XI IPA 7
untuk memenuhi tugas pementasan teater Seni Budaya
Guru Pengampu :
B. Manajemen Musik
1. Bintang Ridho Ramadhan
2. Aulia Syarifa
3. Fadilla Gusvina
6. Tesia Fadillah
D. Manajemen Tokoh
1. R.A Kartini : Arrival Rince Putri
Ibu Kartini-ku
Ayah Kartini : “Kartini, dua hari yang lalu Raden Aryo Singgih telah datang kepadaku, dia
mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangmu.”
Kartini : “Meminangku, Ayah? Diusiaku yang sebelia ini? Tidak Ayah. Aku tidak mau.”
Ayah Kartini : “Nak, sudah waktunya kau menikah. Terimalah pinangan dari Raden Aryo Singgih. Dia
adalah seorang bangsawan Rembang, bersamanya hidupmu akan tercukupi.”
Kartini : “Ini bukan masalah kecukupan hidupku Ayah, tapi masa depanku.”
Ayah Kartini : “Masa depanmu telah berada di depan mata. Setelah menikah nanti, itulah masa
depanmu.”
Kartini : “Tidak Ayah. Bukan itu yang aku maksud. Aku tau Ayah, menikah berarti
memberhentikan sekolahku. Dan aku tidak menginginkannya. Aku ingin tetap bersekolah
Ayah.”
Kartini : “Ayah, aku hanya ingin sekolah. Aku tidak ingin dinikahkan terlebih dahulu.”
Ayah Kartini : “Ini adalah ketetapan adat istiadat, Kartini. Setelah dipingit, kini tibalah saatnya agar
kau menikah.”
Kartini : “Aku mengerti Ayah, tapi setelah menikah hidupku tak lagi sama. Aku ingin menjadi
wanita yang berpendidikan, Ayah. Untuk kali ini saja, ijinkan aku untuk bersekolah
seperti mereka. Aku mohon Ayah” (Kartini berlutut kepada Ayahnya)
Ayah Kartini : “Tidak! Aku adalah ayahmu. Akulah yang berhak menentukan masa depanmu. Kau tak
perlu meneruskan sekolahmu itu Kartini. Bisa menulis dan membaca itupun sudah cukup.
Kau akan tetap menikah.”
Kartini : “Ayah . . .”
Kartini : “Apakah semua wanita harus sepertiku? Hanya diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan
dasar dan kemudian harus dinikahkan. Sedangkan mereka, kaum lelaki, mereka bisa merasakan
pendidikan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Mereka berhak memimpin. Mereka berhak berbicara. Itu
semua karena mereka berpendidikan. Sedangkan aku? Apa hakku? Apa yang bisa kukatakan dan apa
yang bisa kulakukan? Kini aku hanya bisa berdiam diri, menerima dan menuruti perintah Ayah. Ini semua
tak adil bagiku” (monolog)
Scene 2
Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku
ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya.Usia 12 tahun Kartini sudah dipingit.
Dalam masa pingitannya ini Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.
Kartini membaca buku. Perlahan membuka lembaran-lembaran buku dan kertas lain satu
persatu kemudian menunduk.
Kartini : “Seandainya saja aku bisa sekolah pasti akan ada banyak ilmu yang
bisa kudapat dan bisa memiliki banyak teman.”
Scene 3
Suatu hari tepatnya pada tanggal 4 Oktober 1901Kartini menuliskan sebuah surat kepada
Tn.J.H Abendanon dan Ny. Abendon
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki
dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam
(Sunatullah) sendiri ke tangannya : menjadi ibu, mendidik manusia yang pertama-tama”.
Dilain sisi Rosa Abendanon baru saja menerima sebuah surat dari Kartini, dan ia pun membacanya.
Bahasa mana sebenarnya, meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengutarakan getaran jiwa
setepat-tepatnya, bahasa semacam itu tidak ada, hanya ada bahasa yang ajaib yang tak terucapkan,
yang tak berwujud kata-kata maupun lambang huruf, tetapi artinya dapat dipahami oleh siapapun yang
memiliki perasaan. Bahasa yang demikian itu adalah bahasa mata yang suci nan bersih, cermin jiwa
yang cerah.
Saya sangat sayang pada kaum wanita, saya menaruh hati pada nasibnya. Karena dia tidak dihargai
dan ditindas seperti yang masih terdapat pada banyak negeri dalam abad yang terang ini.
Tertanda, Kartini.”
Scene 4
Tiba-tiba Kartini datang.
Kartini : “Rosa...”
Kartini : “Apa kau datang bersama Stella dan Van Kol? Mana mereka?”
Rosa : “Tidak Kartini. Perlu kau mengerti. Stella, Van Kol dan juga diriku akan pergi ke
Belanda. Kami akan memulai pendidikan yang lebih tinggi disana.”
Kartini : “Rosa.. Jangan katakan jika kau akan meninggalkanku Rosa. Aku mengerti, kau pasti
akan membawaku bersama kalian kan?”
Rosa : “Maafkan kami Kartini. Tapi kami memang harus meninggalkanmu. Kami tau Ayahmu
tak akan mengijinkanmu pergi ke Belanda.”
Kartini : “Lalu bagaimana denganku? Apa kau tau Rosa, seorang bangsawan Rembang telah
datang kepada Ayahku. Dia ingin meminangku, Rosa. Dan Ayahku pun menyetujuinya.
Sedangkan aku? Aku akan berhenti bersekolah.”
Rosa : “Kartini, aku tau ini berat bagimu. Tapi terimalah Kartini, karena ini adalah adat
istiadatmu.”
Rosa : “Bukan itu maksudku Kartini. Tapi ini adalah perintah dari Ayahmu. Dan kau pun pasti
lebih mengerti bagaimana sikap Ayahmu itu.”
Kartini : “Rosa, bawalah aku bersamamu. Agar aku bisa tetap bersekolah. Dan aku pun tak perlu
menerima pinangan dari bangsawan Rembang itu.”
Rosa : “Maafkan aku Kartini, tapi aku tak bisa melakukannya. Dan sekaranglah waktunya
untukku pergi, Kartini.”
Scene 5
Kepedihannya kini benar-benar tak terungkapkan. Masa sekolahnya harus terhenti dan dengan tiba-tiba
para sahabatnya meninggalkan Kartini. Di dalam hati Kartini masih tersimpan secercah harapan untuk
belajar. Hari-harinya ia isi dengan menulis surat kepada Tuan dan Nyonya Abendanon yang merupakan
orangtua dari sahabatnya. Mereka telah seperti orangtua Kartini. Kartini terus bercerita tentang
kehidupannya yang tak lagi bersekolah itu. Hingga Tuan Abendanon pun memberikan beasiswa
kedokteran kepadanya.
Ayah Kartini : “Ada apa Nak? Apa yang membuatmu senang seperti ini? Tak pantas seorang gadis
berteriak seperti itu!”
Kartini : “Ayah, aku mendapatkan beasiswa kedokteran di Belanda. Berhari-hari aku menulis dan
berkirim surat tentang pendidikanku Ayah, dan kini aku mendapatkan beasiswa untuk
belajar di Belanda.”
Kartini : “Dari Tuan Abendanon, dia adalah ayah dari sahabatku. Ayah, ijinkan aku untuk pergi
ke Belanda.”
Ayah Kartini : “Tidak Kartini, pendidikan itu memang penting. Apalagi dengan beasiswamu itu Ayah
mengerti kau tak akan merepotkan. Tapi Kartini, untuk seorang wanita tak pantas untuk
berpendidikan yang berlebihan.”
Kartini : “Ayah bilang ini berlebihan? Apa maksud Ayah? Aku hanya ingin bersekolah, Ayah.”
Ayah Kartini : “Ah sudahlah. Perintahku tetap sama dan tak bisa kau rubah. Kartini, Raden Aryo
Singgih telah datang dan bermaksud menemuimu.”
Ayah Kartini : “Kemarilah Raden. Akan kutinggalkan kalian berdua. Bicaralah pada Kartini”
Kartini : “Jika aku berkata tidak pun, aku tau kau akan menyita sebagian waktuku.”
R. Aryo Singgih : “Kartini, tentunya kau telah mendengar ini dari Ayahmu. Bahwa aku ingin
meminangmu.”
Kartini : “Berhenti membicarakan apa yang telah kuketahui Raden. Bukankah kau pun tau, untuk
berbicara tentang hal meminang kau hanya perlu mengutarakannya pada ayahku.
Sedangkan ayahku pun tak meminta kesediaan dari diriku.”
R. Aryo Singgih : “Mungkin yang kau katakan itu memang benar Kartini. Tapi perlu kau ketahui, aku
meminangmu karna aku mencintaimu.”
Kartini : “Cinta?? Kau bilang sebuah hasrat untuk memiliki adalah cinta? Sederhana sekali
pemikiranmu itu Raden.”
Kartini : “Itulah bedanya cinta yang kau miliki dengan cinta yang ada pada diriku Raden.”
Kartini : “Berbicara tentang cinta, dalam diri ini pun tersimpan sebuah cinta Raden. Namun cinta
yang kupunya bukanlah cinta seperti yang kau anggap. Cinta ini bukanlah sekedar ingin
memiliki. Cinta yang kusimpan sejak lama, adalah cinta yang tertuju pada mereka, pada
kaum wanita.”
Kartini : “Raden, jawablah pertanyaanku dahulu. Jika kau memiliki cinta pada seseorang, apa
yang akan kau lakukan untuk mendapatkannya?”
R. Aryo Singgih : “Kini aku mengerti, Kartini. Tapi, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah ia ingin agar
kau menikah? Dan akupun menginginkan agar kau menikah denganku.”
Kartini : “Ayahku menikahkanku karna kau yang meminangku, Raden. Ini semua ada pada
dirimu.”
Kartini : “Tentu Raden. Memang itu yang aku inginkan. Aku ingin tetap bersekolah. Dan cara
satu-satunya agar aku dapat bersekolah adalah menolak pinangan ini.”
R. Aryo Singgih : “Lalu bagaimana dengan cintaku Kartini? Tak pantaskah aku merasakan cinta? Ini tak
adil. Kartini, biarkan aku memperjuangkan cintaku ini. Aku berjanji akan berbicara pada ayahmu tentang
keinginanmu untuk bersekolah.”
R. Aryo Singgih : “Baiklah, jika ayahmu tetap melarang, aku akan tetap mendukung cita-citamu itu. Akan
kudirikan sekolah sebagai tempat untukmu belajar dan mengajar.”
R. Aryo Singgih : “Iya Kartini, kau bisa memegang janjiku. Jika nanti aku mengingkarinya, kau berhak
melakukan apapun yang kau mau.”
Kartini : “Jika memang benar ucapanmu itu, akan kupercayai kata-katamu. Dan akan kuterima
pinanganmu Raden.”
Scene 6
Kartini berhasil mendirikan sekolah wanita dan memberikan
pendidikan untuk kaum wanita
Kartini : “Kupanjatkan syukur pada-Mu, Tuhan. Entah apa rencana-Mu. Tapi dengan kehendak-Mu aku
akan kembali mengenyam pendidikan yang sempat kutinggalkan. Dan aku berjanji, aku akan menjunjung
harkat kaumku. Akan kuperjuangkan pendidikanku bersama kaum wanita. Akan kudapatkan hakku
bersama mereka. Dan akan kurubah dunia ini menjadi lebih baik lagi.”
Scene 7
Berkat kartini para kaum hawa yang dibekali pengetahuan bisa
menggapai cita-citanya
Inilah janji Kartini. Inilah cita-citanya. Memperjuangkan hak wanita untuk mendapatkan apa yang
seharusnya ia dan kaumnya dapatkan. Dan beruntunglah kalian, para kaum wanita. Yang kini telah
merasakan apa yang seharusnya didapatkan. Gunakan dan perjuangkanlah hak kalian sebagaimana
mestinya.