Anda di halaman 1dari 13

MenuCari

BerlanggananMasuk

CERPEN›NYENTANA
BEBAS AKSES CERPEN DIGITAL
Nyentana
Ratih tetap mematung, sebenarnya dia rindu sekali pulang ke desa. Rindu

bertemu bapak yang telah menua, yang telah pensiun lima tahun lalu. Akan

tetapi, niat itu selalu dia urungkan.

Oleh NI WAYAN WIJAYANTI


28 Oktober 2021 15:40 WIB·6 menit baca
TEKS 

Gerimis kecil sudah reda sejam yang lalu, tapi di Sabtu pagi itu Ratih tetap

berdiam di mes yang disediakan kantor tempatnya bekerja sendirian.

Padahal, teman-teman mesnya yang lain sudah pulang ke rumah mereka

masing-masing sejak kemarin sore.

Ratih tetap mematung, sebenarnya dia rindu sekali pulang ke desa. Rindu

bertemu bapak yang telah menua, yang telah pensiun lima tahun lalu. Akan

tetapi, niat itu selalu dia urungkan.

”Pulanglah nak…. Bapak ingin mengajakmu sembahyang ke Tirta Empul!”

suara bapak terdengar di seberang telepon. Ratih mengangguk mengiyakan.

Sudah berkali-kali dia menolak ajakan bapak untuk pergi ke Pura Tirta

Empul. Pura dengan mata airnya yang sejuk, dikelilingi lembah dengan sungai
suci Pakerisan mengalir di bawahnya. Sudah berkali-kali pula dia menolak

untuk pulang. Namun, kali ini terdengar jelas suara bapak memohon.

Hatinya luluh. Dia segera melangkah ke parkiran mes dengan membawa

beberapa helai pakaian untuk pulang. Jarak mes yang disediakan kantornya

dengan desa tempat tinggal bapak hanya ditempuh sekitar satu jam

mengendarai motor, memang tidak terlalu jauh. Namun, dia lebih baik

memilih tinggal di mes daripada di rumah bersama bapak.

Lagi pula dia tidak betah tinggal di rumah semenjak kepergian ibu. Rumah

terasa kosong bagai neraka yang sunyi, hanya menyisakan pertengkaran demi

pertengkaran tak berujung antara dirinya dan bapak.

”Ratih, bapak hanya punya kamu…,” suara bapak terngiang kembali di

ingatannya meski sudah berusaha dia tepis.

”Tapi aku tidak mau putus dengan Widi, Pak. Aku tidak suka laki-laki yang

bapak jodohkan!” sahut Ratih waktu itu dengan nada tegas.

”Tapi pacar kamu itu, tidak bisa nyentana! Siapa yang nanti melanjutkan garis

keturunan bapak?! Ke mana nanti atma bapak harus bergantung?! Tidak juga

kamu pikirkan mendiang ibumu hanya demi cintamu pada dia?” bapak

setengah berteriak.
”Ratih kira Bapak akan ikut bahagia jika Ratih bahagia!” Nada Ratih

meninggi, napasnya sesak membayangkan harus memutuskan hubungan

dengan laki-laki yang dia cintai.

Tapi pacar kamu itu, tidak bisa nyentana! Siapa yang nanti melanjutkan
garis keturunan bapak? Ke mana nanti atma bapak harus bergantung?
Tidak juga kamu pikirkan mendiang ibumu hanya demi cintamu pada dia!

”Kamu tidak akan bahagia jika kamu tinggalkan laluhurmu. Ingat tanggung

jawabmu adalah untuk mengabdi kepada leluhur di keluarga ini, tidak bisa

kamu tinggalkan begitu saja! Ratih, bapak hanya punya kamu…,” sahut bapak.

”Bukan mau Ratih dilahirkan. Bukan mau Ratih dilahirkan menjadi anak

bapak dan menanggung semua ini! Ratih hanya ingin bahagia dengan pilihan

Ratih…. Seumur hidup terlalu lama bagi Ratih untuk hidup dengan laki-laki

yang tidak Ratih cintai…. Ratih mohon Pak….” Mata Ratih berkaca-kaca,

sebentar saja rasanya tangisnya akan pecah.

”Cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, kepada siapa saja…,” ujar

Bapak dengan nada tajam.

Ratih menggigit bibir, percuma dia teruskan pertengkaran ini, tidak akan

pernah ada penyelesaiannya. Dengan mata nanar dipandangnya langit

berharap ada yang memeluknya dari atas sana. Menghilangkan segala


kegundahan yang dia rasakan. Namun, tak ada seorang pun datang untuk

memahami, bahkan sampai air matanya terkeringkan sendiri oleh angin.

Dalam tradisi Bali yang menganut budaya patriarki, mengharuskan

perempuan yang menikah, untuk ikut garis keturunan suami. Meninggalkan

rumah, kasta, ataupun warisan mereka demi masuk ke rumah keluarga laki-

laki dan ikut kasta keluarga laki-laki sehingga akan menjadi sangat berat, jika

suatu saat sebuah keluarga hanya mempunyai anak perempuan karena itu

artinya anak-anak perempuan itu harus menikah keluar. Jika hal itu terjadi,

keluarga tersebut dianggap buntung tanpa memiliki penerus garis keturunan.

Hal ini seolah mengesankan bahwa kewajiban perempuan Bali adalah

melahirkan anak laki-laki! Perempuan Bali akan disalahkan dan dianggap

gagal jika hanya mampu melahirkan anak perempuan. Termasuk apa yang

terjadi pada mendiang ibu Ratih dulu, yang hanya bisa memberi seorang anak

perempuan kepada keluarga suaminya.

Namun, ada beberapa daerah yang menerapkan sistem perkawinan nyentana,

yaitu laki-laki masuk ke rumah sang istri, melanjutkan garis keturunan dari

keluarga istri. Dalam sistem perkawinan nyentana ini, status laki-laki

dianggap selayaknya perempuan, begitu pun sebaliknya.


Dalam budaya patriarki di mana derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan

dengan perempuan, menikah dengan sistem nyentana ini masih dianggap

hina dan sulit diterima masyarakat sehingga jarang para orangtua

mengizinkan anak laki-lakinya nyentana sekalipun mereka mempunyai anak

laki-laki lebih dari satu.

Tidak banyak dari para perempuan Bali terlahir tanpa saudara laki-laki, yang

beruntung mendapatkan kekasih yang dengan kerelaan hatinya bersedia

nyentana seperti apa yang para perempuan ini harapkan.

Para perempuan yang tidak beruntung ini biasanya harus dihadapkan pada

dua pilihan: putus dengan kekasih yang mereka cintai dan menerima

perjodohan dengan siapa saja laki-laki pilihan orangtua yang bersedia

nyentana, atau mempertahankan hubungan dengan sang kekasih yang

kemudian berujung harus meninggalkan orangtua berikut segala yang mereka

miliki.

Apa pun di antara kedua pilihan tersebut bagi mereka yang diharuskan

memilih, terasa seperti menggenggam mata pisau belati dengan erat di kedua

tangan, akan terasa sama-sama perih, akan terasa sama-sama berdarah.

Sungguh, budaya patriarki ini hanya tentang pengorbanan perasaan

perempuan.
Denting genta berirama dengan lantunan doa dalam kepulan asap dupa yang

syahdu di pura Tirta Empul, tak dapat meredakan kebimbangan yang Ratih

rasakan. Ratih berlari meninggalkan bapaknya yang sedang dengan kusyuk

berdoa, menuju lembah yang di bawahnya di mana mengalir sungai Pakerisan

tidak jauh dari pura. Menenangkan segala pikirannya yang berkecamuk

semakin tidak karuan.

Dia begitu mencintai Widi, kekasih yang dia kenal semenjak menginjak

bangku pertama di perkuliahan hingga kini hubungan keduanya telah

menginjak usia tujuh tahun dan masing-masing dari mereka sudah bekerja.

Di matanya, Widi adalah sosok laki-laki sempurna. Dia baik, pekerja keras,

dan yang terpenting Widi memperlakukan Ratih dengan tulus. Hari-hari

mereka berjalan dengan sangat indah, hingga suatu hari Widi berkata ”Maaf…

aku tidak bisa nyentana… Orangtuaku tidak memberi restu.”

Ratih tercekat tidak bisa berkata apa-apa, hanya saja air matanya yang

mengenang sudah lebih dari cukup untuk mengisyaratkan betapa hancur

hatinya. Widi hanya bisa memeluknya erat dalam tangis diam. ”Aku sayang

kamu…,” hanya itu yang keluar dari bibir Ratih kala itu.

Baca Juga: Kecemasan Bibit Padi


”Hyang Widhi, sebetulnya tiyang lelah … sudah berkali-kali tiyang mencintai

laki-laki baik, tetapi harus tiyang lepaskan. Jatuh cinta bagi tiyang tidaklah

mudah, berhenti mencintai orang yang tiyang sayangi pun demikian sulitnya…

Sungguh tiyang tidak bisa memilih. Kedua-duanya berat bagi tiyang, tanpa

tahu ujungnya harus kemana….” Ratih terisak dalam pengaduannya kepada

Sang Sunyi.

”Tidakkah semua cukup sampai di sini? Maafkan jika tiyang harus melangkah

seperti ini… Jika seandainya benar ada kesempatan hidup sekali lagi,

alangkah senang jika tiyang dapat bahagia. Seperti kupu-kupu yang meski

hidupnya singkat, tetapi dia bebas menggapai langit…. Tidak terkurung

seperti jiwa yang ada disini…”.

Air mata Ratih jatuh. Kali ini dia tidak sendirian, gemericik sungai Pakerisan

yang deras seakan menyahutkan segala pengaduannya untuk datang.

Bagaimanapun yang dia pilih, sungai tetap akan bermuara ke samudra yang

tak terbatas, yang mampu membersihkan segala dosa. Seolah mampu

memberikan kebebasan pada jiwa-jiwa mereka yang terikat untuk tenggelam

dalam keperkasaannya, oh Baruna!

Ratih tersenyum menengadah ke langit, hati kecilnya memohon

pengampunan.
Dari kejauhan tampak kepulan asap dupa, menangkap lantun suara doa

mengiringi dentingan genta. Dia pun menjatuhkan diri kepangkuan pertiwi,

menghirup napas sejenak untuk merasakan kebebasan yang utuh. Hingga

akhirnya semua berakhir dalam riak sungai Pakerisan yang bertemu batu

padas, ikut bermuara menuju Sang Baruna yang tiada batas.

Terdengar teriakan Bapak yang memanggil namanya berulang kali. Namun,

semua itu, telah terlambat. ”Ratih, Bapak hanya punya kamu…”.

Ubud, 15 September 2021

Nyentana: Tradisi meminta lelaki menjadi pewaris di pihak perempuan.

Atma: Roh atau jiwa.

Tiyang: saya

***

Penulis

Ni Wayan Wijayanti, lahir di kota seni Gianyar-Bali pada 30 April 1994.

Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Saat ini aktif sebagai

Online Sales and Marketing disalah satu penginapan yang berlokasi di wilayah

Ubud-Bali.
Editor: MARIA SUSY BERINDRA
Bagikan
sastraminatcerita pendekcerpencerpen digitalcerpen kompas
KOMENTAR PEMBACA
Belum ada komentar.
ARTIKEL TERKAIT
Sejenak Mencecap Sensasi Liburan ”Sultan” di Pulau Bintan
1 November 2021
Daerah Diharapkan Memperkuat Aspek Mitigasi Bencana
1 November 2021
Pesawat Pengebom Supersonik AS Gertak Iran, Unjuk Kekuatan di Teluk Persia
1 November 2021
PRT Penyangga Kehidupan Modern
1 November 2021
Keuskupan Timika Serukan Gencatan Senjata di Intan Jaya
31 Oktober 2021
Pandemi Melandai, Sentra Wisata Kuliner Surabaya Diyakini Bangkit
31 Oktober 2021
Terpopuler

Dieng Culture Festival 2021 Kembali Digelar Virtual

1 November 2021

 BEBAS AKSES

Menyamar demi Mewawancarai Peretas Situs Pemerintah

31 Oktober 2021

 BEBAS AKSES
Indonesia Lepas dari Pandemi Menuju Endemi

1 November 2021

 BEBAS AKSES

Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah

1 November 2021

Tampilkan Keberagaman Indonesia pada Film

1 November 2021

LAINNYA DALAM CERPEN


Metamorfosa Rosa
31 Oktober 2021
Melati
30 Oktober 2021
Nyentana
28 Oktober 2021
Mila Karakas
24 Oktober 2021
Bolos
23 Oktober 2021
Kecemasan Bibit Padi
21 Oktober 2021
Terbaru

 BEBAS AKSES
Menghapus Jejak Timbal di RPTRA Jakarta

1 November 2021

 BEBAS AKSES

Indonesia Lepas dari Pandemi Menuju Endemi

1 November 2021

Sejenak Mencecap Sensasi Liburan ”Sultan” di Pulau Bintan

1 November 2021

Dieng Culture Festival 2021 Kembali Digelar Virtual

1 November 2021

Health Ethics during the Pandemic

1 November 2021

LAYANANPELANGGAN
KOMPAS KRING
+6221 2567 6000
EMAIL
hotline@kompas.id
WHATSAPP
+62812 900 50 800
JAM KERJA
06.00 - 16.00 WIB

Harian Kompas adalah surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta.
Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan
bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang didirikan oleh P.K.
Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama sejak 28 Juni 1965.

Mengusung semboyan "Amanat Hati Nurani Rakyat", Kompas dikenal


sebagai sumber informasi tepercaya, akurat, dan mendalam.

@hariankompas
@hariankompas
@hariankompas
Harian Kompas
KANTOR REDAKSI
Gedung Kompas Gramedia
Jalan Palmerah Selatan 26-28,
DKI Jakarta, Indonesia
10270
+6221 5347 710+6221 5347 720+6221 5347 730+6221 530 2200
KANTOR IKLAN
Menara Kompas Lantai 2
Jalan Palmerah Selatan 21
Jakarta Pusat, DKI Jakarta,
Indonesia 10270
+6221 8062 6699

PRODUK

ePaperKompas.IdInteraktifKompas Data

BISNIS

AdvertorialGeraiEventKlasikaTarifKlasiloka

TENTANG
Profil PerusahaanSejarahOrganisasi

LAINNYA

Bantuan

© PT Kompas Media Nusantara


Organisasi
Tanya Jawab
Hubungi Kami
Sidik Gangguan
Pedoman Media Siber
Syarat & Ketentuan
Karier IklanBerlangganan

Anda mungkin juga menyukai