***
Sulaiman, dan berpuluhan lelaki yang ia kenal baik,
biasanya datang membawa karung-karung biji kopi kering
dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat
sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta
menggengam bungkusan kain-yang jelas pastilah bukan
biji kopi- dan memandang kepadanya dengan tatapan
gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “ Cepat
masuk!”
“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya.” Sulaiman
memperkenalkan Nyiwar. “Saya tidak membawa…”
“Sutinaaa,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap
sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi
tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan
di Kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-
isu simpang siur. Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul.
“Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-
dalam. “Setiap petugas yang datang memeriksa gudangku,
selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi
dari perkampungan yang masuk kawasan hutan Negara. Tapi
kau tahu, Sulaiman, bertahun-tahun aku tetap menerima kopi
dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang
salah dari negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat
penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-
karung biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan
Negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman?
Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah
menyiapkannya. Setelah itu, pergilah…. Demi Tuhan,
Sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam
kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk
tinggal.”
“Saya memang tidak tahu dimana saya harus tinggal,
Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona
melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari
kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nons.
Tentu saya tidak akan lagi merepotkan….”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah
lelaki itu.
[….]
“Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain
tapis, seperti hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir
dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti harapan ketika
membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah
Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona
genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang,
warna-warna , semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar….”
“Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya.
Datanglah segera untuk menjadi wali putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
Ketika madu tumpah dilautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada
Nyiwar, dan begitulah Nyiwar –perempuan lembut sekokoh karang – dan ia resmi
memanggil Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih
besar pada parasnya yang jelita.
Koda
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang
ratusan prajurit merapat di Bandar, mengendap di subuh hari.
Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan
petani kopi kembali pecah menjadi prahara.