Anda di halaman 1dari 10

MENGONVERSI TEKS CERITA SEJARAH MENJADI TEKS DRAMA

Teks Sejarah R.A. Kartini

RA. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA. Kartini dikenal
sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia.
Hal ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara pria dan
wanita pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan
mengenyam pendidikan. Kartini sendiri mengalami kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan
melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Kartini sering berkorespondensi dengan
teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh
Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Semasa hidupnya dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki
nama panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang
kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibu dari
Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai
guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari
ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan
Sosroningrat sendiri bisa terus ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Ayah Kartini sendiri awalnya hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di
Mayong. Pada masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati
harus memiliki bangsawan sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah seorang
bangsawan, ayahnya kemudian menikah lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam, wanita
yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut juga langsung
mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah dari R.A.
Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun
dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School
(ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita
bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri.
Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12
tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai
menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari
Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun
yang direncanakan Kartini. Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca
buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang
bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi
semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial
yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di
bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan
majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya
terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering
juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah
wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia
kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian
sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini
menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia
baca. Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De
Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis
Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya
Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang
tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh
orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini
sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini
dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya,
Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini
kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya
di usia 25 tahun.
Hasil Konversi Teks Drama R.A. Kartini

Jepara, Jawa Tengah, tahun 1891. Hari itu Kartini yang masih kecil tidak bisa berhenti
bersedih. Kedua orangtuanya, R.M Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah
menyampaikan sebuah berita yang membuatnya sangat terkejut, seperti gadis pribumi
lainnya yang berhenti sekolah dan bersembunyi dibalik tembok tinggi. Ia akan
meninggalkan sekolahnya terutama sahabatnya; Rosa Abendanon, Annie Glaser, Stela,
Van Kol, dan lain-lain, kemudian memasuki dunia yang kelam karena tak pernah tahu apa
yang terjadi diluar rumahnya.
Kartini          : Ibu, bapak, saya ingin melanjutkan sekolah. Saya ingin menjadi gadis pribumi
yang cerdas, memiliki cita-cita, membuat dunia ini terang. Saya ingin bersekolah.
Ario Sosro    : Kartini, bapak tidak bisa memenuhi permintaanmu. Ini adalah tradisi, adat
istiadat sejak dulu. Perempuan tidak perlu bersekolah yang tinggi, nak. Sudah saatnya
untukmu dipingit, mempelajari segala hal yang harus dikuasai oleh seorang wanita
kemudian menikah dengan orang yang tepat.
Kartini          : (menangis) Pak, tak bisakah tradisi itu tidak dilaksanakan?
Ario Sosro    : Bapak adalah seorang pemimpin Rakyat Jepara. Bapak tidak mungkin
menghancurkan tradisi kita sendiri. (berdiri kemudian pergi)
Kartini          : (berpaling menatap ibu) Bu, Saya mohon..
Ngasirah       : (membelai rambut Kartini) Sudahlah, nak. Laksanakan saja apa yang sudah
menjadi tradisi. Kelak, kau akan mengerti mengapa semua ini dilakukan.
Sore itu Kartini berkumpul bersama dua adiknya, R.A Kardinah, R.A Roekmini dan R.A
Soematri, serta dua kakaknya, R.M Panji Sosrokartono dan R.M Boesono. Kartini adalah
anak perempuan tertua, maka dia-lah yang pertama kali merasakan bagaimana rasanya
dipingit.
Kartini          : Bagaimana rasanya dipingit?
Panji             : Entahlah. Yang pasti, tentu saja kau tak bisa terlalu bebas berinteraksi
dengan semua orang. Kau akan dikawal kemanapun kau pergi.
Kartini          : Aku tak ingin dipingit , aku ingin bersekolah.
Boesono       : Tenanglah, Kartini. Semua ini sudah menjadi tradisi kita dan tidak mungkin
kita menghancurkannya. Kami akan meminjamkan buku-buku padamu agar kau bisa tetap
belajar. Dan aku berjanji akan menjadi guru Bahasa Belanda-mu, menggantikan gurumu
yang lama.
Kartini          : (tersenyum) Terimakasih. Aku sangat menyayangi kalian. Perasaanku sangat
kacau sekarang. Semuanya akan terasa seperti dipenjara.
Panji             : Bersabarlah, adikku. Kau bisa melalui ini semua. Kau adalah perempuan
tangguh. Kami yakin itu. (menepuk bahu Kartini)
Kartini          : (mengangguk) Ya, itu pasti.
Roekmini      : Sesungguhnya, apa itu dipingit?
Kartini          : Entahlah. Ibu bilang, aku tak akan bisa bebas seperti dulu, dan aku akan
selalu ditemani kemanapun aku pergi. Aku tak masalah dengan itu semua, sebenarnya
yang aku inginkan hanya bersekolah.
Soematri       : Aku, Roekmini dan Kardinah masih bersekolah. Kapan kami akan dipingit
juga?
Kardinah      : Saat umur kita mencapai 12 tahun, Soematri. Ya kan, Kartini?
Kartini          : (mengangguk)
Kartini sedang duduk disalah satu bangku kayu yang terletak di halaman belakang
rumahnya yang sangat penuh dengan pepohonan. Ini hari kelima ia dipingit dan ia sudah
mulai mengerti bagaimana rasanya. Tiba-tiba, dua gadis berwajah Eropa terlihat berjalan
dari kejauhan. Kartini gembira melihat siapa yang datang mengunjunginya, dua
sahabatnya, Rosa Abendanon dan Stella. Kedua sahabatnya menyemangati Kartini dan
membantunya. Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana sedihnya Kartini dipingit
berbulan-bulan. Ia ingin berkeliling Jepara tanpa pengawalan, bebas berbaur dengan
masyarakat pribumi lainnya. Yang bisa dilakukan oleh Kartini hanyalah bersabar.
Tiba-tiba Kartini mendengar jendela kamarnya yang berbunyi, sepertinya karena kerikil. Ia
bertanya-tanya siapa yang melempar kerikil ke jendela. Akhirnya ia membuka jendela
kamarnya dan melihat tiga adiknya berjongkok dengan senyum lebar.
Kartini          : Kardinah, Roekmini, Soematri! Apa yang kalian lakukan?
Soematri       : (menempelkan telunjuknya di bibir) Diamlah!!!
Kartini          : (menutup mulutnya dengan telapak tangan, berbisik) Kenapa kalian
bersembunyi seperti itu?
Roekmini      : Saya, ayo kita pergi!
Kardinah      : Ya, ayo kita berkeliling Jepara!
Kartini          : Kalian tahu aku sedang dipingit. Aku harus pergi dengan pengawalan, dan
tidak mungkin aku bisa bebas berinteraksi dengan masyarakat.
Roekmini      : Maka dari itu, jangan sampai Bapak dan Ibu tahu. Kebetulan mereka sedang
pergi. Ayo kita pergi, Kartini! Kami bertiga yang akan mengawalmu.
Akhirnya Kartini dan tiga saudaranya pergi tanpa diketahui siapapun. Kartini berhasil keluar
dari penjaranya. Ia sangat bahagia dan segera menghirup nafas dalam-dalam saat
melewati pagar rumah mereka yang besar. Dengan segera, ia dan saudara-saudaranya
menaiki delman yang kebetulan lewat, dan meminta agar sang kusir mengantar mereka
berkeliling Jepara.
Saat melewati beberapa rumah penduduk, Kartini melihat sekumpulan wanita yang sedang
duduk disebuah pondok bambu kecil. Ia ingin menghampiri wanita-wanita tersebut.
Soematri       : Ada apa, Kartini?
Kartini          : Ayo kita hampiri wanita-wanita yang sedang duduk di bale bambu itu.
Roekmini      : Apa yang mengganggu pikiranmu, Kartini?
Kartini          : Ada beberapa hal yang ingin aku ketahui, Roekmini. Lagipula, tak apa bila
sesekali aku berbicara dengan penduduk pribumi lainnya. (menghampiri para wanita,
menyapa)
Wanita 1       : Apakah kalian putri-putri Adipati Ario Sosroningrat?
Kardinah      : Ya. Bagaimana ibu bisa tahu?
Wanita 1       : Tentu saja, beliau adalah Bupati Jepara. Kami beberapa kali melihat kalian
bersama dengan Bapak Bupati. Mengapa kalian pergi tanpa pengawalan? Apa kalian tak
dipingit?
Kartini          : Bu, bolehkah saya bertanya?
Wanita 2       : (mengangguk) Tentu boleh.
Kartini          : Apakah memang dipingit adalah hal yang harus dilakukan oleh seluruh
masyarakat pribumi?
Wanita 1       : Tentu saja. Ini adalah adat sejak jaman nenek moyang kita. Lagipula, dipingit
membuat kita bisa menjaga diri dan terus berhati-hati terhadap kaum lelaki yang bukan
muhrim kita hingga kita menikah.
Kartini          : Lalu, apakah ibu bersekolah?
Wanita 2       : Kami hanya rakyat biasa, sejak kecil kami tidak sekolah. Yang dapat
bersekolah hanya rakyat Belanda dan kaum pribumi yang merupakan anak pejabat. Selain
itu tidak ada yang bersekolah, terkecuali laki-laki.
Percakapannya dengan wanita-wanita pribumi di bale bambu terus mengusik hatinya.
Begitu banyak pertanyaan yang ada di hatinya.
Van Kol        : Bagaimana kabarmu, Kartini?
Kartini          : Tak perlu tanya bagaimana kabarku, Van Kol. Kau tahu aku, kau pasti
mengerti (tersenyum)
Van Kol        : Ya, aku mendengar beberapa hal dari Rosa dan Stella. Aku turut prihatin
mendengarnya.
Annie            : (memeluk Kartini) Kau pasti bisa bertahan, Kartini.
Kartini          : Terimakasih, Annie. Sebenarnya aku ingin mengajak kalian bertukar
pendapat.
Annie            : Mengenai apa?
Kartini          : Beberapa hari yang lalu, aku pergi berkeliling Jepara. Aku sempat berbicara
dengan beberapa wanita pribumi. Mereka tidak ada yang bersekolah, tak pernah sekalipun
menimba ilmu.
Rosa             : Benarkah?
Kartini          : (mengangguk) Hanya orang Belanda dan anak pejabat yang boleh
bersekolah. Dan hanya kaum lelaki yang boleh mengenyam pendidikan hingga tingkat
tertinggi. Apakah kalian bisa merasakan apa yang kurasakan? Mengapa kaum perempuan
selalu terbelakang?
Stella            : Tidak, Kartini. Adat-lah yang membuatnya terlihat salah. Aku tak bermaksud
menyalahkan adat tradisi kaum pribumi, tapi memang kau benar, wanita berhak bersekolah
juga.
Annie            : Lalu, apa yang akan kau lakukan, Kartini?
Kartini          : Annie, aku ingin merubah semuanya. Aku tak bermaksud memberontak pada
adat, tapi aku rasa semua ini salah. Aku ingin wanita bisa bersekolah. Aku akan membuat
semua itu terjadi. Aku akan membangun sekolah untuk kaum perempuan.
Van Kol        : Tapi bagaimana caranya, Kartini? Kau dipingit. Kecuali jika kau sudah bebas
dari pingitan. Dan yang kau rencanakan adalah misi yang sangat besar. Kau akan
mengubah adat, Kartini.
Kartini          : Bila aku tidak mengubahnya, sampai kapan perempuan pribumi akan terus
tertindas, akan terus dikelilingi kebodohan dan kegelapan?
Annie            : Kau benar, Kartini. Kau adalah perempuan pribumi yang memiliki
kecerdasan dan kami yakin kau bisa merubah semuanya.
Kartini tak pernah berhenti belajar dan mencari cara untuk merubah semuanya. Ia ingin
menerangi kaum pribumi dengan pengetahuan, terutama pada kaum wanita yang selalu
terbelakang. Rosa dan sahabatnya melanjutkan sekolahnya di Belanda sedangkan Kartini
masih berusaha untuk membuat suatu perubahan. Ditemani tiga pengawal dan
saudaranya, R.M Boesono, Kartini pergi ke dermaga, melepas kepergian sahabat-
sahabatnya.
Pengawal 1   : Apa yang membuat nona bersedih?
Kartini          : Sahabat-sahabatku akan pergi. Mereka akan melanjutkan sekolah.
Sedangkan aku, aku akan tetap disini, terbelakang, bersama dengan perempuan pribumi
lainnya yang tak bersekolah.
Pengawal 2   : Bukankah nona pernah berkata akan merubah semuanya?
Kartini          : Tentu saja, itu mimpiku. Hanya saja, aku tak bisa memungkiri kalau aku ingin
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Pengawal 3   : Bersabarlah, nona. Kami yakin suatu hari nanti semua mimpi itu akan
terwujud.
Boesono       : Adikku, janganlah kau bersedih. Ingat, kau punya mimpi yang harus
diwujudkan.
Keluarga Abendanon dan para sahabat sudah berdiri menunggu kedatangan Kartini.
Mereka sadar kalau ini adalah sebuah perpisahan dan entah kapan mereka bisa bertemu
lagi. Tak ada yang tahu. Yang pasti, dalam hati masing-masing, mereka berjanji untuk tetap
saling berkomunikasi.
Hari-hari dilewati oleh Kartini dengan lebih bersemangat. Ia selalu berkirim surat dengan
sahabat-sahabatnya, termasuk Tuan dan Nyonya Abendanon. Ada banyak hal yang
diceritakan oleh sahabat-sahabatnya, termasuk melanjutkan pendidikan melalui beasiswa
kedokteran di Belanda untuk Kartini.
Kartini          : Bagaimana pendapat ibu mengenai beasiswa kedokteran itu, bu?
Ngasirah       : Kartini, untuk apa kau melanjutkan sekolahmu? Ibu tahu, melanjutkan
sekolah adalah keinginanmu. Ditambah lagi melalui beasiswa, yang artinya ibu dan bapak
tidak akan menanggung uang pembayaran. Tapi nak, kau adalah wanita. Kau sudah
dewasa.
Kartini          : Bagaimana maksud Ibu?
Ngasirah       : Mengapa kau tidak menikah saja?
Kartini          : Ibu, bukankah Ibu tahu saya memiliki mimpi untuk membuat kaum
perempuan bersekolah, untuk membuat penduduk pribumi mengenyam pendidikan? Jika
saya menikah, mimpi itu tak akan terwujud, bu. Pernikahan itu hanya akan menghambat
segalanya.
Ngasirah       : Kau adalah wanita! Umurmu sudah cukup, bahkan biasanya tak ada wanita
berumur 24 tahun yang belum menikah di Jepara. Kau harus sadari itu, Kartini. Sudah
saatnya kau berhenti dipingit!
Kartini          : Berhenti dipingit, bu?
Ngasirah       : Tentu. Apabila kau menikah, kau akan berhenti dipingit, anakku. Karena
sesungguhnya pingitan itu untuk melindungimu, melindungi kaum perempuan. Dan kau
harus tahu, sudah ada seseorang yang ingin meminangmu.
Kartini          : Siapa lelaki tersebut, Ibu?
Ngasirah       : Dia adalah Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, Bupati
Rembang. Dia memang sudah pernah menikah tiga kali, namun Ibu yakin dia orang yang
tepat untukmu.
Kartini          : Saya ingin bertemu dengannya dulu, bu. Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan.
Kartini, kedua orangtuanya, Kardinah, Panji, dan Boesono berdiri diambang pintu,
menunggu kehadiran sosok yang sudah ditunggu-tunggu. Jantung Kartini berdegup
kencang, pikirannya kacau, ia masih belum siap. Bagaimana bila lelaki itu akan
menghambat mimpinya? Bagaimana bila lelaki itu tak sebaik yang dikatakan ibunya?
Ario Sosro    : Selamat datang, Adipati Ario Singgih.
Ario Singgih : (tersenyum, bersalaman)
Ngasirah       : Mari, silahkan duduk.
Ario Singgih : Tentunya, keluarga Adipati Ario Sosroningrat sudah mengetahui maksud
kedatangan saya ini, untuk bertemu dengan Kartini. (terkekeh, diikuti anggota keluarga)
Ario Sosro    : Ya, ya, ya. Mohon maaf sebelumnya Adipati Ario Singgih, semuanya
bergantung pada Kartini bagaimana jawabannya. Kami membiarkan ia mengambil
keputusannya sendiri.
Ario Singgih : Lalu, bagaimana jawaban Kartini sendiri?
Kartini          : Bapak, ibu, boleh saya berbicara berdua saja dengan Raden Mas Adipati Ario
Singgih Djojo Adiningrat?
Kedua orangtua dan saudara-saudara Kartini meninggalkan ruangan.
Kartini          : Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Ario Singgih : Tentu. Apakah itu, Kartini?
Kartini          : Saya memiliki mimpi untuk membangun sekolah bagi kaum pribumi,
khususnya perempuan. Setidaknya mereka tidak berada dalam keterbelakangan. Saya
ingin wanita disamaratakan dengan lelaki. Saya ingin wanita tidak lagi ditindas dan selalu
menjadi kaum lemah. Bagaimana menurut Adipati?
Ario Singgih : Sungguh, bagi saya hal itu sangat mulia, Kartini. Saya sendiri sempat berpikir
mengenai hal tersebut, namun beberapa hal dan pertimbangan membuat saya belum
melaksanakannya. Apabila Kartini ingin melakukannya, lakukan saja. Saya selalu siap
memberi dukungan, apapun itu.
Saat itu, Kartini tahu jawaban apa yang akan ia berikan pada R.M Adipati Ario Singgih Djojo
Adiningrat. Segera saja, ia mengirimkan surat pada sahabat-sahabatnya, membatalkan
beasiswa kedokteran yang awalnya ingin ia ambil.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang. Ia segera
membuka sebuah sekolah untuk perempuan pribumi. Ada beberapa kelompok yang tidak
setuju, namun Kartini tetap berusaha dan yakin kalau apa yang ia lakukan akan
menciptakan hal yang lebih baik dimasa depan. Sekolah itu hanya sekolah sederhana,
didalamnya terdapat beberapa murid perempuan. Kartini sendiri yang terjun sebagai guru,
mengajarkan anak-anak tersebut segala pengetahuan yang ia kuasai.
Murid 1        : Ibu! Bu Kartini!
Kartini          : Ya, ada apa?
Murid 1        : Bu, saya sudah membuat sebuah puisi. Maukah ibu mendengar saya
membacakannya?
Kartini          : Tentu saja.
Murid 1 membacakan puisi.
Kartini          : Bagus sekali. Anak pintar. (mengelus rambut Murid 1)
Murid 2        : Bu, saya sudah bisa menghitung penjumlahan dan pengurangan dengan
cukup lancar. Ibu mau melihat?
Murid 3        : Saya juga, bu! Saya juga bisa.
Kartini          : (tersenyum lebar) Ayo kita masuk ke kelas. Kita belajar lagi. Kalian memang
anak-anak yang pintar.
Kartini terus mengajar di sekolah kecilnya hingga pada akhirnya ia hamil anak pertama dari
pernikahannya dengan R.M Adipati Ario Singgih. Memasuki bulan ke-7 kehamilannya,
Kartini lebih banyak beristirahat dan mempercayai adiknya untuk mengajar murid-muridnya.
Memasuki bulan ke-9 kehamilannya, Kartini lebih banyak berbaring. Terkadang ia
menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau membalas surat dari sahabat-
sahabatnya. Hingga akhirnya hari itu tiba, hari kelahiran anak pertamanya. Seluruh
keluarga berkumpul dikediaman Adipati Ario Singgih, menunggu kemunculan malaikat kecil.
Bidan            : Tuan, nyonya sudah berhasil melahirkan anak pertama. Anak yang tampan,
tuan.
Ario Singgih : Laki-laki? Alhamdulillah. Boleh saya menemuinya sekarang?
Bidan            : Ya, tuan. Tapi kondisi nyonya sedikit lemah. Sepertinya nyonya harus
banyak beristirahat.
Ario Singgih : Bagaimana keadaanmu, Kartini?
Kartini          : (sambil menggendong bayi) Baik-baik saja. Ini anak kita, laki-laki. Kelak dia
pasti akan menjadi lelaki tangguh.
Ario Sosro    : Siapakah namanya? Apakah namanya sudah ditentukan?
Kartini          : Tentu saja, pak. Namanya Raden Mas Soesalit.
Ario Singgih : Biarkan aku menggendong putraku sebentar. (menggendong sang bayi
dengan hati-hati, menciumnya)
Roekmini      : Kemenakanku, sangat tampan. Aku, Soematri dan Kardinah pasti akan
membantumu mengurusnya, Kartini.
Kartini          : Terimakasih, adik-adikku.
Tanggal 17 september 1904, beberapa hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat Kartini
baru saja ingin menggerakkan pena diatas kertas, tiba-tiba saja tubuhnya melemah.
Dibantu desiran angin yang masuk melalui jendela, kertas yang ia pegang terjatuh dari
tangannya. Mata yang bersinar itu perlahan-lahan menutup dan tubuh yang penuh
pancaran cahaya tersebut terdiam. Kaku. Hari itu, R.A Kartini menutup hidupnya. Setelah
perjuangan panjang, emansipasi wanita, dan berbagai mimpi yang ia coba wujudkan,
akhirnya ia menutup usia. Kelak, berkat perjuangannya, masyarakat pribumi terutama
wanita, hidup lebih baik dan tak lagi ditindas. Seluruh rakyat pribumi dapat bersekolah,
siapapun itu. Berkat perjuangan R.A Kartini.

http://shyelivia.blogspot.com/2017/10/tugas-bahasa-indonesia-mengonversi-teks.html

Anda mungkin juga menyukai