Seutas Tali
Seorang pemabuk itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak rapi dan bibirnya hitam
legam akibat ribuan rok*k kretek yang dihisapnya selama ia hidup. Dua kawannya berambut
gondrong dan acak-acakan pula. Tiga manusia itu terus menenggak arak-arak yang
dituangkan ke sloki kecil dan dilemparkannya air-air itu masuk dan mengalir melalui
kerongkongan masing-masing sambil bersulang sebelum ritualnya dimulai lambat-lambat.
Aku hanya diam, menatap mereka di balik kaca jendela kamarku ini, di lantai dua
rumahku yang mungil. Tak bosan sedari tadi aku memandang jalan-jalan di depan
kediamanku yang dipenuhi oleh orang-orang yang bersuka-ria dengan air-air dewa yang aku
jual selama beberapa tahun lamanya sebagai tonggak utama mata pencaharian. Aku hidup
sendiri. Urusan asmara bisa aku lampiaskan di rumah-rumah bord*l yang remang-remang di
sudut kota. Murah dan tanpa merana.
Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan yang wajahnya dipoles sedemikian rupa
sehingga mirip bungkusan permen yang berlumur tanah. Wajah yang coklat itu dilapisi bedak.
Dua perempuan itu berambut panjang, sangat lurus seperti tangkai sapu. Warna tangan dan
leher serta kakinya sangat berbeda jauh dengan wajah yang sangat mereka bangga-banggakan
itu. Hotpants dan kaos ketat si kupu-kupu malam itu membungkus tiap lekuk-lekuk tubuh
mereka, yang juga semakin meyakinkanku bahwa mereka bak bungkusan permen yang hidup.
Dilumuri tanah juga tentunya.
Ada pula dua lelaki hidung belang yang membuka lebar-lebar mulutnya. Tawanya
terbahak-bahak. Entah apa yang mereka semua sedang bicarakan. Aku bingung. Kulihat-lihat
dua lelaki itu sangat mirip. Aku sangat yakin mereka kembar. Hidungnya aneh. Persis buah
jambu air di depan rumah tetangga sebelahku. Bibirnya sama-sama mengatup rok*k dengan
bara merah di ujungnya. Perutnya buncit karena air-air dewaku tak pernah absen berkecipuk
di lambungnya setiap akhir pekan. Pipinya gempal dan bulat. Rambutnya pendek dan daun
telinganya lebar. Guratan-guratannya pun mirip. Pasti banyak orang yang sukar mencari
perbedaan di antara si kembar itu.
Terang rembulan kali ini begitu lembut mencium manusia-manusia merdeka itu
dengan cahayanya yang indah. Bintang-bintang berkelap-kelip, bertebaran dan terhampar
luas di langit yang gelap, kian menambah kilau keindahan lengkung langit itu. Jalanan masih
saja ramai lalu lalang kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para pemabuk dan
perempuan panggilan. Derum dan bising kendaraan benar-benar tak menganggu pikiranku
yang berkelana sangat jauh. Sungguh jauh jaraknya bagi setiap orang, kecuali bagi setiap
pikiran. Ya, pikiranku berkelana ke masa lalu, tujuh hari lalu tepatnya. Sejenak aku masih
bimbang dan terus menimbang-nimbang. Pantaskah aku melakukan ini?
Pagi itu, di pagi yang gelap dan buta, di mana fajar belum memperlihatkan secercah
cahayanya, aku sudah harus menuju ke rumah juragan arak untuk memasok lebih banyak lagi.
Sendiri, dengan pick-up putihku. Kenapa jadi aku yang menjemput air-air nista itu? Kemarin
aku menerima pesan singkat yang masuk ke ponselku. Ternyata sang juragan sedang terkena
demam berdarah. Jelas saja nyamuk-nyamuk mau mengisap darahnya melalui kulit yang
berkerut itu, lingkungan rumahnya saja kumuh dan kotor. Lebih mirip seperti gubuk-gubuk
kambing. Sampahsampah, air yang keruh menghitam dan menggenang dihiasi jentik-jentik
nyamuk kecil yang berenang-renang ke sana ke mari seperti anak-anak di wahana kolam
renang.
Mataku benar-benar buyar, pandanganku samar. Aku hanya melihat remang lampu
jalanan membentuk bulat cahaya di aspal yang disorotinya. Pohon-pohon terlihat seperti
bayangan, direngkuh pekatnya kegelapan di pagi itu. Penglihatanku yang buruk pagi ini
bukan tanpa sebab. Semalam aku minum banyak untuk menjamu kawan lamaku yang datang
jauh dari luar kota. Arak-arak yang kujual mengalir juga ke tenggorokanku dan
menendangnendang lambungku ini. Panas sekali, tapi nikmat. Banyak orang yang bilang,
“yang dilarang itu yang nikmat.”. Ah, persetan dengan larangan-larangan.
Arak-arak ini semakin bereaksi saja. “Bangsat benar arak ini,” umpatku. Aku iseng
menyalakan dan memadamkan lampu kendaraanku ini, mengikuti irama khas dangdut yang
merasuk ke tubuhku begitu nikmat.
Sudah tujuh hari sejak kejadian itu. Aku mengurung diri di kamar. Bila pelanggan tiba,
kuteriak dan kusuruhnya mengambil sendiri arak dan meletakkan uang-uangnya ke saku
kulkas. Para pelanggan terheran dengan seisi rumahku yang kosong, semua kutukar untuk
uang, hanya menyisakan kulkas dan sisa-sisa beberapa botol arak. Aku tetap terbayang pada
wajah anak itu yang masih terus saja menghantui lamunanku setiap malam. Wajah yang lugu
itu menjadi begitu menakutkanku ketika terlintas di benakku dari kepalanya terus mengalir
darah. Dua hari yang lalu aku kembali mengunjungi tempat kejadian itu dengan motor
bututku. Masih membekas merah darah itu di jalan. Aku bertanya pada petani tua yang duduk
di sisi jalan:
“Permisi, ini darah bekas apa ya jika boleh saya tahu?” Tanyaku berpura-pura tak tahu.
“Maaf nak, bukannya aku tidak ingin menjawab,” tukas Pak Tua, suaranya parau,
“tetapi bila mengingat kejadian itu, aku benar-benar tak kuasa.”
“Memang kenapa pak?” tanyaku gundah. Sejenak orang itu menunduk. Melepaskan
cengkeraman pada cangkulnya. Terlihat mata itu tak lagi kuat membendung peluh yang
membanjir, terisak kemudian, lalu menjawab tanyaku seraya mengusap linangan air mata itu.
“Beberapa hari lalu, aku dan cucuku pergi untuk shalat subuh. Usai beribadah, aku
menantangnya berlari menuju ke rumah untuk segera menyantap nasi hangat dan ikan yang
telah kumasak sebelum bersembahyang ke masjid.” Hatiku terguncang, menebak-nebak.
Kutimpali pernyataan itu dengan tanya: “Lalu?” “Lalu karena cucuku berlari kencang, ia tak
sempat memperhatikan laju kendaraan di jalanan ini. Dan,” tetap menunduk dengan raut
wajah Pak Tua yang kian sedih, “semua itu terjadi. Kini benar-benar sebatang karalah aku.
Hidup dalam kesendirian. Semoga ia selalu bahagia. Bergabung dengan orang tuanya dan
istriku di surga.”
Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya waktu ini juga aku ingin membuat
pengakuan, tetapi kuurungkan niatku karena aku tak ingin membuat kesedihan dan
amarahnya semakin memuncak. Setelah sedikit menenangkannya, aku berbalik menuju
kediamanku.
Runyam sekali hidupku. Pelik dan bodoh. Aku masih saja memandang orang-orang di
depan rumahku yang masih asyik dengan dunianya. Tak sama halnya dengan duniaku yang
kini muram dan kelabu.. Baru kali ini jiwaku terasa sangat teriris-iris karena mengingat wajah
itu. Wajah Pak Tani dan cucunya yang nahas itu. Seluruh hasil barang yang kujual
kuhibahkan padanya melalui Pak RT setempat. Tak usahlah Pak Tani mengetahui aku yang
tolol ini. Malah semakin menambah beban hidupnya saja.
“Permisi, ini darah bekas apa ya jika boleh saya tahu?” Tanyaku
berpura-pura tak tahu. “Maaf nak, bukannya aku tidak ingin
menjawab,” tukas Pak Tua, suaranya parau, “tetapi bila
mengingat kejadian itu, aku benar-benar tak kuasa.”
“Beberapa hari lalu, aku dan cucuku pergi untuk shalat subuh.
Usai beribadah, aku menantangnya berlari menuju ke rumah
untuk segera menyantap nasi hangat dan ikan yang telah
kumasak sebelum bersembahyang ke masjid.” Hatiku
terguncang, menebak-nebak. Kutimpali pernyataan itu dengan
tanya: “Lalu?” “Lalu karena cucuku berlari kencang, ia tak
sempat memperhatikan laju kendaraan di jalanan ini. Dan,”
tetap menunduk dengan raut wajah Pak Tua yang kian sedih,
“semua itu terjadi. Kini benar-benar sebatang karalah aku.
Hidup dalam kesendirian. Semoga ia selalu bahagia. Bergabung
dengan orang tuanya dan istriku di surga.”
Tema Novel
No Latar Bukti
- Kamar
Bukti : Aku hanya diam, menatap mereka di balik
1. Tempat kaca jendela kamarku ini, di lantai dua rumahku
yang mungil.
- Jalanan
Bukti : Jalanan masih saja ramai lalu lalang
kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai
oleh para pemabuk dan perempuan panggilan.
- Gaduh
Bukti : Jalanan masih saja ramai lalu lalang kendaraan,
2. Suasana simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para pemabuk
dan perempuan panggilan.
- Malam Hari
Bukti : Terang rembulan kali ini begitu lembut
3. Waktu mencium manusia-manusia mereka itu dengan
cahayanya yang indah.
Amanat
- Tatalah hidupmu dengan baik. Mengakhiri hidup bukanlah solusi terakhir. Ada Tuhan
bersama kita. Tuhan akan merangkul kita disaat kita tidak tahu kemana arah jalan
kita.
- Jadilah orang yang berani mempertanggung jawabkan segala perbuatan. Segala
perbuatanmu selalu dibuntuti oleh konsekuensinya.