Anda di halaman 1dari 21

MenuCari

BerlanggananMasuk

CERPEN›MELATI
BEBAS AKSES CERPEN DIGITAL
Melati
Cuaca panas membuatku merana, daun meranggas, batang mengerut.

Berbeda dengan Cungkring, ia tetap hijau, batang dan rantingnya bergoyang-

goyang mengikuti embusan angin.

Oleh ALBERTHA TIRTA
30 Oktober 2021 12:16 WIB·11 menit baca
TEKS 
SUPRIYANTO

SUPRIYANTO

Penampilan bunga melati sangat sederhana. Ia tumbuh menyemak dengan

bunga putih mungil tidak menarik perhatian banyak orang. Namun,

darinya menguar bau wangi, mampu membuat banyak orang menghidu

menikmati aromanya. Ia menjadi pralambang kesucian, kesetiaan, dan

kesederhanaan. Mempelai akan menggunakan untaian bunganya. Di

daerah tertentu, pengantin pria akan mengenakan keris dengan untaian

bunga melati, sebagai lambang kesuburan, kesejahteraan, dan

kemakmuran. Sedangkan mempelai wanita, memasang untaian melati di

sanggul hingga menjuntai di dada, sebagai simbol kesucian, kesederhanaan

dan kebersihan hati.


”Melati!” panggil Cungkring sambil meliuk-liukkan ujung puncak batangnya.

Aku pura-pura tak mendengarnya. Ia sering kali mengolok-olok diriku.

Aku jengkel dan marah kepada pohon pinus yang berdiri tegak lurus

menjulang tinggi di sampingku. Tak heran aku memanggilnya Cungkring,

sesuai penampilannya.

Cuaca panas membuatku merana, daun meranggas, batang mengerut.

Berbeda dengan Cungkring, ia tetap hijau, batang dan rantingnya bergoyang-

goyang mengikuti embusan angin. Elukan daunnya seperti tarian ejekan yang

selalu dipertontonkan ke segenap penjuru di permakaman ini.

”Melati!” Sekali lagi Cungkring memanggilku.

”Bawel banget, sih! Berisik, tau!” jawabku ketus.

”Ha-ha-ha!” Cungkring tertawa lebar. ”Makanya, jadi pohon itu yang tinggi.

Semilir angin bisa dinikmati.”

”Tapi, kamu hanya buat sampah saja. Tiada guna!” jawabku makin ketus.

”Memang kamu berguna?”

”Pastilah! Area di sini bau bangkai. Dariku bisa menguar aroma wangi!”

”Aku tidak pernah mencium aroma wangimu?”


”Makanya, jangan terlalu cungkring!”

”Sudahlah, kalian selalu ribut. Nanti membangunkan yang terbaring di sini.”

Kemboja menengahi perdebatan kami.

Kami terdiam. Semua merasa segan dengan kemboja. Pohonnya rimbun dan

besar, bisa untuk bernaung dan bunganya wangi. Kemboja tidak pernah

memegahkan diri, tidak pula mau mencemooh yang lain. Ia selalu memberi

kedamaian bagi semua penghuni.

Beberapa orang datang ke permakaman, membawa peralatan untuk menggali

tanah. Mereka berjalan mendekati tempatku tumbuh. Aku sangat khawatir,

sering kali kegiatan mereka membuat bencana bagiku. Suatu hari, aku pernah

terimpit oleh lemparan tanah galian mereka. Aku sangat tersiksa tertindih

benda-benda yang berat. Aku berharap mereka melihatku, agar lemparan

tanah galian tidak menimpaku lagi.

Siang hari, ada suara sirene ambulans terdengar. Mobil bercat putih dengan

kilatan lampu di atasnya muncul di area permakaman, diikuti beberapa mobil

yang lain. Beberapa pelayat turun dari mobil berjalan menuju tempat tanah

yang baru saja digali. Mereka saling menjaga jarak, semuanya mengenakan

masker. Akhir-akhir ini, pelayat sangat sedikit, berbeda dengan zaman


dahulu, ribuan pengantar jenazah berduyun-duyun menghadiri pemakaman

orang yang meninggal dunia.

Banyak rangkaian bunga papan diturunkan. Disandarkan di pohon pinus.

Kulihat Cungkring tersenyum bangga. Aku cepat berpaling. Aku kurang

menyukai kalau ia memamerkan sesuatu yang bukan dari dirinya sendiri.

Keindahan yang hanya menempel sesaat.

Kulihat kran-kran bunga terangkai indah ditaruh di bawah pohon kemboja.

Kami mengagumi bunga casablanca yang putih, besar, dan wangi. Di bawah

naungan daun kemboja, keindahannya semakin terpancar. Aku sangat

terpesona.

Tanpa kusadari, rasa sakit menerpaku. Rupanya hak sepatu lancip

menusukku. Aku mengumpat di dalam hati. Mengapa ia melayat mengenakan

sepatu pesta dan berdiri jauh dari lubang kuburan? Ah, apa peduliku, yang

kurasakan hanya semakin menyakitkan. Untung hanya sebentar, ia menggeser

kakinya. Aku terbebas dari penderitaan meskipun sempat terluka.

***

Menurut pendapat teman-temanku, aku berada di lingkungan yang salah.

Seharusnya aku ada di halaman rumah atau pot. Lebih hebat lagi apabila
teruntai dalam roncean yang bagus, penghias mahkota pengantin atau

rangkaian bunga pajangan di tempat-tempat yang bersih dan indah.

Aku sampai ke permakaman ini ceritanya cukup panjang. Dahulu leluhurku

ditanam di pot yang indah, terbuat dari keramik yang mahal. Pemiliknya

memelihara dengan penuh perhatian, kapan harus dipupuk, disiram, dan

dipangkas selalu rutin dikerjakan. Ia merawat dengan teliti dan leluhurku

menghasilkan banyak kuntum bunga segar dan wangi.

Setiap bunga melati bermunculan memenuhi ujung-ujung batangnya, pot

akan ditempatkan di atas meja di teras rumah. Para tamu yang datang akan

mengagumi keindahannya. Pemiliknya seorang ibu muda yang baru satu

tahun menikah. Sangat menyenangi keharuman kuntum melati. Ke mana pun

pergi selalu ada kuntum bunga melati di genggamannya.

Nasib pemelihara leluhurku kurang beruntung. Ia meninggal dalam keadaan

mengandung anak pertamanya. Suami yang mengetahui kecintaan istrinya,

membawa leluhurku ke permakaman dan ditanam di atas pusaranya. Setiap

hari sepulang bekerja, ia selalu datang ke makam dan tak lupa menyiram

tanaman di atas pusara. Sebelum leluhurku pergi ia berpesan kepadaku,

”Kamu akan menjadi penjaga dan penghibur yang baik.” Aku menerima pesan

begitu saja tanpa memahami maksudnya.


Sore ini, suami dari yang dimakamkan di bawahku datang bersama wanita.

Raut wajahnya kusut. Ia lama berdoa di depan pusara. Beberapa waktu

kemudian merenggutku. Aku sangat terkejut. Ajalku akan tiba, pikirku.

Aku diletakkan di tempat minum di antara dua kursi depan mobilnya. Kulirik

wajahnya, matanya memerah. Ia beberapa kali menghela napas panjang.

Kemungkinan paru-parunya kekurangan udara. Sedang wanita yang duduk di

sampingnya mengelus punggungnya lembut.

”Sampai kapan kamu akan menyiksa dirimu seperti ini?” kata wanita itu.

Lelaki di sampingnya hanya melihat sekilas, kembali mengarahkan

pandangannya ke depan. Ia menggeleng dan mengembus napas dengan berat.

”Ini tidak bisa terus-menerus terjadi, apa jadinya hidupmu nanti?” Wanita itu

melanjutkan bicaranya. ”Masa depan masih panjang, kamu harus menata

ulang hidupmu.”

Suasana menjadi hening beberapa saat. Lelaki itu kemudian memukul-mukul

pelan kemudi mobil. Mengerucutkan mulutnya. Seolah-olah ingin menahan

diri untuk tidak berbicara.

”Nendra, camkan perkataanku!” lanjut wanita itu.

”Mbak Ratih, tolong pahami perasaanku.”


”Justru, aku bicara seperti ini karena sangat memahamimu.”

”Wina meninggal dengan bayi yang dikandung karena aku, Mbak.”

”Tidak! Mereka meninggal karena Wina menderita asma dan bayi yang di

kandung baru berumur tiga bulan, tidak mungkin bisa hidup kalau dilahirkan

dalam usia semuda itu.”

”Bukan, Mbak! Mereka meninggal karena virus yang kutularkan. Aku

pembawa Covid!”

”Buktinya kamu tetap sehat sampai sekarang! Sudahlah, jangan menghakimi

dirimu sendiri.”

Mereka akhirnya terdiam. Perjalanan yang ditempuh cukup panjang, tetapi

mereka sepertinya kehilangan selera untuk berbicara lagi.

Mobil di belokkan memasuki rumah mungil. Halamannya rapi, ditumbuhi

aneka bunga yang indah. Aku membayangkan leluhurku pernah tinggal di

situ. Tentunya sangat nyaman, bisa saling bercengkerama dengan aneka

bunga. Sebelum turun, Nendra mengambilku, ditaruh di telapak tangannya. Ia

sangat hati-hati memegangku, menjaga kelopakku agar tidak terkoyak, lalu

aku diletakkan di gelas yang berisi air jernih. Nendra membawaku ke kamar

tidurnya, kemudian menaruhnya di atas nakas. Ia segera keluar menemui


Ratih yang sudah duduk di sofa. Pintu kamar tetap terbuka dan aku bisa

melihat dan mendengar pembicaraan mereka.

”Kamu harus menata masa depan, tidak berlarut-larut dalam kesedihan,” kata

Ratih tajam.

”Hmmm!” desah Nendra.

”Tiga bulan sudah cukup kamu meratapi kepergiannya. Istrimu sudah bahagia

di sorga. Ia sedih melihat hidupmu berantakan seperti ini.”

”Tapi.”

”Tidak ada kata tapi lagi, Retno sangat cocok menjadi pendampingmu.”

”Apa? Tidak mungkin itu terjadi!”

”Kenapa tidak?”

”Maaf, Mbak! Saat ini aku tidak ingin membicarakan masalah ini. Aku ingin

berdamai dengan diriku. Entah lusa, seminggu, sebulan, setahun. Itu urusan

nanti. Tolong! Tinggalkan aku sendiri.”

”Kalau tidak ingat pesan almarhum orangtua kita, aku tidak akan peduli

dengan dirimu. Entah apa yang terjadi, dirimu lebih perasa daripada diriku.

Mungkin kamu dulu terlalu dilindungi karena umur kita berbeda jauh.”
Nendra hanya menunduk, kedua tangannya mengacak-acak dan meremas

rambutnya hingga berantakan. Ia kemudian menyandarkan punggungnya di

sofa. Matanya terpejam, helaan napasnya memburu.

Ratih bersidekap, matanya melotot lalu memalingkan muka sambil menghela

napas panjang. Ia bergeming. Nendra masih saja bersikap seperti semula, ia

mengacak-acak rambutnya, lalu berdiri dan berjalan menghampiri jendela.

Tangannya mencengkeram kusen jendela.

Beberapa saat kemudian Nendra membalikkan badan, menyandarkan

tubuhnya, dan tangannya bersidekap.

”Apa dasarnya aku harus menikahi Retno?”

"Masih tanya lagi! Untuk mengobati luka hatimu!"

”Apa? Retno harus berkorban untuk menyembuhkan aku? Oh, no!”

”Common Nendra, aku tidak punya banyak waktu untuk terus

mendampingimu. Aku punya keluarga yang harus kuurus. Bukalah hatimu

untuk wanita lain.”

”Tapi, kenapa harus Retno?”

”Biar kamu mudah menerima, mudah adaptasi.”


”Retno lain dengan Wina!”

”Apakah aku harus membeberkan satu per satu kesamaan mereka? Kakak-

beradik pasti banyak kesamaannya.”

”Itu yang membuatku semakin pilu.”

”Aku tidak akan berdebat lagi. Aku bulan depan akan ke sini dan berharap

kamu sudah membuat pilihan.”

Ratih masuk ke kamar sebentar kemudian ke luar sambil menarik koper

beroda. Tidak menunggu waktu lama mobil daring datang menjemputnya.

Nendra mengiringi kepergian kakaknya dengan tatapan sayu.

Sepeninggal kakaknya, Nendra segera pergi ke kamar mandi. Sewaktu muncul

di kamar wajahnya terlihat lebih segar, rambutnya basah. Aroma sabun

menguar harum. Aku memandangnya takjub. Manusia tampan sempurna,

tetapi entah apa yang dirasakan di dalam hatinya. Ia menuju ke pembaringan.

Nendra duduk di tempat tidur sambil memandangku lama, lalu membaui

aroma wangiku. Ia mengambilku dari gelas, kemudian meletakkan di atas

tempat tidur. Aku terguling tidak berdaya.

Nendra berbaring di sisiku. Matanya terus memandangiku tanpa henti. Sekali

lagi aku dicium lalu pelan-pelan ditaruh lagi ke dalam gelas. Kembali ia
memandangku dalam waktu cukup lama, kemudian matanya mulai meredup

dan dengkur halus mulai terdengar, tarikan napasnya teratur. Aku baru

memahami pesan leluhurku untuk menjadi penjaga dan penghibur

pemeliharaku.

***

Pagi hari, Nendra bangun tidur langsung menatapku lagi. Ia menutup

wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian mengembuskan napasnya kuat.

Ia meraih gelas di mana aku berada lalu menjumputku pelan, seolah-olah

takut melukai kelopakku. Nendra meletakkan aku di atas tisu, membungkusku

dengan hati-hati agar kelopakku tidak terlipat, akhirnya ia memasukkan ke

dalam dompet. Aku pasrah.

Hari ini, Nendra pergi mengendarai mobilnya pelan. Ia memutar musik

instrumental yang mengalun tenang. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson, ia

langsung menginjak rem, terasa ada guncangan dan suara benturan mobil

dengan benda keras. Nendra segera keluar dari mobil. Terjadi berdebatan seru

antara Nendra dengan seorang lelaki. Mereka terdiam setelah Nendra

mengeluarkan beberapa lembaran merah dari dompet dan menyerahkan

kepada pendebatnya.
Aku meringkuk di dalam dompet di saku celananya. Meskipun pengap, aku

tidak merasa tersiksa. Entah mengapa aku merasa nyaman saja bergelung di

dalamnya.

Tidak lama kemudian, mobil berhenti dan mesinnya dimatikan.

”Selamat pagi, Pak,” sapa wanita bersuara lembut.

”Pagi, Santi. Tolong pesankan bubur ayam untuk sarapan, ya!” jawab Nendra.

”Baik, Pak. Tanpa kecap, tetapi cakwenya banyak, kan?”

”Oke, sudah hapal, ya?”

”Kalau tidak tahu, ntar Bapak memecat saya. Sekretaris macam apa pula!”

Terdengar mereka tertawa berderai, aku pun ikut senang. Entah mengapa

kalau mendengar Nendra gembira, aku pun ikut riang.

Bunyi pintu dibuka dan ditutup kembali. Suara roda kursi bergeser, Nendra

meletakkan pantatnya di kursi. Bunyi kemeresek kertas dibuka lalu hening

cukup lama. Beberapa saat kemudian ada suara ketukan di pintu.

”Masuk!” Nendra mempersilakan.

”Pesanannya, ya, Pak!”


”Terima kasih, ya.” Nendra mengambil dompet lalu mengambil selembar uang

kemudian diangsurkan ke Santi. ”Kembaliannya untukmu.”

”Sering-sering, Pak. Makasih!” Santi menerima uang berwarna biru,

menciumnya lalu mengipas-ngipas uang itu diiringi tawa renyah. Nendra pun

ikut tertawa sambil berkata,

”Tuman!” Kembali pecah tawa mereka.

Nendra lahap menyantap bubur yang masih sedikit mengeluarkan uap. Dari

kemarin ia belum mengisi perutnya. Hari ini rupanya ia balas dendam

menebus puasa yang tidak disengaja.

***

Sebulan telah berlalu, kelopakku mulai mengering berwarna kecoklatan.

Aroma wangi sudah luntur. Aku merasa tidak berguna lagi. Nendra sudah

tidak peduli lagi, tetapi aku dibiarkan meringkuk di sudut dompetnya.

Nendra sekarang sudah ada teman berbincang. Sering kali sehabis bekerja, ia

sudah tidak lagi pergi ke kuburan istrinya, tetapi sering bepergian dengan

seorang wanita bersuara halus. Beberapa kali aku tidak bisa mendengar

percakapan mereka, terlalu lirih mereka berbicara. Aku menjadi penasaran

ingin menguping, tetapi selalu gagal.


Suatu sore, Ratih datang bersama suami dan kedua anaknya. Mereka terlibat

pembicaraan yang serius.

”Bagaimana Nendra, sudah mengambil keputusan?” Ratih bertanya tegas.

”Sudah, Mbak!”

”Lega rasanya mendengar jawabanmu. Besok kita sama-sama ke makam

istrimu untuk meminta restu.”

”Baik, Mbak.”

Aku ikut lega mendengar jawaban Nendra, tugasku menemaninya hampir

purna. Aku merasa puas menjalani hidup, membuat pemeliharaku bisa

melewati masa-masa sulit dan akan menyongsong kebahagiaan.

Esoknya, mereka berlima sarapan dengan riang. Masakan nasi goreng Ratih

cukup menggugah selera mereka. Canda ria saling terlontar memulihkan

suasana akrab yang sempat merenggang semenjak kematian istri Nendra.

”Aku menjemput calonku dulu, langsung ke makam. Nanti kita bertemu di

situ, ya, Mbak?”

”Baik, kami seperempat jam lagi berangkat. Waktunya pas, kan? Kunci pintu

saya taruh seperti biasa.”


”Kalau jalanan lancar akan pas, Mbak. Oke! Sampai ketemu nanti.”

Nendra melangkah ringan menuju garasi. Derum mobil terdengar pelan-pelan

menjauh dari rumah yang telah beberapa tahun dihuninya.

Baca juga : Nyentana 

Setelah Nendra menjemput wanita bersuara halus, mereka segera melaju ke

arah permakaman. Ratih dan keluarganya sudah sampai lebih dahulu. Nendra

segera mengajak calonnya mendekati mereka. Terdengar suara Ratih terbata-

bata.

”Nen-dra, ma-na Ret-no?”

Nendra tidak mengacuhkan pertanyaan kakaknya, langsung memperkenalkan

wanita yang mengiringi langkahnya.

”Ini, Santi, Mbak. Ia akan mendampingiku di kantor maupun di rumah.”

Tidak ada percakapan maupun perdebatan lagi. Semua membisu. Setelah

selesai menabur bunga di atas pusara, mereka satu per satu meninggalkan

area permakaman dalam diam, tinggal Nendra dan Santi.

”Pulanglah, San. Terima kasih mau ikut dalam permainan ini.”


Tanpa banyak bertanya lagi Santi berjalan keluar area permakaman. Nendra

mengambil dompetnya, mengeluarkan bungkusan tisu, lalu dibuka. Beberapa

saat kemudian ia berlutut. Wajahku sudah menghitam. Nendra menatapku

lama lalu menangis tersedu sambil tetap menyanggaku. Ia menyebut nama

istrinya di antara sedu-sedan tangisnya. Setelah reda tangisnya, Nendra

mengais tanah di pusara istrinya lalu menguburku di situ.

Jakarta, 26 Septemberi 2021

***

Albertha Tirta, lahir di Solo 13 November. Karyanya berupa artikel pernah

diterbitkan di majalah bulanan Intisari dan harian Tribun Jabar, cerpen di

majalah mingguan Hidup, buku novela dr Nina dan beberapa buku Antologi

cerpen, Pentigraf, Penagraf, Cerdu, serta Haiku. Dia seorang karyawan

swasta yang memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan travelling.

Editor: MARIA SUSY BERINDRA


Bagikan
cerita pendekcerpen digitalcerpen kompas
KOMENTAR PEMBACA
Belum ada komentar.
ARTIKEL TERKAIT
Harapan Medali Olimpiade dari Praveen/Melati Kandas
28 Juli 2021
Melati Wijsen Suka Nasi
7 Agustus 2021
Penampilan Stagnan Praveen/Melati
30 Oktober 2021
Tantangan Unik Olimpiade Tokyo 2020
8 Juli 2021
Melati Harus Imbangi Permainan Praveen
23 September 2021
Badminton Olimpiade, Mariska Terus Melaju, Praveen/Melati Terhenti
28 Juli 2021
Terpopuler

Dieng Culture Festival 2021 Kembali Digelar Virtual

1 November 2021

 BEBAS AKSES

Menyamar demi Mewawancarai Peretas Situs Pemerintah

31 Oktober 2021

 BEBAS AKSES

Indonesia Lepas dari Pandemi Menuju Endemi

1 November 2021

 BEBAS AKSES

Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah


1 November 2021

Tampilkan Keberagaman Indonesia pada Film

1 November 2021

LAINNYA DALAM CERPEN


Metamorfosa Rosa
31 Oktober 2021
Melati
30 Oktober 2021
Nyentana
28 Oktober 2021
Mila Karakas
24 Oktober 2021
Bolos
23 Oktober 2021
Kecemasan Bibit Padi
21 Oktober 2021
Terbaru

 BEBAS AKSES

Menghapus Jejak Timbal di RPTRA Jakarta

1 November 2021

 BEBAS AKSES
Indonesia Lepas dari Pandemi Menuju Endemi

1 November 2021

Sejenak Mencecap Sensasi Liburan ”Sultan” di Pulau Bintan

1 November 2021

Dieng Culture Festival 2021 Kembali Digelar Virtual

1 November 2021

Health Ethics during the Pandemic

1 November 2021

LAYANANPELANGGAN
KOMPAS KRING
+6221 2567 6000
EMAIL
hotline@kompas.id
WHATSAPP
+62812 900 50 800
JAM KERJA
06.00 - 16.00 WIB

Harian Kompas adalah surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta.
Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan
bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang didirikan oleh P.K.
Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama sejak 28 Juni 1965.
Mengusung semboyan "Amanat Hati Nurani Rakyat", Kompas dikenal
sebagai sumber informasi tepercaya, akurat, dan mendalam.

@hariankompas
@hariankompas
@hariankompas
Harian Kompas
KANTOR REDAKSI
Gedung Kompas Gramedia
Jalan Palmerah Selatan 26-28,
DKI Jakarta, Indonesia
10270
+6221 5347 710+6221 5347 720+6221 5347 730+6221 530 2200
KANTOR IKLAN
Menara Kompas Lantai 2
Jalan Palmerah Selatan 21
Jakarta Pusat, DKI Jakarta,
Indonesia 10270
+6221 8062 6699

PRODUK

ePaperKompas.IdInteraktifKompas Data

BISNIS

AdvertorialGeraiEventKlasikaTarifKlasiloka

TENTANG

Profil PerusahaanSejarahOrganisasi

LAINNYA

Bantuan

© PT Kompas Media Nusantara


Organisasi
Tanya Jawab
Hubungi Kami
Sidik Gangguan
Pedoman Media Siber
Syarat & Ketentuan
Karier IklanBerlangganan

Anda mungkin juga menyukai