Hari itu sekitar pukul sepuluh. “Silahkan ibu, tuan menunggu ibu di dalam”.Kata si penjaga
itu. Dengan wajah yang menunduk ibu itu bergegas pergi menemui tuan itu, dari kejauhan
tuan itu sedang duduk di teras rumahnya sambil memegang sebuah koran sedang
disampingnya secangkit minuman hangat sebagai sarapan pagi, memang itu selalu dilakukan
setiap pagi.
Ibu itu mendekat dan berkata, “permisi tuan, apa hari ini ada cucian yang ingin dicuci?” tuan
itu masih tidak menjawab, mungkin karna berita di dalam koran hari itu sangat bagus ataukah
pura-pura tidak mendengan, jika beritanya sangat bagus, paling-paling berita itu berisi
tentang seorang penjabat tinggi ditangkap KPK karna mengelabui uang negara sehingga
menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan. Atau mungkin berita perampokan,
kebakaran, atau pemerkosaan.
“Pergi ke dalam”... Suara yang sedikit keras, membuat ibu itu langsung dengan cepat
pergi ke dalam rumah itu tanpa menegurnya. Mungkin karena ibu itu menggangu waktunya.
Hari itu si ibu mendapatkan cucian yang sedikit menguras tenaganya, dengan tenang ibu itu
melakukan tugasnya, sambil berharap semoga hari ini bisa menjadi hari yang baik. Setelah
selesai melakukan tugasnya ibu itu segera menuju sebuah taman di samping rumah, disana
seorang perempuan cantik yang jika dilihat perempuan itu adalah istri si tuan yang sedang
membaca koran. Rambut panjang menghiasi bahunya dengan wajah cantik yang jika dilihat
sepertinya seorang perempuan berdarah asing, yang pastinya bukan dari Negara kita.
“Permisi tuan, cucian sudah dijemur” ibu itu dengan tunduk dan sedikit malu mengucapkan
kalimat itu… beberapa saau perempuan itu memalingkan wajahnya dan melihat ibu itu sambil
berkata “oohh iya Tunggu sebentar. Perempuan itu bergegas masuk dan mengambil selembar
kertas kecil dan menyodorkannya pada ibu itu sambil berkata”terimakasih, minggu depan
datang lebih awal karna saya akan keluar bersama keluarga untuk berlibur.. Dengan
menunduk ibu itu berkata,”baik tuan” sambil meminta pamit.
Waktu menunjukan pukul dua belas, ibu itu bergegas meninggalkan rumah mewah itu.
Wajah yang sedikit bergembira karna hasil yang didapat sedikit memuaskan hati. Dua puluh
ribu, ibu itu berbisik dalam hati sambil melangkah meninggalkan rumah mewah itu. Langkah
kakinya berhenti pada sebuah kios kecil di pinggiran kota itu, kira kira berjarak dua kilo dari
rumah mewah itu, dan tiga kilo dari gubuk tempat tinggalnya. Cuaca hari itu sedikit
mendung, hujan semalam masih meninggalkan bekas genangan air di setiap pinggiran jalan.
Ia melangkahkan kaki memasuki sebuah kios, ia keluar dengan membawa sekantong beras
dan sedikit perlengkapan rumahan, Ditangannya masih meninggalkan beberapa rupiah untuk
disimpan. mungkin beberapa hari kedepan jika ada keperluan maka masih bisa untuk
digunakan.
Hari mulai sore ia melangkahkan kaki lebih cepat karena sang suami, si kakek tua itu pasti
sudah menunggu, seperti biasa setiap sore suaminya itu selalu menyuruh untuk membuatnya
teh hangat. Kakek itu bercerita bahwa semasa muda istrinya itu sangat pandai membuat teh
hangat, “istriku itu semasa muda sangat pandai membuat teh hangat, dan sangat pandai
memasak, itulah salah satu yang membuat saya mencintai dia” Suara yang sedikit parau
sehingga ejaan kalimatnya harus didengar dengan teliti.
Sore ini cuaca sedikit cerah walau masih ada awan-awan gelap bergelantungan di angkasa
menghiasasi sore itu. Sehingga suasana jalan sempit berbatu menuju rumahnya seakan dihiasi
dengan warna warna orange bekas pantulan cahaya matahari sore. Dari kejauhan suaminya
sudah menunggu, suaminya adalah seorang kuli kebun, dikarenakan lahan mereka sudah
diambil oleh mereka yang memiliki banyak kemampuan untuk membuat segala sesuatu bisa
jadi milik mereka. Setiap subuh ia sudah menyiapkan alat cangkul dan beberapa peralatan
kebun untuk berkebun, gajinya dihitung setiap bulan dengan harga lima kilo beras. Dan jika
di musim panen selalu majikan pemilik lahan tersebut selalu menambahkan sedikit
pendapatannya sehingga kakek tua itu bisa bertahan kerja walau umurnya sudah tidak wajar
lagi untuk bekerja.
. Senyuman yang selalu menemaninya ketika sore hari disaat melepas lelah di sotoh depan
gubuk itu, mungkin itulah cara yang paling tepat dan indah untuk membakar keresahannya
ketika bermain dengan waktu. Istrinya langsung menyapa dan meneruskan langkahnya ke
dapur untuk mempersiapkan makan malam. Anaknya sedang berada di dalam kamar sambil
menghitung pendapatannya hari itu.
Pandangan kakek tua itu kadang menatap jauh ke kota, memang lokasi gubuknya sangat
strategis, karena berada di bawah lereng bukit sehingga suasana sore sangat indah untuk
dinikmati. Sesekali mulut kakek itu bergerak, mungkin sedang membaca apa atau mungkin
sedang menghitung hari kapan upah dari kerjanya diberi. Malam ini menu makan mereka
adalah nasi putih dengan lauk kangkung ditumis dan tempe goreng, hasil belanja istrinya
siang itu. Berapa saat kemudian suara dari dalam rumah memanggil. ”bapak mari makan”.
Kakek itu bergegas masuk menemui suara yang memanggil. Sebuah tempat nasi, dengan
sayur yang telah diramu begitu lesat sudah disimpan di selembar tikar kusam yang biasa
disiapkan untuk menyimpan makanan. Anaknya duduk di ujung tikar itu, sedang kakek tua
itu duduk bersilang di samping tikat itu mendampingi sang istri. Suara kembali hening ketika
ayat ayat doa dipanjatkan kepada Yang Kuasa meminta agar makanan hari ini bisa menjadi
berkat dan kesehatan untuk bertahan di dunia yang penuh dengan kekacauan ini.
Malam semakin larut, suara binatang malam semakin jelas mengeluarkan lantunan yang
begitu merdu menemani makan malam mereka, kadang mereka bercakap-cakap sambil
melepas senyum. Kadang terdiam sambil menikmati makanan yang sudah tersaji di dalam
piring kecil berwarna putih itu.
Hari ini mereka telah lalui dengan penuh rasa syukur, memang itu yang selalu meraka
lakukan setiap saat, menikmati hari tanpa kejenuhan sambil menunggu takdir yang
memanggil. Tak ada satu orangpun yang mengunjungi mereka, setahun sekali disaat sensus
penduduk dijalankan. Itupun hanya pegawai lapangan biasa yang menemui mereka. Dan
selalu berganti ganti pegawai setiap tahun. Mungkin ketika selesai menggunakan tenaga
mereka, langsung di ganti dengan pegawai baru. Atau yang biasa disebut dengan system
kontrak. Yaa… sistem kontrak.
Setelah menikmati makan malam keluarga kecil itu langsung melepas penat sambil
menunggu harapan baru di pagi yang cerah, yang mungkin akan ada mujizat dari Yang
Kuasa. Memberi mereka sedikit rejeki untuk menantang keganasan dunia ini. Itu yang
mungkin selalu dipikirkan oleh kakek tua itu di setiap sore ketika berada di sotoh rumah itu,
disaat mulutnya bergerak entah berkata apa. Malam yang indah ditemani dengan suara
binatang-binatang malam yang begitu merdu membuat suasana malam terasa bernostalgia
dengan kenangan……..
Hari ini cerah sekali, lalu-lintas pusat kota begitu ramai, dari pejalan kaki, pengguna
kedaraan pribadi maupun umum bergonta-ganti seperti jejeran semut yang berpindah mencari
suaka baru. Deretan penjual kaki lima memenuhi bahu-bahu jalan, menjajakan hasil jualan
yang dibuat semalam, daerah pasar dipenuhi dengan manusia dari berbagai penjuru, dari yang
anak-anak sampai kakek nenek. Wajah yang beraneka rupa menghiasi suasana yang begitu
kumuh. Sayur, pakaian dan masih banyak lagi beregelantungan seperti daun daun kering yang
tinggal menanti angin harapan meniup dan jatuh entah kemana, ada yang di halam rumah,
selokan, trotoar bahkan di jalanan sehingga digilis kendaraan dan akhirnya meninggalkan
kenangan bahwa pernah ia berada di sebuah dahan yang kokoh.
Beberapa anak bermain bola di samping bahu jalan, bergelut dengan debu jalanan, tanpa
beralaskan sendal, dengan ceria memainkan kaki pada bulatan bola itu yang dipindahkan dari
kaki ke kaki, membentuk tarian acak, namun kadang harus keluar dari genggaman kaki dan
mengenai pengguna jalan. Ada yang langsung mengeluarkan makian pada anak-anak itu, ada
pula yang langsung menyeret bola itu dan akhirnya hanya lah sobekan kecil yang didapat oleh
anak-anak itu, namun adapula yang hanya tersenyum dan lalu begitu saja.
Memang karakter manusia tidak selalu sama, seperti yang ada pada Bangsaku, dari penguasa
yang bengis hingga yang bijaksana, dari penjahat hingga dermawan bercampur baur menjadi
satu sehigga tidak dikenal mana yang baik dan mana yang jahat. keramaian pusat kota
digunakan oleh berbagai macam manusia, dari pencopet hingga pengemis beredar seperti
butiran pasir yang lepas dari tembok pembatas kota yang dibuat oleh pemerintah sebagai
tanda akhir sebuah tempat.
Di gubuk itu, masih seperti biasa, keluarga kecil dengan hidup dalam kesederhanaan,
berusaha untuk bertahan hidup di tengah morat-maritnya ekonomi. Anak seumuran dia yang
harusnya bersekolah namun, semua itu ia kubur dalam-dalam, mungkin dalam benaknya ia
pernah berpikir mengenai cita-citanya, karna semasa sekolah sudah menjadi kewajiban untuk
setiap guru bertanya tentang cita-cita di masing-masing murid dan mungkin dia adalah salah
satunya yang pernah ditanyai oleh gurunya.
Sebuah mobil mewah berjalan perlahan dan berhenti tepat di pintu gerbang sekolah itu, dari
dalam mobil itu seorang bapak yang sedikit tua mengeluarkan kepalanya sambil melihat-lihat
di sekitar sekolah itu.
Sekolah itu adalah sekolah yang didirikan oleh masyarakat sekitar agar bisa membantu anak
mereka untuk mendapatkan pendidikan. Memang dulu pernah ada sekolah yang bagus di
kampong mereka, namun telah diambil oleh penguasa dan dijadikan sebuah hotel. Sehingga
ketika mereka diusir keluar dari tanah mereka dan berpindah di lereng bukit itu, kepala desa
dan beberapa tokoh adat bersepakat untuk membangun sebuah sekolah untuk anak-anak
mereka. Hal itu disepakati bersama sehingga saat ini anak-anak mereka sudah bisa
bersekolah, walau untuk tenaga guru masih sangat minim dan pembayaran gaji guru masih
menggunakan hibah dari masyarakat desa itu.
Hanya sekedar melihat, lalu mobil itu segera bergegas meninggalkan pintu gerbang
itu, beberapa guru duduk di depan kantor sambil bercakap-cakap. Kadang melihat ke depan
pintu pagar, dan kadang melihat ke kelas-kelas, sedang di luar anak anak saling
bercengkrama, berlarian kesana-kemari, ada juga yang berkumpul sambil berserita, seperti
tidak berpikir kalau suatu saat sekolah tersebut harus beralih menjadi sebuah gedung.
Entahlah akan dijadikan gedung apa.
Di dalam kelas ada guru-guru yang dengan giat mengajar siswa-siswa membaca, menulis,
menghitung, dan masih banyak lainnya, mereka berpikir tentang upah yang didapat, namun
dengan satu komitmen, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah pekerjaan yang sangat
mulia.
Udara siang itu sedikit mengeluarkan keringat, debu beterbangan kesana-kemari
membuat beberapa anak yang sedang bercengkrama harus berlari berhamburan untuk
menghindari debu itu. Bapak ibu guru yang sedang asik bercerita harus mengubah arah duduk
mereka untuk tidak terhirup debu. Memang siang itu sangat cerah walaupun beberapa hari
yang lalu kampung itu diguyur hujan yang begitu deras. Memang alam sudah menandakan
tidak bersahabat dengan manusia. Semua itu karena ulah manusia itu sendiri. Selain itu,
bangsa kita sudah dininabobohkan dengan pembangunan yang berkepanjangan, tanpa berpikir
tentang masalah yang akan ditimbulkan. Dari reklamasi, hingga penggusuran pemukiman
warga membuat suasana semakin tidak membaik. Memang jika ditinjau dari beberapa aspek
bisa menguntungkan, tapi semua itu ada akibat yang merusak juga, dan itu selalu
disepelehkan. Artinya disini bahwa kita semakin tidak sadar akan dampak dari kelanjutannya.
Dan selalu yang mendapatkan akibatnya adalah masyarakat pengguna sarana.
Adapula karna keteloran masyarakat dalam menjaga keasrian alam, sebagai contoh kecil,
jarang membuang sampah pada tempatnya, selalu menggunakan tempat aliran air sebagai
akhir dari masalah pembuangan sampah. Maka jika ditinjau dari beberapa hal tersebut, perlu
ada sikap rasa sadar akan alam dan lingkungan sekitar antara elemen pembuat kebijakan dan
penikmat kebijakan itu sendiri.
Hari semakin sore. Kakek tua itu masih melakukan aktifitasnya di sebuah ladang milik
tetangganya, sedang si-ibu mempersiapkan diri menyambut suami tercintanya kembali. Anak
mereka semata wayang hari ini tidak melakukan aktifitasnya. Mungkin karena sampah yang
ada di tempat pembuangan di sekitar pusat kota itu sudah bersih, jadi harus menunggu
beberapa hari lagi untuk terisi kembali. Memang pusat kota dipenuhi dengan berbagai macam
orang, jadi sampah pun diminati oleh sebagian anak-anak kecil yang harus mengakhiri masa
sekolah mereka untuk membantu orang tua mereka, bahkan kakek tua pun kadang masih
dilihat berkeliaran sambil memegang kantong kecil mereka walaupun hanya diisi dengan
beberapa gelas kecil yang jika ditimbang kadang tidak smpai dua kilo, dan biasa dihargai
dengan satu mangkuk bubur kacang hijau.
Berbicara kesejahteraan seperti masih ada ketimpangan, sejahtera seyogiahnya hanya mampu
dinikmati oleh golongan menengah ke atas, bagaimana dengan menengah ke bawah?
Semua mereka merasakan kesejahteraan dalam pikiran lamunan saja. Setiap sore mereka
hanya mampu duduk sendiri di sotoh rumah sambil berpikir tentang bagaimana sejahtera di
esok hari.
Janji sejahtera hanya dirasakan lima tahun sekali ketika masa pemilihan, dan jika akhir
memilih masa sejahtera itu akan sirna termakan oleh angin malam.
Jurus-jurus hipnotis warga untuk memilih memang berhasil, tapi janji– hanya tinggal janji.
Tetap rakyat harus berteriak sendiri, namun apa daya rakyat harus memilih karna jika tidak
memilih bisa dimusuhi dan bahkan akan berdampak lebih buruk lagi.
Sore ini kakek tua itu kembali dengan tergopoh-gopoh, mungkin karena faktor usia atau
mungkin karena beban keluarga yang harus ia pikul, dari kejauhan si istri telah menunggu di
depan sotoh gubuk itu. Duduk seperti seorang ibu muda sambil memandang kejauhan di
ujung jalan itu, melepas harapan. Entah apa yang ia pikirkan. Semua itu dilihat dari wajahnya,
dan mulut yang sering bergerak melafaskan kalimat-kalimat harapan, yaaa... mungkin kalimat
harapan.
Hari ini begitu cepat berputar, tanpa disadari usia semakin bertambah diikuti dengan harapan
yang semakin terkubur, karna telah dimakan oleh mereka yang memegang kepentingan. Dari
tanah, rumah, pohon, air, dan masih banyak yang lainnya bahkan nyawapun mereka ingin
untuk mengambilnya demi keuntungan pribadi, yang sebenarnya berbicara nyawa, itu adalah
kepemilikan Yang Maha Kuasa.
Gubuk itu menjadi titik akhir perjalan hidup, ketika sore memanggil dan bahagia itu
kembali terasa, disaat langkah kaki disambut dengan senyum dari sosok penghuni rumah. Dan
sotoh depan rumah itu menjadi saksi nyata kebahagiaan itu. Malam memanggil begitu cepat
seakan tak ingin melihat penderitaan siang memainkan perannya. Suara binatang malam
begitu nyaring, seakan ingin mengucapkan selamat datang penjelajah hidup. Selamat
beristiahat dari lelahmu, aku hadir untuk menghiburmu. Yaaa…. Mungkin itu yang dibisikan
dari lantunan suara binatang malam.
Sebuat tempat nasi ditaruh di atas tikar anyaman daun lontar, senyum kembali terlihat di
wajah-wajah tua itu, anaknya duduk seperti biasa di ujung tikar itu, sedang ibu dan ayahnya
duduk bersampingan. Diluar semakin banyak binatang malam mengeluarkan suara mereka,
membuat suasana terasa begitu romantis. Mecicipi makanan malam itu dengan bahagia,
sembil melepas lelah dengan bercerita akan apa yang dikerjakan selama satu hari.
Malam semakin larut, harapan semakin dekat dalam mimpi, cerita malam itu diakhiri dengan
sebuah harapan jika esok hari ada Kuasa dari Ilahi membentengi kehidupan mereka. Semakin
hari penguasa selalu berpikir tentang kekuasaan. Menindas, memeras, dan masih banyak
kekuasaan yang memihak pada kepentingan mandiri, membuat tenggorokan telah kering
untuk bercerita tentang kepentingan itu. Semua telah tidur, kakek itu masih duduk, sudah
lama mereka merasakan penderitaan ini, beberapa bulan kemudian akan diadakan pemilihan
pemimpin daerah. Sudah banyak yang mempromosikan kreatifitasnya untuk membangun
daerah. Dari mensejahterakan hingga membasmi segala bentuk penindasan warga.
Kakek itu masih berpikir lama, entah apa yang ia pikirkan, disampingnya segelas kopi hangat
buatan sang istri menemaninya malam itu. Dilihat dari wajahnya, yang sangat serius itu,
menandakan jika ia sedang berpikir untuk kelangsungan hidup keluarga kecilnya. Atau entah
apa yang ia pikirkan. Sudah bertahun tahun ia menghidupi keluarganya dengan tabah, janji
demi janji telah ia lewati oleh petinggi Negara yang awalnya mereka datang dengan beribu
janji manis yang keluar dari bibir manis mereka, namun buktinya itu hanya pemanis kata agar
menghipnotis warga untuk memilih mereka. Para penndukung berjalan berkilo-kilo
memperjuangkan aspirasi dari sosok pendukung mereka, yang akhirnya jika ia terpilih, tak
pernah ia datang untuk melihat pejuang suara yang telah mendudukan dia di kursi empuk itu.
Malah meraka lebih menderita dari kebijakan bohong yang pernah dikeluarkan dari bibir
manis itu.
Tidak dipungkiri lagi memang kenyataan yang terjadi membuat suatu kelonggaran di hati
masyarakat untuk cepat mempercayai setiap janji manis itu. Sudah cukup menderita
masyarakat menikmati janji manis itu. Yahh itu yang mungkin kakek tua itu pikirkan…
Malam ini terasa sangat pendek untuk bermimpi tentang angan, angan yang sudah termakan
oleh zaman yang begitu bengis. Sedang fajar harapan harus memanggil bangun kaum
pemimpi, untuk kembali bermain dengan permainan zaman.
Bekerja dan menikmati keringat sendiri, itu adalah salah satu hal yang sederhana yang
sering dilakukan oleh rakyat. Dari pada menggantungkan harapan pada janji-janji manis itu
yang sering berakhir dengan kebohongan.
Lelaki Desa Dan Cinta
H ari ini sedikit berawan, suasana pagi diselimuti dengan angin membuatnya semakin
dingin. Memang itu yang sering dirasakan oleh penduduk desa. Dari anak anak hingga orang
tua sudahlah menjadi kebiasaan di setiap pagi tubuh mereka diselimuti dengan sehelai kain
panjang yang menutupi hampir sekujur tubuh. Orang-orang desa tersebut sangatlah ramah,
mungkin karena melihat wajah– wajah baru di kampung itu.
Perjalanan yang begitu memakan waktu membuat kami sedikit kelelahahan, namun ketika
pertama kali melihat wajah-wajah lugu masyarakat desa membuat kami langsung
bersemangat untuk bercengkrama dengan suasana pagi itu.
Pagi memanggil begitu cepat, sang surya mulai menampakan wajahnya diufuk timur dengan
warna khasnya. Sedikit aktifitas mulai terasa, anak anak mulai berkeliaran kesana kemari
sambil memegang sebuah ember, yaa, memang kebiasaan desa tersebut disetiap pagi selalu
mereka berombongan menuju sebuah sumber mata air di lereng bukit itu. Sedangkan bapak
bapak sudah mulai sibuk dengan teman kebunnya, sebuah besi pelat yang biasa digunakan
untuk mencabut rumput di ladang. Sedangkan, ibu-ibu rumah tangga sudah mulai asik dengan
masakannya di dapur kecil berbentuk bulat yang begitu khas hampir di setiap daerah di desa
tersebut
Desa tersebut agak sedikit diatas sebuah lereng bukit yang indah sehingga pemandangannya
memang begitu memukau hati, padang-padang yang begitu indah dimana tempat ternak
peliharaan maasyarakat bermain sambil memcicipi rumput segar. Dari kejauhan nampak
segerombolan kambing-kambing berjejer keluar dari kandang dan dituntun oleh seorang anak
separu baya, mungkin umurnya sekitar belasan tahun, yaaaa mungkin dua belas atau tiga
belas. Sedang nampak pula seorang perempuan remaja sedang menjunjung sebuah ember
besar, inilah kebiasaan para remaja perempuan di setiap pagi membawa ember besar
berisikan air dan dijujung di atas kepala mereka. Mungkin itu salah satu cara bagaimana
mereka sangat taat pada suruhan orang tua mereka.
Disamping jalan, tumbuhan-tumbuhan tinggi yang menjadi pagar indah untuk setia rumah
berjejeran rapi membuat sebuah kumpulan besar, hal itu sengaja dibuat masyarakat untuk
sedikit menutupi angin ketika berhembus sehinggga membuat suasana tidak terlalu dingin.
Anak perempuan remaja itu berhenti di sebuah rumah dimana sepertinya rumah itulah yang
akan kami kunjungi. Dengan perlahan anak perempuan itu menurunkan ember yang berada
tepat di atas kepalanya lalu membawa ke sebuah bak kecil terbuat dari tanah liat, tempat itu
biasanya digunakan untuk menampung air sebagai keperluan untuk memasak, lalu dengan
senyuman yang begitu ramah menyambut kedatangan kami.anak itu segera bergegas dengan
cepat membuka pintu rumah yang terbuat dari pohon jati,
“Silahkan pak, silahkan masuk” lalu dengan ramah anak itu meminta pamit menuju bagian
belakang rumah itu, disitulah rasa ini mulai tumbuh sebuah pertemuan sederhana membawa
untuk bercinta dengan angan,
Jelang beberapa menit, seorang bapak berusia kurang lebih empat pulahan tahun datang
menghampiri kami. Wajah sedikit geram, mungkin karena kumis yang menutupi wajah
dengan warna kulut yang sangat berbeda dengan kami dan mungkin karena kami baru
pertama kali betatapan dengan wajah seperti itu. Serentak kami langsung mengucapkan
selamat pagi dan langsung memberitahu maksud dan tujuan kedatangan kami. Dengan suara
yang khas bapak itu mulai pembicaraannya. “bapak sudah mengetahui kedatangan adik-adik ,
kemarin bapak kepala desa sudah memberitahu bapak”.
Lalu kami membuka percakapan. Jelang beberapa saat anak perempuannya membawa
keluar beberapa gelas berisi air minum sesuai jumlah kami. Anak itu langsung meletakannya
persis di depan kami. Di sebuah meja kayu yang sedikit lebih rendah dari tempat duduk kami.
Senyuman khas yang diberikan kepada kami seperti awal pertama bertemu beberapa menit
yang lalu membuat suasana begitu hangat. Lalu ia kembali ke belakang rumah tersebut.
“silahkan diminum” kata bapak itu. Awalnya kami sedikit malu-malu namun dilanjutkan
dengan sebuah kalimat “jangan malu, anggap saja untuk beberapa waktu kedepan inilah
rumah kalian”. Dengan sentak kami tersenyum lalu mencicipi hidangan minuman pagi itu.
Sedikit pahit dan manis, air yang dibawa itu. Teman teman saya berbisik dan bertanya tentang
hidangan pagi itu. Mungkin karena didengan oleh bapak itu, lalu bapak itu mulai bercerita.
“inilah minuman khas kami disetiap pagi, dan sering disugukan kepada setiap tamu yang
datang”.
Bapak itu melanjutkan “minuman ini adalah kopi dengan diberikan sedikit gula untuk
merendahkan kadar pahitnya” hal ini bisa membuat kita bersemangat dalam beraktifitas..
Kami setak menganggukan kepala dan menruskan minuman yang telah disuguhkan.
Setelah selesai kami langsung meminta ijin untuk meletakan barang-barang yang dibawa.
Dua buah ruangan kecil dengan sebuah lemari dan tempat tidur sudah disiapkan di kamar
tersebut. Ditata begitu rapi dengan diberikan sedikit balutan keharuman membuat seakan
akan kami berada di kamar pengantin baru.
Hal ini mungkin dilakukan oleh perempuan itu, sebuah bisikan dalam benakku. Yang
menjadi racun untuk mengenalnya dan membagi perasaan ini.
Siang menjemput lebih cepat, tak searah dengan lamunanku, teman-temanku sudah mulai
dengan aktifitasnya, menyiapkan bahan dan alat alat untuk dibawakan nanti di balai desa.
Aku bangun dari dudukku di kamarku itu dan bergegas ke kamar kecil yang berada tak jauh
dari rumah itu, persis di belakang rumah itu.Sedang ketika aku keluar, kudapati gadis itu
sedang menyiapkan makan siang, tangan mungil itu memainkan sebatang pisau di atas
tumpukan sayur yang baru diambil dari ladang sebelah rumah. Aku menyempatkan diri untuk
bertaya kecil. “dimana kamar kecil?” dengan sedikit membungkun ia memalingkan tangan
dan pandangannya di samping rumah itu, tak berpikir lagi mataku juga menatap sesuai arah
tunjuk perempuan itu. “ohh iya,terimakasih”. Akupun bergegas menuju kamar kecil itu,
sedang ia melanjutkan pekerjaan nya itu. Pertemuan awal di desa yang membuat benih cinta
mulai bertumbuh.
Aku segera bergegas keluar dan mendapatkan perempuan itu masih asik dengan permainan
tangnnya di tumpukan sayur itu. Sedikit aku menghampirinya dan bertanya malu, “adek
sudah selesai sekolah?” ia menjawab dengan sedikit menunduk “ ia kaka” akupun
melanjutkan percakapanku dengan berbagai pertanyaan, namun dengan lugas ia menjawab
semua pertanyaanku sembari memberi senyum yang begitu khas, sebuah lesung pipi mengiasi
pipi indah itu dengan rambut yang terurai sampai di bawah bahunya, dimana kadang ia
menyapu rambutnya dikala menutupi arah pandangnya ketika menunduk. Sebuah keindahan
Nampak dari wajah ayu itu.
Aku meminta pamit dan bergegas menuju sahabat-sahabatku yang sudah menunggu di depan
rumah itu. Kamipun menanjutkan perjalanan menuju balai desa yang tidak jauh dari rumah
tempat penginapan kami.
Sambutan hangat dari warga di balai desa melihat kedatangan kami menambah kegembiraan,
senyuman khas dari warga desa tersebut membuat suasana seperti berada di keluarga sendiri.
Aku sebernanya ingin kehadiran kami siang ini di balai desa tersebut dihadiri oleh
perempuan itu, perempuan yang berada di tempat penginapan kami, ahhh pikirku,
“seandainya tadi aku mengajaknya untuk ikut pastilah dia hadir”. Namun aku juga berpikir
bawa tadi dia sedang menyiapakan makan siang, mungkin untuk kami.
Kegiatan dimulai dengan begitu ramai. Sambutam masyarakat untuk mendengar apa yang
akan kami bawakan begitu memukau. Hal itu dilihat dari keseriusan raut wajah mereka ketika
kami memaparkan materi. Kulirik jarum jamku menunjukan pukul tiga lewat beberapa menit.
Mungkin beberapa menit kemudian kami akan mengakhiri perjumpaan di hari pertama
kegiatan kami di desa tersebut.
Jelang beberapa menit kamipun mengakhiri kegiatan itu. Tepuk tangan yang meriah
menyambut kami diruangan balai desa itu. Lalu anak anak dan masyarakat keluar dan
memberi salam kepada kami sembari melanjutkan perjalannya kerumah masing masing.
Memang ada beberapa orang tua yang berhenti sejenak untuk berbincang-bincang dengan
kami. Menayakan aktivitas kami, menanyakan sekolah kami dan masih banyak lagi pertayaan
yang diberikan.
Setekah selesai perbincangan itu, kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat
penginapan, hal ini yang menjadi semangatku, karna pasti akan berjumpa dengan senyuman
manis yang sudah siap menerima kami di rumah itu. Jalan yang sedikit berbatu-batu, kata
bapak tadi di penginapan ketika bercerita. Katanya jalan di depan rumah itu adalah swadaya
masyarakat dengan dibantu oleh dana desa yang diberikan oleh pemerintah.
Sesampainya dirumah kamipun langsung bergegas menuju kamar kami masingmasing.
Sedang aku langsung bergegas menuju ruangan belakang untuk melihat aktivitas perempuan
itu. Yahhh seperti biasa perempuan itu telah selesai menyiapkan makan siang untuk kami,
dari jauh kulihat dia sedang membersihkan sisa sisa pekerjaannya siang itu. Aku segera
bergegas membatu dengan memberi sedikit pertanyaan pembuka. “biar aku bantu?”
“yaaa ia kaka”. Sebuah ucapan manis keluar dari bibir indah itu. Segera ku dengan gesit
membatu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kamipun berhenti sejenak sambil bercerita
kecil. Awal pertemua dan disitulah sepucuk cinta mulai berkembang. Jelang beberapa menit
kemudian kami disuguhi dengan makan siang itu. Sayur dengan sedikit dibaluti dengan
beberapa menu indah terpapar di depan kami.
Sore menjemput, aku bergegas keluar dan mendampingi perempuan itu untuk segera
bergegas menuju sebuah sumur kecil di bawal lereng bukit itu, hal itu aku lakukan karna
sebelun kami makan siang itu telah kami bincangkan untuk mendampinginya melihat sumur
tempat mereka menimbah air untuk keperluan sehari hari.
Aku memegang sebuah ember kecil sedang dia memegang sebuah ember pula, kami
berjalan sambil bercerita. Awalnya aku sedikit bingung untuk memulai cerita, karena melihat
kepolosannya dan kecantikannya belum lagi sosok kecantikannya dibaluti dengan sebuah kain
panjang, belum lagi keindahan rambutnya yang terurai hingga sedikit menyetuh pinggang
membuat aku kehabisan bahasa untuk mengukir tetang kecantikannya.
Dengan gesitnya ember-ember sudah dipenuhi dengan air dan siap untuk dibawah.
Memang ada sedikit timbul rasa suka, yahhh mungkin karna aku juga sudah beranjak dewasa
namun sulit untuk aku ungkapkan perasaan ini. Atau mungkin juga perasaan sama yang dia
rasakan. Kamipun berhenti sejenak sambil bercakap-cakap kecil. “kau hebat” spontan kalimat
itu keluar dari bibirku. Diapun tertunduk sedikit malu, atau mungkin aku orang yang pertama
mengungkapkan kalimat itu. “terimakasih kak” sebuah ungkapan yang menyejukan hati
keluar dari bibir manisnya. Akupun melanjutkan percakapan. “laki-laki dikampung ini akan
sangat bahagia mendapatkan seorang perempuan seperti kamu”.
Dia masih tertunduk seperti biasanya. Dibibirnya ingin ia berkata tak jelang beberapa
detik sebuah kalimat keluar dari bibir manisnya.“aku masih dilarang dan tidak diperbolehkan
oleh orang tuaku. Kebiasaan dikampung kami jika seorang perempuan yang siap untuk
dipinang harus mampu bekerja seperi seorang perempuan dewasa yaitu mampu menenun kain
seperti yang aku pakai sekarang, belum lagi harus sudah mampu mengurus rumah tangga”.
Aku sentak sedikit kaget, dalam pikiranku kok susah yahhh seorang perempuan jika ingin
menikah. Karna jika dilihat dari kacamata modern seorang perempuan yang jika sudah
dewasa pastilah akan segera mengakhiri kesendiriannya, dengan memilih seorang
pendamping untuk setia mendampinginya. Belum lagi saat ini jika kita lihat banyak terjadi
pernikahan dini. Dan kadang hal tersebut sudahlah menjadi hal yang biasa.
Dua bulan penuh kami berada di desa tersebut, dan kali ini memang waktu seperti
tak memihak, itulah perasaan yang aku alami.
Pagi menjemput dengan cepat, di langit awan hitam menumpuk dan saling menindih,
mungkin alam juga merasa sedih karena harus kami tinggalkan desa itu. Angin seakan
berhenti bercengkrama dengan pohon-pohon. Dan seperti biasa aku masih melihat anak-anak
ditemani dengan jerigen, adapula membawa ember. Ada yang duduk di depan rumah sambil
menikmati kesejukan pagi. Burung-burung bersiul memberi irama selamat berpisah
Aku duduk dan melihat kebelakang rumah itu, duduk sosok perempuan cantik yang
sering aku gombali. Perempuan cantik itu duduk dengan kepala sedikit tertunduk, dan kadang
ia memalingkan wajahnya pada kami. Mungkin ia bersedih, atau apa yang ada dalam
gumpalan otak kecilnya. Aku bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan. Pastilah ia sedih
jika akhirnya kami harus berpisah, aku mencintai dia namun disamping itu aku juga harus
kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah aku embani.
Mobil yang kami tumpangi sedikit demi sedikit meninggalkan bekas dijalan kampung
itu. Wajah wajah sedih terasa sangat nampak dari kami dan masyarakat desa itu. Dan
akhirnya mobil yang kami tumpangi menghilang dimakan oleh pepohonan yang berjejer di
tepi jalan.
Cinta dan pengorbanan merupakan salah satu hal yang tak bisa dipisahkan,
mengenalmu dan membagi rasa bersama merupakan bagian yang terindah dalam hidupku.
Jika memang akan berakhir dengan perpisahan, itu adalah ujian untuk membentuk kita lebih
matang dalam bercinta. Sebuah harapan yang saling diukirkan dalam angan membuat hati ini
seakan tak ingin lagi untuk berpisah. Dalam benak ini jika ingin berpikir tentang kata pisah,
seakan jantung ini tak tahan untuk merasakannya. Mungkin inikah yang dinamakan cinta.
Dalam perjalanan seakan sangat berat untuk aku balikan wajah ini karna semakin aku
mengantuk seakan wajahnya hadir dengan senyuman yang khas menghiasi bola mata
ini.berapa lama lagi aku ahrus melupakan kenagan ini, mungkin waktu akan bermain dan
menjawab semuanya, namun dari pertemuan sederhana ini aku dapat menemukan arti cinta
dan memiliki sebenarnya.
Bulan berlalu begitu cepat, suasana perkotaan yang membuat hati seakan tak tenang
jika harus keluar dan melepas penat. Jalanan dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki
kesibukannya masing masing. Tak ada burung yang berkicau hari itu, mungkin mereka takut
dengan kebisingan atau karna sengatan terik matahari yang membakar kulit. Aku duduk di
depan teras rumahku sambil memandang kejauh. Dipersimpangan jalan duduk anak anak
kecil memegang tumpukan kertas berisi berita semalam. Mereka berlari mendekati mobil
mobil sambil meyodorkan lembaran lembaran koran dengan harapan ada yang akan
membelinya, memang ada yang dengan iba membeli koran koran itu, adapula yang hanya
memandang kedepan dan tak mengiraukan anak anak itu.
Dalam benakku masih dimainkan dengan suasana kampung dan perempuan desa itu,
sosok yang masih merasuki pikiran ini, menyelip diantara saraf-saraf otakku dan memakan
sebagian pikiranku. Walau kadang dengan kesibukanku aku sedikit melupakan bayangnya.
Terdengar dari dalam rumah, ada suara yang memanggilku rupanya ibuku sudah tahu isi
hatiku. Tersentak lamunanku berakhir dan aku lekas menuju suara yang tak asing lagi
dikupingku ini.
“kamu melamun yaaa, Tanya ibuku” tidak ibu, suaraku sedikit berubah seperti ingin
meyakinkan ibuku jika tidak ada yagn sedang aku pikirkan. “ibu bisa melihat dari wajahmu”
dia melanjutkan, pasti sedang memikirkan desa itu, iakan??. Ahh ibu seperti tahu saja, aku
kan sudah dewasa, “lohh ibukan tidak berbicara tentang dewasa, sambil memalingkan
senyum padaku penuh arti. Akupun segera menceritakan apa yang aku alami di desa tersebut.
Jelang beberapa menit, dari diskusi singkatku itu, terdengan ketukan pintu, akupun bergegas
menuju pintu untuk membuka dan mliat siapa yang sedang datang. Rupanya ayahku sudah
kembali dari kantor. Akupun bergegas menuju kamarku dan melanjutkan lamunanku.
Keseruan sore ini bersama dengan ibuku membuat aku semakin mengingat kampong kecil itu,
dan perempuan desa itu. Kuteruskan lamunanku hingga tak sadar matahari sudah
bersembunyi di ufuk barat, suara binatang-binatang malam mulai terdengar, lampu-lampu
taman menghiasi rumah mungilku.
Tak ada lagi kesibukan yang aku lihat. Jalan jalan telah sepi yang tinggal hanya
anganku yang masi terbang dan tak bisa aku raih. Inilah kisahku, lelaki desa dan cinta.