Anda di halaman 1dari 8

www.rajaebookgratis.

com

WANGI KAKI IBU


www.rajaebookgratis.com

KETIKA bibir dan hidungnya menyentuh punggung kaki yang


cokelat keriput itu, ia merasakan air matanya menetes.
Membasahi permukaan kulit yang kisut. Terguling dari
tonjolan otot menuju lingir telapak kaki, sebagian ke sela
jemari.
"Aku tahu, bukan kamu yang membunuhnya," bisik serak
seorang perempuan tua, yang kedua mata-kaki kanan dan
kirinya sedang ia dekap.
Entah siapa yang memberi kabar indah itu ke telinga yang
mungkin tak sepenuhnya berfungsi. Atau ada yang langsung
membisikkan ke ceruk hatinya? Membuat lelaki itu teringat
perjalanan yang sesungguhnya tak panjang, namun dirasakan
sangat berlarut-larut. Semata oleh pikiran yang kalang-kabut.
SUBUH retak melahirkan fajar. Takbir menggema di telinga,
dari pelbagai surau, yang terletak jauh maupun dekat.
Dipantulkan oleh bening embun. Membubung ke awangemawan yang parasnya sedang dipulas rona lembayung.
Angin reda, membuat pohonan yang belum menjelaskan warna
daunnya terdiam tunduk, seperti sabar menanti perintah
berikutnya. Di dalam rongga dadanya yang kurus, tampak dari
kemejanya yang terasa demikian longgar, ada sebersit ngilu
berdesir.
Ia baru saja meninggalkan stasiun Tugu. Dengan langkah
bimbang, tak ubahnya selembar daun kering yang terseret
angin, ia merasa harus mengenali kembali setiap ruang dan

www.rajaebookgratis.com

benda yang dilalui. Toko-toko yang berderet memanjang ke


Malioboro masih menutup pintu. Atau mungkin hari ini tak
akan membuka dagangan, karena tiba Lebaran. Jalan aspal
yang memiliki beberapa lubang akibat genangan air, tak
berbeda dari kota yang ia tinggalkan. Trotoar dengan warna
paving-block yang tak sama antara satu dengan yang lain,
tentu lantaran pernah terbongkar di sana-sini. Dan yang
terhirup ke dalam paru-parunya adalah udara yang
menebarkan aroma tersendiri: sisa malam yang tersangkut dan
terlambat sirna.
Ini wajah kota kelahiran, yang pernah memberikan keindahan
masa kanak-kanak. Ketika Janti masih berupa jalan tanah
berbatu. Ketika Hotel Ambarukmo berdiri paling megah dan
bergaya di Jalan Solo. Dan Demangan merupakan pusat jajan
dengan bakso, es buah, sate, dan limun berwarna-warni. Lalu
ia, dulu sekali, mengendarai sepeda ringkih, selalu
menghabiskan hari-hari Ramadan dengan menyewa komik atau
membacanya di kios persewaan itu sambil menunggu magrib.
Terbayang dalam kenangan: Barda Mandrawata sebagai Si Buta
dari Gua Hantu. Pendekar Bambu Kuning. Gundala Putera Petir
karya Hasmi dari kota ini. Peni sudah Mati. Ah, Peni! Itu tokoh
utama dalam komik roman karya Jan Mintaraga. Tokoh yang
sesungguhnya telah mati. Dan seorang perempuan lain telah
menyamar sebagai Peni, seolah-olah masih hidup, tak berdaya
di atas kursi roda, namun sanggup membongkar kematian Peni
yang dilatari ketamakan atas harta warisan...
Dan Peni, seseorang yang seharusnya sangat dicintai, kini juga
telah mati. Sejenak jemari tangan kanannya bergetar bagai
diserang tremor. Ia menggigil bukan oleh dingin pagi yang
mengusap dada kerempengnya. Tapi oleh ingatan yang
membuatnya harus pulang ke kota kelahiran.
Matanya memandang ke segala arah. Ia mencari becak. Ada
beberapa becak teronggok di ruas jalur lambat Jalan Pangeran
Mangkubumi, tapi pemiliknya masih meringkuk dengan sarung
lusuh. Ah, apakah mereka tak mendengar suara takbir dari
pengeras suara masjid di sana-sini? Ini hari Lebaran.
Seharusnya mereka berkumpul dengan istri dan anak di rumah

www.rajaebookgratis.com

sumpek masing-masing. Atau jika masih bujangan, boleh juga


sesekali begadang di surau demi hari yang istimewa ini. Tapi,
kadang-kadang, Lebaran memang memberikan ironi kepada
sejumlah orang. Ketika seharusnya sebuah hati digenangi
kebahagiaan, ada sebagian yang mendapati dirinya tenggelam
dalam duka paling dalam. Dia, barangkali, menjadi salah
seorang di antara mereka.
Apakah sebaiknya berjalan kaki ke Janti? Tentu akan tiba
kesiangan di rumah, yang separo dindingnya masih bertahan
dengan papan kayu. Sepanjang perjalanan tentu akan
berpapasan dengan rombongan jamaah shalat Ied. Tentu akan
banyak mata memandangnya dengan raut muka bertanyatanya. Siapakah lelaki yang melangkah gontai seperti tanpa
tujuan itu? Sebuah pertanyaan yang tak mungkin terucapkan
dari wajah-wajah gembira, yang bersinar oleh cahaya
kemenangan Ramadan. Sebuah pertanyaan yang lebih baik
sembunyi dalam hati mereka, ketimbang menyinggung
perasaan. Ini hari yang akan dipenuhi oleh hati orang-orang
sabar, jiwa-jiwa yang memaafkan. Bukan untuk menyimpan
tanda tanya.
Maka ia memberanikan diri untuk menggugah seorang tukang
becak yang kebetulan sedang menggeliat. Orang itu tampak
kaget, serentak mengucek mata, dan memandang langit yang
mulai semburat kuning.
"Antarkan aku ke Janti."
Penarik becak itu sedikit termangu. Memandang lurus ke wajah
tirus.

"Apakah Sampean merasa mengenalku, Mas?"


Penarik becak itu tergesa menggeleng. Kemudian turun untuk
berpindah tempat ke belakang dan mempersilakan calon
penumpangnya naik. Udara pagi mengiringi kayuhan yang
masih berat oleh beban kantuk. Seperti sebuah pena yang

www.rajaebookgratis.com

menggaris kertas kosong, becak itu meluncur dalam sunyi.


Kesunyian yang sebentar lagi pecah oleh para jamaah dari
banyak gang perumahan.

Sepanjang jalan, lelaki di dalam becak itu berpikir: apakah ini


keputusan yang benar? Mengunjungi Ibu untuk menyampaikan
kegagalan? Ia gemetar bagai demam, dan ingatan tentang
sebuah malam jahanam melintas begitu keras di benaknya.
CAHAYA bolam lima belas watt sejenak terhalang bayang,
seperti padam seketika. Membuat matanya mendadak terbuka.
Menyadari ada seseorang masuk ke dalam kamarnya yang tak
pernah dikunci, ia segera bangkit duduk. Waspada.
"Maaf, aku mengganggu. Tapi ini sungguh penting. Aku
menemukan Peni!"
"Oh," lelaki tuan rumah itu mengusap matanya. Kata "Peni"
terdengar sangat penting di telinganya. Ia meraih gelas di
samping tempat tidur dan segera minum air putih yang tersisa.
"Di mana?"
"Maaf, jangan membuatmu kaget. Di sebuah klinik
tersembunyi, tempat aborsi."
"Astaghfirullah."
"Apa yang harus aku lakukan?"
Lelaki itu tampak tercenung. Seperti sedang mengumpulkan
seluruh kesadaran, mengusir sisa-sisa mimpi berkarat.
"Membawanya kemari," ujarnya dengan suara serak.
Si pembawa berita tampak ragu-ragu.
"Aku
kakak
kandungnya,
Bung!
Jadi
aku
berhak
memanggilnya."
"Jika dia tak mau?"
"Paksa!"
"Jika dia ternyata punya suami..."
"Masya Allah, aku masih ingat kata-katamu. Dia kaulihat
berganti-ganti lelaki. Kudengar darimu juga, dia pernah
digerebek polisi saat pesta shabu-shabu, dan ditebus oleh
seseorang..."

www.rajaebookgratis.com

Mereka berdua terdiam. Waktu merambat menuju saat makan


sahur. Mereka menyadari, suara keras percakapan akan
terdengar di bilik kiri dan kanan.
"Mungkin yang terpenting adalah bahwa kamu tahu, dia lari
dari rumahku, tapi tidak pulang ke Yogya untuk merawat Ibu
yang sudah sepuh. Berbulan-bulan aku mencarinya, tanpa
berani menyampaikan secara jujur kepada Ibu. Aku
mencarinya!"
"Tapi... dia telah membuatmu terusir dari jamaah di AlHidayah, mencoreng namamu sebagai pengurus majelis
ta'lim..."
"Itu tidak penting," Lelaki itu menahan napas. Sebersit rasa
sedih melintas ngilu. "Adalah dosaku jika sampai Peni terseret
ke jurang gelap. Itu sebabnya aku ingin menemuinya dalam
bentuk apa pun."
"Baik, aku akan mencobanya."
"Atau...," Lelaki itu tampak berpikir. "Begitu kamu
mendapatkannya,
teleponlah
aku.
Biar
aku
yang
mendatanginya."
Sang tamu mengangguk lalu berpamitan. Suara televisi di bilik
sebelah menyiarkan fragmen tematik Kampung Lele. Terdengar
tawa penghuninya yang tergelitik oleh perdebatan antara Opie,
Mali, dan Bolot...
SUASANA begitu tegang saat ia tiba di klinik yang tersembunyi
dalam gang. Perempuan dengan rambut masai memaksakan
diri bangkit dari pembaringan, menyibak gorden pembatas dan
bergegas keluar dari kamar. Langkahnya tertegun di pintu,
tangannya memegang erat kusen kayu, menahan rasa sakit
entah di mana. Dalam pandangan kabur, ia melihat lelaki yang
sangat dikenalnya. Rasa takut membuat kepalanya berkunangkunang.
Lelaki itu memburunya. Dipeluknya perempuan yang limbung
itu, jatuh memberat ke dadanya. Ia melihat matanya terkatup
rapat, bulu matanya bergetar. Barangkali darah mengaliri betis,
ke lantai, basah dan terasa lengket di telapak kaki yang
terlepas dari sandal.

www.rajaebookgratis.com

"Peni...," Lelaki itu panik. Lalu tatapannya mengandung nyala


marah kepada seorang suster yang menciut ketakutan. "Mana
dokternya?!"
Suster itu menggeleng dengan paras seputih kertas.
"Panggil dia! Segera!"
"Dia sudah pergi. Satu jam yang lalu."
"Aku perlu namanya!" Ia memanggil temannya. "Hazri! Tolong
catat, juga alamat praktiknya yang lain."
Hazri merobek bungkus rokok, mencabut pulpen dari sakunya,
dan memandang penuh tuntutan kepada suster yang merapat
ke dinding. Terbata-bata bibir perempuan itu mengucapkan
serangkai nama dan alamat.
"Peni, bertahanlah," lelaki itu berbisik di telinga perempuan
yang begitu lemas dalam pelukan. Lalu ia kembali meradang.
"Suster, kamu pasti tahu cara memanggil ambulans. Di sini ada
telepon, kan? Cepat, minta ambulans sekarang!"
Hazri dengan sigap menuju ke meja yang memiliki kabel
telepon. Ditelusuri jalur kabel itu dan menemukan pesawat
telepon tersembunyi dalam laci. Ia mengangkat gagang
telepon, dan ketika yakin ada nada aktif, diberikannya kepada
suster. "Panggil ambulans!"
Peni dibaringkan di kursi ruang tunggu yang berjajar tiga.
Terkulai tak sadarkan diri. Darah masih mengalir dari sela-sela
paha. Mencemaskan. Sekaligus membuat lelaki itu menyesal.
Seharusnya ia tak perlu selekas itu datang, sehingga Peni
masih punya waktu untuk memulihkan diri.
Rasanya berjam-jam waktu berlalu sampai terdengar sirine
ambulans. Dua orang lelaki membawa tempat tidur beroda
memasuki gang. Hazri menolong sampai Peni naik ke dalam
ambulans. Dan di dalam kabin dilakukan pertolongan pertama,
termasuk memasang jarum infus ke punggung tangan Peni.
Dari tabung plastik yang tergantung, tetes-tetes cairan
mengalir melalui selang mungil.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, lelaki itu tidak
bicara apa-apa. Mulutnya hanya mendesahkan doa. Berulang

www.rajaebookgratis.com

kali Hazri memegang lengannya, mencoba menenteramkan.


Sesekali mengucapkan: "Aku berjanji akan mencari dokternya
dan melaporkannya kepada polisi."
Ia tertunduk. Jemari tangannya mengusap rambut dan kening
Peni. Matanya basah. Hatinya terguncang. Apa yang harus ia
katakan kepada ibunya? Saat membawa Peni ke Jakarta, ke
rumah kontrakannya, tiga tahun yang lalu, ia berjanji: "Peni
memang susah diatur. Di sini dia hanya akan merepotkan Ibu.
Biar aku yang mengajarnya. Agar dia tahu bahwa hidup itu
berat dan harus dilalui dengan perjuangan. Agar dia bisa
mandiri."
Tapi...apa yang kemudian terjadi? Lelaki itu menggeleng
sendiri dengan rasa sakit, seolah ribuan duri menusuki setiap
permukaan jantungnya. Ia hanya memperoleh kegagalan. Kini
seluruh tenaga yang dicurahkan di tempat kerja, di pelabuhan
yang panas dan keras, dan sisa waktunya yang dihabiskan
untuk mencari keteduhan di lingkungan masjid, seperti sia-sia
saja. Kenyataannya ia tak pernah tahu, apa yang dilakukan
Peni sehari-hari selain menjadi pegawai administrasi di sebuah
pabrik sepatu. Terutama setelah enam bulan yang lalu
bersikeras pindah tempat tinggal, berpisah dengannya, demi
mendekati tempat kerja. Namun tak berapa lama berita tak
pantas itu merebak hingga ke wilayah Al-Hidayah.
Selanjutnya sungguh perih untuk diceritakan. Hanya Hazri,
sahabatnya yang masih dapat memahami perasaannya.
Lamunannya membuyar saat ambulans berhenti di teras Unit
Gawat Darurat. Semua berjalan lekas, mirip potongan film
yang disunting sembarangan. Apa pun yang dia lakukan
sekarang, termasuk menandatangani perjanjian penggantian
darah dari PMI, seluruhnya demi Peni.
TAPI Peni sudah mati. Tanpa percakapan panjang. Hanya
permohonan maaf, juga kepada Ibu yang wajib disampaikan.
Inilah amanat yang sedang ia bawa ke kampung halaman.

www.rajaebookgratis.com

Ia terisak perlahan. Ditahannya agar tak terdengar. Tapi


dadanya penuh oleh benda padat bernama kesedihan. Atau
mungkin rasa sesal.
"Bangunlah," meski desis itu tertangkap lemah, sesungguhnya
begitu tegar. Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara
sakit hati dan kasih sayang dengan nyaris sempurna.
Lelaki
yang
bersimpuh
itu
tak
bergerak.
Sejak
keberangkatannya dari Jakarta, ia berharap ada hukuman
untuknya. Bukan ucapan yang akan membuatnya merasa
bersalah berkepanjangan.
"Kamu telah melakukan sesuai dengan kemampuanmu,"
perempuan tua itu kembali bicara. Tidak gemetar seperti yang
diharapkan. Kesunyian merambat.
Sesungguhnya hanya tiga tahun dia tak pulang. Sebelumnya,
hampir setiap tahun ia mengunjungi Ibu dan adik satusatunya, sejak ayahnya meninggal. Tapi, tak pernah
perasaannya terusik oleh indahnya masa kanak-kanak di kota
ini. Kenangan itu kini memanggilnya. Panggilan yang begitu
deras. Sederas air matanya.
"Maafkan aku, Ibu," bisiknya tanpa berani mengangkat wajah.
Ia merasa amat tenteram di kaki ibunya. Merasa sangat
terlindungi dari segala marabahaya. Tercium harum aroma
kasih sayang dari kaki ibunya, yang mengalahkan seluruh
hawa busuk di luar sana. Dan ia bagai kembali ke masa kanakkanak.
"Ibu sudah memaafkan kamu sebelum kamu mengetuk pintu.
Sekarang kamu ambil air wudlu, dan segera berangkat shalat
Ied."
Kedua tangan perempuan tua itu meraih bahu anak lelakinya.
Ketika wajah tirus itu tengadah, dilihatnya penuh air mata.
Perlahan ia mencium dahi lelaki itu, persis di antara kedua
matanya..

Anda mungkin juga menyukai