Anda di halaman 1dari 218

1.

Yang Terabai

BUNGA-BUNGA anyelir bermekaran di taman terbuka


yang terletak di dalam rumah. Taman itu diapit ruang dan
kamar di empat penjuru. Sehingga, dari jendela kamar da-
pat terlihat kalau di pagi itu warna merah anyelir mencolok
akibat dibasuh hujan ringan menjelang fajar. Tapi, keindah-
an itu hanya lewat begitu saja bagi Siska. Rusuh di hatinya
tak membuatnya ramah terhadap bunga-bunga itu. Kali ini
ia abai untuk melihat-lihat, mencermati, atau sesekali me-
nyiangi tetumbuhan liar di sekitar taman seperti yang se-
ring ia lakukan. Ricik suara air terjun mini di taman itu
malah membuat langkahnya semakin lebar.
Mencangklong tas kuliah dengan muka manyun Siska
bergegas melewati koridor di samping taman menuju ruang
depan untuk kemudian membuka pintu utama. Dari balik
kaca ia telah melihat Honda Jazz-nya telah siap di depan
pintu. Menuruni trap teras depan ia disambut oleh seseo-
rang. Ia seakan tak percaya bila mulai hari itu Pak Rahmat,
sopirnya yang telah melayaninya sejak kelas 4 SD, sudah
tidak lagi bekerja pada keluarganya. Kini seorang sopir baru
yang telah direkomendasikan Pak Rahmat kepada papah-
nya telah berada di hadapannya. Ah, karena ketergesaannya

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 1


Siska bahkan lupa pamitan kepada papahnya. Dan, inikah
sopir baru itu? Sekelebat batinnya terkesima. Namun, ia
merasa ragu apakah dia bisa sebaik Pak Rahmat.
HP Siska berdering saat sopir baru itu membukakan
pintu untuknya dengan sapaan, “Selamat pagi, Non. Sila-
kan!” Beberapa kata lagi diucapkan oleh sopir baru itu na-
mun luput dari perhatian Siska karena ia lebih berkonsen-
trasi pada hp-nya.
“Halo, halo…!” Siska merapatkan hp ke telinganya
sambil meletakkan tas dan mengatur duduknya. “Halo, ha-
lo… ada apa, As?” Dalam kesempitan waktu ia masih sem-
pat memberi perintah kepada sopirnya, “Ke kampus, univ
Satya Mulia Brata.”
“Baik, Non,” sambut sopir itu.
Mobil itu melaju dengan tenang, tapi Siska sepertinya
lebih nyinyir dengan hp-nya.
“Ya, aku sudah dalam perjalanan.”
Terdiam sesaat, mendengarkan suara dari hp-nya.
“Gak! Aku gak mau kompromi! Dia itu keterlaluan!”
balas Siska dengan ketusnya.
……………………………
Dia pikir dia itu siapa?!”
……………………………
“Simon suka padaku? Itu kan urusan dia?!,” balas Siska
tanpa sungkan-sungkan dan tak peduli ada sopir baru.
……………………………
“Asisah, Asisah…! Bagaimana sih kamu ini? Ini artinya
pelecehan terhadap kegiatan sosial kita. Kita sudah setulus-
nya membentuk kepanitiaan untuk menghimpun dana buat
korban banjir. Sayang sekali kau tidak lihat kemarin, ter-
nyata paket bantuannya tidak pantas untuk disumbang-
kan!”
……………………………
“O, kamu gak tahu ya? Sumbangan dia dalam bing-
kisan itu berupa pakaian yang tidak pantas pakai! Tidak

2 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


pantas! Masa, pakaian-pakaian kumal, handuk yang robek-
robek, bahkan cd-cd… maksudku celdam-celdam bekas dan
kotor mau disumbangkan?!”
……………………………
“Aku berhak marah! Untung sumbangannya terjatuh
sehingga bungkusnya robek dan isinya berantakan. Keta-
huan dia. Isinya sampah. Memangnya korban bencana itu
tempat buang sampah?!”
……………………………
“Sudah, sudah! Nanti kita lanjutin!”
Dihempaskan punggungnya pada sandaran dan meng-
hela nafas berkali-kali.

***

BAGI Siska, rusuh di hatinya sejak bangun tidur itu


disebabkan oleh dua hal.
Yang pertama, ia terlarut dalam sedih. Kesedihan itu le-
bih disebabkan oleh hilangnya Pak Rahmat dari kehidupan
lingkungan keluarganya. Ah, orang tua itu, Pak Rahmat,
sudah sedemikian akrab dengan dirinya. Bahkan, boleh
disebut sebagai pengganti papahnya. Atau setidaknya seba-
gai papahnya yang kedua.
Pak Rahmat seorang sopir pribadi pada keluarganya
yang sangat mengerti bagaimana memperlakukan dirinya
bila menghadapi situasi dan suasana tertentu. Di kala ia se-
dang tidak enak badan, Pak Rahmat tahu dan langsung
mengajaknya berobat atau memberinya saran untuk istira-
hat. Ketika ia sedang marah Pak Rahmat menghiburnya
dengan nasihat-nasihat yang bijak. Kadang diungkapkan
dengan mendongeng atau bercerita tentang kisah-kisah
yang lucu yang nyatanya bisa menenteramkan hatinya. Bila
suasana hatinya sedang dilanda kesedihan, Pak Rahmat
langsung mencarikan suasana lain agar hatinya terhibur se-
hingga pupus kesedihannya. Tak jarang Pak Rahmat tiba-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 3


tiba mengarahkan mobilnya ke suatu tempat yang dapat
sejenak melupakan kegundahannya. Ke gunung atau, yang
agak lebih jauh, ke pantai, acap menjadi tujuan Pak Rahmat.
Ke mana pun, Siska hanya menurut saja.
“Lihat, Non Siska, pemandangan yang menghampar
hingga berbatas dengan langit itu. Di sana ada hutan, su-
ngai, sawah ladang, rumah-rumah, gedung-gedung yang
tampak begitu indah. Tapi ketahuilah, keindahan itu hanya
semu, hanya yang tampak saja. Kalau diamati lebih dalam
ternyata menyimpan kepalsuan, kekejaman, dan bahkan
kejahatan,” kata Pak Rahmat suatu ketika dari sebuah ke-
tinggian gunung. Ketika itu mereka duduk berdampingan
sambil memandangi keindahan alam suatu sore. Siska yang
masih SMP ketika itu belum paham benar akan makna yang
diungkapkan Pak Rahmat. Siska hanya menyandarkan ke-
palanya dengan manja pada lengan Pak Rahmat.
“Laut tak pernah menyerah, walau setiap saat sepan-
jang waktu menghadapi hembusan angin. Angin yang lem-
but disikapi dengan mengombakkan riak gelombang yang
indah. Sedangkan serangan angin badai disikapi dengan
meluapkan gelora yang dahsyat,” kata Pak Rahmat sambil
membetulkan letak kopiahnya.
Saat itu Siska yang sedang kesal hati diajak Pak Rahmat
main ke pantai.
“Demikianlah kehidupan, tak terkecuali hidup manu-
sia, selalu dihadang oleh kesulitan. Manusia tidak boleh
langsung menyerah, melainkan harus selalu berusaha mem-
perjuangkan hidupnya agar tidak terhempas oleh badai ke-
hidupan,” lanjut Pak Rahmat yang juga belum dapat dipa-
hami oleh Siska.
Acap kali Pak Rahmat menggoda juragan kecilnya. Se-
perti saat Siska bercerita tentang teman SMP-nya ketika itu.
Ivan, teman sekelasnya yang baik hati dan suka meminjami
buku kepadanya.

4 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Buku-buku apa saja yang dipinjamkannya?” tanya Pak
Rahmat.
“Macam-macam. Ada novel-novel detektif karya Aga-
tha Christie, ada komik-komik wayang, tapi yang banyak,
seperti buku yang Pak Rahmat sukai. Buku-buku sastra!”
“Contohnya?”
“Antologi puisi Deru Campur Debu, Matabunga, Bersiap
Menjadi Dongeng, Tembang Tembakau. Lalu, novel Laskar Pe-
langi, pokoknya banyak deh!”
“Baik hati sekali tuh Ivan.”
“Banget!”
“Anaknya ganteng, tidak?” kejar Pak Rahmat.
“Ya, ganteng juga sih!” jawab Siska bersemangat.
Pak Rahmat mengeluarkan tawanya yang khas, heh heh
heh heh…
“Hayo…, Non Siska, kecil-kecil sudah pacaran yaaa
…?” goda Pak Rahmat.
“Hiii… gaaak….!”
“Iyyaaa….!”
“Gak! Gak! Gaaak….!” Jerit Siska sambil memukul-pu-
kulkan tinjunya ke lengan dan punggung Pak Rahmat.
Penyebab rusuh hati Siska yang kedua, ia terseret oleh
jengkel dan marah. Hal ini terjadi pada Siska dimulai ketika
kemarin terjadi insiden di tempat ia bergiat di kampusnya.
Sebuah bungkusan cukup besar terjatuh dari tumpukan
paket-paket yang direncanakan segera dikirim ke tempat
pengungsian di kota tetangga. Kota itu sedang dilanda ben-
cana banjir. Ribuan korban sedang menantikan uluran ta-
ngan dari segala lapisan masyarakat.
Bungkusan yang terjatuh itu dikemas dari kertas dan
tali yang kurang memadai sehingga isinya berantakan. Ma-
ka terbongkarlah “rahasia” si penyumbang yang ingin me-
lakukan “illegal-exporting,” penyelundupan, atau apa pun
istilahnya. Isi bungkusan itu berupa pakaian yang kurang
pantas untuk dipakai dan kurang etis untuk disumbangkan.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 5


Ketika mau membenahi pakaian-pakaian yang bersera-
kan itu teman-teman Siska terkejut. Irma, Joko, Margaret,
dan Theresia tak menyangka akan keadaan isi bungkusan
itu.
Bahkan Irma menjerit. “Apa ini?!” kemudian, “Uah…!
Handuk kotor! Ini…, ada celana cukup baik, waah… jeans
bolong-bolong, baju-baju lusuh, kaos-kaos kumal, rok-rok
dan daster-daster yang sudah pudar warnanya, celdam
lusuh… ada beberapa buah celdam… terus ini… hah!....
astaga!... beha-beha lusuh… dan…,” Irma sengaja memberi
hiperbola, “huek!, bau lagi!”
Mereka yang berada di ruang yang digunakan sebagai
gudang sementara itu menjadi riuh dengan gelak tawa.
Tawa mereka semakin meledak ketika Irma mengang-
kat tangannya tinggi-tinggi menunjukkan sebuah sisir bekas
dengan beberapa giginya yang sudah tanggal. “Dan ini se-
buah… sisir Aladin!”
Sebagai ketua panitia, Siska merasa penyumbang yang
bungkusannya terjatuh berantakan itu tengah melakukan
pelecehan terhadap panitia. Sulit diterima kalau alasannya
bukan karena faktor kesengajaan. Ini sama saja artinya de-
ngan kolaborasi antara dua pepatah menikam dari belakang
dan menggunting dalam lipatan. Ia merasakan jantungnya di-
tusuk dan mukanya disiram air panas.
“Sialan! Siapa sih yang mau nyumbang barang-barang
kayak gini?”
Joko yang ada di situ menyahut, “Simon!”
Theresia menimpali, “ Iya, betul, aku tahu sendiri, itu
dari cowok elu! Hik hik hik…”
Muka Siska semakin merah padam.
“Telepon dia. Suruh barang-barangnya dia bawa pu-
lang!”
“Masa harus begitu, bawa pulang?” tanya Margaret.
“Iya, kecuali mau mengganti barang-barang sumbang-
annya dengan yang lebih pantas.”

6 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ya, ya… coba aku hubungi dia,” Joko mencoba me-
nyelesaikan masalah. Dia telepon Simon hingga beberapa
tanya jawab terjadi. Setelah itu…
“Simon tidak ada kuliah hari ini,” kata Joko melirik ke
arah Siska dengan masih menempelkan hp di telinganya.
“Suruh dia datang ke sini pagi-pagi besok,” kata Siska
layaknya memberi instruksi kepada bawahannya.
Pagi harinya Simon memang datang. Dia lantas dike-
rubungi oleh beberapa anggota panitia. Seperti koruptor
yang akan memasuki ruang sidang ia dikerubuti para war-
tawan yang membombardir dengan berbagai pertanyaan.
Mengapa barang-barang sumbangannya berupa pakaian be-
kas yang kurang layak dipakai. Kenapa sebagian barang-
barangnya tidak dicuci dulu. Mengapa pakaian yang robek-
robek disertakan. Apakah tidak dicek dulu.
“Kita kan tergesa-gesa. Kalau ada sumbangan pakaian
yang kotor kan mereka bisa mencucinya? Kalau mereka bu-
tuh, bukan berarti menuntut sumbangan barang-barang
yang baru. Kalau mau yang baru, pergi ke supermarket
dong!” balas Simon.
“Jangan nyelekit kalau ngomong. Mereka kan korban
bencana? Mereka sedang kesusahan. Siapa sih yang mau
jadi korban?” tukas Joko.
“Lagian, apakah cuman sumbangan gue yang berupa
pakaian kurang layak? Coba deh, cek sumbangan dari yang
lain,” tangkis Simon lagi.
“Mau bandingkan dengan sumbanganku? Silakan di-
cek!” tantang Irma.
“Atau mau ngecek sumbanganku?” Theresia ikut me-
nantang.
“Atau bandingkan dengan sumbanganku?” Azizah me-
nimbrung.
Atau sumbanganku, kata Joko. Atau sumbanganku, ka-
ta Bram. Atau sumbanganku, kata Jimmy. Atau sumbang-
anku, kata beberapa lainnya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 7


Simon semakin tersudut.
“Sudahlah, memang bantuan kamu kurang layak. Si-
lakan bawa pulang saja! Siang ini semua paket akan dikirim
Joko dan teman-teman lain,” Siska berusaha tegas.
“Tidak, gue nggak mau bawa pulang. Terserah mau ka-
lian apain bungkusan itu!” Simon semakin ketus.
“Itu artinya, kami kauanggap sebagai jongosmu untuk
membuang barang-barang ini ke tempat sampah?” sergah
Siska. “Huh, dasar laki-laki tak punya tanggung jawab!”
“Dan elu, kaukira elu ini siapa? Jadi ketua panitia Pe-
duli Bencana Alam saja sudah sok!” dengan menuding-
nuding Simon meluapkan amarahnya.
Siska jadi semakin naik pitam.
“Sudah, sana pergi! Dan jangan dekati aku lagi!”
“Elu pikir cuman elu cewek yang cakep di univ ini?
Huh!”

***

PULANG dengan membawa sukses pengumpulan ban-


tuan untuk korban banjir tidak membuat hati Siska menjadi
tenteram. Yang terjadi justru sebaliknya. Hatinya diliputi
sisa-sisa ketegangan sehabis bertengkar dengan Simon. Le-
laki yang cukup dekat dengannya. Mereka memang belum
jadian. Belum. Tapi Siska mengakui, lelaki itu memiliki pe-
sona yang lain dibanding teman-teman lelakinya.
Sejujurnya Siska menilai, Simon memang tampan. Ku-
litnya putih sebagaimana dirinya. Mata Simon tidak terlalu
sipit tapi memiliki pandangan mata yang sayu, romantis
dan sedikit nakal. Barangkali itulah yang membikin kuat
pesonanya bagi cewek-cewek di kampus. Entah Siska jadi
gadis ke berapa yang bisa bangga jalan bareng atau makan-
makan di kafe bersama lelaki yang terkenal kaya, perlente,
dengan rambut undercut itu. Selain itu, dalam hal apa pun,
Simon juga biasa melancarkan serangan yang lugas.

8 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Siska, lu cakep!”
Siska merasa saat itu, di sebuah kafe, tiba-tiba tanah
yang dipijak berguncang dengan dahsyat. Selangsung itu
Simon menembakkan pelurunya. Kata-kata jadi gamang
untuk meloncat dari mulut Siska.
“Siska, lu cakep. Nyadar, nggak?” ulang Simon
“Halah, ngrayu…!” Siska menyembunyikan bunga
mekar di hatinya dengan menyedot jus alpukatnya.
Simon melancarkan peluru lainnya. Senyum dan pan-
dangan matanya memang sering bikin kelimpungan cewek-
cewek. Apalagi kalau sedang sedikit mendongakkan kepala
sehingga lekukan dagunya terpampang tegas.
“Siska, lu mirip Miyabi.”
“Apa? Jangan kurang ajar, kamu!” sergah Siska. Kata-
kata Simon itu membetot jantung beriring rasa bangga
teraduk dengan kekesalan. Sialan, dirinya dikatakan mirip
bintang p***o Jepang. Padahal teman kuliahnya, Theresia,
pernah bilang, Siska cantik mirip bintang film Korea Song
Hye Kyo. Bahkan, teman dekatnya, Azizah, mengatakan
wajahnya mirip Chacha Frederika. Hihihi, bagaimana
mungkin, wajah Song Hye Kyo dan Chacha Frederika kan
berbeda jauh?
Namun, hati Siska saat itu semakin resah. Ia juga ke-
cewa dikarenakan teman lelakinya itu ternyata menyimpan
perangai yang kurang terpuji. Kekagumannya terhadap le-
laki itu menjadi menipis kalau tidak boleh dibilang luntur
sama sekali.
Siska pun menyadari seharusnya tidak boleh terjadi
pertengkaran dengan Simon tadi. Kalau ada salah seorang
yang mau sedikit merendahkan suaranya dan mulai berbi-
cara memecahkan masalah secara baik-baik, kejadian selan-
jutnya bisa menjadi lain. Benarkah karakter seseorang akan
melekat selamanya, tidak dapat berubah? Simon, akankah
engkau mau berubah? Ah, bubur telanjur tumpah.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 9


“Langsung pulang, Non?” tanya sopirnya ketika mobil
telah melaju.
“Ya.” Siska menjawab dengan ogah-ogahan.
“Tidak mampir ke mana-mana? Belanja atau apa?”
“Gak!”
Maka mereka yang di dalam mobil itu berdiam-diaman.
Siska merasa lebih baik tidur saja. Tapi matanya tak juga
pejam. Apalagi perjalanan pulang yang hanya memakan
waktu cukup 20 menit kini sudah ditempuh seperempatnya.
Dapat tidur separuh waktu sisanya bukan tidak mungkin
malah bikin tambah pusing. Maka Siska hanya bisa be-
berapa kali menghela nafas.
“Sedang marah, Non? Atau sedih?” tanya sopirnya se-
pertinya mencoba berbasa-basi untuk mencairkan suasana.
Siapa tahu mampu mencairkan hati juragan cantiknya.
Siska diam saja. Cuekin saja si sopir tak tahu diri itu.
“Non Siska habis bertengkar ya? Dengan cowoknya?”
Sebongkah kejengkelan menambah beban di hati Siska.
“Halah, mau mencampuri urusan orang lain saja?!”
bentak Siska. “Sekali lagi kamu mencampuri urusan pri-
badiku, aku tak akan pakai kamu lagi. Kamu kan sopir. Nu-
rut saja perintahku!”
“Maaf, maaf, Non. Iya, iya,” si sopir menjawab dengan
ketakutan.
Tiba-tiba bayangan Pak Rahmat muncul dalam benak
Siska. Seandainya orang tua itu masih menjadi sopirnya, tak
usah ditanya, ia pasti mencurahkan segala persoalan kepa-
da orang tua itu. Dan orang tua itu akan memberinya se-
suatu yang yang teramat berharga. Siska jadi menyesali
mengapa anak sulung Pak Rahmat yang katanya sudah jadi
orang mengajak semua keluarganya pindah ke Samarinda.
Pak Rahmat. Pak Rahmat. Beberapa pekan yang lalu Pak
Rahmat untuk pertama kali menyampaikan pamit kepada-
nya. Saat itu hati Siska seakan terluka dan tak kuasa mena-
han lelehan airmata.

10 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Ya, Pak Rahmat memang hanya seorang sopir. Hanya
sopir. Tapi kini dalam hati Siska sejujurnya merasa ada se-
suatu yang kurang, sesuatu yang hilang. Tidak akan ada
lagi nasihat yang menyejukkan. Tidak akan muncul kembali
canda yang menyenangkan. Pemandangan indah dari le-
reng gunung telah terbang. Ombak-gelombang yang meme-
cah di pantai telah musnah. Dan saat ini air bening itu pun
kembali merembes dari mata yang indah.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 11


2.
Yang Tersia

SISKA bersimpuh di samping papahnya seakan mera-


juk kepada orang yang paling ia sayangi. Tangannya me-
megang, mengelus dan mencium tangan yang berurat halus
dan terasa tidak lagi kukuh. Lelaki setengah umur itu men-
diamkan saja. Bahkan setelah itu ia pun membalas menge-
lus rambut anak gadisnya. Pemandangan seperti itu ter-
pampang hampir setiap pagi sebelum Siska berangkat ku-
liah.
Setiap menatap wajah Siska yang memiliki rasa sayang
yang sedemikian dalam kepadanya, di hati Papah Siska
bergulir rasa iba dan haru. Walaupun dirinya sebagai orang
tua dan sebagai ayah memiliki banyak keterbatasan, tapi
kasih sayang tuntas ia curahkan kepada anak semata
wayangnya. Kalau ia menasihati, ia tanamkan dalam jiwa
anaknya yang harus membiasakan bersikap sopan kepada
orang tua, sanak famili, guru-guru, dan siapa saja, tak
terkecuali sopir dan bahkan para pembantu.
“Maaf, Pah. Kemarin Siska lupa pamit pada Papah.”
“Sudahlah, tidak apa-apa. Manusia tempat khilaf dan
salah.”

12 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Kemarin Siska terburu-buru hingga lupa sama Papah.
Barangkali itu sebabnya Siska mendapat pengalaman yang
tidak enak.”
“Bisa lebih dijelaskan?”
“Kemarin Siska bertengkar dengan seorang teman.”
Papah Siska tersenyum.
Kata Papah Siska, bertengkar itu biasa. Yang penting
secepatnya bisa damai lagi. Untuk damai lagi harus ada
yang mau mengalah. Lebih baik yang salah secepatnya
minta maaf.
“Kalau yang salah tidak mau minta maaf?” tanya Siska.
“Yaah…,” Papah Siska menghela nafas, “mengapa bisa
begitu?”
“Karena yang salah keras kepala.”
“Kalau begitu, yang tidak salah mengalah meminta ma-
af.”
“Kok gitu?”
“Ya memang harus begitu. Mau cari damai atau cari
musuh?”
Merasa kurang puas dengan solusi papahnya yang di-
rasa kurang adil, Siska mengejar dengan pertanyaan.
“Kalau yang tidak salah sudah mengalah minta maaf
kepada yang salah, tetapi yang salah tetap tidak mau diajak
damai, bagaimana?”
Papah Siska tertawa lirih.
“Hehehehe… ya sudah. Biarin saja. Yang penting sudah
ada niatan untuk damai. Jauhi saja orang seperti itu supaya
tidak terjadi pertengkaran berikutnya. Orang yang hatinya
damai akan penuh ketenangan, sedang yang salah dan
mencari permusuhan akan selalu tersia.”
Siska tercenung sejenak.
“Ah, Papah memang luar biasa. Siska bangga punya
papah yang memiliki pandangan yang selalu positif.”
Papah Siska kembali mengulurkan senyum.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 13


Siska tak tahan untuk tidak memeluk papahnya. Yang
dipeluk membalas dengan hangat.
Benar, Siska bangga memiliki papah yang kepribad-
iannya baik dan bijak. Walaupun kaki papahnya lumpuh,
tidak mampu berjalan dan harus duduk di kursi roda, lelaki
itu masih menampakkan ketegaran dan tanggung jawab
sebagai seorang ayah.

***

YANG UTAMA harus Siska lakukan mulai hari ini


adalah meminta maaf kepada mereka yang ada masalah
dengannya. Maaf-memaafkan? Hihihi… seperti yang per-
nah ia alami, mendapat salaman dan permohonan maaf dari
teman-teman muslimnya saat hari raya Idul Fitri.
Sudah barang tentu orang pertama yang mendapat
durian runtuh adalah si sopir. Sopir baru itu tak menyangka
akan disapa dengan baik oleh juragan cantiknya.
“Siapa namamu?” tanya Siska setelah mobil keluar dari
halaman rumahnya.
“Saya? Kemarin kan sudah saya perkenalkan nama
saya?”
“Kemarin? Ooo, kemarin itu aku baru terima telepon.
Kamu ngomong apa, aku gak tahu.”
“Kalau begitu, maaf, Non Siska. Nama saya Arif.”
“Arif siapa?”
“Maksudnya?”
“Nama lengkapmu?”
“Arif Muhammad Yusuf.”
“Arif Muhammad Yusuf,” ulang Siska. Hmm, nama khas
Islam.
“Sejak kemarin kok memanggilku Non Siska, tahu dari
mana?” tanya Siska.
“Dari Pak Rahmat dan dari papah Non Siska, Tuan
Hendra Hendriatmana.”

14 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Hah, tahu nama lengkap papahku. Sebelum melontarkan
pertanyaan lagi si sopir, Arif, berkata.
“Dari Pak Rahmat juga saya mendapat info nama leng-
kap Non Siska, Fransiska Adrianasari.”
Hah, nama lengkapku dia ketahui juga.
“Rif, umurmu berapa?”
“Dua puluh empat.”
“Sudah berkeluarga?”
“Ahaha… belum, Non.”
“Kenapa?”
“Ya…, belum ada yang cocok. Atau belum ketemu
jodoh barangkali.”
“Mungkin kamu punya kriteria yang terlalu tinggi.”
“Nggak juga, Non.”
“Rif, sekolahmu… maksudku, pendidikan terakhir-
mu…?”
“Hmm…, saya cuma lulusan SMA,” jawab Arif antara
ragu dan merasa rendah diri.
“Yah…, SMA juga cukup bagimu. Kalau pengin maju,
kamu harus suka baca. Baca apa saja yang berguna. Selain
bisa menambah pengetahuan, barangkali ada ilmu yang
bisa menambah keterampilanmu. Siapa tahu bisa menjadi
sumber penghasilan dan meningkatkan taraf hidupmu. Dan
bisa untuk bekal kamu di suatu saat kamu ingin menikah
atau … kuliah.”
“Setuju, Non,” sambut Arif dengan tersenyum.
“Amiin…,” lanjutnya lirih.
Seperti Pak Rahmat juga, bisik hati Siska.
Arif tak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Jura-
gan cantiknya ternyata baik hati juga. Dan, mulai terbuka.
Pasti kemarin sedang jengkel.
“Rif…”
“Ya, Non,” jawab Arif senang.
“Maafin aku ya! Kemarin aku marah-marah kepada-
mu.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 15


“Oh, tidak apa-apa, Non. Saya memang sopir yang
kurang sopan.”
Arif seperti mulai mendapat angin.
“Saya akan lebih hati-hati, Non.”
“Soalnya kemarin aku sedang ngadepin banyak ma-
salah.”
“Setiap orang pasti menghadapi masalahnya masing-
masing, Non.”
“Gitu ya?”
“Iya, pasti.”
“Kalau gitu aku bukan satu-satunya orang yang punya
masalah?”
“Begitulah.”
Arif semakin bangga pendapatnya serasa dihargai.
“Tapi masalah yang kuhadapi cukup pelik.”
“Bertengkar dengan pacar, Non?”
“Pacar! Pacar! Jangan sok tahu!” jawab Siska dengan
nada lain. “Sudah kubilang, jangan suka nyampurin urusan
pribadi orang lain!”
“Enggak, Non.”
“Lha itu tadi?!”
Aduuh, kok marah lagi. Padahal baru saja dia yang mu-
lai menjurus ke urusan pribadi. Tapi Arif tak berani lagi
membuka mulut.
“Rif…!”
“Saya, Non.”
“Ini hp-ku yang biasa dibawa Pak Rahmat, sekarang
kamu yang pegang.”
“Ya, Non. Ini untuk apa?” Arif menerima Nokia hitam
dan memasukkan ke saku bajunya.
“Kalau aku butuh kamu, aku akan kirim misscall. Ja-
ngan kaget, nomor hp-ku tidak akan bisa kamu lihat. Tapi
hp itu hanya aku gunakan untuk memanggil kamu.”
Hati Arif yang sudah diliputi kehangatan mendadak
membeku lagi.

16 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Begitu?”
“Iya, kenapa bengong. Pokoknya kamu tidak perlu te-
lepon atau kirim sms ke aku. Kalau untuk kamu gunakan
sms-an dengan orang lain gak apa-apa.”
“Iya, iya…, Non.”
Wah, ancamannya kedengaran sangat serius nih.
“Dan pulsanya, kamu harus beli sendiri!”

***

SEPEKAN setelah material bantuan untuk korban ban-


jir diserahkan, kepanitiaan Peduli Korban Bencana Univer-
sitas Satya Mulia Brata dibubarkan. Kelegaan dan keba-
hagiaan atas jerih payah mereka yang telah ikut berbuat se-
suatu dalam menghadapi masalah lingkungan membuat
cerah wajah-wajah mahasiswa yang menjadi panitia itu.
Dasar anak muda, acara rapat pembubaran panitia itu se-
ngaja dibikin sederhana. Penuh canda adalah sasaran untuk
mengganti biaya konsumsi yang tinggi.
Dalam akhir sambutannya Siska menyimpulkan bahwa
secara umum seluruh proses dari pengumpulan bantuan
hingga pengiriman berjalan sukses dan lancar.
“Tiada gading yang tak retak, kepanitiaan ini pun ma-
sih punya banyak kekurangan.”
“Tiada kelambu yang tak robek!” sela Joko dengan sua-
ra nyaring, “bila disilet!” Kontan gelak tawa mereka yang
hadir menyambutnya.
“Karenanya,” Siska melanjutkan pidatonya, “sebagai
orang yang Anda percayai sebagai pemimpin, saya mohon
maaf. Terutama, atas tingkah laku saya yang temperamen-
tal. Perilaku yang tidak patut melekat pada seorang
pemimpin dan sudah barang tentu tidak mengenakkan.”
“Enggaak.. Mbak Siska baik kok. Dan… uuenak!” kem-
bali Joko berulah.
Gelak tawa kembali bergemuruh.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 17


“Memangnya sudah pernah makan?” Jimmy nimbrung.
“Sudah, dua kali!” balas Joko.
“Hah…? Makan apa?”
“Makan pizza!”
“Ko, ini serius… jangan merusak!,” tegur Margaret.
“Halaah… ini kan cuma bercanda, biar tidak tegaaang.”
“Apamu yang tegang, Ko?” Jimmy lagi.
Joko hanya meringis tapi cukup membuat lagi riuh sua-
sana.
“Teman-teman dan Saudara-saudara,” Siska terus me-
lanjutkan walau dengan hati gemas, “dengan terjadinya in-
siden dengan Saudara Simon, terutama saya dengannya,
saya merasa bahwa saya tidak layak diserahi jabatan ketua.
Untuk selanjutnya saya keberatan apabila ditunjuk sebagai
ketua. Saya masih akan konsisten berkomitmen dengan
kegiatan sosial, tapi saya ingin menjadi anggota panitia bi-
asa saja.”
Lagi-lagi kegaduhan sebagai jawabannya.
Tidak setuju. Siska masih layak jadi ketua. Dipimpin
Siska kepanitiaan solid. Siska orangnya baik. Bisa memim-
pin. Siapa gantinya? Siapa yang layak? Dan masih banyak
lagi komentar yang muncul.
“Kepemimpinan Mbak Siska sudah baik, komunikasi
dengan seluruh anggota panitia baik, ” ulas Joko. Lanjutnya
dengan nada mendaki, “Mbak Siska cukup tegas, bersaha-
bat, ramah, anggun daaan… ,” Joko mengakhirinya dengan
nada terjun bebas, “… menawan!”
Lagi-lagi gelak tawa berledakan.
“Adapun mengenai perihal masalah persoalan dengan
Simon…,” lanjut Joko lagi, “kita anggap kentut lewat.”
“Dan mengenai hubungan… ba…dan… eh, hubungan
batin Mbak Siska dengan pacarnya itu pasti ada jalan ma-
suk-keluarnya.”
Riuh lagi. Tapi Siska sudah kehilangan kesabaran.

18 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Saudara Joko! Saudara Joko!” kata Siska dengan keras
untuk memecah keriuhan. “Saudara Joko, Anda mau mele-
cehkan dan mempermalukan saya ya?!”
Joko tergagap, ia tak menyangka gurauannya telah me-
nyinggung perasaan Siska. Semua yang hadir terdiam. Sua-
sana jadi hening.
“Enggak…, enggak! Maaf, saya tidak bermaksud be-
gitu,” Joko meringis membela diri.
“Semua gurauanmu tadi tidak pantas diucapkan!”
Duh, galaknya. Joko jadi mati kutu.
“Semua hanya gurauan. Tidak ada maksud apa-apa.”
“Sekali lagi berani lancang, awas kamu!”

***

SIMON tampak bersungut-sungut menerima sms dari


Siska. Beberapa sms sebelumnya sengaja ia abaikan. Ha ha
ha, minta maaf? Ngajak damai? Kayak anak kecil saja. Tapi
gencarnya sms kiriman Siska dan ditambah yang terakhir
ini akhirnya melumerkan hatinya juga. Pasalnya, selain
minta maaf, Siska ingin bicara secara pribadi. Hanya ber-
dua.
Setelah tawar-menawar tempat, akhirnya dicapai ke-
sepakatan untuk ketemu di sebuah kafe elit di Jalan Jenderal
Sudirman. Pertemuan itu agak membuat kikuk keduanya.
Tapi, the show must go on.
“Kamu masih marah, Sim?” tanya Siska dengan mema-
jukan wajahnya agar dapat jelas memandang ekspresi co-
wok yang duduk di hadapannya. Yang dipandang tetap tak
acuh.
“Jawab, dong. Kamu masih marah?”
Tak ada jawaban.
“Masih?” kejar Siska.
Yang dikejar tak kuat melanjutkan larinya.
“Kalau elu gimana?”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 19


“Kalau aku…., masih sedikit-sedikit. Hi hi hi…”
Simon tak dapat menahan senyum. Kebekuan itu lebih
dicairkan oleh deretan gigi putih cemerlang cewek cakep
itu.
“Kita minum-minum dulu. Atau, kalau elu mau pesen
kue-kue…? Kue bangkanya enak.”
“Gak usah. Ini sudah cukup,” kata Siska sambil menye-
dot jus jambunya.
“Sis…?”
“Hmmm…?”
Kalau Siska sedang memiringkan wajah, ujung rambut
gaya bob pendeknya terurai menyentuh bahu. Bibir yang
mungil itu begitu indah. Itulah pemandangan yang paling
sempurna dari wajah seorang bintang di fakultas ekonomi.
Simon menghela nafas.
“Oke,” Simon mendesah lagi, “langsung aja apa yang
ingin lu sampe’in.”
“Sim, aku ingin kita berbaikan lagi. Kita lupain saja ke-
jadian kemarin-kemarin. Kamu setuju?”
Dalam hati Simon masih tersisa rasa sakit. Enak aja.
Kata-kata yang sangat pedas hanya diganti dengan kata
maaf. Dan diminta setuju lagi.
“Yah, biarin waktu berjalan semaunya.”
“Maksudnya?”
“Bisa sama-sama kita lupa’in, bisa juga sama-sama kita
inget-inget terus.”
“Tapi aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku
orangnya emosional ya?”
Lugu sekali cewek ini. Tapi akan mudah dikadalin.
Dan…
“Makanya nggak usah emosional,” kata Simon hambar.
“Kamu juga ya?”
“Gue emosional?”
“Maksud aku, kamu juga jangan emosional. Supaya
kita gak bertengkar lagi.”

20 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Gue kan nggak emosional. Yang emosional itu elu.”
“Seperti kejadian tempo hari itu, apa gak kamu anggap
diri kamu emosional?” nada bicara Siska mulai lain.
“Nggak dong! Gue kan cuma ngimbangin elu aja.”
“Jadi aku yang emosinal, kamu gak?”
“Gue tidak ngomong gitu.”
“Kan kemarin kamu marah dengan menuding-nuding
segala. Apa itu bukan emosional namanya?”
“Kan elu yang mulai!”
“Aku yang mulai? Amit-amit, kalau gak ada paket sam-
pah kan tidak mungkin membangkitkan marahku?!”
“Elu ungkit-ungkit lagi! Apa sih mau elu?”
“Aku mau berbaikan. Kamu malah ngajak bertengkar
lagi!”
“Elu yang mulai!”
“Kamu!
“Elu!”
“Kamu!” Siska bangkit dan memencet-mencet hp-nya.
“Mau panggil siapa elu, gue tidak takut!”
“Kamu kira aku juga takut?!”
Tak lama kemudian Honda Jazz menembus hujan dan
berhenti di depan kafe. Siska lari keluar dengan sebelumnya
meninggalkan cacian.
“Bikin sebel, kamu!”
“Elu yang bikin sebel!”
“Kamuuu….!”
Honda Jazz itu pun lari dengan membawa Siska.
Simon termangu. Sekali lagi ia merasa dilecehkan. Kali
ini di depan banyak pengunjung kafe itu.

***

“UNTUNG kamu cepat datang, Rif. Kalau gak, barang-


kali aku sudah kelahi sama Simon di kafe tadi,” cerita Siska

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 21


dengan terengah-engah. Dia kibas-kibaskan rambutnya dari
basah air hujan.
“Kurang ajar dia! Aku sudah mau menampar mulut-
nya. Tapi aku masih bisa ngendali’in diri, aku masih sadar
berada di tempat umum.”
Tidak mau dicampuri urusan pribadinya, tapi sekarang
kok cerita banyak ke hal-hal pribadi yang seharusnya di-
pendam. Arif semakin gak mudeng dengan perangai jura-
gannya yang cakep. Tapi ia hanya membatin.
“Sudah jelas salah, masih ngotot. Mau menang sendiri,”
gerutu Siska. “Orang semacam dia seharusnya tidak usah
dikumpulin. Benar, gak?”
Arif terus berkonsentrasi pada kemudinya.
“Rif!”
“Ya, Non?”
“Kamu kira aku ngomong sama setan?”
“Sama siapa, Non?”
“Bloon sih kamu. Ya ngomong sama kamu!”
“Sama saya?” Arif membloonkan diri lagi.
“Iya. Huuuh… Ngomong dong!”
“Ngomong apa?”
“Sesuka kamu.”
“Maaf, Non. Karena Non Siska tadi lari-lari seperti se-
dang ketakutan, saya tidak menjemput Non Siska dengan
payung. Juga tidak membukakan pintu.”
“Kalau itu sih gak masalah.”
Ngomong apa lagi ya? Nanti salah lagi.
“Ngomong apa saja yang sempat kamu tangkap dari
omonganku.”
“Nggaak ah. Saya takut masuk ke wilayah pribadi Non
Siska.”
“Terhadap orang yang nyakitin hati kamu, kamu akan
ngapain?”
“Mmmm…. Yang pertama saya akan mengklar… me…
meminta penjelasan atas sikap atau kata-katanya yang

22 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


membikin sakit hati. Dengan demikian saya tahu maksud
dia yang sebenarnya. Hal ini penting, untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman. Yang kedua, saya akan men-
coba mawas diri, introspeksi ya? agar saya tidak merasa
benar sendiri. Siapa tahu kesalahan justru ada di pihak diri
saya sendiri.”
Baru kali ini Arif merasa mendapat kesempatan ngo-
mong panjang dari Non Siska-nya. Rasanya ruang rongga
dadanya mengembang. Dan ia merasa jadi sebenar-benar-
nya manusia.
“Tapi orang yang bikin sakit hati itu egois, maunya
menang melulu, bagaimana?”
“Yaah, hindari saja orang semacam itu, Non.”
Sama dengan pendapat papah.
“Kalau ‘sakitnya tuh di sini’ gak juga hilang-hilang, ba-
gaimana?”
“Ya sabar saja, Non.”
“Kenapa harus sabar?”
“Karena Tuhan selalu bersama orang-orang yang sa-
bar.”
Benar juga Pak Rahmat.
“Begitu ya, Rif?”
“Iya, Non.”
“Tapi sabar tentu ada batasnya ya, Rif?”
“Kalau harus ada batasnya, berarti belum sabar, Non.”
“Lho, kalau sudah disabarin, orang itu masih nyerang
dengan hal-hal yang nyakitin hati, bagaimana? Harus tetap
sabar?”
“Iya, harus tetap sabar.”
“Aku gak setuju. Konyol itu!”
“Konyol?”
“Iya konyol. Masa orang diserang terus-terusan gak
ingin balas?!”
“Kalau begitu orang itu belum mencapai maqam, eh be-
lum menggenggam kesabaran.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 23


“Kalau sabar harus sampai berbuat kekonyolan, lebih
baik gak usah ada kata sabar saja!”
Haah…?

***

24 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


3.
Yang Menggenggam Kearifan

Sehabis hujan siang itu Siska berencana makan gado-


gado di sebuah kafe. Rasanya ia sudah ngiler karena cukup
lama lidahnya pisah ranjang dengan makanan favorit yang
satu itu. Bukan itu saja, mendengarkan kuliah dari Mr. John
yang harus diikuti dengan mengerahkan seluruh perhatian
dan kernyitan kening membuat perutnya memberontak-
berontak. Padahal jarum jam masih dalam perjalanan me-
nuju angka sebelas. Ia memberi petunjuk Arif ke mana mo-
bil harus dilarikan.
Tapi, sialan. Jalan menuju ke sana harus melewati jalan
yang agak sempit dan berlubang-lubang. Ini pasti wilayah
penduduk yang tidak memilih Walikota saat pilkada dua
tahun lalu. Indikasinya akses jalan untuk kepentingan
umum ini sengaja dialpakan dari pembangunan. Banyak
kendaraan lain yang datang dan pergi dari belanja ke pasar
membuat jalan susah dilewati. Syukur tidak sampai macet.
Namun, laju kendaraan itu harus melewati genangan air
dan terpaksa mengikuti langgam perahu layar. Oleng ke
kanan, oleng ke kiri, kadang seperti mau ditumpahkan ke
depan atau ke belakang.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 25


Dari bangku belakang Siska melihat ada celah untuk
mempercepat laju kendaraan.
“Sudah mulai berkurang lubang-lubangnya, Rif! Perce-
pat sedikit! Perutku sudah tak mau kompromi.”
“Tenang, Non. ‘Ntar dulu,” kata Arif dengan hati-hati
mengemudikan mobilnya. Ia masih memilih-pilih untuk
menghindari jalan berlubang.
“Oke, sekarang sudah layak injak gas!” Siska memberi
perintah.
“Sabar, Non…”
“Ah, sabar… sabar! Konyol kamu, Rif!”
Arif masih tenang mengemudikan mobilnya. Sesaat ke-
mudian.
“Nah…, sekarang baru boleh mempercepat jalan.”
Arif mulai mempercepat laju mobilnya.
“Kenapa tadi tidak boleh jalan cepat?”
“Hmmm…, apakah tadi Nona tidak melihat masih
banyak kendaraan kecil, sepeda, becak, sepeda motor, dan
pejalan kaki? Kalau kita langsung ngebut, mereka akan ter-
ciprat oleh genangan comberan akibat putaran roda mobil
kita. Kasihan dong.”
Entah kenapa kali ini Siska jadi terpana.
“Soalnya saya pernah mengalami terciprat oleh com-
beran kayak gitu. Celana dan baju saya basah air comberan.
Pas pakai pakaian putih lagi.”
Tak tertahankan, Siska menderaikan tawa disertai me-
nepuk-tepuk belakang sandaran Arif.
“Terus bagaimana? Marah?”
“Yah…, marah juga sih.”
“Terus kamu lempari mobil itu dengan batu?” canda
Siska.
“Ahaha… Nggak berani. Bahkan saya merasa sedih
saja, balik kanan dan ganti pakaian.”
“Hi hi hi… dongkol ya?”
“Iya sih. Ahaha… Tapi, yaaah… bagaimana lagi”

26 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ahaha… Aku tahu lanjutannya.”
“Apa, Non?”
“Sabar.”

***

KELUAR dari kafe sengaja Siska tidak memanggil Arif


lewat misscall. Langit cerah sehabis hujan tak boleh dilewat-
kan. Ada sesuatu yang aneh ia rasakan. Melampiaskan
makan gado-gado di kafe itu yang sudah sekian lama ia
rindukan ternyata tak menyisakan kesan di lidah maupun
hatinya.
Ia memaling-palingkan matanya ke seberang jalan,
mencari-cari di mana mobilnya diparkir. Oh, itu dia. Mobil
merahnya terlihat kontras di antara mobil-mobil lain yang
parkir berderet-deret. Saat menyeberang jalan ia melihat
sopirnya sedang menyelesaikan makan dengan jongkok
atau duduk di kursi kecil. Di depannya seorang nenek-
nenek menghadapi bakul dagangannya yang diletakkan di
lantai paving.
Siska mendekat. Arif tersenyum dan melemparkan pin-
cuk, piring dari daun pisang, ke tempat sampah yang dis-
ediakan. Lantas menyusut bibir dan keningnya dengan tan-
gannya. Huah… segar… dan nikmat sekali.
“Selesaikan dulu. Gak apa-apa.”
“Kebetulan pas selesai kok, Non,” kata Arif agak malu-
malu. Dan kepada penjual nasi ia bermaksud menyelesai-
kan transaksi dengan bertanya, “Berapa, Bu?”
Setelah Arif menyebutkan apa-apa yang dimakan, Ne-
nek tua itu menyebutkan berapa yang harus dibayar.
“Ini, Bu.” Arif mengulurkan selembar uang lima puluh
ribuan.
Nenek tua itu menghitung-hitung uang kembalian.
“Nggak usah, Bu,” bisik Arif. “Uang kembaliannya un-
tuk Ibu saja.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 27


“Kembaliannya masih banyak kok?”
“Untuk Ibu saja ya…?” ulang Arif dengan tersenyum.
Agak terkesima nenek tua itu. Tapi ia menangkap se-
nyum pemuda itu begitu tulus. Dengan suka cita ia mengu-
capkan terima kasih diiringi doa, “semoga Mas selalu sehat
wal afiat lahiriah dan batiniah, mendapat rezeki yang halal
dan barokah, lekas mendapat jodoh wanita cantik yang
shalihah, keluarganya nanti sakinah mawadah warohmah,
semoga suatu saat bisa naik haji ke Mekah.”
Arif tak sanggup menahan geli. “Ya… ya… Bu. Amin…
amin… terima kasih kembali, Bu.”
Pemandangan itu disaksikan oleh Siska hingga mem-
buatnya termangu.
“Makan apa kamu tadi, Rif?” tanya Siska setelah berada
di dalam mobil.
“Ahaha… Cuma lontong pecel!”
“Enak ya Rif, makan dengan piring daun pisang?”
“Dengan daun pisang menambah aroma sedapnya.”
“Rasa lontong pecelnya enak?”
“Enak sekali… kalau lapar! Apalagi sambil memba-
yangkan makan gado-gado di kafe depan tadi. Ahaha…!”
“Kamu pandai melucu juga ya, Rif?”
“Enggak juga sih. Memangnya saya pelawak?”
“Coba ikut stand up comedy di tv-tv itu.”
“Nggak ah… nggak bakat.”
Mobil itu berbelok arah tapi Siska mengembalikan arah
pembicaraan.
“Kenapa uang kembalian dari penjual nasi itu tidak
kamu ambil?”
“Hmmm… sekali-sekali untuk bikin orang lain senang.
Bahasa kerennya, membahagiakan orang lain.”
“Uangmu banyak ya?”
“Nggak juga.”
“Kalau gak banyak kenapa diberikan pada orang lain?”

28 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Kapan bersodakoh, maksud saya, menyumbang, kalau
menunggu sudah punya banyak uang?”
“Begitu ya?”
“Iya. Kan, sama seperti ketika Non Siska dan teman-
teman menyumbang korban bencana banjir kemarin?”
“Betul juga. Tapi, barangkali aku hanya karena ikut-
ikutan.”
“Tidak masalah. Biasanya berawal dari ikut-ikutan.”
“Tapi tampaknya maksudmu itu mengena.”
“Maksud yang mana?”
“Membahagiakan orang lain.”
“Non Siska menilai begitu?” Arif merasa surprise sam-
pai ia menengok ke belakang.
“Iya. Jujur saja aku melihat pancaran kebahagiaan ibu
penjual nasi itu.”
“Alhamdulillah…”
Seperti Pak Rahmat lagi.

***

“SEBENARNYA ada gado-gado yang lebih enak diban-


ding yang menjadi favorit Non Siska. Kata orang, ini adalah
gado-gado juara se-Asia-Afrika!”
Geli membuat derai tawa Siska meluncur meski ia tahu
itu hanyalah bualan. Hiperbolisme. Tapi cukup membuat-
nya penasaran.
“Di mana itu?”
Arif menyebut sebuah tempat. “Tapi mobil nggak bisa
masuk. Gangnya agak sempit.”
“Waah…” Siska tak dapat menyembunyikan kecewa-
nya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 29


“Kalau Non Siska berminat, kapan-kapan bisa suruh
saya. Dibungkus. Dua atau tiga bungkus. Untuk Non Siska,
papah, dan mungkin Tante Ervina.”
Tante Ervina adalah adik papah Siska yang masih mela-
jang dan tinggal bersama serumah.
Kapan-kapan itu akhirnya terwujud. Siska benar-benar
menikmati gado-gado yang lebih lezat.
Kesempatan berikutnya Arif menawarkan menu isti-
mewa lainnya.
“Makan soto itu memang sudah biasa.” Arif membuka
pembicaraan.
“Halaah.. soto? Aku gak begitu suka.”
“Tapi yang ini lain, Non. Kalau soto kudus dibuat di
kota kita ini, biasanya lebih bersantan dan aroma kunyitnya
dominan karena sudah disesuaikan dengan lidah orang sini.
Apalagi ditambah kayu manis. Jadinya seperti masakan
Padang. Menjurus nek.”
“Tapi,” lanjut Arif, “soto kudus yang satu ini dimasak
sesuai aslinya. Bahkan kecapnya juga didatangkan dari
Kudus. Jadilah soto yang suueger!”
Siska jadi tertawa geli. Ada-ada saja sopirnya ini.
“Kok tahu sampai ke bumbu-bumbunya sih?”
“Iya, saya memang pernah tinggal di Kudus. Kapan-
kapan, kalau Non Siska bermaksud membuktikan, akan sa-
ya antar.”
Dan, pembuktian yang itu pun akhirnya terjadi. Tapi,
saat sudah sampai di tempat yang dituju bukannya selera
yang kian menggebu, tapi malah bikin memupus. Warung
yang tak begitu luas itu ternyata penuh sesak pembeli.
“Jangan kuatir, Non. Non Siska duduk manis di dalam
mobil saja. Nanti sotonya saya antar ke sini. Tapi memang
harus sabar…”
“Sotonya memang enak, Rif,” komentar Siska setelah
selesai menyantap soto itu.

30 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Itu belum seberapa, Non,” kata Arif dengan bangga.
“Akan lebih sempurna bila dinikmati di dalam warung. Se-
bab panasnya soto tetap terjaga dibanding kalau sudah di-
bawa-bawa keluar. Berdesakan dan berbaur dengan ma-
cam-macam bau keringat malah akan menambah lezatnya
soto. Ahaha…!”
“Iiih….!” jerit Siska. “Jadi mual akuuu…!”

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 31


4.
Jalan Berliku

TAK JAUH dari kampus Universitas Satya Mulia Brata


terdapat sebuah masjid. Masjid itu tidak terlalu besar. Meski
demikian, masjid itu terlihat asri dengan beberapa pohon
flamboyan yang rindang, indah bila sedang berbunga dan
cukup memberi kesegaran lingkungan. Letak masjid itu
berbatasan dengan taman parkir. Mobil Siska juga biasa
parkir di taman parkir itu sejak zaman sopir Pak Rahmat
hingga Arif sekarang. Siska memilih memarkir mobilnya di
situ dibanding tempat parkir kampus karena memberi ke-
sempatan kepada Pak Rahmat, selama menunggunya, bisa
beristirahat dengan lebih nyaman di serambi masjid. Bila
keadaan sedang hujan atau situasi yang memaksa, Siska cu-
kup mengirim misscall kepada sopirnya, isyarat agar mobil-
nya didekatkan ke pintu gerbang kampus. Namun, sehari-
hari Siska lebih terbiasa jalan kaki menuju tempat parkir.
Seperti siang itu, ketika langkah Siska telah sampai di
depan masjid, ia melongok-longok ke arah teras masjid. Di
situlah Pak Rahmat atau Arif menunggu. Tanpa harus
memencet-mencet hp-nya, Siska melihat Arif sedang ber-
gegas, setengah berlari mendekatinya dengan muka dan
rambut setengah basah.

32 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Mari, Non,” ajak Arif untuk menuju ke taman parkir.
Sebelum Siska membuka mulut tiba-tiba terdengar
suara azan dari corong pengeras suara. Perasaan Siska ber-
getar saat itu. Ini tidak biasa. Bukankah suara itu sudah se-
ring ia dengar sejak bersama sopir Pak Rahmat? Siska meli-
hat beberapa orang di halaman masjid itu bangkit berdiri,
beberapa orang dari luar halaman berduyun-duyun menuju
masjid, beberapa sepeda motor membelokkan motornya ke
halaman masjid.
Hati Siska takjub melihat mereka begitu taat mengabdi
kepada tuhannya. Apa yang akan mereka cari? Ia hanya
bisa mengira-kira, mereka tengah mencari kedamaian, ke-
tenangan hati, dan usaha pengendalian diri. Ia jadi mem-
bandingkan dengan dirinya yang tidak pernah ke gereja
kecuali di malam Natal. Kadang ia membandingkan juga
seperti yang sering ia lihat, di pagi hari saat umat Islam ber-
bondong-bondong menuju tempat salat di hari raya, mereka
berpakaian baru tapi jauh dari kesan memamerkan mode
atau unjuk kecantikan. Berbeda jauh dengan yang ia rasa-
kan dan alami sewaktu mengikuti perayaan kudus agama-
nya. Agama? Benarkah aku beragama?
Ah, nilai religiositasku telah banyak dipengaruhi oleh
Papah. Papah bahkan telah memberi contoh enggan ke
gereja. Apa agama Papah? Tidak jelas. Ya, Papah selama ini
mengakui bahwa adanya alam semesta beserta seluruh is-
inya ini tentu ada penciptanya. Adanya matahari, bulan,
bintang, bumi, air, api, udara, tetumbuhan dan binatang
pasti ada penciptanya. Demikian juga manusia, pasti ada
yang menciptakan. Penciptanya tak lain adalah Tuhan. Tu-
han itu pasti satu, keesaannya mutlak, kesucian, kekuatan,
dan kekuasaan-Nya tiada tara. Pokoknya Yang Maha dari
Segala Maha.
Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia tentu
ada maksudnya, demikian kata Papah. Tujuannya jelas,
agar Tuhan menampakkan Kebesarannya. Adapun manu-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 33


sia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang telah mengenyam
nikmat dunia haruslah mengabdi kepada Sang Pencipta. Itu
yang harus digenggam, jangan sampai terlepas. Selanjutnya
berupayalah agar menemukan kesejatian peribadatan yang
cocok dan pas buat diri seseorang. Demikian pesan yang
dulu diuraikan Papah.
Kilatan ingatan akan pesan papahnya terputus ketika
Arif menghentikan langkahnya. Sopirnya itu terlihat ke-
heranan akan juragan cantiknya yang seakan enggan me-
langkah. Arif menoleh. “Ada yang ketinggalan, Non?”
Siska menggeleng dan menghentikan langkahnya.
“Rif!,” panggilnya.
“Ya, Non?”
“Kamu gak salat?”
“Nanti, Non. Kan ngantar Non Siska dulu?”
“Hmmm… kamu salat dulu di masjid. Kelihatannya be-
lum telat.”
“Saya, Non,” heran Arif, “nanti Non Siska menunggu
di mana?”
“Di sini gak apa-apa. Pak Rahmat dulu juga sering aku
tunggu kalau pas salat. Cepat sana!”
Angin bertiup agak kencang menggugurkan bunga-
bunga flamboyan. Bunga-bunga itu luruh dan hinggap pada
rambut Siska. Arif terpana memandang pemandangan in-
dah dan menyentuh hati sebelum akhirnya ia tersadar.
“Baik, Non. Ini perintah ya?” kata Arif cengengesan
seraya bergegas ke masjid.
Ternyata tingkah Arif, sopir pengganti Pak Rahmat ini, lebih
lengkap.

***

SEUSAI Arif melaksanakan kewajiban salat zuhurnya,


Siska tidak meminta Arif untuk mengantarnya pulang.

34 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Mau makan di luar dulu? Ke mana, Non? Mari saya
antar.”
“Aku ingin makan lontong pecelnya Ibu yang tempo
hari itu.”
Hah, nggak salah nih?
“Makan di pinggir jalan?” Arif keheranan berbaur den-
gan rasa geli. “Apa aku tidak salah dengar nih?”
“Aku serius, Rif. Kecuali kalau kamu congekan!”
Arif jadi meringis.
“Tampaknya sungguh nikmat makan di pinggir jalan
ya?”
“Hah, siapa bilang, Non? Jelas lebih nikmat makan di
restoran yang ber-AC dong!”
“Ah, sudahlah. Pokoknya, rasanya aku iri melihat ka-
mu makan di bawah pohon beringin itu. Ayolah ke sana!”
Apakah juragan harus yang mengalah menuruti kemauan
sopirnya? Tentu sebaliknya, bukan?
“Baiklah, Non.”
Perjalanan menuju ke tempat tujuan terasa sangat pan-
jang bagi Siska. Padahal, tidak ada genangan air di jalanan
seperti tempo hari. Dan lalu lalang kendaraan pun kebetul-
an tidak seramai dulu.
Tiba di tempat, yang kemudian mereka temukan ha-
nyalah kekecewaan. Melongok-longok dari jendela mobil,
Arif tak menemukan tukang pecel itu.
“Sudah pindah ke lain tempat. Sejak pagi dagangannya
belum ada yang membeli,” terang tukang parkir ketika dita-
nya oleh Arif.
Arif dan Siska jadi terhenyak atas keterangan tukang
parkir itu. Tapi kekecewaan yang mendalam lebih pada hati
Siska.
“Bagaimana, Non? Mau ke gado-gado depan itu saja?
Kan lebih enak?”
Siska sudah kehilangan selera. Ia hanya menggeleng
lemah.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 35


Arif terpaksa memajukan mobilnya karena tidak jadi
memarkirkan mobilnya di tempat itu.
“Ke mana ini, Non?”
Siska tak memberi jawaban. Mulutnya terkatup.
Awan hitam dan kesiur angin melintas pelan di atas
mereka.
Arif masih melajukan mobilnya walaupun tanpa tuju-
an.
“Langsung pulang, Non?” Arif tidak tahan diam sebab
mobil berjalan tanpa arah tujuan. Dari kaca spion Arif bisa
melihat juragan cantiknya itu menundukkan kepala seolah
sedang merenung.
“Rif, kasihan tukang pecel itu. Sudah sedemikian tua
masih harus bekerja seberat itu.”
“Iya, Non. Kalau direnungkan memang kasihan. Tapi
pemandangan semacam itu sudah menjadi santapan harian
bagi setiap orang. Akhirnya hati pun tidak memiliki kepe-
kaan lagi memperhatikan nasib orang lain.”
“Orang-orang kaya seharusnya peduli ya, Rif?”
“Betul, Non. Mereka tidak menghormati dirinya sen-
diri.”
“Maksudnya?”
“Kehormatan seseorang tidak diukur dari seberapa
banyak harta yang ia dapatkan, tetapi dari seberapa banyak
yang dia berikan. Contohnya, banyak pejabat yang malah
dicibir dan dimaki oleh rakyat karena perilakunya tidak
memihak rakyat kecil, tetapi lebih suka menumpuk harta
walau dengan cara yang tidak halal sekalipun.”
“Malah korupsi ya, Rif?”
“Iya, Non.”
“Padahal aku ingin meniru kamu. Setelah makan, kita
bayar, uang kembaliannya biar untuk dia. Aku ingin meli-
hat pancaran matanya yang bahagia.”

36 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Kalau Non Siska serius mau bederma,” kata Arif ter-
ingat sesuatu, “mari saya antar. Di sana juga sangat membu-
tuhkan uluran tangan orang lain.”
“Di sana, di mana itu?”
“Panti asuhan yatim piatu.”

***

MESKIPUN harus berbalik arah, mereka pun menuju


panti asuhan Raudhatul Jannah. Baru kali ini Siska mengun-
jungi suatu tempat yang disebut panti asuhan. Tak pernah
tebersit di batinnya bahwa di kotanya terdapat panti asuhan
dengan penghuni anak-anak yang semestinya diperhatikan.
Ia merasa, kini katak telah mendobrak tempurung.
Memang, sesampai di sana Siska pun menyaksikan
pemandangan yang sulit ia percayai. Puluhan anak-anak,
besar kecil, menghambur ke arah mereka tatkala anak-anak
itu melihat ke arah mereka berdua. Mereka beramai-ramai
dan tertawa-tawa berebut mencium tangan Arif dengan wa-
jah riang yang sulit digambarkan.
“Mas Arif! Mas Arif! Lama tidak main ke sini?” sorak
mereka.
“Ini… namanya… mbak Siska!” Arif mencoba mem-
perkenalkan. “Ayo kasih salam, cium tangan juga!”
Anak-anak itu lantas berebut untuk salaman dan cium
tangan kepada Siska. Bergidik bulu roma Siska mendapat
perlakuan yang belum pernah ia alami. Dikerubuti dan di-
salami oleh anak-anak. Anak-anak yatim piatu lagi. Ia me-
rasa itu lebih dalam artinya bila dibanding artis yang dike-
rubungi fansnya.
Assalamu ‘alaikum, Mbak Siska! Mbak Siska! Mbak
Siska! Ramai sekali.
Keriuhan agak reda saat seorang ibu berbusana musli-
mah dan berkerudung muncul di hall panti asuhan itu. Ibu

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 37


itu tampak cantik dan tak lepas dari senyumnya. Rupanya
wanita itu adalah ibu pengasuh panti asuhan.
Arif segera menangkupkan kedua telapak tangan
seraya membungkukkan badan. ”Assalamu ‘alaikum, Bun-
da Rohimah.”
“Wa ‘alaikum salam, Rif. Tumben mau datang ke sini.
Ke mana saja kamu selama ini?” sapa ibu itu dengan ramah.
“Lho, ini siapa, Rif?”
“Saya Siska, teman Arif, Bunda,” jawab Siska mendahu-
lui Arif yang sudah siap menjawab. Arif terlongong sejenak.
Tanpa perasaan rikuh, yang disebut Bunda Rohimah,
janda yang ditinggal mati suaminya, memeluk Siska. Bah-
kan Bunda Rohimah memberikkan ciuman ke pipi kanan
kiri Siska. Siska merasakan tetes embun membasahi hatinya.
Seperti inikah peluk cinta kasih seorang ibu?
“Mbak Siska, selamat datang di panti asuhan yang ko-
tor ini.” Bunda Rohimah mencoba berbasa-basi tanpa mau
melepaskan pelukannya. “Ah, Mbak Siska cantik sekali,”
pujinya sebelum melepaskan pelukannya.
“Kami sengaja mau main ke sini. Selain saya sudah ka-
ngen dengan adik-adik, sekalian mengantarkan…. hmm…
mbak Siska. Mbak Siska ini bermaksud melihat lebih dekat
keadaan panti asuhan, Bunda.”
“O… mari, silakan… silakan…!” sambut Bunda Rohi-
mah.
Mata hati Siska jadi terbuka setelah tahu dan paham
akan masalah isi perut sebuah panti asuhan. Panti asuhan
yatim piatu dan anak telantar Raudhatul Jannah memiliki
49 orang anak asuh. Dari kesekian jumlahnya itu ada ber-
macam asal dan musabab tatkala masuk sebagai penghuni
panti. Ada anak yatim piatu, anak yang kehilangan kedua
orang tua tapi familinya kurang peduli. Ada anak orang mi-
skin, orang tuanya tak mampu membiayai hidup dan pen-
didikan anaknya. Ada yang berasal dari bayi temuan
(mungkin sengaja dibuang orang tuanya dengan berbagai

38 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


alasan). Juga ada anak titipan yang ternyata orang tuanya
tak pernah kembali mengambil anaknya. Maka, memberi-
kan bantuan kepada anak-anak di panti asuhan adalah
suatu perbuatan yang sangat mulia.
“Lihatlah, betapa lucu dan pintar anak-anak itu. Mere-
ka semua membutuhkan kasih sayang dan uluran tangan
orang lain,” jelas Bunda Rohimah.
“Bayangkan, apa yang akan terjadi seandainya mereka
tak tertampung di panti asuhan? Akankah mereka sempat
bermain-main, belajar, dan sekolah?” Arif ikut memberi
penjelasan. “Ataukah yang terjadi justru akan menambah
jumlah anak-anak jalanan, pengamen cilik, atau tukang
semir sepatu?”
Arif merasa bangga berperan sebagai pemandu yang
sangat menguasai masalah.
Entah kenapa Siska jadi melupakan rasa laparnya.
Kesan yang mendalam akan pengalaman memahami isi
dan masalah panti asuhan menyebabkan pada waktu ter-
tentu Siska suka menyambangi panti asuhan itu.

***

MALAM yang diterangi bulan adalah sebuah suasana


yang indah cemerlang. Suasana yang biasa dipuja oleh
mereka yang sedang jatuh cinta. Akan tetapi bila gemerlap
lampu kota yang berwarna-warni lebih benderang menyi-
laukan mata, maka keindahan suasana malam akan berubah
menjadi panas menantang. Panas dan gerah pun tak luput
menyergap Arif. Ia membatin, seharian tadi cuaca boleh di-
bilang cukup cerah walau matahari menampakkan wajah-
nya dalam kesuraman. Agaknya mendung masih sanggup
menggenggam air hujan. Hingga malam itu.
Dan ada kegerahan yang lain dirasakan Arif. Kegera-
han yang menyungkup hatinya. Kegerahan yang memper-
parah kekecewaannya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 39


Malam ini ia harus kerja lembur. Piket malam. Seperti
kebiasaan, bila sang juragan membutuhkannya kerja ma-
lam, ia tidak boleh menolak. Alasannya, tidak setiap malam
ada kerja tambahan. Temporer. Bukankah setiap hari jam
kerjanya hanya sampai pukul setengah lima sore?
Kali ini juragan bawelnya – walau memang cantik –
yang membutuhkannya. Arif diminta mengantarkan jura-
gan cantiknya ke sebuah pesta perkawinan seorang teman
semasa SMA dulu. Acara pesta itu dilaksanakan di hotel
berbintang yang paling kesohor di kotanya. Datang sendiri
tanpa teman, tanpa partner, bagi Siska, siapa takut?
Ketika Arif harus menunggu Siska sepanjang sore tadi,
Arif telah membayangkan, tepatnya mengharapkan, seo-
rang gadis secantik artis, bahkan melebihi, akan keluar dan
turun dari trap dengan anggun. Harapan itu memang men-
jadi kenyataan. Hatinya seakan terlepas dan melayang. Ia
melihat juragan cantiknya itu mengenakan gaun longdress
tanpa lengan berwarna biru, berumbai-rumbai pada kedua
bahunya, dengan lipatan-lipatan kecil dari bawah pinggang
hingga membentuk garis-garis kecil ke bawah.
Terbayang di mata Arif gadis ini adalah putri Cinde-
rella. Hampir saja ia menyambut tangan Sang Putri karena
ia pun tiba-tiba merasa menjelma sebagai Sang Pangeran. Ia
menghela nafas, tak mau melanjutkan mimpi itu. Ia tepis
dengan segera harapannya itu. Walaupun sampai terban-
ting berdebam ke bumi.
Aku hanya seorang sopir. Hanya sopir yang harus membu-
kakan pintu mobil. Kemudian mempersilakan juragannya. Setelah
itu mengantarkan ke mana pun sesuai perintah juragan. Bu-
kankah sebatas itu tugas dan pekerjaan seorang sopir?
“Menurut pendapatmu, pantaskah aku mengenakan
gaun ini ke pesta, Rif?” tanya Siska dalam perjalanan.
“Wow, Non Siska jadi cantik sekali. Saya merasa seolah
berhadapaan dengan….”
“Seolah berhadapan dengan siapa?”

40 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Dengan…. Dengan….,” seperti sedang berfikir, tapi
sebenarnya Arif sengaja ingin membuat juragan cantiknya
penasaran.
“Dengan siapa? Dengan siapa?”
Arif pura-pura masih berfikir.
“Dengan siapa? Seperti siapa, Rif?”
Nah kena lu!
“Non Siska bagaikan… Putri Cinderella!”
Juragan cantiknya itu meletupkan tawanya. Tak salah
bila Arif menafsirkannya sebagai tawa keriangan.
“Ada-ada saja kamu, Rif! Tapi kamu katakan seperti itu
agar aku senang, kan?”
“Kalau kujawab iya atau tidak, itu tidak akan meng-
hapus fakta yang ada.”
“Fakta apa?”
“Fakta apa?” Arif mencoba menciptakan rasa penasa-
ran lagi. “Halaah…, Non Siska suka sekali kalau saya meng-
ulang-ulang ‘Non Siska cantik, Non Siska cantik…’”
“Hah, gak, gak, gak!” jerit Siska. “Ih, kamu jahat sekali,
Rif!”
Siska merasa geregetan dengan memukul-pukul be-
lakang sandaran Arif. Arif puas bisa mengerjai juragan
cakepnya.
“Aku sih tidak gila pujian, Rif. Bahkan aku selalu ingin
kritikan dan masukan yang baik.”
Mana ada wanita di dunia ini yang tidak suka dipuji? Mana
ada wanita di seantero benua-benua ini yang suka dikritik?
“Tapi, kalau boleh aku memberikan saran, alangkah le-
bih baik bila yang Non Siska pakai itu untuk bagian pung-
gungnya tertutup saja, tidak usah berbentuk V besar. Sebab
kulit punggung wanita yang terbuka hanya akan menye-
nangkan mata lelaki mata keranjang.”
“Rif, aku gak suka masukanmu itu! Cuman lelaki yang
pikirannya ngeres yang punya persepsi kayak gitu!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 41


“Lantas lelaki mana yang pikirannya tidak ngeres ketika
si wanita sengaja memamerkan keindahan tubuhnya kepa-
da siapa pun?”
“Sudah! Sudah! Gak usah ikut campur! Aku mau pakai
rok mini, atau bikini sekalipun, kan suka-suka aku?” sungut
Siska tanpa menyembunyikan emosi. Hatinya sakit dan se-
bal terhadap sopirnya itu.
“Maaf, maaf, Non. Saya jadi keterusan,” balas Arif de-
ngan kalem.
Sisa perjalanan mereka lanjutkan dengan kediam-diam-
an.
Masih menunggu waktu bagi Arif untuk menjadi pe-
nyimak yang baik, kata hati Siska. Dan kekecewaannya ia
lunturkan di dalam suasana pesta malam itu.
Masih menunggu waktu bagi Putri Cinderella untuk
menjadi penyabar yang baik, bisik hati Arif. Sedang keke-
cewaan Arif, ia pupuskan dengan mengingat Sang Pencipta
di dalam mobil yang terparkir di area hotel itu. Ia sebut-
sebut nama-Nya entah ke berapa ribu kali di dalam mobil
itu. Ia tidak menghitung, sampai ia sadar jari-jari awan su-
dah tak kuat menggenggam air hingga tanpa ampun air itu
menyapu apa saja yang berada di bawahnya. Sampai suara
miscall dari Nokia hitam di sakunya melengking-lengking.
Akhirnya, pesta pun usai.
Tak mungkin mendekatkan mobilnya ke pintu utama
hotel, Arif pun menyabet sebuah payung yang tersedia di
dalam mobil. Ia mekarkan payung itu lantas dengan sete-
ngah berlari menjemput juragannya yang suka ngambek
itu.
Hujan tidak semakin reda. Arif melihat Putri Cinderella
sudah siap dan ikut berjejal di teras pintu utama.
Diserahkan payung satu-satunya yang sudah memben-
tang itu kepada majikannya. Belum sempat berkata-kata,
Arif sudah bergegas merasuk ke air hujan.
“Ayo, Non!.”

42 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Sesekali angin menghempas, tapi Arif tidak peduli. Se-
luruh tubuh dan pakaiannya sudah basah oleh air hujan.
Sementara Siska kewalahan mengikuti lari-lari kecil Arif.
Untung Siska memegang payung, walaupun ia kebasahan
juga.
Siska terengah sampai ke tempat mobilnya diparkir.
Hujan masih saja menghempas-hempas. Ia terpana melihat
sosok Arif yang berdiri basah kuyup dan bagai tertirai ka-
but karena sambaran-sambaran hempasan air hujan ber-
campur angin. Siska terpesona melihat adegan Arif mem-
bukakan pintu mobil untuknya.
“Silakan, Non,” suara Arif hampir tak terdengar ditelan
suara hujan.

***

HANYA dua pekan setelah insiden gaun Cinderella,


Arif sudah dihadapkan pada masalah yang berpotensi se-
rupa. Selama ini ia sudah melupakan percekcokan dengan
juragan cantiknya. Banyak diam adalah pilihan yang bijak.
Apalagi Non Siska-nya juga mengambil pilihan serupa.
Maka, kekakuan pun tak dapat dihindari.
Bila Arif mengatasi kekakuan dengan menghibur hati
dengan cara menyadari untuk kembali pada posisinya,
mengembalikan khittahnya, sebagai sopir pribadi, tidak de-
mikian dengan Siska. Baginya, dalam kekakuan hubungan
yang berdurasi hingga dua pekan adalah satu siksaan. Ia
merasakan sebuah lecut yang mengerikan. Ia ingin kembali
lepas dari rasa sepinya. Ingin ia raih persahabatan, persaha-
batan?, yang penuh canda. Itulah dunia yang ia butuhkan.
Tapi sampai hari-hari terakhir tak kunjung ia dapatkan.
Arif hanya mau menjawab apa yang ia tanyakan. Arif
hanya menjalankan apa yang ia perintahkan. Itu berarti
kembali ke masa di awal-awal menjalankan tugasnya dulu.
Arif yang penakut, terlalu pendiam, dan terkesan bloon.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 43


Untuk memulai memecah kebekuan itu Siska merasa
gengsi. Masa juragan harus menyerah pada sopir? Padahal,
ia ingin, ingin sekali, sopirnya tidak mengubah kebiasa-
annya yang suka bercanda. Sehingga perbincangan-perbin-
cangan dapat berjalan cair dan mengalir kembali.
Entah kenapa kini Siska hanya lebih suka menunggu.
Tapi yang namanya menunggu itulah andil terbesar dari
sebuah kesepian. Dan kesepian yang akut akan bermeta-
morfosa sebagai kejemuan. Dari kejemuan akan mengarah
pada kejengkelan. Bila sudah sampai pada kejengkelan,
siapa yang dapat menghalangi akan terjadinya sebuah aksi
yang mengejutkan?
Begitulah. Aksi mengejutkan itu sebenarnya hanyalah
aksi kecil, biasa, bagi banyak orang. Sederhananya, Siska
ingin membalas melukai hati Arif. Kira-kira seperti itu yang
ia harapkan. Ia ingin sekali melihat seperti apa Arif bereaksi
manakala hatinya terluka.
Dan Arif memang jadi terperangah. Betapa tidak? Siska
sengaja memilih rok mini dan gaun tanpa lengan saat ia
meminta Arif , pada suatu malam, untuk mengantarkannya
ke supermarket. Sebelum masuk mobil tampaknya ia sen-
gaja memamerkan busananya kepada Arif. Bolak-balik tak
jadi masuk ke mobil, karena ada saja barang yang keting-
galan. Dan reaksi Arif? Tidak seperti yang diharapkan. Pe-
muda itu tetap tenang seakan tidak ada hal yang istimewa.
Padahal Siska berharap agar terledak amarah Arif yang
sombong yang tidak suka pakaian buka-bukaan.
Arif memang lebih memilih untuk cuek. Buat apa men-
ghiraukan busana gadis yang menjadi juragannya. Mau
pakai rok mini, mau pakai bikini, atau bugil sekalipun, apa
urusannya denganku. Ia memang sempat menahan nafas
melihat sepasang betis yang indah dan sepasang lengan
yang mulus. Tapi anggota badan yang mendebarkan itu
mudah dijilati mata banyak orang.

44 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Saat itu Siska merasa tidak ada hal istimewa pada
reaksi Arif. Ia jadi merasa bodoh. Ia tidak merengkuh
kepuasan yang ia harapkan. Bahkan yang ia dapat hanyalah
kehampaan. Semakin menyebalkan.
Dan di supermarket itu pun Siska menjadi tidak tahu
apa yang harus ia perbuat. Apa yang harus ia cari. Apa
yang harus ia beli. Serasa tidak sadar ia berada di mana.
Bahkan ia tidak menyadari sedari tadi diikuti tiga orang
pemuda.
Di tempat parkir Arif merasa gelisah. Cukup lama jura-
gan cantiknya tidak kembali. Kalau terjadi apa-apa pada
Non Siska-nya ia akan terimbas masalah yang lebih besar.
Sementara itu di hati kecilnya sendiri mana mungkin men-
diamkan Puteri Cinderella-nya seandainya menghadapi
masalah yang membahayakan. Seperti ada yang meng-
gerakkan, Arif berjalan mondar-mandir sambil memerhati-
kan orang-orang yang mulai meninggalkan supermarket
itu.
Siska sendiri baru menyadari kalau ia dikuntit oleh tiga
orang pemuda ketika ia berjalan menuju taman parkir. Siska
mempercepat langkahnya. Tiga orang pemuda itu juga
mempercepat langkah. Siska sudah melewati tempat parkir
sepeda motor yang cukup banyak orang.
Tapi tiga orang pemuda di belakangnya pura-pura sok
akrab dengannya. “Jangan cepat-cepat dong jalannya!”
Siska tidak menggubris. Ia terus berjalan. Pintu gerbang
tempat parkir bagian mobil tidak jauh lagi. Tapi tempat
yang ia lewati agak sepi dan gelap.
Sesampai di tempat itu tiba-tiba tiga orang pemuda itu
telah mengurungnya. Di antara keremangan cahaya Siska
melihat seringai dari wajah-wajah sangar yang menakutkan.
“Mau apa kalian?!” gertak Siska.
“Mau kenalan. Dan kita akan ajak kamu untuk bersan-
tai-santai di malam ini,” kata salah seorang pemuda yang
rambutnya kusut dan berbadan kerempeng.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 45


“Gak, aku gak mau! Aku mau pulang!”
“Yuuk kami antar,” mereka semakin merapatkan ke-
pungannya.
“Gak.. gak.. aku gak butuh!”
“Tapi kita yang lagi butuh nih, ha ha ha!” seringai me-
reka.
Tiba-tiba salah satu dari mereka memeluk Siska dari be-
lakang yang kemudian diikuti yang seorang lagi bahkan
dengan menyekap mulut Siska dengan tangannya yang ka-
sar. Yang satunya lagi merapat dan menggerayangi tubuh
Siska. Siska meronta-ronta, ia melawan dengan sekuat tena-
ga. Tapi pelukan tiga orang lelaki itu sangat kuat. Ketakutan
menyelimuti hati Siska. Hatinya pun dirambati penyesalan.
Sementara tiga orang pemuda itu masih saja tak meng-
hentikan aktivitas jahatnya. Menggerayangi, meremas dan
mengelus. Siska semakin panik. Ia terus meronta. Ia jadi ter-
ingat Arif. Arif! Arif! Satu kesempatan didapat dan diguna-
kan Siska untuk menggigit tangan yang menyekap mulut-
nya. Siska menjerit, berteriak, “Rif…! Riiiff…!! Ariiiiiif…!!!”
Untung yang dipanggil segera datang. Arif yang se-
dang mondar-mandir menunggu Siska mendengar jeritan
dari seseorang yang seakan memanggil-panggil dirinya.
Suara itu seperti suara Non Siska-nya. Dan memang benar
adanya.
“Hei, lepaskan gadis itu! Apa yang kalian lakukan,
hah?!” teriak Arif begitu tiba di tempat itu.
Sekejap para pemuda itu menghentikan aktivitasnya.
Tapi mereka melihat hanya ada satu orang saja yang mene-
gur.
“Jangan campuri urusan kami! Jangan sok jadi pahla-
wan kamu!”
“Kamu berbuat tak senonoh terhadap gadis itu?”
“Apa pedulimu?! Pergilah sebelum kami mengambil
tindakan terhadapmu!” kata pemuda berandal yang ber-
badan gempal.

46 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Kalian yang harus pergi!”
Dua di antara pemuda itu menghadapi Arif. Sedang
yang kerempeng masih memegangi Siska. Tanpa kata-kata
lebih lanjut mereka menyerang Arif.
Arif sudah siaga. Ia bisa mengelak sambil membalas
serangan itu. Dan terjadilah perkelahian. Arif dikeroyok
dua orang pemuda berandal itu. Saling pukul dan saling
tendang terjadi. Arif merasa baru kali ini berkesempatan
mempraktikkan ilmu bela dirinya. Tendangan dan kepalan
tangannya beberapa kali berhasil bersarang pada tubuh la-
wan-lawannya. Beberapa kali mereka terjengkang dibuat-
nya. Hingga pemuda yang satu lagi melepaskan Siska dan
ikut membantu kedua temannya.
Kini lawan Arif bertambah. Perkelahian itu pun sema-
kin seru. Terjadilah berbalas pukulan dan tendangan. Be-
berapa kali pukulan mereka juga bersarang pada tubuh
Arif. Jatuh bangun antara Arif dan tiga pemuda berandal itu
terjadi. Tapi Arif memang tangguh. Serangan pun ia lancar-
kan dengan mengerahkan kekuatan lebih maksimal. Aki-
batnya para pemuda berandal itu bertumbangan.
Siska baru tersadar, seharusnya sejak tadi ia sudah me-
lakukan itu. Teriaknya, “Toloong… toloong…!”
Seorang satpam berlari mendekat. Tapi dua orang ber-
andal telah mengambil langkah sejuta. Yang seorang lagi
berhasil ditangkap oleh satpam itu.
“Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?” tanya Si Sat-
pam.
“Tiga pemuda berandal itu berbuat kurang ajar terha-
dap bos saya. Untung saya melihatnya!”
Satpam itu menggelandang pemuda berandal itu ke
tempat yang lebih terang. Siska mengikuti dengan mengge-
layut pada lengan Arif. Beberapa orang datang mengham-
piri, ingin tahu apa yang terjadi.
“Lagi-lagi anak ini! Anak ini memang sudah biasa ber-
buat onar!” gerutu Pak Satpam.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 47


Kemudian Arif mengucapkan terima kasih kepada si
satpam dan menyerahkan pemuda itu. “Mau dilepas atau
diserahkan polisi tidak masalah. Saya pasrahkan kepada
Bapak.”
Sebelum Arif dan Siska menuju mobilnya, tak disangka
Pak Satpam memberi nasihat kepada Siska, “Lain kali hati-
hati, Mbak, hindari jalan sendirian, apalagi di waktu malam.
Dan ini juga penting, di tempat umum jangan memakai
pakaian yang sekiranya dapat membuat lelaki ingin berbuat
jahat. Memakai pakaian yang lebih sopan akan menjaga ke-
hormatan dan keselamatan diri sendiri. Maaf ya…”
Sebagai salam perpisahan tiba-tiba Siska melayangkan
tangannya, menampar muka pemuda berandal yang masih
dipegangi Pak Satpam itu dua kali. Satu bonus lagi berupa
tonjokan kepalan tangan Siska mampir ke pipi pemuda itu.
Beberapa orang yang menonton kejadian itu terpera-
ngah. Tapi hati mereka senang, seolah memberi support
kepada pendekar wanita yang berhasil mengalahkan lawan-
nya.
Ketika Arif menyalakan lampu dan menstarter mobil-
nya, ia baru menyadari juragan cantiknya telah berada di
sampingnya. Ia tak menanyakan kenapa tidak duduk di be-
lakang seperti biasanya. “Non Siska tidak apa-apa?”
Siska hanya mampu menggeleng. Ia berusaha menahan
isak, menahan ketakutan, menahan ketegangan, menahan
penyesalan. Ia pun terkejut melihat muka Arif terdapat
memar dan bahkan dari sudut mulut sopirnya itu masih
membekas lelehan darah. Usapan sapu tangan Siska yang
lembut pada sudut bibir Arif memupus kekakuan mereka
sebelumnya.
Tak perlu ada penjelasan lagi. Tanpa diucapkan, kata-
kata telah menemukan jalannya sendiri, menuju makna
yang sejati.

***

48 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


5.
Semakin Terjal

SISKA sudah tidak mau lagi duduk di kursi belakang.


Ia tidak peduli bahkan bila orang-orang bergunjing kare-
nanya. Ia seperti telah menemukan sopir lamanya, Pak Rah-
mat. Ia kini merasa sudah menemukan pembimbing hidup-
nya. Bila Pak Rahmat dulu pandai berteori, Arif memberi
contoh bagaimana melakukan implementasi.
Selain itu Siska pun kini meminta Arif menemaninya
bila ia masuk toko, kafe, hingga warung kecil, atau ke mana
pun.
“Saya naik pangkat, nih,” kelakar Arif.
“Maksudnya?”
“Selain sopir, saya jadi paspampres, ahaha..!”
“Sesukamu kamu bilang apa, pokoknya harus mau!”
“Hanya sopir bodoh yang menolak!”
“Maksudnya?”
“Masa menemani Puteri Cinderella ada yang nggak
mau?”
“Rif! Ada-ada saja sih kamu?” Siska tergelak.
Arif tersenyum-senyum sendiri manakala melihat per-
ubahan pada kebiasaan Siska. Busana minimalis nyaris ia
tinggalkan. Seperti kali itu ketika Siska meminta diantar ke

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 49


mall. Siska mengenakan celana panjang warna putih. Se-
dangkan atasannya berupa kaus longgar lengan panjang
warna abu-abu dihiasi ornamen warna hitam dan putih.
“Ngapain senyum-senyum?” tegur Siska. Ia siaga akan
dikerjai oleh sopirnya itu.
“Apa saya harus cemberut?”
“Tapi senyummu mengandung arti tertentu.”
“Maksudnya?”
“Senyummu penuh ejekan.”
“Hah, mengejek siapa?”
“Mengejek aku, siapa lagi?”
“Nggak.., mana saya berani?” Padahal sebenarnya iya.
“Lantas apa maksud senyummu?”
“Nggak, nggak ada!,” sanggah Arif tanpa melepas se-
nyumannya.
“Pasti ada. Itu masih senyum-senyum?”
“Hmm… Non Siska semakin cakep pakai kombinasi
kaos dan celana itu.” Arif sengaja mengalihkan perhatian.
“Huuuh….” Padahal hatinya senang.
“Kombinasi warna itu semakin menegaskan kehalusan
dan keanggunan Non Siska. Warna keperakan membuat
Non Siska bagaikan…..”
Lama Arif memberi jeda.
“Bagaikan apa…?”
Arif hanya nyengir.
“Bagaikan apa… atau seperti siapa? Cinderella lagi?”
“Nggak, itu kan kalau pakai gaun panjang warna biru.”
“Lantas kalau sekarang kayak siapa?” kejar Siska.
“Bagaikan… Puteri Angsa Putih!”
Tertawa geli Siska memukul pundak Arif. “Ahaha…
Bisa saja kamu, Rif!” Tapi dalam hatinya senaaang sekali.
Oh, rasanya seperti melayang-layang.
“Kalau Cinderella aku tahu ceritanya. Tapi kalau Puteri
Angsa Putih, bagaimana ceritanya?”
“Ahaha… Mana saya tahu?”

50 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Sekali lagi pundak Arif menjadi korban kekerasan Sis-
ka.
Ketika memilih-pilih buku di sektor bookstore, diam-
diam Arif memerhatikan sosok juragan cakepnya itu. Be-
tapa gadis itu sebenarnya berkarakter lugu, tak menyem-
bunyikan perasaan hatinya. Mau marah, marahlah. Mau
jengkel, tak tertutupi. Mau kecewa, tak terhalangi. Mau se-
dih, terlampiasi. Mau manja…. ? Ah, kemanjaan itu sebe-
narnya yang lebih dominan. Buktinya, marah, jengkel, ben-
ci, semuanya tidak pernah berlangsung lama. Cepatnya
minta maaf, cepatnya memaafkan, sama cepatnya bila ia
terbakar kemarahan.
Entah kenapa Arif pun betah berlama-lama menunggu
majikannya itu. Ia pun ikut tertarik dengan buku-buku yang
dicermati Siska. Rata-rata buku ekonomi. Sesuai dengan ku-
liah majikannya di Fakultas Ekonomi Unversitas Satya Mu-
lia Brata.
“Itu buku untuk kuliah di jurusan ekonomi manajemen,
Rif. Berbahasa Inggris lagi,” jelas Siska ketika melihat Arif
menimang-timang sebuah buku.
Arif tergeragap dan seperti terkena gerak reflek ia me-
ngembalikan buku itu ke tempat semula. Siska tersenyum-
senyum melihat tingkah sopirnya itu.
“Sudah banyak yang dipilih, Non. Kalau terlalu ba-
nyak, kapan sempat membaca?”
“Yang dua ini fiksi kok, Rif. Cepat selesai.”
Tiba-tiba segerombolan anak-anak gadis menyerbu me-
reka. Yang datang tak lain teman-teman kuliah Siska sen-
diri. Ada Irma, Theresia, Wely, Yosephin, dan Azizah.
“Hai, Sis! Sedang belanja buku ya?” tegur Irma.
“Iya nih,” balas Siska.
Kalau seorang wanita sendirian, dunia sunyi. Kalau
dua wanita dipertemukan jadi seperti pasar. Kalau sekian
wanita berkumpul, hah…. jadi apa ya?

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 51


“Eh, Sis. Itu cowok elu? Kenalin dong?” serang Yose-
phin.
“Aku juga mau kau kenalin sama cowok cakep itu!”
tambah Wely.
“Aku juga mau jadi ceweknya,” Irma lebih blak-blakan.
“Kenalin dong, Sis,” Theresia ikut-ikutan.
Hanya Azizah, gadis berjilbab itu, yang tetap tenang
dengan senyum simpulnya.
Siska bingung mau menjawab yang mana dulu. Tapi
mereka tidak memedulikan jawaban Siska. Yang mereka
butuhkan…
“Mas, cowoknya Siska, ya?” tanya Irma.
“Hmm…, teman…” jawab Arif kalem.
“Siapa namamu, Mas?” tanya Yosephin.
“Arif.”
Arif. Arif. Arif. Arif.
Para cewek itu berebutan salaman dengan Arif. Arif ke-
walahan menyambut salaman mereka. Ada yang genggam-
an tangannya tidak mau dilepaskan. Ada yang memegang-
pegang tangan, lengan, bahkan kaos yang dipakai Arif. Ke-
mudian ada yang minta selfie bergantian. Ngajak ngobrol
macam-macam.
“Mas, ada minat ikut audisi bintang sinetron?” tanya
Wely.
“Jersey Arsenalnya bagus banget. Baru ya, Mas?” puji
Theresia.
“Mas, mau nonton bareng bersamaku besok?” tanpa
malu-malu Irma menawarkan diri.
Siska merasa tidak dihargai. Tiba-tiba sesuatu yang
aneh merayapi hatinya. Ia merasakan sesuatu yang tidak
mengenakkan. Ia merasakan sesuatu yang membahayakan.
Maka buru-buru ia minta permisi kepada teman-temannya.
“Maaf, ya, semua. Kami buru-buru nih, mau ngelan-
jutin acara.”

52 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Dengan cepat Siska meraih lengan Arif. Seperti me-
nyeret kerbau saja layaknya. Hal yang membuat teman-
teman Siska protes. “Buru-buru? Ah yang bener ajaaa!”
Serasa terlepas dari kawanan serigala, Siska mengajak
Arif ke sebuah kafe di mall itu. Mereka menikmati mi ban-
dung.
“Enak, Rif?”
“Enak banget,” kata Arif sambil senyum-senyum.
“Pasti punya tempat favorit lain makan mi ya?”
“Ada sih. Tapi saya biasa makan mi godok pinggir ja-
lan. Dimakan dengan lesehan, duduk di tikar.”
“Enak, Rif?”
Arif menderaikan tawa.
“Pasti lebih enak, ya?”
Lagi-lagi Arif menderaikan tawa.
“Enak yang ini,” jawab Arif sambil menyendok minya.
Siska merasa bahagia melihat Arif begitu lahap me-
nyantap makanannya. Kebahagiaan kali ini berbeda dengan
biasanya. Terasa lebih lengkap. Dan begitu tulusnya.
Ia perhatikan sosok di hadapannya itu. Rambutnya
yang hitam tebal, demikian juga alisnya. Matanya tajam tapi
teduh. Mata itu kadang sesekali menjadi nakal dan menyipit
terutama bila sedang mengejek atau bercanda dengan se-
seorang. Hidungnya mancung dan kadang seperti sengaja
dikembang-kempiskan. Bibirnya yang tak lepas menyung-
gingkan senyum menjadi senjata lain untuk memanah hati
wanita. Ah, klise ya?
Kulitnya begitu bersih walau lebih gelap dibanding ku-
litku sendiri. Ah, antara yang chinesse dan yang bukan kini
semakin tipis perbedaannya. Sesungguhnya buat apa sih
mempertajam perbedaan itu? Tubuhnya yang tegap atletis
serasi dengan kaos yang dipakai. Kaos bola dari klub apa
tadi? O ya Arsenal. Ah, begitu bodohnya aku selama ini.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 53


DI SEBUAH ruangan pada sebuah gedung megah ru-
mah orang kaya beberapa muda-mudi duduk-duduk de-
ngan santai. Ada yang duduk di kursi empuk dengan kedua
kakinya diselonjorkan ke atas meja tanpa kuatir kakinya
akan menyentuh botol dan gelas-gelas kecil. Ada juga yang
berbaring di sofa. Beberapa orang malah lebih suka bereba-
han pada karpet. Asap rokok berkepul tapi tidak membuat
mereka terganggu. Suasana riuh dengan percakapan yang
tak tentu arah disertai selingan tawa cekakakan dan cekiki-
kan.
“Jadi, begitu saja ya?”
“Yang penting gimana caranya agar ayam putih mulus
itu bisa kita dapetin. Istimewa untuk gue!”
“Dengan segala cara, beli atau curi?”
“Yes. Tapi elu harus paham apa itu beli dan apa itu
curi.”
“Jelas. Beli dengan senjata mantra-mantra. Curi dengan
…“
“Yah! Tapi gue lebih suka yang natural.”
“Ooh kalau cuma itu sih keciiil…”
“Lantas, kapan rencana ini dilaksanakan?”
“Gue tak mau buru-buru. Penting, terwujud!”
“Oke boss!”

***

TELAH beberapa waktu Arif mengajari mengemudikan


mobil kepada juragan cantiknya. Ia lakukan karena permin-
taan Tuan Hendra, papah Siska.
“Sekarang waktunya Siska belajar nyetir mobil. Sebe-
lumnya, memang aku melarang karena sifatnya yang suka
sembrono. Aku kuatir kalau terjadi apa-apa, sesuatu yang
tidak kita inginkan,” kata Tuan Hendra.
“Ajari Non Siska bagaimana nyetir mobil yang baik.
Ajari bagaimana ia harus hati-hati. Sebab kalau tidak, dapat

54 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


membahayakan diri sendiri atau orang lain,” pesan Tuan
Hendra.
Makanya Siska lambat mencapai kedewasaannya. Orangtu-
anya over protect.
Belajar mengemudi itu dilakukan berawal di halaman
rumah. Halaman rumah Tuan Hendra memang bisa dikelil-
ingi mobil. Cukup menyenangkan, bagai berwisata sua-
sananya. Selain taman yang di dalam rumah, di sepanjang
tembok samping dan belakang rumah ditanami pepohonan
dan bunga.
Dianggap mulai mahir, latihan beralih outdoor.
Arif mulai jail. Ia ingin mengerjai juragan cantiknya. Se-
ngaja ia injak rem secara mendadak. Gadis yang kepalanya
disandarkan di lengannya terkejut dan tubuhnya seakan di-
lontarkan ke depan. Untung tangannya bertahan pada das-
bor.
“Apa-apaan ini, Rif? Jalanan sepi kok ngerem men-
dadak?”
“Ahaha…. Cuma ngecek rem. Lagi pula sebagai obat
ngantuk.”
Huuuh…
“Perhatikan kapan dan bagaimana saya melakukan
ganti gigi. Mobil ini manual. Kalau matic lain lagi.”
Haalaaah…. Disandarkan lagi kepalanya ke pundak
Arif. Hati Arif bergetar.
Melewati jalan tanjakan dan turunan Arif sengaja me-
nambah kecepatan mobilnya.
Kesempatan.
“Rif! Rif!.... aku takut!” Siska memeluk pemuda yang
sedang menyetir.
Arif semakin blingsatan. Sungguh hatinya kian bergeta-
ran.
Siska sangat menunggu reaksi Arif. Tapi yang ditunggu
tetap bergeming bagai arca. Yang nyetir ini manusia atau
robot sih? Huuh…

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 55


Ketika sampai di jalan yang dirasa aman, Arif member-
hentikan mobilnya. Lantas menyerahkan kemudi kepada
Siska. Mereka bertukar tempat duduk.
“Pelan-pelan saja, Non. Utamakan keselamatan.”
Siska mengemudi dengan ragu-ragu dan penuh ketaku-
tan.
“Bagaimana ini, Rif? Aku takut.”
“Tenang saja, Non. Terus, terus. Pelan-pelan.”
Siska terus melajukan mobilnya pelan-pelan. Huh, bor-
ing, boring.
“Ini sudah mau masuk kota lagi, lalu lintas ramai. Aku
takut!”
“Terus dulu. Tenang. Jangan grogi.”
Laju mobil terasa mulai goyah. Hati Arif terasa cemas
juga. Kendaraan mulai bersliweran. Ada yang berpapasan
dari depan dan ada yang menylip dari belakang. Laju mobil
Siska seakan mau berhenti.
“Aku takut, Rif.”
“Oke saya ganti,” Arif sudah bersiap turun untuk tukar
tempat duduk.
Tiba-tiba mobil terhentak melaju dengan kencang. Bah-
kan kencang sekali.
“Bagaimana iniiiii..?!” teriak Siska. Suasana jadi mene-
gangkan.
“Hati-hati, Non!” Arif hampir terbentur-bentur dan
mulai panik. “Kurangi kecepatan, pelan-pelan, dan stop! Ya
ya akan saya gantikan.”
Tapi laju kendaraan tidak berubah. Malah mulai me-
nyalipi kendaraan di depannya. Arif sempat terbengong.
Tiba-tiba Siska menoleh pada Arif dengan memamer-
kan deretan mutiara putihnya yang tertata rapih. Sangat
enjoy ia mengemudikan mobil itu melintasi jalan ramai. O,
senyum itu, senyum kemenangan.
Arif bagai terhempas.

56 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Diam-diam sudah lama aku diajari nyetir Pak Rahmat.
Ahaha…!”
Gobraak!

***

AIR tercurah dari atas tebing. Meluncur ke bawah me-


lewati tonjolan-tonjolan karang menciptakan percikan-
percikan putih yang indah. Sebagian air langsung meluncur
jauh ke bawah dan tejerembab ke batu-batu besar dan kecil
yang kemudian merupa kolam. Dari atas, air yang turun itu
sebagian tersinari matahari sehingga terlihat keperakan. Se-
dangkan bagian yang terlindung nampak transparan de-
ngan tebing karang yang berwarna gelap yang dilewatinya.
Di kanan kiri air terjun itu, daun-daun pohonan yang se-
bagiannya tepercik air hingga bergoyang-goyang memper-
cantik panorama air terjun di gunung itu.
Langit biru, awan putih, sejuk udara, dan celoteh mar-
gasatwa memperindah suasana. Lebih indah pula apabila
mata diedarkan ke tempat jatuhnya air di permukaan kolam
dan bebatuan yang kemudian mengalir melewati bebatuan
dan terus mengalir merupa sungai yang dangkal. Barang-
kali yang lebih mempercantik pemandangan adalah mana-
kala para wisatawan dengan pakaian yang beraneka warna
bermain dan bergurau. Di tempat itu mereka ada yang me-
rendam badan pada air yang dingin, melangkah menapaki
batu demi batu, duduk di sebongkah batu dengan memain-
mainkan kaki di air, atau tertawa-tawa kejar-kejaran dan
saling lempar air.
Di sebuah batu besar di bawah pohon yang rindang
Arif memerhatikan para wisatawan yang tidak seberapa
banyak itu. Ia membatin, betapa terasa bahagia mereka bisa
sejenak melupakan tugas rutin. Besok atau lusa sudah kem-
bali berlaga di medan juang. Memperjuangkan kelangsung-
an hidup. Sebagaimana dirinya sendiri.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 57


Setiap kali Arif melempar pandang pada tiga orang ga-
dis yang sedang bergurau dan bermain-main dengan air,
matanya selalu tertambat hanya pada yang seorang. Sedang
yang seorang itu tengah asyik bergurau dan berbincang de-
ngan dua temannya.
“Ber, lumayan asyik ya tempat ini?” tanya yang seo-
rang itu, Siska.
“Wow, indah sekali! Baru sekali ini aku nyampe ke
sini.” Jawab Berty tanpa henti-hentinya membidikkan ka-
meranya ke hampir seluruh penjuru.
“Kalau aku sudah pernah. Tapi sudah lama sekali. Dulu
sepi, tidak seramai sekarang,” terang Azizah.
“Kalau menyusuri sungai ini sampai ke mana ya, As?”
Siska ingin tahu.
“Aku belum pernah mencoba.”
“Yuuk kita susuri sungai ini! Lihat di sana, sungai ini
masuk ke wilayah yang di kanan-kirinya banyak tumbuh
pepohonan,” ajak Siska.
“Apa kamu tidak takut tersesat?” Berty merasa ragu-
ragu.
“Bagaimana As?” Siska minta pendapat Azizah.
“Aku sih nurut saja.”
“Kalau begitu, kita ajak sekalian Arif sebagai panga-
wal,” usul Siska.
“Setuju!!” sahut dua temannya.
Maka, Arif pun menuruti kemauan juragan beserta te-
man-temannya itu. Dengan menggulung ujung celana mere-
ka melangkahkan kaki dari batu ke batu. Sepatu harus
dilepas agar tidak terpeleset dan tercebur ke air. Sungai itu
memang cukup dangkal, yang terdalam kira-kira hanya se-
lutut, tapi tidak menjamin bebas benda-benda tajam di
dasarnya.
Dengan menjinjing sepatu masing-masing mereka
melangkah. Bila harus melewati batu yang besar, tak jarang
harus naik turun dengan bantuan tangan, memeluk batu,

58 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


mengangkat pinggul, bertumpu pada lutut, baru bisa
berada di atas sebuah batu, untuk kemudian mencapai batu
di depannya. Ternyata perjalanan itu cukup memerah tena-
ga.
Ketika mulai masuk ke wilayah yang banyak pepohon-
an terasa sejuknya udara, menyegarkan, seolah menambah
kekuatan mereka. Berjalan terus, kini batu-batuan yang
mereka injak sudah bukan batu-batu besar lagi. Dan air
sungai hanya mencapai mata kaki. Semakin ke dalam dan
berkelok-kelok ternyata memasuki sebuah hutan. Suara
margasatwa semakin tegas dan cahaya matahari tertutup
daun-daun pepohonan yang lebat. Semakin ke dalam lagi
sungai itu menyempit dengan arus air yang lebih deras.
Mereka mulai melangkah di bantaran sungai yang datar-
annya mulai menurun dan keadaan semakin gelap menye-
ramkan. Hutan semakin lebat. Sebagian hati mereka pun
mulai kecut.
“Aku takut. Yuk kita balik aja!” ajak Azizah.
“Aku juga ragu-ragu. Akan sampai ke mana kita,” ko-
mentar Berty. Tapi masih juga membidikkan kameranya.
“Alaah.. gak pa-pa, gak pa-pa! Jangan takut! Nanti kita
tahu akan sampai ke mana!” Siska mencoba membangkit-
kan semangat.
Siskaaa…, Siska! Arif yang menguntit dari belakang
menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi agaknya lebih baik kita balik saja. Sayang tenaga
dibuang-buang. Sampai di sini sudah cukup pengalaman
yang menarik untuk diceritakan. Tidak banyak orang yang
berani sampai ke sini,” Berty memberi pandangan.
“Ya, yuuk… balik saja! Di sini suasananya mengeri-
kan,” Azizah meneruskan keluhannya.
Tiba-tiba Arif menemukan akal.
“Sebaiknya kita memang kembali saja. Kalau diterus-
kan dimungkinkan adanya bahaya yang tidak kita duga.
Paling tidak, bahaya dari binatang-binatang liar. Harimau,

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 59


jelas tidak ada. Buaya, kemungkinannya kecil. Tapi kalau
ular, hampir pasti kita jumpai!”
Ular? Hiiii….
Balik kanan adalah langkah yang paling bijak.
Kembali ke tempat semula, area air terjun, kondisi me-
reka mulai kepayahan. Nafas mereka terengah-engah. Mata-
hari sudah di atas kepala mengingatkan akan rasa lapar.
“Nanti akan saya tunjukkan tempat makan siang yang
lumayan. Di dekat tempat parkir ada deretan warung
makan. Warung Bu Inah cukup memadai untuk lidah kita.”
“Menu favorit saya, lontong pecel,” lanjut Arif. “Pecel
di sini menggunakan sayur yang jarang ditemui di tempat
lain. Selain daun semanggi, kecambah atau taoge, dan ka-
cang panjang, ada yang unik lainnya. Yaitu, daun kenikir,
kembang kecombrang, dan daun pakis.”
Mendengar cerita Arif, cacing di dalam perut yang
mendengarkan terasa memberontak. Kalau soal warung
makan, Arief memang katalog berjalan.
“Rif, gak salat dulu?” tanya Siska ketika terdengar la-
mat suara azan.
“Maaf, saya salat zuhur dulu ya?” pinta Arif. “Sebentar
kok.”
“O iya, silakan,” balas Berty.
“Aku juga mau salat,” kata Azizah. Ia buka tas tipisnya,
ia cek apakah mukenanya benar-benar ada di tas itu atau
tidak.
Diiringi pandangan mata Siska dan Berty, Arif melang-
kah menuju tempat yang teduh dan datar. Dikuti oleh Azi-
zah. Ketika keduanya melakukan wudhu di kolam dekat air
terjun secara bergantian, hati Siska begitu terpesona. Ia me-
lihat bagaimana Arif berkumur-kumur dulu, kemudian
membasuh mukanya dengan air, lalu kedua tangannya,
rambutnya, telinganya, dan terakhir, kakinya. Setelah itu
dilakukan oleh Azizah. Sama. Betapa segarnya. Betapa ber-
sihnya. Air bening itu telah membersihkan dan menyegar-

60 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


kan badan dan meresap sampai ke hati. Begitu agaknya?
Sudah barang tentu.
Moment ini tak luput dari bidikan kamera Berty serta
mata dan hati Siska. Tak terkecuali ketika Arif dan Azizah
berbincang-bincang, menentukan kiblat yang benar, sebe-
lum melakukan salat berjamaah.
Betapa indahnya menghadap Tuhan. Lima kali dalam
sehari. Sebagai tanda berbakti kepada Tuhan, umatnya ha-
rus rela menunduk dan bersujud, meletakkan kepala, me-
nempelkan dahi ke tempat paling rendah.
Keharuan menyeruak ke hati Siska. Ia bandingkan de-
ngan dirinya sendiri. Hatinya selalu kosong. Rasanya tak
pernah terlintas ada keinginan bertemu dengan tuhannya.
Karena selama ini ia hanya menuruti keinginan hatinya
mau berbuat apa.
Ada rasa haru menyeruak ke dalam hatinya ketika
melihat dua orang yang sedang melakukan ibadah dengan
khusyuknya. Tapi juga ada perasaan iri yang tiba-tiba me-
nyelubunginya. Mengapa Azizah yang ada di belakang Arif.
Mengapa bukan aku. Lantas apa yang mereka percakapkan sebe-
lum dan setelah selesai salat. Padahal, aku ingin… aku ingiiin…
Pesiar ke gunung itu memang atas inisiatifnya. Ia se-
ngaja tidak memberitahu teman-temannya. Apalagi Irma.
Dia yang dulu paling agresif menarik perhatian Arif. Ia
mengajak Berty karena ia tahu Berty sudah punya Hans –
dan mereka serius – yang tentu tidak akan menggangu Arif.
Azizah yang tenang dan sukanya tersenyum-senyum sama
sekali tidak ia perhitungkan. Tapi nyatanya? Kini ia merasa
setelah melihat Arif dan Azizah salat berjamaah, muncul
anggapan lain. Azizah harus dicatat sebagai orang nomor
satu yang patut diwaspadai. Hah, kenapa bisa begini?
Pada waktu makan siang di warung Bu Inah berlang-
sung, keceriaan terpancar dari wajah-wajah mereka, kecuali
Siska. Ia tidak bisa merasakan lezat atau tidaknya apa yang

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 61


telah melewati kerongkongannya. Ia mencoba tenang. Tapi
sebenarnya hatinya menangis. Menangis.

***

UNTUK bepergian ke mana pun, Siska sudah tidak su-


di lagi mengajak temannya. Kini Arif sudah sepenuhnya
menggantikan Pak Rahmat. Ah, Pak Rahmat, pelan namun
pasti, Siska mulai melupakannya.
“Akhir-akhir ini Non Siska sering mengajak keluar…,”
komentar Arif suatu saat.
“Kamu keberatan?”
“Nggak. Saya sih senang-senang saja. Saya khawatir
mengganggu kuliah Non Siska.”
“Gak lah. Nyatanya, IPK-ku masih paling tinggi.”
“IPK itu apa, Non?”
Kasihan kamu Rif. Siska pun menerangkan serba sedikit
tentang Indeks Prestasi Kumulatif. Arif manggut-manggut
tanda mengerti.
“Sebaiknya kamu kuliah, Rif. Untuk bekal masa de-
pan.”
“Ahaha…, saya sedang menabung. Doakan saya tahun
depan bisa kuliah, Non.”
Bersantai di gunung yang lain, kali ini yang biasa ia
kunjungi dengan Pak Rahmat, Siska menunjukkan tempat
yang biasa ia tempati untuk duduk-duduk bersama Pak
Rahmat.
Sebelum ke tempat itu Siska mengajak singgah sejenak
ke vila keluarganya. Jarak vila dari tempat yang digunakan
untuk bersantai sekitar lima ratus meter. Tapi jalannya terus
mendaki dan menurun.

62 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Vila itu ternyata bersih dan segar. Kata Pak Min, pen-
jaga vila itu, setiap hari selalu dibersihkan. Pintu dan
jendela lebih sering terbuka sehingga udara di dalam selu-
ruh ruangan tidak lembab.
“Ooh enak sekali jadi orang kayaaa...!” kata Arif de-
ngan lirih sesampai ke ruang tamu sambil menghempaskan
tubuhnya ke sofa yang empuk.
Siska tak kuasa menahan geli. Melihat gelagat Arif
ingin tidur, Siska mengambil bantal dari sebuah kursi dan ia
hempaskan ke tubuh Arif.
“Kamu ingin jadi orang kaya, Rif?”
“Ahaha… Iya, dong. Masa mau jadi orang miskin aba-
di?”
“Ahaha… Kamu yakin akan jadi orang kaya, Rif?”
“Yakin. Paling tidak saya akan berusaha untuk menca-
painya!”
“Kalau sudah kaya, apa rencana kamu?”
“Kawin!”
Siska tahu kalau itu hanya candaan. Tapi ia tak tahan
untuk tidak ber-ahaha lagi.
“Nggak, Non. Ada yang lebih penting dari sekadar ka-
win. Kalau saya kaya, selain untuk mendukung kebaha-
giaan rumah tangga, juga bisa bermanfaat bagi orang lain.”
“Suatu kewajiban ya?”
“Betul, Non. Dalam ajaran agama saya, Tuhan berfir-
man, di antara harta kekayaan yang orang miliki terdapat
hak bagi anak-anak yatim dan orang-orang miskin.”
“Gitu ya, Rif?”
“Iya, begitu, Nona Cinderella. Ahaha…”
Dan Siska pun tergelak. Udara dalam vila seakan men-
jadi semakin hangat.
“Kamu belum makan siang ya, Rif?” tanya Siska.
“Kok tahu?”
“Karena aku juga belum. Ahaha, tunggu di sini. Aku
masakkan untuk makan siang kita.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 63


“Woow, Non Siska pandai masak juga?”
“Iya lah.”
Kesempatan menunggu akan digunakan Arif untuk
tidur di sofa itu. Tapi bau sedap masakan dari arah dapur
menyergap isi perutnya. Perutnya seakan diaduk-aduk. Ma-
sak apa sih? Dari aromanya tecermin kelezatannya. Ahaha…
Tak lama kemudian Siska membawa nampan. Arif ter-
heran-heran. Cepat sekali memasaknya. Dengan senyum-
senyum Siska menaruh kedua mangkuk itu ke meja. Ruaarr
biasaaa! Dua mangkuk mi instan!
Di tempat yang biasa digunakan duduk-duduk oleh
Siska dan Pak Rahmat, Arif pun menurut saja bila ia harus
duduk berdampingan dengan Puteri Angsa Putihnya yang
manja. Hatinya justru berbunga menambah keindahan pa-
norama alam. Dataran yang menghampar di depan mereka
begitu banglas. Gumpalan mega tersepuh matahari senja.
“Makan siang tadi merupakan makan siang yang is-
timewa!” sindir Arif membuka percakapan.
Ahaha…
“Walau tanpa tambahan potongan daging, sayuran, ke-
cap, dan bawang goreng, tetap saja rasanya sedap. Bum-
bunya apa sih, Non?” Arif melanjutkan ledekannya.
Ahaha lagi dengan lebih meledak.
“Iih.. kamu jahat, Rif!” dipukul-pukulnya lengan dan
punggung Arif. Tapi dalam hati Siska merasa senang.
Setelah letih bercanda.
Siska duduk dengan merapatkan tubuhnya ke arif. Me-
reka berdiam-diaman dengan sejuta perasaan yang tak ter-
jabarkan. Mata yang mengarah ke panorama alam itu mem-
bawa perasaan mereka ke negeri antah berantah. Negeri
yang damai dan indah.
“Rif?” Siska memecah keheningan.
“Ya, Non.”
“Azizah itu cantik ya, Rif?”
“Ya, lumayanlah!”

64 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ahaha… lumayan? Menurutku dia itu cantik!”
“Menurutku ada yang lebih cantik!”
“Siapa?”
“Siapa ya…?”
“Siapa?” kejar Siska.
Arif tersenyum. Bagi Siska itulah tampang Arif yang
paling indah dipandang.
“Siapa?” kejar Siska lagi.
“Orang yang sekarang berada di sampingku,” bisik
Arif.
Bunga-bunga mekar dan harumnya merebak ke segala
penjuru.
“Kalau yang lebih cantik lagi, siapa?”
“Mana ada…?”
Kemerahan merona di wajah Siska. Belum pernah ia
merasa sebahagia saat itu.
“Apa yang kamu percakapkan dengan Azizah tempo
hari?”
“Nggak ada. Ngomong apa sih waktu itu?”
“Kelihatannya mesra sekali.”
“Hah? Ah nggak… biasa saja.”
“Tapi membuat hati aku teriris, Rif.”
Arif menoleh. Hatinya bergetar. Wajah Siska kelihatan
berganti muram.
Pelan Arif melingkarkan tangannya ke bahu Siska dan
memegangi pundaknya. Tidak ada reaksi dari Siska tanda
tak keberatan diperlakukan seperti itu. Bahkan, Putri Cin-
derella itu merebahkan kepalanya ke pundak Arif. Perasaan
Arif bergetaran. Ia tenangkan hatinya dengan berkata
setengah berbisik, “Non Siska, percayalah. Saya tidak ada
hati dengan Azizah.”
Jawaban itu sementara cukup melenakan hati Siska.
Wajahnya kembali kemerahan. Ada kebahagiaan yang ajaib
dan indah ia rasakan. Andai ini mimpi indah, tak ingin ia
lekas terjaga. Andai ini nyata, tak ingin semua menjelma

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 65


mimpi belaka. Ia ingin rengkuh dunia yang menjadi indah.
Seindah anyelir di taman. Seharum mawar di halaman.
Dan itulah yang menyebabkannya merasa bahagia ke
mana pun pergi bila didampingi paspampresnya. Seperti
ketika…
“Kukira belanjaku cukup, Rif,” kata Siska di tengah
hingarnya supermarket. Memang Arif sudah merasa capai
mendorong kereta keranjang dengan barang-barang belan-
jaan yang menggunung.
“Kamu butuh apa, Rif? Nanti aku yang bayar.”
“Nggak, Non…”
“Aku serius, Rif. Ambillah! Hem, celana, kaos bola,
atau apa?”
Arif malah kebingungan.
“Atau… kopiah?,” canda Siska.
Tiba-tiba Arif teringat sesuatu. Ia mengajak Siska me-
nuju ke area busana muslim yang tidak jauh dari situ. Lan-
tas ia mendekati dan melihat-lihat barang-barang busana
muslim. Matanya tertumbuk pada deretan jilbab. Ia tertarik
pada sebuah jilbab putih dengan pernik-pernik bordir. Ini
sih kerudung, bukan jilbab.
“Ini ya, Non?” Arif meminta persetujuan Siska.
“Iya, bagus itu. Ambil yang lain!”
“Ini saja, Non. Cukup.”
Lalu jilbab putih itu pun dibungkus tersendiri untuk
Arif.
“Untuk siapa jilbab itu, Rif?” tanya Siska dalam per-
jalanan pulang.
“Untuk seseorang.”
Di benak Siska terbayang wajah Azizah yang manis.
“Siapa?”
“Belum tahu. Tapi setidaknya ini kenang-kenangan dari
Non Siska. Akan saya simpan, akan saya jaga.”

66 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Siska tersenyum. Senyumnya membuat dunia diwarnai
sejuta lampu. Matahari mempertegas keindahan menjadi
lebih hakiki. Walau Siska tak suka berteka-teki.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 67


6.
Siapa Aku

SIAPA aku. Pertanyaan semacam itu terlalu umum diajukan


oleh setiap orang. Diajukan kepada diri sendiri maupun orang
lain. Pertanyaan itu bakalan habis sebagai pertanyaan atau bisa
jadi menciptakan sebuah masalah. Tanggapan orang bisa beragam,
bergantung kepada siapa dan bagaimana situasi kejiwaan seseo-
rang. Ada yang tak acuh, abai, atau mengganggap sepele nang-
gapin masalah ini. Ada yang nertawain bahkan melecehkan. Ala-
sannya, hidup bukan untuk dipertanyakan tapi untuk dijalanin.
Terkesan benar dan ideal, bukan? Tapi bagi aku sungguh berbeda.
Ketika aku dilahirkan, aku tidak pernah meminta untuk dila-
hirkan oleh seorang mamah bernama Margareta Sylvia Indrawati
dan papah Hendra Hendriatmana. Apalagi bermimpi menjadi et-
nis chinesse.
Yang aku tahu, ketika aku mulai bisa mengingat, aku sudah
kehilangan mamahku. Aku hanya memandangin wajah mamah
aku lewat foto-fotonya. Sementara itu keadaan papahku sudah
dalam keadaan cacat, lumpuh, dan hanya mampu bergerak dari
kursi roda. Menurut cerita Papah, kedua orang tuaku mengalami
kecelakaan lalu lintas ketika berboncengan sepeda motor. Papahku
selamat walaupun terlempar hingga belasan meter. Mamahku me-
ngalami nasib yang berbeda, jiwanya tak tertolong, jasadnya
t*rg*l*s mobil. Papah selalu menangis dan tak mampu ngelanjutin

68 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


cerita tentang peristiwa itu. Terlalu mengerikan. Peristiwa itu
terjadi ketika usia aku belum genap setahun. Jadi, sudah dua pu-
luh tahun yang lalu.
Dari foto-foto mamah aku memeroleh kesan, mamah adalah
wanita yang berwajah cantik. Ada sedikit nuansa Barat pada wa-
jah dan rambutnya. Disemir? Gak lah. Waktu itu belum musim
rambut disemir seperti sekarang. Aku tahu, memang Oma, ibu
dari mamah aku adalah orang Belanda. Keluarga Mamah memang
keluarga kaya yang memiliki perusahaan besar. Kalau aku menjadi
cewek yang tomboy dan semau gue barangkali itu sifat yang ditu-
runkan Mamah. Untung aku dapat bagian otak encer dari Papah.
Tentang papahku, ia memang papah yang baik yang sangat
menyayangiku. Ia selalu memberi perhatian pada aku. Dari ma-
salah bangun tidur, mandi, makan, pakaian, sekolah, belajar, dan
lainnya. Nyaris aku menyebutnya nyinyir, tapi aku gak berani
bilang begitu. Karena, nasihatnya hampir selalu benar. Ahaha…
memang diri aku yang semau gue. Kadang aku merasa kasihan,
tampaknya hidup Papah sangat tertekan. Ia serasa dihantui ke-
salahannya yang nyebabin kematian Mamah. Kadang ia menge-
luh, mengapa semua ini terjadi. Kenapa bukan dirinya yang tewas
dalam kecelakaan itu.
Sudah diupayakan penyembuhan kaki Papah yang lumpuh.
Dokter demi dokter, rumah sakit demi rumah sakit, laboratorium
demi laboratorium, bahkan tabib demi tabib, menyimpulkan bah-
wa ada hal-hal yang aneh pada kaki Papah yang tidak dapat
digerakkan sama sekali. Padahal peredaran darah masih baik.
Fungsi ginjal, hati, paru, jantung dan saraf semuanya normal.
Tulang belakang tidak ada kelainan. Berbagai tukang pijat, pijat
refleksi, pijat urut, dan entah apa lagi pun belum berhasil men-
yembuhkan kelumpuhannya. Akhirnya kepasrahan yang harus
dilakoninya.
Sekalipun memiliki keterbatasan, hampir setiap hari papah
menunaikan pekerjaan rutinnya. Menerima laporan keuangan
toko-toko yang dimilikinya. Papah memiliki beberapa toko besi dan
bangunan. Toko-tokonya besar dan semakin berkembang setelah
dipegang oleh adik bungsunya, Tante Ervina. Barangkali karena

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 69


kesibukan kesehariannya Tante Ervina telat mendapat jodoh.
Usaha serupa dilakukan adik papah, Om Wendy, yang sudah
berkeluarga dan tinggal di rumahnya sendiri.
Di dalam keluarga yang seperti itulah aku hidup. Untung
ada Mbok Karni, pembantu rumah tangga kami, yang berperan
sebagai ibuku. Dialah yang melaksanakan program papah bagai-
mana mengatur aktivitasku sehari-hari. Dari memandikan, men-
dandani, nyiapin makan, dan segalanya. Aku sayang sama pem-
bantu-pembantu kami. Tapi Mbok Karni pastilah yang nomor
satu. Sayangnya, orang tua itu meninggal ketika aku kelas empat
SD. Dan aku harus mandiri sejak saat itu.
Sejak kecil aku biasa bermain sendiri. Paling, Papah yang
nemenin aku ketika aku bermain kartu, halma, ular tangga, dan
lainnya. Juga kalau aku belajar mencoret-coret buku, menggam-
bar, atau mewarnai gambar. Kadang Papah memberi petunjuk-
petunjuk. Tapi ketika harus bermain di halaman, Papah hanya
bisa mengawasi dari kejauhan. Tak jarang bahkan aku bermain
sendiri. Aku mencari teman sebaya tapi tak kunjung aku dapetin.
Kalau aku sedang merasa sepi kadang aku tinggal di dalam
kamar. Membongkar-bongkar buku di rak belajarku. Kemudian
membolak-balik halaman demi halaman, hanya untuk melihat
gambar-gambarnya. Yang aku suka adalah melihat ilustrasi yang
menggambarkan ibu yang sedang bermain-main dengan anaknya.
Atau, ibu yang sedang menggendong anaknya dan ibu yang me-
meluk anaknya. Kalau sudah bosan, kubiarkan buku-buku itu ber-
serak di lantai.
Aku biasa duduk ngadepin meja belajar. Di meja belajar itu
terpasang foto mamah aku yang cukup besar. Aku merasa ia se-
dang tersenyum kepadaku. Senyumnya itu aku artikan penuh rasa
kasih sayang. Aku yang masih kecil saat itu mulai pandai mengar-
tikan. Mungkin mamah aku berpesan, seperti pesan Papah, jadilah
anak yang baik. Anak yang pintar. Belajar yang rajin untuk bekal
masa depan.
“Tapi Mamah tidak pernah nemenin Siska,” keluhku kepada
Mamah pada suatu waktu. Saat itu aku masih TK.
Lalu mamah aku menjawab lewat bibirku juga.

70 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Maafkan Mamah, Siska. Mamah tidak bisa mendampingi
Siska.”
“Lalu Siska harus bermain sendiri?”
“Kan sudah ditemani Papah?”
“Iya, Mah. Tapi Papah tidak bisa bermain di halaman.”
“Tidak masalah, Siska. Anak Mamah anak yang pintar. Bera-
ni main sendiri. Tidak takut jalan sendiri, tidak takut tidur sen-
diri, tidak takut gelap, tidak takut sama musuh. Tapi tidak boleh
cari musuh ya.”
“Ya Mah. Kalau soal takut sih tidak ada yang harus ditakutin
kalau diri sendiri benar. Itu kata Papah. Benar, Mah?”
“Papahmu benar, Siska.”
Rasanya aku tidak sanggup melanjutkan pertanyaan kepada
mamahku. Rasa sedih mulai bergelayut. Aku bahkan merasa ma-
mahku kemudian benar-benar berada di hadapan aku. Akhirnya.
“Tapi, Siska pengin bersama Mamah. Siska ingin dipeluk
Mamah.”
“Mamah juga ingin memeluk Siska,” kata Mamah masih le-
wat bibirku juga.
“Mamah sayang sama Siska gak sih?”
“Tentu saja sayang, Siska.”
“Mamah rindu gak sama Siska?”
“Rindu, Sayang.”
“Sama Papah?”
“Juga rindu, Sayang.”
“Tapi kenapa Mamah tidak pernah menjenguk Siska?”
Mamah tersenyum dalam raut yang sedih.
“Tidak mungkin, Siska. Mamah berada di tempat yang ja-
uh.”
“Mah, Siska ingin ikut Mamah.”
Bibirku tidak mampu melanjutkan. Airmataku mulai ber-
linang. Bayangan mamahku memudar. Yang aku rasakan sepi
kian menggigit. Kemudian aku tertidur dengan kepala kurebahkan
di meja belajar sementara tanganku masih memegangi foto mamah
aku. Aku bermimpi berada di sebuah istana yang indah dan riang
bermain-main bersama Mamah.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 71


Ketika kemudian Pak Rahmat menjadi sopir pribadi pada ke-
luarga kami, aku merasa mendapat teman baru. Wajahnya yang
riang selalu nyaris menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan aku.
Itu yang aku suka. Dan ia sering membawa aku ke tempat-tempat
tertentu yang dapat menghibur hatiku, menghidupkan jiwaku.
Dan kini pengganti Pak Rahmat, namanya Arif. Lengkapnya,
Arif Muhammad Yusuf. Dia hanya tamatan SMA dan menjadi
sopir pribadi pada keluarga kami. Aku menilai dia memiliki kepri-
badian yang menarik. Orangnya sopan, sabar dan suka menolong.
Hanya saja ada kesan sedikit bloon, ahaha. Tapi seandainya diberi
kesempatan ngomong, aku yakin dia akan ngomong dengan bagus
layaknya seorang dosen di depan para mahasiswa.
Tapi bukan soal ngomong yang membuat nilai lebih pada di-
rinya. Dia seorang yang berhati lembut, penuh kasih sayang ter-
hadap sesama. Itu dilakukannya dengan penuh ketulusan. Kita
kan bisa menilai ketulusan seseorang dari perilakunya sehari-
hari? Bolehkah dinilai, perilaku sebaik dirinya disebabkan oleh
status sosialnya? Aku tidak yakin. Banyak orang yang status
sosialnya bukan di level yang tinggi juga bisa berbuat kurang
baik, kasar, sombong, dan bahkan jahat.
Sejujurnya aku terkesan ketika Arif menolak uang kembalian
dari tukang pecel. Begitu juga setelah aku tahu, ia juga sering
menyambangi panti asuhan yatim piatu. Besar atau kecil sum-
bangannya bukan masalah penting. Hal yang sudah biasa dilaku-
kan orang lain. Tapi aku mendapat kesan yang berbeda dari Arif.
Semua kebaikannya dilakukan dengan hati yang tulus. Dengan
hati. Ia telah memberi bukti bahwa ia telah berbuat, berbuat yang
terbaik. Berbuat adalah hal yang sangat patut diapresiasi. Ia pula
yang telah membangunin kesadaran aku. Bahwa hidup di dunia
ini bukan untuk mencari kesenangan pribadi. Banyak orang yang
sesungguhnya menggantungkan hidup dari bantuan orang lain.
Sikap lain Arif yang suka bikin gemes hati aku adalah sifat-
nya yang pendiam, cuek, tapi pada kesempatan lain bisa melucu.
Bisa-bisanya dia meluncurkan joke-joke yang segar. Sepertinya
aku mendapat bonus hiburan dari sopir pribadiku itu. Sudah itu,
ia juga seorang yang romantis. Tahu saja apa yang disenangi ce-

72 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


wek. Apa itu? Pujian atau rayuan. Segombal apa pun rayuan le-
laki, si cewek pasti akan terlena… terlena… oh terlena... Dan sen-
jata mematikan yang dimiliki Arif bukanlah rayuan gombal yang
vulgar. Sebab, terlalu sulit kata-kata Arif untuk digolongin ke
dalam rayuan, pujian, atau ketulusan. Nah.
Arif sering aku marahin, aku sepelekan, aku rendahkan. Tapi
dia tetap setia mengabdi pada keluarga aku. Kadang aku merasa
menyesal atas sikap aku. Aku tidak yakin bahwa kesetiaannya di-
latarbelakangi gaji yang cukup yang diberikan papahku. Terhadap
orang yang demikian, orang Barat sering menjuluki sebagai an-
jing yang setia. Tapi masa sih aku tega julukin dia serendah itu?
Jangan pernah samakan Arif dengan anjing. Ia punya prinsip. Ia
memiliki karakter yang baik.
Kalau aku ingat sikap aku kepadanya, kesalahan justru lebih
banyak ada pada diri aku. Kata-kata aku yang pedas, sikap aku
yang meremehkan, tinggi hati, dan tak mau kalah akhirnya ter-
bukti menjadi bumerang bagi diri aku sendiri. Terakhir yang
membuat hal yang membahayakan diri aku adalah saat aku nyaris
diperlakukan dengan jahat oleh sekelompok pemuda berandal. Un-
tung Arif menolongku, dia habisi para berandal itu. Walaupun
harus dengan pengorbanan jiwa raga. Jiwanya tetap sempurna
utuh, tapi raganya menderita luka-luka. Ah, ia selalu hadir tepat
waktu manakala aku membutuhkan. Ia adalah pelindung aku. Ia
adalah pahlawanku.
Tak mungkin Arif dibandingkan dengan orang lain. Dengan
Simon? Simon memang perlente, macho, dan kaya. Tapi dia
menyimpan kekasaran, egois, dan tak menghargai orang lain.
Dulu ia pernah suka pada aku dan kuakui aku pun pernah tertarik
kepadanya. Simon memang ganteng dan segala gayanya digilai
cewek-cewek. Bahkan, jujur saja, aku berangan-angan andai dia
mau mengubah perangainya sehingga ketampanannya meresap
luar dalam, maka aku, bisa jadi, memberi kesempatan pada hatinya
untuk bersemayam di dalam hatiku.
Yang membuat perbedaan lain antara Arif dan Simon adalah
soal harta dan etnis. Ah, etnis lagi. Etnis lagi. Aku sendiri hampir
frustrasi kalau mikirin masalah etnis. Kenapa orang sebaik Arif

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 73


tidak dilahirkan dari etnis Tionghoa saja? Kadang aku bertanya-
tanya kenapa Tuhan menciptakan bermacam etnis di dunia ini?
Bukankah hanya akan menyebabkan perpecahan? Etnis bisa men-
jadi penghalang pergaulan, persahabatan, apalagi cinta.
Dan saat-saat terakhir ini aku semakin menyadari akan se-
buah misteri yang hadir di dalam jiwaku. Kehadiran perasaan
yang sulit aku ungkapin dengan kata-kata. Perasaan takut kehi-
langan Arif. Arif yang pernah basah kuyup diterpa hujan yang
menghempas-hempas namun masih setia memberikan payung dan
bukain pintu mobil untuk aku. Hujan lebat itu membuat aku
merasa menyesal atas segala sikap egoisku yang aku berikan
padanya sebelumnya. Arif yang pernah jatuh bangun ngebela diri
aku dari gangguan para berandal hingga menyebabkannya ter-
luka. Aku merasa akulah yang sebenarnya yang membuat luka
pada wajah dan bibirnya. Aku yang sombong tidak mau menuruti
nasihatnya. Maka, manakala aku mengusap darah di lukanya
dengan sapu tangan aku, aku merasa yakin dia bukan seorang
pendendam. Aku juga ngerasain ada rasa perih lain yang ia rasa-
kan. Hanya dirasakannya sendiri jauh di lubuk hatinya.
Ah, kenapa aku? Kenapa aku. Kenapa aku memimpikan sopir
pribadi yang akan menjadi pengawal dalam hidup aku untuk se-
lamanya? Padahal banyak lelaki lain yang juga menaruh hati
padaku. Bila saja aku beri sedikit peluang pada Bram, Herman,
Reza, atau, ahaha Joko, aku yakin mereka akan berlomba untuk
dapetin aku.
Tapi kenapa aku hanya mengharap Arif? Kenapa hatiku se-
makin bergetaran bila menatap sinar matanya? Ia selalu meng-
hindari pandangan mata secara langsung. Ia lebih banyak men-
jatuhkan pandangannya ke bawah. Tapi toh setiap hari kami kete-
mu. Mana mungkin dapat terhindarkan adupandang di antara
kami? Dan jujur saja, aku sangat menikmati sinar matanya itu.
Kehangatan rengkuhannya yang hanya sekali di gunung itu,
dan dilakukan dengan takut-takut pula, ketika kami duduk ber-
dampingan, seolah membuatku menerima anugerah Tuhan sebuah
perasaan yang ajaib. Perasaan nyaman, damai, dan indah yang
membuat lupa akan sekat-sekat yang menghalangi kebahagiaan

74 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


sejati anak manusia. Ah, betapa aku ingin mengulang adegan
seperti itu dengannya. Bila dimungkinkan, untuk selamanya.
Kadangkala ada perasaan aneh lain yang mampu menyelusup
ke dalam hatiku. Perasaan aneh ini menjalar seiring perasaan ajaib
yang membawa keindahan. Perasaan aneh ini membawa sukmaku
berdiri pada sebuah ketinggian di tubir jurang. Manakala aku
menjenguk ke bawah, aku melihat sebuah jurang yang tak terlihat
dasarnya. Apabila tidak hati-hati aku bisa terpeleset dan tubuhku
akan melayang jatuh, akhirnya menunjam ke batu-batu karang
yang tajam.
Kini, kepada siapa aku tumpahin segala isi hatiku? Kepada
Papah, aku rasa belum saatnya. Kepada yang lain? Aku merasa
perasaan suci yang jauh dari hawa nafsu tak sepantasnya aku
curahkan kepada seseorang. Kalau begitu, kepada Tuhan? Tapi
apakah aku memiliki Tuhan? Atau kutitipkan kepada Tuhannya
Arif saja? O, Tuhannya Arif, kalau Engkau juga adalah Tuhanku,
tolonglah aku memecahkan masalah yang aku rasakan sangat pelik
ini. Tolonglah agar aku mengenyam kebahagiaan yang sejati se-
lamanya, sebagaimana yang aku rasakan manakala aku berada di
dekat Arif, lelaki yang aku dambakan sepenuh jiwa.

***

BILA malam semakin gelap, berada di kamar kost yang sem-


pit dan lembab, sendiri setelah selesai mengaji, membaca Al-
Qur’an, acap kali saya berbaring merenungkan nasib. Saya tak
pernah menolak takdir, saya ikhlas menerima keadaan dan ke-
beradaan diri saya. Tidak ada secuil pun rasa ingkar dan ke-
mudian protes kepada Allah, Sang Pencipta. Yang saya pikir ha-
nyalah berusaha untuk menjadi lebih baik dan menjadi orang yang
peduli dan bermanfaat bagi sesama.
Dalam kegelapan saya tetap berharap masih tersisa secercah
sinar yang mampu menerangi jiwa. Sinar yang mampu mencubit
kesadaran saya untuk bangun, untuk mengayunkan langkah saya
dalam menapaki kehidupan yang penuh misteri ini. Sinar itu me-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 75


mancar lirih membisik ke relung hati untuk bangkit menyongsong
matahari pagi kehidupan.
Harapan itu telah saya lambungkan sejak saya mulai bisa
mengingat, sejak saya mulai bisa berpikir. Kesadaran akan ke-
beradaan diri saya memang sudah memaksa saya harus menerima
kenyataan bahwa saya adalah seorang anak penghuni panti asuh-
an anak yatim piatu. Siapa ibu yang melahirkan, siapa ayah yang
akan melindungi, saya tidak pernah tahu, bahkan hingga diri saya
memasuki usia dewasa. Yang saya tahu bahkan pada akte kelahir-
an, tercantum nama ayah dan ibu saya, Edi Sukmono dan Siti
Hanifah. Kedua beliau adalah pengasuh Panti Asuhan Yatim
Piatu dan Anak Telantar Nurul Hadhanah di kota Kudus, Jawa
Tengah.
Sebagai penghuni panti asuhan, saya agak diistimewakan
oleh “ayah dan ibu.” Kalau anak asuh yang lain tidur di kamar
panti, sejak kecil saya tidur di kamar rumah ayah dan ibu saya.
Hal ini dikarenakan sejak bayi merah saya diasuh langsung oleh
ibu dan ayah saya. Sehingga saya tidak merasa bahwa saya terma-
suk anak yatim piatu asuhan panti asuhan itu. Tapi tidak jarang
saya juga ikut tidur bersama anak-anak sebaya di kamar panti
asuhan.
Saya juga harus bangun pagi, mengaji, bersih-bersih, sekolah,
bermain, belajar, dan sejak saat usia tujuh tahun berkewajiban
menjalankan salat. Dengan anak-anak penghuni panti lainnya
saya bisa bergaul dengan baik. Dari penghuni lama yang usianya
lebih tua, saya mendapat bimbingan. Ketika penghuni panti sudah
menginjak dewasa dan mampu hidup mandiri, mereka dipersi-
lakan meninggalkan panti. Contohnya adalah Mas Sya’roni. Dia
sudah tamat dari pendidikannya di sebuah STAIN di kota setem-
pat. Dia menikah dan kemudian hidup mandiri bersama keluar-
ganya. Setiap saat Mas Sya’roni masih menyambangi “adik-
adiknya” di panti. Kelak pada suatu saat saya pun akan mengikuti
jejak Mas Sya’roni.
Ketika saya masuk SMA, Pak Edi, ayah angkat saya, meng-
anjurkan agar saya belajar hidup mandiri di luar kota. Tepatnya,
saya dikirim ke sebuah pondok pesantren terkenal di Jombang,

76 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Jawa Timur sambil sekolah di SMA. Saya tidak keberatan, bahkan
dengan senang hati saya menyambut kehidupan baru di sana.
Apalagi semua biaya ditanggung ayah-ibu. Yang agak berat, saya
harus berpisah dengan saudara-saudara saya sepanti. Terutama
dengan adik saya, Halimatuz Zuhro. Awas, bukan Fatimatuz
Zahro atau Halimatus Sa’diyah. Dia adalah anak kandung ayah
ibu, Pak Edi dan Bunda Ifah, yang sudah demikian akrab dengan
saya.
Di Jombang saya belajar lebih dalam soal agama di samping
sekolah di SMA. Bekal yang dibutuhkan untuk mempersiapkan
diri menapaki hidup mandiri kelak. Di pesantren kami juga diberi
pelajaran ilmu bela diri. Selain sebagai olah raga menjaga kese-
hatan juga bisa dipraktikkan, digunakan, pada situasi yang tepat.
Kalau saya ceritakan pengalaman saya sewaktu di Jombang,
sudah barang tentu akan menghabiskan ratusan halaman bila di-
tulis. Tapi yang pasti, pendidikan di pondok pesantren telah me-
nempa saya sebagai seorang yang bisa menatap masa depan de-
ngan penuh optimis. Pelajaran agama yang saya dapatkan di pon-
pes itu adalah pemantapan atau peneguhan dalam diri saya untuk
hidup sabar, tawakkal, dan bersyukur.
Setelah selama tiga tahun di Jombang saya kembali ke kota
saya, Kudus. Kembali ke panti untuk membantu membimbing
“adik-adik” saya. Pada periode inilah Ayah dan Ibu membeberkan
jati diri saya. Engkau tak akan mampu menjabarkan bagaimana
perasaan hati saya menerima kenyataan ini. Ternyata saya bukan
anak kandung ibu dan ayah saya.
Bahwa saya dilahirkan oleh seorang wanita yang entah siapa
namanya. Ibu yang melahirkan saya meninggal saat melahirkan
saya di sebuah rumah bersalin swasta, atau lebih jelasnya, di
rumah seorang bidan di kota antah berantah. Saya katakan di kota
antah berantah karena kota di mana saya dilahirkan tidak jelas.
Tidak ada surat kelahiran yang dikeluarkan bidan yang menolong
persalinan ibu saya. Jadi tanggal lahir saya di akta kelahiran
hanya perkiraan yang dikarang oleh Bapak dan Ibu Edi Sukmono.
Sebagai bayi yang masih merah saya dioperkan dari seseorang ke
orang lain layaknya sebuah tongkat dalam lari estafet. Celakanya

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 77


para atlet estafet itu juga tidak jelas dari mana asal-usulnya. En-
tah dari tangan ke berapa saya dititipkan ke panti asuhan ini.
Yang masih tersisa hanyalah nama saya, sesuai permintaan
ibu kandung saya sebelum menghembuskan nafas terakhir, Arif
Muhammad Yusuf. Dan nama saya pun ikut diestafetkan. Menu-
rut saya, saya beruntung memeroleh nama yang sebagus itu. Se-
lain itu benda satu-satunya warisan dari ibu kandung saya adalah
sesobek foto. Foto seorang wanita, itulah ibu kandung saya. Se-
sobek foto lainnya pasti sosok atau wajah ayah saya yang belum
pernah saya lihat. Entah menghadapi masalah apa sehingga foto
berdua disobek hingga menjadi foto sendiri-sendiri.
Kalau saya memerhatikan foto ibu saya, saya meyakini ibu
saya adalah seorang wanita yang manis dengan warna kulit yang
sedikit lebih gelap dibanding kulit saya. Senyum ibu saya dalam
foto menyiratkan kehalusan budi, kesabaran, dan ketulusan. Ben-
tuk mulut ibu mirip dengan milik saya. Demikian juga senyum-
nya. Tapi saya tidak berani mengatakan diri saya orang yang baik,
yang sabar, halus, dan tulus. Ahaha… Saya hanya sering berima-
jinasi bahwa saya akan menjadi seorang anak yang memiliki sifat
sebagaimana yang tecermin dari wajah dan senyum ibu saya.
Kalau saya memikir lebih jauh, alangkah buruk nasib yang
dialami ibu saya. Melahirkan tanpa ditunggui suami dengan
tanpa alasan adalah penderitaan yang mahaberat. Lantas bagai-
manakah nasib ibu saya, bagaimana ceritanya tentang prosesi pe-
makaman ibu saya? Gelap. Demikian juga dengan nasib Ayah.
Apa alasan ayah saya tidak berada di samping Ibu. Apakah arti
sesobek foto Ibu dan tentu saja ada sesobek lagi, foto Ayah? Apa
maknanya? Apa sebabnya? Gelap juga. Bahkan saya sempat ber-
pikir, apakah saya anak dari hasil hubungan gelap? Atau, anak
dari buah perkosaan? Atau saya berasal dari bayi yang dibuang di
tempat sampah? Lagi-lagi gelap.
Saya pun kadang membayangkan ayah saya saat ini masih
hidup di dalam penjara. Mungkin ia pembunuh, begal, koruptor,
anggota dewan, atau bandar narkoba. Barangkali pula ia hanya
seorang tukang ojek atau tukang becak yang miskin. Atau siapa
tahu ayah saya seorang konglomerat.

78 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Dan saya tidak dapat menilai diri saya apakah mengantongi
kesuksesan atau sebaliknya. Bermaksud hidup mandiri maka saya
berkelana ke kota ini. Di kota ini pada awalnya saya menjadi sopir
taksi hingga hampir setahun. Tapi profesi itu membutuhkan eks-
tra waktu sehingga mengganggu aktivitas saya seperti mengaji
dan kegiatan lain. Pada saat yang sama kebijakan pemilik taksi
akan mengurangi armadanya dikarenakan perusahaannya merugi.
Saya sempat grogi karena saya akan menemui kesulitan untuk
bayar sewa kamar dan biaya rutinitas saya.
Untung ada Pak Rahmat, sesama sopir yang sering salat ber-
jamaah di masjid dekat kampus Universitas Satya Mulia Brata.
Kami sering bertemu dan berbincang bersama. Memang ada keco-
cokan di antara kami mengenai prinsip hidup. Ketika Pak Rahmat
menawarkan pekerjaannya untuk saya gantikan sudah barang
tentu tidak saya tolak. Saya mengagumi Pak Rahmat sebagai
orang tua yang enerjik namun tak mengurangi aktivitas ibadah-
nya.
Pendidikan agama yang saya peroleh, terutama dari pondok
pesantren, baik pondok pesantren di Jombang maupun di kota
saya, cukup menekan kadar rendah diri saya akibat latar belakang
kehidupan keluarga saya. Namun, sebagai manusia biasa, saya se-
ring jatuh ke tingkat kerendahan diri yang paling dalam. Ini ber-
laku terutama bila berhadapan dengan teman-teman gadis.
Apalagi dengan seorang gadis yang bayangannya selalu menyeli-
nap ke rongga dada saya.
Ah, saya tak berdaya dan serasa nyali saya luluh lantak bila
harus berhadapan dengan juragan cakep saya, Puteri Cinderella
saya, atau Puteri Angsa Putih saya. Fransiska Adrianasari, nama
yang langsung terlekat erat di dinding jantung saya. Andai saya
dipaksa untuk merenggut nama itu, saya yakin akan berakibat
muncratnya darah dari rongga dada saya. Perihnya tak terkata.
Ketertarikan saya pada majikan cakep saya diawali sejak hari
pertama saya bekerja sebagai sopir pribadi pada keluarganya. Saya
terpesona saat itu. Yang membuat saya tercengang, ia mempunyai
dasar kepribadian yang menarik. Hal itu ditunjukkan dengan ke-
peduliannya terhadap penderitaan orang lain semisal korban ben-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 79


cana alam. Ia begitu gigih mempertahankan prinsipnya untuk
menolong sesama dengan sepenuh hati. Ia bahkan rela bertengkar
dengan seseorang yang tertarik padanya yang padahal ia pun
memiliki perasaan yang sama.
Saya sering merasa frustrasi kenapa saya bisa tertarik,
bahkan hanya bisa tertarik, kepada seseorang yang nyaris tak
mungkin akan saya miliki. Siska yang anak orang yang kaya raya,
dari etnis Tionghoa, berbeda keyakinan pula. Kenapa perasaan
aneh ini terus menjalar dan merimbun di dalam hati. Ketika saya
berusaha menyangkalnya, menolaknya, jalaran dan kerimbunan
perasaan aneh itu kian melebat saja. Kenapa saya tidak mampu
memberangus kerimbunan perasaan yang ajaib ini? Saya sering
mengajukan pertanyaan itu walaupun saya menyadari, sayalah
pungguk yang merindukan Pluto. Atau planit yang lebih jauh,
Haumea, Makemake, atau Eris.

***

“MENGAPA manusia di dunia ini harus tersekat-sekat


dalam ras dan suku-suku ya, Rif?” Siska memulai curhatnya
kepada Arif.
“Itulah kebesaran Tuhan, Non,” jawab Arif.
“Tapi perbedaan ras sering membuat perpecahan,
kan?”
“Iya, Non. Itu kembali kepada manusianya yang ku-
rang tepat memaknai perbedaan.”
“Kalau menurut kamu yang tepat seharusnya bagaima-
na?”
“Yah, perbedaan ras harus disikapi untuk saling me-
ngenal, berkomunikasi dan bekerja sama untuk kebaikan
bersama.”
“Begitu menurut kamu?”
“Ini bukan menurut saya, Non. Ini mengacu pada Fir-
man Tuhan di dalam kitab suci yang saya imani.”

80 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Siska menghela nafas sebelum akhirnya menanggapi
pernyataan Arif.
“Betul juga, Rif. Makanya kini aku telah memeroleh
jawaban atas pertanyaan yang lama aku pendam dalam hati
aku.”
“Pertanyaan apa, Non?”
“Mengapa aku dilahirkan sebagai orang Tionghoa dan
kamu orang Jawa. Berbulan-bulan aku memikirkan ketidak-
adilan itu. Aku katakan ketidakadilan dikarenakan dengan
adanya perbedaan ras itu maka terciptalah jurang pemisah
antara kamu dan aku. Tapi kalau aku pikir lebih jauh, sean-
dainya aku dan kamu dilahirkan dalam sesama etnis, belum
tentu Tuhan mempertemukan kita. Bukan begitu, Rif?”
“Hmmm… agaknya Non Siska sudah menerima sete-
ngah hidayah,” jawab Arif seraya tersenyum.
“Apa itu hidayah, Rif?”
Arif semakin memperlebar senyumnya.

***

HARI belum siang benar. Matahari menerobos sela-sela


dedaunan pohon-pohon menghasilkan sinar-sinar yang
berseminau di sepanjang jalan yang menghubungkan ge-
dung demi gedung fakultas. Melangkah sendiri di trotoar
bermaksud mau ketemu Berty di gedung fakultas kedok-
teran, Siska malah ketemu Simon dan beberapa temannya.
Ingin rasanya Siska menghindari cowok itu tapi situasi su-
dah tidak memungkinkan. Ia terpaksa berhenti. Simon dan
kedua teman ceweknya seakan menghalangi trotoar. Ada
beberapa mahasiswa lain yang mau lewat jadi agak ter-
ganggu.
“Hai Sis, mau ke mana nih?” sapa Simon seraya terse-
nyum ramah.
Dua cewek Simon, Dona dan Fenny juga berhai-hai ke-
pada Siska.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 81


“Ke Kedokteran. Kalian mau ke mana?”
“Memang gue sedang cari elu!” jawab Simon.
“Cari aku?” Siska mulai waspada.
“Gue mau ngadain acara pesta sederhana.”
“Oh ya, aku tahu. Kamu habis diwisuda ya, Sim? Se-
lamat. Selamat.”
Menjabat tangan Simon, Siska merasa ada perubahan
pada sikap Simon.
“Mau ngadain pesta syukuran nih?” basa-basi Siska.
Basa-basi itu malah jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Peluang dihadiahkan begitu saja kepada Simon dan cs-nya.
Padahal sedari tadi ia ingin menghindar.
“Malem Minggu tanggal 28, jadi masih 4 hari lagi.
Datang ya, Sis!” harap Simon dengan memberikan info lo-
kasi pestanya diadakan. “Memang tidak pakai undangan.”
“Kalau elu nggak datang, kurang seru nih! Kalau perlu
gue jemput dari rumah elu. Oke?”
Sebelum Siska sempat memberi jawaban, teman-teman
cewek Simon saling memberi support agar Siska mau
datang dalam pesta Simon nanti.
“Ya, ayolah, Sis. Nanti kami samperin ya?”
“Gue ingin baikan sama elu, Sis. Baiknya kita lupain
kekonyolan-kekonyolan kemarin. Masa kita harus berantem
terus?” kata Simon sebelum berpisah.
Masalah undangan Simon itulah yang disampaikan
Siska kepada Arif. Siska menunggu pendapat Arif.
“Bagaimana menurutmu, Rif?”
Arif masih terdiam dengan sedikit menahan nafas.
“Aku memeroleh kesan, Simon mulai berubah. Ia tidak
sesombong dulu.” Siska meyakinkan.
Arif merasakan nafasnya seakan mau berhenti.
“Kapan pesta diadakan?” tanya Arif.
“Lusa malam. Antar aku ya, Rif?”
“Tempatnya?”
Siska menyebutkan tempat pesta Simon diadakan.

82 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ah? Itu kan tidak jauh dari kampus Universitas Merah
Putih?”
“Iya…, memang benar.”
“Mengapa pesta harus mengambil tempat yang sepi
dan agak terpencil itu?”
“Mana aku tahu? Aku kan hanya diundang. Mungkin
memilih tempat yang tenang.”
“Apa Non Siska tidak merasa akan terjadi sesuatu hal
yang tidak diinginkan di dalam pesta itu?”
“Ah, gak tuh?”
Arif menghela nafas.
“Anterin aku ya?”
“Hmm… sebaiknya tidak usah datang saja.”
“Ngapain? Kamu cemburu ya?” Siska menatap wajah
Arif yang rusuh.
Arif gelagapan. “Saya belum percaya kepada Simon!”
Jawaban itu tidak memuaskan hati Siska.
“Kalau begitu aku berangkat sendiri.”
“Non Siska berani?”
“Siapa takut?”

***

KEESOKAN siangnya ketika Arif selesai mengantarkan


pulang Non Siska-nya, ia ditemui Warsiti, salah seorang
pembantu rumah tangga keluarga Siska. Warsiti menemui
Arif di ruang istirahatnya di dekat dapur. Ruang itu dulu
dipakai Pak Rahmat sebagai kamar tidurnya. Berbeda de-
ngan Arif yang lebih suka tinggal di kamar kostnya. Dengan
setengah berbisik Warsiti menyampaikan pesan dari Bu Er,
panggilan Tante Ervina, agar Arif langsung menemui Bu Er
di salah sebuah tokonya. Pesan Bu Er lewat Warsiti, agar
kepergian Arif menemui Bu Er tidak diketahui oleh Siska
dan papahnya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 83


Arif merasa heran, tidak biasanya Bu Er memanggil di-
rinya. Kalau sedang di rumah, perempuan itu cuek, tidak
pernah menghiraukan dirinya. Apalagi harus menemuinya
ke toko secara diam-diam pula.
Dengan motor Honda Astrea Prima keluaran tahun
1990 yang ia punya, Arif melesat ke toko Bu Er. Untung me-
sin motor tua itu masih handal sehingga tidak ada gang-
guan selama dalam perjalanan. Ramai lalu lintas tidak ia
hiraukan. Panas matahari siang itu sungguh menyengat.
Tapi peluh pada hati Arif yang lebih banyak mengalir.
“Rif, aku mau bicara sama kamu,” kata Tante Ervina
membuka percakapan setelah meminta Arif untuk masuk
ke ruang tengah. Perawan tua yang sarjana hukum itu terli-
hat sangat berwibawa di mata Arif. Ia mencoba mengatur
pernafasannya.
“Ya, Bu. Silakan. Ada yang perlu saya bantu?”
“Aku memang perlu bantuanmu, Rif! Dan ini memang
hal yang serius.”
Arif semakin tegang. Seribu tanda tanya berpusing-pu-
sing dalam benaknya.
“Aku tahu, bahkan siapa pun tahu, kamu orang yang
baik, Rif. Tapi kebaikan itu bisa menjadi luntur akibat per-
buatan sendiri. Selain itu bisa dikarenakan persepsi orang
lain.”
Arif merasa bahwa kata-kata Tante Ervina itu hanya
menambah pusing saja.
“Baiklah, aku mau langsung saja bicara pada masalah
intinya. Tapi jawab dengan jujur pertanyaanku ya?”
Arif hanya bisa mengangguk.
“Apakah benar hubungan kamu dengan juraganmu,
maksudku Siska, telah melewati batas, terlampau jauh?”
Seketika Arif merasa sesak bernafas. Tapi dengan agak
bergetar masih mampu mengeluarkan suara.
“Maksudnya kelewat batas terlalu jauh?”

84 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ya, hubungan itu menjadi hubungan yang bukan seka-
dar antara majikan dan sopirnya. Banyak orang yang tahu,
lantas memperbincangkan, atau hanya berbisik-bisik. Siska
pacaran sama sopirnya, seorang sopir main gila sama maji-
kan wanitanya.”
Arif semakin terpojok. Sebuah tikaman pisau membuat
hatinya merasakan perih yang tak terperikan. Akhirnya,
saat-saat seperti ini tiba juga.
“Tegas, Rif. Jawab dengan jujur, apa kamu suka kepada
keponakanku Siska?”
“Benar, saya suka, Bu!” Arif mencoba tegas.
“Bagus kalau kamu mau jujur. Kamu tidak bersalah,
Rif. Cinta tidak memandang perbedaan keyakinan, status
sosial, dan warna kulit. Cinta bisa tiba-tiba tumbuh kapan
dan di mana pun. Cinta memang selalu irrasional.” Tante
Ervina memberikan pandangannya dengan suara lembut.
“Namun, kamu harus ingat, Rif. Tidak semua cinta
mesti disambut keharmonisan. Bagaimana mungkin men-
jadi harmonis apabila semua perbedaan dipaksakan untuk
dipersatukan? Keyakinan yang berbeda dipaksa dipersatu-
kan? Apakah tidak menggelikan antara sopir dan majikan
dipersatukan? Apakah tidak jadi bahan tertawaan orang
warna kulit yang berbeda dipaksa dipersatukan?” Tante
Ervina seakan memberi ceramah. Lalu lanjutnya.
“Antara mereka yang bercinta kadang lupa bahwa cinta
mereka harus dibarengi dengan cinta seluruh keluarga ma-
sing-masing. Karena hakekatnya, persatuan cinta atau ikat-
an perkawinan itu adalah bukan hanya perkawinan antara
sepasang kekasih tetapi juga perkawinan sepasang keluarga
besar. Kamu paham maksudku, Rif?”
“Paham, Bu,” jawab Arif dengan suara tak kalah lem-
but. Protes akan pendapat Bu Er dengan mengajukan ba-
nyak contoh kasus serasa akan tiada gunanya.
“Nah, sebelum akhirnya kamu melangkah lebih jauh,
hubunganmu dengan Siska harus diakhiri!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 85


Badai dan halilintar menghajar jiwa Arif. Tanpa ampun.

***

86 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


7.
Dan Anginpun Bertiup Kencang

SEBELUM berangkat kerja ke toko, pagi itu Tante Ervi-


na sengaja memarkirkan mobilnya dekat teras samping. Se-
pertinya ia sengaja menunggu terjadinya sebuah moment
yang menarik. Siapa lagi kalau bukan Siska dan sopirnya
yang akan ia intai.
Ia lihat Arif telah memarkirkan mobilnya seperti biasa
di depan pintu utama. Ia melihat pemuda itu juga seperti
biasa duduk di trap teras, membungkuk, dengan paha se-
bagai tumpuan tangannya. Kali ini kepala pemuda itu ter-
tunduk. Wajahnya kuyu. Tapi hati Tante Ervina tersenyum,
melihatnya sebagai sebuah kelucuan. Si pungguk segera
mencari hinggapan dengan mendamba rembulan yang lain,
karena rembulan yang di sini terlalu jauh dari jangkauan.
Akhir bulan ini sopir sialan itu segera hengkang. Dan sopir
baru segera menggantikan.
Tante Ervina ingin memastikan bahwa Arif tidak meng-
ingkari perintahnya untuk menjauhi Siska. Waktu yang
tinggal lima hari harus dipatuhi oleh sopir pribadi itu. Mu-
lai bulan depan tidak boleh lagi ia menampakkan batang
hidungnya. Tante Ervina tidak ingin melihat lagi kepona-
kannya yang cantik dan kaya akan dipersunting oleh seo-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 87


rang sopir pribadinya. Memalukan. Sangat memalukan.
Masyarakat tidak boleh melihat lagi Siska duduk di kursi
depan di samping sopirnya.
Kalau kemudian Tante Ervina mulai jemu menunggu
moment yang dinantikan, baru pada saat itulah Siska mun-
cul. Wajah yang ceria, gerak yang lincah dari keponakannya
semakin membulatkan tekad untuk melindungi kepona-
kannya itu.
Tak lama dilihatnya Arif membukakan pintu belakang
bagi majikannya, seraya mengucapkan salam dan … “Si-
lakan, Non.”
Siska tergelak akan sikap sopirnya yang sedang melucu
itu. Tapi agaknya Arif memang sedang serius. Tante Ervina
melihat dan mendengar adegan itu walau dengan suara
yang samar-samar. Tapi ia perkirakan terjadi dialog yang
cukup seru.
“Apa-apaan ini, Rif?!” hardik Siska.
“Saya ingin mengembalikan posisi saya sebagai sopir
pribadi. Tidak boleh lagi terjadi hubungan yang melewati
batas.” Arif masih memegangi daun pintu belakang mobil-
nya agar tetap terbuka untuk majikan cakepnya itu.
Sejenak Siska terpana. Ia menyangka ini adalah reaksi
dari orang yang cemburu terhadap Simon. Maka iapun ti-
dak peduli, ia membuka pintu depan, duduk di sebelah
sopir, dan menarik daun pintu keras-keras. Arif mati kutu.
Terpaksa ia mengemudikan mobil itu dengan juragan
cakepnya duduk di sebelahnya. Semua adegan ini terekam
pada mata Tante Ervina.
Tante Ervina menghela nafas. Ia menyaksikan, ternyata
yang lebih agresif justru keponakannya sendiri. Kalau be-
gitu, adu kuat, siapa yang kuat bertahan. Dan siapa yang
akan menyerah. Ervina atau mereka. Atau, zaman memang
sudah berubah. Zaman memang sudah berubah? Atau diriku yang
seharusnya ikut berubah?

88 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Di sepanjang perjalanan Arif tidak berani membuka
mulut. Wajahnya yang rusuh tidak bisa disembunyikan
lagi. Siska pun jadi penasaran.
“Rif, ada apa sih sebenarnya?”
Arif masih malas membuka mulut.
“Ngomong, dong, Rif.”
“Ngomong apa, Non?”
“Ya, apa saja.”
“Asal tidak bicara masalah pribadi Non Siska?” gurau
Arif. Tapi Siska melihatnya sebagai gurauan yang dipaksa-
kan.
“Ada yang membuat kamu sedih, Rif. Mungkinkah aku
telah menyakiti hatimu?”
“Ah, nggak. Non Siska tidak melakukan kesalahan apa
pun.”
“Kalau begitu, mana… ahaha…mu?”
Arif hanya tersenyum getir.
“Atau kamu mendapat tekanan dari seseorang?”
Arif menghela nafas kembali.
“Atau kamu memang cemburu dengan Simon?,” kejar
Siska.
“Saya tidak dalam kapasitas cemburu terhadap seseo-
rang. Saya hanya seorang sopir.”
Jawaban yang tidak memuaskan. Bahkan menjengkel-
kan.
“Kalau begitu apa bedanya dekat denganmu dan dekat
dengan Simon, apa bedanya bersamamu dan bersama Si-
mon? Rif, jawab!”
Suara Siska sudah terdengar lain. Pertanda berbagai
macam perasaan mengaduk-aduk hatinya. Melihat gelagat
itu semakin membuat kalut di benak Arif. Ia pun merasakan
seperti orang gila setelah mendapat ulitimatum dari Tante
Ervina.
“Okelah kalau kamu gak mau menjawab. Kalau begitu,
aku akan datang ke pesta Simon! Apa pun yang terjadi! Biar

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 89


hancur sekalian! Kalau kamu gak mau nganterin, aku bisa
nyetir sendiri! Atau biar disamperin teman-teman!”
“Non!”

***

ADA rasa tersia di dalam perasaan Siska. Ada rasa ke-


cewa yang mendalam di dalam hati Siska. Ada rasa terluka
di dalam jantung Siska. Ada seribu perasaan duka yang lain
bergelayut dalam benak Siska. Penyebabnya tak lain adalah
sikap Arif yang tiba-tiba berubah. Arif kembali bersikap
seperti ketika hari-hari pertama mulai bekerja pada ke-
luarga Siska. Istilah Arif, memosisikan kembali pada tempat
yang semestinya.
Lantas, apa artinya sikap dia sebelumnya yang demikian
mesra? Apa artinya mbelain mati-matian manakala diri aku
menghadapi bahaya? Apa artinya kata-kata pujian yang dialamat-
kan kepada aku? Sekadar joke-joke belaka? Tidak. Pasti tidak.
Karena sinar mata tidak pernah berkata dusta.
Walaupun Siska telah berdandan dengan gaun pesta,
hatinya tetap resah. Ia menunggu dan menunggu. Apakah
Arif yang tiba-tiba muncul kemudian mengalah mengantar-
kannya? Atau ia sendiri yang akan mengemudikan mobil-
nya datang ke pesta? Atau ada mobil jemputan dari Simon?
Atau ada rombongan yang jadi nyamperin dirinya? Semua
kemungkinan itu malah bikin pusing.
Tadi ia telah minta diri, pamit, kepada papahnya.
Orang tua itu hampir tidak pernah melarang apa kemauan
anak tunggalnya. Hanya pesannya, “Suruh Arif mengantar-
kan. Aku khawatir kalau kamu berangkat sendiri.”
Siska hanya mengangguk. Lantas dengan gontai ia per-
gi.
Bahkan papahnya masih memercayai Arif. Tapi yang
dipercaya malah sengaja mengambil jarak dengannya. Ada
apa sebenarnya?

90 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Maka ia menunggu dengan resah. Sudahlah, apa yang
terjadi terjadilah. Dan seakan tak percaya pada diri sendiri,
jari-jari tangannya memencet-mencet hp-nya. Misscall kepa-
da Arif. Padahal Arif sudah pulang sejak sore tadi, kembali
ke tempat kostnya.
Keresahan juga dialami Arif. Ia seperti orang kalap
yang gelap mata. Hatinya hancur dicampur kemarahan
yang menggelegak. Di kamar kostnya ia merasa sedang
menghadapi sebuah dilema. Kalau nekad mengantarkan ju-
ragan cantiknya ia akan kena marah Tante Ervina. Bila ia
memilih tinggal diam, ada perasaan tidak enak, semacam
kekhawatiran, yang bersemayam dalam hatinya. Jujur saja,
ia tidak bisa memercayai Simon begitu saja.
Tiba-tiba hpnya melengking-lengking. Misscall dari Sis-
ka!
Jadi, aku harus berbuat. Secepatnya. Betapa pun tidak akan
kubiarkan seseorang yang telah menempati sudut hatiku terdalam
tersandung lagi pada persoalan yang tidak diingini.

***

DI TEMPAT pesta itu Siska merasa heran karena tidak


sebagaimana pesta diadakan. Halaman rumah yang luas itu
tetap dibiarkan remang-remang kalau tidak boleh dikatakan
gelap. Hanya ada beberapa mobil parkir di halaman. Ia
sampai juga ke tempat itu karena disamperi oleh Dona dan
cowoknya, Bob.
Di dalam ruangan pesta itu Siska jadi semakin heran.
Ruangan yang dipakai adalah ruang tamu yang cukup
luas. Sinar lampunya juga remang, tidak ada makanan atau-
pun minuman yang menunjukkan ada pesta. Yang ada
hanya botol-botol, gelas-gelas, buah-buahan, dan kue-kue
sekadarnya. Beberapa pasangan muda-mudi sedang ramai
bergurau. Kedatangan Siska membuat mereka menghenti-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 91


kan aktivitasnya. Ada yang berhai-hai kepada Siska. Ada
yang hanya senyum-senyum saja.
“Lho ini pesta apaan?” tanya Siska kepada Dona.
“Pesta sederhana. Tapi acaranya nanti yang luar biasa.
Tunggu saja,” jelas Dona.
Hati Siska semakin tidak enak. Harus menunggu lagi.
Sampai jam berapa pesta selesai?
“Undangan yang lain belum datang?”
“Tenang, Sis. Memang hanya lima pasangan yang ikut
pesta. Termasuk kau Sis,” kata Dona pula.
Siska tercengang. Ia jadi menyesal telah bergabung
pada kelompok yang tak jelas ini.
“Kalau begitu aku pulang saja. Ini sih bukan pesta!”
“Kau mau pulang sendiri? Rumahmu jauh, jalanan sepi
dan gelap. Apa kamu tidak takut?”
Bersamaan itu Simon muncul dari ruang dalam. Ia me-
ngenakan kaos kuning. Terlihat cemerlang. Nilai tambah ba-
gi ketampanannya. Tak heran banyak gadis yang tergila-
gila padanya.
“Ayo temen-temen, kita mulai pesta ini dengan bersu-
lang!” ajak Simon.
Para muda-mudi itu dengan bersemangat mengambil
gelas dan menuangkan beberapa percik minuman berwarna
merah. Tapi itu bukan dari botol Fanta, tapi entah botol apa.
Bau semerbak yang tajam menusuk hidung hingga teng-
gorokan. Mereka mulai mengangkat gelasnya masing-ma-
sing kecuali Siska.
Simon membawakan satu gelas kepada Siska.
“Ini sebagai penghangat badan. Nggak apa-apa.” Si-
mon memaksa Siska menerima gelas dari tangannya. “Se-
bagai penghormatan buat gue.”
Siska terpaksa menerima gelas itu dan ikut mengang-
katnya.
“Mari bersulang!”

92 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Semua menenggak minuman dari gelas masing-masing.
Lantas bertepuk tangan.
Siska tidak ikut meminum minuman itu. Ia bahkan me-
numpahkannya ke lantai.
Semua terkejut melihat ulah Siska. Perbuatan itu bisa
dimaknai sebagai penghinaan bagi tuan rumah. Mereka
terdiam sesaat.
Di luar dugaan, Simon tersenyum. Ia tenang-tenang sa-
ja. Seakan tidak terjadi apa pun. Dihampirinya Siska. Diper-
kenalkannya kepada teman-temannya yang lain.
“Temen-temen, ini temen baru kita, Siska. Memang be-
lum kenal dan terbiasa dengan acara kita ini. Harap temen-
temen bisa memaklumi. Terimalah Siska sebagai temen kita
juga. Sekarang pesta boleh dimulai dengan acara yang te-
men-temen bikin sendiri.”
Mereka mulai menyetel musik keras-keras. Nge-dance.
Asap mulai berkelun.
Hah, pesta apaan? Bulu kuduk Siska jadi bergidik.
“Sis, kalau elu nggak mau minum yang itu, di sana ada
Coca-cola, atau teh juga ada.”
“Gak usah.” Siska menggeleng. Selera makannya telah
terbang.
Pesta meningkat ke acara menari dan berpeluk-pelukan
antarpasangan.
“Ayolah, Sis. Kita ke taman saja. Elu lebih cocok di sa-
na.” Simon menarik tangan Siska.
Siska seperti digelandang oleh Simon. Ia ingin meronta
tapi tangan Simon lebih kuat. Simon membawa Siska masuk
ke ruang dalam. Maksudnya akan menuju ke taman di be-
lakang. Tapi ketika melewati sebuah kamar yang pintunya
setengah terbuka, tiba-tiba Simon mendorong Siska masuk.
Siska sempat menjerit. Tapi Simon lebih sigap. Kini mereka
berdua sudah berada di dalam kamar. Dan Simon lebih ce-
pat mengunci pintunya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 93


Sementara itu Arif mengendap-endap melihat ke kaca
jendela ruang tamu. Ia menyaksikan pesta itu. Seperti se-
kumpulan binatang, kata hatinya. Ia mencari-cari Siska.
Tapi yang dicari tidak ada di tempat itu.
Arif bisa sampai ke tempat itu setelah minta izin ke
Tuan Hendra untuk menjemput Siska. Dilarikan mobilnya
dengan kecepatan tinggi dan memarkir mobilnya di tepi
jalan yang agak gelap di dekat rumah itu. Pintu pagar de-
pan memang sudah ditutup. Namun, pintu pagar kecil un-
tuk jalan perseorangan belum dikunci. Ia menyelinap ma-
suk halaman, memilih kegelapan dan mengendap-endap di
antara mobil-mobil yang parkir di situ. Dengan bersijingkat
ia menuju gedung itu.
Arif mengulangi perhatiannya pada peserta pesta itu.
Mereka berpelukan dan ada pasangan yang sudah bergu-
lingan di karpet di sudut ruangan. Apakah itu Siska? Tidak
jelas. Ia mencoba mencari ruangan lain. Siapa tahu ada
sekelompok lagi di sana.
Di dalam kamar tidur yang cukup luas, Siska sedang
berjuang mempertahankan kehormatannya. Setiap kali Si-
mon akan memeluknya setiap kali itu pula Siska membe-
rontak dengan pukulan dan tendangan. Perubahan sikap Si-
mon yang menjadi lembut dan sopan ternyata hanya san-
diwara. Simon masih saja serigala yang liar, bahkan sema-
kin buas.
“Tidak ada gunanya kamu teriak. Rumah ini terpencil,
jauh dari rumah penduduk.”
Siska masih sempat meraih vas bunga dan melempar-
kannya pada Simon. Kemarahan Simon semakin naik. Tiba-
tiba ia menyeruduk Siska dan mendorongnya ke tempat
tidur. Keduanya terhempas ke tempat tidur. Mereka bergu-
lingan. Yang seorang melancarkan serangan. Yang lain
berusaha melepaskan diri.
Merasa berada di atas angin, Simon memberi ultima-
tum.

94 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Mau bercinta dengan gue, akan jadi kekasih gue! Me-
nolak gue, jangan harap umur elu lebih panjang!” Seringai
Simon dengan semua kaki dan lengannya menjepit tubuh
Siska, sementara jari-jari kedua telapak tangannya siap
memberikan tekanan yang lebih kuat ke leher gadis itu.
“Ayam putih mulus ternyata lebih suka mati disembelih…
he he he!”
Siska tercekik dan mulai panik. Apakah harus memilih
mati? Atau harus menuruti nafsu serigala liar ini? Yang ke-
mudian terbayang adalah wajah Arif. Arif telah memberi
peringatan betapa berbahayanya Simon. Arif yang nyaris
selalu benar. Dan kali ini ia pun benar. Tiba-tiba Siska teri-
ngat. Oh, Tuhannya Arif, tolong aku!
“Toloong…!”
“Heh heh heh… minta tolong?, beteriaklah elu! Per-
cuma!”
“Rif…! Riiif…! Ariiiiff….!!!”
Suara teriakan kecil itu terdengar ke telinga Arif. De-
ngan cepat ia mengendap-endap ke jendela sebuah kamar.
Jendela itu cukup besar. Karena lampu yang juga menyala,
maka ia bisa dengan jelas melihat apa yang terjadi di dalam
kamar itu. Dua orang bergumul di tempat tidur. Tak salah,
mereka adalah Simon dan Siska. Dengan mata dan kepala
sendiri Arif menyaksikan pemberontakan Siska menghindar
dari pemerkosaan yang dilakukan Simon.
“Ariiiff…! Riiiiff……!!!” teriak Siska.
Jendela ternyata tidak dikunci. Dengan menguak jende-
la ke atas, Arif langsung melompat ke dalam kamar.
Simon terkejut. Kesempatan diambil Siska untuk me-
lepaskan diri.
“Siapa elu?!! Kurang ajar! Berani-beraninya elu masuk
ke kamar gue?!”
Kemarahan Arif sudah mendidih. Tanpa menunggu ka-
ta-kata selanjutnya dari Simon, ia lancarkan tendangan me-
nyilang. Buk! Simon terjungkal. Baru saja berdiri Simon su-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 95


dah menerima kepalan Arif hingga terhuyung. Dan, lagi-
lagi tanpa memberi kesempatan kepada Simon, tendangan
dan hantaman dilancarkan Arif.
“Sudah Rif, sudah…!” Siska merasa ngeri melihat ade-
gan itu.
“Cepat, kamu keluar! Lewat jendela! Tunggu aku!” pe-
rintah Arif.
Ketika bakuhantam masih berlangsung, dengan susah
payah Siska berhasil keluar lewat jendela.
Tiba-tiba Simon yang merasa terdesak, bergerak ke arah
pintu kamar. Anak kunci ia putar dan keluarlah ia sambil
berteriak-teriak memanggil teman untuk membantunya.
Tapi Arif pun dengan sigap meloncat dan keluar dari
jendela. Ia raih Siska yang sudah menunggu dengan keta-
kutan.
“Lari!”
Dengan menarik tangan Siska, Arif mengajak Siska un-
tuk mengikutinya melarikan diri. Ketika hampir mencapai
pintu pagar depan, Simon dan kawan-kawan menyusul
mengejar dan berteriak kepada penjaga pintu.
“Tangkap dua orang itu..!!” perintahnya kepada pen-
jaga.
Penjaga itu bermaksud menghadang dua sejoli yang
melarikan diri. Busyet! Tadi waktu masuk tidak ada pen-
jaga. Sekarang ia nongol.
“Berhenti! Berhenti!” teriak penjaga itu menghadang.
Tapi jawaban yang ia terima sebuah kepalan tangan
dan tendangan dari Arif yang membuatnya langsung ter-
sungkur.
“Ayo lari, belok kiri!” Arif memberi arahan. Mereka
berhasil keluar melewati pintu kecil.
Beberapa teman Simon masih mencoba mengejar.
Beberapa puluh meter dari pintu gerbang, mobil Honda
Jazz itu diparkir. Ketika sudah berada di dalam mobil, Siska
menjatuhkan punggungnya pada sandaran seraya merapi-

96 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


kan rambutnya yang acak-acakan. Nafasnya tersengal sea-
kan mau putus. Demikian juga Arif. Tanpa dikomando ia
larikan mobilnya.
“Kita dikejar!” Arif memberi peringatan setelah melihat
sorot lampu dari kaca spionnya.
Ketika Siska menengok ke belakang, ia mengenali mo-
bil yang mengejarnya. “Simon!” desisnya.
Tak ayal lagi Arif menginjak pedal gas. Namun, mobil
di belakangnya terus mengejar dengan kecepatan yang juga
dinaikkan. Terjadilah kejar-kejaran mobil seperti dalam
film. Kadang Arif seperti ingin menggoda lawannya di be-
lakang. Tiba-tiba ia belokkan mobilnya ke kiri atau ke kanan
bahkan berbalik arah melewati jalan yang sama lagi. Un-
tung jalan sedang sepi.
Siska merasa seakan dikocok-kocok perutnya, diom-
bang-ambingkan, atau seakan mau dibentur-benturkan
kepalanya antara ke kaca depan dan sandaran.
“Hati-hati! Berpegangan!” perintah Arif kepada Siska.
Tiba-tiba Arif mendapat akal untuk mengerjai lawan-
nya. Sengaja ia larikan mobilnya ke arah pegunungan. Ia
hafal betul liku-liku jalanan di daerah itu. Mobil Simon
terus menguntitnya dengan kecepatan yang tak kalah ting-
gi. Jarak kedua mobil itu semakin pendek.
Jalanan tanpa lampu dan langit hanya dihiasi bintang-
bintang. Arif tiba-tiba membelokkan mobilnya ke kanan
memasuki jalan tidak beraspal dan segera mematikan lam-
pu mobilnya. Ia hafal jalan itu yang akan semakin sempit
dan di sebelah kiri menganga jurang yang cukup curam. Ini
menguntungkannya karena bodi mobilnya lebih kecil di-
banding mobil Simon. Arif sudah hafal ke mana harus me-
larikan mobilnya. Pada sebuah ceruk yang agak lapang Arif
menghentikan dan mematikan mesin mobilnya.
Simon tergagap ketika ia telanjur masuk ke jalan yang
ternyata semakin sempit dan kehilangan jejak karena mobil
Arif mematikan lampunya. Sebelum sempat mengurangi

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 97


kecepatan, di jalan yang semakin sempit itu mobil Simon
menyenggol rimbunan daun yang ternyata di baliknya ada
sebatang pohon besar. Brakk! Dan mobil Simon kehilangan
keseimbangan. Ia tak berhasil menguasai kemudi. Mobilnya
oleng dan terlempar ke sebelah kiri. Mobil itu terguling-
guling, melorot, dan jatuh berdebam lagi sebelum mende-
kam di dasar jurang dalam keadaan telentang. Jurang itu
tidak terlalu curam. Kedalamannya hanya sekitar dua puluh
lima meter! Perkirakan apa yang terjadi dengan penumpang
yang ada di dalamnya. Untung mobil itu tidak meledak.
Dengan segera Arif memutar mobilnya sepanjang lebih
dari empat puluh meter untuk kembali ke jalan raya. Ia tak
mau berurusan dengan penduduk di sekitar daerah itu.
Tanpa ayal ia larikan mobilnya untuk pulang. Ia menghela
nafas, dan mulutnya komat-kamit melafalkan Allahu Ak-
bar, Allahu Akbar, Allahu Akbar….
“Pesta yang indah dan mengesankan!” Sindir Arif de-
ngan ketus.
Siska hanya berusaha menahan isaknya. Hatinya masih
diliputi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa.
Sesampai di rumah Siska belum mau turun.
“Mengapa kamu lakukan semua ini?” tanyanya kepada
Arif dengan tak dapat menahan isak tangisnya. “Apakah
kamu cemburu?”
“Seorang sopir tidak berhak mencemburui majikan-
nya!”
“Rif! Kata-katamu itu menyakiti hatiku.” Siska tak ta-
han lagi membendung tangisnya. “Sakit, Rif. Apakah se-
lama ini aku memperlakukanmu dengan kasar? Apakah
kau menganggap selama ini aku memperbudak kamu?
Kalau kamu beranggapan seperti itu, bolehkah aku minta
maaf pada kamu, Rif?”
Kekalutan dan ketegangan hati Arif menyebabkannya
kehilangan kata-kata. Apalagi menghadapi tangisan wanita.
Ditambah bayangan senyum sinis Tante Ervina. Juga ba-

98 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


yangan sosok Simon yang perlente. Ia marah kepada mere-
ka, kepada siapa pun, bahkan termasuk kepada Siska.
“Baru kali ini aku mengenal lebih dekat dengan Simon.
Dia memang tampan dan kaya!”
“Jangan kausebut-sebut lagi namanya, Rif! Jangan me-
nambah luka hatiku.”
“Luka? Kamu sendiri yang membikin luka. Aku sudah
mengingatkanmu. Tapi kamu lebih memilih dia, lebih me-
milih pestanya daripada nasihatku!”
“Aku minta maaf, Rif.” Siska semakin terguguk.
“Dari segi apa pun aku kalah dibanding dia. Aku hanya
seorang sopir!”
Plak! Sebuah tamparan mendarat ke pipi Arif. Siska
terkejut dia bisa bertindak kelewatan. “Oh! Maafkan. Aku
tidak bermaksud…”
Muka Arif terasa panas. Tapi lebih lagi di dalam dada-
nya.
“Maafkan aku, Rif. Aku hanya bertanya, mengapa se-
mua ini kaulakukan? Mengapa semua ini kaulakukan? Me-
ngapa…?” serak suara Siska dalam tangis yang menghiba.
Arif membuka pintu mobilnya. Tapi sebuah tangan
mencegahnya. Ia kibaskan tangan itu. Dan Arif merasa har-
ga dirinya tidak boleh diinjak-injak.
“Mulai saat ini aku bukan sopirmu lagi!” Ia letakkan hp
hitamnya ke dasbor.
Lantas ia membuka pintu mobil. Tangan Siska sudah
tidak ada kekuatan lagi untuk mencegahnya. Sebelum Arif
menutup pintu ia masih sempat mengungkapkan isi hati-
nya.
“Bagaimana aku tidak cemburu terhadap Simon kalau
aku mencintaimu? Aku mencintaimu, Siska!” kata Arif lang-
sung menutup pintu mobil tanpa menunggu reaksi dari
gadis yang ia cintai. Ia merasa memiliki keberanian seka-
ligus perasaan tidak berharga. Ia bahkan bergegas menuju
tempat motornya diparkir.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 99


Meledak tangis Siska. Ia ambrukkan tubuhnya mene-
lungkup pada jok. Dalam berbaurnya sejuta perasaan, ia
hanya mampu merintih dalam tangisnya, “Rif… kata-kata
itulah jawaban yang aku tunggu-tunggu selama ini. Hanya
itu…”
Sayang pemuda pujaannya tidak mendengar.
Bahkan yang ia dengar suara motor yang meraung dan
kemudian semakin samar terdengar dan akhirnya mele-
nyap.

***

SEPEKAN tidak melihat Arif menyebabkan Tuan Hen-


dra bertanya-tanya. Ketika Siska mau pamit berangkat, Tu-
an Hendra menanyakan kepada putrinya itu. Kenapa so-
pirnya tidak pernah menampakkan diri lagi.
Siska tidak mampu menjawab. Ia bahkan merasa terpo-
jok.
“Dia kan belum menerima gajian yang seharusnya dia
terima akhir bulan kemarin,” heran Tuan Hendra. “Apa ka-
lian bertengkar?”
Siska tak berani membuka mulut.
“Arif itu anak baik. Dia yang menolongmu pada pesta
malam Minggu itu, kan?”
Siska masih saja bungkam.
“Sudahlah. Kalau dia salah, kamu maafkan saja. Hubu-
ngi dia, suruh masuk kerja lagi,” saran Tuan Hendra. “Za-
man seperti ini mencari orang yang jujur dan dapat diper-
caya sangat sulit. Cari dia.”
“Cari ke mana?”
“Cari ke mana bagaimana?” balas Tuan Hendra.
“Siska tidak tahu tempat kost-nya.”
“Haah…?” tuan Hendra semakin heran. “Telepon
dong!”
“Siska gak punya nomornya.”

100 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Apa? Bagaimana bisa?”
“Maafkan Siska, Pah…” kata Siska lirih seakan ingin
dibelasi.
Kalau sudah seperti ini hati Tuan Hendra luluh juga.
“Makanya, Sis, jadi majikan itu jangan mentang-men-
tang. Papah mengakui, Arif memiliki kepribadian yang
baik, jujur, dan penuh tanggung jawab. Terhadap orang
yang demikian itu, walaupun dia hanya seorang sopir, Pa-
pah menaruh hormat padanya. Setulusnya, Sis.” Tuan Hen-
dra menghela nafas. “Nah, coba cari dia, cari informasi dari
orang-orang yang sekiranya mengenalnya.”
Siska hanya menganggukkan kepala.
“Atau, kalau kesalahan justru ada pada kamu, jangan
segan-segan minta maaf.”
“Iya, Pah.” Siska hanya menunduk dan mengangguk-
kan kepala lagi.
Satu persoalan dengan Simon selesai, kini datang lagi
masalah.
Dua hari setelah pesta Simon yang berakhir tragis-dra-
matis itu, surat kabar dan televisi mengabarkan tentang ke-
celakaan tunggal. Sebuah mobil sedan tercebur ke dalam jurang.
Satu di antara tiga penumpangnya berinisial Sm tewas seketika,
dua lainnya Bb dan Hd dalam keadaan kritis dan saat ini dirawat
di sebuah rumah sakit. Diduga para penumpang mobil itu sedang
teler. Selain itu di dalam mobil juga ditemukan 5 kg sabu dan
ribuan pil ekstasi. Ada dugaan pula mereka merupakan jaringan
sindikat narkotika…..
Kini satu masalah lagi menghadang. Ia harus menemu-
kan Arif.
Satu-satunya harapan untuk memeroleh informasi yang
dapat diandalkan mengenai keberadaan Arif hanyalah dari
Bunda Rohimah. Pengasuh panti asuhan yang ramah dan
baik budi itu juga keheranan Siska tidak tahu alamat kost
Arif, bahkan nomor hp-nya saja tidak tahu.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 101


“Bunda sendiri tidak tahu alamat kostnya, juga nomor
hp-nya. Yang Bunda tahu dari pengakuannya, dia berasal
dari Kudus. Dia juga anak yatim piatu dari sebuah panti
asuhan. Di kota ini dia kuliah sambil jadi sopir taksi, ke-
mudian berteman dengan Mbak Siska.”
Siska terhenyak.
“Kuliah?”
“Iya kuliah. Apa tidak pernah cerita sama Mbak Siska?”
tanya Bunda Rohimah keheranan.
Siska menggeleng.
“O, semester terakhir ini memang sudah tidak ada ku-
liah.”
“Kuliah di mana?” tanya Siska.
Bunda Rohimah menggeleng-gelengkan kepala seraya
tersenyum.
“Dia mengambil program S2 pada Fakultas Ekonomi
Universitas Merah Putih.”
“S2?”
“Iya, S2!” Bunda Rohimah tersenyum geli.
“O iya. Bunda ingat,” lanjut Bunda Rohimah dengan
menyentuhkan jari telunjuknya ke dahi, “nanti tanggal lima
dia akan diwisuda. Sekarang tanggal berapa? Tanggal em-
pat ya? Kalau begitu besok pagi jam sembilan dia diwisuda.
Kalau Mbak Siska ingin ketemu, datang saja besok ke kam-
pus Merah Putih. Insyaallah bisa ketemu.”

***

KAMPUS Universitas Merah Putih ramai dipadati pen-


gunjung. Semakin siang keramaian semakin menjadi-jadi.
Upacara wisuda telah dilaksanakan di dalam aula yang be-
gitu besar dan berlangsung dengan khidmad. Setelah acara
itu usai suasana menjadi hiruk pikuk. Saling jabat tangan,
saling peluk, saling cium (dengan keluarganya), dan saling
ber-selfie menjadi pemandangan yang dominan mewarnai

102 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


suasana. Ditambah lagi suara tawa, gurauan, bahkan saling
ejek semakin menambah gairah. Lalu lalang para maha-
siswa yang masih mengenakan toga atau yang tidak me-
makai, atau pula keluarga para wisudawan terlihat bahagia
dan gembira. Terlihat dari pakaian yang bagus-bagus yang
mereka kenakan menghiasi wajah-wajah yang cerah.
Tidak heran suasana seperti itu terjadi. Peristiwa itu
menjadi moment yang indah dan bersejarah bagi para
mahasiswa yang diwisuda. Apalagi, universitas itu saat itu
telah meluluskan hampir dua ribu wisudawan dari semua
strata dari semua fakultas.
Di antara semua ribuan insan yang berbahagia itu tak
terkecuali Arif beserta keluarganya larut dalam suasana itu.
Peluk cium dari orang tua asuhnya, Pak Edi dan Bunda
Ifah, serta dua adik angkatnya, Halimatuz Zuhro dan Mu-
hammad Irham. Seorang pemuda lagi seusia Irham, nama-
nya Fariz ikut menyertai.
“Setelah ini, apa rencanamu, Rif?” tanya Pak Edi.
“Tentu mencari pekerjaan, Bapak.”
“Sudah ada pandangan?”
“Ada teman yang mengajak ke Jakarta. Agaknya cukup
menjanjikan.”
Belum selesai percakapan itu, tiba-tiba Halimah mena-
rik tangan Arif dan mengajaknya, untuk kesekian kalinya,
berfoto lagi. Irham dan Fariz telah siap membidikkan kame-
ranya.
“Tahun depan, kamu yang akan berfoto seperti ini de-
ngan mengenakan toga,” bisik Arif kepada adik perempu-
annya.
“Amiin..” bisik Halimah.
Irham agak kesulitan membidikkan kameranya dise-
babkan oleh banyaknya orang-orang yang masih berlalu
lalang. Banyak orang memiliki keasyikannya sendiri se-
hingga mengabaikan kepentingan orang lain. Apalagi di
tempat yang sebenarnya luas itu kini seolah menjadi sempit.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 103


Kepentingan sendiri atau orang lain, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, merugikan diri sendiri atau orang
lain, saat itu menjadi bias.
Di antara orang-orang yang berlalu lalang Siska berada
di tengah-tengah mereka. Ia melongok-longokkan kepala,
mencari-cari keberadaan Arif. Setelah melalui pengamatan
yang melelahkan, akhirnya ia menemukan sosok yang di-
cari.
Siska menyaksikan banyak adegan yang dibawakan
Arif. Dari berpeluk-pelukan dengan seorang bapak dan ibu,
kemudian dengan seorang gadis dan, dua orang lelaki
muda. Mereka saling berfoto. Terakhir, dengan mesranya si
gadis mengajak foto berdua dengan dibidik kamera salah
seorang lelaki muda. Entah apa yang dibisikkan kedua sejoli
itu Siska tak mendengarnya. Tapi, kemesraan itu begitu
nyata.
Bergetar hati Siska. Apalagi ketika sekali lagi kedua in-
san muda-mudi itu berfoto, kali ini Arif melepaskan
toganya. Alangkah tampan dan gallant lelaki itu. Dan gadis
yang berjilbab hijau itu, alangkah cantik. Mereka meru-
pakan pasangan yang serasi. Terpana Siska melihat peman-
dangan itu. Jilbab hijau itu! Dan, betapa Arif telah menemu-
kan dunianya. Ya, Arif telah kembali ke habitatnya. Entah
mengapa, tiba-tiba Siska merasa dirinya tidak berharga. Se-
kilas Siska bertemu pandang dengan pandangan Arif. Tapi
apalah gunanya lagi?
Siska tidak kuat melanjutkan pandangannya ke arah
mereka. Ia berbalik dan melangkahkan kakinya untuk kem-
bali. Hancur. Hancur berkeping-keping.
Arif terkejut kala pandangannya bertumbuk dengan
Siska. Siska sampai ke tempat ini? Tak sedikit pun ia mem-
punyai persangkaan Siska akan hadir di tempat ini. Tapi
Siska berbalik dengan langkah yang kecewa. Arif pun tak
dapat menahan emosinya. Ia tinggalkan begitu saja bapak,
ibu, dan saudara-saudaranya.

104 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Siska..! Siska..!” panggilnya agar Siska mau kembali.
Tapi yang dipanggil malah mempercepat langkah. Arif
pun berusaha mengejar.
“Siska..! Siskaaa…!!!”
Diiringi isak tertahan Siska berlari menerobos-terobos
lalu lalang orang. Arif terus mengejarnya dengan berteriak
memanggil.
“Siska…! Siskaaaa…..!!!”
Orang-orang yang lalu-lalang di situ serentak menoleh
ke arah dua muda-mudi yang sedang berkejaran. Mereka
ingin tahu apa yang terjadi. Apa lagi si gadis yang dikejar
itu kelihatan sedang menangis.
“Siskaaa…! Siskaaa…..!!!”
Semua mata jadi terfokus pada mereka yang berkejaran.
Seperti dikomando orang-orang serentak bertepuk tangan.
“Siska! ... Siska! ... Siska! ...” seakan memberi ucapan se-
lamat dan semangat kepada kedua muda-mudi yang se-
dang mengenyam kebahagiaan mereka saat itu.
Siska sudah tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang ia
harap, ia segera sampai di tempat mobilnya diparkir. Arif
terus membayanginya dan akhirnya berhasil menjajari lang-
kah Siska. Nafas mereka tersengal. Mereka sudah menghen-
tikan kejar-kejaran. Tapi langkah mereka seperti sedang
latihan olahraga jalan cepat.
Sesampai di tempat mobil diparkir, mereka masuk
hampir bersamaan. Siska yang pegang kemudi. Dengan
menyeka airmatanya terlebih dulu ia melarikan mobilnya.
Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi
itu mereka berdiam-diaman. Arif tidak peduli akan dibawa
ke mana.
“Hati-hati!” hanya itu yang keluar dari mulut Arif.
Sepanjang perjalanan beberapa kali Arif melirik ke arah
gadis yang sedang menyetir. Ada duka mendalam di dalam
sorot mata yang memandang lurus ke depan itu. Hati Arif
luluh juga. Ia tak memungkiri hatinya telah tertambat, teri-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 105


kat, dan terlekat dengan kuat kepada Putri Cinderella-nya
itu.
Ternyata arah yang dituju Siska ke gunung. Ketika ia
membelokkan mobilnya ke halaman vila secara mendadak,
mobil angkot di belakangnya tergagap-gagap. Sopirnya
mengumpat. Tapi Siska tak peduli. Seperti biasa, pintu vila
itu terbuka.
Tanpa kata-kata Siska bergegas masuk ke vila diikuti
Arif. Arif merasa ada perasaan jengkel, kecewa, atau marah
pada wajah Siska. Maka ia mengikuti terus ke mana gadis-
nya masuk ruangan.
Di ruang dalam Siska berbalik dengan mengambil jarak
dan tertunduk.
“Aku minta maaf atas semua kesalahan aku,” katanya
pelan.
“Aku juga minta maaf,” jawab Arif pendek.
Siska mulai menentang pandangan Arif. Namun tak
kuasa menahan linangan air matanya. Maka yang keluar
adalah kalimat yang diucapkan dengan terbata-bata.
“Rif, kata papahku, engkau orang yang baik. Sejak se-
mula aku menyadari akan kebenaran itu. Kamu telah mem-
beri aku gairah hidup. Kamu telah memberi kehangatan
bagi hati aku yang kesepian. Kamu telah membela aku dan
memberikan perlindungan terhadap diri aku. Kamu telah
memberikan pencerahan pada aku dari setiap tanda tanya
yang sekian lama terpendam dalam hati aku.”
Arif tak tahu harus berkata apa.
“Kata papahku, kamu orang yang jujur yang saat ini su-
lit ditemukan. Aku pun mengagumi kepribadian kamu.
Kamu yang lucu, menghibur, baik hati, penuh belas kasih,
dan selalu optimis. Aku suka saat kamu mengatakan yakin
akan jadi orang kaya. Hatiku mantap pada pandanganmu,
bahwa yang penting orang harus berusaha. Aku pun me-
ngagumi kamu yang ingin menjadi orang yang bermanfaat
bagi orang lain.”

106 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Arif masih diam.
“Dan, apakah tidak kamu sadari, kamu telah menun-
jukkan sikap mesra kamu terhadap aku selama ini? Aku
menyambut sikap kamu dengan hati yang tulus. Apakah
kamu juga tidak menyadari? Aku selalu menunggu per-
nyataan isi hati kamu dari mulutmu sendiri. Tapi sepertinya
kamu takut-takut. Kamu takut terhadap bayangan kamu
sendiri.”
Arif masih menyimpan kata-katanya. Terasa remuk
hatinya.
“Apakah sikap aku terhadap kamu masih kurang men-
jelaskan bagaimana isi hati aku? Apa lagi yang harus aku
lakukan agar kamu mengungkapkan isi hatimu sejujurnya?
Rif.., jawab!” dengan suara menyayat Siska merasa semakin
tersia.
“Bukankah sudah kunyatakan, ‘Aku mencintaimu, Sis-
ka’?”
“Iya, pada akhirnya kamu nyatakan juga. Tapi kamu te-
rus melarikan diri. Lari dari kenyataan. Takut menghadapi
kenyataan.”
Arif tak mampu menangkis walau ia punya segudang
alasan. Remuk hatinya semakin berkeping berserakan.
“Kalau kamu tahu, setelah kamu nyatakan cintamu dan
kamu berlari meninggalkan aku, diriku seakan hancur. Aku
memeluk jok mobil. Apa yang aku katakan pada saat itu?
Kamu tidak tahu,” isak Siska semakin menjadi. “Aku mena-
ngis, Rif. Menangis, dan berkata, ‘Itu, pernyataanmu itu, ka-
ta-kata yang selalu aku tunggu-tunggu, Rif’!”
Ada segumpal cairan terasa menyumpal tenggorokan
Arif.
“Dan kini, asal kamu tahu, Rif, aku tidak peduli kamu
sarjana S2 atau hanya tamatan SD, kamu anak yatim piatu
atau anak konglomerat, cinta aku dan pengharapan aku ti-
dak berubah.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 107


Siska menyeka airmatanya. Lalu lanjutnya, “Berhari-
hari aku dirundung kesedihan dan hanya bisa merintih di
dalam hati. Kepada siapa aku harus mengadukan nasib
yang hampir tidak pernah memihak pada aku. Kurintihkan
dukaku kepada Tuhan. Tapi aku malu, rasanya aku tidak
memiliki Tuhan. Maka aku titipkan doaku kepada Tu-
hanmu. Aku merintih dan berdoa, O, Tuhan-nya Arif, per-
satukanlah cinta aku dan cinta Arif. Aku ingin bersetia sampai
kapan pun.”
Arif serasa terhenyak.
“Perasaanku pun tidak berbeda denganmu, Sis. Tapi ta-
hukah kamu, ada penghalang yang akan menghadang kita?
Aku ingin berusaha menerjang penghalang itu. Tapi peng-
halang itu terlalu kuat.”
“Pasti Tante Ervina! Aku membau ada aroma tidak se-
dap pada sikap Tante Ervina. Sudah cukup waktu aku men-
curigai dia.”
Di dalam hati Arif mengiyakan, tapi mulutnya bung-
kam. Ia tidak bisa mengungkapkan adanya badai lain pada
saat itu.
“Atau ada seorang gadis lain, yang lebih cantik, yang
telanjur kamu beri dia janji dan kini tengah menunggumu,
Rif?”
Suasana semakin hening. Hati Arif tertohok dengan te-
lak.
“Atau yang kamu cari adalah bukti akan keseriusan
cinta aku? Kalau memang itu yang kamu mau, baiklah akan
aku buktikan.” Berkata begitu, tiba-tiba Siska menarik ke
atas kaus panjang yang dikenakannya, berusaha melepas-
kannya. “Aku hanya ingin menegaskan cinta aku yang tidak
main-main.”
“Aku akan serahkan tubuhku yang masih suci. Aku ti-
dak peduli hanya akan kamu jadikan mainan. Setelah kamu
nodai sepuasnya kamu bebas pergi.”

108 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Hati Arif berdesir. Sekilas ia melihat kulit yang halus
dari pinggang yang ramping. Tapi ia ingat namanya sendiri.
Ia juga ingat Nabi Yusuf.
“Tidak! Tidak! Itu bisikan setan!” bentaknya.
“Aku tidak sudi! Kamu setan!” semakin kalap saja ia.
Arif berlari keluar. Meninggalkan Siska yang berdiri
mematung, menangis dan termangu.

***

SETELAH melewati acara wisuda, keesokan paginya


Arif diminta pulang ke Kudus oleh orang tua angkatnya,
Pak Edi dan Bunda Ifah. Kebetulan Arif memang berke-
pentingan untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan
dari ayah dan ibu angkatnya. Dukungan moral yang sangat
penting dan dana yang tidak sedikit. Setidaknya sampai ia
menamatkan SMA-nya. Setamat SMA ia memang mulai
mandiri mencari nafkah dengan segala cara asal mendapat
rezeki yang halal.
Adalah seorang ibu yang berkepentingan menyampai-
kan maksud baiknya kepada Arif. Bunda Ifah yang menga-
wali mengungkapkan maksud hatinya.
“Rif, setelah engkau diwisuda dan berhak menyandang
gelar Magister Management, Ayah dan Bundamu ini me-
nagih janji yang dulu pernah engkau ungkapkan sebelum
berangkat menunaikan cita-citamu untuk melanjutkan ku-
liahmu ke program S2. Engkau tentu tidak lupa.”
Bunda Ifah lantas melanjutkan, “Betapa kami sebagai
orang tua angkatmu ini sangat menyayangimu lebih dari
pada anak-anak asuh yang lain. Rasanya kami akan merasa
berat bila kemudian engkau tiba-tiba mohon pamit untuk
hidup mandiri dan meninggalkan panti asuhan ini. Walau-
pun anak-anak panti yang lain sudah banyak yang melewati
fase ini, kemudian sukses hidup mandiri dan berkeluarga.
Tetapi khusus untuk dirimu, kami sulit menghadapi ke-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 109


nyataan. Selain kamu telah kami asuh langsung di rumah
ini sejak masih bayi merah, engkau memiliki kelebihan di
antara anak-anak lain. Engkau lebih rajin, penurut, dan pin-
tar. Terhadap adikmu Halimah dan Irham juga sudah
seperti saudara kandung.”
Arif menganggukkan kepala.
“Engkau tentu juga tidak lupa, sebelum keberangkat-
anmu menempuh pendidikan S2, Ayah dan Bunda sempat
memberi pandangan kepadamu. Agar, setelah engkau lulus,
engkau mau menikah dengan adik angkatmu Halimah. De-
ngan demikian, Ayah dan Bunda tidak akan pernah merasa
kehilangan anak lelaki yang dibanggakan. Demikian juga
engkau akan hidup tanpa harus berjauhan dengan Ayah
dan Bunda.”
Arif merasa saat-saat seperti ini akan tiba. Hatinya ba-
gai ditusuki jarum-jarum kecil dan tajam. Ia bahkan hanya
mampu menundukkan kepala.
“Ini memang terasa berat bagimu, Rif.” Kini jurubica-
ranya ganti Pak Edi. “Aku juga pernah muda. Apabila hati
sudah tertambat dengan seseorang, memang sulit untuk
melepaskan diri darinya. Tapi ada hal yang patut menjadi
renungan. Buat apa toh orang menikah? Semua memiliki
tujuan yang sama. Mencari kebahagiaan di masa depan,
dunia dan akhirat, dan meneruskan garis keturunan. Yang
dicari adalah kebahagiaan hakiki, kebahagiaan yang diridai
Allah subkhanahu wa ta’ala. Keridaan Allah akan ikatan
perkawinan ini hanya bisa diperoleh dari pasangan yang
keduanya menyadari keberadaannya di hadapan Allah.
Lugasnya, keduanya adalah insan-insan yang bertakwa.”
“Arif paham, Bapak.”
“Bagus,” kembali Bunda Ifah yang mengeluarkan sua-
ra. “Kami pikir, Halimah cukup layak mendampingimu.
Selain ia juga seorang calon sarjana, adikmu itu juga cantik.
Tidak kalah dengan gadis yang engkau kejar-kejar di kam-
pusmu kemarin. Gadismu itu kelihatannya sih cantik. Tapi

110 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


dilihat dari dandanannya jauh dari syarat-syarat yang di-
syari’atkan agama kita. Pakai celana jeans, rambutnya di-
biarkan terbuka dan berkibar terkena angin.”
Di dalam hati Arif ingin membantahnya. Ingin sekali
rasanya membela gadis yang dipujanya dalam hati. Tapi ia
lebih memilih diam. Betapa pun ia tidak sampai hati mem-
bantah dan melukai hati orang yang sudah mengasuh diri-
nya sejak ia masih bayi merah. Mereka telah berbuat yang
terbaik baginya dan sangat berjasa di dalam hidupnya.
“Lantas, kini apa pendapatmu mengenai persoalan
ini?” harap Bunda Ifah.
“Maafkan Arif, Bapak dan Bunda. Saat ini Arif belum
bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagi Bapak dan
Bunda. Apalagi tiga hari lagi Arif sudah harus berangkat ke
Jakarta dari Tegal. Arif akan bergabung dengan teman Arif
di Tegal yang mengajak bekerja di Jakarta. Karena teman
Arif itu, namanya Hartadi, punya paman yang bekerja di
sebuah perusahaan di Jakarta yang saat ini sedang ada
lowongan pekerjaan. Jadi besok saya akan berangkat ke
Tegal,” jawab Arif seolah beralasan untuk mengulur waktu
memberikan keputusannya. “Jawaban Arif masih seperti
dulu, saat ini belum siap. Apakah tidak sebaiknya masalah
ini kita simpan dulu setelah Arif mendapatkan perkerjaan?
Adik saya Halimah juga belum menampakkan keinginan-
nya segera berumah tangga.”
“Tapi ia akan menurut kepada orang tua karena dia itu
memahami pilihan orang tuanya tidak akan pernah meleset.
Tujuan orang tua adalah menunjukkan jalan bagi keba-
hagiaan anaknya di masa depan.”
“Apakah Halimah masih memiliki kekurangan menu-
rut kriteriamu? Hafalan dia sekarang sudah mencapai dua
puluh tiga juz,” tambah Pak Edi.
“Alhamdulillah. Bahkan sekarang senyatanya Arif yang
kurang pantas sebagai pendamping adik yang Arif sayangi,
Halimah.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 111


Arif merasa akhirnya untuk sementara terbebas dari
sebuah masalah yang membelitnya. Tapi ia mempunyai fi-
rasat pada suatu saat nanti persoalan ini memiliki potensi
berbuntut panjang.

***

112 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


8.
Seputih Jilbabmu

APA mau dikata, piring telanjur berkeping, nasi telan-


jur basi, lauk telanjur membusuk. Hati Siska sudah pasrah.
Ia telah siap mereguk kecewa. Ia telah ikhlas andai pun ke-
hilangan permata.
Yang ia rasakan, positifnya, ia telah menarik pelajaran
dari manis pahitnya kebersamaan bersama Arif. Hikmah
yang bisa dipetiknya, setiap usaha seseorang sekeras apa
pun tidak menjamin harapannya akan menjadi kenyataan.
Karena Tuhan mempunyai berbagai rencana. Dan, rencana
Tuhan yang mana lagi bakal ia lakoni dalam hidup ini?
Betapa bodoh. Setelah bersusah payah mencari infor-
masi tentang Arif hingga akhirnya berhasil menemukannya,
Siska menyadari bahwa masih saja ia kehilangan jejak lelaki
itu. Alamat? Nomor hp?
Tawaran Tante Ervina yang menyodorkan sopir pribadi
baru untuk menggantikan Arif, ia tolak mentah-mentah. Ja-
waban Siska kepada Tante Ervina sangat ketus dan me-
nusuk.
“Pakai sendiri itu sopir baru! Tante yang sebenarnya
butuh! Kecuali kalau Tante bisa memulangkan Arif ke sini!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 113


Tante Ervina tersudut. Ia membatin, demikiankah cinta
sejati? Sudah tidak lagi memperhitungkan beda etnis, ketu-
runan, dan status sosial?
Tercenung Tante Ervina. Kini ia menyadari, walau pe-
nuh keterpaksaan, bahwa dirinya memiliki pandangan yang
bagai kayu dimakan rayap. Lantas, apa langkah yang selan-
jutnya harus diambil?
Satu-satunya orang yang bisa menghibur Siska hanya-
lah papahnya. Ia yang paling tahu segala isi hati Siska.
“Siska masih mencintai Arif?” tanya papahnya sambil
membelai rambut anak gadisnya itu ketika Siska bersimpuh
di sebelah kursi roda.
Siska hanya mengangguk.
“Salahkah kalau Siska masih mencintainya, Pah?”
“Tidak. Tidak salah. Hanya, jangan sampai perasaan
cinta itu justru mengikis dirimu sendiri.”
“Maksudnya?”
“Membuat dirimu putus asa, tidak mau melakukan ak-
tivitas apa pun, tidak mau belajar, tidak mau berinteraksi
dengan lingkungan, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu bu-
kan penyikapan yang baik terhadap persoalan cinta.”
Siska mengangguk. Ia membulatkan tekad untuk meri-
ngankan beban hatinya dengan lebih fokus pada masalah
studinya. Sambil berharap Tuhan-nya Arif mau mendengar
harapannya untuk pada suatu saat mempertemukannya de-
ngan Arif kembali.
Suatu hari pembantunya, Warsiti, menyerahkan sebuah
bungkusan semacam paket kepadanya. Kata Warsiti bung-
kusan itu dari Arif.
“Dari Arif, kapan dia datang?!” Siska tidak dapat me-
nyembunyikan keterkejutannya.
“Sudah lama, kira-kira dua minggu yang lalu.”
“Kenapa baru kamu serahin sekarang? Kenapa kamu
tidak bilang pada aku kalau dia datang?!” sergah Siska de-
ngan marah.

114 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ya, maunya Mas Arif begitu sih. Dia datang pagi-pagi
sekali. Kebetulan saya bersih-bersih halaman. Pesannya de-
ngan bisik-bisik, sampaikan bungkusan ini kepada Non Sis-
ka pada hari dan tanggal sekian. Saya hanya menuruti pe-
rintah Mas Arif.”
“Apa lagi yang ia katakan?”
“Tidak ada. Eh, iya. Ia bilang buru-buru mau berangkat
ke Tegal.”
Siska menerima bungkusan kiriman dari Arif dengan
perasaan bahagia bercampur kesal. Gembira karena Arif ti-
dak serta merta memutuskan hubungan dengannya. Kesal
karena Arif tidak mau ketemu langsung.
Dengan hati-hati, di kamar, Siska membuka paketnya.
Sebuah buku tebal yang ternyata adalah kitab suci Al-Quran
beserta terjemahannya. Selain itu ada sebuah jilbab ber-
warna putih. Kala Siska mengamati, ia memastikan itulah
jilbab yang dibeli di supermarket dengan uangnya dulu.
Kata Arif waktu itu jilbab itu untuk seseorang. Dan kini jil-
bab itu telah dikembalikan. Apa artinya?
Ah, ada sepucuk surat yang diketik rapi dengan kom-
puter. Cukup panjang. Mungkinkah surat itu juga akan
menjelaskan arti pengembalian jilbab putih? Siska mende-
sah. Pandangannya mulai tertirai air bening. Arif. Arif. Ah,
Arif…

***

SISKA,
Kamu pasti terkejut menerima kiriman dariku ini. Bahkan
aku tidak yakin apakah bingkisan ini bisa sampai ke tanganmu. Di
antara keterbatasan waktu dan keterburu-buruanku untuk berga-
bung dengan temanku di Tegal, aku menulis surat ini kepadamu.
Entah bagaimana aku mengirimnya aku masih bingung.
Setidaknya tanda tanya telah menggelayuti perasaanmu. Ta-
pi aku berharap bahwa kirimanku ini akan sedikit menjadi obat

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 115


yang meringankan luka hatimu, akan menjadi lentera yang me-
nyalakan gairah hidupmu, akan menggelombangkan nyanyian
merdu yang sedikit membelai menghiburmu.
Bacalah kitab suci Al-Quran ini walau hanya lewat terje-
mahannya saja. Engkau akan tahu akan keagungan kitab ini. Ki-
tab setebal ini telah dihafal oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Bahkan tidak sedikit anak-anak di bawah usia 10 tahun yang telah
mampu menjadi khafiz, orang yang hafal Al-Quran. Kitab yang
menceritakan kejadian masa lalu dan yang akan datang, kejadian
yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Semuanya yang sudah
terjadi dapat dibuktikan secara ilmiah. Dan yang belum terjadi
selalu dinantikan dan diimani bakal terjadi. Kalau bukan kitab
suci, firman dari Tuhan, tidak mungkin semua keajaiban itu dapat
terjadi.
Dan sekarang pertanyaanmu terjawab sudah, buat siapa jil-
bab ini akan kuberikan. Tak lain tak bukan hanya kepadamu. Ki-
riman jilbab ini bukan berarti aku mengembalikan hadiah darimu
yang sudah tak kusukai. Bukankah jilbab ini bukan barang pin-
jaman, melainkan pemberian yang tulus dan ikhlas darimu?
Siska,
Aku sangat menyesal atas kejadian di vilamu beberapa waktu
yang lalu. Aku, sekali lagi, melarikan diri darimu. Ah, aku lelaki
yang lemah? Dalam hal lain yang terlihat sebagai pemberani, ter-
nyata di balik itu aku seorang yang penakut. Perasaan rendah diri
yang kronis sekaligus akut.
Kalau aku kauanggap pengecut dan melarikan diri dari ke-
nyataan, aku tidak mengingkari. Tapi aku berhak menolak jika
diriku dicap sebagai orang munafik.
Tatkala kamu ingin menyerahkan tubuhmu, sebenarnya aku
punya kobaran nafsu birahi, aku mau, dan aku menginginkannya.
Di kala aku telah menggenggam kesempatan, aku tidak melakukan
apa pun karena aku lebih takut kepada Tuhanku. Astaghfirullah,
maafkan aku ya Allah!
Dan, kasih sayang Tuhan kepadaku tak sedetik pun pernah
memupus. Ia mengingatkan, diriku bernama Arif Muhammad
Yusuf, yang memiliki makna harus berkepribadian bijak, lurus,

116 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


dan jujur. Nama Yusuf adalah mengambil nama dari Nabi Yusuf.
Seorang lelaki tampan tiada tara yang berhasil mengalahkan nafsu
birahinya ketika menghadapi datangnya godaan dari seorang
wanita jelita bernama Zulaikha. Ini dikisahkan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an agar dijadikan contoh bagi seluruh umat manu-
sia. Bacalah kisahnya di kitab Al-Quran pada Surat Yusuf.
Adapun perasaan inferior yang bersemayam dalam diriku
dengan mudah kucampakkan manakala aku menghadapi perbe-
daan status sosial yang berkaitan di dalam pergaulan dan beror-
ganisasi. Juga bila bersaing dalam bidang keilmuan, dan ber-
lomba-lomba dalam amal kebaikan. Akan tetapi, bila persoalannya
telah menyinggung masalah cinta, tiba-tiba aku kembali terjerem-
bab ke kubangan rasa rendah diri. Bila aku ingin mendekati seo-
rang gadis, aku selalu dihantui munculnya perasaan akan dito-
dong oleh pertanyaan-pertanyaan yang akan semakin menambah
down mentalku. Siapa ayahmu? Siapa ibumu? Apa profesi mere-
ka? Di mana rumahmu?
Sedikit aku ingin mengungkapkan sebuah cerita yang kua-
lami. Ceritaku ini terjadi ketika aku masih duduk di bangku SMP.
Ketika itu aku merasa tertarik dengan seorang teman cewek. Baru
perasaan tertarik. Cewek itu selain cantik, ia anak seorang pejabat
yang kaya. Ketika aku bermaksud mendekati untuk sekadar berbi-
cara dengannya dan ingin menanyakan buku apa yang dibacanya
sehingga dapat bercerita dengan baik di depan kelas. Keinginan
yang sebenarnya wajar-wajar saja, bukan? Tapi ternyata ditang-
gapi kecurigaan yang tak beralasan.
“Ngapain sih kamu? Mau deket-deket terus ame gue? Jangan
mimpi ya. Ngaca dulu sana! Anaknya orang nggak jelas!”
Siska, sebenarnya aku adalah anak yatim piatu penghuni se-
buah panti asuhan di kotaku. Sesungguhnya aku memang ketu-
runan orang yang tidak jelas. Sebagai anak panti asuhan aku juga
menuai banyak simpati. Tapi penghinaan yang sekali itu meru-
pakan pengalaman traumatis pada jiwaku. Aku tersudut. Aku
tersisih. Ternyata aku terlahir sebagai orang yang tidak diharap-
kan. Sakit hatiku saat itu masih terasa hingga sekarang.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 117


Barangkali kamu menganggap ceritaku berlebihan. Tapi, fak-
tanya memang demikian. Setiap kali aku tertarik dengan seorang
gadis, bayang-bayang penghinaan itu selalu menghantui.
Bertolak belakang dengan sikapmu yang, lambat namun
pasti, merayap-rayap maju ke depan. Sehingga belakangan aku ti-
dak lagi membaca kepribadianmu sebagai cewek yang angkuh.
Aku menilai kamu hanya sedang dalam proses membunuh kese-
pian dan ingin mengisi jiwamu dengan tindakan-tindakan yang
bermakna. Kemajuan yang sangat berarti telah engkau raih de-
ngan lebih peduli dengan apa yang terjadi di luar dirimu. Walau-
pun memerlukan waktu, Insyaallah, bila Allah mengizinkan, Ia
akan menuntunmu sampai ke sana.
Siska yang aku kagumi,
Sejujurnya aku mengatakan, aku sebenarnya juga banyak be-
lajar dari kehidupan ini. Belajar dari pengalaman diri sendiri,
orang lain, dan juga darimu. Sungguh. Belajar darimu. Men-
talmu jadi semakin kuat, sebaliknya pada diriku masih jalan di
tempat. Kalau kamu mau percaya, saat ini aku pun becermin
padamu. Aku berjanji akan memperbaiki rasa percaya diriku. Se-
lama ini aku hanya banyak berteori. Tapi pada praktiknya aku le-
bih sering kedodoran.
Seperti saat ini, aku hanya berani berterus terang lewat tulis-
an. Tapi kupikir itu lebih baik daripada kusimpan sendiri di dalam
hati. Betapa gairah hidupku semakin menyala setelah sekian waktu
bergaul bersamamu. Aku meyakini, kamu pun telah merasakan
hal yang sama. Itulah takdir, kehendak Tuhan, ketika Ia meng-
anugerahkan perasaan cinta kepada setiap manusia. Maka, kein-
dahan dan kebahagiaan akan tercipta dan harus diperjuangkan
dan dipelihara.
Siska, sayangku, kekasih hatiku,
Keindahan dan kebahagiaan itu pernah kita cecap bersama
bahkan hingga saat ini masih terasa. Dapatkah kamu menepis
keindahan dan kebahagiaan saat kita jalan bareng ke bookstore,
bersama makan mi bandung, dan ahaha.. makan mi instan? Be-
lum lagi aku kena tipu ngajarin nyetir padamu yang telah mahir.

118 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Dan saat kita duduk berdampingan di sebuah ketinggian, kita
terdiam memandangi panorama alam yang luar biasa. Gumpalan
mega yang di sela-selanya menyinarkan warna merah kekuning-
an. Di langit yang semakin mendekat ke cakrawala menghadirkan
semburat aurora. Sebuah senja kemerahan menjadi saksi manakala
engkau menyandarkan kepalamu pada pundakku. Dan aku mem-
beranikan diri tanganku merengkuh bahumu. Sebuah pengalaman
pertama yang mendebarkan hatiku, menggetarkan jiwaku, dan
melayangkan sukmaku. Kediam-diaman kita mempersatukan pera-
saan yang begitu ajaib yang penuh kemesraan dan cinta.
Siska jantung hatiku,
Semua kini sudah terjadi. Selain keindahan-keindahan itu,
kesalahpahaman dan kekonyolan demi kekonyolan acap kita lalui.
Betapa perasaan cinta yang sama-sama kita pendam akhirnya tak
dapat kita pertahankan untuk tidak terurai. Mungkin kita tidak
habis mengerti betapa cinta yang suci itu, setelah tercuatkan,
yang kita dapatkan justru keperihan di hati.
O, Sayangku, Siska. Kamu berpikir bahwa yang merasa sakit
hingga mengeluarkan rintihan hanyalah pada hatimu seorang.
Ketahuilah Sayangku, perasaan sakit itu terasa telah meremukkan
dinding jantungku. Sebilah sembilu yang tajam seakan menoreh
dan menyayat-sayat jiwaku.
Pada saat aku merasakan penderitaanku, dengan linangan
airmataku, kepada Tuhanku Yang Maha Esa, Allah Yang Maha-
kuasa, aku rintihkan doa, “Ya Tuhanku, perasaan cintaku ter-
hadap seorang hamba-Mu yang bernama Fransiska Adri-
anasari tumbuh berkat rahmat-Mu. Oleh karenanya, Ya Al-
lah, bantulah aku untuk menjaga dan memeliharanya hing-
ga akhir hayat tiba. Jikalau Engkau mengizinkan, perkenan-
kanlah aku mempersuntingnya sebagai pasangan hidupku
yang abadi setelah Engkau berikan hidayah-Mu kepadanya.
Subhanallah, Engkau Mahasuci ya Allah. Allahu Akbar,
Engkau Mahabesar ya Allah.”
Siska, jangan bersedih, Sayangku,

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 119


Aku rintihkan doa itu setiap saat kepada Tuhanku. Tuhan
kita sebenarnya sama, Siska. Tuhan semua manusia dan seluruh
alam. Karena Dia adalah Esa, tempat bergantung kita semua, ti-
dak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang menya-
mai-Nya.
Kini hari-hariku selalu dilanda rindu. Diiringi gemetarnya
jiwaku, maka sebagai pengobat rindu lidahku selalu melafalkan
doa itu. Harapanku, Allah Yang Mahakasih meridai jalinan cinta
kita, cinta yang putih, seputih jilbabmu.
Tentang jilbab itu kenapa harus kuberikan kepadamu? Kare-
na aku merasa, bahkan meyakini, kamu telah mendapat setengah
hidayah, petunjuk, dari Allah. Yang setengahnya lagi akan kamu
peroleh dengan upayamu sendiri bila kamu tidak mengingkari hati
nurani.
Siska yang selalu kurindu, usah teteskan airmatamu,
Kini aku jauh di perantauan. Jangan dulu kausampaikan
salam dan mengharapkan kabar dariku. Aku bertekad dan beru-
paya meraih kemajuan dalam hidupku. Kini aku sedang berupaya
meraih pengharapan agar, suatu saat, aku bisa kembali pulang de-
ngan membawa bekal yang pantas manakala aku menjemputmu.
Barangkali sudah cukup panjang dan cukup menjelaskan apa
yang tersimpan di dalam hatiku. Aku hanya berpesan, konsentra-
sikan perhatianmu pada kuliahmu. Jangan sampai gagal. Jangan
putus asa akan nikmat yang datang dari Allah. Masa depan yang
gemilang akan kamu raih dan akan kita raih bersama. Optimislah.
Bila hati kedua insan saling bersetia, suatu saat Allah akan mem-
pertemukan di dalam suasana bahagia penuh kasih dan cinta.
Dari orang yang selalu merindukanmu,
Arif.

***

120 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


9.
Langkah Harus Diayunkan

“HAI Siska!”
Siska celingukan. Di antara banyak mahasiswa yang
berseliweran di persimpangan koridor, Siska sulit menge-
nali datangnya suara. Tapi suara itu sangat ia kenal.
“Hai Siska!” tiba-tiba ada yang menowel punggungnya.
Perkiraannya betul, Azizah.
“Hai, As. bikin kaget saja!,” balas Siska.
“Kamu sih, ngelamun saja.”
Siska tersenyum kecut.
“Ngelamunin Mas Arif ya?”
“Gak lah. Ahaha…, kadang-kadang iya sih!” di dalam
hati Siska telah mencoret nama Azizah dari daftar orang
yang patut diwaspadai.
Azizah menarik tangan Siska untuk menepi agar tidak
mengganggu pejalan yang masih berseliweran di koridor
itu.
“Serius banget sih, As?”
Gadis berjilbab itu tersenyum-senyum. Agaknya ada
sesuatu hal penting yang akan disampaikan. Dimasukkan
tangannya ke dalam tasnya. Diraihnya sebuah amplop beru-
kuran agak besar.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 121


“Undangan?” pekik Siska agak bergairah.
“Sssst….. Jangan keras-keras. Hanya kamu yang ku-
undang!”
Kemudian mereka bercakap dengan volume suara dike-
cilkan.
“Mengapa begitu? Teman-teman lain, tidak?”
“Hanya sebagian kecil saja.”
“Wow, Budi Suharyono, SH, MH. Orang mana calon
suamimu ini, As?”
Azizah menjelaskan serba sedikit. “Ia teman abangku.”
“Kok buru-buru menikah sih kamu? Gak nunggu sam-
pai lulus, maksudku sampai wisuda?”
“Dia yang mau cepetan. Kita sih tinggal skripsi, terus
wisuda. Waktunya kan hampir satu tahun. Dia enggak mau
menunggu selama itu.”
“Iya deh. Selamat ya, As. Semoga bahagia.” Siska me-
nyalami teman karibnya setelah memasukkan undangan itu
ke tasnya.
“Eeh… kok ucapan selamatnya sekarang? Nanti pas
hari H-nya enggak datang?” balas Azizah tanpa melepaskan
tangan Siska.
“Insyaallah datang!” yakin Siska.
“Kok tahu Insyaallah?” ada surprise sedikit pada Azi-
zah.
“Dan, Alhamdulillah, aku kamu beri kehormatan men-
dapat undangan kamu.”
“Hah, Alhamdulillah juga?” senyum Azizah semakin
lebar. Barulah ia melepaskan tangan Siska.
“Subhanallah. Allahu Akbar. Kan kamu yang sering bi-
cara begitu?” jelas Siska untuk menyenangkan hati sahabat-
nya. Padahal ia meniru Arif dalam suratnya.
Keduanya meletupkan tawa.
“Datang ya Sis, minta saja Mas Arif mengantarkan ka-
mu,” harap Azizah, sepertinya ia bisa membaca apa yang
ada di benak Siska.

122 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Siska tercenung sejenak dan menggeleng lemah.
“Kalian putus?”
Siska menggeleng. Matanya terlihat sendu.
Azizah tahu gelagat.
“Ya sudah nanti bareng sama Theresia atau siapa.”
Siska jadi terbisu.
“Atau,” Azizah berusaha mencairkan suasana, “aku
minta abang sepupuku untuk mengantarkan kamu. Hihi…”
“Ahaha.., bisa saja kamu, As. Siapa itu abang sepupu
kamu?”
“Namanya Muhammad Iqbal, M.Ag. Wisudawan S2
teranyar UIN di Semarang. Pokoknya tak kalah dibanding
Arif-mu!”
Siska tak mampu menahan gelak. Sedang Azizah terse-
nyum-senyum senang.
Setelah melalui pembuktian, akhirnya Siska sempat
juga berkenalan dengan pemuda itu dan cepat memberi ke-
simpulan. Waktu itu Siska berangkat bersama Theresia
menghadiri pesta pernikahan Azizah.
Di sana Siska dihampiri dua orang pemuda. Yang seo-
rang memperkenalkan diri sebagai abang Azizah, namanya
Agus Indriyanto. Dia terkesan ramah dan banyak senyum.
Yang seorang terkesan pendiam. Dialah Muhammad Iqbal
yang kemarin dipromosikan Azizah. Tapi hati Siska sudah
terasa hampa. Apalagi si Iqbal itu terkesan teramat lembut,
sopan, dan “kurang darah.” Siska merasa kurang cocok se-
andainya mendapat pendamping seorang ustaz! Malah ma-
sih mending si Agus, abangnya Azizah. Lebih ganteng dan
suka bercanda!

***

SEPENINGGAL Arif, hari-hari Siska, kalau mau jujur,


boleh dikata jadi terasa hampa. Ke mana pun pergi, selalu
sendiri. Pergi kuliah, ke mall, ke toko, ia harus mengemudi-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 123


kan mobilnya sendiri. Bahkan kalau sedang malas, ia hanya
mengendarai motor, atau bahkan mulai berani naik angkot.
Bila ia teringat Arif, sebagai pelarian ia lampiaskan me-
nekuni tugas-tugas kuliahnya. Ia bertekad meraih sukses. Ia
ingin membuktikan, sekali lagi, bahwa Arif nyaris selalu
benar. Kata Arif, kita akan meraih masa depan yang gemi-
lang. Siska senang akan ungkapan itu. Dan ia bertekad me-
wujudkannya.
Selain itu ia mulai mencoba membuka dan membaca
terjemahan ayat-ayat suci Al-Quran. Tercengang ia mana-
kala merasakan keindahan bahasanya. Seperti puisi, bahkan
lebih puitis. Kalau puisi ciptaan manusia hanya mencerita-
kan tentang apa yang ia lihat dengan panca indera disertai
perasaan penyairnya. Ada sentuhan memang. Tapi ayat-
ayat suci Al-Quran, selain itu, juga menceritakan tentang
apa yang belum pernah ditulis oleh manusia.
Ia simpan kitab suci itu dengan hati-hati. Dan dengan
sembunyi-sembunyi ia baca ayat-ayat suci itu sesekali.
Anehnya, setiap kali membaca ia serasa ketagihan untuk
meneruskannya. Dan setiap kali membaca hatinya menjadi
tenteram.
Bahkan, ia kini bisa berpikir lebih jernih. Masalah
menghilangnya Arif bukanlah masalah yang gawat. Ia ha-
nya yakin, bila hati kedua insan saling bersetia, suatu saat Allah
akan mempertemukan di dalam suasana bahagia penuh kasih dan
cinta. Saling setia bisa abadi jika kedua hati ada rasa saling
percaya. Itulah kuncinya!
Fakta membuktikan, sikapnya itu menghasilkan kema-
juan yang sangat signifikan. Tugas-tugas kuliahnya ia sele-
saikan dengan gemilang. Termasuk tahap terakhir, ujian
skripsi, ia lewati dengan lenggang yang anggun.
Suatu siang Siska ke toko buku. Selama ini ia kurang
nyaman membaca di perpus universitasnya. Ia mau ke per-
pus hanya kalau terpaksa. Biasanya ia lakukan berkaitan

124 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


dengan tugas kuliahnya, ketika mencari referensi dari buku-
buku lama yang sudah sulit ditemukan di toko-toko buku.
Ketika ia selesai membayar bukunya di kasir, ia menu-
runi tangga menuju ke lantai di bawahnya. Di tangga itulah
ia berpapasan dengan seseorang. Seorang pemuda jangkung
berkaca mata. Siska merasa mengenal pemuda itu. Pemuda
itu pun tersenyum. Agaknya pemuda itu pun terkesan me-
ngenal dirinya. Siska semakin penasaran. Tapi, tatkala si
pemuda itu menutup mulut dengan kedua jari telunjuknya
mengarah pada Siska disertai khas suara tawanya yang
seperti bersiul, viuw… viuw… viuw…!, Siska tak pangling
lagi.
“Siska!” pemuda itu mendahului menegur.
“Ivan! Benarkah kamu Ivan?!” Siska tak kalah sema-
ngatnya.
“Benar, aku Ivan, Sis!”
Ivan mengajak Siska turun. Siska kagum terhadap te-
man SMP-nya itu. Sejak dulu Ivan memang ganteng. Tapi
kini, dengan kacamatanya itu semakin menambah nilai ter-
sendiri. Hanya tubuhnya sekarang terkesan agak kurusan.
Apa yang diperbincangkan oleh dua muda-mudi yang
semula berteman akrab kemudian berpisah begitu lama?
Macam-macam, ada saja, cerita yang tidak ada habis-habis-
nya. Mengasyikkan.
“Apa kegiatanmu sekarang, Van?” tanya Siska setelah
tangannya ditarik untuk ikut masuk ke sebuah kafe di lantai
satu. Mereka minum jus buah.
“Mmmm… aku sedang membuka usaha PH.”
“PH?”
“Production house. Aku sedang mencoba membuat si-
netron.”
“Bagus dong kalau gitu!”
“Sis!” Ivan sepertinya menemukan ide. “Kamu cantik,
agaknya kamu akan jadi bintang yang populer andai mau
main di sinetronku!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 125


“Ahaha…, ada-ada saja kamu, Van! Aku gak punya
bakat main sinetron!”
“Semua bintang diawali dari mencoba-coba. Aku yakin
sinetronku akan laris!”
“Laris? Memang ditayangkan di televisi mana?” Siska
agak keheranan.
“Maksudku, ratingnya akan tinggi. Lagian juga diedar-
kan ke luar negeri.”
“O, gitu?”
“Makanya, yuk ikutanlah!”
Siska menggeleng. “Sejak dulu kamu punya jiwa seni,
Van! Kamu telah menemukan dunia kamu. Kalau main
film, wajah dan penampilan kamu sangat meyakinkan.
Ahaha…!”
“Viuw… viuw…! Oke ya? Mau dong main sinetron
sama aku?” bujuk Ivan.
“Gak ah! Ogah! Aku kan baru konsen ke kuliahku!”
“Kalau begitu kapan-kapan hubungi aku kalau kamu
berubah pikiran!”
Lalu keduanya saling tukar nomor ponsel.
“Paling tidak kita bisa saling ber-say hello!”
“Yup!”
Mereka melakukan tos saat mau berpisah.

***

MENGADU NASIB di Jakarta. Sudah terlalu banyak


orang bercerita dan mendengar tentang pengalaman yang
selalu luar biasa itu. Banyak yang sukses tapi lebih banyak
yang terpuruk. Namun herannya, semua tak menjadikan
susutnya nyali untuk datang ke ibukota. Belum pernah
mencoba atau mengalami, masa harus merasa gagal terlebih
dulu? Bagi yang pernah mengalami kegagalan, bukankah
kegagalan adalah sukses yang tertunda? Begitulah kira-kira
kilahnya.

126 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Tak terkecuali Arif. Ia pun harus mengawali hijrahnya
ke Jakarta dengan mengenyam pengalaman pahit. Sesampai
di ibukota bersama teman kuliahnya, Hartadi, ia seakan di-
hempaskan oleh badai kehidupan ini.
“Bagaimana sih Om, kok jadinya hanya saya yang da-
pat bekerja? Bagaimana teman saya, Arif?” keluh Hartadi
kepada pamannya, Pak Raharjo.
“Ini di luar kekuasaan Om, Har. Om sudah berusaha
memasukkan kalian berdua. Lowongannya memang untuk
dua orang. Tapi tiba-tiba ada keponakan bos yang juga mau
masuk kerja. Bagaimana mungkin Om bisa menolak? Yang
masuk kan masih keluarga dari bos, pemilik perusahaan?
Sedangkan Om kan hanya pegawai… karyawan!”
Arif yang mendengarkan percakapan itu seakan kena
shock.
“Maafkan, Om, ya Rif!” Pak Raharjo sudah berbaik hati
minta maaf.
“Maafkan aku juga, Rif! Ini keputusan yang mendadak.
Bukan maksudku mempermainkan kamu,” sesal Hartadi.
Harapan yang bagai bunga kuntum dan diharapkan
akan mekar indah ternyata dihempas badai dan tercampak
di tanah. Sakitnya bukan alang kepalang. Seberapa pahit
yang harus dikenyam dan seberapa berat beban yang harus
ia panggul, Arif harus menerima kenyataan. Tangisan da-
lam hatinya tidak boleh berkepanjangan. Ia pun jadi teri-
ngat, terlalu optimis tidak baik. Kecuali kalau segala usaha
telah dilakukan secara maksimal, maka ia baru berhak me-
masrahkan hasilnya kepada Pemilik Kekuasaan yang
hakiki.
Hari itu juga ia mohon pamit kepada keluarga Pak Ra-
harjo. Diiringi doa dari Pak Raharjo serta pelukan dan
linangan airmata menyesal Hartadi, Arif mohon diri. Ia
bahkan mendapat bantuan bekal dan sejumlah uang untuk
membantu ongkos perjalanan pulang ke Kudus.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 127


Tapi Arif berpikiran lain. Segala cobaan yang mengha-
dang belum sempat ia hadapi. Mengapa harus pulang? Jika
ia teringat akan Pak Edi, Bunda Ifah, Halimah dan Irham, ia
justru enggan untuk pulang. Apalagi bila bayangan Siska
yang muncul, ia malah merasa mendapat dorongan untuk
tidak mundur. Maka setelah beberapa malam harus tidur di
serambi masjid, atas bantuan penjaga masjid, Pak Sukidi
namanya, ia memeroleh kamar kost di kampung belakang
masjid itu. Bila ia menghitung-hitung bekal yang ia punya,
ia memperkirakan cukup memiliki kekuatan bertahan
walau tidak bisa lebih dari dua bulan.
Hari-hari Arif dihabiskan untuk melamar pekerjaan.
Pabrik demi pabrik, kantor demi kantor telah ia masuki.
Dan ia telah siap, seperti dalam novel atau sinetron, akan
kesulitan mencari pekerjaan di ibukota. Tapi usaha tidak
boleh surut. Walau yang akan dihadapi nanti adalah kega-
galan, kegagalan yang sempurna sekalipun.
Untuk memperpanjang hidupnya, tak jarang Arif
menawarkan tenaganya kepada tetangga atau kepada orang
kaya di sekitar kampung itu. Apa pun tugas yang harus ia
laksanakan, demi sedikit uang, akan ia jalani. Ia pernah
membersihkan kebun. Juga mengganti genteng yang pecah,
membersihkan selokan, atau mencuci mobil. Yang paling
berat yang pernah ia alami adalah menghela kereta dorong
berisi papan-papan dan balok kayu. Karena tidak memung-
kinkan ia dorong, maka ia harus menghela kereta yang be-
rat itu layaknya sapi menarik pedati di bawah terik
matahari.
Di siang hari, di kala istirahat, ia sempatkan beribadah
di masjid dekat tempat kostnya. Demikian juga di malam
hari, sebelum masjid ditutup, ia sering menemani penjaga
masjid untuk berzikir panjang dan berdoa. Pak Sukidi
senang ditemani Arif. Apalagi Arif juga suka membantunya
membersihkan masjid.

128 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Kepahitan Arif mendekati sempurna ketika sehabis
salat berjamaah di masjid itu ia tersadar hp-nya hilang. Se-
waktu salat maghrib ia menaruh hp-nya di sajadah dekat
lututnya. Ketika seusai salat dan melipat sajadah, ia ber-
gegas keluar dari masjid untuk mencari makan malam. Saat
itulah ia kelupaan akan alat komunikasi satu-satunya yang
ia punyai.
Ketika ia kembali mencari-cari benda yang sangat ber-
harga bagi dirinya itu, ia jadi kecewa. Barang itu sudah pin-
dah juragan.
“Sabarlah Nak Arif. Ikhlaskan saja. Siapa tahu Allah
akan memberi ganti yang lebih baik?” hibur Pak Sukidi.
Arif mengangguk-angguk lemah. Ia membayangkan
betapa hari-harinya akan menjadi sulit. Bagaimana jadinya
bila ia butuh berkomunikasi dengan sekian banyak orang
yang namanya ada dalam daftar di hp-nya. Apalagi bekal
untuk hidup, walau sudah digunakan dengan sehemat
mungkin, semakin menipis.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 129


10.
Dan Hidayah yang Setengah Itu

WALAU sudah tidak ada kuliah, Siska masih suka


menyambangi kampusnya. Siapa tahu ada info-info pen-
ting. Seperti saat itu ia sengaja ke kampus. Biasanya masih
ada beberapa teman kuliahnya yang ia jumpa dan kemu-
dian terjadilah obrolan yang mengasyikkan. Tapi hari itu ia
kecele. Tak satu pun teman kuliahnya yang nongol.
Ketika ia keluar dari gerbang kampus, tiba-tiba sebuah
jip tua melaju pelahan mendekatinya dan berhenti persis di
sampingnya. Sebuah senyum terlontar dari jendela kaca
yang diturunkan pelahan.
“Siska, masih ingat aku, nggak?”
“Hai…!, Mas… Agus?” ini kan abang Azizah. “Bagai-
mana kabarnya Azizah, Mas?” lanjut Siska berbasa-basi.
“Baik-baik saja! Sekarang ikut suaminya!”
“Alhamdulillah!… makanya tidak pernah lagi berhalo-
halo.”
“Ayo, Siska, masuklah. Mau ke mana, nanti aku antar!”
tawar Agus.
Siska ragu-ragu, tapi ia tadi berangkat naik angkot.
“Masuklah! Aku bukan orang jahat, kok! Ha ha ha…!”

130 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Akhirnya Siska menurut juga. Setelah duduk dia kesu-
litan menutup pintu jip itu. Tarik yang keras, arahan Agus.
Ketika Siska menarik daun pintu dengan keras terdengar
bunyi, jrek!! pyer pyer pyer pyer…! Berdampingan dengan
pengemudi, ia membayangkan yang berada di sampingnya
adalah Arif.
“Sis, percaya nggak, jelek-jelek begini aku jadi lulusan
terbaik di fakultasku?”
“Ohh… Asisah memang pernah cerita abangnya melan-
jutkan kuliah program pascasarjana di UNDIP. Tapi kapan
lulus belum pernah dia cerita.”
“Walaupun para pesaingku anak-anak orang kaya, tapi
aku tidak takut!”
“Masa bersaing untuk menjadi the best harus disertai
rasa takut?” balas Siska.
“Ha ha ha..! makanya!”
“Bangga rasanya ya, Mas? Syukuran dong!” basa-basi
Siska.
“O, sudah telat! Syukuran aku, aku ambil tempat di ru-
ang pertemuan Restoran Axa. Cukup ramai kok!”
“Wow tempat yang cukup bergengsi itu! Sayang, Asi-
sah tidak ngajak aku datang?”
“Sebelum pulang, kita ke mana dulu? Putar-putar ya?”
tawar Agus seperti mengalihkan topik pembicaraan.
“Terserah. Asal tidak terlalu lama.”
“Apa kegiatan Mas Agus?”
“Hmmm… aku masih menunggu panggilan kerja dari
sebuah perusahaan di Surabaya. Aku sih optimis akan dite-
rima. Ketika test masuk, hasilnya aku ranking pertama! Ke-
tika test wawancara, menurutku, aku mampu menjawab
semua pertanyaan disertai argumen-argumen yang, menu-
rutku, sangat meyakinkan! Terbukti yang melakukan wa-
wancara menggangguk-anggukkan kepala setiap mende-
ngar jawaban-jawabanku.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 131


“Ada kesulitan dengan persyaratan yang lain, gak,
Mas?”
“Aaah…, menurutku, beres semua!”
“Bagus kalau begitu.”
“Semua sudah aku antisipasi. Pokoknya, optimislah!”
Yakin sekali si Agus ini.
“Optimis memang perlu,” timpal Siska.
“Sis, ayo kita makan siang! Ke mana yang kamu suka?”
Tiba-tiba Siska teringat sesuatu. Ia menyebutkan se-
buah alamat.
“Beres!” sambut Agus bersemangat.
Sesampai di tempat tujuan, Agus seakan tidak percaya
yang dituju Siska bukan kafe gado-gado yang terkenal itu.
Tapi di seberang jalan ada tukang pecel yang menjaja da-
gangannya hanya dengan bakul yang ditaruh di lantai pa-
ving. Penjualnya pun bukan wanita yang cantik, apalagi
seksi.
Tapi bagi Siska ini adalah sebuah keberuntungan. Al-
hamdulillah! Setelah gagal menikmati pecel nenek ini ber-
sama Arif, ia merasa masih punya hutang.
Maka ketika Siska makan lontong pecel itu dengan du-
duk pada dingklik plastik, ia seakan ditemani oleh Arif. O,
seandainya aku tahu alamatmu, Rif, akan kutulis panjang-
panjang peristiwa makan siang yang nikmat dan membahagiakan
ini.
Berbeda yang dirasakan Agus, ia sempat menggerutu
karena kepedasan. Minumnya juga hanya air kemasan.
Ketika ia harus membayar kepada tukang pecel untuk ma-
kan siang berdua itu dengan diberi tarif Rp 21 ribu, ia
sedikit mengomel. Mahal. Dan dengan selembar uang lima
puluh ribuan ia sodorkan. Nenek tukang pecel itu menghi-
tung-hitung uang kembalian.
“Halaah Mbok…, kembaliin genap 30 ribu. Biar nggak
susah-susah!”

132 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ya… sudah.” Dengan sabar nenek itu memberi kem-
balian tiga lembar sepuluh ribuan.
Ketika Agus bergegas ke mobilnya, Siska justru mende-
kati nenek penjual pecel itu. Ia raih satu lembar uang sera-
tus ribuan dan disodorkannya kepada orang tua itu.”Ini un-
tuk nenek. Untuk apa saja.”
Nenek itu terkesima. Tapi ia menangkap senyum ketu-
lusan dari nona cantik itu.
“Dulu aku melihat nenek mau menerima uang kem-
balian dari temanku.”
“O.., Mas yang dulu itu ya? Saya masih ingat.” Lantas
diterimanya uang yang disodorkan Siska. “Alhamdulillah.
Terima kasih, Mbak. Nenek berdoa semoga Mbak dapat jo-
doh seperti teman yang dulu itu.”
Hati Siska tergetar. Sebenarnya ia berharap agar do-
anya diralat. Bukan mendapat jodoh “seperti” teman yang
dulu. Tapi, memang “benar-benar” teman yang dulu itu.
“Semoga Mbak selalu sehat wal afiat lahiriah dan ba-
tiniah, mendapat rezeki yang halal dan barokah, lekas men-
dapat jodoh laki-laki yang salih, keluarganya nanti sakinah
mawadah warohmah, semoga suatu saat bisa naik haji ke
Mekah.”
Geli juga Siska mendengar doa hafalan nenek itu.

***

TANPA diurai lagi, kini Siska tahu beda antara Arif


dan Agus. Beda sih boleh-boleh saja. Wajar. Tapi perbedaan
yang, menurut Siska, prinsipiil, ia merasa berhak memban-
dingkan antara keduanya dan bebas memilih satu di anta-
ranya. Pada saat seperti itu, Siska pun tak mampu mem-
bendung kerinduannya kepada lelaki pujaannya. Hmm...
kerinduan. Bahagia ataukah derita?

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 133


Tapi, komunikasi yang diharapkan tersambung dengan
Arif, belumlah tiba saatnya. Ketika hp-nya berdering, yang
terlihat pada layarnya adalah nama Azizah.
“Ada apa, As?”
“Kamu habis makan-makan sama abangku, Mas Agus
ya?” suara dari hp.
“Kok tahu? Abangmu bercerita ya?”
“Iya. Begitu bersemangatnya ia.”
“Ahaha…, gitu?”
“Iya… bahkan sekarang Mas Agus sepertinya bagai
orang mabuk!”
“Kenapa?”
“Ya… lagi mabuk denganmu!”
“Astaghfirullah!”
“Sis kamu ngomong apa tadi?”
“Astaghfirullah!”
“Hihi… justru abangku mabuk karena kamu bilang ‘al-
hamdulillah’!”
“As, tolong lebih jelas, apa maksudnya abangmu ‘ma-
buk’?”
“Mas Agus suka kamu, Sis!”
“Hah? Yang bener? Aku gak punya pikiran sejauh itu
selain menghormatinya sebagai abang kamu!”
“Ya ya, aku tahu. Justru itu. Aku mau ngomong sama
kamu! Tolong kalau dia datang lagi, tidak usah kamu la-
yani!”
“Memangnya ngapain?”
“Bisa runyam nanti! Abangku sudah bertunangan de-
ngan….”

***

HUBUNGAN komunikasi tersambung kembali tatkala


hp Siska berdering-dering. Masih bukan dari orang yang ia
harapkan. Kali ini malah datang dari Ivan.

134 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Halo, Van! Ada perlu apa?”
“Sis, kamu sudah berubah pikiran, belum?” suara Ivan.
“Ahaha…, kamu mau aku jadi gila ya?”
“Viuw… viuw… viuw!, o… masih waras ya?”
“Certeinly!”
“Nah, kebetulan lagi waras… aku mau ngomong!”
“Eit! Yang kebetulan lagi waras siapa?”
“Barangkali dua-duanya, aku dengan kamu… viuw
viuw…!”
“Ahaha…. Mau ngomong apa?”
“Bagaimana dengan tawaranku tempo hari? Mau main
sinetron?”
“Halah…, Van! Kamu kok masih ngejar terus?”
“Apa selama ini orang secantik kamu tidak ada yang
ngejar-ngejar?”
“Ala…lah…! Mulai ngrayu juga?”
“Tapi kamu senang kan?”
Tiba-tiba Siska teringat Arif.
“Halo… halo…! Sis! Kenapa kamu? Jangan pingsan
dulu!”
“Ahaha…, kamu juga pandai melucu, Van!”
“Begini, entar sore aku sambangin ke rumah kamu.
Kamu harus datang pada shooting nanti. Lihat-lihat saja
dulu, nggak apa-apa! Pokoknya seru deh!”
Sorenya Siska tidak bisa menolak ketika Ivan benar-
benar menyambangi dan setengah memaksanya untuk ikut
nonton pengambilan gambar sinetron. Akhirnya Siska me-
ngalah. Ia berdandan mengenakan kemeja lengan panjang
dan rok yang juga panjang berwarna putih berkembang-
kembang warna merah dan kuning. Terlihat sederhana tapi
terkesan berkilau. Rambutnya yang mulai memanjang kini
telah menyentuh bahu. Perpaduan yang mencerminkan ke-
cantikan yang sempurna.
Ketika ia pamit, papahnya mengingatkan agar jangan
pulang terlalu larut.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 135


“Apakah Ivan orang yang dapat kamu percaya?” tanya
papahnya ingin mendapat kepastian yang meyakinkan.
“Ia teman Siska waktu SMP, Pah. Yang Siska tahu, ia
baik.”
“Ya udah. Hati-hati saja!”
Bersama Ivan, Siska merasa lebih nyaman dibanding
ketika bersama Agus. Ivan orangnya hangat, suka bercanda,
tapi masih proporsional. Proporsional? Iya, pokoknya begi-
tulah.
Shooting itu dilakukan di sebuah rumah. Cerita Ivan,
adegan akan dimulai ketika dua sejoli sampai di rumah
setelah pemberkatan perkawinan di sebuah gereja. Mereka
masih mengenakan pakaian pengantin. Sayangnya, lanjut
Ivan menutup ceritanya, Siska tidak mengikuti shooting
adegan sebelumnya.
Di dalam rumah itu sudah banyak orang yang datang.
Di antara mereka ada beberapa pria tampan dan wanita
yang cantik dan seksi. Barangkali mereka adalah pemeran-
pemeran sinetron itu. Peralatan shooting juga sudah terse-
dia. Beberapa kamera berstandar atau yang handy. Ada juga
payung pemantul cahaya, dan alat-alat lainnya.
Sebelum shooting dimulai mereka makan malam ber-
sama terlebih dulu. Siska yang tidak terlibat dalam produksi
sinetron itu hanya ikut nimbrung. Berpasang mata banyak
mengarah kepadanya. Ia akan menjadi bintang baru, pikir
mereka.
Setelah puas bercanda dengan ramainya maka shooting
dimulai.
Siska ingin melihat seperti apa shooting dilakukan.
Ivan selalu ada di dekatnya.
“Kamera siap! Action!” teriak sang sutradara.
Dua sejoli masih berpakaian pengantin begegas masuk
ke rumah. Mereka terengah dan tertawa-tawa.

136 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Akhirnya, setelah melewati lika-liku hubungan cinta
kita, kini harapan kita menjadi kenyataan, Sally!” kata si
pengantin pria.
“Oh… I love you, Harry!”
“Aku juga cinta padamu, Sally!”
Kemudian si pengantin pria mencium kening si pe-
ngantin wanita.
Siska terpana melihat adegan itu. Angan-angannya me-
layang, dia merasa Arif sedang menciumnya dengan lem-
but.
Ciuman si pengantin pria mulai beralih ke bibir si
wanita. Mereka melakukan French kissing, lama sekali.
Nafas Siska seakan terhenti. Tapi Ivan mulai meng-
gamit tangan Siska seakan memintanya untuk tenang.
Adegan berlanjut dengan si pengantin pria memon-
dong si pengantin wanita. O, romantis sekali. Si pria beran-
jak ke kamar.
Beberapa orang mengikuti ke dalam kamar. Beberapa
kamera mengambil posisi dari segala penjuru. Mereka te-
ngah mencari angle-angle yang terbaik.
Adegan selanjutnya, mulailah adegan yang romantis.
Bahkan mulai buka-bukaan busana pengantin. Semakin la-
ma buka-bukaannya semakin berani.
Siska tersadar. Ia teringat akan Simon dan kawan-ka-
wannya dulu. Ini bukan shooting untuk sinetron. Setan! Ini
sih pembuatan film biru! Siska berusaha melepaskan tangan
Ivan. Tapi Ivan tetap menggamit lengan Siska. “Lihat saja!
Nggak apa-apa. Nikmati saja!”
Siska memberontak, ia renggutkan tangannya sehingga
terlepas. Ia mencoba melarikan diri. Tapi Ivan membu-
runya. Siska semakin takut. Ia berlari melepaskan diri dari
kawanan serigala. Ia teringat Arif. Arif. Arif! Dan tiba-tiba
juga teringat akan Tuhan. Tuhan semua orang. Tuhan,
tolonglah aku, tolonglah aku ya Allah!
“Siska…! Siskaaa..!!” panggil Ivan dengan berteriak.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 137


Siska semakin mempercepat larinya. Ia melarikan diri
keluar gedung dan mencapai pagar depan. Ia berhasil ke-
luar. Rasanya Ivan masih memburunya di belakang. Siska
semakin takut dan panik. Ia terus berlari sepanjang trotoar.
Di jalan yang agak gelap karena jajaran pohon penghijauan
di kanan kiri jalan yang daunnya sedemikian rimbun, ia
melihat ada belokan ke gang. Tapi ia ragu, karena belum
mengenal gang itu. Gedung di sebelah gang terlihat bende-
rang dan ramai. Agaknya dipakai untuk sebuah acara.
Siska merasa tidak peduli lagi. Ia masuk pada gedung
yang dipakai untuk perhelatan itu. Beberapa ibu-ibu petu-
gas penerima tamu di mulut pintu utama hanya terlongong
ketika seorang gadis berlari menyerobot masuk.
Sesampai di dalam, Siska melihat ruangan sudah ham-
pir penuh ditempati oleh ibu-ibu berjilbab. Acara sudah ber-
langsung. Seorang wanita sedang melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an. Tapi Siska nyelonong duduk di deretan pa-
ling belakang. Semoga aman dari kejaran Ivan, kata hati
Siska.
Sebagian para tamu keheranan kedatangan tamu is-
timewa dengan nafas terengah-engah dan raut muka keta-
kutan. Tionghoa dan tanpa jilbab pula.
Beberapa ibu-ibu panitia menghampiri.
“Mbak Siska?! Ada apa Mbak Siska? Kenapa bisa sam-
pai ke sini?”
Subhanallah! Bunda Rohimah! Dan Siska pun menu-
bruk ke pelukan Bunda Rohimah. Ia tumpahkan tangisnya
pada wanita itu.
“Bunda, aku takut, Bunda! Aku takut!” tangis Siska di
dalam pelukan Bunda Rohimah.
“Tenang, tenang, Mbak Siska. Ada Bunda di sini!” Bun-
da Rohimah berusaha menenangkan hati Siska. “Apa yang
terjadi dengan Mbak Siska? Atau, mari ke ruang belakang
dulu bersama Bunda, agar Mbak Siska lebih tenang.”

138 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Di ruang belakang, ruang panitia, Siska merasakan
suatu kesejukan pada jiwanya. Selain mendapat minum, ia
juga sempat bercerita sedikit tentang adanya orang yang
mengejarnya. Orang itu mau berbuat kurangajar kepada-
nya, aku Siska.
“Sekarang Mbak Siska boleh tinggal di sini dulu. Nanti
kalau acara sudah selesai, akan Bunda antarkan pulang.”
“Bunda baik hati sekali. Siska jadi banyak merepotkan
Bunda. Kalau boleh, Siska ingin melihat dan mengikuti
acara yang berlangsung.”
“Oh, begitu? Boleh. Boleh. Tapi Mbak Siska pakai ke-
rudung ya? Agar tidak menjadi pusat perhatian para tamu
lainnya.”
Bunda Rohimah agak bingung mencari kerudung. Pada
saat seperti ini, mana ada wanita yang membawa jilbab
cadangan. Ia berpikir keras bagaimana caranya memperoleh
jilbab dalam waktu singkat. Alhamdulillah! Segala puji bagi
Allah yang telah memberi petunjuk! Taplak meja! Taplak
meja berwarna oranye itu masih bagus, bermotif garis-garis
dan bunga di tepinya dengan warna coklat muda, pink, dan
putih. Dilipat menjadi segitiga dan dipakaikannya taplak
meja itu ke kepala Siska agar rambutnya tidak kelihatan.
“Nah, sudah. Sekarang kita masuk ke ruang acara lagi.
Aduuh… Mbak Siska jadi cantik sekali!” puji Bunda Rohi-
mah yang kemudian mencium pipi Siska.
Siska ingin sekali becermin. Tapi tidak ada cermin di
ruangan itu.
Mengikuti acara itu hingga selesai, Siska menjadi tahu,
acara itu adalah acara pengajian khusus untuk ibu-ibu.
Bunda Rohimah sebagai salah seorang panitia.
Uraian dari Pak Ustaz, sungguh sangat menyentuh hati
Siska dan memberi pencerahan pada jiwanya. Uraian yang
disampaikan Pak Ustaz menyentuh pada kehormatan wa-
nita.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 139


Bahwa Islam sangat menghormati kedudukan wanita.
Pada masa jahiliyah, sebelum Nabi Muhammad lahir dan
sebelum munculnya agama Islam, situasi moralitas di dunia
Arab pada waktu itu sangat menyedihkan. Dekadensi moral
yang masif menyebabkan kedudukan wanita sangat diren-
dahkan. Wanita dianggap sebagai objek pelampiasan nafsu
hewani saja. Bahkan banyak orang yang merasa malu ketika
istrinya melahirkan bayi perempuan. Kalau itu terjadi,
maka bayi perempuan yang baru lahir itu langsung dikubur
hidup-hidup.
Setelah Islam datang, Rasulullah mengajarkan kasih
sayang terhadap sesama. Tuhan tidak membedakan kasta,
perbedaan status sosial, warna kulit, bangsa-bangsa dan
suku-suku. Yang membedakan manusia di mata Allah ha-
nyalah kadar ketakwaannya.
Wanita sangat dihormati. Keindahan fisik wanita hanya
boleh dinikmati oleh sang suami dalam ikatan suci bernama
lembaga perkawinan. Karenanya, berbusana yang meng-
umbar aurat sama saja dengan memanjakan mata dan me-
ngundang nafsu syahwat para lelaki hidung belang. Ber-
pakaian buka-bukaan berarti mengobral kehormatannya
bagi semua orang. Merendahkan kehormatannya sendiri.
Kalau sudah begitu, lantas apa bedanya dengan perilaku
binatang?
Jadi, berbusana muslimah, menutup aurat rapat-rapat,
termasuk memakai jilbab atau kerudung, selain ketundukan
kepada Allah, adalah dalam rangka menjunjung kehormat-
an diri sendiri sebagai seorang wanita.
Siska merasa terkesan dengan uraian itu. Ia bahkan su-
dah merasakan dan mengalami dampak negatif dari me-
makai pakaian yang buka-bukaan.
Siska merasa beruntung dalam hidupnya pernah diper-
temukan oleh Allah dengan Bunda Rohimah, pengasuh
panti asuhan Raudhatul Jannah. Janda berusia menjelang

140 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


empat puluh tahun yang masih cantik itu menjadi tempat
curhat baru baginya.

***

PERCAKAPAN antar-hp terjadi.


“Halo, halo! Halo, Sis!”
“Hai, Van! ……. Dengar, dengar aku ngomong! ……
dengar aku ngomong! Hubungan pertemanan kita putus!
Anggap tidak pernah ada pertemuan di dalam hidup kita!
Sekali lagi kamu menghubungi aku, atau kamu nongol
dalam kehidupan aku, aku laporkan kamu ke polisi! Sele-
bihnya aku tak mau tahu apa yang akan kamu kerjakan!”
Sejak saat itu Ivan tidak pernah datang lagi dalam ke-
hidupan Siska.

***

KEGIATAN perkuliahan Siska sudah selesai. Ia kini


hanya tinggal menunggu hari-hari saat wisuda diadakan.
Kesempatan ini banyak ia manfaatkan untuk membaca ter-
jemahan Al-Qur’an.
“Tinggal tiga minggu lagi wisudanya, Bunda,” jawab
Siska ketika Bunda Rohimah menanyakannya.
“Akan menjadi hari yang bersejarah bagi Mbak Siska.
Hari yang indah dan mengesankan.”
Tapi Siska mengatupkan bibirnya. Rautnya terlihat su-
ram.
Bunda Rohimah selalu tahu gelagat.
“Pada suatu saat Arif pasti datang. Bersabarlah, Mbak
Siska.”
Siska tersipu. Bunda Rohimah mampu membaca isi ha-
tinya.
“Ya, Bunda. Arif memang telah berjanji pada suatu saat
akan menjemputku.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 141


Bunda Rohimah tersenyum bahagia.
“Yang masih aku ingat lagi akan Arif, ia pernah menga-
takan, Siska telah mendapat separuh hidayah. Dan yang
setengahnya lagi, Siska harus mencarinya sendiri. Apa mak-
sudnya, Bunda?”
Bunda Rohimah terpana. Tapi ia kembali tersenyum.
“Hidayah itu petunjuk dari Allah. Kalau Arif pernah
mengatakan seperti itu, berarti ia telah melihat tanda-tanda
yang baik. Bahwa hidayah yang sepenuhnya akan Mbak
Siska terima suatu saat. Dan Bunda merasa, saat ini hidayah
dari Allah sebenarnya sudah Mbak Siska genggam.”
“Artinya?”
“Kalau Mbak Siska tidak mengingkari hati nurani dan
memiliki keberanian, nyatakanlah bahwa hidup Mbak Siska
akan berhijrah, pindah menuju kebaikan, sebagai musli-
mah.”
“Artinya, Siska masuk Islam?”
Bunda Rokhimah menganggukkan kepala.
“Bunda, bolehkah terlebih dulu Siska mempertimbang-
kannya lebih mendalam?”
“Tentu boleh, bahkan itu harus. Karena Allah berfir-
man, laa iqraha fiddiin…, tidak ada paksaan dalam beraga-
ma.”
Beberapa hari Siska tidak dapat tidur nyenyak. Hatinya
gelisah, diliputi pergulatan batin, mau menerima hidayah
Allah yang sudah tergenggam ataukah mencampakkannya
kembali. Menerima, berarti harus menghadapi tantangan
keluarga. Mencampakkan, apakah menjamin hidup menjadi
tenang? Tapi, pilihan harus segera dijatuhkan.
Ketika ia menghubungi Bunda Rohimah untuk meng-
ungkapkan kegelisahannya, Bunda Rohimah malah menga-
takan.
“Biarlah hati Mbak Siska tenang dulu. Tidak usah ter-
gesa-gesa. Beragama itu harus ikhlas. Karena konsekuen-
sinya harus rela menjalankan syariat agama. Mau menerima

142 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-
Nya. Itulah yang disebut Islam yang kaaffah.”
“O iya,” lanjut Bunda Rohimah, “esok malam, ada pe-
ngajian lagi untuk ibu-ibu di tempat yang sama dengan
yang dulu. Kalau Mbak Siska tertarik, datang saja.”
Keesokan malamnya Siska hadir dalam acara pengajian
itu. Diam-diam ia mengenakan busana muslimah. Menye-
suaikan dengan undangan yang lain yang pernah ia lihat
dulu. Warna putih-putih. Dan, jilbab putih pemberian Arif,
yang dibeli dengan uangnya, dikenakan untuk pertama kali.
Sesampai di tempat pengajian, ia disambut Bunda Ro-
himah.
“Aduuh… cantiknya…! Allah telah memilih Mbak
Siska. Allah yang memilih sendiri kepada siapa hidayah-
Nya diberikan!”
Siska serasa tenggelam di dalam kesejukan seorang ibu.
Airmatanya pun berlinangan. Benarkah aku telah dipilih Al-
lah?
Sebelum acara mauizhah khasanah, pesan-pesan yang ba-
ik, disampaikan seorang ustaz, acara diselingi dengan se-
suatu yang istimewa. Ini menyangkut dirinya. Ialah acara
pernyataan keislaman seseorang yang segera menjadi
mualaf. Hadirin pun gemuruh dalam bisik-bisik kegembi-
raan, pernyataan rasa syukur mereka.
Siska sudah bulat tekadnya. Dengan mantap ia naik ke
pentas diikuti Bunda Rohimah.
Acara “prosesi” pengislaman itu dipimpin oleh ustaz,
Kiai Haji Abdur Rohim. Sebelumnya, diumumkan kepada
hadirin, “Ibu-ibu hadirin yang terhormat. Pada malam hari
ini adalah malam yang berbahagia. Kita akan mendapatkan
tambahan satu orang saudara. Namanya adalah Fransiska
Adrianasari. Kini Mbak Siska telah mantap untuk menjadi
seorang muslimah!”
Kemudian dengan dituntun oleh Pak Kiai, Siska meng-
ucapkan dua kalimat syahadat. Asyhadu an laa ilaaha illallaah,

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 143


wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah. Aku bersaksi
bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bah-
wa Muhammad adalah utusan Allah.
“Allaahu akbar! Allaahu akbar!....” takbir membahana
di dalam gedung itu.
Bergetar seluruh badan dan perasaan Siska. Tak kuasa
ia membendung airmatanya. Apalagi Pak Kiai lantas me-
mimpin hadirin bersalawat berulang-ulang, “Allahumma
shalli ‘ala Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihi wassallim…”

***

SISKA tidak mau berlama-lama menyembunyikan keis-


lamannya. Pengalaman diislamkan pada acara pengajian
malam itu amatlah berkesan. Peluk cium dan jabat tangan
datang dari ibu-ibu peserta pengajian datang silih berganti.
Beberapa ibu yang mengaku sebagai etnis Tionghoa juga
memperkenalkan diri. Siska jadi merasa tidak sendirian.
Siska pun merasa ia telah melepaskan ganjalan yang
ada di dalam hatinya. Ia semakin sadar, bahwa hidup setiap
manusia sejatinya hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Barang siapa yang tidak menyadari atau mengabaikannya,
mereka itu akan kosong jiwanya. Hampa. Dan, tidak tahu
apa yang harus mereka perbuat. Kilah mereka, hidup cukup
mengikuti arus saja. Contoh nyata adalah dirinya sendiri
selama ini.
Selain rajin membaca Al-Quran, ia berguru kepada
Bunda Rohimah. Berbagai buku agama Islam ia beli dan pe-
lajari untuk menambah wawasannya terhadap keyaki-
nannya itu. Dan orang pertama pada keluarganya yang ha-
rus ia beri tahu adalah papahnya. Walau perasaan takut
menggelayuti, ia harus berterus terang.
“Papah, Siska mau berterus terang kepada Papah,” lirih
Siska mengawali pembicaraan dengan, seperti biasa, meng-
gelesot di lantai di samping kursi roda papahnya.

144 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Papahnya tersenyum penuh tanda tanya. Tidak biasa-
nya anak gadisnya berlaku seperti itu.
“Siska sudah punya pacar baru?” tebak papahnya pe-
nuh canda.
“Iihh.. gak! Ah, Papah… Siska serius nih!”
“Ya ya, oke oke. Sekarang katakan yang sebenarnya!”
“Tapi, Papah janji tidak marah.”
“Katakan dulu ada masalah apa?”
Dengan takut-takut Siska mengungkapkan isi hatinya.
“Papah, Siska mau mengaku. Kalau Papah tidak se-
nang, Papah boleh mengusir Siska. Atau, Siska ikhlas kalau
Papah membunuh Siska!”
“Ada apa sih kamu? Yang jelas ngomongnya. Kok sam-
pai ada bunuh-bunuhan segala?” nada Papah Siska mulai
lain.
“Papah,” Siska malah menjadi semakin mantap, “Siska
telah menyatakan diri memeluk agama Islam. Siska seka-
rang seorang muslimah, Pah.”
“Apa?!!” Papah Siska kaget sekali. Hampir saja ia berte-
riak.
Siska merasa tegang dan siap menerima apa pun reaksi
papahnya. Ia pun memegangi tangan papahnya. Setidaknya
ini akan mengurangi emosi papahnya.
Di luar dugaan, reaksi papahnya tidak menunjukkan
kemarahan. Papah Siska malah menunjukkan sikap yang
mengherankan. Ia menunduk, menangis, mengguguk sam-
bil menutup mukanya.
“Papah, Papah kecewa ya dengan keputusan Siska?”
Papah Siska kembali membuka mukanya. Tangannya
membelai rambut anak gadisnya.
“Siska, tidak salah dengarkah Papa dengan apa yang
kamu sampaikan? Papah tidak merasa kecewa dengan ke-
putusan Siska. Papah hanya merasa terhempas, terbanting,
dan hancur.”
“Maafkan Siska, Pah!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 145


“Tidak, Siska tidak bersalah. Papah yang salah. Papah
yang telah menyia-siakan hidup Papah sendiri.”
Papah Siska melanjutkan.
“Ketahuilah, Siska. Papah sebenarnya pernah bersya-
hadat. Tapi, ketika mengawini mamahmu, Papah menjadi
kafir kembali.”
Dengan terengah penuh emosi Papah Siska mencerita-
kan.
“Orang tua dan keluarga Papah mencium ada yang ti-
dak beres pada Papah. Barangkali mereka curiga bahwa Pa-
pah telah berganti keyakinan. Maka Papah dikirim ke Lon-
don untuk meneruskan studi. Dan sekembalinya di tanah
air, Papah dipaksa untuk menikah dengan mamahmu. Per-
kawinan Papah dengan mamahmu dilaksanakan di gereja.
Papah yang menyembunyikan keislaman Papah, tidak kua-
sa mempertahankan keimanan Papah.”
“Dan ketahuilah Siska, kecelakaan yang terjadi antara
Papah bersama mamahmu terjadi ketika kami berangkat
menuju ke suatu tempat. Papah bermaksud mengaku kepa-
da mamahmu bahwa Papah sesungguhnya beragama Islam
dan tidak bisa meninggalkan keimanan Papah. Tapi sebe-
lum pengakuan itu sempat Papah ungkapkan, terjadilah
kecelakaan itu terlebih dulu.”
“Papah…?”
“Iya, Siska. Bertahun-tahun Papah hidup dalam pende-
ritaan dan keputusasaan. Iman kepada satu Tuhan tidak
pernah lepas dari genggaman Papah. Tapi Papah tidak
menjalankan syari’at, peribadatan Islam yang menjadi ke-
wajiban Papah. Semua itu adalah bentuk kemungkaran
yang sangat zalim, menyiksa diri sendiri dunia-akhirat.”
“Engkau anak yang kuat dan pemberani, Siska! Kini
kamu menjadi ilham bagi Papah. Papah pun akan menyata-
kan keislaman Papah! Kini, opa dan omamu dari pihak Pa-
pah telah meninggal. Jadi tidak ada yang mesti ditakuti!”
“Jadi, Papah mendukung keislaman Siska?”

146 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Kita akan saling mendukung!”
Kedua ayah dan anak itu saling berpelukan dan berta-
ngisan.
Subhanallaah, walhamdulillaah, wa laa ilaha illallaah, wa
‘llaahu akbar!
Setelah mereka saling melepaskan pelukannya, Papah
Siska mengeluarkan pernyataan dengan suara gemetar tapi
penuh keyakinan.
“Ya Allah, ampunilah segala dosaku yang bertumpuk
ini. Tiada yang dapat menghapus dosaku kecuali Engkau
yang Maharahman dan Maharahim. Dan, karena terinspi-
rasi oleh anakku, Siska, aku pun menangkap hidayah-Mu
yang kedua. Dan, dengan ini aku memperbarui syahadatku,
Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan
rasuulullaah! Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali
Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Al-
lah! Tidak ada ketakutan kecuali pada-Mu, ya Allah. Berilah
kekuatan padaku, dan pada anakku Siska untuk senantiasa
menggenggam keimanan ini dan melaksanakan perintah-
Mu serta menjauhi larangan-Mu!”
Kemudian Papah Siska bangkit berdiri dengan airmata
yang masih bercucuran. Tangannya mengembang ke atas.
“Astaghfirullaah al azhiim……!”
Lalu berjalan maju beberapa langkah.
“Laa haula wa laa quwwata illa billaah!”
Siska melihatnya dengan takjub sebelum ia berteriak.
“Papah! Papah! Papah bisa berdiri dan berjalan?!!!”

***

KAMPUS Universitas Satya Mulia Brata ramai dipe-


nuhi pengunjung. Sebagaimana biasa setiap acara wisuda
dilaksanakan kemeriahan seperti itulah yang terlihat.
Hari itu hari bahagia bagi para wisudawan. Tidak ha-
nya mereka, keluarga mereka juga tidak kalah bahagianya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 147


Termasuk larut di dalam kebahagiaan itu Siska beserta ke-
luarganya.
Pada hari itu kampus seakan diguncang oleh sesuatu
pemandangan yang sensasional. Apa itu? Jilbab Siska. Ya.
Hari itu Siska menghadiri acara wisuda kesarjanaannya de-
ngan memakai jilbab putih. Hampir semua teman kuliahnya
terkejut. Ada yang tak acuh, ada yang mendukung, tapi le-
bih banyak yang bisik-bisik. Risiko pertama menjadi mus-
limah harus Siska hadapi.
“Aku tidak mungkin mengikuti jejakmu, tapi aku men-
dukung. Kita tetap berteman ya?” kata Theresia seraya me-
nyalami Siska.
Ucapan senada datang dari teman-teman yang lain.
Berty, Margaret, Jimmy, Bram, dan lainnya.
“Sis, kamu menyalipku untuk urusan jilbab!” komentar
Irma. Ia sebenarnya beragama Islam.
Azizah yang sudah terbiasa mengenakan jilbab merasa
gembira. Ia hadir dengan keadaan perut yang mulai mem-
buncit. Ia peluk Siska. Ia berikan ciuman pada kedua pipi
Siska.
Yang lebih konyol adalah komentar Joko yang disam-
paikannya dengan geleng-geleng kepala dan dengan muka
yang lucu.
“Lho, ini Mbak Siska to? Pangling aku! Ck.. ck.. ck….
Huayuneee…!”
Kontan meledaklah gelak tawa sekawanan teman yang
ada di situ.
Siska tampil tegar saat naik panggung dan menerima
kalungan selempang kesarjanaan. Hatinya puas. Ia telah
berani menyatakan diri sebagai seorang muslimah di depan
banyak orang. Hari ini mungkin ia dianggap biang kerok
kegaduhan. Namun, lain kali anggapan itu sudah tidak ada.
Yang ada hanya ketakacuhan.
Di antara para keluarga yang mengantar, kehebohan
yang tak kalah sensasionalnya juga terjadi. Siapa lagi yang

148 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


menjadi tokohnya kalau bukan papah Siska, Tuan Hendra
Hendriatmana. Ia hadir mengantarkan anaknya dengan
hem batik lengan panjang lengkap dengan kopiahnya! Yang
menjadi bisik-bisik yang menyertainya adalah kehadiran
Bunda Rohimah di antara keluarga itu. Memang, Siska
minta izin papahnya untuk menyambangi Bunda Rohimah
agar bisa berangkat bersama. Terakhir, Tante Ervina juga
menyertai mereka. Tapi tidak ada istimewanya.
Setelah prosesi wisuda selesai, Siska merasakan kele-
gaan yang luar biasa di dalam dadanya. Walaupun begitu,
ia tidak dapat menyembunyikan kegundahan yang tersisa
di hatinya. Di antara kebahagiaan mendapat ucapan se-
lamat, bersalaman, bercikipa-cikipi, pelukan dari sekian
banyak teman dan keluarganya dirasakan Siska masih ada
yang tertinggal. Di antara linangan airmata terbayang se-
seorang yang sangat ia dambakan kehadirannya. Siapa lagi
kalau bukan Arif.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 149


11.
Menyepak Kerikil-kerikil Berserak

SALAT Isya berjamaah sudah lewat. Tapi di masjid itu


Arif masih tinggal. Ia tengah tenggelam dalam keasyikan-
nya membaca Al-Quran. Kalau sudah melakukan “ritual”
ini, ia merasa terbebas dari kegelisahan dan kekhawatiran
akan kehidupannya sehari-hari. Sudah hampir tiga bulan ia
tinggal di Jakarta, namun nasibnya belum juga mau beru-
bah. Akhir-akhir ini ia harus lebih mengerahkan tenaga fi-
siknya agar dapat menyambung hidup. Ia tidak pernah lupa
berdoa, “Ya Allah berilah aku ketabahan dan kesabaran
dalam menghadapi ujianmu. Berilah aku petunjuk sehingga
aku tidak mengingkari nikmat yang Engkau berikan.”
Ketika ada serombongan orang melakukan salat berja-
maah, Arif merendahkan suaranya agar tidak mengganggu
orang yang sedang melakukan ibadah salat. Rombongan
orang itu pasti orang yang dalam perjalanan.
Setelah rombongan itu menyelesaikan salat dan ber-
gegas pergi, dan Arif pun puas menghabiskan tiga juz, ia
bermaksud istirahat ke tempat kostnya. Tapi Pak Sukidi be-
lum kembali ke masjid. Barangkali masih melampiaskan
istirahatnya bersama keluarga. Arif pun harus menunggu
sampai Pak Sukidi datang. Seandainya ia tinggalkan begitu

150 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


saja dengan menutup pintu utama, bisa saja ia lakukan.
Tapi meninggalkan pintu tertutup tanpa terkunci, Arif tidak
sampai hati melakukannya.
Ketika itu mata Arif tertumbuk pada sebuah tas yang
teronggok di bawah tiang masjid. Agaknya milik anggota
rombongan yang salat isya tadi telah tertinggal. Ia ambil tas
itu dan mencoba ingin tahu apa isinya. Masyaallah! Tiga
bendel uang ratusan ribu. Berarti jumlahnya tiga puluh juta.
Ada lagi dua buah koran nasional yang berbeda namun un-
tuk edisi yang sama. Ia tutup kembali tas itu. Sayang, tidak
ada identitas jelas yang berada di dalam tas itu. Yang ia
ucapkan pertama kali saat itu, “A’udzu billaahi minasy
syaithaanirrajiim…!” Aku berlindung kepada Allah dari go-
daan setan yang terkutuk.
Setelah Pak Sukidi kembali ke masjid, ia tunjukkan tas
temuannya itu. Ia bermaksud menyerahkan tas itu kepada
Pak Sukidi agar disimpan di lemari masjid. Andai kapan-
kapan ada orang menanyakan tas yang ketinggalan, boleh-
lah tas itu dikembalikan kepada si empunya. Tapi Pak Su-
kidi berpendapat lain.
“Masjid ini tidak terjamin keamanannya. Hp-nya Mas
Arif saja hilang, tidak kembali,” kata Pak Sukidi. “Bagaima-
na kalau tas itu disimpan Mas Arif saja? Kapan ada orang
yang mencari tas itu, akan saya tunjukkan tempat kost Mas
Arif.”
Setelah melalui silang pendapat, akhirnya Arif me-
ngalah untuk menyimpan tas itu di lemari kamar kostnya.
“Tapi mohon Bapak tidak menceritakan temuan tas ini
pada orang lain. Berbahaya. Itu akan bisa menerbitkan sele-
ra orang untuk menguasai tas ini.”
Pak Sukidi tertawa. “Ya, tidak mungkin akan kucerita-
kan kepada orang lain. Tidak usah khawatirlah, Mas Arif.”
Benar. Dua hari kemudian pada saat matahari mulai
naik, Pak Sukidi menemui Arif bersama seorang laki-laki
setengah umur mengenakan kemeja batik yang kelihatan

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 151


rapih. Kebetulan saat itu Arif baru saja pulang untuk meng-
ambil alat yang ketinggalan di tempat kost. Ia harus kem-
bali ke rumah tetangga yang memberinya job mengganti
selang-selang air.
Diperkenalkan oleh Pak Sukidi bahwa orang itu ber-
nama Pak Bambang yang sedang mencari tasnya yang ke-
tinggalan. Arif menjabat tangan Pak Bambang.
“Mohon maaf, Bapak. Untuk memastikan bahwa tas
yang saya simpan benar-benar milik Bapak, saya akan me-
ngecek dengan beberapa pertanyaan.”
Pertanyaan yang diajukan Arif mengenai apa saja isi tas
dapat dijawab semua dengan tepat oleh Pak Bambang. Pak
Bambang menyebutkan jumlah uangnya, dan menyebutkan
dua koran nasional.
Tak ayal Arif menyerahkan tas itu kepada pemiliknya.
Tapi saat itu Arif harus kembali menyelesaikan pekerjaan-
nya.
“Maaf ya, Pak. Saya harus menyelesaikan pekerjaan sa-
ya. Saya mendapat job tetangga di sebelah sana. Pekerjaan
saya sangat ditunggu dan diharapkan segera selesai.”
Pak Bambang yang belum sempat memeriksa isi tasnya
hanya bisa mengucapkan terima kasih. Ia membuka dom-
petnya. Agaknya bermaksud memberi hadiah untuk Arif.
“Ini sekadar ucapan terimakasih dari saya.”
“Nggak usah, Pak. Terima kasih! Mohon maaf, saya ti-
dak bisa menerima kedatangan Bapak dengan selayaknya.”
Arif bahkan bergegas setengah berlari.
Pak Bambang dan Pak Sukidi sama-sama terperangah.
Sepekan setelahnya, Pak Bambang datang lagi mene-
mui Arif. Kali ini ketemunya di masjid. Pak Sukidi mene-
mani Arif.
“Mas Arif, saya sengaja datang untuk menemui Mas
Arif.”
“O ya, bagaimana, Pak? Apakah ada yang kurang dari
isi tas Bapak? Maaf, kemarin saya terburu-buru sekali!”

152 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“O, bukan itu maksud saya! Masalah isi tas, uang itu
genap, tidak ada selembar pun yang hilang.”
“Alhamdulillah! Kalau begitu…?”
“Begini Mas Arif. Menurut Bapak Penjaga Masjid, Pak
Sukidi ini, tempo hari, Mas Arif masih belum mempunyai
pekerjaan tetap. Yang dikerjakan hanya pekerjaan serabu-
tan.”
“Benar, Bapak,” jawab Arif.
“Nah, di sini saya akan menawari Mas Arif, kalau seki-
ranya bersedia, suatu pekerjaan tetap di rumah kami. Ting-
gal di rumah kami. Makan minum terjamin. Jadi, tidak ada
pengeluaran untuk bayar kost.”
Arif terbayang sewa kost bulan ini belum terbayar.
“Di sana saya harus mengerjakan apa, Bapak?”
“Ya, ikut membantu bersih-bersih di rumah.”
“Tukang kebun?”
“Ya, semacam itulah. Tapi tidak terlalu beratlah.”
Arif berpikir sejenak.
“Bagaimana Mas Arif?”
“Sebaiknya Mas Arif terima saja. Ini kesempatan,” Pak
Sukidi ikut memberi saran.
Arif masih sempat berpikir sebelum akhirnya menja-
wab.
“Baiklah kalau begitu, Bapak. Tapi Bapak menilai saya
layak bekerja pada Bapak ya?”
“Sudah tentu! Buat apa jauh-jauh saya datang kemari.”
Setapak lagi langkah diayunkan. Kini Arif bekerja pada
keluarga Pak Bambang. Juragan barunya yang nama leng-
kapnya Bambang Adi Purnomo itu orangnya ramah dan
baik hati.
Pekerjaan yang diberikan kepada Arif ternyata me-
mang tidak berat. Yang semula ia menduga akan menjadi
tukang kebun ternyata sudah ada tukang kebun tetap di
rumah itu. Ia hanya membantu-bantu apa yang bisa diker-
jakan. Ia juga mendapat tugas antar-jemput anak Pak Bam-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 153


bang yang masih SD dengan sepeda motor. Jarak antara
rumah dan sekolah memang tidak terlalu jauh. Ia bahkan
menjadi bingung harus mengerjakan apa di rumah sebesar
itu.
Sikap keluarga Pak Bambang sangat baik terhadap di-
rinya. Keluarga yang berasal dari Jawa Tengah itu tidak
memperlakukannya semata-mata sebagi pembantu rumah
tangga. Itu yang menambah kerasan dan besar hatinya.
Sekian pekan menjalani pekerjaan itu, Arif mulai ber-
pikir tentang masa depan. Tapi ia juga tidak ingin menjadi
pengkhianat pada keluarga yang telah menolongnya. Suatu
saat, tidak harus terburu-buru, ia akan meninggalkan peker-
jaannya yang sekarang untuk meningkatkan status sosial
dan pendapatannya. Dan kesempatan itu, dalam waktu
yang tidak terlalu lama, akhirnya tiba juga.
Suatu ketika Arif sedang mencuci mobil yang biasa di-
pakai oleh Bu Bambang. Kebetulan Pak Bambang pulang
dari kantor dengan mobilnya dan ingin masuk ke halaman.
Tapi Pak Bambang kesulitan karena terhalang oleh mobil
yang sedang dicuci Arif. Tak ayal Arif segera masuk ke mo-
bil yang sedang dicucinya dan menggeser mobil itu untuk
memberi jalan kepada tuannya.
“Rif! Ternyata kamu bisa mengemudikan mobil?” tanya
Pak Bambang dengan heran. Sejak Arif bekerja pada keluar-
ga Pak Bambang, Pak Bambang tidak lagi memanggil Arif
dengan “Mas Arif” tapi cukup “Rif.” Sedang Arif diminta
memanggil “Pak Bambang” saja.
“Ya Pak. Memang saya pernah menjadi sopir pribadi.”
“Walah! Gitu kok nggak mau bilang? Kalau begitu mu-
lai sekarang kamu jadi sopir pribadiku!”
“Tapi saya belum paham betul dengan jalan-jalan raya
di Jakarta ini, Pak.”
“Tidak usah kuatir! Nanti akan bisa menyesuaikan de-
ngan sendirinya.”

154 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Pekerjaan barunya membuat gairah Arif semakin me-
ningkat. Ia kini memeroleh pengalaman yang lebih. Bahkan
kadang ia merasa sedang mengemudikan mobil Honda Jazz
dan yang dibawa adalah Nona Cinderellanya. Sekian bulan
pekerjaan itu ditekuninya.
Pak Bambang nampak puas akan kinerja sopirnya itu.
Ia juga mengamati pribadi Arif yang menarik. Sopirnya ini
disiplin, sopan, sabar, baik hati kepada siapa pun. Dan yang
paling dikagumi Pak Bambang adalah kejujurannya. Zaman
seperti ini sangat sulit mencari orang yang jujur.
Ketertarikan Pak Bambang pada Arif memang dimulai
ketika ia memeriksa tas yang ketinggalan dan ditemukan
Arif. Uang tunai tiga puluh juta tidak selembar pun ber-
kurang. Pak Bambang sangat heran kok masih ada orang
sejujur Arif. Arif pun menolak imbalan uang darinya.
Karenanya, setelah ia diskusikan dengan istrinya, Pak Bam-
bang mantap ingin menolong Arif untuk meningkatkan di-
rinya.
Pak Bambang pun berangan-angan, seandainya punya
anak gadis, ia ingin menjodohkannya dengan Arif. Walau
Arif hanya seorang sopir pribadi. Tapi yakin, Arif orang
yang bisa diajak maju. Sayang sekali, anak-anak Pak Bam-
bang yang jumlahnya lima, lahir dengan kelamin jantan se-
mua.
“Rif!” suatu ketika Pak Bambang kelihatan serius.
“Ya Pak! Ada yang perlu saya kerjakan?”
“Kalau kamu ingin maju, sebaiknya kamu kuliah!”
Arif terdiam. Tapi akhirnya bersuara juga.
“Kuliah saya sudah selesai, Pak!”
“Hah?!! Kamu sudah sarjana?!”
“S2!”
“S…2 ???!!!”
“Nggih, Pak.”

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 155


KINI Arif telah menjadi anggota auditor di kantor Pak
Bambang. Pak Bambang memang memimpin sebuah biro
konsultan perusahaan dan akuntan publik yang bernama
“Bonafid = Jujur.” Arif sangat beruntung bisa mempraktik-
kan ilmu yang ia dapat dari kuliahnya. Dari pelajaran dan
berbagi pengalaman yang diberikan Pak Bambang, ia pun
dapat menjalankan fungsinya sebagai auditor untuk melak-
sanakan audit secara efektif.
Hari-harinya kini, bila ada job, dilewati dengan ikut se-
bagai anggota yang mengaudit perusahaan demi perusa-
haan di berbagai kota yang membutuhkan. Kemudian
memberi kesimpulan dan rekomendasi apa yang seharus-
nya perusahaan itu lakukan.
Pak Bambang pun puas atas hasil kerja Arif. Hanya sa-
ja ia menyayangkan kenapa tidak sejak dulu Arif langsung
mengaku bahwa ia berpendidikan pascasarjana.
“Rif, demi masa depanmu, kamu jangan lagi suka me-
nyembunyikan pendidikan terakhirmu dan juga keahlian
yang kamu bisa. Aku serius sekarang. Aku tahu maksudmu
untuk tidak menyombongkan diri. Tapi, asal kamu punya
niat baik, untuk berbuat baik terhadap perusahaan, misal-
kan memperbaiki sistem kerja, jangan ragu-ragu kamu aju-
kan presentasi kepada pimpinanmu,” nasihat Pak Bambang
pada suatu hari.
“Nggih Pak.”
“Pimpinan pasti mengerti, mana usulan yang tulus dan
mana yang hanya untuk mencari muka dari bawahannya.
Jadi berpikirlah positif selama apa yang kamu sampaikan
kamu landasi argumen yang kuat dan logis!”
“Paham, Pak.”
“Sebab kalau tidak begitu, kamu tidak akan maju-maju.
Yang penting, jangan suka mencuri ide dari temanmu. Biar-
kan mereka mengembangkan gagasannya sendiri. Semen-
tara kamu pun harus menemukan ide yang lain. Tunjuk-

156 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


kanlah prestasimu kepada pimpinan tanpa disertai menye-
rimpung rekan-rekanmu sendiri.”
“Insyaallah saya laksanakan, Pak.”
Beberapa waktu kemudian, Arif dipercayai sebagai sa-
lah seorang auditor leader. Sejumlah perusahaan yang ia ta-
ngani merasa puas atas hasil audit dan rekomendasinya.
Hasil kinerjanya itu semakin memuaskan hati pimpinannya,
Pak Bambang. Pak Bambang mengakui, sejak Arif berga-
bung, biro jasa yang ia pimpin semakin maju dan banyak
kliennya.
Pada suatu hari Pak Bambang memanggil Arif ke ruang
pimpinan.
“Rif, ini ada berita gembira untukmu. Perusahaan di
Tasikmalaya yang pernah kamu tangani memintaku untuk
memberikan bantuan tenagamu untuk bergabung pada pe-
rusahaan itu. Perusahaan itu langsung menunjuk namamu.
Itu artinya mereka memiliki kepercayaan kepadamu yang
mereka nilai akan mampu memajukan perusahaan itu.”
Arif tersenyum.
“Saya jadi merasa tersanjung, Pak.”
“Memang. Tapi bagaimana, kamu bersedia kan?”
“Tapi… nanti bagaimana, siapa yang mengemudikan
mobil Pak Bambang?”
Selama ini Arif masih tinggal di rumah Pak Bambang.
Bila berangkat atau pulang kantor, yang mengemudikan
mobil tetap Arif.
“Yaah…, bagaimana sih kamu? Sebelum ada kamu kan
aku biasa nyetir sendiri? Jadi buat apa dirisaukan?”
Arif serasa keberatan.
“Tidak usah ragu, Rif. Ini kesempatan untuk mengem-
bangkan kariermu. Kamu masih muda sudah dapat kesem-
patan yang seperti ini. Oke ya, aku telepon ke sana!”

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 157


KINI Arif pun bermukim di Tasikmalaya. Ia menjadi
manajer part timer di PT Air Mengalir Sampai Jauh dengan
kontrak satu tahun untuk membenahi perusahaan. Perusa-
haan yang sedang berkembang ini bergerak dalam bidang
produksi aneka macam jajan tradisional dalam kemasan.
Sebuah usaha yang menarik dan menjanjikan apabila dike-
lola dengan benar.
Pak Andreas, pemilik perusahaan itu memberi tugas
kepada Arif untuk meningkatkan produksi dan pemasaran
yang efektif sehingga mendatangkan keuntungan yang
memadai. Selama ini perusahaan tetap eksis walaupun de-
ngan keuntungan yang relatif mepet. Apalagi setelah diada-
kan audit eksternal yang dilakukan oleh biro jasa yang
dipimpin Arif dulu ditemukan berbagai penyimpangan
yang mengakibatkan pemborosan yang tidak sedikit.
“Pak Andreas, perusahaan ini masih dimungkinkan un-
tuk berkembang walaupun diawali dengan pengorbanan,”
Arif memberikan pandangannya.
“Tentu, Pak Arif. Ketika perusahaan ini didirikan juga
membutuhkan pengorbanan modal yang tidak sedikit.”
“Saya memperkirakan tidak perlu menambah dengan
dana segar. Asalkan perusahaan, untuk jangka waktu ter-
tentu, mau menerima kenyataan keadaan profit bisa zero.
Tapi harapannya di kemudian hari adalah meningkatkan
omset sehingga margin keuntungan perusahaan juga bisa
meningkat.”
“Apakah itu bisa dilakukan? Tanpa tambahan dana se-
gar?”
“Andaikata ada cadangan dana segar, itu lebih baik.
Tapi kita coba saja, Bapak. Sedapat mungkin dana segar
hanya untuk alternatif terakhir. Sebelum kita berani men-
coba, kita tidak berhak menyimpulkan tidak akan berhasil.”
“Ya. Oke, oke. Apa yang akan Pak Arif lakukan?”
Setelah dianalisis secara mendalam, Arif melihat peru-
sahaan ini dikelola secara amburadul. Banyak penyimpang-

158 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


an yang kasat mata tapi seakan dibiarkan begitu saja. Ba-
gaimana mungkin perusahaan ini bisa maju?
Arif menjawab tantangan itu dengan sebuah perenca-
naan. Dimulai dari meningkatkan etos kerja karyawan. Arif
melihat adanya inefisiensi dalam bidang ini. Kemudian
perlu adanya efisiensi dalam alur kerja. Serta masih banyak
hal yang perlu mendapat pembenahan.
Dalam rapat yang dihadiri pemilik perusahaan, Pak
Andreas, dan seluruh kepala dan wakil-wakil bagian, Arif
menjelaskan tentang strategi memajukan perusahaan itu.
“Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perusahaan
ini telah menjadi tempat kita untuk mendapatkan rezeki.
Rezeki yang kita gunakan untuk menyambung hidup kita
dan seluruh keluarga kita. Bukan saja untuk kepentingan
sesaat, tetapi untuk kepentingan keluarga kita ke depan.
Tentu, dalam hidup kita membutuhkan banyak dana untuk
memenuhi kebutuhan kita. Mulai dari memberi nafkah
berupa makan minum kepada keluarga. Lalu, pendidikan
anak-anak kita, memberi kemudahan bagi gerak aktivitas
kita sehari-hari seperti alat-alat rumah tangga semacam
kulkas, AC, sepeda motor, bahkan mobil. Kalau kita dapat
merencanakan kebutuhan masa depan kita semua itu, in-
syaallah, akan dapat kita raih melalui rezeki yang kita dapat
dari bekerja pada perusahaan ini. Oleh karenanya, kita wa-
jib menjaga kelangsungan perusahaan. Bukan hanya ke-
langsungan sesaat, tetapi perusahaan ini harus berjalan
terus, maju dan berkembang.”
Arif melanjutkan.
“Yang pertama sekali harus kita kerjakan sekarang
adalah meningkatkan etos kerja. Tanpa disertai jam lembur,
kita harus sudah bisa menyelesaikan pekerjaan kita. Saya
melihat banyak waktu yang terbuang hanya untuk selingan
bergurau dan kadang ngobrol-ngobrol saja. Ini sebenarnya
adalah pemborosan yang luar biasa kalau tak boleh disebut
sebagai korupsi waktu.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 159


Para peserta rapat mulai berbisik-bisik gelisah dan
menggerutu.
“Kami menyadari, kenapa banyak karyawan yang suka
kerja lembur. Bahkan ini terjadi di semua level. Semua dise-
babkan upah atau gaji yang diterima karyawan masih di
bawah dari yang diharapkan. Tidak ada cara lain untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selain harus ditu-
tup dengan upah lembur.”
Peserta rapat mengeluarkan suara gerenengan walau
dengan suara yang rendah. Dari sudut belakang ada yang
berani nyeletuk, “Betul!”
Arif serasa mendapat angin.
“Nah, program yang akan datang kita awali dengan
meningkatkan produktivitas kita. Selama ini kita bekerja
selama sembilan jam termasuk jam lembur. Ke depan kita
hanya akan bekerja selama tujuh jam kerja dengan hasil
produktivitas yang sama. Harus bisa, dan kita optimis pasti
bisa. Dan, tidak perlu ada kekuatiran. Karena program pe-
rusahaan nanti, kerja yang tujuh jam itu akan mendapatkan
take home pay yang tidak berkurang bila dibanding kerja
sembilan jam selama ini.”
Huaaa…! Gemuruh kegembiraan dari peserta rapat.
“Dan bahkan Bapak Direktur kita sudah menyetu-
jui…,” Arif berpaling kepada Pak Andreas dan Pak Andreas
tersenyum sambil menganggukkan kepala, “apabila pro-
gram ini berhasil secara efektif, maka dalam waktu tiga bu-
lan setelahnya, perusahaan akan menambah sedikit gaji
yang akan diterima karyawan. Dengan kata lain, akan ada
kenaikan gaji!”
Sekali lagi terdengar suara gemuruh dari peserta rapat
bahkan disertai dengan tepuk tangan.
“Agar semua program dapat berjalan dengan efektif,
seluruh karyawan wajib mendukung dan mematuhi in-
struksi perusahaan. Selain efektivitas jam kerja, nanti ada
program penyusunan prosedur-prosedur dalam melak-

160 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


sanakan pekerjaan di seluruh sektor. Misalkan, untuk mem-
beli spare part mesin atau kendaraan harus menyerahkan
spare part yang rusak yang akan diganti. Untuk pembelian
bahan baku produksi juga akan diatur dalam prosedur. Se-
mua akan kita benahi. Walaupun agak terlambat dalam ma-
salah penyusunan prosedur seperti yang diatur dalam ISO,
kita harus melaksanakannya. Ini dimaksud untuk mengejar
ketertinggalan kita dari perusahaan pesaing kita.”
“Setuju, Bapak-bapak dan Ibu-ibu?” akhir pidato sosia-
lisasi dari Arif.
“Setujuuuuu…!!!” sorak mereka.
Begitulah. Yang terjadi kemudian pelaksanaan program
secara menyeluruh. Terkesan besar-besaran karena program
perusahaan itu dilakukan secara serentak oleh hampir dua
ratus karyawan. Dimulai dari mengeluarkan barang-barang
dan aset-aset perusahaan yang sebenarnya sudah rusak atau
sudah tidak digunakan lagi. Kemudian mendaftari barang
atau aset apa saja yang perusahaan itu miliki.
Sekian bulan kemudian kantor dan pabrik sudah keli-
hatan bersih. Kalau semula semua ruangan banyak dipe-
nuhi tumpukan barang-barang, setelah banyak barang yang
tidak digunakan dikeluarkan dari ruangan, terlihatlah seka-
rang ruangan yang lapang, rapi dan bersih. Semua karya-
wan merasakan perbedaan itu. Semangat kerja pun mening-
kat dengan sendirinya.
Sudah lama kerja di sini, senang kerja di sini, apa hara-
pannya kerja di sini. Itulah di antara pertanyaan yang diaju-
kan Arif kepada karyawan di level bawah. Ia memang suka
menyempatkan berkeliling ke semua area kerja secara ber-
kala dan bergilir. Rata-rata respon para karyawan menyam-
but positif setelah adanya reformasi.
“Tapi kami mengharapkan buruh wanita tidak dilarang
memakai jilbab, Pak!” usul seorang wanita pekerja ketika
Arif mengadakan tinjauan ke area pengemasan produk.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 161


“Dilarang? Apa betul dilarang?” tanya Arif penuh he-
ran.
“Iya, Pak…. Iya, Pak…. Betul, Pak!” jawab beberapa
wanita pekerja.
“Seandainya diperkenankan memakai jilbab, apakah
Ibu-ibu sanggup lebih disiplin, lebih semangat, dan me-
ningkatkan produktivitas?” balas Arif.
“Sanggup, Pak… sanggup, Pak… Siip, Pak!” sambut
para wanita pekerja dengan meriah.
“Baik, Ibu-ibu. Saya akan mengusulkan. Doakan agar
usulan ini berhasil!”
“Amiin…! Kami doakan semoga berhasil, Pak! Pak Arif
cakep deh!”
Setelah Arif mengadakan lobbying bersama Pak An-
dreas, larangan tak tertulis soal mengenakan jilbab akhirnya
dicabut. Pak Andreas bahkan merasa heran dan tidak tahu
menahu karena ia tidak pernah menginstruksikan larangan
pemakaian jilbab bagi karyawan wanita.
Di sektor produksi mulai ditekankan inovasi-inovasi
produk beserta kemasannya. Agar produk yang baik itu
tampil lebih menarik. Pada sektor pemasaran, para karya-
wan dilatih untuk lebih agresif. Dan, mulailah dicoba untuk
mengekspor produk mereka. Kualalumpur dan Dubai ada-
lah target pertama.
Arif merasa puas karena semua program berjalan se-
mestinya. Selama hampir setahun itu, target yang akan di-
capai pun terpenuhi. Hanya yang agak meleset, pemilik pe-
rusahaan masih harus mengucurkan dana segar. Tapi Pak
Andreas tetap merasa puas karena kenyataannya trend pe-
rusahaan itu semakin maju dan berkembang. Maka, tamba-
han modal itu tidak akan sia-sia. Kemajuan perusahaan Pak
Andreas semakin nampak dengan jumlah karyawan yang
semakin bertambah. Kini jumlah karyawan sudah mencapai
lebih dari dua kali jumlah semula.

162 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


***

SEBENARNYA, ketika Arif mendapat “kekuasaan” di


perusahaan itu bukan berarti tidak ada hambatan. Ham-
batan yang utama, apa lagi kalau bukan persaingan antar-
karyawan. Yang seperti ini sudah biasa terjadi di dalam or-
ganisasi sebuah perusahaan. Ada yang iri atas prestasi te-
man sekerja dan takut seandainya dirinya tersingkir. Pada-
hal dirinya sudah lebih lama mengabdi pada perusahaan.
Sudah merasakan suka duka dan manis pahitnya jatuh ba-
ngun membela dan menghela roda perusahaan. Kini, ada
orang lain, orang baru pula, yang diserahi jabatan tertinggi.
Masalahnya si iri hati masih kerabat dari direktur peru-
sahaan itu. Nico namanya. Ia keponakan Pak Andreas. Se-
lama ini Nico menjadi orang nomor dua setelah Pak An-
dreas. Ia menguasai urusan hampir semua sektor perusa-
haan. Setelah kedatangan Arif, ia merasa terpinggirkan. Se-
harusnya ia malu karena banyak kebijaksanaannya dulu te-
lah menyebabkan penghamburan dana yang tidak sedikit.
Ada indikasi larangan pemakaian jilbab juga berasal dari-
nya.
“Maaf, Pak Arif, saya khawatir sikap Pak Arif yang ber-
lebihan terhadap karyawan akan membuat kerugian kita di
kemudian hari,” kata Pak Nico pada suatu hari.
“Kerugian dalam hal apa, Pak Nico?”
“Saya kuatir, nantinya karyawan akan menjadi manja.
Sedikit-sedikit protes, sedikit-sedikit menuntut. Mulai be-
rani demo dan semacamnya!”
“O, kalau masalah itu tak perlu dikhawatirkan, Pak
Nico! Menurut saya, sikap saya terhadap karyawan masih
wajar. Saya masih dapat mengendalikan diri untuk tidak
terlalu maju, Pak Nico! Apa yang saya lakukan masih bersi-
fat normatif. Justru bila hak normatif tidak kita berikan,
dimungkinkan di kemudian hari mendatangkan masalah.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 163


Kalau terjadi perselisihan di pengadilan, kita bisa kalah, Pak
Nico!”
Dalam hubungan kesehariannya antara Arif dan Nico
tidak ada masalah. Tapi di dalam hati Nico mulai dipenuhi
kecemburuan yang berkobar. Kobaran itu semakin membe-
sar ketika Pak Andreas memanggil Arif ke ruangannya.
“Pak Arif, saya merasa puas atas hasil kerja yang Pak
Arif tunjukkan. Saya tidak memungkiri bahwa perusahaan
telah berkembang pesat,” Pak Andreas mengawali pembi-
caraannya.
“Saya hanya berusaha dan mendapat dukungan dari
semua jajaran. Dukungan dari manajemen, dari Pak An-
dreas, itulah yang sangat vital. Bahkan, ada satu hal vital
yang meleset,” jawab Arif merendah.
“Perihal suntikan dana segar, itu tidak menjadikan ma-
salah, Pak Arif. Karena memang tekad kita untuk memaju-
kan perusahaan.”
Arif tidak memberikan komentar.
“Pak Arif, dalam dua bulan ke depan, kontrak Pak Arif
akan habis. Ini tentu membuat saya kehilangan seorang
yang secara langsung mendorong kemajuan perusahaan ini.
Oleh karena itu, Pak Arif, saya menawarkan dan meng-
harap agar Pak Arif mau bergabung secara permanen di pe-
rusahaan ini. Tegasnya, Pak Arif saya angkat sebagai mana-
jer pada perusahaan ini. Mengenai salary, pasti ada kenaik-
an yang signifikan. Bagaimana, Pak Arif?”
Arif terhenyak. Ia tak menyangka akan mendapat ke-
percayaan sebesar itu.
“Pak Arif boleh mempertimbangkan tawaran saya ini.
Tapi, saya mengharap sekali atas kesediaan Pak Arif!”
Sebelum Arif memberikan jawaban, hari-hari berikut-
nya ia masih melaksanakan tugas seperti biasa. Hingga
pada suatu hari ia kembali dipanggil oleh Pak Andreas.

164 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Di dalam ruang direktur, Arif duduk menghadap Pak
Andreas. Orang pertama di perusahaan itu terasa kian ber-
wibawa.
“Pak Arif,” Pak Andreas membuka percakapan dengan
hati-hati.
“Saya, Bapak.”
“Apakah Pak Arif tidak menyadari bahwa rekening
bank Pak Arif, selain salary dari perusahaan ini, kemasukan
transfer dari pihak lain yang jumlahnya luar biasa?”
Arif agak heran karena ia merasa rekening banknya se-
lama ini wajar-wajar saja.
“Saya sudah beberapa waktu tidak mengecek dan
menarik dana dari rekening saya, Bapak. Bukankah saya te-
lah tercukupi untuk makan, perumahan dan lain-lainnya
dari perusahaan?”
“Benar, Pak Arif. Tapi coba dicek rekening Pak Arif.
Pakai komputer ini.”
Setelah Arif mengadakan pengecekan pada rekening-
nya, ia temukan kejanggalan. Ada tiga transfer siluman
yang kalau dijumlah besarnya mencapai enam milyar.
Suatu jumlah yang luar biasa baginya.
Arif terhenyak. Ia menghela nafas. Panjang.
“Betul, Bapak. Dalam dua minggu terakhir agaknya ada
transfer siluman masuk ke rekening saya. Tapi sejujurnya
saya katakan, saya tidak tahu menahu tiba-tiba kemasukan
dana sebesar itu.”
“Saya tahu karena ada laporan dari salah satu sup-
player kita, Pak Arif. Menurutnya, Pak Arif meminta sepu-
luh persen dari pembayaran mesin-mesin yang kita beli.
Menurut supplayer tersebut ini cukup memberatkan bila ke
depan masih saja terjadi seperti itu bila kita butuh penga-
daan barang-barang asset ke sana.”
Arif semakin terperangah. Ini pasti fitnah. Tapi ia men-
coba tenang.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 165


“Ini agaknya ada suatu kekeliruan. Atau ada kesenga-
jaan untuk memfitnah diri saya, Bapak.”
“Saya juga sempat berpikir seperti itu, Pak Arif.”
“Sekarang begini saja, Bapak. Saya memohon kepada
Bapak, tolong Bapak hubungi supplayer tersebut dan mo-
hon penjelasan apakah Arif pernah meminta persenan?”
Seketika itu juga Pak Andreas menghubungi rekanan
yang telah memberikan informasi mengenai adanya kutipan
dari dana pembelian mesin. Setelah berbincang-bincang
agak lama, Pak Andreas kelihatan lega dan puas.
“Puji Tuhan, Pak Arif! Keyakinan saya ternyata benar.
Anda bersih, Pak Arif! Ada seseorang yang menuntut per-
senan, katanya atas permintaan Pak Arif dan minta untuk
ditransfer ke rekening Pak Arif!”
“Alhamdulillah! Saya mengucapkan banyak terimaka-
sih, Bapak!”
“Orangnya perlu saya beberkan, Pak Arif?”
Arif tersenyum. Hanya Nico yang tahu nomor rekening
Arif. Karena transfer salary Arif yang melaksanakan juga
dia.
“Tidak perlu, Bapak! Uang yang ada di rekening saya
akan saya retur ke rekening asal, Bapak.”
Pak Andreas tersenyum lega. Ia menepuk-tepuk bahu
Arif.

***

166 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


12.
Dan Angin pun Menderu

DI DALAM sebuah kamar Arif merebahkan diri. Ia se-


dang galau. Bahkan tidak sekadar galau. Resah gelisah dan
sedih yang parah. Itulah.
Kesedihannya bukan karena ia lebih memilih untuk re-
sign dari pekerjaannya di Tasikmalaya. Masalah ini tidak
terlalu membebani pikirannya. Yang justru merasa kecewa
adalah direktur perusahaan tersebut, Pak Andreas. Ia ingin
mempertahankan Arif untuk tetap memperkuat perusa-
haannya. Betapa pun Arif adalah seorang yang telah mem-
beri andil memajukan perusahaan. Namun, Arif bersiku-
kuh, ia ingin menambah pengalaman yang lain. Bukan ka-
rena kecewa dia habis mendapat fitnah.
“Lho, kok tidak mau mengembangkan karier di Tasik-
malaya? Bukankah di sana penghasilanmu lebih besar dari-
pada di sini?” tanya Pak Bambang heran ketika Arif memu-
tuskan untuk kembali ke Jakarta.
“Kalau diperkenankan, saya ingin menambah penga-
laman dengan mengawali lagi dari kantor ini.”
“Tentu saja boleh, Rif! Ya, okelah! Nanti kalau ada or-
der konsultan lagi, kamu yang akan aku ajukan!” janji Pak
Bambang.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 167


Setelah melewati beberapa kali menjadi auditor leader ke
perusahaan-perusahaan, akhirnya kesempatan yang ditung-
gunya datang juga.
“Ada tawaran yang sangat menarik, Rif,” tawar Pak
Bambang, “tapi yang dibutuhkan menjadi pegawai tetap!”
Arif mendapat penjelasan lebih lanjut. Sebuah perusa-
haan yang cukup besar membutuhkan tenaga yang memi-
liki wawasan, intuisi, dan ide-ide segar. Perusahaan ini ber-
gerak dalam bidang property.
“Kukira kamu orang yang cocok untuk mengisi lowo-
ngan itu, Rif! Ini kesempatan!” bujuk Pak Bambang.
Arif tercenung sejenak sebelum ia menganggukkan ke-
pala.
“Insyaallah saya siap, Pak!” kata Arif seraya menghela
nafas. “Tapi saya harus pulang ke Kudus dulu. Sudah lama
saya melupakan keluarga saya.”
Kudus. Itulah masalah yang harus ia hadapi. Masalah
yang membuat ketegarannya seolah runtuh. Masalah yang
sudah lama dipendam dan kini dibongkar kembali.
Sesampai di Kudus, di panti asuhan Nurul Hadhanah,
ia disambut dengan suka cita oleh semua penghuni panti.
Seperti yang ia duga sebelumnya, malam harinya, Arif di-
minta berbincang-bincang dengan Pak Edi dan Bunda Ifah.
Arif menceritakan pengalamannya di Jakarta. Kehilangan
hp, bekerja serabutan, pernah menjadi kuli, dan seterusnya.
Hingga menjadi pegawainya Pak Bambang dan kemudian
bekerja dan bermukim di Tasikmalaya.
“Saya mohon maaf , bukannya saya melupakan Bapak
dan Bunda,” tutur Arif mengakhiri ceritanya. “Tapi saya su-
dah telanjur punya tekad, tidak akan kembali sebelum me-
raih kesuksesan.”
“Sekarang sudah kamu anggap sukses?” tanya Pak Edi.
“Sukses tidak ada batasnya, Bapak. Tapi saat ini saya
relatif sudah dapat mandiri.”
Arif merasa terperangkap oleh kata-katanya sendiri.

168 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Nah, kalau begitu,” Bunda Ifah menimpali,” sudah sa-
atnya engkau menikah! Tunggu apa lagi? Halimah juga su-
dah selesai kuliahnya, dia sudah sarjana, dan sekarang mu-
lai mengajar di sebuah SMP.”
Jantung Arif serasa teremas. Sebuah badai menerjang
gunung. Tapi Arif yang merasa runtuh. Lidahnya menjadi
kelu. Suasana pun menjadi beku.
Pak Edi yang kemudian mencairkan suasana.
“Ya, seharusnya kamu beristirahat dulu, Rif! Sambil
menimbang-timbang apa yang terbaik bagimu.”
“Terima kasih juga Bunda sampaikan kepadamu atas
dana yang kamu masukkan ke rekening panti asuhan kita,”
sambung Bunda Ifah. “Seratus juta memang bukan jumlah
yang kecil. Namun, jumlah itu bukan berarti apa-apa di-
banding kebahagiaan Bunda jika kamu mau menikah de-
ngan Halimah!”
Arif merasa terpukul. Tak terbendung airmatanya.
“Maafkan Arif, Bunda, Bapak! Arif hanya bermaksud
membantu adik-adik yang senasib dengan saya. Lain tidak!
Arif juga tidak bermaksud menukar apa yang Bunda dan
Bapak keluarkan untuk biaya hidup Arif sejak bayi merah
hingga dewasa.”
Dengan menahan isak Arif melanjutkan.
“Kalau Arif punya niat mengganti jasa Bunda dan Ba-
pak dengan materi berarti Arif seorang anak yang durhaka!
Jasa Bunda dan Bapak yang berupa kasih sayang sungguh
tidak dapat dibayar dengan harta yang berapa pun be-
sarnya. Arif menyadari itu.”
“Yang ingin Arif lakukan adalah ingin menjadi anak
yang berbakti kepada orangtua. Namun, Arif memiliki per-
mohonan kepada Bunda dan Bapak, berilah restu kepada
Arif untuk menikah dengan wanita pilihan sendiri.”
Bunda Ifah tak dapat menahan emosi lebih jauh.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 169


“Ya sudahlah! Kamu boleh berbuat apa yang kamu su-
kai! Tapi, ketahuilah, Rif, Bunda sangat kecewa. Sangat ke-
cewa!”
Bunda Ifah lantas beranjak dan bergegas meninggalkan
tempat dengan berurai airmata.
“Bu...! Bu…!” panggil Pak Edi dan bergegas menyusul
istrinya.
Arif tinggal sendirian. Ia seakan menjadi Malin Kun-
dang si anak durhaka yang dikutuk menjadi arca.
Dan di sebuah kamar di rumah Pak Edi dan Bunda Ifah
yang sekomplek dengan panti asuhan Arif merebahkan diri
di tempat tidur sejak tadi. Namun ia tidak bisa memejam-
kan mata. Hatinya dibalut kesedihan yang mendalam. Ia
telah mengecewakan ibu angkatnya, juga ayah angkatnya.
Yang bisa ia lakukan hanyalah merintihkan kehancuran
hatinya kepada Tuhan.
Ya Allah, aku telah mengecewakan ayah-bundaku, tapi bukan
itu maksudku, oleh karenanya angkatlah aku agar tidak terperosok
ke jurang kedurhakaan. Aku telah menyakiti hati ayah-bundaku,
tetapi bukan itu kemauanku, oleh karenanya ya Allah, janganlah
Engkau jatuhkan murka-Mu kepadaku. Aku mohon ya Allah, lu-
nakkanlah hati ayah-bundaku agar tidak memaksakan niatnya me-
nikahkan aku dengan putrinya. Ya Allah, suratan jodoh berada di
tangan-Mu. Dan siapa yang mampu membacanya? Yang bisa aku
lakukan hanya memohon dan memohon kepada-Mu.
Ya Allah. Telah kujatuhkan cintaku, perasaan yang Engkau
anugerahkan kepadaku, kepada seorang gadis yang bernama Fran-
siska Adrianasari. Seorang gadis yang memiliki sifat dasar yang
baik, yang kelak akan istiqomah dalam kebaikan, atas izin-Mu.
Gadis yang kulihat tanda-tandanya akan terbuka hatinya mene-
rima keberadaan-Mu, Ya Allah. Gadis yang dari hari ke hari aku
mohonkan kepada-Mu, rahmat dan hidayah dari-Mu. Berilah ia
kemudahan dalam segala urusannya. Berilah ia keselamatan da-
lam hidupnya. Berilah ia penghiburan dalam segala kesusahan-
nya. Berilah ia kesabaran dalam menghadapi segala kesulitannya.

170 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Ya Allah, aku hamba-Mu, manusia lemah tiada daya, kecuali
bila Engkau limpahkan kekuatan pada diriku. Aku mencoba men-
campakkan kepedihan hatiku, aku mencoba menepis rasa putus asa
yang sedang menghadangku. Tapi semua upayaku tidak akan ber-
arti bila tidak Engkau kehendaki. Karenanya ya Allah, aku
memohon ampunan dan kasih sayang-Mu.
Beberapa hari di panti asuhan ia habiskan waktunya
dengan membantu kegiatan rutin panti. Seperti dulu, ia ikut
membantu membersihkan lantai dan kamar mandi. Ber-
sama Halimah, Laily, Mulyono, dan Fariz mengajar mengaji
pada sore hari dan selepas makan malam kepada anak-anak
panti. Irham, adik Halimah, berada di Jogja, karena ia me-
mang melanjutkan studinya, kuliah di UGM.
“Mas Arif sekarang jadi pendiam ya?” komentar Fariz
melihat perubahan pada diri Arif.
“Bukan pendiam. Memang sedang murung!” timpal
Halimah.
Arif hanya tersenyum.
“Berkat tempaan pengalaman di Jakarta,” Arif berkilah.
“Halaah… ngapusi!” balas Halimah.
Benarkah aku ngapusi, berbohong? Tidak berhasilkah aku
menyembunyikan kekalutan dalam hatiku?
Lagi-lagi Arif hanya bisa tersenyum. Tapi kali ini tam-
pak lebih getir.
“Sebenarnya aku bersyukur,” Arif mencari-cari pasal
untuk mengalihkan topik pembicaraan, “panti asuhan ini
semakin maju setelah aku tinggalkan! Banyak kegiatan un-
tuk adik-adik yang baru dan inovatif! Tapi tak lepas dari
nilai-nilai pendidikan!”
“Itu, Fariz yang banyak ide!” Halimah menunjuk ke
Fariz.
“Tapi mendapat support penuh dari Mbak Halimah!”
Ganti Fariz yang menunjuk Halimah.
Ketika tiba saat Arif harus kembali ke Jakarta, ia ber-
salaman dengan seluruh penghuni panti kecuali Bunda Ifah.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 171


Bunda Ifah tetap tinggal di dalam kamar. Sedang tidak enak
badan, kata Pak Edi.
“Arif mohon maaf kepada Bapak dan Bunda. Arif telah
mengecewakan Bapak dan Bunda. Arif hanya memohon ke-
ikhlasan Bapak dan Bunda untuk memaafkan Arif, sehingga
Arif tidak termasuk golongan anak yang mendurhakai
orangtua.”
Itu yang bisa disampaikan Arif kepada ayah angkatnya.

***

DAN Arif pun memasuki babak yang ke sekian dalam


kehidupannya, kehidupan dalam meraih perbaikan kari-
ernya. Kembali ke Jakarta dengan bekerja sebagai salah seo-
rang manajer di sebuah perusahaan yang cukup bonafid
yang bergerak dalam bidang property.
Semula ia merasa asing dengan pekerjaan barunya. Ia
belum pernah membayangkan seperti apa mengelola peru-
sahaan yang memborong pembangunan gedung-gedung
besar bertingkat. Untung job yang dipegangnya pada
bidang finance ditambah menjadi supervisor bagi manajer
Sumber Daya Manusia. Manajer SDM yang baru masih
kerabat dari pemilik perusahaan yang belum memiliki cu-
kup pengalaman dalam mengatur dan berhadapan dengan
para karyawan bangunan yang biasanya berperangai keras-
keras. Walaupun masih muda Arif memiliki kemampuan
untuk itu di samping kewibawaan yang sepertinya sudah
melekat pada dirinya.
Yang Arif senang, sikap manajer muda yang baru itu,
Kevin, seorang pemuda yang baik hati. Ia senang bertanya
bila menemui kesulitan. Selain itu mudah diajak bekerja
sama. Tak salah Pak Wijaya, pemilik perusahaan, menunjuk
kerabatnya yang cerdas dan cekatan itu. Arif membatin, ia

172 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


juga harus menunjukkan prestasi kerjanya sehingga men-
jadi orang yang dihargai di perusahaan itu.

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 173


13.
Pendar Cahaya Sungai Thames

MENGENAKAN jilbab ala Indonesia ukuran sedang


yang penting bisa menutup dada, Siska menjadi minoritas
di kota London. Ia bukan bermaksud memamerkan kecan-
tikannya yang, dengan memakai jilbab itu, kian menonjol.
Bila dibandingkan dengan burqa, busana muslimah yang
lebih longgar dan rapat menutup tubuh, yang dikenakan
muslimah dari etnis lain, jilbab ukuran sedang lebih nya-
man dipakai. Apalagi cuaca di bulan September sangat
panas. Melebihi panas di kotanya sendiri di Indonesia. Saat
itu panas udara London bisa mencapai 37o C.
Lebih setengah tahun Siska berada di ibukota negara
Inggris. Ia melanjutkan kuliah, mengambil program S2 Eko-
nomi di sebuah kolase dari London University. Ia sudah
mampu menyesuaikan hidup mandiri. Ia tinggal di sebuah
rumah sewa bersama teman wanita dari Indonesia. Gadis
sebayanya itu, Elisabeth, asal Jakarta.
Siang itu, seusai mengikuti kuliah, Siska berjalan kaki
menuju halte bus kota. Ia merasa bangga dengan pakai-
annya. Banyak orang yang melirik padanya. Ada yang de-
ngan pandangan sinis tapi ada pula yang memandangnya

174 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


penuh kekaguman. Yang kedua barangkali karena busana
muslimah model Indonesia yang ia kenakan.
Ia merasa ada seseorang yang membuntutinya. Tapi ia
cuek saja. Sampai ke halte bus kota dan membeli tiket orang
itu masih mengikutinya. Bahkan orang itu, seorang lelaki,
juga melakukan hal yang sama. Ah, ternyata hanya kebetu-
lan beriringan karena punya maksud yang tidak berbeda.
Saat Siska masuk dan duduk di bus kota, lelaki itu terus
saja mengikutinya. Bahkan mengambil duduk di sebelah-
nya. Buat Siska protes tak selayaknya ia ajukan, karena no-
mor kursi pasti berurutan sebagaimana ketika antre mem-
beli tiket tadi.
Lelaki itu masih muda dan berkulit agak gelap. Ia pun
tak acuh kepada siapa pun di dalam bus itu. Wajahnya yang
cukup tampan tidak menampakkan kekhasan ciri-ciri fisik
bibir tebal, gigi putih, dan kulit yang legam. Ia lebih menju-
rus ke wajah Theo Walcott, pemain sepakbola Arsenal. Ia
beberapa kali mendesah, agaknya sedang gelisah, dengan
menguarkan bau alkohol.
“Excuse me, engkau sedang gelisah?” Siska tak tahan
untuk tidak menegur pemuda itu.
“Engkau peduli aku sedang gelisah, kenapa?”
“ Karena tidak baik hidup dibuat gelisah.”
“Kalau punya masalah, apakah engkau tidak pernah
gelisah?”
Siska tersenyum. “Tentu, gelisah juga. Tapi segala ma-
salah kan bisa dipecahkan?”
“Tapi aku tidak bisa memecahkan masalahku sendiri.
Justru aku dibuat pusing karenanya.”
“Kenapa tidak mencoba meminta pemecahan kepada
orang lain? Bukankah hidup harus saling menolong? Maaf,
kalau ini kauartikan mencampuri masalah pribadimu.”
Pemuda itu heran dan merasa aneh dengan pernyataan
gadis di sebelahnya.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 175


“Tidak ada orang yang mau berbagi kepadaku. Engkau
belum tahu siapa aku.”
“Yang aku tahu, engkau sedang dilibat suatu masalah.
Boleh aku tahu?”
Pemuda itu agak kebingungan. Bisa-bisanya ada orang
yang mencampuri masalah pribadi orang lain.
Siska mendesak, “Katakanlah. Barangkali aku bisa me-
nolongmu.”
Pemuda itu bertambah heran masih ada orang yang
menawarkan bantuan kepadanya.
“Aku membutuhkan uang sekadarnya untuk membe-
likan makan bagi ibuku.”
Ahaha…. “Hanya itu masalahmu?”
Ada yang lebih berat. Tapi tak layak untuk diceritakan.
Siska membuka tasnya mengambil lembaran-lembaran
poundsterling. Tiga lembar sepuluhan pound ia serahkan
kepada pemuda itu.
“Semoga bisa membantumu, walau tidak besar.”
“Wow, ini sangat cukup. Terima kasih. Engkau sangat
baik hati. Aku bahkan belum mengenal namamu.”
“Apa perlu namaku?”
“Perlu, bila sewaktu-waktu engkau membutuhkan ban-
tuanku. Namaku Michael. Lengkapnya Michael Allan Sten-
ton. Panggil aku Mike.”
“Namaku Fransiska.”
“Are you Chinesse?”
“No.”
“Korean?”
“No.”
“So, are you Japanesse?”
“Not either. I am Indonesian!”

***

176 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


BULAN Desember berarti memasuki musim dingin.
Tapi cuaca di London nyaris tak bisa diramal. Pada hari-
hari Natal nanti bisa saja cuaca akan sangat dingin. Namun
pada awal bulan itu cuaca hampir tidak berbeda dengan
hari-hari sebelumnya. Hari yang pendek, matahari mulai
terbit menjelang pukul delapan pagi dan akan tenggelam
pukul empat sore lewat sedikit. Maka malam hari yang
cerah ini tidak akan dilewatkan oleh Siska. Sesekali ia me-
mang menyempatkan keluar malam walau tidak memakan
waktu yang lama. Dan, seperti biasa, Elisabeth selalu
menolak ajakan Siska untuk keluar malam.
“London di siang hari sangat aman, Sis. Tapi di malam
hari harus hati-hati. Berita mengabarkan terjadinya tindak
kriminal selalu terjadi di malam hari.”
“Tapi untuk rute yang aku lewati biasa aman, Beth!”
Sebenarnya semua tempat wisata kota London telah
terjelajahi oleh Siska. Ia sudah sekian kali naik Thames
River Boat Curise, sebuah kapal pesiar di Sungai Thames
yang melewati Gedung Parlemen Inggris, Jembatan Lon-
don, London Eye, Menara London, Gereja Kathedral St.
Paul, Pasar Ikan Bellingsgate.
Malam ini tujuan utama Siska adalah Big Ben yang ber-
dekatan dengan Gedung Parlemen. Big Ben adalah jam rak-
sasa di kepala menara yang tingginya 97 meter. Mengambil
tempat menyendiri di pagar sisi Sungai Thames Siska
seakan mematung memandangi London Eye atau yang juga
disebut Millenium Wheel di seberang sungai. Sungai yang
lebarnya sekitar 50 meter itu mempertunjukkan sebuah
lingkaran besar yang membawa 32 kapsul yang berputar
naik turun. Ketika berada di puncak para penumpang
dalam kapsul akan melihat keindahan kota London dari se-
buah ketinggian. Setiap putaran London Eye memakan du-
rasi 30 menit.
Yang membuat takjub Siska adalah Sungai Thames
yang dulunya kotor dan berbau busuk hingga pernah men-

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 177


gakibatkan wabah kolera di tahun 1932 yang menyebabkan
banyak warga kota London menemui kematian. Setelah di-
canangkan program Thames River Clean Up pada tahun
1970 hasilnya sungguh mengagumkan. Kini sungai Thames
menjadi sungai tebersih di dunia. Dan, pada malam hari
pendar-pendar kemilau lampu berwarna-warni menari-nari
pada permukaan air sungai.
Siska sangat menikmati keindahan itu yang selalu
membawanya kepada kenangan yang indah bersama seseo-
rang yang telah menempati sudut hatinya. Ya, seandainya
saja di sampingnya ada Arif.
Malam terus merangkak dan Siska merasa sudah wak-
tunya meninggalkan tempat itu. Malam itu ia mengenakan
mantel malamnya untuk menahan dingin. Udara malam di
luar dinginnya bisa mencapai di bawah sepuluh derajat cel-
cius. Berjalan sendiri melewati tempat remang dan sepi ia
merasa santai. Tak terbilang ia melewati jalan itu.
Tapi tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang muncul
dari sebuah lorong dan menghadangnya seraya menodong-
kan pisaunya. Siska sempat grogi dan tubuhnya menggigil.
Pada saat seperti itu seharusnya bersikap lebih tenang,
pikirnya.
“Serahkan uangmu yang ada dan engkau boleh pergi!
Atau, pisauku akan menembus jantungmu terlebih dulu!”
ancam lelaki itu.
Dada Siska seakan berhenti berdetak. Namun, ketena-
ngannya membawa ia menjadi peka akan suara lelaki begal
itu.
“Are you Mike?!”
“Huh, who are you?”
Siska menyingkapkan kerudung mantelnya. Tampak-
lah wajah Siska yang rambutnya terbalut jilbab.
“Mike!”
“Hah, Fransiska?” Mike merasa malu. “I’m sorry, Fran-
siska!”

178 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Ia masukkan pisaunya ke balik baju. Tubuhnya layu
seakan kerupuk yang dilempar ke Sungai Thames.
Seakan ingin menangis Mike berkata dengan terbata-
bata, “Sekarang terbukalah kedokku, engkau tahu siapa aku
yang sebenarnya, Fransiska. Aku hanya seorang penjahat,
perampok yang layak dinistakan dan dikutuk semua orang!
Kini, aku bahkan akan berbuat jahat kepada seseorang yang
pernah menolongku.”
“Kenapa semua ini engkau lakukan, Mike? Apakah se-
lamanya engkau akan menempuh jalan hidup semacam
ini?” hati Siska tersentuh juga.
“Aku sulit keluar dari jeratan nasib yang kuciptakan
sendiri!”
“Tidak, Mike! Masih banyak kesempatan untuk meng-
ubah jalan hidupmu!”
Mike menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak. Aku su-
dah telanjur kotor!”
“Setiap orang yang berniat membersihkan dirinya dan
dia melakukan itu pasti akan bersih kembali. Aku yakin
kamu bisa, Mike. Ada kebaikan dari dirimu yang nampak
di mataku. Apa itu? Engkau sangat mencintai ibumu.”
Mike tertegun. Perbuatan tercela yang ia lakukan kali
ini sebenarnya juga demi ibundanya. Hanya caranya ia me-
milih mengambil jalan pintas.
“Engkau lebih suka memilih jalan pintas!” Siska seakan
tahu deretan kata-kata di dalam benak Mike.
“Karena aku terpaksa, Fransiska!”
“Apakah setiap hari engkau menghadapi keterpaksa-
an?”
Mike menggeleng. “Tapi malam ini aku harus menda-
patkan uang. Ibuku sebagai tukang cuci dan seterika
pakaian sedang kesulitan untuk membayar sewa kamar
yang kami tempati. Kami meminta penundaan lagi kepada
pemilik kamar, tapi dia menolak. Bahkan, ia bermaksud

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 179


mengusir kami jika esok pagi uang sewa kamar tidak kami
bayar.”
Mike melanjutkan dengan nada perih, “Dan, siapa
orang yang peduli akan kesulitan yang kami hadapi?”
Siska menarik nafas. Ia merogoh kantong celananya.
Masih ada berlembar pound yang ia bawa. “Sekali lagi aku
akan menolongmu, Mike! Tapi aku hanya berharap, karena
aku tidak mampu memaksamu, jadilah engkau orang yang
baik. Bekerjalah apa saja yang tidak merugikan orang lain.
Memang berat. Tapi itu lebih bermartabat!”
Diserahkannya beberapa lembar poundsterling yang ia
punya.
Mike tertegun.
“Tidak, Fransiska. Aku tidak sanggup menerima ban-
tuanmu lagi. Engkau yang pernah menolongku aku balas
dengan perbuatan jahat. Kini engkau masih saja mau me-
nolongku. Betapa nistanya aku!”
“Terimalah ini. Anggap ini bantuan dari seorang saha-
batmu!”
Mike tak tahu harus berbuat apa.
“Terimalah!”
“Mengapa engkau percaya begitu saja kepadaku?” de-
ngan ragu-ragu Mike menerima uang dari Siska.
“Karena, itu tadi, engkau mencintai ibumu. Sinar mata-
mu masih menyisakan kejujuran, Mike. Sebenarnya engkau
seorang yang baik.”
Mike seakan tak percaya masih ada orang yang meng-
anggapnya baik.
Siska mengajak jalan bareng kepada Mike. Maka Mike
pun mengikuti ke mana Siska melangkahkan kaki.
“Uang itu sebenarnya masih kurang untuk membayar
sewa kamar. Tetapi kalau engkau percaya padaku, jika eng-
kau mau berjanji tidak melakukan tindakan kriminal lagi
dan mau bekerja keras tanpa merugikan orang lain, ke-

180 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


kurangan uang itu akan kamu dapatkan sebelum tenggat
waktunya harus dibayar.”
“Segampang itu?”
“Ya. Dengan syarat engkau harus memohon kepada
Tuhan.”
“Tuhan? Aku atheis, tidak percaya adanya Tuhan.”
“Kalau begitu, sama denganku Mike. Dulunya aku ti-
dak pernah merasa memiliki Tuhan. Dan itu telah menye-
babkan hati dan hidupku hampa, tanpa arah. Aku pun be-
lum genap tiga tahun percaya kepada Tuhan.”
Mike terlongong sejenak.
Semilir angin menambah dinginnya malam itu. Tapi ba-
gi Mike malah membangkitkan semangatnya.
“Ceritakan padaku siapa Tuhan itu?”
“Tuhan itu adalah yang menciptakan alam semesta. Bu-
mi, langit, bulan, bintang dan semua planit, manusia, he-
wan, tumbuh-tumbuhan, api, air, udara, semua adalah cip-
taannya.”
“Tapi di manakah dia?”
“Dia mahasuci. Pencipta sudah tentu tidak sama de-
ngan hasil ciptaan-Nya. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya
tidak bisa membayangkan seperti apa sosok-Nya. Dia itu
mahaesa, Dia tempat semua makhluk bergantung, tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang me-
nyamai-Nya.”
“Menarik sekali. Mana buktinya dia ada?”
“Ya, itu tadi, adanya alam semesta. Semua planit bere-
dar pada jalur yang telah diatur dan ditetapkan-Nya. Bah-
kan, tidak ada selembar daun pun yang gugur tanpa diren-
canakan-Nya.”
“Betapa hebatnya dia!”
“Betul! Nah, sekarang kalau engkau percaya padaku,
mohonlah kepada-Nya, ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu
penuhilah kebutuhanku!’”
“Siapa Allah?”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 181


“Allah adalah nama Tuhan, satu-satunya yang berhak
untuk disembah!”
“Oke, aku akan menuruti nasihatmu!”
“Mohonlah kepada-Nya berulang-ulang. Ulangi lagi
dan ulangi lagi sampai dia memberikan apa yang engkau
minta!”

***

PERIHAL pertemuannya dengan Mike, Siska telah


menceritakannya kepada Elisabeth. Termasuk nasihatnya
kepada Mike untuk semalaman memohon kepada Allah
agar kebutuhannya tercukupi.
“Kaukerjain dia?” komentar Elisabeth sembari tertawa.
“Ahaha…!” Siska tak tahan untuk tidak tertawa juga.
Tapi dalam hati ia sebenarnya sedang serius.
Peristiwa itu sudah berbulan-bulan berlalu.
Siska kembali mencurahkan energinya untuk belajar.
Jauh-jauh ke negeri orang, jangan sampai hanya mem-
buang-buang biaya. Sesekali ia rindu rumah. Bagaimana
keadaan papahnya. Dari percakapan jarak jauh memang
papahnya terkesan sehat. Atas kasih dan kekuasaan Allah
papahnya bisa sembuh secara ajaib dari kelumpuhannya.
Hal yang membuat papahnya lebih leluasa bekerja.
Dan bagai mendapat hadiah besar yang diberikan se-
cara mengejutkan terjadi manakala papahnya menelepon
dan minta pendapatnya.
“Sis, bagaimana menurutmu bila Papah menikahi Bun-
da Rohimah?”
“Apaa..? Papah mau kawin dengan Bunda Rohimah?
Ah, yang bener aja! Tapi, Pah, Siska setuju! Setuju banget!”
Siska tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.
Walaupun Siska tidak dapat menghadiri pernikahan
papahnya, pernikahan itu berlangsung dengan sederhana,
khidmad, dan membahagiakan.

182 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Keluar malam memang sudah lama Siska kurangi. Ia
mencoba menuruti nasihat Elisabeth. Tapi sebuah malam
yang cerah membuat kerinduannya kepada Arif mengem-
bang kembali. Ia selalu membayangkan pemuda kekasih
hatinya itu merengkuhnya sambil membisu dan meman-
dangi kilau cahaya Sungai Thames di malam hari.
Seperti malam itu, tanpa pamit kepada teman sepon-
dokannya, Elisabeth, ia keluar untuk menikmati indahnya
malam kota London. Kali ini mengambil posisi dekat Tower
Bridge. Menara ini adalah menara kembar yang menjadi
pilar sebuah jembatan di Sungai Thames yang diikat ber-
sama-sama di tingkat atas melalui sebuah lorong horisontal.
Ia membayangkan betapa bahagia seandainya bisa me-
nikmati keindahan itu bersama Arif. Bisa jadi naik bus
menyeberangi Sungai Thames lewat jembatan itu menjadi
momen yang indah.
Puas menikmati panorama malam, ia berjalan kaki
menuju halte bus kota. Ia pun harus melewati jalan remang
dan sepi saat mau dirampok oleh Mike. Ah, ia jadi rindu
akan Mike. Bagaimana keadaan Mike saat ini. Masihkah
Mike menjadi begal?
Tiba-tiba dari arah kegelapan muncul dua sosok yang
langsung menghadang langkah Siska. Dua orang laki-laki
menguarkan bau alkohol dan yang seorang di antaranya
menodongkan sebilah pisau. Siska jadi gemetar. Dan seperti
dulu ia tenangkan hatinya.
“Engkau Mike?” tanya Siska asal-asalan.
Dua orang lelaki itu saling berpandangan.
“Serahkan uangmu atau pisau ini menancap di dada-
mu?” kata seorang yang menodongkan pisaunya.
“Kalian kenal Mike? Aku temannya!” sergah Siska se-
kenanya.
Kembali mereka beradu pandang.
Kesempatan. Dengan cepat Siska berbalik dan melari-
kan diri menuju jalanan yang lebih terang. Dua orang lelaki

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 183


itu tidak menyangka apa yang telah dilakukan calon kor-
bannya.
“Kejar!”
Dan mereka pun mengejar Siska.
Merasa dikejar, Siska mempercepat larinya. Ia mulai
panik. Jalanan ramai masih beberapa menit lagi harus ia
tempuh. Sedang pengejarnya sudah semakin dekat. Siska
sudah siap berteriak minta tolong.
Tiba-tiba dari arah yang berlawanan seseorang berlari
menyongsongnya. Hah, kawanan yang mengejarnya ber-
tambah satu orang. Tak mungkin ia melepaskan diri dari
kejaran di belakangnya dan hadangan di depannya. Ya Al-
lah, tolonglah! Jerit hatinya.
“Tolong…! Aku dikejar perampok!” teriaknya secara
ngawur kepada orang yang menyongsong di depannya se-
telah dekat.
“Fransiska! Engkau Fransiska? Aku Mike!”
Siska langsung menubruk Mike. Ia memeluk erat Mike.
Ia butuh perlindungan Mike. “Tolong, Mike! Mereka akan
merampokku!”
“Hai apa yang akan kalian lakukan?” hardik Mike.
Dua pengejar Siska secara reflek menghentikan lang-
kahnya.
“Huh, kalian George dan Lewis? Tak jera-jeranya per-
buatan tercela ini kalian lakukan?” bentak Mike lagi.
“Apa pedulimu, Mike? Engkau bukan anggota geng
kami lagi!”
“Lantas apa maumu?”
“Seperti yang dulu engkau lakukan. Kami harus mem-
peroleh hasil malam ini! Serahkan uang gadis itu, dan kami
akan pergi!”
“Tidak bisa! She is my girlfriend! Pergilah kalian!”
“Kalau begitu, engkau harus kami habisi sekalian!”

184 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Dua orang begal itu menyerang bersamaan kepada
Mike. Mike menghindar dan membuat jarak, menjauh dari
Siska.
Melihat seorang lawannya menodongkan pisau, Mike
sengaja membuat prioritas untuk melumpuhkannya yang
pertama kali. Dengan gerak cepat ia membuat gerakan ka-
kinya memutar dan membuat pisau yang dipegang la-
wannya terpental. Dengan serta merta Mike langsung
membuat hajaran berupa pukulan dan tendangan hingga
lawannya itu tersungkur.
Mike sudah waspada. Ia berbalik dan menyambut se-
rangan dari lawannya yang seorang lagi. Terjadilah ben-
turan dan adu pukulan. Saling serang dan saling dorong
membuat perkelahian semakin sengit.
Dikeroyok dua orang tak membuat Mike gentar. Ia lan-
carkan pukulan dan tendangan kepada kedua lawannya
membuat mereka sering terjatuh, terjengkang-jengkang. Tak
ada harapan menang, kedua begal itu lantas mengambil
langkah seribu.
Dengan nafas tersengal Mike mengawasi kedua lawan-
nya yang melarikan diri.
“Engkau baik-baik saja, Mike?” peluk Siska kepada
Mike.
“Aku tidak apa-apa, Fransiska!”
Siska memandangi wajah Mike. Tidak ada luka serius.
“Seharusnya engkau tidak keluar malam sendirian,
Fransiska!”
Siska tidak mampu mengeluarkan suara. Hatinya ma-
sih diliputi ketegangan.
“Maafkan aku, Fransiska. Tadi aku mengaku engkau
my girlfriend.”
“Tidak mengapa, Mike. Itu dalam rangka engkau me-
nolongku. Terima kasih banyak, Mike!”
“Terima kasih kembali.”
Siska jadi terbayang Arif.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 185


“Engkau masih suka berbuat seperti dua orang tadi,
Mike?”
“Tidak lagi, Fransiska! Sejak aku termotivasi atas nasi-
hatmu, aktivitas yang merugikan orang lain menjadi masa
lalu bagiku.”
Siska merasa heran akan perubahan yang begitu cepat
dari Mike, kalau itu benar.
“O ya, Fransiska. Ibuku menyampaikan salam padamu.
Ia sangat berterima kasih atas bantuan yang engkau berikan
kepada kami.”
“Terima kasih kembali. Jadi, bantuan yang tidak se-
berapa dulu itu bisa kalian manfaatkan?”
“Ya, Fransiska.”
“Panggil aku Siska atau Sis!”
Mike merasa senang. Kini mereka merasa semakin de-
kat.
“Malam itu, setelah engkau memberi nasihat agar aku
berdoa ‘ya Allah, aku mohon padamu, penuhilah kebutuh-
anku,’ aku lakukan itu. Entah berapa ratus atau ribu kali
aku mengucapkan doa itu hampir semalaman sambil ber-
jalan menyusuri jalanan. Hingga di suatu tempat aku me-
nemukan sebuah tas. Tas itu begitu rapi. Ketika aku buka
ternyata berisi uang dan beberapa surat. Aku sempat ber-
pikir, inilah uang yang diberikan oleh Allah. Tapi aku ber-
pikir lagi, bukankah aku harus berjanji tidak boleh lagi me-
rugikan orang lain? Maka berdasarkan identitas yang ada di
dalam tas, aku kembalikan tas itu pada pemiliknya.”
“Lantas, engkau diberi hadiah dong?” tebak Siska.
“Benar, Siska. Tuan Robertson memberiku hadiah uang.
Ajaibnya, jumlahnya bila digabung dengan pemberianmu,
pas buat membayar sewa kamar.”
“Alhamdulillah!” Siska tertawa senang.
“Engkau bicara apa, Sis?”
“Alhamdulillah. Artinya, segala puji bagi Allah. Diu-
capkan tatkala merasa bahagia keinginan tercapai.”

186 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Waktu itu dalam kegirangan, aku berkata, ‘terima ka-
sih, Allah!’”
“It’s the same, Mike. You have got a half of hidayah!”
“A half of hidayah? What is that?”
Siska hanya tersenyum.

***

SETELAH kejadian percobaan pembegalan dan ke-


mudian Siska diantar pulang oleh Mike, hari-hari atau ke-
sempatan selanjutnya mereka sering mengadakan kontak.
Beberapa kali pertemuan mereka adakan. Mike semakin ter-
tarik dengan penjelasan-penjelasan Siska mengenai kebera-
daan Tuhan. Tidak hanya Mike, ibu Mike pun tak kalah ter-
tariknya.
Pernah diajak ke tempat tinggal Mike, Siska sempat
berkenalan dengan Mrs. Stenton. Ia adalah seorang wanita
berkulit hitam yang berparas manis. Orangnya ramah dan
suka tertawa. Siska pun jadi tahu Mike sudah ditinggal
ayahnya, seorang lelaki kulit putih, sejak masih kecil.
“Jadi, doa seseorang kepada Tuhan itu tidak selalu di-
kabulkan oleh-Nya,” jelas Siska pada suatu kesempatan.
“Karena Ia memiliki rencana lain yang pasti lebih baik.”
“Makanya, ketika aku melakukan hal yang sama, ber-
doa sepanjang malam tatkala aku merasa memiliki kebutuh-
an, hasilnya tidak sebagaimana yang aku harapkan,” kata
Mike seraya tertawa.
“Bayangkan, Mike. Bila segala doa kita langsung dika-
bulkan oleh Allah, kita akan menjadi seorang pemalas.
Padahal Allah lebih menyukai orang yang mau berusaha.”
Mike mengangguk-anggukkan kepala.
“Begitu menurut pendapatmu?”
“Mike! Ini bukan pendapatku. Ini adalah firman Allah
yang terkandung di dalam kitab suci umat Islam yaitu Al-
Qur’an.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 187


“Al-Qur’an?”
“Sebagaimana orang Katholik dan Kristen punya Bible
dan Perjanjian Baru.”
“Apakah buku itu bukan karangan manusia?”
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad yang kemudian disampaikan
kepada umatnya. Kalimat-kalimat Allah itu atau yang dise-
but dengan ayat-ayat kemudian dicatat, dikumpulkan dan
dijilid sebagai kitab. Dan, kitab Al-Qur’an selalu dijaga keo-
tentikannya. Sejak turun pada zaman Rasulullah pada abad
ke 6 hingga sekarang, abad ke 21, ayat-ayat itu tetap terjaga
keasliannya.”
“Untuk Al-Qur’an, tiada seorang pun yang sanggup
meniru kitab itu. Kitab itu mengatur hal-hal dalam ke-
hidupan manusia agar orang hidup dalam keteraturan, ke-
harmonisan dan kebaikan. Di samping itu Al-Qur’an juga
banyak mengisahkan peristiwa-peristiwa masa lampau
yang setelah diuji kebenarannya oleh para ilmuwan, pe-
ninggalan sejarah yang diceritakan dalam Al-Qur’an itu
ternyata benar. Demikian juga Al-Quran meramalkan feno-
mena-fenomena yang telah dan akan terjadi. Yang belum
terjadi, pada masa depan, satu demi satu menjadi kenya-
taan.”
“Kitab setebal ini,” kata Siska dengan membuat jarak
antara ibu jari dengan jari telunjuk, “telah dihafal jutaan
orang, bahkan oleh anak-anak di bawah usia 10 tahun.
Kalau bukan ayat-ayat dari Allah, mustahil dapat terjadi.
Itulah sebabnya bila ada seseorang yang bermaksud me-
malsu atau mengedit bahasa Al-Qur’an dengan nafsunya
sendiri, dalam waktu singkat pasti akan diketahui.”
Mike jadi tercenung.
Lain ketika, Mike minta penjelasan mengenai kedudu-
kan wanita yang terkesan mendapat diskriminasi.
“Justru sebaliknya, Mike. Islam sangat menjunjung
tinggi kehormatan wanita. Poligami yang diperbolehkan

188 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


oleh Allah dimaksud agar tidak terjadi perzinaan, sex bebas,
yang biasa dilakukan oleh binatang. Sex, hubungan sex, itu
suci. Itu hanya boleh dilakukan oleh dua orang suami-istri
dalam ikatan perkawinan yang sah. Dan, poligami seyo-
gianya hanya dilakukan dalam keadaan darurat, misalkan
istri pertama tidak dapat memberikan anak, atau mengidap
penyakit yang tidak memungkinkan untuk berhubungan
badan dengan suami. Poligami yang hanya untuk me-
menuhi nafsu birahi, biasanya dengan disertai berbagai
dalih, tidak bisa dibenarkan.”
Mike terpaku mendengarkan kuliah yang diberikan
Siska.
“Memang banyak lelaki sekarang yang melakukan poli-
gami dengan alasan melaksanakan sunah Rasul. Padahal
Rasulullah tidak pernah menganjurkan lelaki untuk ber-
poligami. Rasulullah menikahi lebih dari satu wanita di-
karenakan mendapat perintah dari Allah. Poligami boleh
dilakukan dengan syarat mampu memenuhi kebutuhan
semua istrinya dan berlaku adil terhadap mereka. Benarkah
lelaki bisa adil? Syukurlah kalau memang bisa. Tapi fak-
tanya, seperti banyak yang kita lihat, salah satu atau semua
istrinya ditelantarkan, bahkan ada yang untuk mencari naf-
kah si istri harus mencari sendiri.”
“Pernah terjadi,” lanjut Siska, “ada seorang wanita ber-
busana muslimah yang mengaku istri dari seorang Profesor
Doktor “Anu” yang masuk dari rumah ke rumah dan me-
ngatakan kepada tuan rumah, ‘kata suami saya, barangkali
rezeki saya berasal dari Bapak atau Ibu.’ Ini kan berarti si
suami yang Profesor Doktor itu menyuruh istrinya menjadi
pengemis.”
Mike tertawa mendengar cerita itu.
“Firman Allah, ‘istri satu saja itu lebih baik bagimu,’
menunjukkan betapa manusia lebih bisa hidup bahagia dan
harmonis rumah tangganya dengan monogami.”
“Thanks, Sis! I’m pleased to hear your explanation!”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 189


“You’re welcome, Mike!”

***

NASIHAT-NASIHAT yang diberikan Siska membuat


sikap hidup Mike mengalami perubahan. Ia tidak lagi
mengkonsumsi alkohol dan sejenisnya, menjauhi narkoba,
dan meninggalkan pekerjaannya sebagai begal. Ia kemudian
sadar selama ini telah menyia-siakan hidupnya. Ia telah de-
ngan sengaja mencampakkan masa depannya.
Mike bahkan mulai memperbaiki aktivitasnya dengan
bekerja sebagai pelayan toko di sebuah supermarket. Ia
mencoba melakukan pekerjaannya dengan senang hati wa-
laupun harus dengan menguras tenaga. Dan, menikmati
hasil yang ia peroleh walaupun dengan pendapatan yang
tidak besar. Nasihat Siska, berapa pun pendapatan yang
diterima akan selalu terasa kurang, kecuali bila orang pan-
dai bersyukur. Bersyukur kepada Tuhan itulah kunci keba-
hagiaan.
“Engkau berbakat pada bidang teknik, Mike. Yang aku
tahu, engkau pandai memperbaiki komputer dan mesin-
mesin yang rusak. Ada baiknya engkau mengembangkan
kariermu pada bidang itu. Saatnya engkau coba melamar ke
perusahaan permesinan atau komputer. Insyaallah engkau
akan sukses!”
Bagi Siska sendiri, di antara kesibukannya belajar dan
mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang luar biasa berat
itu, kedekatannya dengan Mike ia manfaatkan agar hidup-
nya bisa bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya bagi Mike.
Sebab kesuksesan kuliahnya tidak ada artinya bila tidak
diiringi dengan kemanfaatan ilmunya. Dan, tanpa terasa
hampir dua tahun ia berada di kota London, tinggal
menunggu kapan perkuliahannya usai.
Mike merasa sedih ketika diberitahu Siska bahwa saat
perpisahan mereka sudah dekat. Padahal ia sudah berhasil

190 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


masuk kerja pada perusahaan mobil. Pekerjaanya masih
sama berat tapi pendapatannya naik sekian kali lipat.
“Aku sedih bila berpisah denganmu, Siska,” kata Mike
ketika ia berhasil mengajak Siska naik kapal pesiar Sungai
Thames pada suatu senja.
“Ada pertemuan pasti ada perpisahan, Mike.”
“Benar, tapi engkau sangat berarti bagi hidupku. Eng-
kau sudah sangat berjasa di dalam hidupku.”
Di mata Siska menangkap kesedihan Mike terlihat tidak
dibuat-buat. Laki-laki ini sebenarnya cukup tampan. Kalau
dibandingkan dengan Arif, Mike lebih tinggi dan tegap.
Bersanding dengan Arif, Siska hanya setingggi telinganya.
Dengan Mike Siska hanya setinggi pundaknya. Walau ter-
nyata, menurut pengakuan Mike, usianya lebih muda dua
tahun dibanding Siska.
“Aku akan kehilangan orang yang membimbingku ke
jalan yang benar. Aku akan kehilangan orang yang memberi
nasihat-nasihat yang baik kepadaku. Aku juga akan kehi-
langan orang yang memberi spirit dalam kehidupanku,”
kata Mike dengan nada sendu.
Siska merasa sangat terkesan mendapat sanjungan se-
macam itu.
“Selanjutnya bila engkau ingin mendapatkan informasi
dan penjelasan yang lebih akurat hubungilah atau datang-
lah ke IIC, Indonesia Islamic Center di Calindale,” saran Sis-
ka.
Dan saat yang tidak diharapkan oleh Mike pun akhir-
nya terjadi. Apa pula kalau bukan saat perpisahan dengan
Siska. Mereka mengadakan pertemuan perpisahan di depan
Shakespiere Globe Theater. Malam yang indah itu akan
menjadi kenangan yang tak mungkin terlupakan.
“Kalau engkau dapat merasakan hatiku, Siska, betapa
pedihnya hatiku. Engkau tentu akan menilai diriku terlalu
sentimental. Tapi sejujurnya aku katakan, demikianlah ada-
nya.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 191


“Aku bisa memahami perasaanmu, Mike. Karena, aku
pun pernah merasakan perpisahan dengan seorang yang
sangat berjasa di dalam hidupku. Dia pula yang menyadar-
kan diriku dari kehampaan hidup. Dia juga yang mem-
bimbingku untuk mengenal Allah.”
“Dia kekasihmu?”
Siska mengangguk. “Dia seperti engkau, Mike. Homeless
dan bukan dari keluarga berada. Tapi dia memiliki sema-
ngat dan tekad yang luar biasa untuk memperbaiki hidup-
nya!”
“Betapa beruntungnya lelaki itu!”
“Kami berjanji, akan tiba saatnya hidup bersama seba-
gai suami-istri yang bahagia dan saling mencintai sampai
akhir hayat!”
Mike mendesah dan mukanya semakin kelam.
“Tabahlah, Mike! Sebagai tanda mata dariku aku mem-
bawa hadiah buatmu.”
Siska membuka tasnya mengeluarkan tas yang lebih ke-
cil dari dalamnya. Diulurkannya tas itu kepada Mike yang
menerimanya dengan agak gemetar.
“Di dalam tas itu adalah Holy Qur’an. Engkau perlu
banyak-banyak membacanya, setidaknya terjemahannya,
Mike! Terutama, manakala hatimu dirundung risau dan
gelisah. Mudah-mudahan dengan itu engkau mendapatkan
hidayah yang setengah lagi hingga menjadi utuh!”
“Thanks alot, Siska!”
“You’re welcome, Mike!”
“Sekarang giliranku memberikan hadiah padamu. Bu-
kan benda, apalagi benda berharga yang akan kuhadiahkan
padamu. Tapi, baiklah kuungkapkan saat ini di hadapan-
mu, Siska. Kalimat ini aku pelajari dari IIC seperti yang
engkau sarankan,” Mike tak kuasa menahan linangan air-
mata. “Engkau menjadi saksi pernyataanku ini, Siska. Asy-
hadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasu-
ulullaah.”

192 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Allahu Akbar! Ya Allah, Engkau Mahasuci, Engkau
Mahakasih, Engkau Maha Pemberi Hidayah. Mike telah
menerima hidayah-Mu sepenuhnya. Terima kasih ya Al-
laah…!”
Tak kuasa menahan keharuan Siska pun bersyukur
dengan letupan tangis dan saking gembiranya doa syukur-
nya itu ia jeritkan dalam Bahasa Indonesia.
“Apa yang Engkau katakan, Siska?” tanya Mike penuh
keheranan.
Siska pun menerangkan apa yang telah ia ucapkan.
“Semoga pernyataanmu keluar dari lubuk hatimu,
Mike.”
“Setahun lebih aku dibuat bimbang dan menimbang-
timbang. Setelah aku yakin keinginanku memeluk agama
Islam bukan karena seseorang, juga bukan karena engkau,
Siska, saat inilah waktu yang tepat untuk menyatakan ke-
saksianku. Walaupun…”
Mike seakan tak mampu meneruskan kata-katanya.
Terlihat genangan air masih menyelimuti kornea matanya.
Siska ikut merasakan kepedihan hati Mike sebelum Mike
meneruskan kalimatnya.
“Although I love you, Siska. ….. I love you!”

***

BANDARA Gatwick hanyalah bandara nomor dua sete-


lah bandara utama Heathrow di London baik mengenai be-
sar maupun kesibukannya. Namun kesibukan yang hanya
nomor dua itu sungguh sangat kentara dilihat dari ba-
nyaknya take-off dan landing pesawat-pesawat di sana.
Demikian juga para penumpang yang menunggu dan antre
penerbangan yang akan membawa mereka.
Di ruang tunggu bandara itu, Siska telah siap. Tak lama
lagi pesawat Garuda akan menerbangkannya pulang ke
tanah air. Beribu perasaan berkecamuk di dalam hati Siska.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 193


Antara bahagia dan terharu menguasai perasaannya. Ba-
hagia karena ia telah sukses menjalani studinya dengan
membawa gelar MBA. Lebih-lebih ia merasa puas akan
usaha menyadarkan seorang penjahat menjadi mualaf.
Siapa lagi dia kalau bukan Mike. Keterharuannya antara
lain disebabkan oleh perpisahannya dengan Mike dan juga
dengan Elisabeth. Elisabeth memang mengambil studi yang
berdurasi tiga tahun.
Mengenai Mike, di dalam hati Siska telah menyediakan
tempat khusus. Mike yang tampan, menawan, namun men-
jadi jinak dan penurut manakala berhadapan dengannya.
Boleh jadi, sama seperti Arif, ia memiliki perasaan rendah
diri. Setelah bisa bebas berbincang dan bersahabat dengan
seorang gadis ‘baik-baik’ ia merasa dihargai sebagai seorang
manusia.
Ah, Mike memang mampu memberikan sentuhan pada
hati Siska. Seandainya Arif belum masuk dalam kehidupan
cintanya, barangkali saja ia rela menyambut cinta Mike.
Walau ia tahu, kehidupan masa lalu Mike lebih kelam. Tapi
ada secercah cahaya yang berdenyar yang memberi sinyal
bahwa Mike akan menyongsong kehidupan yang baik.
Mike yang pernah bermaksud melakukan tindak krimi-
nal. Mike yang pernah ditolong. Mike yang ganti menolong.
Mike yang menuruti saran dan nasihat. Mike yang tegas
menyatakan cinta. Mike yang kemudian kecewa karena
keduluan Arif. Ah, Mike, engkau luar biasa. Hari-harimu
yang akan engkau lalui dengan perih, semoga lekas meme-
roleh obat dari Allah. Semoga engkau tetap istiqomah da-
lam islammu dan khusnul khotimah dalam hidupmu, Mike.
Sebab aku tak ingin mendengar kehidupanmu engkau lalui
dengan langkah yang kesasar. Hanya disebabkan oleh cin-
tamu yang tak bersambut.
Tengah memanjakan bayangan Mike, Siska dikejutkan
bunyi dering ponselnya. Siapa? Apakah Mike? Ternyata bu-
kan.

194 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Ini dari IIC, Indonesia Islamic Center, dengan Hilman.
Apa betul saya bicara dengan Mbak Siska?” suara dari pon-
sel dengan Bahasa Indonesia.
“Ya betul. Saya Siska, Mas Hilman.” Siska telah menge-
nal lawan bicaranya.
“Mbak Siska ada di mana sekarang?”
“Saya di Bandara Gatwick. Tak lama lagi saya terbang
ke Jakarta.”
“O ya, tidak mengapa. Kami mau memberikan infor-
masi mengenai teman Anda Mike…, Michael Allan Sten-
ton!”
“Ya, kenapa dia?”
Suara dari ponsel memberikan info bahwa tadi malam
Mike datang bersama ibunya. Ibunya menyatakan diri men-
jadi mualaf. Bahkan ibu dan anak itu sempat ikut menjadi
jamaah salat isya di kantor IIC.
“Alhamdulillah! Berita baik rupanya!” teriak Siska de-
ngan girang.
“Maaf, Mbak Siska. Kami sampaikan berita buruk atas
mereka!”
“Berita buruk?”
“Ya. Semalam setelah pulang dari IIC, di suatu tempat
yang sepi, mereka dicegat oleh sekawanan anggota geng
yang agaknya memiliki dendam pribadi terhadap Mike.”
“Lantas apa yang terjadi, Mas Hilman?” suara Siska
menjadi penuh emosi.
“Mike ditikam dari belakang, tapi ibunya, walaupun
luka-luka, selamat!”
“Bagaimana keadaan Mike?!!” Siska semakin emosi.
“Ia tewas, Mbak Siska. Mike mati syahid!”

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 195


14.
Degup-degup Cinta

MENENGOK “keluarganya” ke Kudus dengan meng-


ambil cuti perusahaan tidak membuat Arif menjadi bahagia.
Kesedihan dan kegelisahannya malah terasa kian bertum-
puk. Arif bermaksud tetap ingin menjadi anak yang ber-
bakti kepada ayah-bundanya. Akan tetapi penerimaan me-
reka sungguh bertolak belakang dari yang diharapkan.
Sambutan mereka sangat dingin. Yang membuat hati Arif
agak terhibur justru ketika ia berhadapan dengan Halimah
dan “adik-adiknya” yang lain. Sikap mereka tetap hangat,
tak ada yang berubah.
“Mobil Mas Arif itu harganya berapa ya Mas?” tanya
Fariz.
Arif memang datang ke kotanya dengan membawa mo-
bil inventaris kantornya. Brand, type, dan warnanya sama
dengan yang pernah ia pakai ketika menjadi sopir pribadi
Siska.
“Aku tidak tahu, Riz. Tapi aku lebih menyukai mobil
itu dibanding dengan yang ditawarkan perusahaan walau-
pun yang ditawarkan itu termasuk mobil mewah.”
“Kalau aku yang ditawari, pasti aku pilih mobil me-
wah!” tanggap Fariz.

196 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Yaah… siapa yang menawari?!” timpal Halimah.
Mereka tertawa.
Hari cuti belum habis datanglah calling dari Jakarta.
“Mas Arif dimohon untuk masuk kerja kembali. Besok
ada acara penting di kantor!” pinta Kevin.
“Lho, aku kan masih cuti? Memangnya ada acara apa
sih?”
“Peresmian pergantian direktur. Ini memang acara
mendadak. Pak Wijaya ingin istirahat dan hanya mau me-
ngawasi jalannya perusahaan saja. Semuanya nanti akan
diserahkan kepada direktur baru.”
“O, begitu. Oke, siap!”
“Baguslah, Mas Arif, kalau begitu! Para manajer dan
level di bawahnya diharapkan untuk menyaksikan acara
besok. Apalagi, Pak Wijaya, memberi pesan khusus untuk
Mas Arif agar hadir dalam acara itu. Mas Arif diminta un-
tuk memberikan masukan-masukan atau nasihat kepada
direktur baru.”
“Ahaha… apa tidak terbalik ya Vin?”
Terdengar tawa Kevin.

***

ARIF mengemudikan mobilnya dengan hati rusuh.


Berpamitan kepada Pak Edi dan Bunda Ifah, ia hanya men-
dapat sambutan yang dingin. Rencana tinggal di Kudus se-
lama lima hari, baru dua hari sudah pamitan untuk kembali
ke Jakarta.
“Sudah tidak kerasan dengan kota kecil ya, Rif?” sindir
Pak Edi.
“Bunda sudah melihat, mobilmu bagus, Rif!” kata Bun-
da Ifah lebih menusuk.
Memang hati Arif sangat tertusuk dan sakitnya terasa
luar biasa.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 197


Kerusuhan di dalam hati Arif kini ditambah dengan
perjalanan yang melelahkan. Apalagi ia harus mengejar
waktu agar tidak terlambat mengikuti acara penting di kan-
tornya.
“Mas Arif sudah sampai mana?” pantau Kevin untuk
ke sekian kalinya.
“Aku sudah masuk Jakarta, Vin! Tapi aku menghadapi
kemacetan demi kemacetan yang memuakkan ini!” jawab
Arif kesal.
Panggilan Kevin yang berkali-kali malah membuat hati
Arif semakin grogi dan kesal. Maka ia matikan ponselnya.
Dengan begitu ia bisa lebih konsentrasi mengemudikan
mobilnya mencari-cari celah di antara padatnya lalu lintas.
Jarum jam terus merangkak. Merasa waktunya nyaris
terlambat tak membuat Arif menghentikan usahanya untuk
hadir sedini mungkin. Sampai-sampai ia harus mencari
jalan pintas agar lekas tiba di tempat tujuan. Ia menga-
rahkan mobilnya melewati jalan alternatif dan masuk ke
lingkungan gedung lewat gerbang belakang. Gerbang da-
rurat.
Ia parkir mobilnya.
“Rombongan Pak Direktur dalam perjalanan, Pak Arif,”
seorang petugas sekuriti yang memegang HT menyambut-
nya dan memberi info.
Hati Arif terasa lega. Merasa memiliki sedikit waktu,
dengan cepat ia mandi di kamar mandi sekuriti dan segera
memakai jas dinasnya.
Begitu ia keluar dari kamar mandi sekuriti itu memberi
info.
“Rombongan Pak Direktur baru saja sampai, Pak Arif.”
“Terima kasih, Pak!” jawab Arif.
Setengah berlari Arif menerobos masuk gedung kan-
tornya lewat pintu samping. Yang dituju ruang pertemuan.
Sedangkan rombongan Pak Direktur lewat pintu utama.

198 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Pak Direktur dengan bangganya membimbing calon
penggantinya dengan diikuti oleh beberapa manajer serta
beberapa orang yang asing bagi para yang hadir. Calon di-
rektur itu masih demikian muda membuat hadirin berbisik-
bisik karenanya. Rombongan itu beriringan menuju ke de-
pan dari sisi kiri, kemudian diam sejenak di hadapan ha-
dirin.
Sebelum mereka menempatkan diri pada kursi yang di-
siapkan tiba-tiba ada seseorang yang menyelonong dari sisi
kanan sehingga membuat semua terkejut. Ternyata Arif
yang datang terlambat.
Dengan terengah Arif bermaksud bergabung dengan
rombongan direktur tadi. Tapi matanya tertumbuk pada
calon direktur yang masih muda itu. Ketika mereka beradu
pandang, kedua hati seakan bergetar, kedua tubuh seakan
menggigil.
“Siska!” sapa Arif dengan penuh emosi.
“Rif!” balas calon direktur itu, Siska, tak kalah emo-
sionalnya.
Keduanya saling pandang dengan penuh kerinduan.
Apakah ini bukan impian, apakah ini benar-benar kenya-
taan? Bunga-bunga seakan bertebaran, harumnya semerbak
memenuhi ruang.
Keduanya saling mendekat walau mulut terkatup. Ti-
dak ada kejutan yang paling mengharukan selain perte-
muan itu. Siska menjelma bidadari dengan mengenakan
jilbab putihnya. Dan Arif tampak jantan dengan setelan jas-
nya.
Pak Direktur, para manajer dan semua yang hadir ter-
heran-heran atas adegan itu. Ternyata Arif dan calon direk-
tur itu sudah saling mengenal. Semua terdiam seolah me-
nanti adegan yang akan terjadi.
Airmata berlinang pada mata kedua insan. Tiga tahun
lebih mereka berpisah tanpa kabar berita. Selama itulah
mereka kenyam segala duka dan penderitaan di dalam

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 199


perasaan yang remuk redam, mereka pendam cinta dan ke-
rinduan di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Mereka pun saling mendekat. Seakan tak menyadari
bahwa mereka sedang menjadi perhatian oleh semua yang
hadir. Seakan tak peduli dengan semua yang ada. Arif me-
ngembangkan tangan dan Siska pun dengan pelan mere-
bahkan kepalanya ke dada pemuda pujaannya. Tiada kata.
Tiada kalimat. Tiada sesuatu pun yang terucap.
Sejenak hening suasana. Entah siapa yang mengawali,
aplus dari yang hadir bergemuruh. Membahana.

***

SETELAH acara memperkenalkan calon direktur usai,


Siska menjadi tokoh utama yang mendapat perhatian. Se-
mua menyalami Siska dengan ucapan selamat.
Dalam acara tadi Pak Wijaya memperkenalkan kepada
hadirin, bahwa Siska adalah cucunya, satu-satunya pewaris
perusahaan ini. Semula tidak ada yang tahu Pak Direktur
yang sudah tua tapi enerjik itu punya anak, apalagi cucu.
“Saya punya anak perempuan, yang… kemudian me-
nikah dengan menantu saya, Hendra,” kata Pak Wijaya
sambil menunjuk papah Siska. Beberapa orang yang diang-
gap asing kini telah dibeberkan identitas mereka oleh Pak
Wijaya. Selain papah Siska, ada Tante Ervina, dan Bunda
Rohimah istri baru papah Siska.
“Semula, kami memang tidak merestui putri saya di-
persunting oleh Hendra. Karena, Hendra ini di waktu mu-
danya… nakal luar biasa, he he bercanda.., bercanda!” gu-
rau Pak Wijaya yang disambut tawa hadirin. “Karenanya,
kami tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarga Hen-
dra, dan sungguh saya berdosa, saya telah mengabaikan
anak dan cucu saya, Fransiska. Sampai kematian putri saya,
saya pun masih kukuh akan pendirian saya.”

200 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


“Saya baru sadar,” lanjut Pak Wijaya, “bahwa saya ter-
lalu sombong. Dan ketika duniawi yang saya kejar telah ter-
capai seperti sekarang ini, saya tidak merasakan kebahagia-
an yang sebenarnya. Hidup saya terasa hampa. Apalagi usia
saya kini sudah empat puluh tahun, lebihnya perkirakan
sendiri…”
Hadirin tertawa.
“Karenanya, saya jadi berpikir untuk berhenti atau
mengurangi kegiatan saya yang hanya mencari dan me-
numpuk kekayaan. Saya ingin hidup tenang pada sisa usia
saya. Dan lagi, kenapa saya telah memutus persaudaraan
dengan keluarga saya sendiri? Bukankah itu justru merusak
kemanusiaan saya sendiri? Itulah sebabnya, baru tiga hari
yang lalu saya menghubungi menantu saya, Pak Hendra.
Tidak ada kata lain, cucu saya, Fransiska…?,” Pak Wijaya
berhenti sejenak untuk mengingat-ingat nama lengkap cu-
cunya. Ia menoleh ke papah Siska yang kemudian menye-
butkan nama lengkap Siska.
“Yaah, nama lengkap cucu satu-satunya saja tidak ta-
hu…” pidato itu disambut tawa gemuruh semua yang
hadir. “Fransiska Adri…a…na…sari! harus menjadi peng-
ganti saya di perusahaan ini. Bahkan hari ini saya ikut ke
bandara untuk menculik cucu saya sekeluarnya dari kabin
pesawat yang membawanya dari London.”
“Saudara-saudara tidak perlu heran,” Pak Wijaya me-
lanjutkan pidatonya, “cucu saya, Fransiska…?, ah lupa lagi
nama lengkapnya…,” kembali disambut tawa hadirin.
“Cucu saya mengenakan jilbab dan papahnya beserta istri
juga berbusana muslim, karena mereka memang beragama
Islam. Bagi saya, sekarang he he, tidak masalah dengan apa
agama atau kepercayaan seseorang. Dan, andai pun cucu
saya Fransiska memang berjodoh dengan pegawai saya
yang saya sayangi, Arif… Arif…? he he saya katakan pega-
wai yang saya sayangi kok lupa nama lengkapnya…” Kem-
bali disambut dengan ledakan tawa hadirin.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 201


“Singkat saja, kalau Fransiska dan Arif memang sudah
dipilih Tuhan menjadi suami istri, saya nyatakan saya me-
restui!”
Sorak dan tepuk tangan hadirin kembali bergemuruh.
Siska dan Arif yang duduk berdampingan tampak wa-
jahnya merah padam tapi penuh kebahagiaan.
“Kenapa semua ini perlu saya kemukakan? Karena saya
mengingatkan kepada Saudara-saudara sekalian agar selalu
mengasihi keluarga. Dengan demikian semua keluarga pe-
gawai perusahaan ini berada di dalam lindungan Tuhan
dan hidup penuh kebahagiaan.”
Kembali tepuk tangan menggemuruh.
Setelah acara itu selesai, papah Siska menghadap Pak
Wijaya. Ia meminta agar Siska diperbolehkan pulang dulu.
“Masa pulang dari luar negeri langsung bekerja. Biar-
kan Siska beroleh istirahat yang cukup dulu. Kami yang
mengasuh Siska selama ini juga masih kangen.” Begitu ala-
san papah Siska.
“Ya, bolehlah. Kalian menginap dulu di Jakarta barang
dua malam. Aku juga merasa diliputi eforia punya cucu
yang cantik dan bergelar MBA pula.”
Di sudut lain Arif dan Siska melepaskan kerinduan de-
ngan banyak saling cerita. Suka duka selama mereka ber-
pisah terlimpah ruah tak ada yang sanggup memben-
dungnya.
“Aku bersyukur kepada Allah, doaku siang malam
akhirnya dikabulkan.”
“Aku juga.” Siska menyetujui. “Aku pun berdoa siang
malam, ‘Ya Tuhanku, perasaan cintaku terhadap seorang
hamba-Mu yang bernama Arif Muhammad Yusuf tumbuh
berkat rahmat-Mu. Oleh karenanya, Ya Allah, bantulah aku
untuk menjaga dan memeliharanya hingga akhir hayat tiba.
Jikalau Engkau mengizinkan, perkenankanlah aku Engkau
jodohkan dengannya sebagai pasangan hidupku yang abadi
setelah Engkau memberi hidayah kepadaku. Subhanallah,

202 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Engkau Mahasuci ya Allah. Allahu Akbar, Engkau Mahabe-
sar ya Allah.’ Itulah doa yang kamu tulis dalam suratmu
dulu.”
“Ahaha… doa itu kamu copy-paste dan kamu edit sedi-
kit ya?”
“Iya… ahaha…”
“Sis, bahkan ketika aku sudah berada pada tingkat kar-
ierku yang setinggi ini, di mana pun kita ketemu, kamu se-
lalu yang menjadi bosku!”

***

DI RUMAH Pak Hendra Hendriatmana malam itu


terasa penuh suka cita. Setelah makan malam bersama dan
dilanjutkan salat isya berjamaah, kecuali Tante Ervina, den-
gan Arif sebagai imam, semua keluarga berkumpul, duduk
lesehan pada karpet. Selain Pak Hendra, tentu saja Bunda
Rohimah, Siska, Tante Ervina, dan juga Arif. Arif sengaja
dimintakan cuti khusus oleh Pak Hendra kepada mertu-
anya, Pak Wijaya.
Selama cuti dan berada di rumah Pak Hendra, Arif dan
Siska seperti tak kuasa membendung kerinduan yang mere-
ka pendam selama itu. Setiap saat mereka bercengkerama,
tertawa-tawa, dan bergurau. Mereka tak menyadari atau tak
peduli dengan sorotan banyak mata, terutama dari para
pembantu yang ikut senyum-senyum menyaksikan peman-
dangan yang diperagakan anak-anak muda itu. Bunda Ro-
himah akhirnya merasa harus turun tangan. Ia sampaikan
nasihat kepada keduanya. Bahwa, seorang lelaki dan pe-
rempuan yang bukan muhrim tidak boleh berdua-duaan.
Karena akan selalu ada pihak ketiga yaitu setan yang akan
menggoda mereka.
Kedua sejoli itu merasa malu, terlebih Siska.
“Habis, kamu yang nempel terus sih?” Arif menyalah-
kan Siska.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 203


“Jadi, kamu gak senang, Rif?”
“Ahaha.. senang juga sih!”
“Siska, dan kamu Rif, paling tidak setelah kalian meni-
kah nanti, Bunda harapkan kalau bicara antara kalian tidak
saling memanggil nama.”
“Jadi harus bagaimana, Bunda?”
“Yaah… Siska bisa memanggil ‘Mas Arif’ dan Arif me-
manggil istrinya dengan panggilan ‘Sayang.’ Begitu yang
dicontohkan Rasulullah.”
Siska dan Arif saling pandang dan tersenyum menahan
tawa.
Di rumah Pak Hendra, Arif tetap menempati kamar is-
tirahatnya yang semula ditempati Pak Rahmat. Pak Hendra
sudah meminta Arif untuk menempati kamar dalam karena
masih ada kamar kosong.
“Kenapa milih kamar belakang, Rif?” tanya Pak Hen-
dra pada pertemuan lesehan itu.
“Kalau di dalam, bahaya! Banyak godaan!” Arif melirik
Siska.
“Memangnya pernah digoda?” kejar Pak Hendra.
Ahaha… Arif hanya tertawa lebar. Siska menyikut
pinggang Arif.
Sendau gurau menyelip di antara perbincangan me-
reka. Pengalaman hidup di London yang penuh petuala-
ngan diceritakan Siska. Ketika menceritakan keindahan Su-
ngai Thames, Siska merasa, waktu itu, akan lebih indah apa-
bila dinikmati bersama Arif.
“Huaaaa!” sambut semua yang mendengarnya. Sean-
dainya ada anak-anak muda di situ pasti akan keluar suara,
so sweeet…!
Giliran Arif untuk menceritakan pengalamannya. Ia ce-
ritakan tentang pengalamannya telantar di Jakarta, ditolong
Pak Bambang, bekerja pada Pak Bambang, bekerja di Ta-
sikmalaya, kembali ke Jakarta, dan diminta bekerja di peru-
sahaan Pak Wijaya. Yang menyisakan kesan menurut Arif,

204 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


ketika ia menjadi kuli dan harus menghela gerobak yang
berat seperti sapi. Cerita Arif diakhiri dengan kelakarnya.
“Saya membayangkan, akan terasa indah bila ketika sa-
ya menarik gerobak itu dilakukan bersama-sama dengan…
Non Siska!”
Tawa pun meledak di antara mereka. Siska memukul
punggung Arif. “Ih, jahat… jahat..!”
Kini perbincangan pun meningkat pada masalah yang
serius. Apalagi kalau bukan hubungan antara Siska dan
Arif.
“Kami sudah bikin janji untuk saling setia, Pah!” de-
ngan tegas Siska mengungkapkan permasalahannya.
“Iya… iyaaa…, jangan khawatiiir!” Pak Hendra seakan
tahu isi hati anak gadisnya.
Muka Siska jadi memerah sendiri.
“Jika demikian, karena sudah mendapat restu juga dari
Opa Wijaya, maka sebaiknya kalian cepat-cepat diresmikan
dalam pernikahan. Usia dan karier kalian sudah memenuhi
semuanya.”
“Sebaiknya juga, Rif,” giliran Bunda Rohimah yang bi-
cara, “sebelum itu, orang tuamu dari Kudus segera memi-
nang Siska. Agar terjalin persaudaraan dengan hubungan
yang baik di antara keluarga kita.”
Sebuah sayatan kecil menoreh dalam hati Arif. Ia ter-
tunduk dan menghela nafas gelisah.
“Kenapa, Rif?” Pak Hendra menangkap ada yang tak
beres pada perasaan Arif.
“Maafkan saya, Bapak dan Bunda dan semuanya, saya
mau berterus terang. Sebenarnya saya adalah anak asuh
dari sebuah panti asuhan di Kudus. Orang tua saya, Pak Edi
dan Bunda Ifah, adalah pengelola panti asuhan. Beliau telah
menganggap saya sebagai anak sendiri karena mereka telah
mengasuh saya sejak saya masih bayi.”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 205


“Kalau masalah kamu anak yatim piatu dari sebuah
panti asuhan, kami sudah tahu, dan kami tidak mema-
salahkan itu, Rif!” kata Pak Hendra meyakinkan.
“Aku punya teman di Kudus. Panti asuhan apa nama-
nya, Rif? Dan alamatnya di mana?” Tante Ervina menyela.
Arif menyebutkan nama dan alamat panti asuhan di
kotanya.
“Masalah yang sudah lama saya hadapi terkait dengan
panti asuhan adalah saya diharapkan untuk mau menjadi
menantu Pak Edi dan Bunda Ifah. Sejak saya kuliah, saya
dijodohkan dengan puterinya yang bernama Halimah.”
Semua yang mendengar penjelasan Arif jadi terkesiap.
Lebih-lebih Siska yang tak dapat menyembunyikan kega-
lauan hatinya.
“Saya sudah berusaha menghindar. Saya mencoba me-
ngulur waktu dengan melanjutkan kuliah S2 saya di kota
ini. Kemudian saya mengadu nasib ke Jakarta juga antara
lain dalam rangka menghindar dari kawin paksa. Apalagi
setelah saya jatuh cinta dan membuat janji dengan Non
Siska. Kawin paksa itu tak akan pernah terjadi.”
“Saya menyadari, saya menjadi anak durhaka, anak
yang tidak tahu membalas budi kebaikan orang tua. Dan
saya telah memohon maaf, juga memohon kepada mereka
untuk memberikan rida dan restu bila saya menikah dengan
seorang gadis pilihan saya sendiri.”
“Bagaimana reaksi mereka?”
“Sampai beberapa hari yang lalu sambutan mereka ter-
hadap saya masih dingin.”
Semuanya tercekam.
Tante Ervina tak tahan dengan suasana itu. Ia beranjak
meninggalkan tempat sebelum mohon pamit. “Maaf, saya
mau beristirahat. Besok ada tugas.”
Semua tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.
“Sejujurnya saya bingung menghadapi masalah ini,”
kata Arif lesu.

206 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Tiba-tiba Siska menukas dengan penuh semangat. Wa-
laupun getar suaranya tak mampu menyembunyikan kega-
lauan hatinya.
“Gusti Allah akan segera memberi solusi, Rif!”
Semuanya serentak menyambut, “Aamiin…!”

***

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 207


15.
Dan Anyelir pun Kembali Berbunga

DI RUANG TAMU sebuah rumah yang sekomplek


dengan Panti Asuhan Nurul Khadhanah di kota Kudus
Tante Ervina duduk dengan tenang. Ia sedang menanti tuan
rumah yang sedang berganti baju demi menghormati ta-
munya. Jamuan sederhana dikeluarkan seorang anak gadis
yang manis. Tante Ervina membatin, barangkali gadis ini
yang bernama Halimah.
Setelah Pak Edi dan Bunda Ifah keluar bersama dan
berbasa-basi kepada Tante Ervina dan makan minum seka-
darnya, Tante Ervina mengungkapkan maksud kedatang-
annya. Ia mengaku sebagai tante dari Siska, teman dekat
Arif. Diceritakan, bahwa Arif dan Siska telah berpacaran
cukup lama dan sudah saling janji setia antara keduanya.
Setelah keduanya sukses meraih cita-cita mereka, keluarga
Siska memberi saran agar mereka segera menikah. Tapi Arif
menjelaskan bahwa ia hanya mau menikah ketika orang tu-
anya di Kudus memberi restu kepadanya. Dan restu itu
sampai saat ini belum kunjung ia dapatkan.
“Bila restu dari Bapak dan Ibu tidak bisa diperoleh,
keduanya bersepakat dan rela hidup hanya saling berpan-
dang sepanjang masa,” urai Tante Ervina dengan sengaja

208 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


agak dilebih-lebihkan. “Mereka tidak main-main. Mereka
tidak mau mendapat pasangan yang lain. Karenanya saya
datang ke rumah ini, mohon penjelasan dan berharap ter-
cipta penyelesaian yang baik.”
Pak Edi dan istrinya terdiam sejenak.
“Kami memang dari etnis Tionghoa. Tapi Siska telah
memeluk agama Islam karena kesadarannya sendiri,” kata
Tante Ervina memberi penjelasan lebih lanjut. “Bahkan pa-
pahnya Siska pun sekarang juga memeluk agama Islam.”
Pak Edi dan Bunda Ifah terperangah.
“Memang kami akui, Bu Ervina,” kata Pak Edi, “kami
memang sangat menyayangi Arif seperti anak sendiri kare-
na kami telah mengasuhnya di rumah ini sejak dia masih
bayi. Pada waktu itu kami belum memiliki anak. Karena itu
jangan heran kalau kami memiliki rasa kekhawatiran kehi-
langan dia. Satu-satunya yang bisa mengikat dia adalah bila
dia mau menjadi menantu kami. Dia memang kami harap-
kan mau menikah dengan anak saya, Halimah.”
“Saya dapat memahami perasaan Bapak dan Ibu. Be-
tapa beratnya orang tua kehilangan anak yang disayangi-
nya, anak yang didambakannya. Saya juga memahami, anak
yang baik adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Akan tetapi…, “ Tante Ervina memberi jeda.
“Akan tetapi, apakah berbakti itu harus menurut segala
kemauan orang tua? Tidak adakah sedikit pun ruang yang
memberikan kebebasan bagi seorang anak untuk memiliki
kemerdekaan berpikir, bertindak, dan memilih pasangan
hidup? Kalau tindakan dan pilihan pasangan hidup si anak
ternyata bisa dipertanggungjawabkan, dalam arti tindakan
si anak tersebut tidak pernah merugikan orang lain, ber-
tingkah laku baik, serta pilihan pasangan hidup si anak
ternyata adalah wanita yang baik, apakah si anak masih
juga disalahkan dan kemudian harus dibenci?”
“Begini saja, Bu Ervina, langsung saja apa mau Ibu?”
pinta Pak Edi.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 209


“Baik, Bapak dan Ibu, tapi bolehkah saya berbicara ke-
pada putri Bapak dan Ibu yang bernama Halimah? Karena
masalah ini melibatkan putri Bapak, maka ia perlu men-
dengarkan semuanya agar menjadi jelas.”
Pak Edi memanggil Halimah untuk keluar.
Halimah pun keluar dan mengambil tempat duduk.
Tante Ervina mengulangi secara singkat perbincangan
dengan Bapak dan Ibu, kemudian bertanya kepada Hali-
mah.
“Apakah mbak Halimah mencintai Mas Arif dan mau
dinikahkan dengannya?”
“Saya… saya menurut apa kehendak Bapak dan Ibu sa-
ja.”
“Dia tidak ingin menjadi anak yang mendurhakai
orang tua,” sela Bu Ifah.
“Baik. Perkenankanlah saya membuat perbandingan.
Mari kita berhitung. Bila Bapak dan Ibu dengan ikhlas me-
restui Arif menikah dengan Siska, semuanya senang, ke-
cuali mungkin hanya Mbak Halimah. Seorang yang kecewa
hanya Mbak Halimah. Bila Arif dipaksa menikah dengan
Halimah, yang merasa senang, hanyalah Bapak dan Ibu
serta Mbak Halimah. Tapi bila kita hitung yang merasa ke-
cewa, pertama adalah Arif sendiri. Walaupun ia menurut,
tapi di dalam hati pasti kecewa. Perasaan kecewa yang lain,
akan dialami oleh Siska. Itu sudah jelas. Yang merasa ke-
cewa lainnya, adalah papah Siska, Bunda Siska, Opa Siska,
dan saya sendiri…”
Semuanya terdiam sesaat.
Tiba-tiba Halimah memberanikan diri angkat bicara.
“Bila saya harus menikah dengan Mas Arif, yang ke-
cewa bertambah satu, Bunda.”
“Siapa lagi?” tanya Bunda Ifah.
“Fariz!”
“Fariz? Apakah ia mencintaimu?” tanya Pak Edi terke-
jut.

210 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Halimah mengangguk.
“Tapi ia lebih muda darimu,” sela Bunda Ifah.
“Apakah ia sudah menyatakannya padamu?” tanya
Pak Edi.
Halimah mengangguk sekali lagi dan memberikan pen-
jelasan.
“Bagaimana dengan kamu sendiri?” kejar Pak Edi.
“Saya hanya menjawab,” jawab Halimah dengan nada
yang menjadi sendu, “‘seandainya saya belum dijodohkan
dengan Mas Arif, dan seandainya saya bebas memilih,
mungkin ceritanya akan lain, Riz’”
Pak Edi dan Bunda Ifah jadi tercenung.
Tante Ervina menghela nafas lantas menghempaskan-
nya.

***

DERING telepon pada ponsel Arif memperlihatkan


nama Bunda Ifah. Ia ragu untuk menerima percakapan itu
atau tidak. Berpikir secepat kilat ia memutuskan menerima
percakapan daripada masalah semakin runyam.
“Wa ‘alaikum salam, Bunda!”
…………………………..
“Apa? Bunda merestui kami menikah? Alhamdulillah!”
…………………………..
“Ya, Bunda. Arif masih tetap anak Bunda dan Bapak.”
…………………………..
“Terima kasih, Bunda. Memang sebaiknya secepatnya
Bapak dan Bunda datang melamar Siska kepada keluar-
ganya.”
…………………………..
“Maaf, apa yang menyebabkan tiba-tiba Bunda dan Ba-
pak berubah pikiran untuk merestui saya?”
……………………………

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 211


“Oh, jadi Tante Ervina nyampe ke Kudus? ……… Oh,
masih di sana?”
……………………………
“Apa? Adikku Halimah akan dinikahkan dengan Fariz?
Alhamdulillah..!”
……………………………
“Terima kasih, Bunda. Salam untuk Bapak , Dik Hali-
mah, Dik Irham, dan Dik Fariz.”
……………………………
“Wa ‘alaikum salam wa rahmatullah!”
Siska yang berada dekat Arif langsung bisa menebak.
“Kita direstui? Alhamdulillah…!”
Rasa syukur mereka sampaikan kepada Sang Penulis
Skenario Kehidupan. Mata Siska sempat berkaca-kaca. Ra-
sanya seperti mimpi. Keterharuan dan kelegaan juga meli-
puti hati Arif. Ia seakan terlepas dari beban yang selama ini
telah menindih.
Keduanya bergegas melapor ke Pak Hendra dan Bunda
Rohimah. Kebetulan Pak Hendra tidak keliling ke toko dan
Bunda Rohimah belum berangkat ke panti asuhan. Dicerita-
kan hasil percakapan lewat ponsel Arif, atas perjuangan
Tante Ervina, orang tua Arif di Kudus sudah mengikhlas-
kan Arif menikah dengan Siska.
“Alhamdulillah! Tuhan sudah membuka jalan bagi
masa depan kalian! Kalian harus menjalaninya dengan hati-
hati dan penuh kasih sayang.”
“Siap, Pah!” jawab Siska tegas.
Arif hanya mengangguk.
“Papah sempat heran, masih ada orang tua yang
sedemikian ngototnya main kawin paksa kepada anaknya.
Mereka bukan orang tua kandung kan Rif? Sayang, kamu
tidak tahu siapa orang tuamu yang sesungguhnya.”
“Yang saya ketahui hanya foto ibu saya. Bahkan nama-
nya pun saya tidak tahu. Ibu saya meninggal saat mela-
hirkan saya. Ketika saya sebagai bayi yang baru saja dila-

212 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


hirkan, saya diestafetkan oleh beberapa orang. Orang tera-
khir yang menyerahkan saya kepada Bapak Edi dan Bunda
Ifah juga menyertakan foto ibu saya selain pesan dari
wanita yang melahirkan bahwa anaknya diberi nama Arif
Muhammad Yusuf. Ah, saya jadi kangen ingin melihat foto
ibu saya,” terang Arif mengakhiri ceritanya.
Arif jadi tercenung.
“Kamu mau, Sis, saya tunjukin foto ibu saya? Kebetulan
ada di tas saya?”
“Mau. Mau dong!”
Arif beranjak ke kamarnya dan tak lama kemudian
kembali dengan membawa selembar foto.
“Inilah satu-satunya warisan dari orang tuaku, yang ha-
rus kurawat,” kata Arif sambil memberikan foto itu kepada
Siska.
Siska terpesona melihat wajah ibu Arif.
“Wow, cantiknya. Mirip kamu, Rif!” kata Siska sambil
memandangi foto dan sesekali ke Arif.
“Mana, mana, Bunda juga ingin melihat!” Bunda Rohi-
mah meraih foto dari tangan Siska. Komentarnya juga se-
nada dengan Siska.
“Selain cantik, dari wajahnya kelihatan ibumu ini wa-
nita yang sabar dan sumarah. Papah tentu juga ingin tahu.”
Bunda Rohimah menyerahkan foto itu kepada sua-
minya.
Pak Hendra menerima foto itu dengan keheranan ka-
rena foto itu hanyalah sesobek, tidak utuh. Diamatinya foto
itu. Tiba-tiba hati Pak Hendra serasa bergetar dan tubuhnya
serasa menggigil.
“Ini kan foto adik kelasku di SMA dulu. Namanya, As-
riningsih! Asriningsih!”
Pak Hendra terlihat emosi. Semua jadi terbengong.
“Sebentar, aku ambil foto yang sama!”
Pak Hendra masuk ke kamarnya dan kemudian mem-
bawa selembar foto.

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 213


“Lihat Rif! Sobekan foto darimu dan dariku. Bekas
sobekannya bila dipasangkan menjadi pas sebagai foto yang
utuh. Lihat, Rif! Yang seorang ibumu dan yang di sam-
pingnya adalah aku di waktu muda.” Pak Hendra menjajar-
kan dua sobekan foto itu dan ternyata memang pas menjadi
selembar foto yang utuh. “Kalau begitu engkau anakku, Rif!
Engkau anakku! Engkau anakku karena aku telah menikahi
ibumu.”
“Foto itu diambil sehabis akad nikah yang kami lak-
sanakan secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluar-
gaku,” lanjut Pak Hendra. “Mengapa foto itu sobek menjadi
dua? Penyebabnya adalah ibumu kecewa karena aku ingkar
janji. Janjiku, aku akan hidup bersamanya. Tetapi di saat
ibumu hamil besar, aku pamitan karena aku dipaksa di-
kirim ke London dengan alasan melanjutkan kuliah. Tapi
alasan yang sebenarnya, setelah tahu aku punya istri yang
tidak direstuinya, orang tuaku berusaha memisahkan kami.
Ibumu merasa kecewa dan disobeknya foto itu tanda ia su-
dah tidak lagi percaya kepadaku. Diberikannya sesobek foto
untuk kami masing-masing.”
Pak Hendra tak kuasa menahan tangisnya. Dipeluknya
Arif dengan penuh emosi.
“Kalau engkau percaya, aku sangat rindu dan menanti
perjumpaan ini. Bertahun-tahun aku merasa berdosa telah
menyia-siakan istri dan anakku. Aku bahkan tidak tahu
ibumu sudah meninggal. Maafkanlah aku, Rif.”
Berbagai perasaan berbauran di hati Arif.
“Bertahun-tahun aku merasa merindukan siapa ayah-
ku. Bertahun-tahun pula aku benci kepada lelaki yang tidak
bertanggung jawab. Hingga saat ibu melahirkanku pun
tanpa ditunggui suaminya. Tiba-tiba kini ada seorang yang
mengaku sebagai ayahku!”
“Maafkan aku, Rif. Aku memang bersalah. Aku menya-
dari aku memang berdosa.”

214 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


Arif tak mampu berkata apa pun dan matanya terpe-
jam, berurai airmata.
“Aku memahami kalau kamu tak mau memaafkan
diriku, Rif. Kalau kamu kecewa, aku ikhlaskan kamu pergi.
Asal kamu mau mengakui aku sebagai ayahmu,” serak
suara Pak Hendra menahan tangisnya.
Arif seakan membeku.
“Kalau kamu mau memaafkan aku, panggillah aku Pa-
pah, Rif! Panggilah aku Papah!”
Bendungan itu akhirnya pun runtuh.
“Papah! Papah!”
Ayah dan anak itu pun berangkulan, bertangisan.
Bunda Rohimah mematung. Siska tak dapat lagi me-
nguasai emosinya. Luka hatinya yang hampir sembuh kini
menganga kembali. Ia beranjak dari tempat itu dan berlari
keluar dengan derai airmata.

***

KELUAR dari ruang dalam, Siska berlari tanpa arah.


Merasa mendapat tempat yang nyaman, ia mengambil tem-
pat ‘taman dalam’ di sisi sebelah barat yang teduh. Ia
duduk dengan memeluk kedua lututnya. Direbahkan
kepalanya pada lututnya. Dalam perasaan yang dibanting-
banting, Siska masih memiliki kesadaran untuk berdoa di
dalam hati.
Ya Allah, demikianlah yang Engkau kehendaki akan per-
jalanan cintaku. Bertahun-tahun, kadang aku Engkau manjakan
dan kemudian Engkau asingkan, kadang engkau tinggikan ke-
mudian Engkau rendahkan, kadang Engkau angkat kemudian
Engkau hempaskan. Ya Allah, memang adakalanya aku merasa le-
bih mengutamakan cinta kepada manusia daripada cinta kepada-
Mu. Tapi aku manusia awam, ya Allah, aku manusia lemah, yang

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 215


tanpa limpahan rahmat-Mu, aku tidak mungkin memiliki kekua-
tan. Jikalau Engkau memang menakdirkan aku tidak berjodoh de-
ngan Arif yang ternyata adalah kakakku, aku akan mencoba mene-
rima dengan sepenuh jiwa. Tapi, betapa ya Allah, hatiku perih,
hatiku sakit, dan aku khawatir kalau menjalar menjadi nyeri yang
tak tertanggungkan.
Tanpa ia sadari seseorang mendekatinya. Dan baru ter-
sadar ketika orang itu duduk di sebelahnya. Arif telah dapat
menguasai perasaannya.
“Tidak usah bersedih hati, Sayangku, Kekasihku,” kata
Arif setengah berbisik. “Aku sempat terkejut saat perte-
muan di Jakarta tempo hari. Seakan tak percaya bila gadis
yang memakai jilbab putih itu adalah kamu. Tak pernah
aku melihat dirimu secantik itu. Luar biasa! Bagaikan putri
Cinderella dan Putri Angsa Putih digabung menjadi satu!
Ya, jilbab putih itu. Seputih itulah cintaku padamu, Sis!”
“Hah…, masih juga ngrayu?”
“Ahaha… aku baru belajar!”
“Belajar? Sejak dulu kamu sudah gitu! Dasar tukang
ngrayu!”
“Oh yang dulu-dulu itu bukan ngrayu. Tapi sejujurnya!
Yang sekarang, biar kamu senang! Ahaha..!”
“Sudahlah! Aku sedang berusaha menenangkan hati,
membuang sedih, dan menerima kenyataan,” jawab Siska
lesu.
“Menerima kenyataan apa?”
“Engkau ternyata kakakku, kan? Kita harus menerima
kenyataan ini!”
Tiba-tiba Siska memeluk, merengkuh leher Arif dan
menciumi wajah Arif sepuasnya tanpa Arif bisa mengha-
langi.
“Heh… jangan, Sis! Jangan, Sis! Nggak boleh!” Arif
memberontak-berontak.
“Aku ingin melampiaskan kekecewaanku karena kamu
ternyata kakakku! Kan tidak haram memegang dan men-

216 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA


cium saudaranya! Aku akan menciummu sepuas hatiku un-
tuk terakhir kali!” bela Siska.
Arif menyilangkan kedua tangannya agar Siska tidak
terus menyerangnya.
“Sis, Siska Sayang, dengar dulu aku mau kasih cerita
kepadamu!”
“Cerita apa lagi? Mau menikah dengan siapa kamu?
Halimah telah menjadi milik Fariz!”
“Menikah denganmu!”
“Hah, haram! Hukum Allah tidak boleh dilanggar!”
“Makanya dengar dulu aku ngomong. Sayangku, kita
bisa melanjutkan cinta kita sehingga seindah bunga-bunga
anyelir itu.”
Siska ikut memperhatikan bunga anyelir yang sedang
mekar.
“Mimpi apa kamu?”
“Dengar dulu aku ngomong! Kita sebenarnya bukan
saudara kandung, kita hanya saudara tiri. Tadi papah ber-
cerita bahwa papah menikahi mamahmu saat mamahmu
sudah punya anak yang masih bayi. Mengenai siapa pa-
pahmu yang sebenarnya, nanti tanya sendiri sama papahku!
Ahaha…!”
Siska jadi terhenyak.
“Jadi yang selama ini kuanggap dan kupanggil papah
ternyata adalah papahmu? Terus papahku?”
“Ahaha…!”
“Halah… kamu bohong!”
“Kamu nggak percaya padaku, Sayang?”
“Apa iya?”
“Kamu sih, keburu keluar, nggak mau dengar cerita pa-
pah sampai selesai.”
“Kalau begitu, salah dong aku menciumi kamu… Mas
Arif?”

SEPUTIH JILBAB FRANSISKA 217


“Jelas salah! Tapi aku beruntung menerima bonus is-
timewa yang tidak terduga dan tidak kukehendaki sebe-
lumnya! Ahaha..!”
“Astaghfirullah al azhiim! Ahaha…!”

SELESAI

218 SEPUTIH JILBAB FRANSISKA

Anda mungkin juga menyukai