Raden Ajeng Kartini (Trinil), M.A Ngasirah (Ibu), R.M Adipati Ario Sosroningrat (Ayah), K.R.M
Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat (Suami), Rosa Abendanon (sahabat), Annie Glaser
(sahabat), Stella (sahabat), Van Kol (sahabat), Kardinah (kakak), Roekmini (kakak), Soematri
(adik), Panji Sosrokartono (kakak), R.M Boesono (kakak), Mr & Mrs. Abendanon, Wanita 1 &
2, Bidan, Murid 1-6, Pengawal 1-3, Pak Pos.
Scene 9
Kartini, kedua orangtuanya, Kardinah, Panji, dan Boesono berdiri diambang pintu, menunggu
kehadiran sosok yang sudah ditunggu-tunggu. Jantung Kartini berdegup kencang, pikirannya
kacau, ia masih belum siap. Bagaimana bila lelaki itu akan menghambat mimpinya?
Bagaimana bila lelaki itu tak sebaik yang dikatakan ibunya?
Ario Sosro : Selamat datang, Adipati Ario Singgih.
Ario Singgih : (tersenyum, bersalaman)
Ngasirah : Mari, silahkan duduk.
Ario Singgih : Tentunya, keluarga Adipati Ario Sosroningrat sudah mengetahui maksud
kedatangan saya ini, untuk bertemu dengan Trinil kecil. (terkekeh, diikuti anggota keluarga)
Ario Sosro : Ya, ya, ya. Mohon maaf sebelumnya Adipati Ario Singgih, semuanya
bergantung pada Kartini bagaimana jawabannya. Kami membiarkan ia mengambil
keputusannya sendiri.
Ario Singgih : Lalu, bagaimana jawaban Kartini sendiri?
Kartini : Bapak, ibu, boleh Trinil berbicara berdua saja dengan Raden Mas Adipati Ario
Singgih Djojo Adiningrat?
Kedua orangtua dan saudara-saudara Kartini meninggalkan ruangan.
Kartini : Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Ario Singgih : Tentu. Apakah itu, Kartini?
Kartini : Saya memiliki mimpi untuk membangun sekolah bagi kaum pribumi,
khususnya perempuan. Setidaknya mereka tidak berada dalam keterbelakangan. Saya ingin
wanita disamaratakan dengan lelaki. Saya ingin wanita tidak lagi ditindas dan selalu menjadi
kaum lemah. Bagaimana menurut Adipati?
Ario Singgih : Sungguh, bagi saya hal itu sangat mulia, Kartini. Saya sendiri sempat berpikir
mengenai hal tersebut, namun beberapa hal dan pertimbangan membuat saya belum
melaksanakannya. Apabila Kartini ingin melakukannya, lakukan saja. Saya selalu siap
memberi dukungan, apapun itu.
Saat itu, Kartini tahu jawaban apa yang akan ia berikan pada R.M Adipati Ario Singgih Djojo
Adiningrat. Segera saja, ia mengirimkan surat pada sahabat-sahabatnya, membatalkan
beasiswa kedokteran yang awalnya ingin ia ambil.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang. Ia segera
membuka sebuah sekolah untuk perempuan pribumi. Ada beberapa kelompok yang tidak
setuju, namun Kartini tetap berusaha dan yakin kalau apa yang ia lakukan akan menciptakan
hal yang lebih baik dimasa depan. Sekolah itu hanya sekolah sederhana, didalamnya terdapat
beberapa murid perempuan. Kartini sendiri yang terjun sebagai guru, mengajarkan anak-anak
tersebut segala pengetahuan yang ia kuasai.
***
Scene 10
Pak Pos : Ibu Kartini, ini majalah-majalahnya sudah sampai. (memberi majalah
Belanda)
Kartini : Oh, terimakasih, pak. Bisa saya titip surat ini untuk dikirimkan, pak?
Pak Pos : Tentu saja, bu. Seperti biasa, bukan?
Kartini : (tertawa) Terimakasih sekali ya, Pak.
Pak Pos : Iya, bu. Untuk sahabat-sahabat Ibu di Belanda?
Kartini : Tentu saja, Pak. Itu untuk keluarga Abendanon.
Pak Pos : Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu Kartini.
Murid 1 : Ibu! Bu Kartini!
Kartini : Ya, ada apa?
Murid 1 : Bu, saya sudah membuat sebuah puisi. Maukah ibu mendengar saya
membacakannya?
Kartini : Tentu saja.
Murid 1 membacakan puisi.
Kartini : Bagus sekali. Anak pintar. (mengelus rambut Murid 1)
Murid 2 : Bu, saya sudah bisa menghitung penjumlahan dan pengurangan dengan cukup
lancar. Ibu mau melihat?
Murid 3 : Saya juga, bu! Saya juga bisa.
Kartini : (tersenyum lebar) Ayo kita masuk ke kelas. Kita belajar lagi. Kalian memang
anak-anak yang pintar.
***
Scene 11
Kartini terus mengajar di sekolah kecilnya hingga pada akhirnya ia hamil anak pertama dari
pernikahannya dengan R.M Adipati Ario Singgih. Memasuki bulan ke-7 kehamilannya,
Kartini lebih banyak beristirahat dan mempercayai adiknya untuk mengajar murid-muridnya.
Murid 4 : Bagaimana kabar ibu?
Kartini : Ibu sehat, nak. Kalian harus tetap rajin belajar, ya?
Murid 5 : Tentu saja, bu. Oh ya, ini kami bawakan buah-buahan untuk ibu.
Kartini : Terimakasih, ya. Apa yang kalian pelajari di sekolah tadi?
Murid 6 : Kami diajarkan perkalian oleh Ibu Soematri.
Kartini : Baiklah, ibu yakin kalian pasti bisa, kalian anak-anak yang cerdas, kan.
Memasuki bulan ke-9 kehamilannya, Kartini lebih banyak berbaring. Terkadang ia
menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau membalas surat dari sahabat-
sahabatnya. Hingga akhirnya hari itu tiba, hari kelahiran anak pertamanya. Seluruh keluarga
berkumpul dikediaman Adipati Ario Singgih, menunggu kemunculan malaikat kecil.
Bidan : Tuan, nyonya sudah berhasil melahirkan anak pertama. Anak yang tampan,
tuan.
Ario Singgih : Laki-laki? Alhamdulillah. Boleh saya menemuinya sekarang?
Bidan : Ya, tuan. Tapi kondisi nyonya sedikit lemah. Sepertinya nyonya harus banyak
beristirahat.
Ario Singgih : Bagaimana keadaanmu, Kartini?
Kartini : (sambil menggendong bayi) Baik-baik saja. Ini anak kita, laki-laki. Kelak dia
pasti akan menjadi lelaki tangguh.
Ario Sosro : Siapakah namanya? Apakah namanya sudah ditentukan?
Kartini : Tentu saja, pak. Namanya Raden Mas Soesalit.
Ario Singgih : Biarkan aku menggendong putraku sebentar. (menggendong sang bayi dengan
hati-hati, menciumnya)
Roekmini : Kemenakanku, sangat tampan. Aku, Soematri dan Kardinah pasti akan
membantumu mengurusnya, Kartini.
Kartini : Terimakasih, adik-adikku.
Tanggal 17 september 1904, beberapa hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat Kartini baru
saja ingin menggerakkan pena diatas kertas, tiba-tiba saja tubuhnya melemah. Dibantu
desiran angin yang masuk melalui jendela, kertas yang ia pegang terjatuh dari tangannya.
Mata yang bersinar itu perlahan-lahan menutup dan tubuh yang penuh pancaran cahaya
tersebut terdiam. Kaku. Hari itu, R.A Kartini menutup hidupnya. Setelah perjuangan panjang,
emansipasi wanita, dan berbagai mimpi yang ia coba wujudkan, akhirnya ia menutup usia.
Kelak, berkat perjuangannya, masyarakat pribumi terutama wanita, hidup lebih baik dan tak
lagi ditindas. Seluruh rakyat pribumi dapat bersekolah, siapapun itu. Berkat perjuangan R.A
Kartini.
Drama ditutup dengan lagu Ibu Kita Kartini.