Anda di halaman 1dari 8

Ledhek

Oleh Emayama T. Dana

Rendah, penggoda, murah. Kotor!

Diksi-diksi itu tak memberi celah batinku untuk bernapas. Mereka kerap berenang-
renang, mencubit sana-sini, memantik perasaan yang jadi gonjang-ganjing. Bukan, itu bukan
dicolokkan ke mukaku. Itu untuk wanita berdaster batik yang mambu bledug dan butak-butik¹

setelah sejak sepertiga malam kedua kenyang menyantap asap pembakaran, meracik sedapnya
penganan rasulan, sebuah perayaan senang panen di desaku, Kedungpoh.

“Nyai Sadran bukanlah orang kita, Buk.” Kusingkirkan anak rambut, tersembunyi ke
sebalik daun kuping. “Bahkan kudengar ia termasuk pemberita bohong tentang Ibuk².”

Ibukku. Wanita tersumpahi laknat oleh hati-hati tak berotak itu ibuku. Wanita yang pada
jaman tak enak dua warsa lalu bersimbah air asin mengarus dari pelupuk bengkak matanya.
Berusaha mati-matian menyerukan ke setiap manusia, bersih dan polosnya ia di antara fitnah
berlalu lalang. Fitnah keji nan busuk yang berbicara mana Ibuk menyuai pria antah-berantah di
belakang punggung Bapak setelah meledhek tengah purnama bulat.

“Rapopo³. Ibuk ingin berterima kasih saja, panggung ledhek ternyata sudah dibangun

lagi sejak setahun lalu.” Ibu menyunggingkan senyum jarangnya setelah segala pahit, berita ini
pasti melegakan rongga dadanya. “Ibuk tidak sadar. Terlalu tenggelam dalam gelap, sepertinya.”

Ibu terkekeh ringan. Gelap. Gelap-nya tak sekadar hitam, ia gulita hingga merasuk ke
dalam sela-sela celah akal sehat Ibu, berkeras merebut kekuasaan nurani waras-nya. Gulita-nya
tersetel tak lama setelah Bapak menapakkan kaki keluar pintu, meninggalkan bekas tanpa
tertarik mengulanginya. Bapakku itu tak kembali, dan Ibu tak berdaya lagi untuk sekecil
kontroversi. Sebab fitnah setan itu diresapinya telah meleburkan cinta dalam Bapak. Seketika,
kuingat ia hanya memenjarakan diri, lupa pada satu insan hidup di sampingnya, dan pilih
mengoyak suaranya menjadi keping-keping teriakan pilu di sebalik pintu kamar.

Jemari lentik nan gemulai kebanggaan dalam meledhek itu dengan perhitungan jarak
dan ukuran menata weh-wehan4 untuk Nyai Sadran, wanita bohai terhormat sebagai kepala-
nya sanggar dan pelaku seni istimewa di Kedungpoh. Panggung beratap untuk ledhek berada
dalam asuhannya dan suatu berita mencengangkan, tempat itu ditata ulang entah apa inginnya.
“Ini tanda, Sekar. Ia masih mengizinkan ledhek menghuni sanggar itu.” Ibu selesai
dengan pengemasan, nampak giduh bersiap mengelap cloreng di muka. Ia mengembangkan
sabit bibir luas-luas. “Ledhek itu Ibuk. Ledhek tidak kotor.”

Weh-wehan itu berlalu bersama tertanggalnya tapak Ibu di belakang, yang bergegas
menukar busana dan mengusir bau bledug dengan wangi kembang. Lesu kutatap bayang
riangnya yang semakin tak menampak. Sebab kini, firasat berusaha menjorokkan-ku mencegat
Ibuk dengan, sederhananya mengacau, memasukan awutan nasi lauk weh-wehan hingga
berjejalan dalam mulut atau menebar butir garam lalu menyatakan kesembronoan itu padanya.
Supaya ia tak beranjak. Dengan menyisakan perasaan ketar-ketir di anaknya ini karena hendak
menemui seseorang dengan potensi tercipta perhelatan sengit tingkat tinggi.

Ibukku penari ledhek milik Kedungpoh. Seorang penting yang bermakna bagi setiap
momen bersih desa, penarik kesuburan dan penjegal musibah. Namun, sejak fitnah merebak
dan permainan sentuh-menyentuh antara penari ledhek dan pengibing yang kelakuannya girang
menyelipkan selembar dua lembar harta ke sela busana, Ibu terciprat getahnya. Olokan ia
penggoda, wanita girang, dan macam lainnya termasuk yang tak etis, turut terlontar tanpa
krama. Atas semua itu, Ibu dicap penyetor kerugian dan malu pada sanggar pun Desa
Kedungpoh. Bahkan Nyai Sadran, pelaku seni yang begitu didengarkan hingga dehamannya,
tega mendamprat Ibu sebagai ledhek murahan.

Alhasil dari bolongnya rentetan rasulan, daun enggan sehijau dulu, panen merosot
terjun bebas, dan bibit penyakit tak jelas mengintip tak pandang bulu pada setiap warga sejak
paksaan Ibu berhenti meledhek. Hal itu tak dikenali, kecuali oleh para sesepuh, yang tahu pasti
bahwa kini orang-orang pun berdempetan hidup dalam persengitan. Hingga yang memedihkan,
pada masanya Bapak hengkang, sebagian dari mereka menggaungkan syukur tak henti ketika
kesedihan itu benar-benar sukses mengerangkeng Ibu dari ledhek.

Geger! Ledhek Kedungpoh kembali bertingkah. Kabar burung menyerukan ia mencoba


mengganggu suami Nyai Sadran di kediaman Nyai sendiri. Seketika, kasak-kusuk pesat
bersulur membuluh ke setiap inci indra kepedulian penduduk Kedungpoh. Mereka tergopoh-
gopoh ke tempat kejadian perkara, bersusah payah lepas dari kesibukan detik itu demi tontonan
siap gosip. Hiperbola tersangka saling bertautan tangan penuh damba mengekor di headline
berita panas satu itu.
Aku bukan lagi tergopoh-gopoh. Seakan ikut maraton, kakiku terpancang untuk melaju
menyaingi kuda. Dadaku seolah digempur, emosiku meluap-luap, dan batinku meneriakkan
‘Ibuk’ sepanjang dua ratus meter perjalanan menemukannya. Sampai tiba pun, rasa-rasanya
nuraniku dihempas, terseret, disaruk-marukkan dalam gejolak tega-betul-mereka-ini. Semua
yang hadir pasti menyaksikan, terhitung aku, bagaimana Ibu berjongkok menjumputi butir nasi
sampai irisan tahu sayur yang tercecer, ditempeli tanah.

Langkah depan mengarungi jarakku dengan Ibu. Telapaknya kuangkat dengan


genggamanku, lepas dari jimpit-menjimpit. Kuajak ia berdiri lantas kutepuk-tepuk tiap
jemarinya. Sungguh, hati anak mana yang tak perih tersayat-sayat menyorot peristiwa ini.

“Lihat betapa mesranya anak ini.” Sebuah intonasi jelek menyapa pendengaranku.
“Anak dari ibu kotor, ledhek malam yang gemar menari tak pantas.”

Kusambut pandang mata sengit Nyai Sadran yang pongah berdiri antara pilar, nampak
telah menanti. “Apa yang kau sebut menari tak pantas, Nyai?”

“Ledhek penggoda, mencoba meraih milik orang ketika miliknya pergi entah kemana,”
desis Nyai Sadran.

“Aku tak melakukan apapun, Nyai!” Ibuku berseru. “Aku hanya ingin memberi weh-
wehan, hormat dan terima kasih-ku untukmu dan panggung ledhek yang dibangun lagi.”

Wanita itu mendengus, lantas ia berteriak. “Hai, Kedungpoh desaku! Kulihat dengan
kedua mata waras-ku ini, ledhek itu memegang tangan suamiku dan menatapnya, memberinya
pandang lemah demi merebut hatinya. Ledhek ini!”

Orang-orang bersorak-sorai, serempak melayangkan persetujuan atas pernyataan yang


tak mesti pernah mereka alami. Mereka melaksanakannya semata-mata sebab Nyai Sadran-lah
penyabda-nya. Bagai kokokan ayam jantan di fajar, suara mereka sahut-menyahut memekakan
telinga dengan ujaran-ujaran yang tak akan pernah mampu mengasihi rapuhnya hati. Hina,
sebegitukah fitnah berjaya mendepak jauh-jauh kebenaran yang sesungguhnya sanggup
ditelaah mata telanjang?

Dada Ibuk tampak nelangsa. Daya getar dari ketangguhan yang diupayakan jiwanya tak
mudah disambut batin yang telah melemah sejak peristiwa Bapak. Ia menata napas, jelas
mendorong diri mengumpulkan puing-puing tangguh dan menatap segala mata yang lisannya
masih sibuk bersorak. “Ledhek tidak kotor!”
Suara massa seakan disekap. Ibu mengusap kasar air yang mengular di pipinya. “Fitnah!
Aku sungguh-sungguh tak pernah! Sekalipun! Meski sekali saja, tak pernah aku berani menatap
mata pengibing-ku. Dua tahun sudah! Fitnah itu memakan kalian semua. Menghanguskan sisa
kejujuran antara kita, Kedungpoh!”

Massa diam merenungi, tetapi Nyai Sadran berhasil menghalau renungan itu. Ia tertawa
sinis. “Lalu apa yang aku lihat? Adegan drama? Akting murahan di desa pertanian? Apakah
kini ucapanku, Nyai Kedungpoh, ialah bohong semata karena cicitan ledhek?”

Nyai Sadran turun dari teras rumahnya. Dengan setiap tapak berjarak satu detik lebih,
ia menghampiri sebagaimana ular meliuk. Kuambil satu jejak di depan Ibu, menghalangi
wanita itu andaikata ia bersitegang. Kami menukar selayang pandang tajam.

Ku-berbisik lirih. “Kau adalah pelaku seni pula, Nyai. Aku percaya kau takkan—“

“Diam kau, Bocah Wingi Sore. Setiap lisanan-mu itu tak didengar di sini. Ini masalah
dewasa dan sadari saja apa yang sedang berlangsung.” Tanpa tedeng aling-aling, ia
mengeraskan suara memperingatkanku.

“Aku sadar betul apa yang sedang berlangsung, Nyai. Ledhek adalah tradisi, ritual
sakral Jawa yang murni,” kataku tak gentar.

“Benarkah?” Nyai Sadran menelengkan kepala, simpul senyumnya tercipta. Tiba-tiba,


seruan demi seruan menciutkan ketegaranku sebab kejut menyerangku tanpa aba-aba.

“Hilangkan ledhek! Hilangkan ledhek!”

“Tak perlu lagi ada! Dosa siapapun melihatnya!”

Miris, kujeritkan sisa ketegaran. “Ledhek tak pantas punah! Ia pelengkap Kedungpoh!
Tradisi kehormatan kita!”

Sejerit-jeritnya itu, tak ada yang sudi mengulik suaraku, kecuali Nyai Sadran yang kini
menghapus inci dari jarak muka kami. Ia berdesis, “Ledhek memang tak boleh kemana-mana.
Namun tidak dengan Ibumu, maupun kau.”

Meski ku-tak menangkap persis apa mau Nyai Sadran, sejak saat itu batinku memelik
dan senantiasa bergelora untuk kebenaran yang dikurung fitnah. Pun tentang kisruh silat-sifat
dengannya, Nyai Kedungpoh.

-
Indhang adalah roh leluhur yang sedia menjadi bayang kedua, mengarahkan tiap lentik
gemulai gerak tiap-tiap ledhek di babakan sendiri. Kadang tak henti hanya menari sampai
semalam suntuk, ia mampu nyinden dengan nada mengagumkan bila-bila raga ledhek itu
sanggup. Indhang menyatu dengan ledhek, pun pedalaman jiwa penarinya. Mereka saling
mengecap, merasakan negatif dan positif ulu hati. Bilamana negatif mendominasi, Indhang
menjelma reog seketika, meski dasarnya ledhek menari halus lembut nan cantik. Dan tak sedikit
ledhek yang telah masak, berakhir tanpa disamperi Indhang sebab juta alasan yang tak tetap.

Pemikiran atas ingatan dongeng Ibuk berenang-renang mengisi perkara utama di


kepalaku. Ingatan seminggu terakhir ikut terpancing, berputar kala fitnah-fitnah tak masuk akal
lain datang berserakan terus memojokkan Ibu. Satu tentang bagaimana Ibu menolong pakdhe
yang tersungkur di got, jatuh entah bagaimana, menjadi Ibu menabrak pakdhe dengan sengaja.
Dua, paklik yang tersenyum beramah-tamah pada Ibu, dibalas balik lalu diplesetkan dapat Ibu
tersenyum pada lelaki lain, usaha goda-menggoda. Dan tiga, dan empat, lima, lalu enam,
seterusnya mengantri untuk diketahui, seakan itu adalah kronik berpengetahuan.

“Jadi, kau ingin meledhek?”

Saat ini, aku duduk manis di atas bangku bambu berplitur gelap menghadap Mbah
Tuwo, sesepuh Kedungpoh yang bahkan lebih digagas dibanding pejabat desa setempat.

“Betul, Mbah. Beri aku satu malam saja, dan biarkan aku membuktikan apa yang ingin
kutampakkan untuk warga Kedungpoh,” ucapku mantap. “Selama masih bisa.”

Mbah Tuwo menyeruput teh tua, mengusap payah kulit kerut tujuh puluh tahun lebih-
nya. Meski samar, kerut tambahan mengisi ruang di dahinya, menerangkan ia berupaya
menimbang pas. Lantas kembali ia menatapku dua mata.

“Apa maumu?” tanyanya ayem.

“Ledhek bukan hal kotor, murah, rendah, semuanya yang warga lontarkan. Tiap-tiap
dari mereka, dan kini aku, hanyalah pelaku tradisi. Tradisi demi desa dan kemakmurannya atas
Dewi Sri. Bukankah Mbah Tuwo lihat bagaimana kita sekarang? Dua tahun, ledhek absen. Dua
tahun pula petani merana dan melarat sepanjang tanggal berlalu. Kami melengkapi desa, bukan
melecehkannya.” Kutumpahkan segala unek-unek, biarlah anak wingi sore ini bicara kala bisa.

Mbah Tuwo angguk-angguk. “Ya. Lalu apa yang akan kau lakukan? Menari garang?”
Kuhela napas. “Akan kutunjukkan bagaimana ledhek akan berubah dan menolak
tuduhan tak benar pun lontaran sengit yang tak pernah pantas untuk kami.”

“Bagaimana bila warga yang menolak? Dan tak memercayai kata-kata besar dari
bibirmu, meski itu begitu benar dan meyakinkan? Kau masih remaja, tak cukup 'tuk menggiring
opini Kedunpoh, Sekar. Bahkan detik ini, Mbah malah khawatir padamu.”

Mulutku terkatup. Semangatku yang menyala-nyala agaknya hendak menyusul lilin.


Mbah Tuwo memanah celah yang pas untuk menggoyah. Namun, dipancang cuilan memori
tentang Ibu, aku menegakkan punggung dan menampar was-was. Masih tinggal harapan, cerita
tentang keajaiban dan pedalaman jiwa.

Netra coklatku merangkak ke atas, tepat pada manik gelap abu-abu Mbah Tuwo,
menyorot dalam tekad membeludak. “Bukan aku yang akan berbicara. Ia berhak dan kuterima
untuk membela lakon ledhek. Sebab sejak awal, yang paling tahu bukanlah kita, tetapi ia.”

Mbah Tuwo jelas meresapi makna setiap detail suku kata yang berhasil kunyatakan.
Sejenak, ia sunyi tak nampak bergagasan. Namun sekelip mata kemudian, ia tersenyum dan
manggut-manggut tanda lolos untukku, berhasil dalam negosiasi tersudut. Tak ingin menyia-
yiakan detik, aku melayangkan terima kasih terdalam lalu beranjak gegas hendak pulang.

Namun, suara serak Mbah Tuwo mencegahku. “Kau pasti melakukan ini untuk Ibumu.”

Sebentar, aku menerawang. Lalu, kuputar muka dengan senyum pasti. “Dan saudara
ledhek-ledhek-ku di seantero Jawa yang hidup dibayangi stigma negatif tak betul itu.”

Gendhing gamelan mengalun halus masuk ke dalam pendengaranku. Gendang


berdendang, gong dan kenong melolong, diikuti suling yang melengking menggugah suasana
panggung. Babak pertama, jemariku begitu lemah gemulai mengikuti alunan gending. Semua
mata terpancang hanya padaku. Aku menari selamat datang, menatap ke semua warga yang
hadir, termasuk Nyai Sadran. Para pengibing mulai maju ke depan, menari mengelilingiku
dengan uang-uang yang melambai.

Seseorang berusaha meraih selendangku, melihat celah kemben-ku. Ia mendekat


dengan gerakan tari luwes menyamaiku. Sejenak ia mengambil ancang-ancang, hendak
menaruhnya di sela mana saja. Lalu lengannya terulur dan dengan sigap kutangkap
pergelangannya, kujatuhkan uang itu ke lantai. Penonton terkesiap, bahkan pengibing yang ada
mulai beranjak turun panggung.

Tak ingin berlama-lama, aku mengentakkan kaki mengarahkan pemain gamelan untuk
berpindah gendhing. Optimis, kuucapkan deretan kata-kata mantra yang telah diajarkan Ibuk.
Telah kuserahkan, apakah aku dapat menerima kedatangan Indhang untuk kebenaran atau tidak.
Aku pasrah, benar pasrah.

Hingga badanku seakan disusupi, segar sekali. Aku mengentak, menari tanpa tenaga
seakan bukan aku yang menggerakannya. Gemulai sangat, dengan gerakan yang begitu
memesona bahkan tak pernah dilakukan oleh ledhek yang ada. Gerakan yang mengeksplorasi
tiap jengkal tubuh.

Lalu entakan halus lagi. Tiba-tiba, serentak beberapa pria langsung berdiri, menatap
kosong ke depan, ke arahku yang menari bebas. Lalu aku bersiul, mulai menyenandungkan
lirik demi lirik asing, bukan inisiasi-ku.

“Ledhek mikat wong sing lali,

Lan kurang ing beciking.”

(Ledhek memikat orang yang lupa

Dan kurang kebaikan)

Warga Kedungpoh yang hadir terkesiap. Mbah Tuwo berdiri, mulai berlutut, dan
menyatukan tangan memberi hormat. Nyai Sadran sontak beranjak dari duduknya, menunjukku
dengan bengis.

“Bohong! Kau berpura-pura!”

Sekercap, jiwaku terasa marah. Aku menari menghentak dengan penuh angkara murka
dan melotot.

“Meneng! Uwong kang ora tulus,

Ledhek kanggo kowe ora pantes!”

(Diam! Orang yang tidak tulus

Ledhek tidak pantas untuk kamu!)


Kedungpoh pun geger. Mereka kini sadar akan gelagat Nyai Sadran dan teringat bahwa
ialah ledhek kedua yang gagal milik Kedungpoh ketika masa kejayaan Ibu Sekar.

Empat puluh delapan jam sejak ledhek menyilaukan Kedungpoh dengan kebenaran
terkuak, berita susul-menyusul di langit-langit angkasa desa. Bungah raya, mendadak daun
sehijau kontras dengan tanah hingga orang dengan sakit lama tak jelas mulai beranjak memberi
perkembangan membahagiakan. Warga-warga desa berlomba-lomba menjabat tanganku,
berharap penuh mendapat anugerah apapun itu. Hingga kini, di depan mataku di meja makan,
satu wadah besar weh-wehan bertengger di sana. Dan sepucuk surat, dari Mbah Tuwo.

Oleh Bapak. Gemetar, kueja baca isinya. Tak kuasa, rintihan tangis ini benar-benar
berengsek membuatku agaknya lemah dan kalah.

Bukankah bagus panggung buatan Bapak? Ternyata membangun panggung saja begitu
mahal. Paling tidak, itu cukup untuk menjadi penyinar putriku, Sekar. Ibumu cukup sampai di
sini dan beristirahat santai saja dengan Bapak di emperan rumah, menunggumu setiap hari.
Maafkan Bapak, Sekar.

Bahuku bergetar. “Pulanglah, Pak. Rayakan rasulan dengan kita.” Lalu siluet kekar
menghalangi sorot cahaya dari pintu depan, melangkah mendekat. Pulang.

Anda mungkin juga menyukai