di kota kami, yang tiba-tiba disebut
sebagai budayawan atau pengayom seni, bahkan seniman, padahal mereka
semua tidak pernah perduli dengan seni.

Sejak itu, dia tidak pernah bercerita kepada siapa pun, selain kepada Anda,
wahai malam, wahai kesunyiansaat-saat seperti inilah yang selalu saya
nantikan.

Sebenarnya saya pernah mencoba membuang semua sosok peran-peran itu dari
dalam diri saya. Saya mencoba lebur dengannya, apa adanya. Bahkan, saya
pernah tidur dan bersetubuh berkali-kali dengannya. Tapi, saya tak merasakan
getaran apa pun. Saya tak pernah bisa mencintainya sebagai Samana. Saya tahu,
dia sangat berbahagia dengan kesempatan itu, tapi kemudian dia menyimpulkan
bahwa saya melakukannya karena belas kasihankarena itulah, dia tidak
pernah mau lagi tidur di sisi saya, meski kami tinggal satu bilik. Hari demi hari,
dia mencurahkan cintanya kepada monyet itu. Dia memperlakukan mahluk itu
tak ubahnya dirinya sendiri, seorang aktor. Pernah suatu kali, monyet itu lari
lantaran diganggu anak-anak saat kami mengamen. Dia begitu cemas dan takut.
Lalu kami mencarinya ke seluruh penjuru kota. Berhari-hari, bermalam-malam,
kami mencarinya. Dia sangat berduka dan nyaris putus asa. Untunglah akhirnya
kami dapat menemukannya. Tapi, saat kami temukan monyet itu tampak kurus
dan sakit. Dia memberikan jatah makan siang dan malamnya untuk monyet itu,
beberapa hari, sampai monyet itu pulih.(Perempuan itu mulai terbatuk-
batuk. Detik demi detik batuknya makin parah, ia kian kepayahan,
mulutnya mengeluarkan darah. Darah mulai membasahi dagunya,
lehernya, hingga ke dadanya. Ia tampak makin lemah dan terduduk di
kaki bangunan gedung yang belum rampung.

Fragmen Ketiga
I
Perempuan itu terus terbatuk-batuk hingga membangunkan si lelaki.
Melihat si lelaki terbangun, perempuan itu beringsut ke sudut yang
remang. Suara batuk-batuknya tertahan-tahan.

Dia terbatuk-batuk lagi. Dia akan berjuang meredakan batuk itu sendiri. Dia
tidak pernah mau saya melakukan apa pun untuk menolongnya. Dia begitu
takut terlihat lemah. Dia akan selalu mengatakan, cara terbaik menolongku
adalah dengan membiarkan aku. Seseorang harus lebih kuat dari penderitaan
yang ditanggungnya, bahkan dari maut sekalipun. Keangkuhannya tak pernah
luntur sedikit pun.
Lorin : (dari balik remang, dalam batuk) Kau kira dengan cara
apa kita bisa bertikai dengan hidup seperti ini. Kesengsaraan akan
menjadi teman baik orang-orang lemah. Dan aku tak sudi menjadi lunak di
hadapan penderitaan macam apa pun!
Samana: Dia selalu punya alasan yang tak bisa dibantah atas sikap apa pun
yang ditunjukkannya.
Lorin : Aku tidak hidup untuk menunggu keajaiban-keajaiban, apalagi belas
kasihan. Aku hidup karena pilihan-pilihan.
Samana: Membiarkan orang lain menolongmu bukan berarti kau lemah
Lorin : Tapi membiarkan orang lain menolongmu sementara kau mampu
adalah pnghinaan terhadap diri sendiri.
Samana: Manusia hidup membutuhkan orang lain
Lorin : Setiap orang hanyalah orang lain
Samana: Apa kau bisa sebentar saja menghentikan pikiranmu?

Samana :
Aku ambilkan kain untuk membersihkan darahmu
Lorin :
Aku ambil sendiri. Teruslah bicara kepada mereka
Samana :
Percuma
Lorin :
Tapi kau telah melakukannya sekian lama
Samana :
Bercerita kepada malam, kepada angin, kepada dinding-dinding
yang angkuh dan dingin, kepada jalan-jalan yang lengang,
kepada kesenyapan, kekosongan yang sempurna
Wahaiadakah telinga yang sudi mendengar sebentar, hati
yang mau berbagi sekejap, mata yang mau menatap sesaat...
Lorin : Hal termulia bagi seorang aktor hanyalah memainkan
perannya
Samana : Aku telah selesai
Lorin : Belum, kau baru mulai...
Samana : Aku tak punya pegangan, tujuan..
Lorin : Lihatlah kepada kekosongan
Samana : Panggung yang sunyi, orang-orang yang pergi, lalu penjara,
rumah sakit jiwa, gelandangan
Lorin : Teruslah mencari
Samana : Jiwa yang menggelepar, sobekan terakhir, debu yang terbakar
Samana : (Tersentak).hei, kau bicara lagi Rin.? Kau bicara lagi?
Kaukah yang bicara ini? Apa aku bermimpi?
Lorin : Ini mimpimu SamanaSaksikanlah, mimpi itu menghampirimu
(Terbatuk-batuk lagi)
Samana : Tapi aku tidak tidur(cemas)
Lorin : Ya. Hanya Samana yang tertidur. Sedangkan aktor itu terus
terjaga, pikiran dan jiwanya terus mengembara dan hidup
bersama semua yang hidup. Ia tak pernah istirah. Begitu
lamanya. Sehingga ia sendiri lupa bahwa dia adalah seorang
aktor. (terbatuk-batuk, makin parah)
Samana : Keluarlah dari sana. Aku ingin melihat bagaimana kau bicara
Lorin : Aku harus tetap di sini Samana. Cahaya hanya akan tampak
memukau dari dalam kegelapan. Cahaya bukan bagianku. Aku
penonton Samana. Sinar lampu hanya untuk menerangi
panggung di mana sang aktor akan memainkan perannya.
Samana : Berhentilah kau mengoceh tentang sang aktor! Jangan lagi
kau buai aku dengan impian itu! Aku telah berakhir Rin. Aku
tak pernah menginginkannya lagi. Satu-satunya harapanku
hanyalah mendengar kau bicara.
Lorin : Bukankah kau telah mendengarnya.
Samana : Tapi kau menyembunyikan dirimu
Lorin : Karena kau-lah yang harus terlihat. Kau lah aktornya Samana.
Kaulah yang disaksikan. Bukan aku! Aku penontonmu
Samana : Kau tidak sedang menyaksikan seorang aktor memainkan
perannya di sebuah panggung. Yang kau lihat ini hanyalah
gelandangan dungu!
Lorin : Kau boleh berakhir jika aku tidak ada. Cukup lama aku
nantikan saat seperti ini. Duduk di tempat gelap, di salah satu
sudut panggung, menyaksikan bagaimana kau mainkan
peran-peranmu itu dalam terang sinar lampu.
Samana : Kau tak pernah menyerah memaksaku
Lorin : Aku tidak memaksamu. Aku menunjukkan siapa dirimu
Samana : Karena itu pula kah kau masih bersamaku?
Lorin : Bukan
Samana : Lalu?
Lorin : Karena peran-peran yang pernah kau mainkan. Aku telah
mencintai mereka seakan-akan mereka teramat nyata. Aku
ingin mereka tetap hidup dalam dirimu, bersama-mu, melalui
dirimu.
Samana : Bertahun-tahun kau lemparakan dirimu dalam kesengsaraan
bersamaku hanya karena kau ingin agar aku tetap menghidup-
kan sosok-sosok itu? Dulu, bahkan hingga saat ini, aku selalu
berpikir bahwa kau adalah malaikat penolong yang menjelma
dalam diri manusia. Aku juga selalu bertanya-tanya; apa yang
membuatmu begitu kukuh mendampingiku? Dan malam ini
semuanya terjawab. Kau telah memperpanjang penderitaanku
dengan terus menerus menyalakan impian itu.
Seharusnya kau membiarkan aku berakhir
Lorin : Seandainya kita bisa berakhirmungkin kita akan bahagia.
Nyatanya kita tidak bisa. (terbnatuk-batuk).
Samana : (Kepada penonton) dia telah menipu saya
Lorin : (Kepada penonton) kecemerlangannya menjebak saya
Samana : (Kepada penonton) saya telah selesai
Lorin : (Kepada penonton) dia harus memulainya lagi
Samana : (Kepada penonton) sandiwara yang sempurna
Lorin : (Kepada penonton) Dialah aktornya (batuknya makin parah)
Samana : Aku ambilkan kain..
Lorin : Aku ingin kau main

II

Suara batuk-batuk Lorin makin parah, terus menerus. Dia mulai


terhuyung, kian pucat, gemetaran. Lorin tak mampu lagi mengangkat
wajahnya. Dagunya seperti lengket di dadanya yang memerah-darah.
Lalu, dalam batuk-batuk yang tak mau reda itu, Lorin berusaha meraih
rebab dan memainkannya seraya bersandar di tiang lampu jalan. Sampah
berserakan di sekitar kakinya.

III

Sementara Samana masih tampak mengais-ngais tasnya mencari sesobek


kain. Ia melihat monyetnya meringkuk-kurus..Ia periksa monyet itu,
namun tak ada reaksi. Monyet itu telah membangkai. Samana cemas,
menangis, dan akhirnya melolong larat

Samana : Dia mati Rin..


Lorin : (memainkan rebabnya) perlukah sekadar upacara untuk
menghormatinya?

IV
Samana membungkus bangkai monyet itu dengan hati-hati menggunakan
kaos yang dikenakannya. Samana meletakkan bangkai monyet di atas
tumpukan tas dan benda-benda lainnya, agar lebih tampak terhormat.

Samana : Untuk menghormati jasa-jasanya..

, V
Kini Lorin meraih gendang yang berada di dekatnya dan mulai
memainkannya. Sedang Samanadengan sikap takzimmulai menari
dan berjoget tak ubahnya si monyet.

Saya akan menyaksikan bagaimana malamseluruh malam yang pernah kami


lewatimenghidangkan seluruh cerita itu. Menguliti saya pelan-pelan dengan
kenangan yang terus menerus mengikuti hingga ke ujung langkah saya; di mana
saya akan terhenti, gemetaran, dan tak punya keberanian untuk bermimpi.
Kenangan yang telah membuat saya tak mampu memejamkan mata karena rasa
perihnya perlahan-lahan mulai saya nikmati dan rindukan. Bahkan saya pernah
berpikir, kepedihanlah yang membuat seseorang memiliki alasan mengapa ia
harus tetap hidup. Kepedihan adalah inti dari setiap harapan dan mimpi. Pikiran
konyol seperti itulah yang pernah membuat saya terus menerus membayangkan
bahwa saya telah hidup dengan cara yang benar. Cara yang telah ditempuh oleh
semua orang suci dan membuat mereka disukai oleh Tuhannya. Maka, saya pun
menghayati diri saya sebagai seorang yang tengah menempuh perjalanan
teramat sulit untuk mencapai kebahagiaan sejati. Lalu diam-diam saya merasa
bangga karena tidak semua orang bisa menempuhnya. Saya adalah orang
terpilih. Itulah nilai yang terus menerus saya tanamkan dalam diri saya setiap
kali saya merasa tidak kuat.

Lantas saya akan membusungkan dada, menegakkan wajah, menyalakan


seluruh sisa keberanian saya untuk hidup, mengusung tas sialan itu dari
kampung ke kampung, menabuh gendang yang selalu mengeluarkan suara
sumbang itu, menari, menyanyi, berjoget dengan dua mahluk yang tak pernah
bicara ini, menyodorkan mangkuk untuk uang receh yang jauh lebih berharga
dari apa pun yang pernah saya lakukan sepanjang hidup, menyantap nasi yang
telah basi, lalu di ujung malam nanti saya akan menangis sendirian, berdoa,
memanggil-manggil Tuhan dengan suara yang lirih dan membayangkan seolah-
olah Dia menyaksikan semua kesedihan saya, dan saya akan berpura-pura
berbahagia dengan semua kemalangan ini.

Sementara esok pagi, ketika mata saya terbuka dari tidur yang singkat, saya
harus menerima kenyataan bahwa saya adalah topeng monyet !! (menangis).
Tidak ada lagi pentas-pentas yang mendebarkan hati, lampu-lampu panggung
yang megah, tepukan-tepukan penonton yang menggembirakan hati, lakon-
lakon besar dan monumental, kekaguman, sanjungan, kebanggaan, semuanya
sudah tenggelam! Sang Aktor sudah mati dan kini lahir dalam sosok seorang
topeng monyet yang hina dan hanya patut dikasihani. (Samana terus menari,
berjoget, meracau, mengikuti irama gendang. Lelah. Terhuyung. Terkapar
di Lantai)

Lorin : Mainkan sekali lagi untukku


Samana: Aku telah berakhir
Lorin : Kenakan kostummu..
Samana: Selesai sudah
Lorin : Kumohon, demi seluruh hari yang pernah kita lewati, demi
Jiwamu, demi peran-peran yang pernah kau mainkan

VI
Lorin bersandar di tiang lampu jalan. Ia tak mampu lagi mengangkat
wajahnya. Batuknya kian parah. Samana mencoba bangkit, perlahan.
Samana merangkak meraih tasnya. Ia membuka tas itu dengan tangan
gemetaran. Mengambil satu potong pakaian yang telah disimpannya
bertahun-tahun. Pakaian itu adalah kostum panggung dari lakon terakhir
yang ia mainkan. Samana memeluk pakaian itu. Jiwanya jeri. Semua
kenangan pentas-pentas yang gemilang berlintasan di kepalanya.
Tubuhnya kian tergetar. Perlahan ia kenakan pakaian itu. Cahaya di
matanya berubah-ubah. Ia merasakan sebuah penjelmaan. Penjelmaan
yang tak mampu ia tanggung dengan tubuh ringkihnya.

Fragmen Keempat

Begitulah akhirnyasaya akan memainkan lakon ini sendiri


Kaulah penontonnya. Kau harus terus menyaksikan bagaimana lakon ini
kumainkan. Aku tak bisa lagi sendirian. Tenaga itu telah menyergapku, impian
itu sudah bangkit, aku tak bisa menghentikannya. (Samana mengalami kembali
histeria yang pernah membuatnya dirawat di rumah sakit jiwa)

Bangun..! Sebentar lagi matahari akan Tergelincir, orang-orang akan


berdatangan. Aku tak mau merekamelihat ada seorang topeng monyet dungu
terdampar di tempatini. Aku tak mau meninggalkan tempat ini dengan
menjinjing tas itu.aku seorang aktor, seorang dengan bakat besar
yang bertahun-tahun diselimuti debu dan lumpur! Aku ingin mereka
menjemputku, membawakan jas dan sepatuku, membawakan
makanan, menyiapkan sebuah perjalanan terhormat menujugedung
pertunjukkan.mereka harus mewawancaraiku, menulis
seluruh kisahku di koran-koran, televisi.mereka harus memelukku satu per
satu.mereka harus menangis. Dan tangis mereka harus lebih panjang dari
kesedihanku karena telah mengabaikan seorang aktor.!!!
(Di puncak histerianya)
Wahai fajar hari.! Bangkitlah kaudari bilikmu yang sunyi itu, songsong
aku dengan cahayamuSeorang aktor telah datang di kota inijangan ada lagi
satu mata pun yang berpaling darinyasetiap orang harus.
memberikan senyum dan melemparkan bunga-bunga.!
Aku telah memainkan semua lakon hebat itu dengan segenapjiwakulakon-
lakon yang telah membuat kalian merasakankarunia dari hidup dan
keindahan.
(Fajar perlahan menyingsing. Orang-orang mulai melintas di jalan-jalan
yang semula lengang. Kota memulai denyutHidupnya)
Hei, dengardengardengarkan aku.!Aku bukan kantung ludah yang selalu
kalian minta bercerita disaat kalian berduka dan kesepian tapi kemudian kalian
abaikandan campakkan seperti membersihkan najis dari tubuh kalian.! Jangan
lagi kalian bersembunyi di balik sikap yang seolah-olah terhormat itu;
memberikan tepukan, sanjungan, berpura-pura terharu dengan ceritaku sambil
menahan rasa muak kalian!
Aku adalah pembawa risalah keindahan. Aku telah bercakap-
cakap langsung dengan suara Kegaiban. Aku telah menyaksikancahaya terang
dari langit menembus hatiku, nabi-nabi, malaikat,dan orang-orang suci telah
berbisik di telinga batinku.merekamemelukku, menimangku, mengusap-usap
punggungku, mereka keringkan semua air mataku.mereka marah pada
kalian.mereka akan menghukum kalian. Dan Tuhan, Tuhan
akan menghancurkan kota ini karena telah melemparkan seorang aktor, seorang
pembawa suara Keindahan.
(Dengan suara yang mulai parau)
Apa?! Kalian sangka aku mahluk hina yang dibenci seluruh Semesta?! Kalian
tidak
tahu, setiap malam aku berdoa dan bercakap-cakap dengan
Tuhan dan merasakan tangan-Nya yang lembut itu menyentuh
dahikuAku telah mengendarai sunyi, menyebrangi yang fana dan sejati.
Kugendong mayatku sendiri, kupanggul seluruh luka sakit hati..
Aku berlayar di samudera waktu, menyaksikan semua
penderitaanku menjadi jembatan cahaya yang menyampaikanku
ke lubuk air mata-Nya
Aku mendengar apa yang tidak Dia katakan, Aku melihat apa yang tidak Dia
tampakkan, aku merasakan apa yang tidak Dia sampaikan, Aku memeluk apa
yang tidak Dia wujudkan Aku telah menyebrangi duri dan api, mengayuh
gerimis, mendaki sunyi. Aku arungi gelombang lautan sepi, aku tampik semua
simpati dan pemberian manusia, karena aku adalah pembawa suara
keindahan. Aku tak pernah lapar,
tak pernah haus, aku telah dipuaskan dengan kasih-sayang Tuhan..
Jangan kalian pandang aku hina.Singkirkan tatapan angkuh dan penuh
kebencian itu.Aku tak butuh uang receh kalian.Bawa mangkuk karatan itu
dan berikan kepada pengemis..
Apa?! Kau akan mengusirku dari tempat busuk ini? Aku Cuma kemalaman di
sini, berteduh, Aku punya sebuah gedung pertunjukkan yang megah.kalian
akan dihancurkan.Tuhan akan menghukum kalian.! Tuhan akan membalas
semua perlakuan kalian.!!

Samana meraih tasnya dan meninggalkan tempat itu sambil terus


meracau. Lalat-lalat mulai berdatangan, berdengung, merubung
bangkai monyet. Setiap orang yang melintas bergegeas, menutup hidung,
meludah.meludah.meludah

Anda mungkin juga menyukai