Suasana kota yang monoton pada pagi hari, pedagang-pedagang kecil dan besar membuka
toko, para pedagang dan pekerja berangkat kerja ketika matahari terbit pukul tujuh pagi. Suasana
yang biasa dan monoton dipagi hari ini tiba-tiba berubah, ketika angkutan kota dan desa yang
biasanya mengantarkan para pedagang dan pekerja ke tempat mereka mencari pengasap dapur
dilarang masuk terminal, dimana mereka biasa mencari penumpang untuk mengejar setoran.
Terminal baru tempat perlabuhan angkutan, jauh sekali dari pusat keramaian, penumpang sulit dan
tentu saja uang sulit. Kebijakan pelarangan ini jelas sangat tidak didasari akal sehat, ditengah
melambungnya semua harga-harga barang, kalau tidak menambang dengan apa akan di beli makan.
Mereka marah, terfikir tangisan keluarga dan anak istri dirumah, si buyung dan si upik yang
minta keperluan sekolah di tahun ajaran baru, istri-istri yang butuh uang untuk periuk nasi. Pagi
yang cerah dan agak dingin ini berubah tegang, ketika mobil-mobil carry merah, kuning dan biru
Tidak ada suatu kendaraan pun yang bisa menembus pemblokiran itu, sepeda yang selama
ini bisa menembus kemacetan apa saja, kali ini hanya bisa mematung melihat jalanan yang telah
Para sopir dan kernet berkumpul didekat bangunan bundar, berbentuk roda terbaring, terbuat
dari batu dicat belang-belang hitam putih, ditengah-tengahnya berdiri sebuah tiang, yang entah
untuk apa gunanya, dekat bioskop dan terminal kecil ditengah pasar, tempat yang mereka tidak
boleh masuki. Ada yang duduk diatas bangunan batu itu, ada yang berdiri, merokok, bangkang.
Anak-anak sekolah, menggenggam batangan balok dan melepas tali pinggang yang bisa
digunakan untuk senjata, mereka tergerak oleh pembangkangan para pekerja angkutan ini. Awalnya
mereka berkelahi sesama tetapi setelah polisi ikut campur, mereka melawan polisi dengan balok dan
tali pinggang.
Peristiwa seminggu sebelumnya, dimana warga kampung menduduki dan membakar kantor
camat, akibat dari pemukulan terhadap seorang kusir bendi oleh aparat berseragam coklat yang
biasa memimtai uang pada para pedagang dan pekerja, beberapa kilometer dari kota kecil ini,
Pak tua Komar pengendara motor astrea bulan yang sudah tua dua-duanya, secara tak
sengaja menabrak bemper belakang sebuah angkutan desa di perempatan dekat pompa bensin.
“GANTI ! GANTI ! GANTI !”. Teriak para sopir dan kernet serentak, mereka duduk
Keringat dingin mengalir dari kening penuh kerut kecoklatan pak tua Komar, ia cemas
hampir terkencing. Seorang kernet memajukan mobilnya yang terantuk dan menyilakan paktua
pergi.
“Makanya pak, kalau jalan lihat-lihat, jangan main tabrak saja”. Kata kernet itu
melambaikan tangan pada paktua yang telah lepas dari puncak kecemasan. Ia pergi dengan senyum
lega.
“Terimakasih, terimakasih”. Katanya berulang kali, yang disambut dengan tawa riuh para
pekerja angkutan yang bangkang dengan duduk bersantai di pinggiran jalan aspal berkerikil.
Di depan gang kumuh, penuh bau timbunan sampah sebuah rumah makan dan sampah
warga, seorang gila, dengan baju dan celana kumal, sepasang sepatu bolong dan sebuah topi belel.
Ia menatap tajam pada barisan pemogok. Tak terkira senangnya perasaannya hari ini, pembalasan !
Lawan !.
Ia jadi ingat masa mudanya yang penuh tangis, perampasan sang istri dan anak oleh seorang
kaya, karena hutangnya dalam perjudian tidak terbayar bahkan oleh harga dirinya sekalipun. Saat
itu ia hanya bisa menangis, meratapi nasib, hingga suatu hari, orang-orang menemukannya dekat
orang yang melihatnya. Diambilnya seng untuk menutupinya tapi bibir dan gusinya jadi berdarah
dibuatnya.
Suatu kali seorang pemuda mengadukan nasib padanya, katanya istrinya juga dirampas tapi
“Kawan, saat ini yang diperlukan adalah sebilah pedang”. Begitu jawabnya pada ratapan
pemuda itu. “Dengan pedang kita hadapi para perampas ! Merampas balik semua yang dirampas !
Perang perampasan untuk menuntaskan dendam. Setelah siang itu, pemuda itu tidak pernah datang
lagi padanya, entah mati, entah hidup ia tidak tahu tapi saat ini, ia ingin sekali pemuda itu melihat
semua ini.
Hingga siang dengan panas gersang dan menyilaukan, belum kelihatan tanda-tanda
pemogokan ini akan berakhir. Walaupun suasananya tidak setegang tadi, para pemogok bisa
bersantai dan ada beberapa yang memanfaatkan ruang ditengah-tengah lingkaran tak beraturan
“Bagaimana Man ?”. Kata seorang remaja dengan baju seragam sekolah dibuka kancingnya
pada temannya yang menggenggam sebuah tali pinggang untuk dijadikan senjata. Yang ditanya
Perkara tidak jelas kapan selesainya, perkelahian dan pemogokan yang terjadi secara
serentak, marah !. Seorang pemuda berambut panjang, berwajah hitam rusak dengan jerawat yang
gosong dibakar matahari, berjaket loreng, hitam jingga, mendatangi para pemogok.
“Ada kejadian apa ini pak ??”. Tanyanya yang dijawab kebisuan dan diam. Ia bertanya lagi,
kali ini dengan nada agak tinggi dan agak keras. “Ada kejadian apa ini pak !!”. Kembali kebisuan
menjawab dengan seribu tanda tanya. Akhirnya ia bergerak kearah pinggir jalan, putus asa dengan
pertanyaannya.
***
Orang gila dengan celana sobek-sobek besar, hingga kulit paha dan betisnya kelihatan,
coklat kehitaman berlumuran debu dan lumpur kakinya. Ia mendekati orang gila tadi yang telah
terlebih dahulu ada disitu. Sebelumnya mereka sudah kenal dekat dan sama-sama mangkal di pintu
Kekosongan yang melanda fikirannya ketika gila, tidak terasa lagi kini. Ia sadar, waras, bisa
berfikir. Ia ingin bercakap-cakap, untuk itulah ia mendekati karibnya di depan gang penuh sampah,
“Man !”. Sapanya pada Man –begitu nama orang gila itu-.
Yang disapa menoleh kebelakang, sedikit tersenyum dan mempersilahkan karibnya yang
“Dari mana saja kau, baru kelihatan ?”. Tanya Man pada karibnya ini.
“Ada kejadian apa hari ini Man ? Rasanya otakku segar sekali sekarang”.
“Bangkang ! orang-orang bangkang. Aku sudah bilang dulu, kalau mereka itu, yang
merampas kita semua, hanya bisa dilawan dengan pedang. Dengan kata-kata tidak akan meluluhkan
hati mereka, malah semakin membuat mereka menjadi-jadi”. Kata Man panjang lebar, sudah lama
ia tidak berkata-kata sepanjang ini, kepalanya segar sekali, seluruh beban yang menghimpit dan
termangu melihat pemblokiran jalan oleh para pekerja angkutan. Ia jadi ingat kalau dulu dikejar-
kejar orang-orang berseragam, masuk parit bau, berlari dan terus berlari, hingga kekosongan yang
kelam menimpanya dan ia tidak ingat apa-apa lagi. Mereka diam, sama-sama termangu
Di sebuah rumah petak, dekat parit yang bau tai tidak seberapa jauh dari tempat kedua orang
gila ini duduk bersebelahan. Bu Siti, perempuan setengah tua sedang menasehati anaknya Don, agar
ngamuk, nanti kau bisa mati atau dituduh provokator”. Don hanya diam dan tiba-tiba balas
menjawab.
“Sopir-sopir yang mogok dan melawan polisi diterminal. Aku bukan sopir, tidak akan aku
ditangkap atau dipukuli, mereka hanya melawan orang-orang berseragam bukan aku yang tidak
berseragam apa-apa”.
Apa yang sedang terjadi ditengah kota masih simpang siur, yang mereka tahu hanyalah
bahwa kota kecil ini telah lumpuh dan orang-orang turun ke jalan marah dan bangkang.
Tak ambil pusing dengan nasehat ibunya Don keluar lewat pintu depan dan pergi
***
Dekat terminal, didepan kerumunan pemogok, Don berheti tertegun diatas vespanya,
semuan jalan tersumbat. Agak meminggir diparkirnya kendaraan dan duduk diatasnya. Tidak ada
yang bisa dan berani membubarkan pemogokan para pekerja angkutan ini. Mereka terlalu kuat dan
paling kuat kalau mogok bersama. Ketika bangkang ini, bagi mereka hanya ada keinginan agar para
keluarga mereka tetap bisa hidup ditengah semua kerusakan di negeri ini. Pengasap dapur,
Anehnya sampai siang ini tidak ada tanda-tanda untuk mengabulkan keinginan mereka.
Hanya segelintir anjing yang disuruh membubarkannya dan sebaliknya mereka malah menghindar
jauh-jauh tidak sanggup berkata-kata dihadapan para pemogok. Walaupun mereka masih tidak
melepaskan mata dari rombongan pemogok yang berkumpul diatas bangunan dari beton belang-
belang, seperti seorang hyena yang menunggu kelengahan mangsanya, untuk kemudian menerkam
Dua orang karib gila tadi, terlihat duduk-duduk tidak jauh dari tempat pemogokan. Mencoba
mencari sedikit gairah dan kewarasan yang datang dari aroma pemogokan ini. Keduanya bercakap-
cakap panjang lebar, menuangkan fikiran mereka yang selama ini tersumbat oleh bendungan baja
kegilaan.
“Menurutmu sampai kapan ini semua Man ?”. Tanya karib Man, ditengah-tengah
percakapan.
“Semua ini tidak akan berakhir dan kalaupun bisa diakhiri maka akan sangat susah. Karena
mereka berlawan bersama, tidak seperti kita yang hanya berlawan sendirian, sehingga dengan
mudah bisa dihancurkan oleh para perampas !”. Jawab Man dengan optimis pada karibnya yang
mendengarkan dengan serius. Saat ini ia mudah paham kata-kata Man, memacu, membangkitkan
“Benar”.
“Sayang sekali istriku tidak ada disini, kalau dia ada aku bisa menikmati semua ini
bersamanya”. Keluhnya pada kenyataan pahit, perampasan istrinya yang juga dialami Man.
Ia jadi teringat pada perempuan yang teramat dicintainya itu, indah bagai bunga segar dan
kehijauan dipagi hari yang menentramkan hati yang galau. Dulu ia ingin selamanya bersama,
berbagi hari, sedih, marah dan kecewa dengannya tapi sang perampas tidak perduli pada semua itu
merampas penentram hatinya, memburu-buru dirinya yang lari karena tidak punya kekuatan untuk
mencegahnya. Luka-luka busuk dikakinya, yang sampai sekarang belum sembuh juga, terjadi ketika
parit yang dimasukinya dipenuhi pecahan kaca botol-botol dan gelas. Darah mengalir, ia hanya bisa
menahan dengan air mata mengalir, hingga terasa sakit sekali dan menembus puncak kewarasannya
dan suatu hari ia ditemukan terbaring dengan pakaian kumal dan mata nyalang diterminal.
Bu Siti dirumahnya menunggu kedatangan Don dengan harap cemas. Terbayang olehnya
Don dihajar orang banyak, dianggap penghasut dan ia sama sekali tidak menginginkan hal itu. Ia
“Don cepatlah kau pulang, jangan perturutkan semua itu Don…”. Katanya lirih dipuncak
kecemasannya, duduk diatas sofa kumal yang telah bolong dan robek-robek dekat parit yang penuh
timbunan sampah yang mengeluarkan bau teramat busuk. Mereka tidak pernah mengeluhkan hal
Don yang ditunggu tengah duduk dengan nyamannya diatas vespa tidak seberapa jauh dari
kerumunan pemogok yang semakin bertambah. Tidak ada yang mengganggunya karena ia bukanlah
orang-orang berseragam yang suka mengganggu, ia juga tidak melakukan hal-hal mengganggu,
hanya memandangi pemogokan yang serasa menarik semua syaraf-syarafnya yang beku dan mati
***
Matahari mulai bergerak kearah barat, menebarkan warna jingga pertanda sore hari.
Gerungan Vespa Don terdengar dari rumahnya, Bu Siti bersyukur akhirnya yang dicemaskannya
tidak kunjung terjadi. Don pulang dengan selamat, membuka pintu depan langsung menuju kamar
mandi, melewati bu Siti yang ingin mendengar kata-kata dari mulut Don tentang apa yang terjadi.
Lama Don di kamar mandi membasahi mukanya dengan air, dibelakangnya panci-panci dan piring
Selesai membasahi muka, Don masuk kamar, sholat seperti biasa dilakukannya, bu Siti
enggan menanyakan karena tampaknya Don sedang malas bicara. Ditunggunya sampai raka’at
keempat selesai. Di kamar penuh tumpukan baju didalam atau diluar kardus besar bekas tempat Tv
dan disebelah ranjang bertingkat yang sudah usang dengan bau kasur dan bantal yang sudah sangat
apek bekas Don sekeluarga. Disanalah Don melihat kekanan dan kekiri, tata cara selesai sholat. Ia
keluar, mengambil rokok dari kantong baju. Di bakarnya dan duduk di sofa berkaki besi yang masih
bagus dibanding sofa bolong-bolong yang diduduki ibunya didepan tempat duduknya.
“Bagaimana pasar Don ?’”. Tanya bu Siti akhirnya pada Don yang tengah asyik merokok
mengepul-ngepulkan asap dari hidung dan mulut, bersandar pada sofa kumal.
“Biasa saja, tidak ada apa-apa, orang-orang biasa saja tidak berbuat apa-apa”. Jawabnya
menerawang.
“Keributan yang bikin Solok lumpuh tadi ?”. Tanya bu Siti tidak puas dengan jawaban yang
diberikan Don.
“Keributan yang mana ? Tidak ada keributan apa-apa ? Orang-orang hanya berkerumun
dekat terminal, anak sekolah tidak ada kulihat berkelahi, mereka hanya berbisik-bisik tidak jelas,
wajah mereka kelihatan sinis. Orang-orang yang berkerumun dibubarkan oleh ketua DPRD dengan
“Sudah kubilang tidak ada keributan dan perkelahian, ibu bagaimana sih ?”. Jawab Don
Mereka lalu diam diatas sofa masing-masing. Memandangi Tv yang mati dan tidak bisa
dihidupkan karena listrik dipadamkan PLN. Sebentar lagi maghrib dan rumah ini semakin kelam
“Don tolong beli lilin diwarung, nampaknya listrik akan mati lagi malam ini”. Suruh bu Siti
pada Don. Don pergi kewarung kemudian untuk beli lilin, menerangi kekelaman yang menimpa
Ketika malam datang, di dekat rel besi, para pelacur keluar dan duduk dipinggiran rel. Kalau
siang mereka tidak berani keluar, takut tertabrak dan tertangkap. Mencari mangsa pada malam hari,
untuk makan dirinya, yang mungkin hanya dibayar dengan makian dan bentakan setelah tubuhnya
Beberapa meter dari tempat pelacur berkumpul, terlihat dua orang karib duduk
bersebelahan, tidak terganggu dan tidak berani diganggu orang-orang. Mereka membisu, merasai
kepala masing-masing yang kosong kembali, sesekali tertawa-tawa berguling-guling diatas besi rel
“Ha ha ha ha ha”. Karibnya hanya tertawa lebar berguling-guling, menelungkup. “Ini Solok
mengacungkan sebilah kayu dalam genggamannya yang mengejutkan para pelacur yang duduk
Para pelacur hanya diam tak berani melarang dan berkata-kata melihat tingkah dua orang
karib yang telah hilang kembali kewarasannya. Apalagi mendengar kata pedang mereka semakin
takut, takut ditusuk dan disembelih seperti Arsih yang kemarin ditemukan membusuk didekat kali
tempat buang air, mandi dan mencuci orang-orang, dibawah jembatang di tengah kota. Kata orang
ia dibunuh oleh bajingan mabuk bersenjatakan pisau yang sudah biasa menusuk orang.