Anda di halaman 1dari 11

Nama : Alivia Ariatna

Kelas / Absen : XII Bahasa / 11

KD 3.9 Analisis Isi dan Kebahasaan Novel atau Cerpen

Seutas Tali

Cerpen Karangan: Noor Adha Satrio

Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Penyesalan

Seorang pemabuk itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak rapi dan bibirnya hitam
legam akibat ribuan rok*k kretek yang dihisapnya selama ia hidup. Dua kawannya berambut
gondrong dan acak-acakan pula. Tiga manusia itu terus menenggak arak-arak yang
dituangkan ke sloki kecil dan dilemparkannya air-air itu masuk dan mengalir melalui
kerongkongan masing-masing sambil bersulang sebelum ritualnya dimulai lambat-lambat.

Aku hanya diam, menatap mereka di balik kaca jendela kamarku ini, di lantai dua
rumahku yang mungil. Tak bosan sedari tadi aku memandang jalan-jalan di depan
kediamanku yang dipenuhi oleh orang-orang yang bersuka-ria dengan air-air dewa yang aku
jual selama beberapa tahun lamanya sebagai tonggak utama mata pencaharian. Aku hidup
sendiri. Urusan asmara bisa aku lampiaskan di rumah-rumah bord*l yang remang-remang di
sudut kota. Murah dan tanpa merana.

Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan yang wajahnya dipoles sedemikian rupa
sehingga mirip bungkusan permen yang berlumur tanah. Wajah yang coklat itu dilapisi bedak.
Dua perempuan itu berambut panjang, sangat lurus seperti tangkai sapu. Warna tangan dan
leher serta kakinya sangat berbeda jauh dengan wajah yang sangat mereka bangga-banggakan
itu. Hotpants dan kaos ketat si kupu-kupu malam itu membungkus tiap lekuk-lekuk tubuh
mereka, yang juga semakin meyakinkanku bahwa mereka bak bungkusan permen yang hidup.
Dilumuri tanah juga tentunya.

Ada pula dua lelaki hidung belang yang membuka lebar-lebar mulutnya. Tawanya
terbahak-bahak. Entah apa yang mereka semua sedang bicarakan. Aku bingung. Kulihat-lihat
dua lelaki itu sangat mirip. Aku sangat yakin mereka kembar. Hidungnya aneh. Persis buah
jambu air di depan rumah tetangga sebelahku. Bibirnya sama-sama mengatup rok*k dengan
bara merah di ujungnya. Perutnya buncit karena air-air dewaku tak pernah absen berkecipuk
di lambungnya setiap akhir pekan. Pipinya gempal dan bulat. Rambutnya pendek dan daun
telinganya lebar. Guratan-guratannya pun mirip. Pasti banyak orang yang sukar mencari
perbedaan di antara si kembar itu.

Terang rembulan kali ini begitu lembut mencium manusia-manusia merdeka itu
dengan cahayanya yang indah. Bintang-bintang berkelap-kelip, bertebaran dan terhampar
luas di langit yang gelap, kian menambah kilau keindahan lengkung langit itu. Jalanan masih
saja ramai lalu lalang kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para pemabuk dan
perempuan panggilan. Derum dan bising kendaraan benar-benar tak menganggu pikiranku
yang berkelana sangat jauh. Sungguh jauh jaraknya bagi setiap orang, kecuali bagi setiap
pikiran. Ya, pikiranku berkelana ke masa lalu, tujuh hari lalu tepatnya. Sejenak aku masih
bimbang dan terus menimbang-nimbang. Pantaskah aku melakukan ini?

Pagi itu, di pagi yang gelap dan buta, di mana fajar belum memperlihatkan secercah
cahayanya, aku sudah harus menuju ke rumah juragan arak untuk memasok lebih banyak lagi.
Sendiri, dengan pick-up putihku. Kenapa jadi aku yang menjemput air-air nista itu? Kemarin
aku menerima pesan singkat yang masuk ke ponselku. Ternyata sang juragan sedang terkena
demam berdarah. Jelas saja nyamuk-nyamuk mau mengisap darahnya melalui kulit yang
berkerut itu, lingkungan rumahnya saja kumuh dan kotor. Lebih mirip seperti gubuk-gubuk
kambing. Sampahsampah, air yang keruh menghitam dan menggenang dihiasi jentik-jentik
nyamuk kecil yang berenang-renang ke sana ke mari seperti anak-anak di wahana kolam
renang.

Mataku benar-benar buyar, pandanganku samar. Aku hanya melihat remang lampu
jalanan membentuk bulat cahaya di aspal yang disorotinya. Pohon-pohon terlihat seperti
bayangan, direngkuh pekatnya kegelapan di pagi itu. Penglihatanku yang buruk pagi ini
bukan tanpa sebab. Semalam aku minum banyak untuk menjamu kawan lamaku yang datang
jauh dari luar kota. Arak-arak yang kujual mengalir juga ke tenggorokanku dan
menendangnendang lambungku ini. Panas sekali, tapi nikmat. Banyak orang yang bilang,
“yang dilarang itu yang nikmat.”. Ah, persetan dengan larangan-larangan.

Aku memperlambat laju kendaraanku untuk sejenak menyalakan linting tembakau


yang aku apit pada dua jariku. Kunyalakan pula musik supaya aku tetap terjaga, tidak
menjauh ke sisi jalan dan menabrak pohon-pohon. Aku mengangguk-angguk mengikuti
irama musik dangdut ini. Ketika jeda berhenti pada pergantian lagu, kudengar sayup-sayup
adzan berkumandang. Beberapa unggas pun berkokok, tak mau kalah dari nyaring suara si
muadzin. Musik berlanjut, berdentum keras di gendang telingaku, syahdu dan asyik bukan
kepayang. rok*k kusulut lagi, kuhisap terus dan kepulan asapnya hancur diterjang angin-
angin yang masuk melalui kaca mobilku yang terbuka.

Arak-arak ini semakin bereaksi saja. “Bangsat benar arak ini,” umpatku. Aku iseng
menyalakan dan memadamkan lampu kendaraanku ini, mengikuti irama khas dangdut yang
merasuk ke tubuhku begitu nikmat.

Ketika jari-jariku lincah memainkan tombol nyala-padam lampu, dan laju


kendaraanku yang kencang menerpa kabutkabut jalanan, aku seperti menabrak sesuatu.
Diikuti teriakan pula! Sontak saat itu pula kuinjak pedal rem sedalamdalamnya. Badanku
condong ke depan dan jidatku membentur keras stir sialan ini. Aku kaget dan gelisah, ketika
kulihat ternyata seorang anak kecil yang mengenakan mukena itu telah tergeletak beberapa
meter dari kendaraanku. Badannya bersimbah darah dan tak lagi berbentuk seperti tubuh
manusia pada umumnya. Merah itu terus mengalir deras dari tubuhnya. Mukena yang putih
kini benar-benar berwarna darah. Aku sangat takut dan bingung. Lalu kupacu mobil ini
sekencang-kencangnya, berbalik arah menuju rumahku. Si juragan pasti kecewa, tapi masa
bodoh dengan itu. Aku sangat panik, tolol, dan ketakutan sejadi-jadinya! “Sialan!”.

Sudah tujuh hari sejak kejadian itu. Aku mengurung diri di kamar. Bila pelanggan tiba,
kuteriak dan kusuruhnya mengambil sendiri arak dan meletakkan uang-uangnya ke saku
kulkas. Para pelanggan terheran dengan seisi rumahku yang kosong, semua kutukar untuk
uang, hanya menyisakan kulkas dan sisa-sisa beberapa botol arak. Aku tetap terbayang pada
wajah anak itu yang masih terus saja menghantui lamunanku setiap malam. Wajah yang lugu
itu menjadi begitu menakutkanku ketika terlintas di benakku dari kepalanya terus mengalir
darah. Dua hari yang lalu aku kembali mengunjungi tempat kejadian itu dengan motor
bututku. Masih membekas merah darah itu di jalan. Aku bertanya pada petani tua yang duduk
di sisi jalan:

“Permisi, ini darah bekas apa ya jika boleh saya tahu?” Tanyaku berpura-pura tak tahu.

“Maaf nak, bukannya aku tidak ingin menjawab,” tukas Pak Tua, suaranya parau,
“tetapi bila mengingat kejadian itu, aku benar-benar tak kuasa.”

“Memang kenapa pak?” tanyaku gundah. Sejenak orang itu menunduk. Melepaskan
cengkeraman pada cangkulnya. Terlihat mata itu tak lagi kuat membendung peluh yang
membanjir, terisak kemudian, lalu menjawab tanyaku seraya mengusap linangan air mata itu.

“Beberapa hari lalu, aku dan cucuku pergi untuk shalat subuh. Usai beribadah, aku
menantangnya berlari menuju ke rumah untuk segera menyantap nasi hangat dan ikan yang
telah kumasak sebelum bersembahyang ke masjid.” Hatiku terguncang, menebak-nebak.
Kutimpali pernyataan itu dengan tanya: “Lalu?” “Lalu karena cucuku berlari kencang, ia tak
sempat memperhatikan laju kendaraan di jalanan ini. Dan,” tetap menunduk dengan raut
wajah Pak Tua yang kian sedih, “semua itu terjadi. Kini benar-benar sebatang karalah aku.
Hidup dalam kesendirian. Semoga ia selalu bahagia. Bergabung dengan orang tuanya dan
istriku di surga.”

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya waktu ini juga aku ingin membuat
pengakuan, tetapi kuurungkan niatku karena aku tak ingin membuat kesedihan dan
amarahnya semakin memuncak. Setelah sedikit menenangkannya, aku berbalik menuju
kediamanku.

Runyam sekali hidupku. Pelik dan bodoh. Aku masih saja memandang orang-orang di
depan rumahku yang masih asyik dengan dunianya. Tak sama halnya dengan duniaku yang
kini muram dan kelabu.. Baru kali ini jiwaku terasa sangat teriris-iris karena mengingat wajah
itu. Wajah Pak Tani dan cucunya yang nahas itu. Seluruh hasil barang yang kujual
kuhibahkan padanya melalui Pak RT setempat. Tak usahlah Pak Tani mengetahui aku yang
tolol ini. Malah semakin menambah beban hidupnya saja.

Andai saja, oh andai saja. Apa lagi mau dikata?


“Woy turun kau cepat! Lepaskan tali itu dari lehermu!” Teriak si pemabuk reot
padaku. Kutimpali teriakan itu dengan senyum yang semu, lalu kutendang kursi di bawah
kakiku ini. Aku tergantung kuat, dadaku sesak. Aku meronta-ronta, tapi tali ini terlampau
beringas menjerat leher. Rasa-rasanya tepat di depan wajahku ada malaikat yang meringis
dan bertepuk tangan kegirangan menunggu saat-saat seperti ini. Seutas tali ini sedikit demi
sedikit menggesek kuat seutas nyawaku yang hanya tinggal menunggu putus saja. Semua
kedap, pandanganku pekat, hitam dan kelam menjadi sendu dan kian kelabu. Gelap.

No Struktur Teks Teks dalam Cerita Novel


Seorang pemabuk itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak rapi
dan bibirnya hitam legam akibat ribuan rok*k kretek yang
dihisapnya selama ia hidup. Dua kawannya berambut gondrong
1. Abstrak dan acak-acakan pula. Tiga manusia itu terus menenggak arak-
arak yang dituangkan ke sloki kecil dan dilemparkannya air-air
itu masuk dan mengalir melalui kerongkongan masing-masing
sambil bersulang sebelum ritualnya dimulai lambat-lambat.

Aku hanya diam, menatap mereka di balik kaca jendela


kamarku ini, di lantai dua rumahku yang mungil. Tak bosan
sedari tadi aku memandang jalan-jalan di depan kediamanku
yang dipenuhi oleh orang-orang yang bersuka-ria dengan air-air
dewa yang aku jual selama beberapa tahun lamanya sebagai
tonggak utama mata pencaharian. Aku hidup sendiri. Urusan
asmara bisa aku lampiaskan di rumah-rumah bord*l yang
remang-remang di sudut kota. Murah dan tanpa merana.

Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan yang wajahnya


dipoles sedemikian rupa sehingga mirip bungkusan permen
yang berlumur tanah. Wajah yang coklat itu dilapisi bedak. Dua
perempuan itu berambut panjang, sangat lurus seperti tangkai
2. Orientasi
sapu. Warna tangan dan leher serta kakinya sangat berbeda jauh
dengan wajah yang sangat mereka bangga-banggakan itu.
Hotpants dan kaos ketat si kupu-kupu malam itu membungkus
tiap lekuk-lekuk tubuh mereka, yang juga semakin
meyakinkanku bahwa mereka bak bungkusan permen yang
hidup. Dilumuri tanah juga tentunya.

Ada pula dua lelaki hidung belang yang membuka lebar-lebar


mulutnya. Tawanya terbahak-bahak. Entah apa yang mereka
semua sedang bicarakan. Aku bingung. Kulihat-lihat dua lelaki
itu sangat mirip. Aku sangat yakin mereka kembar. Hidungnya
aneh. Persis buah jambu air di depan rumah tetangga sebelahku.
Bibirnya sama-sama mengatup rok*k dengan bara merah di
ujungnya. Perutnya buncit karena air-air dewaku tak pernah
absen berkecipuk di lambungnya setiap akhir pekan. Pipinya
gempal dan bulat. Rambutnya pendek dan daun telinganya
lebar. Guratan-guratannya pun mirip. Pasti banyak orang yang
sukar mencari perbedaan di antara si kembar itu.

Mataku benar-benar buyar, pandanganku samar. Aku hanya


melihat remang lampu jalanan membentuk bulat cahaya di aspal
yang disorotinya. Pohon-pohon terlihat seperti bayangan,
direngkuh pekatnya kegelapan di pagi itu. Penglihatanku yang
buruk pagi ini bukan tanpa sebab. Semalam aku minum banyak
untuk menjamu kawan lamaku yang datang jauh dari luar kota.
Arak-arak yang kujual mengalir juga ke tenggorokanku dan
menendangnendang lambungku ini. Panas sekali, tapi nikmat.
Banyak orang yang bilang, “yang dilarang itu yang nikmat.”.
Ah, persetan dengan larangan-larangan.

Aku memperlambat laju kendaraanku untuk sejenak


menyalakan linting tembakau yang aku apit pada dua jariku.
3. Komplikasi
Kunyalakan pula musik supaya aku tetap terjaga, tidak menjauh
ke sisi jalan dan menabrak pohon-pohon. Aku mengangguk-
angguk mengikuti irama musik dangdut ini. Ketika jeda berhenti
pada pergantian lagu, kudengar sayup-sayup adzan
berkumandang. Beberapa unggas pun berkokok, tak mau kalah
dari nyaring suara si muadzin. Musik berlanjut, berdentum keras
di gendang telingaku, syahdu dan asyik bukan kepayang. rok*k
kusulut lagi, kuhisap terus dan kepulan asapnya hancur diterjang
angin-angin yang masuk melalui kaca mobilku yang terbuka.
Arak-arak ini semakin bereaksi saja. “Bangsat benar arak ini,”
umpatku. Aku iseng menyalakan dan memadamkan lampu
kendaraanku ini, mengikuti irama khas dangdut yang merasuk
ke tubuhku begitu nikmat.
Ketika jari-jariku lincah memainkan tombol nyala-padam
lampu, dan laju kendaraanku yang kencang menerpa kabutkabut
jalanan, aku seperti menabrak sesuatu. Diikuti teriakan pula!
Sontak saat itu pula kuinjak pedal rem sedalamdalamnya.
Badanku condong ke depan dan jidatku membentur keras stir
sialan ini. Aku kaget dan gelisah, ketika kulihat ternyata seorang
anak kecil yang mengenakan mukena itu telah tergeletak
4. Evaluasi beberapa meter dari kendaraanku. Badannya bersimbah darah
dan tak lagi berbentuk seperti tubuh manusia pada umumnya.
Merah itu terus mengalir deras dari tubuhnya. Mukena yang
putih kini benar-benar berwarna darah. Aku sangat takut dan
bingung. Lalu kupacu mobil ini sekencang-kencangnya,
berbalik arah menuju rumahku. Si juragan pasti kecewa, tapi
masa bodoh dengan itu. Aku sangat panik, tolol, dan ketakutan
sejadi-jadinya! “Sialan!”.
5. Resolusi Sudah tujuh hari sejak kejadian itu. Aku mengurung diri di
kamar. Bila pelanggan tiba, kuteriak dan kusuruhnya
mengambil sendiri arak dan meletakkan uang-uangnya ke saku
kulkas. Para pelanggan terheran dengan seisi rumahku yang
kosong, semua kutukar untuk uang, hanya menyisakan kulkas
dan sisa-sisa beberapa botol arak. Aku tetap terbayang pada
wajah anak itu yang masih terus saja menghantui lamunanku
setiap malam. Wajah yang lugu itu menjadi begitu
menakutkanku ketika terlintas di benakku dari kepalanya terus
mengalir darah. Dua hari yang lalu aku kembali mengunjungi
tempat kejadian itu dengan motor bututku. Masih membekas
merah darah itu di jalan. Aku bertanya pada petani tua yang
duduk di sisi jalan.

“Permisi, ini darah bekas apa ya jika boleh saya tahu?” Tanyaku
berpura-pura tak tahu. “Maaf nak, bukannya aku tidak ingin
menjawab,” tukas Pak Tua, suaranya parau, “tetapi bila
mengingat kejadian itu, aku benar-benar tak kuasa.”

“Memang kenapa pak?” tanyaku gundah. Sejenak orang itu


menunduk. Melepaskan cengkeraman pada cangkulnya. Terlihat
mata itu tak lagi kuat membendung peluh yang membanjir,
terisak kemudian, lalu menjawab tanyaku seraya mengusap
linangan air mata itu.

“Beberapa hari lalu, aku dan cucuku pergi untuk shalat subuh.
Usai beribadah, aku menantangnya berlari menuju ke rumah
untuk segera menyantap nasi hangat dan ikan yang telah
kumasak sebelum bersembahyang ke masjid.” Hatiku
terguncang, menebak-nebak. Kutimpali pernyataan itu dengan
tanya: “Lalu?” “Lalu karena cucuku berlari kencang, ia tak
sempat memperhatikan laju kendaraan di jalanan ini. Dan,”
tetap menunduk dengan raut wajah Pak Tua yang kian sedih,
“semua itu terjadi. Kini benar-benar sebatang karalah aku.
Hidup dalam kesendirian. Semoga ia selalu bahagia. Bergabung
dengan orang tuanya dan istriku di surga.”

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya waktu ini juga


aku ingin membuat pengakuan, tetapi kuurungkan niatku karena
aku tak ingin membuat kesedihan dan amarahnya semakin
memuncak. Setelah sedikit menenangkannya, aku berbalik
menuju kediamanku.
Runyam sekali hidupku. Pelik dan bodoh. Aku masih saja
memandang orang-orang di depan rumahku yang masih asyik
dengan dunianya. Tak sama halnya dengan duniaku yang kini
muram dan kelabu.. Baru kali ini jiwaku terasa sangat teriris-iris
6. Koda karena mengingat wajah itu. Wajah Pak Tani dan cucunya yang
nahas itu. Seluruh hasil barang yang kujual kuhibahkan padanya
melalui Pak RT setempat. Tak usahlah Pak Tani mengetahui
aku yang tolol ini. Malah semakin menambah beban hidupnya
saja. Andai saja, oh andai saja. Apa lagi mau dikata?
“Woy turun kau cepat! Lepaskan tali itu dari lehermu!” Teriak
si pemabuk reot padaku. Kutimpali teriakan itu dengan senyum
yang semu, lalu kutendang kursi di bawah kakiku ini. Aku
tergantung kuat, dadaku sesak. Aku meronta-ronta, tapi tali ini
terlampau beringas menjerat leher. Rasa-rasanya tepat di depan
wajahku ada malaikat yang meringis dan bertepuk tangan
kegirangan menunggu saat-saat seperti ini. Seutas tali ini sedikit
demi sedikit menggesek kuat seutas nyawaku yang hanya
tinggal menunggu putus saja. Semua kedap, pandanganku pekat,
hitam dan kelam menjadi sendu dan kian kelabu. Gelap.

Tema Novel

Kehidupan runyam seorang pemuda penjual arak.

Tokoh Penggalan Kalimat Novel Penokohan


Ketika jari-jariku lincah memainkan tombol nyala-padam
lampu, dan laju kendaraanku yang kencang menerpa
kabutkabut jalanan, aku seperti menabrak sesuatu. Diikuti
teriakan pula! Sontak saat itu pula kuinjak pedal rem
sedalam dalamnya. Aku kaget dan gelisah, ketika kulihat
ternyata seorang anak kecil yang mengenakan mukena itu
Tidak Bertanggung
Aku telah tergeletak beberapa meter dari kendaraanku.
Jawab
Badannya bersimbah darah dan tak lagi berbentuk seperti
tubuh manusia pada umumnya. Aku sangat takut dan
bingung. Lalu kupacu mobil ini sekencang-kencangnya,
berbalik arah menuju rumahku. Si juragan pasti kecewa,
tapi masa bodoh dengan itu.

“Maaf, Nak, bukannya aku tidak ingin menjawab,” tukas


Pak Tua, suaranya parau, “tetapi bila menginat kejadian
itu, aku benar-benar tak kuasa.” sejenak orang itu
Pak Tua menunduk. Melepaskan cengkraman pada cangkulnya. Penyayang
Terlihat mata itu tak kuat lagu membenung peluh yang
membanjir, terisak kemudia, lalu menjawab tanyaku
seraya mengusap linangan air mata itu.

No Latar Bukti
- Kamar
Bukti : Aku hanya diam, menatap mereka di balik
1. Tempat kaca jendela kamarku ini, di lantai dua rumahku
yang mungil.
- Jalanan
Bukti : Jalanan masih saja ramai lalu lalang
kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai
oleh para pemabuk dan perempuan panggilan.

- Gaduh
Bukti : Jalanan masih saja ramai lalu lalang kendaraan,
2. Suasana simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para pemabuk
dan perempuan panggilan.

- Malam Hari
Bukti : Terang rembulan kali ini begitu lembut
3. Waktu mencium manusia-manusia mereka itu dengan
cahayanya yang indah.

No Alur (Alur Campuran) Bukti


Seorang pemabuk itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak
rapi dan bibirnya hitam legam akibat ribuan rok*k kretek
yang dihisapnya selama ia hidup. Dua kawannya berambut
gondrong dan acak-acakan pula. Tiga manusia itu terus
1. Alur Maju
menenggak arak-arak yang dituangkan ke sloki kecil dan
dilemparkannya air-air itu masuk dan mengalir melalui
kerongkongan masing-masing sambil bersulang sebelum
ritualnya dimulai lambat-lambat.
Terang rembulan kali ini begitu lembut mencium manusia-
manusia merdeka itu dengan cahayanya yang indah.
Bintang-bintang berkelap-kelip, bertebaran dan terhampar
luas di langit yang gelap, kian menambah kilau keindahan
lengkung langit itu. Jalanan masih saja ramai lalu lalang
kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para
pemabuk dan perempuan panggilan. Derum dan bising
kendaraan benar-benar tak menganggu pikiranku yang
berkelana sangat jauh. Sungguh jauh jaraknya bagi setiap
orang, kecuali bagi setiap pikiran. Ya, pikiranku berkelana
ke masa lalu, tujuh hari lalu tepatnya. Sejenak aku masih
2. Alur Mundur
bimbang dan terus menimbang-nimbang. Pantaskah aku
melakukan ini?

Pagi itu, di pagi yang gelap dan buta, di mana fajar belum
memperlihatkan secercah cahayanya, aku sudah harus
menuju ke rumah juragan arak untuk memasok lebih
banyak lagi. Sendiri, dengan pick-up putihku. Kenapa jadi
aku yang menjemput air-air nista itu? Kemarin aku
menerima pesan singkat yang masuk ke ponselku. Ternyata
sang juragan sedang terkena demam berdarah. Jelas saja
nyamuk-nyamuk mau mengisap darahnya melalui kulit
yang berkerut itu, lingkungan rumahnya saja kumuh dan
kotor. Lebih mirip seperti gubuk-gubuk kambing. Sampah-
sampah, air yang keruh menghitam dan menggenang
dihiasi jentik-jentik nyamuk kecil yang berenang-renang ke
sana ke mari seperti anak-anak di wahana kolam renang.
Runyam sekali hidupku. Pelik dan bodoh. Aku masih saja
memandang orang-orang di depan rumahku yang masih
asyik dengan dunianya. Tak sama halnya dengan duniaku
yang kini muram dan kelabu.. Baru kali ini jiwaku terasa
sangat teriris-iris karena mengingat wajah itu. Wajah Pak
3. Alur Maju Tani dan cucunya yang nahas itu. Seluruh hasil barang
yang kujual kuhibahkan padanya melalui Pak RT setempat.
Tak usahlah Pak Tani mengetahui aku yang tolol ini.
Malah semakin menambah beban hidupnya saja.

Sudut Pandang Bukti


Pagi itu, di pagi yang gelap dan buta, di mana fajar belum
memperlihatkan secercah cahayanya, aku sudah harus
menuju ke rumah juragan arak untuk memasok lebih banyak
lagi. Sendiri, dengan pick-up putihku. Kenapa jadi aku yang
menjemput air-air nista itu? Kemarin aku menerima pesan
singkat yang masuk ke ponselku. Ternyata sang juragan
Orang Pertama sedang terkena demam berdarah. Jelas saja nyamuk-nyamuk
mau mengisap darahnya melalui kulit yang berkerut itu,
lingkungan rumahnya saja kumuh dan kotor. Lebih mirip
seperti gubuk-gubuk kambing. Sampah-sampah, air yang
keruh menghitam dan menggenang dihiasi jentik-jentik
nyamuk kecil yang berenang-renang ke sana ke mari seperti
anak-anak di wahana kolam renang.

Amanat
- Tatalah hidupmu dengan baik. Mengakhiri hidup bukanlah solusi terakhir. Ada Tuhan
bersama kita. Tuhan akan merangkul kita disaat kita tidak tahu kemana arah jalan
kita.
- Jadilah orang yang berani mempertanggung jawabkan segala perbuatan. Segala
perbuatanmu selalu dibuntuti oleh konsekuensinya.

Nilai Uraian Nilai


Jadilah orang yang bertanggung jawab, jangan seperti tokoh “Aku”
yang kabur saat menabrak gadis kecil sampai mati. Jangan juga
Moral
memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup disaat kalian kehilangan
arah.
Sosial Jangan suka minum alkohol karena tidak ada manfaatnya, justru
merugikan diri sendiri dan orang lain. Tokoh “aku” kesulitan melihat
karena efek mabuk sehingga tidak sengaja melindas gadis yang sedang
menyebrang.
Jangan jadikan mabuk dan bermain wanita sebagai budaya kita sehari-
hari. Kegiatan tersebut tidak ada gunanya. Hanya meghabiskan uang.
Pada cepren ini, diceritakan bahwa banyak sekali orang yang
Budaya
menghamburkan uangnya demi bermain di rumah bordil dan minum
arak. Tokoh “aku” juga sering mabuk untuk sekedar melepas rasa
penat.

No Ciri Kebahasaan Bukti


1. Nominalisasi - Jalanan masih saja ramai lalu lalang kendaraan,
simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para
pemabuk dan perempuan panggilan. (sufiks)
- Ketika jeda berhenti pada pergantian lagu,
kudengar sayup-sayup adzan berkumandang.
(konfiks)
- Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya
waktu ini juga aku ingin membuat pengakuan,
tetapi kuurungkan niatku karena aku tak ingin
membuat kesedihan dan amarahnya semakin
memuncak. (konfiks)
2. Konjungsi - Tak sama halnya dengan duniaku yang kini
muram dan kelabu. (atributif)
- Sudah tujuh hari sejak kejadian itu. (subordinatif
waktu)
- yang juga semakin meyakinkanku bahwa mereka
bak bungkusan permen yang hidup. (subordinatif
komplementasi)
- Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan
yang wajahnya dipoles sedemikian rupa sehingga
mirip bungkusan permen yang berlumur tanah.
(subordinatif hasil)

3. Kata Rujukan - Seorang pemabuk itu berwajah reot, rambutnya


ikal tidak rapi dan bibirnya hitam legam akibat
ribuan rok*k kretek yang dihisapnya selama ia
hidup.
- Penglihatanku yang buruk pagi ini bukan tanpa
sebab.
- Aku hanya diam, menatap mereka di balik kaca
jendela kamarku ini, di lantai dua rumahku yang
mungil.
4. Kata Kompleks - Tiga manusia itu terus menenggak arak-arak
yang dituangkan ke sloki kecil dan
dilemparkannya air-air itu masuk dan mengalir
melalui kerongkongan masing-masing sambil
bersulang sebelum ritualnya dimulai lambat-
lambat.
5. Kata Simpleks - Ada pula dua lelaki hidung belang yang
membuka lebar-lebar mulutnya.
6. Gaya bahasa - Tak bosan sedari tadi aku memandang jalan-jalan
di depan kediamanku yang dipenuhi oleh orang-
orang yang bersuka-ria dengan air-air dewa yang
aku jual selama beberapa tahun lamanya sebagai
tonggak utama mata pencaharian.
Penggalan cerpen di atas mengandung majas metafora
pada kata “air-air dewa”. Kata tersebut
mengumpamakan alkokol.

- Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan


yang wajahnya dipoles sedemikian rupa sehingga
mirip bungkusan permen yang berlumur tanah.
Penggalan cerpen dia atas mengandung majas simile
pada bagian “..mirip bungkusan permen yang berlumur
tanah” .
- Terang rembulan kali ini begitu lembut mencium
manusia-manusia merdeka itu dengan cahayanya
yang indah.
Penggalan cerpen di atas mengandung majas
personifikasi.

Anda mungkin juga menyukai