Anda di halaman 1dari 26

SEKAPUR SIRIH

Novel ini aku persembahkan sebagai bukti jika kita sudah sedikit tidak bersahabat
dengan lingkungan ini, semua berawal dari rasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan
akan selalu mencari kepuasan terus menerus tanpa berpikir bahwa saudara di samping kita
sangat bergantung pada lingkungan itu. Suara suara kesederhanaan diambil dari dinamika
bangsa yang real atau nyata di hadapan kita, bukan melalui mimpi.

Suara ini benar-benar keluar dari lubuk hati, sebagai makhluk yang sosialita. Ketika
berhadapan dengan dinamika yang benar-benar terjadi dan mengakibatkan luka yang
mendalam. Suatu bangsa yang besar sewajarnya perlu untuk menata kehidupan
masyarakatnya agar mampu hidup dalam kesejahteraan. Tanpa menyebabkan ketimpangan
disalah satu batang tubuh bangsa itu sendiri.

Ditinjau dari beberapa aspek kehidupan bernegara maka penulis ingin mengajak
pembacanya untuk lebih melihat ke dalam, bahwasannya masih ada ketimpangan besar yang
perlu untuk disikapi.

Penulis juga ingin berterima kasih kepada seluruh sahabat-sahabat yang dengan giat
membantu penulisan novel ini terselesaikan dengan baik.

“persembahan khusus untuk keluargaku yang selalu mendukung penulis dalam berkarya, dan
juga untuk seseorang yang selalu menginspirasiku, dan mencintaiku, serta selalu
mendukungku dalam berkarya”.

Dalam penulisan ini, penulis ingin berterima kasih untuk sahabat seperjuangan yang
telah membesarkan penulis di dunia keorganisasian. Sahabat Ibnu Rusid, Senior Jack,
bersama ibunda tersayangnya, Senior Dahrul, dan masih banyak teman seperjuanganku yang
tidak bisa saya sebut satu persatu, salam satu pergerakan yaitu Gaharu Institute. Satu wadah
yang membesarkan penulis hingga mampu beride dalam pergerakan.

Tak lupa aku ingin berterimakasih kepada teman sejawatku, abang Yan, yang selalu
memberikanku nuansa baru dalam menulis, selalu memberiku motivasi dan selalu
menemaniku dalam meniti karir di dunia menulis

Komunitas Kaki Kareta, sebagai suatu wadah untuk penulis berjuang menggapai impian,
suatu wadah yang inspiratif. Terutama terimakasihku untuk semua anggota badan pengurus
komunitas yang memberi semangat dalam menulis hingga terselesainya novel ini dengan
baik. Bung Dion yang selalu memberiku nuansa baru dalam menulis, sosok yang selalu
memberiku semangat

Tak ada gading yang tak retak maka, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam novel ini, sehingga penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan
yang membangun untuk penulisan selanjutnya.
Kupersembahkan untuk kekasihku Lodia Marisa Jermias,

Rindu ini untukmu,


MENCINTAI NASIB

Suasana pagi ini sangat cerah dengan sinar matahari yang menembus pohon-pohon
pinus di lereng bukit itu. Suara burung-burung memanggil lara yang sedang jenuh. Alam
begitu riang pagi itu, entah karena apa, dari kejauhan terdengar suara siulan putus-putus yang
jika diperhatikan siulan itu keluar dari gubuk bambu kecil yang sedikit miring sehingga harus
menambah kayu di sekujur tiang-tiang penyanggah. Pagi ini seorang kakek tua yang
akhir-nya diketahui bahwa kakek itulah yang bersiul menyambut pagi dengan suara siulan
yang terputus itu, sosok yang begitu lemah menyiapkan alat kebunnya, siap untuk berangkat
mengais nafkah di ladang milik tetangga demi menghidupi keluarga kecilnya itu.

Istrinya seorang kuli cuci yang setiap hari bergerak dari rumah ke rumah menawarkan
jasa dengan harga semangkuk nasi putih dibubuhi sayur acar. Mereka memiliki lima orang
anak tapi keempat anaknya meninggal semenjak masih kanak-kanak dikarenakan diserang
penyakit. Sehingga hanya meninggalkan seorang laki-laki kecil berumur kira-kira dua belas
tahun yang katanya hanya menempuh bangku Sekolah Dasar kelas dua, ia terpaksa tidak
bersekolah karena harus membantu ayahnya. Dan sesekali harus bermain dengan segudang
sampah yang sedikit membawa rejeki, walau harus berpapasan dengan bau yang menyengat
hidung, dan kaki tak beralaskan sandal, setiap hari kerjanya menyusuri setiap pinggiran pasar
dan pertokoan, yang gedungnya menjulang tinggi berjejeran rapi seperti pasukan tentara yang
siap menyerang. Semenjak berdirinya gedung-gedung itu masyarakat di sekitar sudah beralih
profesi, yang awalnya adalah petani sawah yang menghasilkan berton-ton beras namun kini
harus mengurung kembali kenangan itu dan kini harus berhadapan dengan lalat, sampah, dan
bau mesin jalanan. Air yang dulunya jernih sekarang sudah termakan oleh hasil buangan
gedung-gedung tinggi itu.

Dulu, menurut tutur si kakek tua itu mereka memiliki sebuah rumah di bawah gedung
yang paling tinggi itu. Sambil jari keriputnya menunjuk pada gedung itu, gedung sebuah
perusahaan besar yang omsetnya bermiliar-miliar, diselingi dengan suara yang putus-putus,
entah kakek itu berkata apa. Namun, dilihat dari wajah yang sudah berkeriput itu seperti
terdapat sebuah penyesalan yang mendalam.

Memang nasib manusia selalu penuh dengan misteri, dunia sekarang dijajah oleh
penguasa yang dengan semena-mena menindas yang terpinggirkan. Persaingan demi
persaingan dilakukan untuk menyenangkan hati tanpa melihat efek apa yang terjadi pada
mereka yang tidak tahu tentang apapun itu. Mereka yang sehari-hari menafkahi hidup dengan
berjuang dalam kesederhanaan harus mengakhiri perjuangan mereka karena kecongkakan
penguasa yang tak pernah pudar. Suara teriakan mereka hanya sebuah lelucon atau permainan
drama yang dilakoni oleh manusia berbayang maut. Yang akhirnya pelakon itu harus
mengalah dan mencari suaka baru walau harus meninggalkan luka dan kenangan.

Pagi ini anak separu baya itu menyiapkan sebuah kantong hitam berdebu, wajah oval
dengan rambut sedikit berombak tak terurus, memakai baju yang sudah kusam, dan di
samping lengan bajunya terdapat lubang mungkin termakan binatang kecil, ataukah…….
Anak itu memakai celana pendek hitam yang jika diperhatikan sudah disulam bagian
pantatnya, yaaah…. mungkin itu dilakukan ibunya untuk menutup aurat anaknya.

Wajah lugunya mengingatkanku pada seorang sahabatku semasa kecil yang sekarang
sudah tiada. Dengan langkah yang sedikit malu, ketika dilihat oleh teman-teman sebayanya
yang pagi itu sedang bergegas ke sekolah. Tak jauh dari gubuk tempat kediamannya itu,
sebuah sekolah yang dibangun di area terlarang yang suatu waktu bisa digusur oleh pemilik
kedua, yang katanya akan dibangun sebuah gedung bertingkat, yang jika didengar dari
bisikan-bisikan orang-orang disekitar kampong itu, katanya akan dibangun gedung
penginapan. Hotel…. Mungkin seperti itu...

Dari kejauhan, anak kecil itu memperhatikan langkah teman-temannya yang dulu
sebangku waktu sekolah. Wajah lugu itu mungkin sedang memikirkan dirinya yang akhirnya
harus berakhir di bangku kelas dua SD. Terlihat kekosongan dalam benaknya, wajah yang
awalnya ceria harus dikurung dalam-dalam ketika berpapasan dengan pemandangan itu… Ia
mengayunkan kakinya dengan perlahan sambil memalingkan wajahnya pada mereka yang
berjalan rapi, ada yang diantar menggunakan mobil mewah, motor, dan ada yang berjalan
kaki. Kadang pandangannya tertuju pada kaki mereka yang bersih dan dibalut dengan kaos
kaki putih setengah lutut, tas mungil kecil yang menempel erat di pundak….
Perbedaan-perbedaan itu membuat ia hanya berjalan perlahan sambil sesaat menundukan
kepala berpikir entah apa yang ia pikirkan…

Negara kita sudah berusaha dengan berbagai cara menstabilkan sistem pendidikan
yang ada, agar seluruh komponen mendapatkan pendidikan yang setara. Hal itu yang
sekarang telah digeluti oleh pemerintah. Namun, jika kita memandang di sekitar kita masih
banyak ketimpangan pendidikan, ketimpangan itu dapat kita tinjau dari beberapa aspek, ada
lingkungan, ekonomi, dan persaingan penguasa yang ingin membuka lahan usaha baru yang
akhirnya merenggut masa depan warga. Entah siapa yang salah, namun haruslah diterima
bahwa masih ada ketimpangan-ketimpangan tersebut.

Ketika langkah kakinya berhenti pada persimpangan jalan, di sebuah bak besar,
tempat pembuangan sampah dari rumah-rumah bertingkat itu… Kaki yang tak beralas itu
kadang harus melangkah dengan hati hati sambil melihat apa yang pantas untuk dilemparkan
ke dalam kantong hitam kecil itu, yang bergantung di pundaknya, tangan kirinya memegang
ujung kantong itu, sedangkan tangan kanan dengan mahirnya bermain di atas sampah yang
berserakan itu… Kadang-kadang harus mengusir hewan-hewan pemakan sampah yang
berkeliaran di tempat itu. Lalat berkeriapan menghinggapi tubuh anak itu. Mungkin karena
bau yang begitu tajam seolah sudah bersahabat dengan dia. Atau? Entahlah ……!

Ketika siang mulai memanggil, panas terik sudah mulai terasa di atas ubun-ubun, jam
menunjukan pukul 12 lewat beberapa menit. Anak kecil itu, sudah berkeliling hampir seluruh
tempat sampah di pusat keramaian kota itu. Wajah penuh dengan keringat bercampur debu
dan sampah, pakaian yang awalnya masih sedikit bersih sekarang sudah tidak bisa dikenali
lagi. Kaki yang tak beralaskan sandal itu dipenuhi dengan lumpur sampah, karena memang
semalam kota itu diguyur hujan yang begitu deras. Anak itu mulai berjalan sempoyongan,
karena hasil pikulan yang sudah melebihi berat yang sewajarnya mampu untuk dipikul oleh
anak seusianya. Tak pernah berpikir untuk lelah, mungkin dalam pikirannya akan
mendapatkan imbalan yang besar, sehingga dapat membantu orang tuanya untuk bertahan
hidup dalam beberapa hari kedepan.

Lorong kecil sudah berada di depan mata, panjang lorong itu kira-kira 100 meter,
jalannya dipenuhi dengan kubangan air bekas hujan semalam, di samping kiri dan kanan,
gedung bertingkat menjulang tinggi seakan menatap si anak kecil itu yang berjalan
sempoyongan memikul hasil keringatnya sehari. Di ujung gedung itu masih ada bekas
pondasi rumah yang dulunya dibangun untuk sebuah klinik kesehatan bagi warga yang
disponsori oleh sebuah yayasan kesehatan. Sedangkan rumah anak itu berada bersebelahan
dengan klinik kesehatan tersebut yang kini berubah menjadi sebuah apartemen mewah milik
seorang pengusaha

Atau karena berpikir harus membayar cicilan perbulan di Bank tempat pinjaman
sehingga untuk mengurus kerompolan tempat berjualannya harus menambah biaya
pengeluaran yang begitu banyak….

Anak itu mengetuk beberapa kali sambil kepalanya melihat lewat sebuah lubang kecil,
dan sesekali agak gelisah, mungkin pembeli barang rongsokan tersebut sedang tidak ada
dirumah atau sedang keluar. Anak itu terus saja mengetuk hingga terdengar langkah kaki dari
dalam yang keluar dengan cepat membuka pintu pagar tua itu, terlihat wajah yang sedikit
berumur, yahhh mungkin sekitar 40-an, wajah yang oval dengan tato di lengannya dan
berambut panjang membuat suasananya seperti berada di kandang harimau.

… Ooohh iya, kamu. Mari masuk……. Anak itu melangkahkan kakinya dengan
terkopoh-kopoh menuju ruangan barang timbangan. Ade silahkan mana barangnya…. Suara
yang sedikit bergetar, mungkin karena selalu mengkonsumsi rokok kretek. Anak itu dengan
perlahan memindahkan barangnya pada bak timbangan.

Dua kilo setengah…. Suara yang sedikit rendah sambil melihat pada angka-angka yang
selisih setengah ons itu

Dibulatkan dua kilo anak…… ohh iya pak, terima kasih, segera orang itu menuju lemari
kasir sambil melihat-lihat anak kecil itu, mari anak…… anak itu sedikit mendekat dengan
wajah yang diam seakan berpikir berapa hasil yang bisa didapat. Lalu kakek itu menyodorkan
uang sebesar sepuluh ribu rupiah sambil tersenyum, serentak anak itu menyodorkan
tangannya menerima uang itu penuh dengan bahagia…

Tidak menunggu lama lagi, anak itu bergegas pamit, pak terimakasih, saya pamitan
dulu… ia adek terimakasih suara yang sedikit berserak membalas, disambung dengan
senyuman tipis yang Nampak dari wajah tua itu.

Anak itu segera menuju pagar besi tua itu, lalu menarik pagar dengan sedikit
mengeluarkan tenaga wajahnya diangkat sedikit, sambil melihat gedung-gedung bertingkat
yang menjulang tinggi sambil melepas angan……. ahhh entah apa yang ada dalam benaknya.
Mungkin ia berpikir dengan uang ini ia bisa membeli sekilo beras atau mungkin sedikit untuk
membeli jajanan kecil di pinggiran sekolahnya dulu, ataukah mungkin apa yang sedang ia
pikirkan.

Langkah kaki kecil itu sesekali disentak pada genangan air di lorong itu sehingga
menimbulkan sedikit percikan ke tembok tembok gedung bertingkat di samping kiri dan
kanannya, sambil tersenyum melepaskan tawa kecil. Ahli psikologi sering mengatakan Hal
itu identic dilakukan oleh anak-anak seumuran dia, sebagai luapan kegembiraan akan
kebebasannya dalam mengekspresikan sesuatu.

Si ibu hari itu berkeliling di sekitar lorong panjang perumahan indah milik para
kandidat bermodal tinggi, tempat itu dulunya adalah sebuah lapangan kecil tempat anak-anak
kecil bermain layangan, dan sepak bola serta tempat berkumpulnya orang-orang jika ada
kegiatan dari Kabupaten. Sosok ibu yang sekarang sudah sedikit membungkuk, dengan wajah
yang sudah sedikit keriput, berambut uban dengan tahi lalat besar di bagian kanan pipinya.
Hari ini dia memakai sebuah baju berwarna kuning kecoklatan, namun jika diperhatikan baju
itu berwarna kecoklatan bukan karena buatan pabrik. Namun, karena termakan waktu.
Sebuah kain usang pinggangnya diikat rapi, menggambarkan nuansa muda yang dulunya
adalah seorang gadis cantik dengan penampilan yang menarik sehingga menggoda hati para
pria. Mungkin karena kerapiannya dan kecantikan dulunya itu yang membuat si kakek tua
mengambil dia menjadi seorang istri.

Hari ini ia melangkah perlahan sambil menunduk, kadang wajahnya diangkat dan
memandang di samping kiri dan kanan perumahan mahal tempat para kandidat bermodal
tinggi bercengkrama dengan hari dan waktu bersama keluarga. Dari kejauhan ada sebuah
rumah mewah tempat yang biasanya selalu menawarkan jasa ibu itu untuk mencuci
pakaian-pakaian kotor bekas seminggu bekerja. Langkah kakinya berhenti di depan pintu
pagar setinggi dua meter, dengan wajah yang sudah berkeringat mengangkat tangannya dan
menekan bell, untuk memanggil seorang petugas membuka pintu itu, jelang beberapa menit,
seorang petugas membuka pintu pagar itu dan menyuruh ibu itu untuk masuk.
Hari itu sekitar pukul sepuluh. “Silahkan ibu, tuan menunggu ibu di dalam”. Kata si penjaga
itu. Dengan wajah yang menunduk ibu itu bergegas pergi menemui tuan itu, dari kejauhan
tuan itu sedang duduk di teras rumahnya sambil memegang sebuah koran sedang di
sampingnya secangkir minuman hangat sebagai sarapan pagi, memang itu selalu dilakukan
setiap pagi.

Ibu itu mendekat dan berkata, “permisi tuan, apa hari ini ada cucian yang ingin
dicuci?” tuan itu masih tidak menjawab, mungkin karena berita di dalam koran hari itu sangat
bagus ataukah pura-pura tidak mendengar, jika berita-nya sangat bagus, paling-paling berita
itu berisi tentang seorang pejabat tinggi ditangkap KPK karena mengelabui uang negara
sehingga menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan. Atau mungkin berita perampokan,
kebakaran, atau pemerkosaan.

“Pergi ke dalam” ... Suara yang sedikit keras, membuat ibu itu langsung dengan cepat
pergi ke dalam rumah itu tanpa menegurnya. Mungkin karena ibu itu mengganggu waktunya.

Hari itu si ibu mendapatkan cucian yang sedikit menguras tenaganya, dengan tenang
ibu itu melakukan tugasnya, sambil berharap semoga hari ini bisa menjadi hari yang baik.
Setelah selesai melakukan tugasnya ibu itu segera menuju sebuah taman di samping rumah,
disana seorang perempuan cantik yang jika dilihat perempuan itu adalah istri si tuan yang
sedang membaca koran. Rambut panjang menghiasi bahunya dengan wajah cantik yang jika
dilihat sepertinya seorang perempuan berdarah asing, yang pastinya bukan dari Negara kita.
“Permisi tuan, cucian sudah dijemur” ibu itu dengan tunduk dan sedikit malu mengucapkan
kalimat itu… beberapa saat perempuan itu memalingkan wajahnya dan melihat ibu itu sambil
berkata “oh iya Tunggu sebentar. Perempuan itu bergegas masuk dan mengambil selembar
kertas kecil dan menyerahkannya pada ibu itu sambil berkata” terimakasih, minggu depan
datang lebih awal karena saya akan keluar bersama keluarga untuk berlibur. Dengan
menunduk ibu itu berkata,” baik tuan”, sambil meminta pamit.

Waktu menunjukan pukul dua belas, ibu itu bergegas meninggalkan rumah mewah itu.
Wajah yang sedikit bergembira karena hasil yang didapat sedikit memuaskan hati. Dua puluh
ribu, ibu itu berbisik dalam hati sambil melangkah meninggalkan rumah mewah itu. Langkah
kakinya berhenti pada sebuah kios kecil di pinggiran kota itu, kira kira berjarak dua kilo dari
rumah mewah itu, dan tiga kilo dari gubuk tempat tinggalnya. Cuaca hari itu sedikit
mendung, hujan semalam masih meninggalkan bekas genangan air di setiap pinggiran jalan.
Ia melangkahkan kaki memasuki sebuah kios, ia keluar dengan membawa sekantong beras
dan sedikit perlengkapan rumahan, Di Tangannya masih meninggalkan beberapa rupiah
untuk disimpan. mungkin beberapa hari kedepan jika ada keperluan maka masih bisa untuk
digunakan.
Hari mulai sore ia melangkahkan kaki lebih cepat karena sang suami, si kakek tua itu
pasti sudah menunggu, seperti biasa setiap sore suaminya itu selalu menyuruh untuk
membuatnya teh hangat. Kakek itu bercerita bahwa semasa muda istrinya itu sangat pandai
membuat teh hangat, “istriku itu semasa muda sangat pandai membuat teh hangat, dan
sangat pandai memasak, itulah salah satu yang membuat saya mencintai dia” Suara yang
sedikit parau sehingga ejaan kalimatnya harus didengar dengan teliti.

Sore ini cuaca sedikit cerah walau masih ada awan-awan gelap bergelantungan di
angkasa menghiasi sore itu. Sehingga suasana jalan sempit berbatu menuju rumahnya seakan
dihiasi dengan warna warna orange bekas pantulan cahaya matahari sore. Dari kejauhan
suaminya sudah menunggu, suaminya adalah seorang kuli kebun, dikarenakan lahan mereka
sudah diambil oleh mereka yang memiliki banyak kemampuan untuk membuat segala sesuatu
bisa jadi milik mereka. Setiap subuh ia sudah menyiapkan alat cangkul dan beberapa
peralatan kebun untuk berkebun, gajinya dihitung setiap bulan dengan harga lima kilo beras.
Dan jika di musim panen selalu majikan pemilik lahan tersebut selalu menambahkan sedikit
pendapatannya sehingga kakek tua itu bisa bertahan kerja walau umurnya sudah tidak wajar
lagi untuk bekerja.

Senyuman yang selalu menemaninya ketika sore hari disaat melepas lelah di sotoh
depan gubuk itu, mungkin itulah cara yang paling tepat dan indah untuk membakar
keresahan-nya ketika bermain dengan waktu. Istrinya langsung menyapa dan meneruskan
langkahnya ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Anaknya sedang berada di dalam
kamar sambil menghitung pendapatannya hari itu.

Pandangan kakek tua itu kadang menatap jauh ke kota, memang lokasi gubuknya
sangat strategis, karena berada di bawah lereng bukit sehingga suasana sore sangat indah
untuk dinikmati. Sesekali mulut kakek itu bergerak, mungkin sedang membaca apa atau
mungkin sedang menghitung hari kapan upah dari kerjanya diberi. Malam ini menu makan
mereka adalah nasi putih dengan lauk kangkung ditumis dan tempe goreng, hasil belanja
istrinya siang itu. Berapa saat kemudian suara dari dalam rumah memanggil.” bapak mari
makan”. Kakek itu bergegas masuk menemui suara yang memanggil. Sebuah tempat nasi,
dengan sayur yang telah diramu begitu lezat sudah disimpan di selembar tikar kusam yang
biasa disiapkan untuk menyimpan makanan. Anaknya duduk di ujung tikar itu, sedang kakek
tua itu duduk bersilang di samping tikat itu mendampingi sang istri. Suara kembali hening
ketika ayat ayat doa dipanjatkan kepada Yang Kuasa meminta agar makanan hari ini bisa
menjadi berkat dan kesehatan untuk bertahan di dunia yang penuh dengan kekacauan ini.

Malam semakin larut, suara binatang malam semakin jelas mengeluarkan lantunan
yang begitu merdu menemani makan malam mereka, kadang mereka bercakap-cakap sambil
melepas senyum. Kadang terdiam sambil menikmati makanan yang sudah tersaji di dalam
piring kecil berwarna putih itu.
Hari ini mereka telah lalui dengan penuh rasa syukur, memang itu yang selalu mereka
lakukan setiap saat, menikmati hari tanpa kejenuhan sambil menunggu takdir yang
memanggil. Tak ada satu orangpun yang mengunjungi mereka, setahun sekali disaat sensus
penduduk dijalankan. Itupun hanya pegawai lapangan biasa yang menemui mereka. Dan
selalu berganti ganti pegawai setiap tahun. Mungkin ketika selesai menggunakan tenaga
mereka, langsung diganti dengan pegawai baru. Atau yang biasa disebut dengan sistem
kontrak. Yaa… sistem kontrak.

Setelah menikmati makan malam keluarga kecil itu langsung melepas penat sambil
menunggu harapan baru di pagi yang cerah, yang mungkin akan ada mujizat dari Yang
Kuasa. Memberi mereka sedikit rezeki untuk menentang keganasan dunia ini. . .. Itu yang
mungkin selalu dipikirkan oleh kakek tua itu di setiap sore ketika berada di sotoh rumah itu,
disaat mulutnya bergerak entah berkata apa. Malam yang indah ditemani dengan suara
binatang-binatang malam yang begitu merdu membuat suasana malam terasa bernostalgia
dengan kenangan…….

Hari ini cerah sekali, lalu-lintas pusat kota begitu ramai, dari pejalan kaki, pengguna
kendaraan pribadi maupun umum bergonta-ganti seperti jejeran semut yang berpindah
mencari suaka baru. Deretan penjual kaki lima memenuhi bahu-bahu jalan, menjajakan hasil
jualan yang dibuat semalam, daerah pasar dipenuhi dengan manusia dari berbagai penjuru,
dari yang anak-anak sampai kakek nenek. Wajah yang beraneka rupa menghiasi suasana yang
begitu kumuh. Sayur, pakaian dan masih banyak lagi bergelantungan seperti daun daun
kering yang tinggal menanti angin harapan meniup dan jatuh entah kemana, ada yang di
halam rumah, selokan, trotoar bahkan di jalanan sehingga digilis kendaraan dan akhirnya
meninggalkan kenangan bahwa pernah ia berada di sebuah dahan yang kokoh.

Beberapa anak bermain bola di samping bahu jalan, bergelut dengan debu jalanan,
tanpa beralaskan sandal, dengan ceria memainkan kaki pada bulatan bola itu yang
dipindahkan dari kaki ke kaki, membentuk tarian acak, namun kadang harus keluar dari
genggaman kaki dan mengenai pengguna jalan. Ada yang langsung mengeluarkan makian
pada anak-anak itu, ada pula yang langsung menyeret bola itu dan akhirnya hanya lah
sobekan kecil yang didapat oleh anak-anak itu, namun ada pula yang hanya tersenyum dan
lalu begitu saja.

Memang karakter manusia tidak selalu sama, seperti yang ada pada Bangsaku, dari
penguasa yang bengis hingga yang bijaksana, dari penjahat hingga dermawan bercampur baur
menjadi satu sehingga tidak dikenal mana yang baik dan mana yang jahat. keramaian pusat
kota digunakan oleh berbagai macam manusia, dari pencopet hingga pengemis beredar
seperti butiran pasir yang lepas dari tembok pembatas kota yang dibuat oleh pemerintah
sebagai tanda akhir sebuah tempat.

Di gubuk itu, masih seperti biasa, keluarga kecil dengan hidup dalam kesederhanaan,
berusaha untuk bertahan hidup di tengah morat-maritnya ekonomi. Anak seumuran dia yang
seharusnya bersekolah namun, semua itu ia kubur dalam-dalam, mungkin dalam benaknya ia
pernah berpikir mengenai cita-citanya, karena semasa sekolah sudah menjadi kewajiban
untuk setiap guru bertanya tentang cita-cita di masing-masing murid dan mungkin dia adalah
salah satunya yang pernah ditanya oleh gurunya.

Sebuah mobil mewah berjalan perlahan dan berhenti tepat di pintu gerbang sekolah
itu, dari dalam mobil itu seorang bapak yang sedikit tua mengeluarkan kepalanya sambil
melihat-lihat di sekitar sekolah itu.

Sekolah itu adalah sekolah yang didirikan oleh masyarakat sekitar agar bisa
membantu anak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Memang dulu pernah ada sekolah
yang bagus di kampung mereka, namun telah diambil oleh penguasa dan dijadikan sebuah
hotel. Sehingga ketika mereka diusir keluar dari tanah mereka dan berpindah di lereng bukit
itu, kepala desa dan beberapa tokoh adat bersepakat untuk membangun sebuah sekolah untuk
anak-anak mereka. Hal itu disepakati bersama sehingga saat ini anak-anak mereka sudah bisa
bersekolah, walau untuk tenaga guru masih sangat minim dan pembayaran gaji guru masih
menggunakan hibah dari masyarakat desa itu.

Hanya sekedar melihat, lalu mobil itu segera bergegas meninggalkan pintu gerbang
itu, beberapa guru duduk di depan kantor sambil bercakap-cakap. Kadang melihat ke depan
pintu pagar, dan kadang melihat ke kelas– kelas, sedang di luar anak anak saling
bercengkrama, berlarian kesana-kemari, ada juga yang berkumpul sambil bercerita, seperti
tidak berpikir kalau suatu saat sekolah tersebut harus beralih menjadi sebuah gedung.
Entahlah akan dijadikan gedung apa.

Di dalam kelas ada guru-guru yang dengan giat mengajar siswa-siswa membaca,
menulis, menghitung, dan masih banyak lainnya, mereka berpikir tentang upah yang didapat,
namun dengan satu komitmen, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah pekerjaan yang
sangat mulia.

Udara siang itu sedikit mengeluarkan keringat, debu beterbangan kesana-kemari membuat
beberapa anak yang sedang bercengkrama harus berlari berhamburan untuk menghindari
debu itu. Bapak ibu guru yang sedang asik bercerita harus mengubah arah duduk mereka
untuk tidak terhirup debu. Memang siang itu sangat cerah walaupun beberapa hari yang lalu
kampung itu diguyur hujan yang begitu deras. Memang alam sudah menandakan tidak
bersahabat dengan manusia. Semua itu karena ulah manusia itu sendiri. Selain itu, bangsa
kita sudah dininabobokan dengan pembangunan yang berkepanjangan, tanpa berpikir tentang
masalah yang akan ditimbulkan. Dari reklamasi, hingga penggusuran pemukiman warga
membuat suasana semakin tidak membaik. Memang jika ditinjau dari beberapa aspek bisa
menguntungkan, tapi semua itu ada akibat yang merusak juga, dan itu selalu disepelekan.
Artinya disini bahwa kita semakin tidak sadar akan dampak dari kelanjutannya. Dan selalu
yang mendapatkan akibatnya adalah masyarakat pengguna sarana.
Adapun karena keteledoran masyarakat dalam menjaga keasrian alam, sebagai contoh
kecil, jarang membuang sampah pada tempatnya, selalu menggunakan tempat aliran air
sebagai akhir dari masalah pembuangan sampah. Maka jika ditinjau dari beberapa hal
tersebut perlu ada sikap rasa sadar akan alam dan lingkungan sekitar antara elemen pembuat
kebijakan dan penikmat kebijakan itu sendiri.

Hari semakin sore. Kakek tua itu masih melakukan aktivitasnya di sebuah ladang
milik tetangganya, sedang si-ibu mempersiapkan diri menyambut suami tercintanya kembali.
Anak mereka semata wayang hari ini tidak melakukan aktivitasnya. Mungkin karena sampah
yang ada di tempat pembuangan di sekitar pusat kota itu sudah bersih, jadi harus menunggu
beberapa hari lagi untuk terisi kembali. Memang pusat kota dipenuhi dengan berbagai macam
orang, jadi sampah pun diminati oleh sebagian anak-anak kecil yang harus mengakhiri masa
sekolah mereka untuk membantu orang tua mereka, bahkan kakek tua pun kadang masih
dilihat berkeliaran sambil memegang kantong kecil mereka walaupun hanya diisi dengan
beberapa gelas kecil yang jika ditimbang kadang tidak sampai dua kilo, dan biasa dihargai
dengan satu mangkuk bubur kacang hijau.

Berbicara kesejahteraan seperti masih ada ketimpangan, sejahtera seyogyanya hanya


mampu dinikmati oleh golongan menengah ke atas, bagaimana dengan menengah ke bawah?
Semua mereka merasakan kesejahteraan dalam pikiran lamunan saja. Setiap sore mereka
hanya mampu duduk sendiri di sotoh rumah sambil berpikir tentang bagaimana sejahtera di
esok hari.

Janji sejahtera hanya dirasakan lima tahun sekali ketika masa pemilihan, dan jika
akhir memilih masa sejahtera itu akan sirna termakan oleh angin malam.

Jurus-jurus hipnotis warga untuk memilih memang berhasil, tapi janji– hanya tinggal
janji. Tetap rakyat harus berteriak sendiri, namun apa daya rakyat harus memilih karena jika
tidak memilih bisa dimusuhi dan bahkan akan berdampak lebih buruk lagi.

Sore ini kakek tua itu kembali dengan tergopoh-gopoh, mungkin karena faktor usia
atau mungkin karena beban keluarga yang harus ia pikul, dari kejauhan si istri telah
menunggu di depan sotoh gubuk itu. Duduk seperti seorang ibu muda sambil memandang
kejauhan di ujung jalan itu, melepas harapan. Entah apa yang ia pikirkan. Semua itu dilihat
dari wajahnya, dan mulut yang sering bergerak melafalkan kalimat-kalimat harapan, yaaa...
mungkin kalimat harapan.

Hari ini begitu cepat berputar, tanpa disadari usia semakin bertambah diikuti dengan
harapan yang semakin terkubur, karena telah dimakan oleh mereka yang memegang
kepentingan. Dari tanah, rumah, pohon, air, dan masih banyak yang lainnya bahkan nyawa
pun mereka ingin untuk mengambilnya demi keuntungan pribadi, yang sebenarnya berbicara
nyawa, itu adalah kepemilikan Yang Maha Kuasa.
Gubuk itu menjadi titik akhir perjalan hidup, ketika sore memanggil dan bahagia itu
kembali terasa, disaat langkah kaki disambut dengan senyum dari sosok penghuni rumah.
Dan sotoh depan rumah itu menjadi saksi nyata kebahagiaan itu. Malam memanggil begitu
cepat seakan tak ingin melihat penderitaan siang memainkan perannya. Suara binatang
malam begitu nyaring, seakan ingin mengucapkan selamat datang penjelajah hidup. Selamat
beristirahat dari lelahmu, aku hadir untuk menghiburmu. Yaaa…. Mungkin itu yang dibisikan
dari lantunan suara binatang malam.

Sebuat tempat nasi ditaruh di atas tikar anyaman daun lontar, senyum kembali terlihat
di wajah-wajah tua itu, anaknya duduk seperti biasa di ujung tikar itu, sedang ibu dan
ayahnya duduk berdampingan. Diluar semakin banyak binatang malam mengeluarkan suara
mereka, membuat suasana terasa begitu romantis, Mencicipi makanan malam itu dengan
bahagia, sambil melepas lelah dengan bercerita akan apa yang dikerjakan selama satu hari.

Malam semakin larut, harapan semakin dekat dalam mimpi, cerita malam itu diakhiri
dengan sebuah harapan jika esok hari ada Kuasa dari Ilahi membentengi kehidupan mereka.
Semakin hari penguasa selalu berpikir tentang kekuasaan. Menindas, memeras, dan masih
banyak kekuasaan yang memihak pada kepentingan mandiri, membuat tenggorokan telah
kering untuk bercerita tentang kepentingan itu. Semua telah tidur, kakek itu masih duduk,
sudah lama mereka merasakan penderitaan ini, beberapa bulan kemudian akan diadakan
pemilihan pemimpin daerah. Sudah banyak yang mempromosikan kreatifitasnya untuk
membangun daerah. Dasi mensejahterakan hingga membasmi segala bentuk penindasan
warga.

Kakek itu masih berpikir lama, entah apa yang ia pikirkan, disampingnya segelas kopi
hangat buatan sang istri menemaninya malam itu. Dilihat dari wajahnya, yang sangat serius
itu, menandakan jika ia sedang berpikir untuk kelangsungan hidup keluarga kecilnya. Atau
entah apa yang ia pikirkan. Sudah bertahun tahun ia menghidupi keluarganya dengan tabah,
janji demi janji telah ia lewati oleh petinggi Negara yang awalnya mereka datang dengan
beribu janji manis yang keluar dari bibir manis mereka, namun buktinya itu hanya pemanis
kata agar menghipnotis warga untuk memilih mereka. Para pendukung berjalan berkilo-kilo
memperjuangkan aspirasi dari sosok pendukung mereka, yang akhirnya jika ia terpilih, tak
pernah ia datang untuk melihat pejuang suara yang telah menjadikan dia di kursi empuk itu.
Malah mereka lebih menderita dari kebijakan bohong yang pernah dikeluarkan dari bibir
manismu itu.

Tidak dipungkiri lagi memang kenyataan yang terjadi membuat suatu kelonggaran di
hati masyarakat untuk cepat mempercayai setiap janji manis itu. Sudah cukup menderita
masyarakat menikmati janji manis itu. Yahh itu yang mungkin kakek tua itu pikirkan…
Suara kembali memanggil dari dalam gubuk itu menyadarkan kakek itu untuk melihat
jika waktu sudah berangsur larut ditandai dengan bunyi jangkrik dan desiran angin malam
yang semakin dingin.

Malam ini terasa sangat pendek untuk bermimpi tentang angan, angan yang sudah
termakan oleh zaman yang begitu bengis. Sedang fajar harapan harus memanggil bangun
kaum pemimpi, untuk kembali bermain dengan permainan zaman.

Suara ayam tetangga memanggil untuk bergegas bangun. memang seperti biasanya,
tetangga sebelah rumah kakek itu banyak hewan peliharaan. Matahari kuning keemasan
bersembunyi dibalik bukit itu, suara burung-burung bersiul bergantian seakan sebuah irama
bahagia menyambut pagi yang cerah., embun-embun masih menempel manja di dedaunan
menanti sentuhan matahari memanggil pulang.

Anak-anak memegang ember ataupun jerigen menuju mata air kecil di lereng bukit
tersebut. sesekali memukulkan jerigennya pada dedaunan dan percikan embun terhempas
dan kadang menempel pada teman yang mendahului. itu canda mereka bersama teman
sebaya.

Kebiasaan setiap pagi, seluruh rumah terdapat asap yang mengepul dari dapur, dan
pagi ini, ada dua jenis asap yang biasanya dapat kita bedakan, pertama adalah asap yang
biasa, itu pertanda bahwa di dapur tersebut sedang memasak, untuk persiapan makan pagi
bagi keluarga, kemudian ada juga asap yang sangat pekat, itu pertanda bahwa di dapur
tersebut sedang dilakukan pengeringan hasil panen seperti jagung dan yang lainnya, hal ini
dilakukan agar hasil panen tidak cepat rusak, dan semakin kering, biasanya pengeringan itu
dilakukan hampir setiap hari. hingga masa menanam di musim berikutnya.
Lelaki Desa Dan Cinta

Hari ini sedikit berawan, suasana pagi diselimuti dengan angin membuatnya semakin
dingin. Memang itu yang sering dirasakan oleh penduduk desa. Dari anak anak hingga orang
tua sudahlah menjadi kebiasaan di setiap pagi tubuh mereka diselimuti dengan sehelai kain
panjang yang menutupi hampir sekujur tubuh. Orang-orang desa tersebut sangatlah ramah,
mungkin karena melihat wajah– wajah baru di kampung itu.

Perjalanan yang begitu memakan waktu membuat kami sedikit kelelahan, namun
ketika pertama kali melihat wajah-wajah lugu masyarakat desa membuat kami langsung
bersemangat untuk bercengkrama dengan suasana pagi itu.

Pagi memanggil begitu cepat, sang surya mulai menampakan wajahnya di ufuk timur
dengan warna khasnya. Sedikit aktifitas mulai terasa, anak anak mulai berkeliaran kesana
kemari sambil memegang sebuah ember. Memang kebiasaan desa tersebut setiap pagi selalu
mereka berombongan menuju sebuah sumber mata air di lereng bukit itu. Sedangkan
bapak-bapak sudah mulai sibuk dengan teman kebunnya, sebuah besi pelat yang biasa
digunakan untuk mencabut rumput di ladang. Sedangkan, ibu-ibu rumah tangga sudah mulai
asyik dengan masakannya di dapur kecil berbentuk bulat yang begitu khas hampir di setiap
daerah di desa tersebut

Desa tersebut agak sedikit diatas sebuah lereng bukit yang indah sehingga
pemandangannya memang begitu memukau hati, padang padang yang begitu indah dimana
tempat ternak peliharaan masyarakat bermain sambil mencicipi rumput segar. Dari kejauhan
tampak segerombolan kambing-kambing berjejer keluar dari kandang dan dituntun oleh
seorang anak separu baya, mungkin umurnya sekitar belasan tahun, yaaaa mungkin dua belas
atau tiga belas. Sedang nampak pula seorang perempuan remaja sedang menjunjung sebuah
ember besar, inilah kebiasaan para remaja perempuan di setiap pagi membawa ember besar
berisikan air dan dijunjung diatas kepala mereka. Mungkin itu salah satu cara bagaimana
mereka sangat taat pada suruhan orang tua mereka.

Disamping jalan, tumbuhan-tumbuhan tinggi yang menjadi pagar indah untuk setia
rumah berjejeran rapi membuat sebuah kumpulan besar, hal itu sengaja dibuat masyarakat
untuk sedikit menutupi angin ketika berhembus sehingga membuat suasana tidak terlalu
dingin.

Anak perempuan remaja itu berhenti di sebuah rumah dimana sepertinya rumah itulah
yang akan kami kunjungi. Dengan perlahan anak perempuan itu menurunkan ember yang
berada tepat di atas kepalanya lalu membawa ke sebuah bak kecil terbuat dari tanah liat,
tempat itu biasanya digunakan untuk menampung air sebagai keperluan untuk memasak, lalu
dengan senyuman yang begitu ramah menyambut kedatangan kami. anak itu segera bergegas
dengan cepat membuka pintu rumah yang terbuat dari pohon jati,
“Silahkan pak, silahkan masuk” lalu dengan ramah anak itu meminta pamit menuju bagian
belakang rumah itu, disitulah rasa ini mulai tumbuh sebuah pertemuan sederhana membawa
untuk bercinta dengan angan,

Jelang beberapa menit, seorang bapak berusia kurang lebih empat puluhan
tahun datang menghampiri kami. Wajah sedikit geram, mungkin karena kumis yang menutupi
wajah dengan warna kulit yang sangat berbeda dengan kami dan mungkin karena kami baru
pertama kali bertatapan dengan wajah seperti itu. Serentak kami langsung mengucapkan
selamat pagi dan langsung memberitahu maksud dan tujuan kedatangan kami. Dengan suara
yang khas bapak itu mulai pembicaraannya. “bapak sudah mengetahui kedatangan adik-adik,
kemarin bapak kepala desa sudah memberitahu bapak”.

Lalu kami membuka percakapan. Jelang beberapa saat anak perempuannya membawa
keluar beberapa gelas berisi air minum sesuai jumlah kami. Anak itu langsung
meletakkannya persis di depan kami. Di sebuah meja kayu yang sedikit lebih rendah dari
tempat duduk kami.

Senyuman khas yang diberikan kepada kami seperti awal pertama bertemu beberapa
menit yang lalu membuat suasana begitu hangat. Lalu ia kembali ke belakang rumah
tersebut. “silahkan diminum” kata bapak itu. Awalnya kami sedikit malu-malu namun
dilanjutkan dengan sebuah kalimat “jangan malu, anggap saja untuk beberapa waktu kedepan
inilah rumah kalian”. Dengan sentak kami tersenyum lalu mencicipi hidangan minuman pagi
itu. Sedikit pahit dan manis., air yang dibawa itu. Teman teman saya berbisik dan bertanya
tentang hidangan pagi itu. Mungkin karena didengar oleh bapak itu, lalu bapak itu mulai
bercerita. “inilah minuman khas kami setiap pagi, dan sering disuguhkan kepada setiap tamu
yang datang”.

Bapak itu melanjutkan “minuman ini adalah kopi dengan diberikan sedikit gula untuk
merendahkan kadar pahitnya” hal ini bisa membuat kita bersemangat dalam beraktivitas.
Kami sentak menganggukan kepala dan meneruskan minuman yang telah disuguhkan.

Setelah selesai kami langsung meminta izin untuk meletakan barang-barang yang
dibawa. Dua buah ruangan kecil dengan sebuah lemari dan tempat tidur sudah disiapkan di
kamar tersebut. Ditata begitu rapi dengan diberikan sedikit balutan keharuman membuat
seakan akan kami berada di kamar pengantin baru.

Hal ini mungkin dilakukan oleh perempuan itu, sebuah bisikan dalam benakku. Yang
menjadi racun untuk mengenalnya dan membagi perasaan ini.

Siang menjemput lebih cepat, tak searah dengan lamunanku, teman-temanku sudah
mulai dengan aktivitasnya, menyiapkan bahan dan alat alat untuk dibawakan nanti di balai
desa. Aku bangun dari dudukku di kamarku itu dan bergegas ke kamar kecil yang berada tak
jauh dari rumah itu, persis di belakang rumah itu. Sedang ketika aku keluar, kudapati gadis
itu sedang menyiapkan makan siang, tangan mungil itu memainkan sebatang pisau di atas
tumpukan sayur yang baru diambil dari ladang sebelah rumah. Aku menyempatkan diri untuk
bertanya kecil. “dimana kamar kecil?” dengan sedikit membungkuk ia memalingkan tangan
dan pandangannya di samping rumah itu, tak berpikir lagi mataku juga menatap sesuai arah
tunjuk perempuan itu. “oh iya, terimakasih”. Akupun bergegas menuju kamar kecil itu,
sedang ia melanjutkan pekerjaan nya itu. Pertemuan awal di desa yang membuat benih cinta
mulai bertumbuh.

Aku segera bergegas keluar dan mendapatkan perempuan itu masih asyik dengan
permainan tangannya di tumpukan sayur itu. Sedikit aku menghampirinya dan bertanya malu,
“adek sudah selesai sekolah?” ia menjawab dengan sedikit menunduk “ia kakak” aku pun
melanjutkan percakapanku dengan berbagai pertanyaan, namun dengan lugas ia menjawab
semua pertanyaanku sembari memberi senyum yang begitu khas, sebuah lesung pipi
menghiasi pipi indah itu dengan rambut yang terurai sampai di bawah bahunya, dimana
kadang ia menyapu rambutnya dikala menutupi arah pandangnya ketika menunduk. Sebuah
keindahan Tampak dari wajah ayu itu.

Aku meminta pamit dan bergegas menuju sahabat-sahabatku yang sudah menunggu di
depan rumah itu. Kami Pun melanjutkan perjalanan menuju balai desa yang tidak jauh dari
rumah tempat penginapan kami.

Sambutan hangat dari warga di balai desa melihat kedatangan kami menambah
kegembiraan, senyuman khas dari warga desa tersebut membuat suasana seperti berada di
keluarga sendiri.

Aku sebenarnya ingin kehadiran kami siang ini di balai desa tersebut dihadiri oleh
perempuan itu, perempuan yang berada di tempat penginapan kami, ahhh pikirku,
“seandainya tadi aku mengajaknya untuk ikut pastilah dia hadir”. Namun aku juga berpikir
bahwa tadi dia sedang menyiapkan makan siang, mungkin untuk kami.

Kegiatan dimulai dengan begitu ramai. Sambutan masyarakat untuk mendengar apa
yang akan kami bawakan begitu memukau. Hal itu dilihat dari keseriusan raut wajah mereka
ketika kami memaparkan materi. Kulirik jarum jam menunjukan pukul tiga lewat beberapa
menit. Mungkin beberapa menit kemudian kami akan mengakhiri perjumpaan di hari pertama
kegiatan kami di desa tersebut.

Jelang beberapa menit kami pun mengakhiri kegiatan itu. Tepuk tangan yang meriah
menyambut kami di ruangan balai desa itu. Lalu anak anak dan masyarakat keluar dan
memberi salam kepada kami sembari melanjutkan perjalannya kerumah masing masing.
Memang ada beberapa orang tua yang berhenti sejenak untuk berbincang-bincang dengan
kami. Menanyakan aktivitas kami, menanyakan sekolah kami dan masih banyak lagi
pertanyaan yang diberikan.

Setelah selesai perbincangan itu, kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat


penginapan, hal ini yang menjadi semangatku, karena pasti akan berjumpa dengan senyuman
manis yang sudah siap menerima kami di rumah itu. Jalan yang sedikit berbatu-batu, kata
bapak tadi di penginapan ketika bercerita. Katanya jalan di depan rumah itu adalah swadaya
masyarakat dengan dibantu oleh dana desa yang diberikan oleh pemerintah.

Sesampainya dirumah kami pun langsung bergegas menuju kamar kami


masing-masing. Sedang aku langsung bergegas menuju ruangan belakang untuk melihat
aktivitas perempuan itu. Yahhh seperti biasa perempuan itu telah selesai menyiapkan makan
siang untuk kami, dari jauh kulihat dia sedang membersihkan sisa sisa pekerjaannya siang itu.
Aku segera bergegas membantu dengan memberi sedikit pertanyaan pembuka. “biar aku
bantu?” “ya iya kakak”. Sebuah ucapan manis keluar dari bibir indah itu. Segera ku dengan
gesit membantu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kami Pun berhenti sejenak sambil
bercerita kecil. Awal pertemuan dan disitulah sepucuk cinta mulai berkembang. Jelang
beberapa menit kemudian kami disuguhi dengan makan siang itu. Sayur dengan sedikit
dibaluti dengan beberapa menu indah terpapar di depan kami.

Sore menjemput, aku bergegas keluar dan mendampingi perempuan itu untuk segera
bergegas menuju sebuah sumur kecil di bawah lereng bukit itu, hal itu aku lakukan karena
sebelum kami makan siang itu telah kami bincangkan untuk mendampinginya melihat sumur
tempat mereka menimba air untuk keperluan sehari hari.

Aku memegang sebuah ember kecil sedang dia memegang sebuah ember pula, kami
berjalan sambil bercerita. Awalnya aku sedikit bingung untuk memulai cerita, karena melihat
kepolosannya dan kecantikannya belum lagi sosok kecantikannya dibaluti dengan sebuah
kain panjang, belum lagi keindahan rambutnya yang terurai hingga sedikit menyentuh
pinggang membuat aku kehabisan bahasa untuk mengukir tentang kecantikannya.

Dengan gesitnya ember-ember sudah dipenuhi dengan air dan siap untuk dibawah.
Memang ada sedikit timbul rasa suka, yah mungkin karena aku juga sudah beranjak dewasa
namun sulit untuk aku ungkapkan perasaan ini. Atau mungkin juga perasaan sama yang dia
rasakan. Kami Pun berhenti sejenak sambil bercakap-cakap kecil. “kau hebat” spontan
kalimat itu keluar dari bibirku. Dia Pun tertunduk sedikit malu, atau mungkin aku orang yang
pertama mengungkapkan kalimat itu. “terimakasih kak” sebuah ungkapan yang menyejukan
hati keluar dari bibir manisnya. Aku Pun melanjutkan percakapan. “laki-laki di kampung ini
akan sangat bahagia mendapatkan seorang perempuan seperti kamu”.Dia masih tertunduk
seperti biasanya. Di Bibirnya ingin ia berkata tak jelang beberapa detik sebuah kalimat keluar
dari bibir manisnya.“aku masih dilarang dan tidak diperbolehkan oleh orang tuaku.
Kebiasaan di kampung kami jika seorang perempuan yang siap untuk dipinang harus mampu
bekerja seperti seorang perempuan dewasa yaitu mampu menenun kain seperti yang aku
pakai sekarang, belum lagi harus sudah mampu mengurus rumah tangga”. Aku sentak sedikit
kaget, dalam pikiranku kok susah yah seorang perempuan jika ingin menikah. Karena jika
dilihat dari kacamata modern seorang perempuan yang jika sudah dewasa pastilah akan
segera mengakhiri kesendiriannya, dengan memilih seorang pendamping untuk setia
mendampinginya. Belum lagi saat ini jika kita lihat banyak terjadi pernikahan dini. Dan
kadang hal tersebut sudahlah menjadi hal yang biasa.

Dua bulan penuh kami berada di desa tersebut, dan kali ini memang waktu seperti
tak memihak, itulah perasaan yang aku alami.

Pagi menjemput dengan cepat, di langit awan hitam menumpuk dan saling menindih,
mungkin alam juga merasa sedih karena harus kami tinggalkan desa itu. Angin seakan
berhenti bercengkrama dengan pohon-pohon. Dan seperti biasa aku masih melihat anak-anak
ditemani dengan jerigen, ada pula membawa ember. Ada yang duduk di depan rumah sambil
menikmati kesejukan pagi. Burung-burung bersiul memberi irama selamat berpisah

Aku duduk dan melihat ke belakang rumah itu, duduk sosok perempuan cantik yang
sering aku gombal. Perempuan cantik itu duduk dengan kepala sedikit tertunduk, dan kadang
ia memalingkan wajahnya pada kami. Mungkin ia bersedih, atau apa yang ada dalam
gumpalan otak kecilnya. Aku bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan. Pastilah ia sedih
jika akhirnya kami harus berpisah, aku mencintai dia namun disamping itu aku juga harus
kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah aku embani.

Mobil yang kami tumpangi sedikit demi sedikit meninggalkan bekas di jalan
kampung itu. Wajah wajah sedih terasa sangat nampak dari kami dan masyarakat desa itu.
Dan akhirnya mobil yang kami tumpangi menghilang dimakan oleh pepohonan yang berjejer
di tepi jalan.

Cinta dan pengorbanan merupakan salah satu hal yang tak bisa dipisahkan,
mengenalmu dan membagi rasa bersama merupakan bagian yang terindah dalam hidupku.
Jika memang akan berakhir dengan perpisahan, itu adalah ujian untuk membentuk kita lebih
matang dalam bercinta.

Tahun berlalu begitu cepat. hingga tak terasa aku telah menamatkan pendidikan.
sejak perpisahan terakhir itu aku tak pernah lagi melihat ataupun mendengar suara manisnya.
panggilan di pagi hari dengan lembut menyuruh kami untuk mencicipi hidangan pagi seakan
kembali menempel di kupingku. Dia perempuan desa itu, kembali mengingatku untuk
kesana, sejenak menjenguk dan bertanya apa kabar?.. Dan mungkin akan terjadi seperti itu,
atau entahlah namun bagiku suatu waktu aku akan kesana untuk sejenak bertanya apa
kabarmu, gadis yang pernah menjadi dambaan hingga janji akan kembali lagi di suatu saat.

Disuatu sore, entah mengapa ketika aku sedang duduk menikmati mentari sore yang
dengan perlahan meninggalkan keindahannya. Pikiranku sejenak kembali mengingat sesuatu,
mengingat kenangan gadis desa yang penuh dengan kesederhanaan, kecantikan yang pernah
memakan batinku, membuat aku terpesona hingga akhirnya jatuh cinta namun di lain sisi
perpisahan itu harus dilakukan, dan kini ketika aku telah menyelesaikan perjuanganku
seakan rindu itu kembali termakan dalam batinku, seperti dahan kayu yang tak ingin lepas
dari batang kayu.

Aku harus memutar waktu yang tepat untuk dapat berjumpa dengannya. Itu yang aku
pikirkan, selain itu, pikirku apakah dia masih mengingatku, sudah dua tahun sejak terakhir
bertemu di pagi hari yang indah itu, hingga kini tak pernah aku jumpa lagi. Apakah dia telah
mendapatkan pendamping hidup, atau mungkin sudah menikah dan mungkin sudah
mendapatkan keturunan.?

Ahh,, senin, pikirku, aku harus kesana sejenak menjenguk dan menanyakan kabarnya,
jika saja dia masih tetap seperti dahulu sejak pertama kali berjumpa hingga waktu
memisahkan kami.

Waktunya pun tiba, siulan burung-burung membangunkanku, tetesan embun dari atap
rumah membasahi lantai kamarku, memang sangat dingin, maklum daerahku masih sangat
perawan, tak ada polusi, jika adapun tak seperti kota yang lain, aku bergegas menyiapkan
semua yang akan aku bawa pakaian, pikirku, karena jika ingin menginap maka aku akan
menginap di balai desa, atau rumah kepala desa, atau mungkin jika diizinkan oleh orang
tuanya, aku ingin merasakan kasur yang pernah membawaku dalam mimpi malam yang
indah, dan pagi hari yang membangunkanku dengan suara manis, serta makan yang lezat
diramu dengan tangan yang penuh dengan cinta itu, atau mungkin aku ingin bersama kembali
berbagi kenangan ketika menyapanya di pagi hari serta bersama ke sumur untuk menimba air
sambil bercerita.

Tak menunggu lama, aku mengambil kendaraanku. menghidupkannya, melihat


perlengkapan yang lain. agar perjalananku bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat.

Kampung itu memang sedikit jauh, biasanya jika menggunakan kendaraan bermotor
maka akan memakan waktu dua jam perjalanan namun jika menggunakan mobil maka akan
sedikit lama. hari ini memang cuaca bersahabat, cerah dan hanya beberapa awal putih yang
sesekali menutupi teriknya matahari, udara dingin mulai memakan kulitku, ketika aku telah
menjejakkan kaki menuju desa tersebut, samping kiri kanan jalan masih seperti dahulu,
pohon pohon bonsai yang tinggi menutup pinggir jalan,, dari kejauhan tampak balai desa,
dan cerita dimulai di sini.
MUNGKIN BERTEMU DIA?

Aku memarkirkan kendaraan-ku tepat di depan balai desa, ada sebuah pohon yang
dulunya tempat kami bernaung jika siang hari. masih terasa sepi, seperti dahulu, dan memang
jika tidak ada kegiatan di balai desa, masyarakat tak akan ke sana, mereka lebih memilih
masuk kebun mereka, melihat hasil buah tangannya, dengan jika sore hari mereka akan
kembali dan membawa beberapa hasil panen di kebun mereka, hal itu dilakukan setiap hari,
sedangkan anak anak lebih sering bermain di padang, sekedar melihat mentari sore
menembus dibalik gunung, atau bercengkrama dengan kambing domba peliharaannya.

Dari kejauhan anak- anak memperhatikanku, dan beberapa orang mulai melihat dari
kejauhan., karena jika ada orang baru yang ke desa, apalagi menggunakan kendaraan, maka
itu beritanya akan cepat tersebar. belum lagi aku memarkirkan kendaraan ku di balai desa,
maka orang akan berpikir jika ada pejabat dari kecamatan atau kabupaten yang datang. Atau
dokter, bidan, sehingga tidak menunggu lama sudah banyak orang yang datang. Sekedar
berjabatan tangan dan menanyakan kabar, banyak cerita kembali kami ulang disini, sambil
tersenyum berbagi perkembangan di desa. Hingga akhirnya kepala desa mengundangku
untuk sejenak melepas lelah di rumahnya yang tak jauh dari balai desa. “Baik terimakasih
bapak desa,nanti aku ke sana”. Ucapku. Masyarakat di desa menyambutku dengan sangat
bahagia, mereka seperti saudaraku sendiri.. Yaa… seperti saudara sendiri, memang hal
tersebut sering dijumpai di desa-desa, keakraban dan toleransi antar saudara sangatlah akrab.
Belum lagi aku pernah melakukan suatu hal yang baik di desa. Kuingat waktu itu, waktu
yang telah merubah segalanya.

Entah mengapa dan siapa yang memberitahu kedatanganku padanya dari kejauhan
aku seperti mengingat langkah itu, langkah yang penuh dengan keanggunan, dibalut dengan
tenunan khas menghiasi tubuhnya hingga mata kakinya. Sesekali aku seakan tak ingin
melihatnya, dengan mencoba menyapa dan bercerita dengan beberapa orang tua di
sampingku. Namun pikiranku seakan tertuju pada sosoknya, keanggunannya seperti tak bisa
aku lupa. Semakin dekat aku lihat seperti tidak berubah, senyuman malunya masih seperti
dulu, sambil menunduk menunjukan kilauan rambut menutup wajah cantiknya.Aku tahu dia,
dan sepertinya dia tahu akan kedatanganku.

Tak jauh dari balai desa, ayahnya juga dengan cepat melangkah menuju balai desa,
sontak jarak beberapa meter, dia menyahut, “wahhh, kamu,.. Jangan pulang dulu, malam ini
kamu harus ke rumah”. Kata bapaknya. Aku hanya mengangguk sambil melihat kepala desa
yang juga mengundangku untuk malam ini di rumahnya. Kulihat kepala desa hanya
tersenyum. Aku segera mengangguk. Bagiku ini harapan baik, karena bisa kembali melihat
wajah cantik yang pernah menjadi bagian dari kekaguman hatiku.

Bapaknya mendekat, bersalaman denganku. “Wahh kamu, apa kabar”. Baik pak,
jawabku. Lanjutnya, “oh iya, kamu pasti sudah selesai kan?” aku mengangguk dan berkata
“ia pak” sudah selesai, sambil tersenyum tipis, ia pun melirik di samping kiri dan kanan,
sambil melihat, sontak dia memanggil anaknya. “Sini, salam sama kakak,kamu masih ingat,
dulu mereka tidur di rumah kita.” Jelasnya. Dia mendekat dan sedikit berbungkuk menyalami
tanganku. Raut wajah seperti menyimpan rasa yang pernah aku janjikan, wajahnya seakan
mengatakan bahwa aku telah bertahan dalam kesetiaan ini, dibalik harapan, di setiap tidurku
jika kamu akan datang suatu waktu untuk sekedar menyapaku. Ini bukan mimpi, tapi nyata di
depanku, wajah ayu itu.

Aku segera menyambut tangannya dan berkata “wahh sudah besar dia” bapaknya
mengangguk, “ia benar, sejak kalian kembali ke kota, dia sudah kelas 3 SMA”. Jadi sudah
tamat yaa?. Tanyaku. “ia benar, dia sudah tamat, tapi tidak bisa melanjutkan pendidikan,
kamu tahu kan bagaimana ekonomi bapak”. Ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk
dan terus menatap wajah ayunya, sesekali ia mengangkat kepalanya dan menatap wajahku.
Senyumannya masih seperti dahulu. Kini aku seperti berhadapan dengan mimpi yang telah
nyata, tak menunggu lama, ayahnya mengajakku untuk segera ke rumahnya, aku
menyambutnya dengan senyum sambil berbalik dan berpamitan dengan kepala desa dan
beberapa masyarakat yang ada di balai desa. Aku bergegas ke motorku, dan menyapa untuk
membonceng bapaknya. “Mari pak kita sama sama”. Ucapku. “Oh iya bapak jalan saja,
bapak masih ke ladang, duluan ke rumah, dengan adikmu itu” Aku langsung berpaling dan
menyapa dia. “Ayo kita ke rumah, dengan kakak yaa”. Ia tak berpikir panjang langsung
tersenyum. Ini pertemuan sederhana sejak terakhir kali aku bersamanya tepat 3 tahun yang
lalu.

Malam menjemput begitu cepat, suasana malam begitu kental, suara jangkrik
bersahutan bagai irama menjemput lara yang sedang ditumbuhi rasa kasmaran. Entah
mengapa seakan aku dirundung kerinduan pada 3 tahun yang lalu. Tepat seperti saat ini, di
rumah ini kisah pertama bertemu gadis desa yang dibaluti dengan kesederhanaan. Di tempat
ini pula aku banyak mendapatkan bagaimana ketimpangan disuarakan ketika malam
memanggil. Biasanya duduk keluarga kecil berlingkar di sebuah tikar kecil, dan mulai
mengisahkan tentang berbagai persoalan di dalam rumah sembari berpikir untuk esok hari.
Apa, dimana , dan bagaimana mendapatkan kebahagiaan?. Mungkin ladang sudah dipanen
atau lonceng balai desa berbunyi tanda bantuan raskin akan dibagikan. Banyak kisah akan
dikisahkan di saat mentari kembali bersembunyi di balik gunung mungil desa tersebut. dan
malam ini seperti memanggilku untuk kembali mengenang semuanya.

Aku duduk tepat di samping lemari kecil di kamar itu, jelang beberapa menit ada
suara memanggil dari luar, suaranya begitu lembut. “Permisi kak, bapak panggil di luar”. Oh,
iya… oke aku ke sana”. Dengan cepat aku segera memegang gagang pintu dan menarik. Dia
berdiri tepat di depanku, “ itu di sana” ungkapnya sambil menunjuk ke luar di bawah pohon
beringin kecil. Biasanya kalau pohon yang sedikit rindang akan dibuat beberapa tempat
duduk. Dan hampir di setiap rumah akan ada tempat seperti itu. Mungkin sengaja dibuat
untuk sesekali melepas lelah jika baru balik dari ladang, sambil berkumpul dan bercerita
dengan siapa saja yang mau singgah diikuti dengan memakan sirih pinang, sebuah tradisi
yang ada di daerah tersebut, biasanya daun sirih dikunyah dengan pinang kemudian untuk
berubah menjadi merah akan ditaruh sedikit kapur. Sehingga tidak heran hampir di setiap
rumah akan ada warna-warna merah menempel di tanah.

Dengan cepat aku menghampiri bapak yang sedang beristirahat, dia duduk sambil
memandang jauh, memang rumah mereka tepat di lereng bukit sehingga pemandangan sore
sangatlah indah. Langit menyuguhkan keindahan kuning keemasan, suara jangkrik mulai
bersahutan, dan angin dingin membelai kulit seakan menyapa untuk bercerita tentang hari ini.

“Bapak, baru pulang ya…” ucapku, sambil membuka percakapan. “Ia, ini baru
pulang, ladang sedikit lagi harus dipanen, jadi beginilah kesibukan bapak”. Ohh iya aku tahu
kok,, ucapku. Tak lama anaknya datang menyuguhkan kopi beserta beberapa potong kue
pisang. “ohh.. aku dengan cepat menyambar tangannya yang sedang bersiap untuk
menyuguhkan kopi serta beberapa kue pisang, “ terimakasih ade” ucapku.

Percakapan dimulai, “ kamu tahu kan” ucap bapak. “Sejak pertama kamu bersama
teman-temanmu beberapa tahun yang lalu datang ke desa, bapak sudah sangat bahagia,
apalagi saat bapak melihat kamu, kamu berbeda dengan teman teman yang lainnya, kamu
semangat, dan rajin”. dan hari ini bapak tidak menyangka akhirnya kamu bisa kembali lagi,
ini salah satu kebahagiaan bapak.”. “Iya bapak, waktu itu aku pernah berjanji jika suatu saat
aku akan kembali, aku akan datang ke rumah, jadi hari ini aku kembal, hari ini aku kembali
ke rumah kan bapak?” sambil meyakinkan bapak bahwa aku sangat bahagia bisa kembali ke
rumah ini.

“Adikmu ini” sambil menatapku, aku ingin dia mendapatkan laki-laki yang baik,
laki-laki yang bisa membuat dia bahagia dan tentunya sayang dengan keluarga” Jelasnya.
Memang beberapa tahun yang lalu ada beberapa pemuda sering datang ke rumah,
teman-temannya, dan juga beberapa orang tua datang untuk melamar dia, namun bapak yang
belum menyetujui, memang bapak sempat bertanya padanya, tapi dia selalu bilang, dia sudah
memiliki seseorang yang dicintai, jadi bapak tidak memaksa dia” Jelas dia.

Aku mengangguk sambil berpikir, mungkinkah laki-laki yang ia katakan itu aku...
apakah dia masih bertahan dengan perkataanku dahulu?. apakah ada laki-laki lain yang
pernah ia dekati?.

“Hei… kok melamun” bapak lagi berbicara……..“ohh. Iya bapak, tidak…. tidak ada
apa apa, aku…… aku…… “Ahh sudah, lupakan saja”. Ungkap bapak.

Aku hanya mengangguk dan menatap jauh, sambil sesekali melirik ke pintu kecil
menuju dapur karena di sana ia perempuan sederhana itu sedang duduk. Memang kebiasaan
di kampung, seorang perempuan biasanya jika ada tamu maka mereka akan sibuk
mempersiapkan apa yang dapat diberikan kepada tamu yang hadir.

Malam semakin larut, percakapan kami semakin hangat, aku memang sedikit bingung
dengan apa yang dikatakan oleh orang tuanya, jelang beberapa saat suara dari dalam dapur
"bapak… makanan sudah siap" aku kenal benar suara itu, dia perempuan desa yang membuat
aku harus kembali hanya sekedar melihat senyuman manisnya itu. "Ayo.. kita makan sudah
larut malam, kamu pasti capek, karena perjalanan jauh, nanti kita lanjutkan besok saja"
sambil menatap ke arahku, aku hanya mengangguk "Ia bapak" kemudian kami bergegas ke
ruang tengah rumah sederhana itu.

Di sebuah tikar anyaman daun kelapa, hidangan sederhana disiapkan oleh keluarga
kecil itu, singkong rebus, jagung bose makanan khas daerah tersebut, dan sayur bunga
pepaya, yaaa mereka biasa menyebut nama tersebut. Di sudut ruangan duduk gadis cantik
itu, aku hanya melirik sejenak sambil melepas senyum, ia pun membalas senyum tipis saya…
Ayahnya menyodorkan piring "ayo, anak lebih dahulu," kebiasaan di kampung jika ada tamu,
sering dipersilahkan lebih dahulu, dan yang terakhir makan biasanya pemilik rumah.

Malam itu kami akhiri dengan senyum dan bahagia bisa bersama-sama, makan
bersama keluarga sederhana yang pernah memberikan aku warna. Rembulan menembus dari
balik dinding, suara jangkrik saling menyahut seakan mereka tahu apa yang aku rasakan.
Beberapa hari aku lalui, dengan hal-hal yang membahagiakan, pagi hari aku harus bangun
dan melihat kegigihan keluarga sederhana melakukan aktivitas tanpa pernah ada rasa
mengeluh. Di jalanan telah penuh masyarakat dengan memikul cangkul, sesekali
melemparkan senyum ke arahku sambil meneruskan perjalanan ke ladang mereka. Entah
kenapa pagi itu udara terasa dingin, mungkin karena di daerah perbukitan.

Di dapur, ibu telah sibuk mempersiapkan makanan sarapan pagi, sedang bapak
sedang mempersiapan cangkul dan beberapa alat perkebunan lainnya, aku berusaha mencuri
pandang sambil bertanya dalam hati dimana perempuan manis itu, atau mungkin masih di
kasur? Aku mencoba untuk mencarinya dan ketika aku memalingkan wajahku dari kejauhan
gadis manis itu sedang memikul dua buah ember dipenuhi dengan air, aku menatap dari
kejauhan sembari berpikir, jika harus sepagi inikah pekerjaan yang harus ia kerjakan,
biasanya anak-anak perkotaan apalagi seumuran seperti dia, tentunya pagi hari seperti ini
pasti masih di atas kasur atau sibuk dengan handphone, chatingan atau main game. Rasa
sayangku semakin bertumbuh saat aku menatap wajahnya dan kegigihannya dalam
mengarungi kehidupan dunia ini dengan tetap terbalut dalam kesederhanaan. (Bersambung)
TENTANG PENULIS
Eppy Manu lahir di Sabu Raijua. Sebuah pulau penuh dengan keindahan di Nusa Tenggara
Timur pada 19 Oktober 1995. Menamatkan pendidikan sekolah dasar pada sebuah sekolah di
pedalaman Timor Tengah Selatan yaitu Desa Tesi Ayofanu. Berkat perjuangan yang kokoh
akhirnya penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Memulai karir
menulisnya pada tahun 2014 saat menempuh bangku perkuliahan di Universitas
Muhammadiyah kupang dengan nama pena “Pegulat Pena”

Ketika berkuliah penulis aktif di berbagai organisasi kampus maupun organisasi


kemahasiswaan lainnya seperti PMII ( Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) hingga
Menjabat sebagai Sekretaris Bagian Internal PMII Komisariat Universitas Muhammadiyah
Kupang. Dan juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Kupang, Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Advent Indonesia
(IMAI). Menjabat sebagai Ketua Umum Jurnalis Muda NTT. Pendiri, Penggagas sekolah
Pinggiran Gaharu Institute NTT. Ketua Bidang Relasi Media Dan Opini Publik di Rumah
Disabilitas Indonesia. Wakil Ketua Bidang Pengembangan Media di Serikat Media Siber
Indonesia (SMSI-NTT). Dan saat ini penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Siber
Asia (UNSIA) bidang studi PJJ Komunikasi Digital Broadcasting

Selain aktif di organisasi, penulis menitik karirnya menjadi Jurnalis di Kupangmedia.com di


tahun 2013, dan berjalannya waktu, penulis akhirnya diberi kesempatan untuk mendirikan
media online bernama spektrum-ntt.com yang tetap eksis hingga saat ini. Selain itu penulis
juga adalah Direktur Utama PT.Marisa Eko Media. Sebuah perusahaan yang bergerak di
dunia perkembangan teknologi media dan publikasi. Hingga Akhirnya mendirikan sebuah
media lagi yang bernama spektrum-nasional.com.

Penghargaan di dunia puisi,dan penulisan lainnya telah menorehkan namanya diantaranya :


Penghargaan Seratus Nominator Terbaik Lomba Vlog dan Blog Competition Bank Indonesia
dan Net TV Kategori Short Movie 2017., Certificate TFT- Training For Trainer- Telkomsel
CSR Education Program Cyber Ethics and Digital Citizenship Intermediate Knowledge
Training. requirements to be recognized as DUTA INTERNET BAIK 2016. Piagam
penghargaan No:PP/22/VII/2018, Sertifikat No.PH.02/08.04/07/20 balai POM kupang.
Dalam lomba penulisan Artikel Populer, ASPA. tahun 2017, Sertifikat No
1466/RWD/JEJAK/X/2018 Peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Bertema “Love
Yourself” oleh Jejak Publisher, Penghargaan No 18/02/ARZ-WR/X/2019 Prestasi sebagai
PENULIS BUKU “Mimpi Tak Sampai: ISBN 978-602-53888-1-1.Piagam penghargaan
No:PP/22/VII/2018 Direktur jenderal strategi pertahanan, kementerian pertahanan Republik
Indonesia. Dalam lomba parade Cinta Tanah Air. dan beberapa penghargaan lainnya.

Penulis telah menerbitkan dua buah buku yang pertama Mimpi Tak Sampai (2019) penerbit
Airiz Publisher dan buku kedua Aku Ingin Hidup (2020), dan buku ketiganya Antologi Puisi
“Berselubung Karma”(2022). Saat ini penulis aktif di sebuah televisi swasta Hope TV
Indonesia sebagai staff produksi, editor, script writer, dan konten kreator. Dan juga aktif
memberikan seminar-seminar nasional maupun daerah untuk memotivasi orang-orang muda
dalam menekuni dunia menulis.

Anda mungkin juga menyukai