Anda di halaman 1dari 11

Naskah Teater Kelompok 2

XI IPA 7
untuk memenuhi tugas pementasan teater Seni Budaya

Guru Pengampu :

IBU SURNA FITRIWANI, S.Pd

SMA NEGERI 1 KOTA SUNGAI PENUH


TAHUN PELAJARAN 2021/20222
Judul : Menggapai Secercah Cahaya
Tema : Kesetaraan Hak
KELOMPOK 2 (XI MIPA 7)
A. Manajemen Stage
1. Sutradara : Dolvi Brillian Fenando

2. Penata Panggung : Rahmad Alfareza

3. Penata Lighting & Sound system : Willy Astra

4. Pembuat Naskah : Tesia Fadillah

5. Pembaca Puisi : Nayla Adzkia

6. Kameramen : Egi Roya Dasisri

B. Manajemen Musik
1. Bintang Ridho Ramadhan

2. Kiagus Daffa Abyan Vasya

3. Handini Alipa Dasiba

4. Sabrina Zahra Thianisa

5. Tegar Muhammad Iqbal


C. Manajemen Gerak
1. Arinda Septyara Pramadhanti

2. Aulia Syarifa

3. Fadilla Gusvina

4. Nabila Putri Daryusman

5. Rahma Putri Khairunnisa

6. Tesia Fadillah

D. Manajemen Tokoh
1. R.A Kartini : Arrival Rince Putri

2. Ayah Kartini : Dolvi Brillian Fenando

3. Rosa : Naila Ramadani

4. Aryo Singgih : Naila Ramadani


 Drama dibuka dengan Penampilan tari yang di iringi lagu “Mengapa
bila aku Perempuan” lalu di lanjutkan dengan pembacaan puisi untuk
R.A Kartini

Dikala bumi pertiwi tengah terombang ambing

Berporak poranda hancur tiada keping

Tembak, jerit, tangis bahkan darah telah beraduk

Beraduk meleleh dialas bumi pertiwi nan suci

Tatkala kaum adam dijunjung

Sedang kaum hawa ditindas tak berujung

Tiada lagi nilai diri yang tersisa

Hanyalah larutan duka yang bersemayam

Namun... Secercah cahaya terang mulai menyeludup

Mengangkat puing-puing kehancuran

Pengobar kembali nilai diri kaum hawa

Dialah sang anugerah Tuhan

Perempuan mulia tanpa tanda jasa

Sang pembangkit negeri di ambang musnah

Sang pembela nasib hawa tanpa kenal lelah

Terima kasih ibuku...

Ibu Kartini-ku

Atas segala jerih payahmu

Sebagai penyelamat negeri dan kaumku


Scene 1
Ayah Kartini : “Kartini... Kemarilah Nak. Kartini.. Kartiniiiiiiiiii”

Kartini : “Ayah memanggilku, ada apa?”

Ayah Kartini : “Kartini, aku ingin berbicara padamu.”

Kartini : “Bicaralah Ayah, aku akan mendengarkan.”

Ayah Kartini : “Kartini, dua hari yang lalu Raden Aryo Singgih telah datang kepadaku, dia
mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangmu.”

Kartini : “Meminangku, Ayah? Diusiaku yang sebelia ini? Tidak Ayah. Aku tidak mau.”

Ayah Kartini : “Nak, sudah waktunya kau menikah. Terimalah pinangan dari Raden Aryo Singgih. Dia
adalah seorang bangsawan Rembang, bersamanya hidupmu akan tercukupi.”

Kartini : “Ini bukan masalah kecukupan hidupku Ayah, tapi masa depanku.”

Ayah Kartini : “Masa depanmu telah berada di depan mata. Setelah menikah nanti, itulah masa
depanmu.”

Kartini : “Tidak Ayah. Bukan itu yang aku maksud. Aku tau Ayah, menikah berarti
memberhentikan sekolahku. Dan aku tidak menginginkannya. Aku ingin tetap bersekolah
Ayah.”

Ayah Kartini : “Kartini!” (membentak)

Kartini : “Ayah, jangan paksa aku.”

Ayah Kartini : “Jangan mencoba untuk membantah lagi Kartini.”

Kartini : “Ayah, aku hanya ingin sekolah. Aku tidak ingin dinikahkan terlebih dahulu.”

Ayah Kartini : “Ini adalah ketetapan adat istiadat, Kartini. Setelah dipingit, kini tibalah saatnya agar
kau menikah.”

Kartini : “Aku mengerti Ayah, tapi setelah menikah hidupku tak lagi sama. Aku ingin menjadi
wanita yang berpendidikan, Ayah. Untuk kali ini saja, ijinkan aku untuk bersekolah
seperti mereka. Aku mohon Ayah” (Kartini berlutut kepada Ayahnya)

Ayah Kartini : “Tidak! Aku adalah ayahmu. Akulah yang berhak menentukan masa depanmu. Kau tak
perlu meneruskan sekolahmu itu Kartini. Bisa menulis dan membaca itupun sudah cukup.
Kau akan tetap menikah.”
Kartini : “Ayah . . .”

Ayah Kartini meninggalkan Kartini.

 Lagu bertaut dinyanyikan di sertai dengan tari

Kartini : “Apakah semua wanita harus sepertiku? Hanya diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan
dasar dan kemudian harus dinikahkan. Sedangkan mereka, kaum lelaki, mereka bisa merasakan
pendidikan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Mereka berhak memimpin. Mereka berhak berbicara. Itu
semua karena mereka berpendidikan. Sedangkan aku? Apa hakku? Apa yang bisa kukatakan dan apa
yang bisa kulakukan? Kini aku hanya bisa berdiam diri, menerima dan menuruti perintah Ayah. Ini semua
tak adil bagiku” (monolog)

Scene 2
Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku
ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya.Usia 12 tahun Kartini sudah dipingit.
Dalam masa pingitannya ini Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.

Kartini membaca buku. Perlahan membuka lembaran-lembaran buku dan kertas lain satu
persatu kemudian menunduk.

Kartini : “Seandainya saja aku bisa sekolah pasti akan ada banyak ilmu yang
bisa kudapat dan bisa memiliki banyak teman.”

Scene 3
Suatu hari tepatnya pada tanggal 4 Oktober 1901Kartini menuliskan sebuah surat kepada
Tn.J.H Abendanon dan Ny. Abendon
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki
dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam
(Sunatullah) sendiri ke tangannya : menjadi ibu, mendidik manusia yang pertama-tama”.
Dilain sisi Rosa Abendanon baru saja menerima sebuah surat dari Kartini, dan ia pun membacanya.

Rosa : (membaca sebuah surat) “Kepada sahabatku, Rosa Abendanon.

Bahasa mana sebenarnya, meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengutarakan getaran jiwa
setepat-tepatnya, bahasa semacam itu tidak ada, hanya ada bahasa yang ajaib yang tak terucapkan,
yang tak berwujud kata-kata maupun lambang huruf, tetapi artinya dapat dipahami oleh siapapun yang
memiliki perasaan. Bahasa yang demikian itu adalah bahasa mata yang suci nan bersih, cermin jiwa
yang cerah.

Saya sangat sayang pada kaum wanita, saya menaruh hati pada nasibnya. Karena dia tidak dihargai
dan ditindas seperti yang masih terdapat pada banyak negeri dalam abad yang terang ini.

Tertanda, Kartini.”

Scene 4
Tiba-tiba Kartini datang.

Kartini : “Rosa...”

Rosa : “Kartini..” (Rosa menggapai tangan Kartini)

Kartini : “Apa kau datang bersama Stella dan Van Kol? Mana mereka?”

Rosa : “Mereka tak bersamaku Kartini.”

Kartini : “Mengapa? Apa mereka sakit? Atau mereka pergi bersama?”

Rosa : “Tidak Kartini. Perlu kau mengerti. Stella, Van Kol dan juga diriku akan pergi ke
Belanda. Kami akan memulai pendidikan yang lebih tinggi disana.”

Kartini : “Rosa.. Jangan katakan jika kau akan meninggalkanku Rosa. Aku mengerti, kau pasti
akan membawaku bersama kalian kan?”

Rosa : “Maafkan kami Kartini. Tapi kami memang harus meninggalkanmu. Kami tau Ayahmu
tak akan mengijinkanmu pergi ke Belanda.”

Kartini : “Lalu bagaimana denganku? Apa kau tau Rosa, seorang bangsawan Rembang telah
datang kepada Ayahku. Dia ingin meminangku, Rosa. Dan Ayahku pun menyetujuinya.
Sedangkan aku? Aku akan berhenti bersekolah.”
Rosa : “Kartini, aku tau ini berat bagimu. Tapi terimalah Kartini, karena ini adalah adat
istiadatmu.”

Kartini : “Jadi Rosa? Kau tak lagi mempedulikanku?”

Rosa : “Bukan itu maksudku Kartini. Tapi ini adalah perintah dari Ayahmu. Dan kau pun pasti
lebih mengerti bagaimana sikap Ayahmu itu.”

Kartini : “Rosa, bawalah aku bersamamu. Agar aku bisa tetap bersekolah. Dan aku pun tak perlu
menerima pinangan dari bangsawan Rembang itu.”

Rosa : “Maafkan aku Kartini, tapi aku tak bisa melakukannya. Dan sekaranglah waktunya
untukku pergi, Kartini.”

Kartini : “Tapi Rosa... Rosa...”

Rosa meninggalkan Kartini. Namun Kartini berusaha mengejarnya.

Scene 5
Kepedihannya kini benar-benar tak terungkapkan. Masa sekolahnya harus terhenti dan dengan tiba-tiba
para sahabatnya meninggalkan Kartini. Di dalam hati Kartini masih tersimpan secercah harapan untuk
belajar. Hari-harinya ia isi dengan menulis surat kepada Tuan dan Nyonya Abendanon yang merupakan
orangtua dari sahabatnya. Mereka telah seperti orangtua Kartini. Kartini terus bercerita tentang
kehidupannya yang tak lagi bersekolah itu. Hingga Tuan Abendanon pun memberikan beasiswa
kedokteran kepadanya.

Kartini : “Ayah.. Ayah.. Aaayyyyyaaaaaaaaahhhhh” (Kartini berteriak)

Ayah Kartini : “Ada apa Nak? Apa yang membuatmu senang seperti ini? Tak pantas seorang gadis
berteriak seperti itu!”

Kartini : “Ayah, aku mendapatkan beasiswa kedokteran di Belanda. Berhari-hari aku menulis dan
berkirim surat tentang pendidikanku Ayah, dan kini aku mendapatkan beasiswa untuk
belajar di Belanda.”

Ayah Kartini : “Darimana kau mendapatkannya?”

Kartini : “Dari Tuan Abendanon, dia adalah ayah dari sahabatku. Ayah, ijinkan aku untuk pergi
ke Belanda.”
Ayah Kartini : “Tidak Kartini, pendidikan itu memang penting. Apalagi dengan beasiswamu itu Ayah
mengerti kau tak akan merepotkan. Tapi Kartini, untuk seorang wanita tak pantas untuk
berpendidikan yang berlebihan.”

Kartini : “Ayah bilang ini berlebihan? Apa maksud Ayah? Aku hanya ingin bersekolah, Ayah.”

Ayah Kartini : “Ah sudahlah. Perintahku tetap sama dan tak bisa kau rubah. Kartini, Raden Aryo
Singgih telah datang dan bermaksud menemuimu.”

Aryo Singgih menghampiri Ayah Kartini dan Kartini.

Ayah Kartini : “Kemarilah Raden. Akan kutinggalkan kalian berdua. Bicaralah pada Kartini”

Kartini : “Ayahh..” (Kartini mencoba memanggil Ayahnya, namun tak dihiraukan)

R. Aryo Singgih : “Kartini, bisakah aku meminta waktumu sebentar?”

Kartini : “Jika aku berkata tidak pun, aku tau kau akan menyita sebagian waktuku.”

R. Aryo Singgih : “Kartini, tentunya kau telah mendengar ini dari Ayahmu. Bahwa aku ingin
meminangmu.”

Kartini : “Berhenti membicarakan apa yang telah kuketahui Raden. Bukankah kau pun tau, untuk
berbicara tentang hal meminang kau hanya perlu mengutarakannya pada ayahku.
Sedangkan ayahku pun tak meminta kesediaan dari diriku.”

R. Aryo Singgih : “Mungkin yang kau katakan itu memang benar Kartini. Tapi perlu kau ketahui, aku
meminangmu karna aku mencintaimu.”

Kartini : “Cinta?? Kau bilang sebuah hasrat untuk memiliki adalah cinta? Sederhana sekali
pemikiranmu itu Raden.”

R. Aryo Singgih : “Tapi memang itulah yang aku rasakan Kartini.”

Kartini : “Itulah bedanya cinta yang kau miliki dengan cinta yang ada pada diriku Raden.”

R. Aryo Singgih : “Aku tak mengerti maksud perkataanmu itu Kartini.”

Kartini : “Berbicara tentang cinta, dalam diri ini pun tersimpan sebuah cinta Raden. Namun cinta
yang kupunya bukanlah cinta seperti yang kau anggap. Cinta ini bukanlah sekedar ingin
memiliki. Cinta yang kusimpan sejak lama, adalah cinta yang tertuju pada mereka, pada
kaum wanita.”

R. Aryo Singgih : “Kartini, apa maksudmu? Aku benar-benar tak mengerti.”

Kartini : “Raden, jawablah pertanyaanku dahulu. Jika kau memiliki cinta pada seseorang, apa
yang akan kau lakukan untuk mendapatkannya?”

R. Aryo Singgih : “Tentu akan aku perjuangkan cintaku, Kartini.”


Kartini : “Begitu pula cinta ini Raden, aku pun ingin memperjuangkan cintaku. Aku ingin
memerdekakan kaumku dari kebodohan. Dan untuk itu, tentunya akupun harus
berpendidikan Raden.”

R. Aryo Singgih : “Kini aku mengerti, Kartini. Tapi, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah ia ingin agar
kau menikah? Dan akupun menginginkan agar kau menikah denganku.”

Kartini : “Ayahku menikahkanku karna kau yang meminangku, Raden. Ini semua ada pada
dirimu.”

R. Aryo Singgih : “Jadi kau ingin agar aku membatalkan pinanganku?”

Kartini : “Tentu Raden. Memang itu yang aku inginkan. Aku ingin tetap bersekolah. Dan cara
satu-satunya agar aku dapat bersekolah adalah menolak pinangan ini.”

R. Aryo Singgih : “Lalu bagaimana dengan cintaku Kartini? Tak pantaskah aku merasakan cinta? Ini tak
adil. Kartini, biarkan aku memperjuangkan cintaku ini. Aku berjanji akan berbicara pada ayahmu tentang
keinginanmu untuk bersekolah.”

Kartini : “Lalu bagaimana jika ayahku tetap melarangku untuk bersekolah?”

R. Aryo Singgih : “Baiklah, jika ayahmu tetap melarang, aku akan tetap mendukung cita-citamu itu. Akan
kudirikan sekolah sebagai tempat untukmu belajar dan mengajar.”

Kartini : “Apakah ini cukup untuk meyakinkanku, Raden?”

R. Aryo Singgih : “Iya Kartini, kau bisa memegang janjiku. Jika nanti aku mengingkarinya, kau berhak
melakukan apapun yang kau mau.”

Kartini : “Jika memang benar ucapanmu itu, akan kupercayai kata-katamu. Dan akan kuterima
pinanganmu Raden.”

R. Aryo Singgih : “Terimakasih Kartini.”

Raden Aryo Singgih meninggalkan Kartini.

Scene 6
 Kartini berhasil mendirikan sekolah wanita dan memberikan
pendidikan untuk kaum wanita

Kartini : “Kupanjatkan syukur pada-Mu, Tuhan. Entah apa rencana-Mu. Tapi dengan kehendak-Mu aku
akan kembali mengenyam pendidikan yang sempat kutinggalkan. Dan aku berjanji, aku akan menjunjung
harkat kaumku. Akan kuperjuangkan pendidikanku bersama kaum wanita. Akan kudapatkan hakku
bersama mereka. Dan akan kurubah dunia ini menjadi lebih baik lagi.”
Scene 7
 Berkat kartini para kaum hawa yang dibekali pengetahuan bisa
menggapai cita-citanya

Inilah janji Kartini. Inilah cita-citanya. Memperjuangkan hak wanita untuk mendapatkan apa yang
seharusnya ia dan kaumnya dapatkan. Dan beruntunglah kalian, para kaum wanita. Yang kini telah
merasakan apa yang seharusnya didapatkan. Gunakan dan perjuangkanlah hak kalian sebagaimana
mestinya.

 Drama ditutup dengan lagu Ibu Kita Kartini.

Anda mungkin juga menyukai