BerlanggananMasuk
›
CERPEN›MELATI
BEBAS AKSES CERPEN DIGITAL
Melati
Cuaca panas membuatku merana, daun meranggas, batang mengerut.
Oleh ALBERTHA TIRTA
30 Oktober 2021 12:16 WIB·11 menit baca
TEKS
SUPRIYANTO
SUPRIYANTO
Aku jengkel dan marah kepada pohon pinus yang berdiri tegak lurus
sesuai penampilannya.
goyang mengikuti embusan angin. Elukan daunnya seperti tarian ejekan yang
”Ha-ha-ha!” Cungkring tertawa lebar. ”Makanya, jadi pohon itu yang tinggi.
”Tapi, kamu hanya buat sampah saja. Tiada guna!” jawabku makin ketus.
”Pastilah! Area di sini bau bangkai. Dariku bisa menguar aroma wangi!”
Kami terdiam. Semua merasa segan dengan kemboja. Pohonnya rimbun dan
besar, bisa untuk bernaung dan bunganya wangi. Kemboja tidak pernah
memegahkan diri, tidak pula mau mencemooh yang lain. Ia selalu memberi
sering kali kegiatan mereka membuat bencana bagiku. Suatu hari, aku pernah
terimpit oleh lemparan tanah galian mereka. Aku sangat tersiksa tertindih
Siang hari, ada suara sirene ambulans terdengar. Mobil bercat putih dengan
yang lain. Beberapa pelayat turun dari mobil berjalan menuju tempat tanah
yang baru saja digali. Mereka saling menjaga jarak, semuanya mengenakan
terpesona.
sepatu pesta dan berdiri jauh dari lubang kuburan? Ah, apa peduliku, yang
***
Seharusnya aku ada di halaman rumah atau pot. Lebih hebat lagi apabila
teruntai dalam roncean yang bagus, penghias mahkota pengantin atau
ditanam di pot yang indah, terbuat dari keramik yang mahal. Pemiliknya
akan ditempatkan di atas meja di teras rumah. Para tamu yang datang akan
hari sepulang bekerja, ia selalu datang ke makam dan tak lupa menyiram
”Kamu akan menjadi penjaga dan penghibur yang baik.” Aku menerima pesan
Aku diletakkan di tempat minum di antara dua kursi depan mobilnya. Kulirik
”Sampai kapan kamu akan menyiksa dirimu seperti ini?” kata wanita itu.
”Ini tidak bisa terus-menerus terjadi, apa jadinya hidupmu nanti?” Wanita itu
ulang hidupmu.”
”Tidak! Mereka meninggal karena Wina menderita asma dan bayi yang di
kandung baru berumur tiga bulan, tidak mungkin bisa hidup kalau dilahirkan
pembawa Covid!”
dirimu sendiri.”
aku diletakkan di gelas yang berisi air jernih. Nendra membawaku ke kamar
”Kamu harus menata masa depan, tidak berlarut-larut dalam kesedihan,” kata
Ratih tajam.
”Tiga bulan sudah cukup kamu meratapi kepergiannya. Istrimu sudah bahagia
”Tapi.”
”Tidak ada kata tapi lagi, Retno sangat cocok menjadi pendampingmu.”
”Kenapa tidak?”
”Maaf, Mbak! Saat ini aku tidak ingin membicarakan masalah ini. Aku ingin
berdamai dengan diriku. Entah lusa, seminggu, sebulan, setahun. Itu urusan
”Kalau tidak ingat pesan almarhum orangtua kita, aku tidak akan peduli
dengan dirimu. Entah apa yang terjadi, dirimu lebih perasa daripada diriku.
Mungkin kamu dulu terlalu dilindungi karena umur kita berbeda jauh.”
Nendra hanya menunduk, kedua tangannya mengacak-acak dan meremas
”Apakah aku harus membeberkan satu per satu kesamaan mereka? Kakak-
”Aku tidak akan berdebat lagi. Aku bulan depan akan ke sini dan berharap
lagi aku dicium lalu pelan-pelan ditaruh lagi ke dalam gelas. Kembali ia
memandangku dalam waktu cukup lama, kemudian matanya mulai meredup
dan dengkur halus mulai terdengar, tarikan napasnya teratur. Aku baru
pemeliharaku.
***
langsung menginjak rem, terasa ada guncangan dan suara benturan mobil
dengan benda keras. Nendra segera keluar dari mobil. Terjadi berdebatan seru
kepada pendebatnya.
Aku meringkuk di dalam dompet di saku celananya. Meskipun pengap, aku
tidak merasa tersiksa. Entah mengapa aku merasa nyaman saja bergelung di
dalamnya.
”Pagi, Santi. Tolong pesankan bubur ayam untuk sarapan, ya!” jawab Nendra.
Terdengar mereka tertawa berderai, aku pun ikut senang. Entah mengapa
Bunyi pintu dibuka dan ditutup kembali. Suara roda kursi bergeser, Nendra
menciumnya lalu mengipas-ngipas uang itu diiringi tawa renyah. Nendra pun
Nendra lahap menyantap bubur yang masih sedikit mengeluarkan uap. Dari
***
Aroma wangi sudah luntur. Aku merasa tidak berguna lagi. Nendra sudah
Nendra sekarang sudah ada teman berbincang. Sering kali sehabis bekerja, ia
sudah tidak lagi pergi ke kuburan istrinya, tetapi sering bepergian dengan
seorang wanita bersuara halus. Beberapa kali aku tidak bisa mendengar
”Sudah, Mbak!”
”Baik, Mbak.”
Esoknya, mereka berlima sarapan dengan riang. Masakan nasi goreng Ratih
”Baik, kami seperempat jam lagi berangkat. Waktunya pas, kan? Kunci pintu
arah permakaman. Ratih dan keluarganya sudah sampai lebih dahulu. Nendra
bata.
selesai menabur bunga di atas pusara, mereka satu per satu meninggalkan
***
1 November 2021
BEBAS AKSES
31 Oktober 2021
BEBAS AKSES
1 November 2021
BEBAS AKSES
1 November 2021
BEBAS AKSES
1 November 2021
BEBAS AKSES
Indonesia Lepas dari Pandemi Menuju Endemi
1 November 2021
1 November 2021
1 November 2021
1 November 2021
LAYANANPELANGGAN
KOMPAS KRING
+6221 2567 6000
EMAIL
hotline@kompas.id
WHATSAPP
+62812 900 50 800
JAM KERJA
06.00 - 16.00 WIB
Harian Kompas adalah surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta.
Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan
bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang didirikan oleh P.K.
Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama sejak 28 Juni 1965.
Mengusung semboyan "Amanat Hati Nurani Rakyat", Kompas dikenal
sebagai sumber informasi tepercaya, akurat, dan mendalam.
@hariankompas
@hariankompas
@hariankompas
Harian Kompas
KANTOR REDAKSI
Gedung Kompas Gramedia
Jalan Palmerah Selatan 26-28,
DKI Jakarta, Indonesia
10270
+6221 5347 710+6221 5347 720+6221 5347 730+6221 530 2200
KANTOR IKLAN
Menara Kompas Lantai 2
Jalan Palmerah Selatan 21
Jakarta Pusat, DKI Jakarta,
Indonesia 10270
+6221 8062 6699
PRODUK
ePaperKompas.IdInteraktifKompas Data
BISNIS
AdvertorialGeraiEventKlasikaTarifKlasiloka
TENTANG
Profil PerusahaanSejarahOrganisasi
LAINNYA
Bantuan