Anda di halaman 1dari 9

13 Agustus 2002

Suasana kota yang monoton pada pagi hari, pedagang-pedagang kecil dan besar membuka

toko, para pedagang dan pekerja berangkat kerja ketika matahari terbit pukul tujuh pagi. Suasana

yang biasa dan monoton dipagi hari ini tiba-tiba berubah, ketika angkutan kota dan desa yang

biasanya mengantarkan para pedagang dan pekerja ke tempat mereka mencari pengasap dapur

dilarang masuk terminal, dimana mereka biasa mencari penumpang untuk mengejar setoran.

Terminal baru tempat perlabuhan angkutan, jauh sekali dari pusat keramaian, penumpang sulit dan

tentu saja uang sulit. Kebijakan pelarangan ini jelas sangat tidak didasari akal sehat, ditengah

melambungnya semua harga-harga barang, kalau tidak menambang dengan apa akan di beli makan.

Mereka marah, terfikir tangisan keluarga dan anak istri dirumah, si buyung dan si upik yang

minta keperluan sekolah di tahun ajaran baru, istri-istri yang butuh uang untuk periuk nasi. Pagi

yang cerah dan agak dingin ini berubah tegang, ketika mobil-mobil carry merah, kuning dan biru

dari berbagai jurusan diparkir ditengah jalan, mogok.

Tidak ada suatu kendaraan pun yang bisa menembus pemblokiran itu, sepeda yang selama

ini bisa menembus kemacetan apa saja, kali ini hanya bisa mematung melihat jalanan yang telah

dipenuhi oleh mobil-mobil yang melintang menyumbat lalu lintas.

Para sopir dan kernet berkumpul didekat bangunan bundar, berbentuk roda terbaring, terbuat

dari batu dicat belang-belang hitam putih, ditengah-tengahnya berdiri sebuah tiang, yang entah

untuk apa gunanya, dekat bioskop dan terminal kecil ditengah pasar, tempat yang mereka tidak

boleh masuki. Ada yang duduk diatas bangunan batu itu, ada yang berdiri, merokok, bangkang.

Anak-anak sekolah, menggenggam batangan balok dan melepas tali pinggang yang bisa

digunakan untuk senjata, mereka tergerak oleh pembangkangan para pekerja angkutan ini. Awalnya

mereka berkelahi sesama tetapi setelah polisi ikut campur, mereka melawan polisi dengan balok dan

tali pinggang.
Peristiwa seminggu sebelumnya, dimana warga kampung menduduki dan membakar kantor

camat, akibat dari pemukulan terhadap seorang kusir bendi oleh aparat berseragam coklat yang

biasa memimtai uang pada para pedagang dan pekerja, beberapa kilometer dari kota kecil ini,

memicu semua kemarahan dan pembangkangan ini.

Pak tua Komar pengendara motor astrea bulan yang sudah tua dua-duanya, secara tak

sengaja menabrak bemper belakang sebuah angkutan desa di perempatan dekat pompa bensin.

“GANTI ! GANTI ! GANTI !”. Teriak para sopir dan kernet serentak, mereka duduk

dipinggir jalan dan pos polisi diperempatan.

Keringat dingin mengalir dari kening penuh kerut kecoklatan pak tua Komar, ia cemas

hampir terkencing. Seorang kernet memajukan mobilnya yang terantuk dan menyilakan paktua

pergi.

“Makanya pak, kalau jalan lihat-lihat, jangan main tabrak saja”. Kata kernet itu

melambaikan tangan pada paktua yang telah lepas dari puncak kecemasan. Ia pergi dengan senyum

lega.

“Terimakasih, terimakasih”. Katanya berulang kali, yang disambut dengan tawa riuh para

pekerja angkutan yang bangkang dengan duduk bersantai di pinggiran jalan aspal berkerikil.

Di depan gang kumuh, penuh bau timbunan sampah sebuah rumah makan dan sampah

warga, seorang gila, dengan baju dan celana kumal, sepasang sepatu bolong dan sebuah topi belel.

Ia menatap tajam pada barisan pemogok. Tak terkira senangnya perasaannya hari ini, pembalasan !

Lawan !.

Ia jadi ingat masa mudanya yang penuh tangis, perampasan sang istri dan anak oleh seorang

kaya, karena hutangnya dalam perjudian tidak terbayar bahkan oleh harga dirinya sekalipun. Saat

itu ia hanya bisa menangis, meratapi nasib, hingga suatu hari, orang-orang menemukannya dekat

selokan tertawa-tawa pada setiap orang.


Sekarang giginya telah ompong dimakan usia, senyumnya hanya memualkan perut orang-

orang yang melihatnya. Diambilnya seng untuk menutupinya tapi bibir dan gusinya jadi berdarah

dibuatnya.

Suatu kali seorang pemuda mengadukan nasib padanya, katanya istrinya juga dirampas tapi

kali ini oleh orang-orang yang punya kuasa.

“Kawan, saat ini yang diperlukan adalah sebilah pedang”. Begitu jawabnya pada ratapan

pemuda itu. “Dengan pedang kita hadapi para perampas ! Merampas balik semua yang dirampas !

Perang perampasan untuk menuntaskan dendam. Setelah siang itu, pemuda itu tidak pernah datang

lagi padanya, entah mati, entah hidup ia tidak tahu tapi saat ini, ia ingin sekali pemuda itu melihat

semua ini.

Hingga siang dengan panas gersang dan menyilaukan, belum kelihatan tanda-tanda

pemogokan ini akan berakhir. Walaupun suasananya tidak setegang tadi, para pemogok bisa

bersantai dan ada beberapa yang memanfaatkan ruang ditengah-tengah lingkaran tak beraturan

mobil-mobil angkutan untuk bermain bola.

Anak-anak sekolah masih berwajah garang.

“Bagaimana Man ?”. Kata seorang remaja dengan baju seragam sekolah dibuka kancingnya

pada temannya yang menggenggam sebuah tali pinggang untuk dijadikan senjata. Yang ditanya

hanya diam dengan dua alis menajam kebawah.

Perkara tidak jelas kapan selesainya, perkelahian dan pemogokan yang terjadi secara

serentak, marah !. Seorang pemuda berambut panjang, berwajah hitam rusak dengan jerawat yang

gosong dibakar matahari, berjaket loreng, hitam jingga, mendatangi para pemogok.

“Ada kejadian apa ini pak ??”. Tanyanya yang dijawab kebisuan dan diam. Ia bertanya lagi,

kali ini dengan nada agak tinggi dan agak keras. “Ada kejadian apa ini pak !!”. Kembali kebisuan

menjawab dengan seribu tanda tanya. Akhirnya ia bergerak kearah pinggir jalan, putus asa dengan

pertanyaannya.

***
Orang gila dengan celana sobek-sobek besar, hingga kulit paha dan betisnya kelihatan,

coklat kehitaman berlumuran debu dan lumpur kakinya. Ia mendekati orang gila tadi yang telah

terlebih dahulu ada disitu. Sebelumnya mereka sudah kenal dekat dan sama-sama mangkal di pintu

rel kalau malam hari.

Kekosongan yang melanda fikirannya ketika gila, tidak terasa lagi kini. Ia sadar, waras, bisa

berfikir. Ia ingin bercakap-cakap, untuk itulah ia mendekati karibnya di depan gang penuh sampah,

dekat rumah makan yang ramai dikunjungi orang tiap-tiap harinya.

“Man !”. Sapanya pada Man –begitu nama orang gila itu-.

Yang disapa menoleh kebelakang, sedikit tersenyum dan mempersilahkan karibnya yang

baru datang untuk duduk didekatnya.

“Dari mana saja kau, baru kelihatan ?”. Tanya Man pada karibnya ini.

“Ada kejadian apa hari ini Man ? Rasanya otakku segar sekali sekarang”.

“Bangkang ! orang-orang bangkang. Aku sudah bilang dulu, kalau mereka itu, yang

merampas kita semua, hanya bisa dilawan dengan pedang. Dengan kata-kata tidak akan meluluhkan

hati mereka, malah semakin membuat mereka menjadi-jadi”. Kata Man panjang lebar, sudah lama

ia tidak berkata-kata sepanjang ini, kepalanya segar sekali, seluruh beban yang menghimpit dan

membebaninya hari ini tiba-tiba hilang bagai dihembus angin.

Karibnya hanya manggut-manggut, tidak menyalahkan dan tidak membenarkan. Ia masih

termangu melihat pemblokiran jalan oleh para pekerja angkutan. Ia jadi ingat kalau dulu dikejar-

kejar orang-orang berseragam, masuk parit bau, berlari dan terus berlari, hingga kekosongan yang

kelam menimpanya dan ia tidak ingat apa-apa lagi. Mereka diam, sama-sama termangu

memandangi kejadian yang membakar dan melumpuhkan ini.

Di sebuah rumah petak, dekat parit yang bau tai tidak seberapa jauh dari tempat kedua orang

gila ini duduk bersebelahan. Bu Siti, perempuan setengah tua sedang menasehati anaknya Don, agar

tidak bertindak yang bukan-bukan.


“Solok lumpuh, kau jangan pergi ke tempat orang-orang ribut itu, anak-anak sekolah

ngamuk, nanti kau bisa mati atau dituduh provokator”. Don hanya diam dan tiba-tiba balas

menjawab.

“Sopir-sopir yang mogok dan melawan polisi diterminal. Aku bukan sopir, tidak akan aku

ditangkap atau dipukuli, mereka hanya melawan orang-orang berseragam bukan aku yang tidak

berseragam apa-apa”.

Apa yang sedang terjadi ditengah kota masih simpang siur, yang mereka tahu hanyalah

bahwa kota kecil ini telah lumpuh dan orang-orang turun ke jalan marah dan bangkang.

Tak ambil pusing dengan nasehat ibunya Don keluar lewat pintu depan dan pergi

mengendarai Vespa ke tengah kota dekat terminal kecil.

***

Dekat terminal, didepan kerumunan pemogok, Don berheti tertegun diatas vespanya,

semuan jalan tersumbat. Agak meminggir diparkirnya kendaraan dan duduk diatasnya. Tidak ada

yang bisa dan berani membubarkan pemogokan para pekerja angkutan ini. Mereka terlalu kuat dan

paling kuat kalau mogok bersama. Ketika bangkang ini, bagi mereka hanya ada keinginan agar para

keluarga mereka tetap bisa hidup ditengah semua kerusakan di negeri ini. Pengasap dapur,

diperbolehkan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia.

Anehnya sampai siang ini tidak ada tanda-tanda untuk mengabulkan keinginan mereka.

Hanya segelintir anjing yang disuruh membubarkannya dan sebaliknya mereka malah menghindar

jauh-jauh tidak sanggup berkata-kata dihadapan para pemogok. Walaupun mereka masih tidak

melepaskan mata dari rombongan pemogok yang berkumpul diatas bangunan dari beton belang-

belang, seperti seorang hyena yang menunggu kelengahan mangsanya, untuk kemudian menerkam

dan mencabik-cabik tubuh mangsanya.

Dua orang karib gila tadi, terlihat duduk-duduk tidak jauh dari tempat pemogokan. Mencoba

mencari sedikit gairah dan kewarasan yang datang dari aroma pemogokan ini. Keduanya bercakap-
cakap panjang lebar, menuangkan fikiran mereka yang selama ini tersumbat oleh bendungan baja

kegilaan.

“Menurutmu sampai kapan ini semua Man ?”. Tanya karib Man, ditengah-tengah

percakapan.

“Semua ini tidak akan berakhir dan kalaupun bisa diakhiri maka akan sangat susah. Karena

mereka berlawan bersama, tidak seperti kita yang hanya berlawan sendirian, sehingga dengan

mudah bisa dihancurkan oleh para perampas !”. Jawab Man dengan optimis pada karibnya yang

mendengarkan dengan serius. Saat ini ia mudah paham kata-kata Man, memacu, membangkitkan

semua kehidupan dalam dirinya.

“Berarti kita akan waras selamanya ?”.

“Benar”.

“Sayang sekali istriku tidak ada disini, kalau dia ada aku bisa menikmati semua ini

bersamanya”. Keluhnya pada kenyataan pahit, perampasan istrinya yang juga dialami Man.

Ia jadi teringat pada perempuan yang teramat dicintainya itu, indah bagai bunga segar dan

kehijauan dipagi hari yang menentramkan hati yang galau. Dulu ia ingin selamanya bersama,

berbagi hari, sedih, marah dan kecewa dengannya tapi sang perampas tidak perduli pada semua itu

merampas penentram hatinya, memburu-buru dirinya yang lari karena tidak punya kekuatan untuk

mencegahnya. Luka-luka busuk dikakinya, yang sampai sekarang belum sembuh juga, terjadi ketika

parit yang dimasukinya dipenuhi pecahan kaca botol-botol dan gelas. Darah mengalir, ia hanya bisa

menahan dengan air mata mengalir, hingga terasa sakit sekali dan menembus puncak kewarasannya

dan suatu hari ia ditemukan terbaring dengan pakaian kumal dan mata nyalang diterminal.

Bu Siti dirumahnya menunggu kedatangan Don dengan harap cemas. Terbayang olehnya

Don dihajar orang banyak, dianggap penghasut dan ia sama sekali tidak menginginkan hal itu. Ia

ingin menyusul tapi tidak punya keberanian untuk itu.

“Don cepatlah kau pulang, jangan perturutkan semua itu Don…”. Katanya lirih dipuncak

kecemasannya, duduk diatas sofa kumal yang telah bolong dan robek-robek dekat parit yang penuh
timbunan sampah yang mengeluarkan bau teramat busuk. Mereka tidak pernah mengeluhkan hal

itu, seakan sudah terbiasa dengan semua bau itu.

Don yang ditunggu tengah duduk dengan nyamannya diatas vespa tidak seberapa jauh dari

kerumunan pemogok yang semakin bertambah. Tidak ada yang mengganggunya karena ia bukanlah

orang-orang berseragam yang suka mengganggu, ia juga tidak melakukan hal-hal mengganggu,

hanya memandangi pemogokan yang serasa menarik semua syaraf-syarafnya yang beku dan mati

untuk aktif dan hidup lagi.

***

Matahari mulai bergerak kearah barat, menebarkan warna jingga pertanda sore hari.

Gerungan Vespa Don terdengar dari rumahnya, Bu Siti bersyukur akhirnya yang dicemaskannya

tidak kunjung terjadi. Don pulang dengan selamat, membuka pintu depan langsung menuju kamar

mandi, melewati bu Siti yang ingin mendengar kata-kata dari mulut Don tentang apa yang terjadi.

Lama Don di kamar mandi membasahi mukanya dengan air, dibelakangnya panci-panci dan piring

kotor yang belum dicuci bergeletakan didekat kran air.

Selesai membasahi muka, Don masuk kamar, sholat seperti biasa dilakukannya, bu Siti

enggan menanyakan karena tampaknya Don sedang malas bicara. Ditunggunya sampai raka’at

keempat selesai. Di kamar penuh tumpukan baju didalam atau diluar kardus besar bekas tempat Tv

dan disebelah ranjang bertingkat yang sudah usang dengan bau kasur dan bantal yang sudah sangat

apek bekas Don sekeluarga. Disanalah Don melihat kekanan dan kekiri, tata cara selesai sholat. Ia

keluar, mengambil rokok dari kantong baju. Di bakarnya dan duduk di sofa berkaki besi yang masih

bagus dibanding sofa bolong-bolong yang diduduki ibunya didepan tempat duduknya.

“Bagaimana pasar Don ?’”. Tanya bu Siti akhirnya pada Don yang tengah asyik merokok

mengepul-ngepulkan asap dari hidung dan mulut, bersandar pada sofa kumal.

“Biasa saja, tidak ada apa-apa, orang-orang biasa saja tidak berbuat apa-apa”. Jawabnya

menerawang.
“Keributan yang bikin Solok lumpuh tadi ?”. Tanya bu Siti tidak puas dengan jawaban yang

diberikan Don.

“Keributan yang mana ? Tidak ada keributan apa-apa ? Orang-orang hanya berkerumun

dekat terminal, anak sekolah tidak ada kulihat berkelahi, mereka hanya berbisik-bisik tidak jelas,

wajah mereka kelihatan sinis. Orang-orang yang berkerumun dibubarkan oleh ketua DPRD dengan

mengabulkan keinginan mereka untuk masuk terminal. Mereka sudah pulang”.

“Tidak ada yang luka ?”.

“Sudah kubilang tidak ada keributan dan perkelahian, ibu bagaimana sih ?”. Jawab Don

kesal, pada semuanya.

Mereka lalu diam diatas sofa masing-masing. Memandangi Tv yang mati dan tidak bisa

dihidupkan karena listrik dipadamkan PLN. Sebentar lagi maghrib dan rumah ini semakin kelam

dan kehilangan cahaya.

“Don tolong beli lilin diwarung, nampaknya listrik akan mati lagi malam ini”. Suruh bu Siti

pada Don. Don pergi kewarung kemudian untuk beli lilin, menerangi kekelaman yang menimpa

rumah kecil dekat parit yang bau ini berhari-hari lamanya.

Ketika malam datang, di dekat rel besi, para pelacur keluar dan duduk dipinggiran rel. Kalau

siang mereka tidak berani keluar, takut tertabrak dan tertangkap. Mencari mangsa pada malam hari,

untuk makan dirinya, yang mungkin hanya dibayar dengan makian dan bentakan setelah tubuhnya

sakit-sakit ditindih dan ditendang.

Beberapa meter dari tempat pelacur berkumpul, terlihat dua orang karib duduk

bersebelahan, tidak terganggu dan tidak berani diganggu orang-orang. Mereka membisu, merasai

kepala masing-masing yang kosong kembali, sesekali tertawa-tawa berguling-guling diatas besi rel

dan batu-batu keras dan tajam.

“Sudah kubilang hadapi dengan pedang !!”. Teriak Man tiba-tiba.

“Ha ha ha ha ha”. Karibnya hanya tertawa lebar berguling-guling, menelungkup. “Ini Solok

Man, kota bertuah, ha ha ha ha ha ha”.


“Sudah kubilang hadapi dengan pedang !!!”. Teriaknya lebih keras dari tadi sambil berdiri,

mengacungkan sebilah kayu dalam genggamannya yang mengejutkan para pelacur yang duduk

berjajar di besi pinggiran rel.

“Ini Solok Man kota bertuah, ha ha ha ha ha ha ha ha ha”.

Para pelacur hanya diam tak berani melarang dan berkata-kata melihat tingkah dua orang

karib yang telah hilang kembali kewarasannya. Apalagi mendengar kata pedang mereka semakin

takut, takut ditusuk dan disembelih seperti Arsih yang kemarin ditemukan membusuk didekat kali

tempat buang air, mandi dan mencuci orang-orang, dibawah jembatang di tengah kota. Kata orang

ia dibunuh oleh bajingan mabuk bersenjatakan pisau yang sudah biasa menusuk orang.

Solok, 22 Agustus 2002

Anda mungkin juga menyukai