Anda di halaman 1dari 103

TOO MUCH OF A GOOD THING

Joss Wood
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kompas Gramedia
Too Much of A Good Thing
by Joss Wood
Published in 2013 by Joss Wood
All rights reserved including the right of reproduction in whole or in part in any
form.
Copyright © 2013 by Joss Wood
All rights reserved.
Too Much of A Good Thing
Alih bahasa: Prima Sari Woro Dewanti
Hak Cipta Terjemahan Indonesia
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
718030558
ISBN: 978-602-04-5793-2
ISBN: 978-602-04-5794-9 (digital)
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Sekitar setahun lalu, di hari yang sama ketika aku tahu mimpiku akan segera
diterbitkan, kakak perempuanku terlibat dalam sebuah kecelakaan yang mengerikan.
Karena dia adalah wanita yang paling berani, kuat, dan orang terhebat yang pernah
kukenal, buku ini kupersembahkan untuknya.
Love you, Di.
Ucapan Terima Kasih
Untuk Elaine McDonald dari Elaine McDonald Photography. Apa yang bermula sebagai
pertemanan online berubah menjadi hubungan profesional. Foto-foto yang spektakuler
menjadikan sampul-sampul buku yang menawan, tak terkecuali sampul buku ini. Terima
kasih.
Untuk Chad dan Caitlin Kutz yang memperbolehkanku menggunakan foto pernikahan
mereka untuk kisah Neil dan Gwen. Terima kasih banyak!
Untuk para pendukungku di konferensi RT dan RWA yang berdiri di sampingku, dengan
wajah syok yang sama. Untuk TJ McKay untuk memastikanku tetap rendah hati.
Untuk Caridad Pinero atas dukungan yang terus-menerus kau berikan. Untuk Jennifer
Probst, HP Mallory, Katharine Ashe, dan Megan Mulry untuk tertawa bersama-sama pada
candaan yang sama, untuk catatan-catatan yang kita bandingkan.
Untuk para fans yang membuat kegiatan menghadiri konferensi menjadi begitu
menyenangkan.
Untuk Robin, minumlah wine dan bergembiralah. Untuk Felicia, yang memiliki aksen
Chicago!
Untuk Sheryl, yang lebih banyak memotret makanannya daripada memakannya. Dan
Bernie, pembaca yang bahagia! Aku menyayangi kalian.
Untuk semua orang di Dystel & Goderich Literary Management dan seluruh tim
Montlake.
Untuk Sandra Stixrude, selalu!
Dan terakhir, untuk Crystal Posey, kepadanya kupersembahkan buku ini. Kau adalah
bukti bahwa tidak semua yang kau kenal online adalah orang gila atau berniat jahat
padamu. Aku tidak bisa mengekspresikan betapa aku menghargai semua yang kau
lakukan. Untuk keluargamu yang mendukung pekerjaanmu dan membagimu denganku.
Aku mencintaimu!
Catherine
Satu
“Laptop dan charger ponsel sudah dibawa? Kalian sudah periksa oli mobilnya?”
Lu Sheppard berdiri dalam sorotan cahaya matahari pagi di pesisir timur dan, karena
ia tahu melingkarkan kedua lengan pada sepasang lutut berbulu yang berada paling
dekat dengannya dan berpegang erat-erat tidak akan disukai, menjejalkan kedua
tangannya yang terkepal ke dalam saku celana pendek denimnya yang sudah pudar.
Sambil memalingkan kepala, ia menelan ludah dengan bersusah payah sebelum berusaha
keras memunculkan senyum gembiranya.
“Lu, £/zz/lah yang melakukannya,” sahut Daniel, yang berusia lebih muda dari
sepasang adik kembarnya. “Dua kali.”
Itu benar. Ia yang melakukan itu. Dan ia telah menandainya dalam daftar yang ia
buat untuk mereka. Bukan berarti mereka berdua melihat daftar itu. Ya Tuhan,
bagaimana ia akan melakukan ini? Selama satu dekade terakhir, kedua bocah laki-laki
ini telah menjadi hidup dan fokusnya. Bagaimana ia bisa begitu saja membiarkan
mereka memasuki mobil mereka
joss ‘Wood
dan mengemudi keluar kota untuk kuliah dan, yang terutama, pergi dari hidupnya? Ia
telah meneriaki mereka, menangis bersama mereka dan menangisi mereka. Ia telah
menyediakan makanan dan mengantar-jemput mereka, membantu menyelesaikan PR dan
mendesak mereka untuk bicara dengannya. Ia telah menjadi ayah, ibu, kakak, dan
teman.
Usianya sudah dua puluh sembilan tahun dan ia bukan hanya tak sanggup menghadapi
empty nest syndrome (istilah yang menggambarkan kondisi psikologis dan emosional
seorang wanita saat ditinggal pergi anak-anaknya), hal itu juga membuatnya hancur
tak berdaya. Akan tetapi, seperti begitu banyak emosi lainnya yang pernah ia alami
selama sepuluh tahun terakhir ini, adik-adiknya tidak perlu tahu soal itu....
Daniel bersandar pada pintu mobil yang merupakan milik mereka berdua dan berdehem.
Lu melihat tatapan yang Daniel layangkan pada Nate, dan lebih merasakan ketimbang
melihat anggukan kepala yang Nate berikan sebagai jawaban. Nate beranjak dan
berdiri di sisi sang adik kembar non-identik, sama-sama bertubuh jangkung, sama-
sama berparas rupawan.
Daniel berdeham lagi. “Lu, kami sungguh berterima kasih karena kau telah bertindak
sebagai wali kami saat Mom dan Dad meninggal. Kalau bukan karena dirimu, kami pasti
telah berada dalam asuhan seorang kerabat yang sudah tua dan cerewet, yang mungkin
akan mengirim kami ke sekolah asrama dan kamp-kamp liburan.”
2
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Berhubung kedua orangtua mereka sama-sama anak tunggal, pernyataan Daniel tadi
tidak jauh melenceng dari kebenaran. Semua kerabat mereka sudah tua, cerewet, dan
sebagian besar telah berada di ambang akhir kehidupan.
“Tapi sudah waktunya untuk sebuah awal yang baru ... bagi kami dan juga bagimu.”
Hah? “Apa maksudmu?”
Daniel tampak mengusap-usap rahangnya. “Kami rasa sudah waktunya bagimu untuk
melakukan semua hal yang tidak dapat kau lakukan karena kau harus membesarkan
kami.”
Lu mengerutkan keningnya. “Dari mana datangnya pemikiran ini, guys? Kita sudah
bicara tentang ini—tentang kepergian kalian.”
“Tentu saja—tentang seperti apa kehidupan kuliah, tentang bagaimana perasaan kami
dengan kepergian ini, tentang apa yang akan kami masuki. Tapi kita tidak pernah
bicara tentang dirimu.” Nate menimpali.
Ekspresi Lu benar-benar kebingungan. “Untuk apa kita melakukannya? Hidupku tidak
akan berubah.”
“Harus berubah,” Nate balas menukas.
“Tapi kenapa?”
“Karena hidupmu sama sekali tidak normal untuk seorang wanita lajang seusiamu!
Kapan terakhir kali kau berkencan?” desak Nate.
Lu tidak ingat. Sudah cukup lama—enam, delapan bulan? Ia nyaris tidak bisa
mengingat tentang teman kencannya, selain bahwa pria itu tidak sabar untuk segera
menyingkirkannya setelah ia mengatakan
3
joss ‘Wood
bahwa ia memiliki sepasang adik kembar yang tinggal bersamanya dan bahwa ia adalah
wali mereka. Ia tidak dapat menyalahkan teman kencannya; karena reaksi pria itu
adalah reaksi standar dari sedikit sekali pria yang dikencaninya selama bertahun-
tahun ini: keterkejutan yang disusul oleh hasrat mendadak untuk menemukan pintu
keluar terdekat.
Tambahkan sebuah rumah besar, dua anjing, sebuah akuarium air laut berukuran
raksasa, tiga corn snake—tidak, mereka itu telah dipindahkan ke pusat pemeliharaan
reptil karena Lu menolak untuk mengurus mereka setelah kedua adiknya pergi—dan
beberapa kucing ke daftar tanggung jawabnya, maka tidak mengherankan jika teman-
teman kencannya melarikan diri.
“Kita perlu bicara tentang ... kau? ujar Nate.
“Aku?” pekik Lu sambil mengeluarkan seutas ikat rambut dari saku celana pendeknya
dan menyisir rambut cokelat pucatnya menggunakan jemari, kemudian mengikatnya
dengan gaya ekor kuda yang pendek.
Uh, tidak. Ia yang mengurus mereka—secara fisik dan mental—bukan mereka yang
mengurusnya. Begitulah cara kerja keluarga kecil mereka.
“Dengar, Lu, kami bukan hanya akan pergi, tapi kami akan pergi meninggalkanmu. Kau
tahu rencana-rencana kami: meraih gelar sarjana, setelah itu kami ingin bepergian.
Kami tidak tahu di mana akhir perjalanan itu, tapi kemungkinan besar bukan di
sini,” lanjut Nate. “Karena itu, akan lebih mudah bagi kami bila kami yakin bahwa
kau bahagia dan punya kesi
4
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
bukan serta menikmati kehidupanmu sendiri dengan melakukan hal-hal yang kau
inginkan. Rumah ini, misalnya; kami tidak ingin kau tetap mempertahankan mansion
ini dengan harapan bahwa salah satu dari kami akan menginginkannya suatu saat
nanti. Dan sekarang rumah ini terlalu besar untuk kau tempati seorang diri.”
Daniel buru-buru menimpali. “Kami bukan memintamu untuk menjualnya, atau sesuatu
yang semacam itu.... Kami hanya ingin kau tahu bahwa kami tidak keberatan dengan
apa pun yang mau kau lakukan dengan rumah ini: menjualnya, menyewakannya, atau
menempatinya bersama orang lain.”
Lu duduk di anak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menopangkan kedua lengan
atas pada pahanya. Nate duduk di sisinya dan melingkarkan satu lengan berotot pada
bahunya. “Tapi tolong jangan menjadi seorang wanita gila yang berkeliaran sambil
bicara sendiri dan menyelamatkan kucing-kucing liar. Itulah hal pertama yang ingin
kami sampaikan....”
Masih ada lagi? Serius? Ya ampun!
Daniel berjongkok di depannya dan memandangnya dengan sebuah tatapan yang jauh
lebih dewasa dari umur Daniel yang baru delapan belas tahun. “Lu, kau akan
sendirian untuk pertama kalinya sejak kau kira-kira seumuran kami.”
Well, yeah. Karena itulah empty nest syndrome ini membuatnya bermuram durja.
“Kami ingin kau bersenang-senang—menikmati hidupmu.” Daniel menelusurkan satu
tangan dengan
5
joss ‘Wood
gelisah ke sela-sela rambut yang sangat perlu dipangkas. “Kau harus berhenti
bertanggung jawab atas segala sesuatunya, kau perlu bersantai. Melakukan hal-hal
yang seharusnya kau lakukan saat kau membesarkan kami.”
Lu memiringkan kepalanya. “Misalnya...?”
“Misalnya clubbing dan—” Daniel memandang pada sebuah titik di balik punggungnya
dan wajah adiknya itu merona “—berhubungan seks.”
Berhubungan seks? Astaga, jika ia tidak ingat kapan terakhir kalinya ia berkencan,
maka sudah pasti ia tidak tahu kapan terakhir kali ia menikmati seks. Sepertinya ia
akan membutuhkan sebuah penyedot bertekanan tinggi untuk menyingkirkan sarang laba-
laba yang menyelubunginya.
“Jadi, inilah daftar yang harus kau lakukan.’ Kami ingin kau mencoba hal-hal baru
seperti ... terjun payung atau belajar berselancar. Kursus pottery atau kelas
dansa,” usul Nate.
Daniel, adiknya yang sadar mode dan merek, mengernyit pada T-shirt ungu pudar dan
jeans belelnya. “Pakaian yang layak juga akan menjadi ide yang bagus.”
“Akupunya pakaian yang layak!” protes Lu.
“Kalau begitu pakailah!” Daniel balas menukas. “Rambutmu juga perlu dipangkas dan
facial akan bagus untukmu. Kau membutuhkan sebuah makeover untuk gaya hidupmu.”
Berhubung kata-kata mereka mengusik sebuah bagian yang berada jauh di dalam lubuk
hatinya, ia rasa
6
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
mungkin mereka ada benarnya. Tapi tentu saja ia tidak harus menyukai hal itu.
Lu menggeram. “Aku benci padamu.” Ia memelototi Daniel. “Dan padamu.”
“Tidak, kau tidak membenci kami. Kau menyayangi kami.”
Nate meringis dan kepiluan melandanya. Ya Tuhan, ia memang menyayangi mereka.
Sangat. Bagaimana ia bisa melepas kepergian mereka?
“Kau harus pergi clubbing. Ke sebuah tempat yang keren dan asyik. Kau harus
berdandan dan berusaha melakukannya,” ujar Nate. “Makhosi akan mengantarmu, Lu.”
Tentu saja pria itu akan melakukannya. Clubbing adalah cara favorit teman terlama
dan terbaiknya itu untuk menyalurkan energi atau melampiaskan suatu emosi.
“Tapi dia harus melakukan makeover terlebih dulu. Aku tidak akan mau terlihat
bersamanya dengan rambut seperti itu!” tambah Daniel.
“Hei!” protes Lu.
“Potong rambut, highlight dan makeover? kata Daniel, dan Lu memelototi adiknya itu.
“Seperti yang Makhosi bilang, lebih dari satu kali, rambutmu itu memalukan: jauh
lebih cocok untuk seorang pustakawati yang kaku dan tidak suka mengumpat, hanya
minum wine dan tidak pernah mengalami Big O seumur hidupnya.”
Yah, itu memang terdengar seperti dirinya. Bukan bagian tentang wine atau
mengumpat, tapi Big O itu
7
joss ‘Wood
memang benar. Mungkinkah ia menjadi begitu emosional karena ia frustrasi secara
seksual? Akan mudah saja untuk menimpakan kesalahan, tapi sebenarnya seks adalah
sesuatu yang jarang ia lakukan—OK, nyaris tidak pernah—hampir sepanjang satu dekade
ini, jadi ia tidak bisa menyalahkan hal itu sebagai penyebab dari kesedihannya.
Empty Nest Syndrome', dua. Lu: kosong.
Dan kapan sebenarnya adik-adiknya menjadi cukup dewasa untuk menyinggung tentang
orgasmenya—atau tidak adanya orgasme?
Nate mencondongkan tubuh ke belakang dan menopangkan satu pergelangan kaki ke
lutut. “Tapi, Lu, yang paling penting ... kau harus mencari pekerjaan.”
Daniel menggeleng. “Bukan berarti dia menggunakannya, tapi pemasukan dari dana
perwalian jumlahnya cukup besar. Dia tidak perlu bekerja kalau dia tidak mau.”
Tidak, ia memang tidak harus bekerja ... jika ia mau menggunakan uang itu untuk
hal-hal selain kebutuhan primer. Ia tidak pernah merasa nyaman menggunakan uang
orangtuanya untuk keperluan selain makanan, tempat tinggal dan transportasi.
Nate melayangkan sebuah tatapan dasar-bodoh-kau pada sang adik. “Bukan untuk
uangnya, dude. Tapi karena itu adalah sesuatu untuk ... menyibukkan diri.”
“Oh, benar. Ide yang bagus.”
Lu mengangkat jemarinya dan mulai menghitung daftar tuntutan mereka. “Jadi, kalian
berdua pikir
8
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
bahwa jika aku mendapatkan sebuah pekerjaan, pergi clubbing, melakukan makeover,
belajar berselancar—”
“Dan terjun payung,” sela Nate.
“Enak saja” Lu memelototi adiknya itu dan melanjutkan. “Belajar pottery dan dansa,
maka aku tidak akan punya waktu untuk bermuram durja?”
Dua kepala berambut pirang mengangguk dengan kekompakan sepasang saudara kembar.
Lu menatap melewati mobil mereka pada jalanan masuk. Masalahnya adalah, mungkin
mereka benar. Selingan berupa pergi keluar rumah dan menyibukkan diri dalam
berbagai kegiatan mungkin akan menghindarkannya dari kegilaan akibat memikirkan
adik-adiknya. Bukan ide yang buruk.
Lu mengangguk pelan. “Akan kupertimbangkan.”
“Berjanjilah bahwa kau akan melakukannya,” desak Nate.
“Aku berjanji untuk mempertimbangkan.”
“Kalau kau melakukannya, kami berjanji untuk pulang tiga bulan lagi,” goda Nate.
“Kau memerasku dengan janji untuk pulang?” Lu melongo. “Dasar anak nakal!”
Nate hanya meringis dan memandang pada jam tangannya. “Kami harus pergi, Lu.”
Lu tidak sanggup. Ia sungguh tak sanggup. Ia berusaha keras untuk bicara, dan saat
ia berhasil, suaranya lirih penuh emosi. “Telepon aku sesampainya di sana. Berhati-
hatilah mengemudi.”
Nate menariknya, mendekapnya, dan dengan mudah mengangkat tubuhnya sebelum
mendaratkan
9
joss ‘Wood
sebuah ciuman ke pipinya. “Kami menyayangimu, • yy
SIS.
Setelah Nate melepaskannya, Daniel memeluknya erat-erat. “Jaga dirimu baik-baik.
Bersenang-senang-lah. Kumohon, tolong bersenang-senanglah,” ujar adiknya itu.
Daniel melepaskannya dan melompat masuk ke kursi penumpang. “Kami akan meneleponmu
saat sudah sampai.”
Lu mengangguk, menyentuh satu lengan Daniel yang bersandar pada bingkai jendela
mobil dan meniupkan sebuah ciuman pada Nate.
Adik-adiknya ... pergi jauh untuk memulai sebuah hidup baru....
Lu mengawasi mobil mereka berbelok ke jalanan dan duduk di tangga, sambil
menggenggam wajah dengan kedua tangannya saat menyaksikan kedua anak ayamnya
terbang dari sarang mereka yang sangat besar dan kini sangat kosong.
Mereka akan baik-baik saja, ia meyakinkan diri. Sedangkan ia sendiri ... ia tidak
terlalu yakin.
Dua minggu kemudian, di area VIP klub Go! pada Jumat malam yang sangat ramai, Will
Scott meletakkan kedua sikunya di atas pagar balkon dan memandangi keramaian orang
yang berpusaran di bawahnya. Hari sudah menjelang tengah malam dan ia telah
mempertimbangkan untuk meninggalkan klub sejak setengah jam yang lalu. Ia bisa
berjalan kaki menyusuri blok menuju boutique hotel tempatnya memesan kamar dua
10
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
hari yang lalu, dan dalam waktu lima belas menit ia dapat menghempaskan diri dengan
tubuh telungkup ke atas double bed berukuran raksasa.
Kedengarannya seperti surga.
Will merasa ada orang yang bersandar pada pagar balkon di sampingnya dan memandang
wajah tembam sahabatnya, Kelby, CEO franchise tim rugby Stingray, yang juga
atasannya selama tiga bulan ke depan. Kepanikannya bergejolak memikirkan hal itu.
“Bagaimana kabar Carter?”
Sang pelatih utama Rays yang merupakan ikon tim dan berwatak temperamental itu
mengalami serangan jantung sebulan yang lalu, dan sementara musim rugby semakin
menjelang, tim itu dalam kondisi terlantar tanpa seorang pelatih.
“Masih di rumah sakit. Masih menjalani beberapa tes. Mereka sedang merencanakan
sebuah operasi bypass? sahut Kelby. “Dia menyuruhku untuk mengingatkanmu agar tidak
mengacau.”
Kalau saja itu bukan Kelby, Will tidak akan pernah mengungkapkan kata-kata yang
hendak ia ucapkan.
“Kemungkinan besar aku memang akan mengacau.” Will mengusap-usap tengkuknya. “Aku
benar-benar tidak tahu apakah aku melakukan hal yang benar, Kels. Aku bukannya akan
bertindak sebagai pelatih sementara untuk sebuah tim lokal kecil. Ini adalah salah
satu dari tim papan atas dalam liga utama rugby.”
“Memang,” ujar Kelby dengan santai. “Jadi?”
“Jadi aku baru tiga puluh empat tahun, belum cukup matang untuk menjadi seorang
pelatih, dan aku
11
joss ‘Wood
sama sekali tidak berpengalaman! Aku baru mengundurkan diri dari dunia rugby
internasional musim lalu, dan aku tidak ingin mengacau!” tukas Will, sambil
mendorongkan satu tangan ke sela-sela rambut cokelat gelapnya.
Kelby meletakkan botol bir di sebuah meja tinggi dan melayangkan sebuah tatapan
tajam padanya. “Aneh rasanya melihatmu resah begini, meskipun sedikit saja. Kau
mungkin adalah orang paling percaya diri yang pernah kukenal.”
“Aku tidak merasa terlalu percaya diri saat ini,” ujar Will mengakui.
“Kau telah menjadi pelatih tidak resmi dari setiap tim yang menjadi tempatmu
bernaung,” sahut Kelby, dengan sebentuk senyum lebar. “Aku ingat latihan pertama
yang kau hadiri saat usiamu baru delapan belas. Kau begitu penuh percaya diri
hingga kau mengatakan pada—siapa namanya?—bahwa dia meninggalkan formasi terlalu
awal.”
Will menundukkan kepalanya karena malu. Ia telah mengecam pemain yang waktu itu
adalah kapten tim Inggris, dan mulut besarnya telah membuatnya terempas ke dalam
serangkaian perploncoan oleh para pemain senior, yang dengan cepat membuatnya
belajar untuk tetap menundukkan kepala dan menutup mulutnya. Tapi Kelby ada
benarnya. Bahkan pada awal-awal kariernya, ia telah memiliki kecenderungan untuk
memerintah orang lain.
Rugby adalah sesuatu yang alami baginya, seperti halnya bernapas ... tapi melatih?
Ia seorang pemain,
12
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
bukan teknisi. Kelby terus mengingatkannya bahwa ia memiliki para asisten pelatih
untuk masalah itu—sebuah tim pendukung yang dipekerjakan untuk mengurus aspek-aspek
teknis. Tugas Will adalah melatih, memotivasi, menyusun strategi, membangkitkan
semangat, dan memimpin. Untuk mendapatkan hasil dan menang.
Tapi, hei, tidak ada tekanan.
Itu merupakan sebuah permainan bola yang baru, Will mengingatkan dirinya sendiri.
Suatu hal baru untuk ditaklukkan. Sebuah tantangan lain untuk dihadapi. Sebuah
solusi sementara, selagi ia memutuskan apa yang ingin ia lakukan sepanjang sisa
hidupnya.
Kelby tampak termangu. “Kau tahu, ketika aku menawarkan pekerjaan ini padamu, aku
lebih dipenuhi harapan dibandingkan dugaan. Aku tahu kau mendapatkan tawaran
pekerjaan lain, seperti menjadi komentator, dan aku juga tahu bahwa kepentingan
bisnismu di New Zealand cukup luas untuk menyi-bukkanmu. Jadi mengapa kau jauh-jauh
menerima pekerjaan ini, Will?”
Will mengangkat bahu dan memandang kerumunan orang di bawahnya. Ia melihat wanita
itu lagi, wanita dengan tubuh jangkung dan ramping yang terbalut jeans serta
sehelai atasan hijau emerald gemerlapan. Wanita berwajah mungil itu memiliki rambut
pendek berwarna cokelat muda dengan highlight berwarna terang, dan Will berharap
seandainya ia bisa melihat apa sebenarnya warna sepasang mata itu. Biru? Kelabu?
Wanita itu sedang bicara pada pria yang telah
13
joss ‘Wood
menjadi pasangan dansa hampir sepanjang malam ini, dan Will tidak dapat memastikan
jenis hubungan di antara mereka. Ada banyak sentuhan, tapi tidak ada ciuman, dan
pria itu sering meninggalkan wanita tersebut untuk berdansa dengan wanita lain.
Bahkan dari jauh sekalipun Will bisa melihat bahwa pria itu memiliki pesona dan
memanfaatkan hal tersebut ... dan wanita itu sepertinya tidak keberatan. Dia hanya
duduk bertengger di bangku bar, dengan sopan menolak para pria yang mencoba
mengajak berdansa, dan tetap mengamati keramaian orang.
“Will?”
Kelby masih menunggu jawaban, maka Will menjejalkan kedua tangan ke dalam saku
jeansnya dan berpikir bagaimana harus menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku hanya
ingin meninggalkan New Zealand sejenak ... menjauh dari spekulasi dan pembicaraan
yang berkepanjangan tentang mengapa aku berhenti bermain saat sedang berada di
puncak karierku. Tentang apa yang akan kulakukan, apakah suatu saat nanti aku akan
berumah tangga.”
“Kenapa sebenarnya kau mengundurkan diri saat sedang berada di puncak kariermu?”
“Itulah tepatnya—karena karierku sedang berada di puncak. Mudah-mudahan saja ketika
orang-orang teringat pada kontribusiku untuk dunia rugby New Zealand mereka akan
mengingat masa tujuh tahun terakhir ini—bukan tahun-tahun yang kuhabiskan sebelum
itu, dengan mencoba untuk menghancurkan karier dan hidupku.”
14
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Apa kau menerima pekerjaan ini karena kau merasa berutang budi padaku?” desak
Kelby. “Karena kalau benar maka aku akan menghajarmu.”
Tentu saja ia merasa berutang budi. Kalau bukan karena Kelby, ia tidak akan
memiliki karier dalam dunia rugby—tidak akan menjadi kapten tim selama lima tahun
terakhir ini, tidak akan dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik dalam
olahraga itu. Bahkan menghabiskan tiga bulan masa hidupnya dengan melatih Rays sama
sekali tidak akan mencukupi sebagai tindakan balas budinya.
“Aku memang berutang budi padamu.”
Kelby menggeleng. “Kau hanya tidak menyadari kenyataan, dan aku menyadarkanmu.”
Will menggelengkan kepalanya. Hanya Kelby yang bisa menggambarkan perilakunya yang
merusak diri sendiri dengan begitu entengnya.
“Kau telah membayar utang budimu padaku dengan membenahi hidupmu. Tapi, seperti
dengan hal-hal lainnya, kau, sebagai dirimu sendiri, harus berusaha seoptimal
mungkin,” tambah Kelby, sambil menyandarkan kedua siku di atas pagar balkon dengan
pemandangan klub yang penuh sesak di bawahnya.
Seringai Will lenyap melihat wajah serius Kelby. “Apa maksudmu?”
“Kau dan Jo sangat sukses, sangat muda ... dan hal itu membuat kalian terlena. Jo
adalah gadis liar dalam dunia olahraga profesional, dan karena kau ingin tetap
menjadi teman tidurnya maka dia menyeretmu ke dalam gaya hidupnya yang gila.”
15
joss ‘Wood
“Seks, narkoba, dan rock and roll? ucap Will dengan getir. “Lalu aku menikahinya.”
“Dan, karena kau seorang bajingan penggila persaingan, kau pikir apa pun yang bisa
dia lakukan dapat kau lakukan dengan lebih baik. Pers benar-benar sangat menyukai
kalian berdua.”
Petualangan liar mereka telah menjual begitu banyak surat kabar hingga seharusnya
para perusahaan pemegang saham memberi mereka sebagian sahamnya, pikir Will dengan
getir. Mereka tidur bersama satu jam setelah bertemu, menikah sebulan kemudian.
Pernikahan mereka merupakan sebuah hubungan seksual yang spontan, gejolak nafsu
penuh adrenalin yang berbahaya sekaligus memabukkan.
“Jo memang suka melakukan hal-hal liar dan aku sangat menyukai itu. Clubbing,
minum-minum, menikmati narkoba sesekali.”
Lalu timbullah kekacauan mereka mencoba menyiasati jadwal-jadwal mereka agar bisa
bersama, pertengkaran-pertengkaran hebat ketika mereka akhirnya bertemu, dan
kesadarannya yang perlahan-lahan menghinggapi Will bahwa mereka tidak memiliki apa
pun untuk dapat mempertahankan kebersamaan selain daya tarik seksual yang mulai
memudar.
“Tapi apa hubungannya dengan menyukai kompetisi?”
“Setelah kalian bercerai kau ingin menunjukkan pada Jo bahwa kau tidak membutuhkan
dia untuk bersenang-senang. Pesta-pestamu semakin heboh, dengan gadis-gadis yang
berbeda setiap malamnya,
16
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
dan kau masih menjadi pusat pemberitaan surat kabar karena alasan-alasan yang tidak
semestinya.”
“Nyaris kehilangan karierku dengan muncul di tempat latihan entah dalam keadaan
mabuk ataupun selalu dalam keadaan hangover. Ya, aku ingat! Kau me-lindungiku
sepanjang musim itu. Ketika tim manajemen mengancam hendak memecatku, kau berjanji
pada mereka bahwa kau bisa mengubahku menjadi lebih baik, kenapa?”
“Kau terlalu berbakat untuk dibiarkan mengacaukan hidupmu sendiri,” sahut Kelby.
Will menggigil ngeri. Seandainya Kelby tidak maju untuk membela dan memperjuangkan
dirinya agar bisa tetap dipekerjakan oleh franchise rugby itu, maka tidak akan ada
gelar kapten dan tidak akan ada karier baginya.
Tentu saja ia berutang budi pada Kelby.
“Tapi aku tidak menduga akan menciptakan seorang Frankenstein! Ketika akhirnya
mendengarkan pencerahan yang kuberikan, kau berubah dari Mr. Wild menjadi Mr.
Disciplined Control. Kau nyaris tidak pernah minum-minum, menjadi antinarkoba yang
fanatik, dan tidak pernah membiarkan dirimu terlibat dalam sebuah hubungan yang
bertahan lebih dari satu malam. Mungkin dua.”
“Daya tarik memang biasanya hanya bertahan selama itu,” gumam Will. Pengalaman
pahit dan beberapa hubungan singkat telah mengajarkan padanya bahwa semakin panas
kobaran daya tarik seksual itu, semakin cepat nyalanya akan padam.
17
joss ‘Wood
“Daya tarik perlu terus dipelihara, Will. Masalahmu adalah bahwa kau menganggap
seks sebagai sumber kekuatan sebuah hubungan. Tapi sebenarnya tidak seperti itu.
Setidaknya untuk hubungan jangka panjang. Mungkin kalau kau mencoba untuk mengenal
seorang wanita terlebih dulu sebelum mengajaknya tidur maka kau akan benar-benar
mengetahui hal ini.” Kelby melayangkan sebuah tatapan penuh arti padanya. “Atau
mungkin kau sebenarnya tahu soal ini dan karena itulah kau membatasi diri dengan
hubungan satu-atau-dua-malam. Kau tidak mau mengenal siapa pun karena tidak ingin
mengambil risiko jatuh cinta.”
Untuk apa ia jatuh cinta? Cintalah yang menjadi masalah! Sebuah perjalanan penuh
gelombang perubahan emosi yang naik turun dari seks yang dahsyat, pertengkaran-
pertengkaran sengit dan kehilangan kendali sepenuhnya. Ia tidak pernah kehilangan
kendali. Tidak lagi. Tidak di lapangan, tidak dalam hubungan, tidak pernah di kamar
tidur. Hal itu mengingatkannya tentang siapa dirinya dulu dan ia tidak menyukainya.
Ia tidak ingin diingatkan soal itu.
“Apa kau baru menelan pil kontrasepsi milik Angie?” desak Will. “Astaga, kau
terdengar seperti salah satu saudara perempuanku!”
Tapi Kelby terus mengoceh. “Aku punya ide ... bagaimana kalau sebagai gantinya kau
mencoba berteman dengan seorang wanita?”
“Bukan seperti itu cara kerjanya.”
18
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Di planet Normal begitulah cara kerjanya,” sergah Kelby.
Will tidak dapat menemukan sebuah jawaban cerdas untuk membalas, maka ia memilih
sebuah jawaban kuno dan tepercaya. “Tutup mulutmu ”
Kelby hanya mendengus sambil meneguk bir.
Will memandang dari atas pagar balkon dan melihat sebagian anggota timnya dalam
kerumunan pe-dansa yang penuh sesak di bawahnya, dikelilingi banyak perempuan seksi
berpakaian sangat minim. Mereka sangat muda dan mudah dikenali. Ia melihat ke
sebelah kanan, pada wanita di bar yang sangat bertolak belakang dengan mereka.
Berusia lebih tua, tapi memiliki keseksian yang tidak dibuat-buat, pikirnya dengan
kagum. Bersahaja, tapi menawan, dengan riasan wajah minimalis dan rambut pendek
yang praktis.
Kelby membantingkan botol bir yang sudah kosong ke meja. “Ayo pergi dari sini.”
Will mengangguk dan menghabiskan birnya. Tatapannya menyapu kerumunan orang di
bawahnya dan ia melihat wanita itu masih berada di sana, sedang berdiri di bar,
dengan sebuah gelas yang sepertinya berisi air mineral di tangan. Tidak seperti
para clubber lainnya, wanita itu terlihat sepenuhnya bersih dari pengaruh alkohol
ataupun narkoba, dan ketika mengangkat satu lengan, dan membuat jam tangan yang
melingkar pada lengan wanita itu berayun, Will melihat bahwa wanita tersebut sedang
mengecek waktu. Bahasa tubuh wanita itu menjeritkan keinginan untuk
19
joss ‘Wood
pergi dan Will sempat merasa kecewa karena ia tidak bisa bertemu wanita tersebut.
Keberadaanmu di sini hanya tiga bulan. Seks adalah hal penting baginya, sekalipun
ia masih lelah dengan hubungan seks tanpa ikatan. Tapi berhubung pemikiran tentang
sebuah hubungan yang bersifat permanen membuatnya merinding, ia tidak punya banyak
pilihan. Apa yang akan lebih buruk daripada terjebak dalam sebuah hubungan dengan
seseorang setelah keakraban dan rasa bosan memadamkan daya tarik seksual? Itu
terjadi pada hubungannya dengan Jo, yang masih dianggap sebagai salah satu atlet
wanita paling seksi di dunia, jadi pasti hal tersebut akan terjadi dengan orang
lain.
Jika ia merasa bosan, kehilangan nafsu dan tidak mampu mempertahankan sebuah
hubungan dengan seseorang yang seseksi Jo, berarti ia hanya punya sedikit—
sebenarnya, sama sekali tidak punya harapan untuk bisa melakukannya dengan
seseorang yang lebih ... normal. Ia memang payah jika menyangkut wanita.
Saat Will dan Kelby berjalan menuruni tangga dari area VIP, ia mempertimbangkan
harus keluar lewat mana. Jika berbelok ke kanan maka ia akan melewati bar dan
mungkin ia bisa melihat wanita itu lagi.
Bukan berarti ia akan melakukan sesuatu saat bertemu wanita tersebut; ia sekadar
ingin memuaskan keingintahuannya tentang warna mata wanita itu.
Ia saling ber-high Jive dengan para clubber dan penggemar yang dalam keadaan lebih
sadar dan yang
20
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
mengenalinya, dan Kelby dengan rela membiarkan diri pria itu sendiri diseret ke
dalam sebuah percakapan dengan beberapa penggemar setia. Pembicaraan tentang rugby
dan bir gratis. Will meringis. Kelby juga tak sanggup menolak.
Will tidak menggubris komentar-komentar memekakkan yang dilontarkan padanya dan
dengan tegas menolak tawaran dari para wanita—dan seorang pria homoseksual—untuk
membelikannya minuman. Ia butuh sekitar lima belas menit untuk tiba di tempat
terakhir kalinya ia melihat wanita tadi dan memandang berkeliling. Wanita itu tak
terlihat lagi.
Hilang.
Kemudian, ia tidak tahu kenapa ia melihat ke arah itu, apa yang membuatnya melirik
ke belakang. Tapi wanita tadi muncul lagi. Hanya saja kali ini wanita itu sedang
berdansa. Seorang pria bertubuh besar, yang tidak Will lihat sebelumnya,
melingkarkan kedua lengan pada bahu wanita tersebut dan memeluk wanita itu. Dan
wanita tersebut tidak menolak. Dia hanya memandang melewati pria itu dengan tatapan
menerawang dan kepala yang bergoyang-goyang naik turun.
Dia mabuk berat.
Will mengerutkan keningnya. Lima belas menit yang lalu wanita itu berada dalam
kondisi sepenuhnya sadar dan ingin pulang ke rumah—kini dia mabuk.
Will mengenali dampak narkoba—bisa melihat tanda-tandanya—namun ia yakin bahwa tadi
wanita itu terus mengutarakan keinginan untuk pulang pada sang teman pria. Kenapa
memakai narkoba jika ingin
21
joss ‘Wood
meninggalkan tempat ini? Dan apa pun yang wanita itu konsumsi telah membuatnya
mabuk dengan sangat, sangat cepat.
Will memandang wanita itu dan instingnya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Ia
benar-benar tidak suka melihat satu tangan lebar dan berbulu yang sedang mendekap
bagian atas pinggang wanita tersebut, dengan satu ibu jari yang terlihat kotor
berada persis di bawah lekukan buah dada. Sepanjang malam tadi wanita itu menolak
ajakan para pria yang berpenampilan jauh lebih menarik dan berpakaian jauh lebih
bagus dibandingkan pria yang sekarang. Tidak mungkin kalau sekarang wanita tersebut
mau berurusan dengan bajingan itu.
Date-rape drug. Pemikiran itu menghantam benaknya dengan kekuatan sebuah formasi
rugby.
Dan di mana sebenarnya teman wanita tadi ... pacar ... teman kencan—apa pun status
pria itu? Will menggigiti bibir bawahnya dan menyumpah, sambil mempertimbangkan apa
yang harus dilakukannya. Ia sembilan puluh persen yakin bahwa minuman wanita itu
telah dibubuhi narkoba, dan jika memang benar, ia tidak mungkin meninggalkan wanita
tersebut begitu saja. Entah apa yang akan terjadi pada wanita itu.
Tetapi ... bagaimana jika ia keliru? Bisa jadi mereka memang melakukannya karena
mau sama mau dan mungkin saja ia benar-benar salah memahami situasinya. Tapi akan
jauh lebih buruk akibatnya bagi wanita tersebut jika ternyata dugaannya benar dan
ia meninggalkan wanita itu seorang diri.
22
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Oh, well, semoga saja ini akan berhasil, pikirnya sambil menghampiri mereka, dan
menyebutkan sebuah nama dengan asal-asalan. “Flora? Hei—halo\ Tidak kusangka kita
akan bertemu di sini!”
23
Dua
Ingatan yang samar-samar dan penggalan-penggalan percakapan berkelebatan dalam
benaknya saat Lu berjuang untuk membuka kedua matanya. Pada akhirnya ia hanya
membiarkan matanya terpejam dan membiarkan dirinya melayang. Ia ingat sebuah
perdebatan akrab dengan Makhosi tentang rambut barunya yang sangat pendek.
Menurutnya, potongan rambut itu tidak cocok untuknya, dan ia menganggap sepasang
alisnya yang baru dicabut tampak membentuk sebuah garis yang terlalu tipis. Makhosi
mendengus dan mengejeknya memiliki selera mode seekor kambing dan mengatakan bahwa
ia tampak menakjubkan. Ia memundurkan ingatannya, dan melihat Makhosi tiba di
rumahnya dalam balutan skinny jeans, sepatu yang sangat mahal dan sehelai atasan
yang gemerlapan, karena anak-anak sudah pergi selama dua minggu dan sahabatnya
tersebut bosan melihatnya bermuram dur-ja, maka pria itu mengajaknya clubbing.
Kapan itu terjadi...? Hari ini? Kemarin?
Tidak, semalam ia berada di klub itu, mengamati bahu bidang Makhosi menyelinap ke
lantai dansa un-
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tuk satu dansa lagi sementara ia menunggu sahabatnya itu di bar.
Kemudian ... nihil.
Lu memaksakan kedua matanya untuk membuka, mengerjap, dan mengusap-usap mata. Saat
ia membukanya lagi, tatapannya terfokus pada seraut wajah tampan yang terbaring
pada bantal di sisinya. Pandangannya melayang pada sosok jangkung pria itu, pada
satu lengan berotot dan turun ke tangan berukuran lebar dan berkulit kecokelatan
yang bertumpu ringan pada bagian atas pahanya yang berkulit jauh lebih putih.
Sebentuk tangan maskulin dengan sebuah sentuhan ringan.... Rasanya begitu
menyenangkan, pikirnya saat kedua kelopak matanya terkulai menutup lagi.
OK, mimpi ini terlalu indah untuk dilenyapkan dengan terjaga dari tidur.
Lu tidak tahu berapa lama waktu yang telah berlalu sebelum ia terbangun lagi, tapi
tidak seperti tadi, kali ini ia tidak merasa seolah bagian dalam kepalanya dijejali
permen kapas. Tidak akan ada seorang pria yang terbaring di sisinya.
Lu membuka satu mata dan—ya ampun!—masih tetap ada seorang pria. Di ranjang.
Dengannya?
Dan bukan hanya seorang pria biasa. Melainkan pria bertubuh jangkung, tampan dan
seksi, yang memenuhi seluruh kriterianya tentang seorang pria menawan. Bahu yang
bidang—check. Dada dan sepasang lengan berotot—check, check. Sepasang tungkai
25
joss ‘Wood
jenjang yang kokoh dan pinggul yang ramping. Seraut wajah yang luar biasa maskulin,
sebentuk rahang yang kuat dan hidung bengkok yang menghindarkan pria itu dari
ketampanan yang berlebihan.
Check, check, check, check, check.
Saat pria itu membuka mata, akankah sepasang mata tersebut berwarna biru atau hijau
gelap? Bukan dua-duanya. Hanya warna kuning gelap ... warna gelap dan cemerlang
dari minuman sherry yang mahal ... dengan berbingkai bulu mata berwarna gelap yang
pendek dan lebat. Bulu mata itu mengerjap satu kali, dua kali, lalu pria itu
menguap dan Lu bisa melihat deretan gigi yang sangat bagus dan ... amandel.
Amandel? Serius?
“Astaga!” ujar pria itu sambil berguling dari ranjang dan berdiri. Pria tersebut
mengulurkan kedua tangan saat Lu melesat bangkit dan duduk sambil memeluk lutut
dengan kedua lengannya. “Jangan panik!”
Anehnya, ia sama sekali tidak merasa panik, tapi pria itu tampak seperti akan
mengalami serangan kepanikan.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya pria tersebut. “Apa kau baik-baik saja?”
Apakah ia memang baik-baik saja? Lu mempertimbangkan pertanyaan pria itu. Ia sedang
berada di dalam sebuah kamar hotel yang asing, tapi mahal, dengan seorang pria yang
membangkitkan gairahnya, dan ia sama sekali tidak tahu siapa pria tersebut dan
bagaimana ia bisa sampai di sini.
Hanya ada satu penjelasan logis untuk terbangun di ranjang seorang pria tak
dikenal. Apa yang telah
26
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
ditelannya semalam—dan berapa banyak?—hingga ia tak mampu mengingat telah
berhubungan seks dengan seorang pria yang begitu rupawan? Pastinya setara dengan
sebutir pil yang membangkitkan keberanian akibat mabuk, karena ia tidak pernah
melakukan seks tanpa ikatan.
Ya Tuhan, semoga pria itu memakai kondom.
Baiklah—hanya ada satu cara untuk melalui semua ini, pikirnya. Tetap tenang.
Usahakan terlihat biasa saja. Berusahalah dengan keras. Setelah membesarkan dua
bocah laki-laki ia menjadi ahli dalam memasang seraut wajah gembira’ untuk melewati
situasi apa pun yang canggung atau emosional.
Ia menyunggingkan sebentuk senyum palsu dan menatap sepasang mata cemerlang pria
itu. “Well, yang semalam itu menyenangkan. Trims. Aku akan segera berpakaian dan
pergi dari sini.”
Lu mengucapkan kata-kata itu dengan bersusah payah dan menahan napasnya saat pria
itu meletakkan kedua tangan di pinggul yang terbalut boxer hitam yang terpasang
rendah. Tinggi tubuh pria itu hampir mencapai seratus sembilan puluh sentimeter
dan, karena T-shirt biru tua serta boxer yang dipakai nyaris tidak menyembunyikan
apa pun, pria tersebut memancarkan kekuatan fisik. Mengapa pria itu sepertinya
begitu familier?
Sepasang alis tebal tampak terangkat sebelum bergerak turun membentuk sebuah
kerutan. “Menyenangkan?”
Ya ampun! Apakah pria itu tidak menikmatinya? Apakah ia memang sudah sekaku itu^.
Lu merasakan
27
joss ‘Wood
gejolak panas menjalari leher dan pipinya. “Maaf, aku tidak terlalu berpengalaman
dalam...” ia melambaikan kedua tangan pada seprei yang kusut “...ini. Begini saja,
biarkan aku pergi dari sini dan kita berdua bisa bersikap seolah itu tidak pernah
terjadi.”
Kegelian berkelebat dalam sepasang mata pria tersebut dan sudut-sudut mulut pria
itu tampak berkedut. Lu merasa pipinya semakin memanas. “Kau pikir apa yang terjadi
semalam?”
Lu menatapi kedua lutut telanjangnya. “Aku menduga bahwa kita mengalami seks yang
buruk.”
“Kau tidak ingat?”
“Karena itulah aku menggunakan kata menduga? tukas Lu. “Apakah kita tidur bersama?”
“Uh, tidak secara seksual.” Pria tersebut menyilangkan kedua lengan di dada dan
otot-otot bisep yang spektakuler itu membengkak. Mulut pria itu menggoda dengan
sebuah senyuman. “Dan, sebagai catatan, pria tidak pernah mengalami seks yang
buruk. Ada seks yang lumayan, seks panas yang memabukkan dan seks yang berada di
antaranya. Tapi seks yang buruk? Tidak juga.”
“Trims atas informasinya,” gerutu Lu. “Jadi, tidak terjadi apa-apa?”
“Tidak, tidak terjadi apa-apa ... secara seksual.”
Sial, apakah yang ia rasakan ini adalah kekecewaan? OK, sekalipun ia tidak bisa
mengingatnya, kembali-kehilangan keperawanannya—dan setelah sekian lama ia sangat
yakin bahwa ia bisa digolongkan ke dalam kategori berbeda—oleh seorang pria yang
begitu rupawan pasti merupakan sesuatu yang menakjubkan.
28
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Sakit kepala yang tidak ia sadari sebelumnya mulai berdenyut-denyut di belakang
kedua matanya sementara kebingungan melandanya. “Jadi, jika aku tidak tidur
denganmu, mengapa aku setengah telanjang dan berada di ranjangmu? Tanpa bra? Apakah
sebelumnya aku bersedia lalu jatuh pingsan? Haruskah aku mulai merasa takut?” Namun
ia tidak merasa takut. Belum. Aneh? Ya. Bingung, sudah pasti. Takut? Tidak juga.
“Percayalah bahwa kau aman.” Pria tersebut pasti merasakan kebingungannya.
Lu memandang ke dalam sepasang mata yang jujur itu dan mengangguk. Ia tidak tahu
pasti alasannya tapi instingnya mengatakan bahwa ia bisa memercayai pria itu—bahwa
meskipun dengan ukuran tubuh seperti itu pria tersebut tidak mau menyentuhnya.
Pria itu duduk di kursi yang berada di satu sisi pembaringan dan menumpukan kedua
lengan atas ke lutut. Setelah sebuah kebisuan singkat pria tersebut bicara lagi.
“Omong-omong, aku Will Scott.”
Will Scott! Ia sudah menduga bahwa pria tersebut tidak asing. Apa yang sedang ia
lakukan di sebuah kamar hotel yang disewa oleh pelatih baru—luar biasa seksi—dari
tim rugby kota Durban yang sangat terkenal?
“Ah...”
“Apa kau mau kopi? Aku butuh kopi. Sebenarnya, aku butuh minuman keras. Tapi kopi
juga boleh.” Will berdiri dan berjalan menuju pesawat telepon yang berada di
samping tempat tidur, melakukan pemesanan dengan jasa layanan kamar.
29
joss ‘Wood
Lu menarik ke atas kerah T-shirt yang telah merosot turun ke bahunya. Baju Will,
pastinya. Yang berarti ... apa? Apakah pria itu telah melucuti pakaiannya? Dan jika
mereka tidak tidur bersama, mengapa ia tidak mengenakan pakaiannya sendiri?
“Di mana pakaianku?” ia bertanya, tidak dapat melupakan fakta bahwa ia tidak
memakai bra.
“Kamar mandi. Menjijikkan,” sahut Will. “Kau memuntahi tubuhmu sendiri.”
Lu mengernyit. OK, menjijikkan. Luar biasa menjijikkan. Cerita ini semakin lama
semakin ... tidak menyenangkan!
“Mengapa aku muntah? Aku tidak pernah minum sampai muntah. Aku tidak mengerti.”
Lu menurunkan kedua tungkainya dan mengayunkannya dari sisi ranjang. Untuk sesaat
ia mengira akan melihat Will memandangi tungkainya, tapi ketika ia menoleh pada
Will lagi, pria itu sedang menatapi karpet berwarna krem di bawah kedua kaki
telanjang pria tersebut.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Lu sambil berdiri dan kaus milik Will menjuntai
persis di atas lututnya. Tentu saja pakaian itu masih memperlihatkan sebagian besar
bahunya, tapi lebih baik daripada buah dada telanjangnya ... meskipun ia rasa Will
sudah melihatnya karena pria itu telah melucuti pakaiannya.
“Semalam aku melihatmu di klub dan kau tampak sepenuhnya sadar. Kali berikutnya aku
melihatmu— Lu—kau tampak sangat ... mabuk. Kau juga berada dalam pelukan seorang
pria yang tidak bersamamu
30
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
sebelumnya dan dia membenarkan bahwa namamu adalah Flora.”
“Flora? Siapa Flora?” desak Lu. “Dan jika kita tidak pernah bertemu sebelumnya,
bagaimana kau bisa tahu namaku?”
“Oh, kau menyimpan beberapa kartu nama di dalam dompetmu. Setelah membaringkanmu,
aku memeriksanya untuk mencoba menemukan seseorang yang bisa kuhubungi guna
memberitahukan tentang situasimu.”
Pantas saja. Ia memang menyimpan beberapa helai kartu nama di dalam dompetnya yang
terkadang ia bagikan untuk mempromosikan hasil karya fotografinya.
“Jadi, semalam kau melihatku dengan pria ini...?” desak Lu.
“Aku menggunakan nama Flora dengan asal-asalan dan dia membenarkannya. Itu adalah
petunjuk yang sangat jelas bahwa ada yang tidak beres dengannya. Maka aku
memegangimu dan berusaha mencari cara untuk menarik perhatian seorang tukang pukul
klub. Lalu kau memuntahi pria itu. Dan tubuhmu sendiri. Dan sepatuku,” tambah Will
dengan sedih.
Lu memejamkan kedua matanya. “Oh ... astaga. Serius?”
Will mengangguk. “Syukurlah kau muntah. Mungkin muntah telah menyelamatkan hidupmu.
Kau mengeluarkan semua date-rape drug yang belum dicerna dari tubuhmu.”
Lu mengerjap dan mengangkat satu tangannya. “ Whoa\ Date-rape drug! Date rape drug
apa? Apa!”
31
joss ‘Wood
“Hanya itulah satu-satunya alasan mengapa seseorang yang sepenuhnya sadar bisa
menjadi robot yang sangat mabuk dan tidak dapat bereaksi dalam waktu lima belas
menit,” Will menjelaskan.
Lu merasakan denyutan di kepalanya semakin dahsyat, disusul oleh sebuah sensasi
pening yang tidak menyenangkan. Date-rape drug? Lu terhuyung ke pinggiran tempat
tidur, menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan merasakan gejolak mual yang muncul dalam
tenggorokannya. Ia telah nyaris disandera, diperkosa berulang kali, menjadi korban
dari tindakan-tindakan yang amat sangat menjijikkan....
Dalam benaknya ia menjerit, kepanikannya menggelegak, dan ia menggigit bibir
bawahnya keras-keras agar tidak merintih. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh
kehilangan kendali, pikirnya sementara imajinasinya memunculkan gambaran-gambaran
mengerikan—kejam dan brutal—yang menamparnya lagi dan lagi.
Ia tak mampu bernapas ... ia butuh udara.
Will berjongkok di depannya, dengan satu lengan bertumpu pada lutut. “Kau
memperlihatkan ketenangan yang mengagumkan. Sebagian besar perempuan pasti sudah
histeris sekarang ini. Baiklah—sekarang, tarik napas. Hal yang penting adalah
mengingat bahwa tidak terjadi apa-apa. Aku membawamu pergi setelah kau muntah. Jadi
bernapaslah, pelan dan dalam.” Itu adalah suara dari mimpi-mimpinya, tenang,
stabil. Penuh kendali. Gambaran-gambaran tadi lenyap.
32
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
«nr* • »
lapi....
“Tidak terjadi apa-apa, Lu.”
Will meraih dagunya dan membuatnya memandang pada wajah tenang pria itu. Ia bisa
melihat gejolak amarah yang menggelegak dalam sepasang mata Will ... karena
peristiwa yang telah nyaris menimpanya? Ia menyambar pergelangan tangan Will dan
berpegang erat pada pria itu, membutuhkan kekokohan Will, membutuhkan sentuhan itu,
butuh bersandar, sebentar saja, pada kekuatan pria tersebut.
Ia menghirup udara lagi. “OK, tidak terjadi apa-apa. Kau yakin?”
“Yakin sekali. Yakin seribu persen. Kau berada dalam pengawasanku sepanjang waktu,
selain lima belas menit setelah minumanmu diberi obat. Kau hanya berduaan denganku
sepanjang waktu. Kau percaya padaku?”
Ia percaya.
“Ponselmu mati, jadi aku tidak bisa menghubungi siapa pun, tapi aku sudah membawamu
ke rumah sakit terdekat, mereka telah memompa isi perutmu dan kau berada di sana
sepanjang malam.”
“Apa?. Aku menginap di rumah sakit?”
Will mengangguk, dengan wajah muram.
“Jadi hari ini bukanlah hari ini, melainkan besok?” jerit Lu. “Aku tidak sadar satu
hari penuh?”
Will meringis. “Yeah. Kau tersadar sebentar tadi siang dan para dokter pikir kau
sudah cukup sehat untuk diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, asalkan ada orang
yang mengawasimu.”
33
joss ‘Wood
“Aku tidak ingat apa-apa!”
“Sepertinya itu normal.”
“Itu menurutmu. Ini sama sekali tidak normal. Jadi kau membawaku kembali ke sini?”
Lu memandang berkeliling. “Di mana sebenarnya ini?”
“ The Bay—penthouse suite. Tempat tinggalku untuk sementara sampai menemukan sebuah
apartemen untuk disewa. Yah, aku tidak tahu harus menghubungi siapa, dan aku tidak
mungkin meninggalkanmu seorang diri, jadi aku mengganti pakaianmu dengan salah satu
T-shirt milikku dan membiarkanmu tidur sampai pengaruh obat itu benar-benar
hilang.”
Lu memandang pada ranjang yang mereka tempati bersama. “Kau tidur denganku?”
“Sekadar untuk menjagamu,” Will meyakinkannya. “Kau beberapa kali mengalami mimpi
buruk. Melihat dari cepatnya efek yang obat itu timbulkan padamu, tim dokter rumah
sakit berpendapat bahwa yang kau minum adalah GHB (Gamma Hydroxybutyrate, atau
banyak dikenal dengan nama Georgia home boy), yang mudah sekali mengakibatkan
overdosis. Kau sangat beruntung. Karena berat tubuhmu begitu ringan, para dokter
khawatir. Overdosis dapat mengarah pada kondisi koma atau kematian.”
“Aku tidak pernah meninggalkan minumanku tanpa pengawasan,” protes Lu.
“Kau melakukannya. Kau meninggalkan minumanmu di atas meja bar saat temanmu kembali
dari lantai dansa. Kau memeriksa waktu....” Will menyumpah.
34
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu mengangkat kedua alisnya. Pria itu telah mengawasinya? Bagaimana? Dari mana?
Namun demikian ia tetap tidak merasa ketakutan. Hanya terlindungi ... dan aman.
Seolah ia dijaga oleh malaikat pelindung bertubuh kekar.
Will memejamkan mata selama satu milidetik. “Kau berada tepat di bawahku. Saat itu
aku sedang mengamati aktivitas klub dari area VIP di atas.
“Sekarang aku terdengar seperti seorang peng-untit.” Will menelusurkan satu tangan
ke sela-sela rambut berpotongan pendek itu dan meringis. “Aku bukan penguntit,
sungguh. Aku melihatmu. Kau tampak sangat sadar. Kali berikutnya aku melihatmu, kau
tampak mabuk, bersama seseorang yang bahkan tidak kulihat pernah kau ajak bicara.
Aku hanya merasa ada yang tidak beres.”
Ia percaya pada pria itu. Mungkin ia naif atau dungu, namun ia tahu, sangat yakin,
bahwa Will telah menyelamatkannya. Lagipula, sungguh, untuk apa seseorang yang
berparas seperti Will membutuhkan date-rape drug agar bisa meniduri seorang wanita?
Bahkan mungkin pria itu harus menghalau para wanita dengan tongkat pemukul.
Lu bukan seorang pemerhati selebriti, tapi sosok Will cukup terkenal hingga sulit
untuk tidak membaca tentang pria itu. Will adalah mantan-bad-boy dunia rugby
internasional yang mengencani para super-model dan mega bintang. Mantan istri pria
itu adalah Golden Princess-nya. dunia tenis profesional, dengan wajah dan tubuh
yang sanggup meluncurkan kapal
35
joss ‘Wood
luar angkasa intergalaksi. Dan Will adalah seorang dewa dunia rugby internasional—
salah satu harta nasional New Zealand, pikir Lu sambil mengingat-ingat percakapan
si kembar tentang pria itu. Will adalah seorang pemain multi-capped dan telah
berkontribusi memimpin timnya memenangkan Piala Dunia rugby musim lalu. Pria itu
baru saja mengundurkan diri dari dunia rugby internasional dan berada di Durban
selama beberapa bulan.
Lu tersentak kembali ke masa sekarang karena sebuah ketukan nyaring di pintu suite.
Will tersenyum dan perut Lu bergejolak. Hoo-boy\ Pria mega-tampan.
“Kopi. Akhirnya.” Will beranjak ke pintu dan menoleh padanya. “Ponselku ada di
samping tempat tidur, atau gunakan telepon hotel untuk menghubungi siapa pun yang
kau rasa perlu.”
“Terima kasih. Aku akan melakukannya ... setelah menggunakan kamar mandi. Dan
Will?”
Lu menelan ludah dan mengangkat kedua tangannya ketika pria itu berbalik dan
memandang padanya.
“Terima kasih. Memang kedengarannya tidak memadai, tapi aku sangat, sangat
berterima kasih. Untuk semua ini, aku selamanya berutang budi padamu.”
Lu membasuh wajahnya dan memegangi masing-masing sisi wastafel model free-standing,
sambil menatap ke dalam bidang yang terbuat dari keramik putih itu. Mengapa ia
merasa seperti berusia sembilan belas tahun lagi? Tak berdaya, rentan,
ketakutan.... Itu
36
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
pasti karena, seperti sebelumnya, ia telah tercampak ke dalam situasi mengerikan
ini tanpa peringatan apa pun, tanpa punya waktu untuk mempersiapkan diri.
Ini merupakan sebuah situasi yang tak mampu ia kendalikan dan ia terhempas kembali
ke masa kelam itu saat ia merasa letih dengan kedukaan, lumpuh oleh tanggung jawab
dari peran barunya sebagai wali untuk kedua adiknya, merasa begitu tak berdaya.
Setiap perasaan menggelisahkan yang pernah ia alami kembali melandanya—setiap
kesedihan, setiap ketakutan. Oh, secara intelektual ia tahu bahwa ini bukan
kesalahannya, tapi mengetahui berbeda dengan merasakan, dan berada dalam kekuasaan
siapa pun yang telah mencampurkan narkoba ke dalam minumannya membuat ia ketakutan
setengah mati. Ditambah lagi saat menyadari bahwa ia telah berada dalam tangan
Will, dalam perawatan pria itu ... di bawah kuasa pria tersebut.
Ia ingin meringkuk di sebuah sudut dan mengisap ibu jarinya. GHB? Minuman yang
dibubuhi narkoba? Seorang selebriti terkenal yang menyelamatkannya dari sesuatu
yang mungkin saja merupakan sebuah situasi mengerikan? Insiden-insiden seperti ini
tidak sering terjadi pada wanita biasa seperti dirinya. Jika ia memikirkan apa yang
bisa saja terjadi....
Lu membenturkan satu tangan pada keningnya dalam upaya untuk menyingkirkan jaring
laba-laba dalam benaknya dan menyadari bahwa perutnya mulai memberontak lagi.
Jangan pikirkan soal itu. Jangan pikirkan soal itu....
37
joss ‘Wood
Wajah Will muncul dalam benaknya dan ia memfokuskan pikiran pada hal itu untuk
mengalihkan perhatian. Pria itu jauh lebih tampan dalam kehidupan nyata
dibandingkan dalam halaman surat kabar dan layar televisi. Mereka tidak menangkap
kecerdasan sepasang warna berwarna seperti batu topaz itu, gerakan mengerjap di
mulut yang lincah itu, lekukan sejenis lesung pipit berukuran sangat, sangat kecil
yang muncul di pipi Will saat pria itu tersenyum.
Dan ia bahkan tidak akan memikirkan tentang tubuh Will... bugar, keras, sangat—luar
biasa!—maskulin. Lu menggesek-gesekkan kedua paha. Anehnya, tiba-tiba saja ia
merasakan sebuah denyutan kuat di tempat yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya
berdenyut.
Lu mengangkat kepalanya untuk memandangi dirinya sendiri di cermin yang terletak di
atas wastafel dan terpekik melihat bayangannya. Rambut barunya yang di-highlight
keemasan yang semalam terlihat begitu elegan kini mencuat membentuk jambul di sisi
kanan kepalanya dan terkulai dengan benar-benar rata pada sisi satunya. Ia tampak
pucat pasi, satu-satunya warna yang terlihat adalah bintik-bintik di wajahnya, dan
kantung matanya berwarna ungu terang.
Pantas saja Will Scott tadi melesat bangkit dari tempat tidur seolah anjing-anjing
dari neraka sedang mengejar dan mencoba menggigit pria itu. Memang kedua mata Lu
memiliki warna yang tidak biasa— kadang hijau, terkadang biru—tapi bintik-bintik
yang bertaburan di hidung dan pipinya adalah ku-
38
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tukan baginya. Ia lebih seperti gadis sebelah rumah’ ketimbang aku seorang wanita,
dengarkan aku mengaum.’
Pagi ini ia baru sampai pada tahap ‘Aku seorang manusia, dengarkan aku merintih.’
Jadi pemikiran bahwa Will memandangi kedua tungkai atau mulutnya, atau kilatan
ketertarikan yang ia pikir dilihatnya dalam sepasang mata pria itu hanyalah sekadar
dugaan penuh harap dari angan-angan. Dasar gadis bodoh. Lu menjulurkan lidah pada
bayangannya, membuka keran dan memercikkan air hangat ke wajahnya. Setelah mencuri
sedikit pasta gigi milik Will, ia menyikat giginya dengan satu jari dan menggunakan
banyak obat kumur tanpa permisi.
Ia membasahi kedua tangan dan menelusurkannya ke sela-sela rambut agar tidak
terlalu kelihatan seperti seekor ayam katai yang menderita gangguan saraf. Ia
berharap bisa memakai bajunya sendiri, tapi ketika ia meraih bungkusan berisi
pakaiannya, bau yang menguar dari isi bungkusan itu membuatnya berubah pikiran.
Untuk saat ini ia harus puas dengan T-shirt milik Will, yang nyaris menyentuh kedua
lututnya.
Baiklah—ia merasa agak lebih mirip manusia dan sedikit lebih mampu berhadapan
dengan Will, daya tarik seksual dahsyat yang memancar dari pria itu dan situasi
yang sangat ajaib ini. Lu menegakkan punggungnya dan membuka pintu kamar mandi
persis saat Will berjalan melintas dari lemari pakaian, kini dengan tubuh terbalut
Levi’s berwarna pudar yang ketat pada bagian pinggul, satu tangan pria itu
menggenggam sehelai T-shirt merah terang.
39
joss ‘Wood
Dada Will ditumbuhi sedikit rambut berwarna gelap dan pria itu memiliki perut six-
pack yang akan membuat iri seorang model pria. Membuat mulut Lu berair.
Aku seorang wanita, lihatlah aku meneteskan air liur.
“Lu! Lu, di mana kau?”
Empat puluh lima menit kemudian sebuah ketukan keras di pintu suite dan suara kalut
seorang pria membuat Lu terlonjak kaget di kursi yang diduduki. Will mengangkat
kedua alisnya saat Lu membuka pintu dan pria tampan dari klub semalam memeluk dan
memutar-mutar tubuh wanita itu.
“Astaga, Lu. Aku baru mengajakmu clubbing satu kali dan kau menghilang dariku! Dan
apa yang kau maksud dengan minumanmu telah dicampur narkoba? Dan jangan biarkan
baterai ponselmu habis, woman?' seru pria itu.
Tanpa memberi kesempatan Lu untuk menjawab, pria itu mengoceh dalam rentetan kata
berbahasa Zulu. Meskipun Will tidak mengerti satu pun kata yang pria itu ucapkan,
ia bisa menangkap intinya. Itu adalah nada bersifat universal untuk mengatakan kau-
membuatku-ketakutan-setengah-mati.
Lu menyela dengan meletakkan satu tangan ke mulut pria itu. “Mak Sibaya—Will
Scott.”
Mak menepiskan tangan wanita itu, mengangkat satu tangannya sendiri dalam sebuah
gestur setengah-
40
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
menyapa dan terus mengomel. “Aku meninggalkanmu untuk satu dansa ... aku kembali
dan kau menghilang! Kupikir kau melakukan siasat aku-sudah-bosan-menunggu’ seperti
yang biasa kau lakukan dan pulang sendiri. Ketika tidak bisa menghubungimu kemarin
siang, aku pergi ke rumahmu. Ketika melihat mobilmu ada tapi kau tidak ada di
rumah, aku mulai panik. Sampai sekarang aku masih panik! Dan apa yang kau maksud
dengan date-rape drug Apa yang—”
“Dia baik-baik saja,” ujar Will, sambil menyodorkan secangkir kopi ke tangan Mak
dan menyela satu lagi rentetan kata umpatan yang dramatis. “Apa kau membawa
pakaian?”
Mak duduk dan memandang berkeliling, lalu pada akhirnya menunjuk pada kantung
plastik yang tadi pria itu jatuhkan di dekat pintu. Will berdiri dan mengambil
benda tersebut, memahami bahwa Mak butuh waktu sejenak untuk menenangkan diri—
bahwa pria itu sungguh-sungguh khawatir dan mengekspresikan kecemasan tersebut
dengan bertingkah menjengkelkan. Ia tidak bisa menyalahkan pria itu. Memang
begitulah perilaku pria saat mereka merasa gusar. Pria mana pun pasti akan
bertingkah gila jika kekasihnya menghilang dan tidak dapat dihubungi.
Satu lagi alasan untuk tidak memiliki pasangan ataupun pacar ... kau tidak akan
mungkin merasa risau dan cemas jika tidak ada orang yang harus dirisaukan serta
dicemaskan. Dan Will masih kesal karena Mak kurang memperhatikan Lu waktu di klub—
mengawasi Lu dan bukannya meninggalkan wanita itu sendirian di bar.
41
joss ‘Wood
Will menduduki kursi di seberang Mak dan menuang secangkir kopi untuk dirinya
sendiri. Mereka menunggu dalam sebuah kebisuan yang canggung sementara Lu sedang
berpakaian di ruangan lain.
Mak mengangkat kepala dan sepasang mata berwarna gelap itu tampak menderita saat
bertatapan dengan kedua mata Will. “Omong-omong, terima kasih atas pertolonganmu.
Kalau sampai ada yang terjadi padanya....”
Merasa tidak nyaman dengan tingkat emosi yang didengarnya dalam suara pria itu,
Will menggeser duduknya. “Tentu saja ... aku senang karena aku berada di sana waktu
itu.”
“Aku juga.” Mak mengusap-usap wajah dengan kedua tangan. “Lu ... dia—”
Kata-kata pria itu terputus saat Lu kembali. T-shirt milik Will telah digantikan
oleh sehelai T-shirt merah muda ketat dan bermodel cropped, yang memperlihatkan
sedikit kulit perut wanita itu di atas ikat pinggang celana pendek putih yang
berpotongan low-cut. Sepasang sandal jepit belel menjadi alas sepasang kaki di
bawah tungkai jenjang Lu. Wanita itu menyilangkannya saat duduk di sofa dan
bersebelahan dengan Will.
Will mengangsurkan secangkir kopi pada wanita tersebut. “Tanpa gula dan krim.
Tambahkan apa yang kau mau ke dalamnya.” Ia membuat gerakan isyarat pada susu dan
gula di atas nampan. Ia melihat Lu menambahkan gula, tanpa menambahkan susu.
42
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Kuharap kami tidak mengganggu rencana kegiatanmu?” ujar Lu setelah menyesap kopi
dan mendesah.
“Ada wawancara pers yang dijadwalkan untuk nanti, tapi aku tidak sedang terburu-
buru ” Will meletakkan cangkirnya ke atas nampan dan mencondongkan tubuh ke depan.
“Apa yang ingin kau lakukan menyangkut peristiwa semalam? Apa kau ingin mengajukan
tuntutan?” Ia mengamati Lu yang sedang berpikir.
“Entahlah. Aku merasa baik-baik saja sekarang. Sedikit sakit kepala, tapi hanya
itu.” Wanita tersebut menurunkan kedua siku ke lutut dan menopangkan wajah pada
telapak tangan. “Aku ingin pergi ke polisi tapi aku tidak ingat apa-apa.”
Suara Will berubah kaku. “Aku ingat. Aku bisa memberi gambaran pada polisi mengenai
orang yang kita cari.”
“Tapi kita tidak dapat membuktikan bahwa pria yang kau lihat bersamaku itu memang
membubuhkan narkoba ke dalam minumanmu. Dia bisa saja mengaku kalau saat itu dia
sedang menolongku,” ujar Lu.
Will merasakan gigi belakangnya bergemeretak saat menyadari kebenaran kata-kata
wanita itu. “Memang, tapi menurutku kau tetap harus melaporkannya.”
Lu menggigit kuku ibu jari. “Kau benar. Tidak melaporkan kejadian itu adalah
tindakan yang tidak bertanggung jawab.”
“Aku akan mengantarmu, Lu,” ujar Mak sambil meletakkan cangkir yang sudah kosong ke
atas meja kopi.
43
joss ‘Wood
Pria itu tampak lebih tenang, pikir Will, tatapan pria tersebut tidak senanar tadi.
Lu memiringkan kepala untuk bisa melihat pada permukaan jam tangan Mak. “Sekarang
hari Senin, bukan?”
Mak mengangguk.
“Kau tidak bisa mengantarku ke mana-mana. Kau punya waktu tiga puluh menit untuk
wawancara awal di sekolah. Itu di ujung kota yang jauh.”
Mak butuh waktu sejenak untuk menyadari kata-kata Lu, tapi kemudian melesat bangkit
dari kursi dan terlihat panik. “Aku tidak mau Deon sekolah di sana.”
“Itu rencana cadangan, Makhosi. Kita sudah membicarakan soal ini. Untuk berjaga-
jaga seandainya dia tidak bisa masuk St. Clare’s.”
“Kau benar—aku tahu kau benar. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengantarmu pulang,
menjemput Deon, dan tiba pada waktunya untuk wawancara. Bisakah kau menunggu di
sini sampai aku kembali?” tanya Mak.
“Lu dan aku akan ke kantor polisi lalu aku akan mengantarnya pulang,” usul Will.
Mak melayangkan sebentuk senyum lega padanya. “Trims, Will. Aku sangat menghargai
bantuanmu.”
Will berdiri dan menjabat tangan Mak. Rahangnya mengertak ketika melihat Mak dan Lu
saling berpelukan mesra kemudian Mak melesat keluar dari ruangan.
Lu menutup pintu setelah pria itu pergi dan menggelengkan kepala. “Mak selalu
bergerak dengan
44
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
kecepatan kilat.” Wanita itu menjentikkan kuku ibu jari pada gigi saat berjalan
kembali ke arahnya. “Kau sudah banyak menolongku. Aku tidak mungkin mem-bebanimu
lagi. Aku akan baik-baik saja sendirian. Aku akan pergi ke kantor polisi kemudian
mencari cara untuk pulang.”
Will melawan dorongan yang datang dengan tiba-tiba untuk menyambar tangan Lu dan
menyuruh wanita itu untuk bersantai, untuk menenangkan diri. “Kita akan pergi
bersama-sama,” tegasnya dan melihat bahu Lu terkulai. Baik-baik saja sendirian
apanya? Tapi apa pedulinya?
Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa gadis itu telah menenggak minuman yang sudah
dicampur dengan narkoba. Jika ia tidak ikut campur maka Lu bisa saja diperkosa,
menjadi korban pelecehan.... Will menggemeretakkan giginya sementara tekanan
darahnya melonjak naik. Tentu saja ia harus pergi ke polisi bersama wanita itu.
“Mungkin yang harus kulakukan hanyalah menganggap peristiwa itu sebagai sebuah
pengalaman buruk dan menghindari klub malam—tidak peduli apa pun yang adik-adikku
ingin agar aku lakukan,” ujar Lu, seraya mengambil lagi cangkir kopinya.
“Apa hubungan adik-adikmu dengan aktivitas clubbingmti” tanya Will dengan rasa
penasaran.
“Ah, menurut mereka aku harus lebih sering keluar rumah,” jelas Lu.
Ia merasa kecewa saat wanita itu mengibaskan tangan tanpa menerangkan lebih jauh
maksud dari kata-kata tersebut.
45
joss ‘Wood
“Ceritanya panjang dan mungkin kau akan menganggapnya membosankan ”
Anehnya, sepertinya ia tidak akan merasa seperti itu. Memang, Lu tidak memiliki
pesona kecantikan yang glamor maupun penampilan modis yang mewah, seperti para
wanita yang biasa dikenalnya, namun ia merasa bahwa Lu jauh lebih menarik dibanding
kebanyakan wanita yang ia temui. Ada sesuatu yang pasti dalam diri wanita itu ...
tenang, bersahaja ... bijaksana.
Ia mengagumi ketenangan Lu saat berada di bawah tekanan. Dugaan Lu bahwa mereka
telah tidur bersama merupakan sesuatu yang menggelikan karena sebelumnya wanita itu
punya alasan bagus untuk panik. Sebaliknya Lu berhasil menenangkan diri dan
memikirkan situasinya dengan saksama, emosi wanita itu terkendali. Tadinya ia takut
harus berurusan dengan makhluk cengeng serta ketakutan, dan reaksi Lu yang tidak
dramatis merupakan sebuah kelegaan yang sangat menyenangkan.
Mengagumkan. Ia menghargai pengendalian dirinya sendiri dan mengagumi kemampuan
wanita itu untuk melakukan hal yang sama.
Dan kedua mata itu, astaga ... sepasang mata putri duyung, memantulkan warna hijau
dan biru serta warna aquamarine laut tropis.
Will menyandarkan kepalanya pada punggung kursi yang bermodel wingback dan berpikir
bahwa kunjungan singkatnya ke Durban ini telah dimulai dengan sebuah keadaan yang
sangat menarik.
46
Tiga
Will berbelok memasuki jalanan mobil yang Lu tunjuk dan berhenti di depan pintu
gerbang besi berukuran raksasa sementara wanita itu merogoh-rogoh ke dalam tas
untuk mencari kunci. Ia memandang melalui sela-sela gerbang pada rumah berukuran
sangat besar dan luas dengan beranda teduh yang membentang dari ujung ke ujung
serta mengangguk setuju. Dengan sebuah taman yang membentang luas dan atap yang
landai, tempat itu terlihat persis sebagaimana mestinya sebuah rumah—nyaman dan
berpenghuni. Besar.
Will memandang melalui celah di antara bangunan rumah dan garasi serta menangkap
sekelebat pemandangan laut di baliknya. “Ini rumahmu?”
“ Yep” sahut Lu. “Terima kasih untuk tumpangannya dan untuk menemaniku ke kantor
polisi. Kau jauh lebih tenang dibanding sikap yang pasti akan Mak tunjukkan.”
“Mungkin dia akan meneriakimu sepanjang waktu,” ucap Will dengan tenang.
“Tadi dia memang sedikit mengamuk, ya? Maaf soal itu.”
joss ‘Wood
Cengkeraman jemari Will pada kemudi bertambah kencang. “Dia tergila-gila padamu.
Sudah berapa lama kalian bersama?”
Lu memandangnya dengan ekspresi bingung. “Kami bukan pasangan. Mengapa kau berpikir
be-gitu?
Oh, mungkin fakta bahwa dia mencium bibirmu, memutar-mutar tubuhmu dan tidak
berhenti menyentuhmu! Petunjuk yang sangat jelas!
“Berarti aku keliru,” ujar Will dengan suara keras, namun ia tidak yakin. Dan yang
dirasakannya itu bukanlah kecemburuan. Tidak mungkin. Ia tidak tahu perasaan apa
itu, tapi bukan kecemburuan.
“Dulu dia tinggal di sebelah rumah dan kami tetap berteman setelah dia pindah. Mak
hanya ... sangat berapi-api. Protektif terhadap diriku. Dia menyayangiku, tapi kami
cuma teman,” jelas Lu sementara pintu gerbang meluncur terbuka.
Yeah, dan rugby bukan olahraga yang memerlukan kontak badan, pikir Will sambil
melaju di jalanan mobil yang berbentuk melingkar menuju pintu depan. Mungkin Lu
menganggap bahwa mereka hanya berteman, tapi Will seorang pria dan ia tahu
bagaimana pria berpikir dan bersikap. Bagaimana mungkin Mak tidak ingin tidur
dengan Lu? Wanita itu sangat menawan! Sebuah kecantikan alami dengan sepasang mata
yang menakjubkan itu....
“Tadi aku melihat ekspresi di wajahmu ... kau menganggap Mak tidak bertanggung
jawab karena dia kehilangan jejakku.”
48
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will tidak bisa menyangkal hal itu.
Lu mendesah. “Dia tidak bersalah—tidak sepenuhnya. Dia hanya sangat sibuk, dan saat
dia punya waktu untuk menjauh dari kesibukan, untuk bergaul, dia memanfaatkan
kesempatan itu dengan optimal. Dan aku bukan tipe gadis yang perlu diawasi ...
malam itu Mak tahu bahwa aku ingin pulang dan aku tahu kalau dia ingin tinggal. Aku
sudah sering meninggalkannya, jadi dia tidak akan menganggap hal itu aneh. Aku
menyimpan nomor telepon taksi di speed dial?
Will hanya mengangkat kedua alis dan tampak tidak yakin.
Ponsel Will berdering. Pria itu menekan sebuah tombol pada kemudi untuk
mengaktifkan handsfree dan menyapa si penelepon. Lu merasa harus memberi pria itu
privasi untuk menerima panggilan telepon dan mencoba keluar dari mobil, tapi tangan
Will yang menggenggam satu lengannya menahan Lu tetap di tempatnya.
Melalui speaker mobil seseorang yang tidak Lu tahu namanya sedang membicarakan
konferensi pers sore itu dan ia mendengarkan saat Will mendapat pengarahan singkat
tentang pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan.
“Dan pasti akan ada pertanyaan-pertanyaan yang seperti biasa tentang mantan
istrimu.”
“Yeah, OK, aku akan menjawabnya dengan senang hati!” sergah Will, jelas merasa
frustrasi.
Lu tidak butuh gelar sarjana dalam bidang sarkasme untuk menyadari bahwa Will
benar-benar tidak ingin
49
joss ‘Wood
menjawab pertanyaan apa pun tentang kehidupannya yang dulu, mantan istri dan
pernikahan mereka.
“Jo adalah seorang wanita berambut pirang, cantik, dan sukses. Kau tampan, berbakat
dan sukses. Dia masih sendiri. Dan kau juga. Kau pernah menikah dan semua orang
masih penasaran tentang apa yang terjadi pada pernikahanmu,” sahut suara tadi
dengan tenang. “Pers tahu bahwa ada cerita di balik itu dan mereka
menginginkannya.”
“Mereka semua boleh....” Will melayangkan sebuah tatapan ke arah Lu dan menelan
kembali kata-kata yang tadinya ingin diucapkan. “Berbuat sesukanya tapi aku tidak
peduli. Seperti biasa, tidak akan ada pembicaraan tentang Jo dan apa pun yang
berhubungan dengannya. Semua itu sudah lama sekali hingga kau akan mengira bahwa
mereka akan melupakannya.”
Dengan tangan Will yang masih memegangi lengannya, Lu tetap di tempatnya dan
berpikir bahwa bagaimanapun juga mereka tidak jauh berbeda. Seperti Mak, seperti
kedua orangtuanya, bahkan kedua adiknya, Will adalah tipe orang yang sangat
berbeda. Jenis orang yang sukses, memiliki kepercayaan diri yang alami, sangat-
yakin-akan-kedudukan-mere-ka-di-dunia.
Lu ingin menjadi seperti itu.
Ia tidak punya kedudukan. Posisinya—tempatnya—telah dirampas ketika kedua
orangtuanya meninggal, dan dua minggu yang lalu saat adik-adiknya meninggalkan
dirinya hal itu berubah lagi.
50
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Kini ia sendirian setelah melalui satu dekade di mana si kembar telah menjadi fokus
terpenting dalam hidupnya, dan ia harus tinggal di rumah kosong ini tanpa tanggung
jawab sehari-hari sebagai wali mereka. Tidak ada makan malam yang harus dimasak,
tidak ada tugas yang harus dikerjakan, tidak ada pesta yang harus diawasi. Untuk
pertama kali dalam hidupnya ia tidak dibatasi oleh hubungannya dengan kedua orang-
tuanya yang terkenal dan kedua adik kembarnya yang yatim piatu.
Keterasingan dan kesepian terus merayap semakin dekat, dan ia sering merasa tidak
siap menghadapi sebuah kehidupan tanpa si kembar. Jika tidak berhati-hati, ia bisa
tergelincir ke dalam penyesalan, dan lebih jauh menuju risiko depresi. Ia tidak
boleh—tidak mau—membiarkan hal itu terjadi.
Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hidupnya, dan melakukannya dengan
cepat. Setelah semua yang ia alami dalam hidup sejauh ini, ia tidak mau menyerah
karena ia sendirian dan merasa tak tahu arah. Karena itulah ia setuju untuk pergi
clubbing dengan Mak. Saat itu ia menyadari bahwa ia harus keluar rumah, keluar dari
kedukaannya. Adik-adiknya benar. Ia harus mulai menjalani hidupnya.
Tentu saja minuman yang dicampur narkoba merupakan sebuah awal yang memalukan.
Satu dekade terakhir memang merupakan masa yang sulit, ia mengakui dalam hati
sementara Will melepaskan pegangan pada lengannya dan meneruskan percakapan di
telepon. Ia baru saja mulai mengeksplorasi
51
joss ‘Wood
pilihan karier yang dimilikinya ketika dengan tiba-tiba saja ia terlempar ke dalam
tugas untuk merawat si kembar. Ia mengurus adik-adiknya dengan warisan yang
membiayai pengeluaran pokok, fokus untuk sebisa mungkin menjadikan dunia mereka
berdua aman dan terlindungi, bertekad untuk tidak membuat mereka merasa sekacau,
sekesepian dan setakut yang ia rasakan. Ia tetap menyibukkan diri sendiri dan kedua
adiknya guna menjauh dari duka cita, dan meskipun telah mencoba untuk tetap
menekuni kegiatan fotografinya, ia tidak dapat mencurahkan waktu dan pikiran yang
dibutuhkan untuk meraih kesuksesan. Pada akhirnya ia berhenti memikirkan dirinya
sendiri, tempatnya di dunia ini dan apa yang menjadi minatnya.
Siapa sebenarnya dirinya? Lu ketakutan saat menyadari bahwa ia sama sekali tidak
tahu. Tidak masalah, ujarnya pada diri sendiri. Ia punya waktu untuk mencari tahu
soal itu. Ia hanya membutuhkan sebuah rencana.
“Maaf soal yang barusan.” Suara Will menariknya kembali ke masa sekarang. “Lu? Kau
tidak apa-apa?”
Lu mengerjap dan fokus pada wajah pria itu. Will, dari jarak sedekat ini, tampak
memiliki ketampanan yang jauh lebih menggiurkan, lebih menggairahkan, lebih
menakjubkan dibandingkan foto mana pun. Pria itu tidak sempurna—hal tersebut akan
menjadi terlalu menakutkan—dan ia menyukai kekurangan Will seperti halnya ia
menyukai keseluruhan diri pria itu. Kerutan-kerutan pada sudut sepasang mata yang
ramah itu, dan rambut yang, sayangnya, terlalu pendek.
52
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will memiliki bulu mata tebal dan pendek, sepasang alis yang tidak rapi dan hidung
yang bengkok.
“Apa kau ingin aku ikut masuk menemanimu? Apa kau akan baik-baik saja?” tanya Will.
“Aku sudah terlalu banyak menyita waktumu,” sahut Lu, lega saat mendengar suaranya
cukup tenang. “Terima kasih atas semua pertolonganmu. Seperti yang kubilang, aku
berutang budi padamu.”
Tatapan Will menelusuri wajahnya. “Kalau kau mulai mengingat sesuatu dan jika ada
yang ingin kau tanyakan, kau boleh hubungi aku di tempat latihan rugby. Mereka akan
memastikan agar aku menerima pesanmu dan aku akan menghubungimu kembali.”
Sebuah tawaran yang baik hati, pikir Lu, menyadari bahwa pria itu tidak memberikan
nomor ponselnya. Lu masih cukup peka untuk mengenali penolakan halus tersebut. Will
tidak akan menghubungi kembali dan ia tidak keberatan dengan hal itu.
Lagipula, ia harus kembali menata hidupnya. Ia tidak membutuhkan gangguan dari
seorang pemain rugby yang super-seksi.
Tapi, astaga, ia sungguh berharap mereka memang berhubungan seks. Satu kali saja
dan akan lebih baik lagi jika itu adalah jenis seks yang memabukkan. Sekadar
untuk ... kau tahu ... membersihkan sarang laba-laba itu....
Dua hari kemudian Lu duduk di lantai antara sofa kulit dan meja kopinya, dengan
laptop di depannya.
53
joss ‘Wood
Ia sedang memperbarui websitenya. dalam upaya untuk menarik lebih banyak pekerjaan
fotografi dan berpikir bahwa ia telah membuat kemajuan yang sangat bagus. Situs itu
lebih modern serta lebih cerdas dari sebelumnya, dan ia menyukai foto-foto yang
telah ia tempatkan pada halaman depan. Ada bayi pasangan Johnson yang baru lahir,
telanjang bulat dengan seutas pita biru cerah yang terikat pada perutnya dan sebuah
tanda bertuliskan “ Special Delivery”. Di bawahnya ada favorit Lu berupa foto
sepasang mempelai, tertangkap kamera dalam sebuah tatapan penuh cinta yang begitu
mendalam hingga membuat tenggorokan Lu tercekat setiap kali melihatnya.
Ia hebat dalam mengambil foto itu, pikirnya. Mampu menangkap esensi dari momen
tersebut. Dan karena sekarang ia punya waktu untuk mencurahkan perhatian pada
fotografi, ia menyadari betapa ia merindukan saat-saat berada di belakang kamera.
Selama satu dekade ini ia telah beberapa kali mencoba membuktikan diri sebagai
seorang fotografer, tapi setiap kesempatan yang datang selalu gagal. Ia pernah
ditawari sebuah pekerjaan magang pada salah satu fotografer yang lebih ahli di kota
sekitar setahun setelah kedua orangtuanya meninggal, tapi ketika menyadari bahwa
pekerjaan yang dilakukan setelah jam kerja normal dan pemotretan-pemotretan di luar
kota adalah kondisi standar dari pekerjaannya, ia mengundurkan diri karena ia harus
berada di rumah untuk si kembar.
Ia pernah menjadi fotografer beberapa acara pernikahan sederhana, bekerja paruh
waktu di sebuah
54
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
studio fotografi sebelum tempat itu ditutup enam bulan yang lalu, dan melakukan
beberapa pekerjaan dalam bidang grafis secara freelance, tapi karena situasi
keluarganya, ia belum mampu mendapatkan peluang besar untuk kariernya. Rekan-
rekannya sesama siswa sekolah fotografi telah sukses berkarier sementara ia
tertinggal sepuluh tahun di belakang mereka.
Tidak banyak yang dibutuhkan untuk memulai bisnisnya dari bawah. Ia memiliki sebuah
studio yang sudah berisi perlengkapan di dalam pondok yang berada di samping
bangunan rumah utama: lampu-lampu, properti, dan latar. Ia hanya membutuhkan klien
untuk kembali ke arah yang ditujunya; ia harus menebus seluruh waktu yang telah
hilang dari hidupnya.
Ponselnya berdengung di lantai di sebelahnya dan ia mengerutkan kening melihat
nomor yang tidak dikenalnya. Sambil mempertimbangkan apakah perlu menjawab atau
tidak, ia menyesap wine dan bertanya-tanya apakah ia sedang ingin bicara dengan
seseorang. Kau sudah mulai menjadi seorang pertapa, kecamnya pada diri sendiri
sambil menekan tombol hijau. Sebentar lagi kau akan menjadi wanita pecinta kucing
yang gila dan suka bicara sendiri seperti yang dibilang si kembar.
“Lu? Ini Will Scott.”
Kedua alis Lu melesat naik sementara mulutnya mengering. Dari semua orang yang
menurut dugaanya berada di ujung sambungan telepon, Will menempati urutan terakhir
dalam daftarnya.
55
joss ‘Wood
“Aku menelepon untuk mengetahui keadaanmu. Apa kau merasakan efek lanjutan dari
narkoba itu?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Mimpi buruk?” desak Will.
“Satu atau dua,” sahut Lu mengakui. “Biasanya saat aku memikirkan apa yang bisa
saja terjadi. Uh ... dari mana kau mendapatkan nomorku?”
Lu yakin bahwa ia mendengar bibir Will terangkat dan membentuk seringai yang super-
seksi itu. “Aku mencuri salah satu kartu nama dari dompetmu. Aku melihat bahwa kau
bekerja secara freelance ... bagaimana bisnis fotografinya?”
“Lamban, sebenarnya. Aku baru saja sedang memperbarui situsku dan memeras otak
untuk mencari cara mendapatkan lebih banyak klien. Bagaimana tugas melatih tim
rugbynya?”
Desahan Will merupakan sebuah kombinasi dari rasa frustrasi dan letih. “Sejujurnya?
Sekarang ini situasinya benar-benar menyebalkan. Ada beberapa anggota timku yang
memiliki tingkat kedewasaan seorang bocah dua tahun.”
Lu bersandar pada sofa dan menyesap dari gelas wine-ny^, senang mendengar suara
pria itu meluncur ke telinganya. Mulutnya melengkung membentuk sebuah senyuman.
“Lama kelamaan mereka akan terbiasa denganmu.”
“Mereka tidak punya pilihan,” ujar Will, dengan nada tegas. “Mereka harus mengikuti
caraku atau angkat kaki.”
56
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Jadi kau seorang diktator?” goda Lu, kemudian menggigit bibirnya. Ya ampun, bicara
apa dia? Ia sama sekali tidak mengenal Will dengan cukup baik untuk menggoda pria
itu!
“Hanya dalam pekerjaanku. Aku tahu apa yang kuinginkan dan tahu persis bagaimana
aku ingin mendapatkannya.”
Begitu yakin, begitu percaya diri. Seandainya saja ia dapat menggesekkan tubuhnya
pada tubuh Will dan tertular rasa percaya diri yang alami akibat gesekan itu. Oh,
masa bodoh, lupakan yang lainnya, ia hanya ingin menggesekkan tubuhnya pada tubuh
Will. Titik. Pria itu membuat segenap sarafnya bergejolak.... Inilah sebabnya
mengapa seharusnya kau tidak terlalu lama absen dalam berkencan, Sheppard! Ketika
hormonmu diundang berpesta, mereka langsung menyambar tequila dan mulai berdansa
Macarena.
“Yah, semoga berhasil,” ucap Lu, setelah sebuah kebisuan yang lebih lama dari batas
normal.
“Trims,” sahut Will. “Sudah hampir jam tujuh. Aku telah berada di sini sejak jam
enam pagi. Ada ide di mana aku bisa makan? Aku tidak tahan dengan layanan kamar
maupun memesan makanan untuk dibawa pulang.”
“Apakah kau akan tinggal di hotel itu selama tiga bulan?” tanya Lu.
“Tentu saja tidak. Aku harus mencari sebuah apartemen yang bisa kusewa, tapi aku
tidak punya waktu. Aku berencana untuk melihat-lihat di akhir pekan.”
57
joss ‘Wood
“Jadi ... restoran. Kau sedang ingin makan apa?” “Mac and cheese? sahut Will dengan
cepat.
“Mac and cheese, ya?”
Lu memandang ke arah dapur yang terletak di sisi lain ruang duduk yang terbuka.
Beranikah ia? Bagaimana kalau Will menolak? Ia memang sudah gila. Tentu saja pria
itu akan menolak. Tapi ada kemungkinan—sebuah kemungkinan yang peluangnya sekian
miliar berbanding satu—Will akan menerima.
Dan karena ibunya telah membesarkannya dengan didikan yang baik, ia harus melakukan
sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Yeah, teruslah berkata pada dirimu sendiri
bahwa itulah alasanmu untuk mengundang pria itu. Kau akan bisa meyakinkan dirimu
dalam waktu satu milenium ... atau dua.
Beranikan dirimu, Sheppard.
“Kalau kau tertarik, aku bisa menyajikan yang lebih baik dari mac and cheese. Aku
punya lasagna buatan sendiri dan telah kubekukan. Aku bisa menyiapkan salad sebagai
pelengkapnya bila kau ... yah, jangan merasa bahwa kau harus menerima ajakanku ...
tapi kurasa makan malam adalah hal yang setidaknya bisa kulakukan untukmu karena
kau ... um ... mungkin kau lebih suka makan di luar,” ujar Lu dengan tergagap.
“Lu?”
“Mmm? Ya?” Will akan menolaknya mentah-mentah. Ia yakin.
“Lasagna buatan rumah kedengarannya sangat menyenangkan.”
58
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Ah ... OK. Bagus.” Lu memejamkan kedua matanya. Ya ampun\ Sekarang ia benar-benar
harus men-defrost lasagna dan membuat salad. Lalu mandi serta menata rambutnya....
“Aku bisa sampai di sana setengah jam lagi. Kau tidak keberatan?”
“Tentu saja tidak.” Ia lebih suka mendapatkan waktu satu jam untuk bersolek, tapi
hal itu tidak akan terjadi. Yah, seperti biasa, dandanan harus dikorbankan.
“Kau ingat jalan menuju ke sini?” ia bertanya, nyaris enggan membiarkan Will
memutus sambungan telepon sekalipun ia akan segera bertemu pria itu.
“Aku cukup andal dalam menemukan arah, tapi jangan jauhkan ponselmu untuk berjaga-
jaga kalau aku tersesat,” ujar Will. “Omong-omong, Lu itu kependekan dari apa?”
“Um ... jangan tertawa.” Lu tersipu. “Tallulah.” “Tallulah?”
Pria itu mengucapkan namanya lambat-lambat dan Lu menggigil.
“Lu lebih cocok untukmu. Sampai nanti.”
Saat Will menekan tombol interkom di luar pintu gerbang rumah Lu yang tertutup, ia
berpikir bahwa hawa panas dan kelembapan udara Durban jelas mulai membuat otaknya
tidak berfungsi dengan baik. Memangnya apa yang akan ia dapatkan dari kunjungan ini
selain, pastinya, pasta buatan sendiri? Ingatan
59
joss ‘Wood
tentang Lu telah lebih dari satu kali terlintas dalam benaknya selama beberapa hari
belakangan ini, namun ia bohong jika mengatakan bahwa hal tersebut hanya karena ia
mencemaskan wanita itu, khawatir jika date-rape drug yang sempat Lu telan akan
menimbulkan efek samping yang tidak diketahui oleh mereka berdua, maupun para
dokter rumah sakit. Ia telah sering memikirkan Lu dan, anehnya, bukan hanya sebagai
seorang wanita yang ingin ia ajak tidur.
uBagaimana kalau sebagai gantinya kau mencoba berteman dengan seorang wanita?”
Kata-kata yang Kelby ucapkan minggu lalu terus terngiang di kepalanya, yang segera
disusul oleh wajah berbintik Lu, dan sepasang mata berwarna laut itu. Untuk pertama
kalinya dalam waktu yang sangat lama sekali ia merasa bisa berteman dengan seorang
wanita—berteman dengan Lu. Tentu saja, ia tertarik pada wanita itu. Tapi, dari
sedikit sekali yang dilihatnya dalam diri Lu, ia juga sangat menyukai wanita itu.
Sepertinya Lu tidak peduli tentang siapa dirinya dan apa yang ia lakukan.
Wanita itu merupakan sesuatu yang baru dan menyenangkan, simpulnya.
Ia berada di sebuah negeri yang baru, sedang mencoba sebuah jenis pekerjaan yang
baru. Mungkin ia juga harus mencoba sesuatu yang berbeda dalam hal wanita.
Will merasa lebih santai saat gerbang rumah Lu bergerak membuka dan ia mengemudikan
SUV menyusuri jalanan masuk yang panjang. Sebuah per
60
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
ubahan sama bagusnya dengan liburan, pikirnya, sambil menghentikan mobil.
Lalu kenapa jantungnya berdetak kencang saat ia melihat Lu berdiri di pintu depan
yang terbuka, dalam balutan pakaian yang sama dengan yang wanita itu kenakan
setelah berganti baju di kamar hotelnya—celana pendek katun berwarna putih dan
sehelai teal tank top yang memperlihatkan sedikit bagian perut yang rata? Ia
mengangkat satu tangan saat meninggalkan mobil dan menepuk-nepuk dua anjing dari
jenis yang tidak ia ketahui, sambil melayangkan sebuah lirikan tajam pada sepasang
tungkai jenjang berkulit kecokelatan dan kaki telanjang yang berujung pada kuku
jemari kaki berwarna merah menyala. Teman. Pendekatan baru. Jangan biarkan libidomu
mengacau. Hal itu, seingatnya, telah membawanya pada banyak sekali masalah
sebelumnya.
“Hai.” Lu mengangkat gelas yang dipegang. “Aku sudah duluan. Kau mau?”
“Hai juga.” Will melambaikan botol di tangannya sambil berjalan menaiki dua anak
tangga batu menuju pintu. Ia melewati tumbuhan yang ditanam dalam sebuah pot dan
hidungnya dipenuhi aroma lemon yang manis. Anjing yang berukuran lebih besar
menyenggol satu tangannya dengan moncong hewan itu dan Lu meringis. “Harry,
hentikan!”
“Harry?”
“Potter berada di belakangmu. Kucing-kucing itu bernama Dumbel dan Dore.”
61
joss ‘Wood
Rumah yang bagus, pikir Will saat melangkah memasuki sebuah ruang depan berukuran
besar dan Lu menutup pintu di belakangnya. Wanita itu mengambil botol yang
diangsurkannya. Ia mengamati wajah wanita itu, senang melihat sedikit warna di pipi
Lu, lebih sedikit warna biru di bawah sepasang mata wanita itu. Lu menundukkan
tatapan darinya dan Will memandang berkeliling. Sebuah rak mantel berdiri di
samping pintu dan sebuah kredenza antik berukuran pendek terletak di samping
dinding, foto-foto berbingkai perak memenuhi permukaannya. Sebuah vas raksasa
berisi beraneka bunga berdiri di atas sebuah meja tinggi berpermukaan sempit, dan
dinding di depan Will didominasi oleh dua foto yang dicetak ke atas kanvas
berukuran raksasa dan menggambarkan dua remaja laki-laki, dengan wajah kecokelatan.
“Adik-adikku,” jelas Lu saat Will melangkah maju untuk melihat kedua foto itu.
“Lewat sini. Kupikir sebaiknya kita makan di beranda.”
Will mengikuti Lu memasuki sebuah dapur berukuran sangat besar dan mulutnya mulai
berair saat mencium bau pasta yang beraroma bawang putih, bumbu herba, dan daging.
Ruangan dapur itu mengarah ke sebuah ruang duduk berukuran besar dan be-rantakan
dengan sofa-sofa kulit yang sudah cekung, sebuah laptop di atas sebuah meja kopi
berukuran besar dan sebuah televisi layar lebar. Pintu-pintu dari kaca dan kayu
yang berukuran sangat besar mengarah keluar menuju sebuah beranda melingkar, yang
memiliki kumpulan sofa sendiri, sebuah meja makan
62
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
sederhana dan sebuah pemandangan yang luar biasa dari atas kota ke Samudra Hindia.
“Aku ingin tinggal di sini,” gumam Will, sambil meletakkan botol minuman tadi ke
atas meja dan menaruh ponsel serta kuncinya di samping botol.
“Yeah, pemandangannya memang sangat menakjubkan.” Dengan cekatan Lu menuangkan wine
ke dalam gelas kosong di atas meja dan mengangsurkan gelas itu padanya.
Will duduk di kursi terdekat dan berusaha untuk tidak menggubris kehebohan di dalam
celana panjangnya saat Lu duduk di seberangnya dan melipat kedua tungkai ke bawah
bokong. Ia mengalihkan tatapannya dari tungkai telanjang itu, memandang berkeliling
dan menyukai apa yang dilihatnya. Rumah itu berukuran sangat besar, berisi
perabotan tua dan dulunya berharga mahal serta karya seni dengan selera beragam.
“Aku sangat menyukai rumahmu,” ujar Will, setelah menyesap wineny^. “Aku penggemar
bangunan. Dibangun di tahun tiga puluhan?”
“1931 dan terinspirasi oleh masanya: dominasi Art Deco. Rumah ini milik kakek-
nenekku lalu menjadi milik ayahku,” jelas Lu. “Seluruh panel kaca berwarna di atas
jendela-jendela dan di samping pintu depan adalah ide nenekku. Perabotannya
merupakan koleksi kakekku.”
Ia telah melihat perabotan yang dimaksud saat berjalan masuk tadi, dan kini
memandang ke dalam ruang duduk melalui pintu beranda yang terbuka. Ia melihat satu
set foto yang dicetak ke dalam kanvas lagi:
63
joss ‘Wood
berwarna hitam putih, seperti foto lainnya di ruang depan, dan penuh dengan emosi
serta energi. “Boleh aku melihat-lihat?”
Lu mengangkat bahu. “Silakan.”
Kanvas yang pertama menggambarkan seorang wanita berwajah luar biasa cantik, dalam
balutan sehelai korset dan stoking jaring-jaring, dengan sebuah tongkat berjalan di
depan dada yang penuh. Tubuh wanita itu memiliki lebih banyak lekukan daripada
jalanan pegunungan dan, sekalipun wajahnya sebagian tertutup pinggiran topi,
ekspresinya memancarkan kegembiraan dan semangat serta sensualitas yang menonjol.
Will beralih pada foto yang satunya: seorang pria bertubuh jangkung dan kurus,
sedang berbaring di sebuah tempat tidur gantung, dengan sebotol bir di tangan dan
kedua matanya—yang sangat mirip dengan milik Lu—separuh terpejam. Sebuah majalah
golf tergeletak dalam posisi menghadap ke bawah di atas perutnya.
Seksi, sukses, menarik. Sama sekali tidak seperti dirinya sekarang ini, pikir Lu
sambil memperhatikan Will yang memandang lebih dekat pada kedua foto itu.
Semua yang diinginkannya tapi tidak tahu cara mendapatkannya. Perwujudan dari
sebuah kehidupan yang sukses.
Wajah yang Will miliki merupakan sebuah bonus tambahan, pikirnya, tapi keberhasilan
dan kekayaan
64
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
materi yang mengiringi kesuksesan tersebut adalah milik pria itu sendiri, hasil
dari kerja keras. Kerja keras dan kesungguhan Will. Ia begitu iri pada pria itu
karena memiliki hal tersebut—iri pada fakta bahwa apa pun yang Will miliki, dan ia
tahu jumlahnya banyak, dapat Will banggakan sebagai hasil usaha pria itu. Tidak
seperti barang-barang milik Lu, termasuk peralatan fotografinya, yang berasal dari
warisan dalam jumlah sangat besar peninggalan kedua orangtuanya.
Warisan yang tidak akan ada jika kedua orangtuanya meninggal beberapa minggu lebih
lambat dari waktu mereka meninggal. Mereka biasa melontarkan lelucon bahwa ada
berjuta-juta alasan bagi mereka untuk saling membunuh ... dan ironis sekali bahwa
mereka meninggal bersama-sama, korban dari sebuah mobil gandeng yang hilang
kendali.
Jika mereka masih hidup maka rumah ini pasti sudah tinggal kenangan baginya—terjual
untuk membayar defisit di bank, kartu-kartu kredit, pinjaman-pinjaman pribadi.
Kemudian Lu mendapati bahwa pada saat kematian kedua orangtuanya, mereka hanya
hidup dari udara segar di sekitar mereka dan beberapa ribu terakhir di kartu kredit
ayahnya. Mobil dan kartu kredit telah berbulan-bulan tidak dibayar; tagihan-tagihan
pokok sudah melewati batas waktu pembayaran.
Membenahi kekacauan keuangan merupakan sebuah mimpi buruk yang melebihi kengerian
akibat kehilangan orangtuanya. Mungkin itu adalah rahasia terbesar yang telah ia
simpan dari si kembar: bahwa
65
joss ‘Wood
mereka tidak akan menikmati sebuah gaya hidup seistimewa itu jika orangtua mereka
masih hidup.
Tapi rahasia orangtuanya tetap tersimpan dengan rapat; ia tidak pernah memberi tahu
siapa pun dan tidak akan pernah memberi tahu si kembar. Sudah cukup satu orang saja
yang merasa bersalah dan mengalami konflik batin mengenai gaya hidup keluarga
mereka. Ia tidak perlu membebani mereka dengan informasi itu; ia tahu betul bahwa
hal tersebut merupakan beban yang sangat berat untuk ditanggung.
Sisi yang kejam dan egois dari mata uang itu adalah bahwa jika orangtuanya masih
ada maka mungkin mereka tidak akan memiliki kekayaan materi yang sekarang
mengelilingi mereka, sebaliknya ia akan menghidupi dirinya sendiri—bekerja ... ikut
berkontribusi untuk keluarga. Ia akan memiliki sebuah karier yang tetap dan mapan.
Mungkin tidak kaya seperti Will, tapi nyaman dan terjamin. Puas karena rasa amannya
berasal dari keringatnya sendiri dan bukan karena orangtuanya pergi dengan terburu-
buru untuk menemui manajer bank dan berakhir di kolong kerangka sebuah truk seberat
sepuluh ton.
Jadi ia sudah kehilangan sepuluh tahun? Ia bukannya sudah tua dan telah melewati
masa terbaik dalam hidupnya. Ia masih muda dan bugar serta penuh tekad ... dan ia
punya waktu. Jadi kenapa kalau sebagian besar wanita sebayanya mulai berpikir untuk
beralih ke tahap kehidupan mereka yang berikutnya—pernikahan dan bayi? Itu hidup
mereka, bukan hidupnya.
Ia akan mengejar ketinggalannya ... harus. Beberapa minggu sejak adik-adiknya pergi
ia telah per-
66
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
gi clubbing—ia sengaja mengabaikan masalah tentang minuman yang dicampur narkoba—ia
telah memperbarui websiteny^ membenahi studionya dan melihat-lihat kelas dansa.
Ia bahkan telah mengundang seorang pria untuk datang dan makan malam.
Itu sebuah kemajuan, bukan?
Will berjalan kembali ke beranda dan bersandar pada pagar balkon. “Orangtuamu?”
Lu mengangguk dan menyesap wineny^. “Dulu ibuku adalah seorang seniman kabaret dan
aktris, ayahku seorang pemain golf profesional.”
“Dulu?”
“Mereka sudah meninggal. Kecelakaan mobil. Sepuluh tahun yang lalu,” sahut Lu
dengan nada datar, dan ia tidak tahu kalau kepedihan berkelebat dalam kedua
matanya.
Will mengernyit. “Astaga, aku ikut prihatin. Kau yang mengambil foto-foto itu?”
Lu mengangguk. “Aku mengambilnya tidak lama sebelum mereka meninggal; seharusnya
kedua foto itu diikutkan dalam sebuah tugas yang kukerjakan.”
Lu mempersiapkan diri secara mental. Kini pria itu akan menanyakan tentang kematian
mereka; orang selalu ingin mengetahui detailnya.
“Dan apakah fotografi merupakan hasratmu?
Pekerjaanmu?”
Setelah Lu pulih dari keterkejutan karena Will mengganti subjek pembicaraan, ia
memfokuskan perhatian pada pertanyaan itu. Hasratnya? Tentu saja.
67
joss ‘Wood
Pekerjaannya? Entahlah. Bisakah ia menyebut dirinya seorang fotografer? Ia tidak
memiliki reputasi, tidak punya banyak portofolio, dan nyaris tidak berpengalaman.
Apakah memperbarui websiteny^ dan mencari-cari beberapa pekerjaan berarti bahwa ia
benar-benar punya pekerjaan?
Yah, ia bukan lagi seorang ibu palsu, jadi mungkin ia memang punya pekerjaan.
Ia menyentuh sebuah kamera yang berada di atas meja di sebelahnya. “Aku selalu
membawa sebuah kamera di dekatku jadi kurasa memang begitu. Apakah rugby juga
seperti itu bagimu?”
“Hasrat dan pekerjaanku? Tentu saja.”
Will meletakkan satu pergelangan kaki ke atas lutut dan Lu bertanya-tanya mengapa
pria itu membuat kulitnya merinding. Beranda tersebut berukuran luas, tapi Will
membuatnya terasa lebih kecil, lebih nyaman. Lu mencoba memastikan perasaan apa
yang pria itu timbulkan pada dirinya. Dengan penuh keterkejutan ia menyadari bahwa
ia merasa hidup.
Will membuatnya merasa hidup. Dan merasa bahwa dirinya berarti.
Pemikiran yang berbahaya, Lu, kau harus mengalihkan pembicaraan. Apa yang sedang
mereka bahas tadi? Rugby....
Kedua mata Lu membuka dengan tiba-tiba, menajam dan bertatapan dengan sepasang mata
pria itu. “Oh, bicara soal fotografi dan rugby, siapa yang mengambil fotomu untuk
webpage Rays?”
“Kau melihat-lihat webpage kami?” tanya Will, mulut pria itu berkedut dengan rasa
geli.
68
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu tersipu, ia telah ketahuan. “Aku ... pemikiran itu muncul begitu saja.” Oh, ia
benar-benar seorang pembohong yang payah. “Jadi ... fotomu itu? Siapa yang
mengambilnya?
“Apa yang salah dengan foto itu?” tanya Will, geli melihat kejengkelannya.
“Apa yang benar dengan foto itu? Pencahayaannya salah, ada banyak bayangan, kau
terlihat lebih tua dari yang sebenarnya ... kelelahan. Ya ampun, seorang bocah
sepuluh tahun dengan sebuah kamera otomatis bisa melakukan yang lebih baik dari
itu,” ujar Lu, rasa malu dan canggungnya tersingkirkan untuk sementara saat ia
bicara tentang pekerjaannya.
“Fotografi benar-benar merupakan hasratmu. Kenapa kau meragukannya?”
Lu mengerjap ke arah Will, tercengang saat memikirkan pertanyaan pria itu. Karena
sekarang ini ia meragukan segala sesuatu tentang dirinya sendiri.
Will menyelamatkannya dari kemungkinan memberikan sebuah jawaban yang masuk akal
saat pria itu melanjutkan dengan suara yang tenang dan dalam, “Menurutmu kau bisa
melakukan yang lebih baik dari itu?”
Kedua mata Lu berkilat-kilat dengan rasa geram. “Aku yakin bisa melakukan yang
lebih baik dari itu.”
Lu tidak menyadari bahwa Will menggodanya. “Kurasa fotografernya adalah salah satu
yang paling terkenal di Durban.”
“Yah, akan kuminta uangku kembali kalau aku jadi kau.” Lu mendengus. “Hasil kerja
yang payah.”
69
joss ‘Wood
Will membuat gerakan isyarat pada kamera di atas meja dengan gelas wine di tangan
pria itu. “Buktikan.”
“Apa?”
“Aku adalah subjek yang sulit—orang paling tidak fotogenik di dunia.”
Itu seperti mengatakan bahwa Ryan Reynolds tidak seksi. “Kau?”
“Menurutmu kenapa aku meminimalkan kontrak endorsement dan pekerjaan modeling? Aku
payah di depan kamera.” Will menunjuk pada kamera tadi. “Lakukan usaha terburukmu.
Sebenarnya, lakukan usaha terbaikmu. Ambil foto yang lebih bagus daripada fotoku di
website\ percayalah bahwa aku sangat membutuhkannya.”
Lu menyipitkan kedua matanya ke arah Will dan tak mampu menolak tantangan dalam
sepasang mata pria itu. Tanpa berpaling dari tatapan Will ia meraih kamera,
menyalakannya hanya dengan sentuhan dan mengangkat benda itu ke wajahnya. Ia
menyesuaikan filter cahaya, fokus, dan mengubah pengaturan, lalu jemarinya menekan
tombol kamera dan foto pria itu berpindah ke memory card.
Ada begitu banyak yang tidak ia yakini, tapi ia tahu betul soal ini. Pencahayaan,
bidang pandangan, pengambilan gambar, Lu memasuki zona itu dengan mudah. Ia tahu
cara mengumpulkan sebuah gambaran, menangkap cahaya di wajah Will, kilatan dalam
sepasang mata pria itu, lesung pipit berukuran mungil di satu pipi Will.
70
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Mungkin ia tidak mengenal Will, tapi melalui kameranya ia menangkap sekelebat jiwa
pria itu.
Dan anehnya, entah bagaimana, ia merasa bahwa ia mengenali jiwa tersebut.
71
Empat
“Aku tidak percaya foto ini.” Will mengambil kamera milik Lu dari meja dan
memandang pada fotonya yang tersimpan di dalam jendela bidik. “Bagus sekali. Aku
terlihat serius, tapi santai.”
Will menduga bahwa Lu akan berkata 'sudah kubilang/ tapi wanita itu hanya
menyunggingkan sebentuk senyum sekilas sebagai ucapan terima kasih ke arahnya
sambil meletakkan semangkuk besar salad ke atas meja.
Will mengenakan bajunya dan membiarkan handuknya membalut pada pinggangnya agar
bisa menyerap air dari board shorts yang masih basah, celana yang Lu carikan
untuknya. Lu telah menyarankannya untuk berenang sementara wanita itu menyiapkan
makan malam, dan berhubung cuaca hari itu panas dan lembap maka ia langsung setuju.
Ia membuat gerakan isyarat ke arah bantalan kursi yang berwarna-warni. “Tubuhku
basah.”
“Kau bukan satu-satunya orang yang duduk di situ dengan bokong basah kuyup,” ujar
Lu, sambil memasukkan sebuah sendok saji ke dalam lasagna. Di be-
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
lakang wanita itu kedua anjing tadi naik ke kursi-kursi yang terpisah dan meringkuk
ke dalam bantalan yang empuk. Lu mendengar dengusan puas mereka dan menggelengkan
kepala.
“Kau sangat santai menyikapi isi rumahmu,” komentar Will, sambil berpikir tentang
kedua saudara perempuannya yang sekarang ini pasti sudah mengamuk jika ada anjing
yang menaiki perabotan mereka.
“Perabotan itu sudah tua dan hewan-hewan tersebut juga merupakan bagian dari
keluarga seperti halnya kami.”
Will duduk, mengisi penuh gelas-gelas mereka dengan wine dan menyibakkan rambut
basah dari keningnya. Ia memandangi wajah Lu sementara wanita itu mengambil sebuah
piring untuk diisi dan bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan oleh benak Lu yang
sibuk itu. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa bukan berarti ia peduli, ia hanya
benar-benar penasaran.
Will mengambil piring yang Lu ulurkan, meletakkan benda itu di depannya dan
mengambil salad. Ia benar-benar mengerang gembira sambil menumpuk banyak sekali
salad ke atas piringnya. “Astaga, ini kelihatan lezat sekali.”
“Makanlah yang banyak,” ujar Lu padanya sambil menyiapkan makanan wanita itu
sendiri.
Mereka bersantap dalam kebisuan selama beberapa menit—yah, Lu makan dan Will
menghirup aroma makanannya. Bahkan di rumah pun ia jarang memasak, jadi biasanya ia
makan di luar atau memesan
73
joss ‘Wood
makanan untuk dibawa pulang, dan ia sudah lupa nikmatnya masakan buatan rumah yang
sederhana. Hal itu mengingatkannya pada keluarganya, pada perasaan santai, perasaan
senang dan puas.
Setelah rasa lapar mendadaknya terpuaskan, Will melambatkan makannya dan sambil
mengunyah ia menyesap winenyz. Dari atas kepala Lu ia bisa melihat potret kedua
orangtua wanita itu, dan ia mengerutkan kening saat sebuah pemikiran terlintas
dalam benaknya.
“Jadi, kau punya adik, bukan? Di mana mereka?”
“Beberapa minggu yang lalu mereka pergi untuk kuliah. Mereka di Cape Town.”
Rasa penasaran berubah menjadi ketertarikan. “Dan kau sering bersama mereka selama
sepuluh tahun terakhir?”
“Kadang terlalu sering.”
Senyuman Lu mengembang dan jantung Will berdebar tak karuan.
“Aku menjadi wali mereka. Kami semua tinggal bersama di sini.”
Will menurunkan gelas ^zw^-nya dengan penuh keterkejutan. “Kau mengurus anak kembar
saat kau— berapa usiamu waktu itu?”
“Baru menginjak sembilan belas.”
“Dan mereka—berapa?—delapan?”
“Kurang lebih.”
“Tapi ... kau sendiri masih kecil. Mereka meng-izinkanmu melakukan itu?”
74
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu mengangkat bahu. “Tidak ada orang lain lagi yang bisa mengurus mereka, dan tentu
saja aku tidak akan pernah memasukkan mereka ke panti asuhan agar aku bisa
melanjutkan hidupku.”
Will memperhatikan Lu yang sedang makan sementara ia memikirkan tentang apa saja
yang ia lakukan saat berusia sembilan belas. Bermain untuk tim rugby terbaik di
Inggris, berlagak belajar, mengejar gadis-gadis, minum-minum, mengadakan pesta
dansa. Pengorbanan Lu membuatnya takjub.
«'T' " ”
lapi—
Lu mengangkat satu tangan dan ia langsung mengurungkan pertanyaannya.
“Subjek pembicaraan itu agak sensitif bagiku untuk saat ini. Apakah kau keberatan
kalau kita tidak membicarakannya? ”
“Tidak, itu tidak masalah.” Itu masalah, tentu saja. Ia ingin menyibakkan tirai
yang menyelubungi sepasang mata tersebut dan melihat apa yang wanita itu
sembunyikan, pikirkan ... rasakan. Aneh sekali, berhubung ia tidak pernah menggali
lebih dalam selain sedikit saja di bawah permukaan; ia tidak pernah ingin
melakukannya.
Will menghabiskan isi piringnya dan memandang kepala Lu yang tertunduk. Kalau ini
adalah gadis lain maka ia akan mempraktikkan latihan yang dilakukannya selama
bertahun-tahun, menemukan banyak sekali topik pembicaraan yang aman, namun ia
merasa bahwa ia tidak ingin sekadar meluncur di atas permukaan dengan Lu. Bagaimana
mungkin? Lu telah
75
joss ‘Wood
dengan enggan menyinggung tentang kematian kedua orangtua wanita itu, bahwa Lu
telah membesarkan sang adik kembar. Dan, yang lebih aneh lagi, Lu tidak ingin
membicarakan tentang masa lalu wanita itu.... Saat ini sebagian besar wanita pasti
telah memberinya informasi mendetail tentang kehidupan mereka.
Lu berbeda, pikir Will. Dan apa adanya. Dan karena Lu begitu berbeda ia tidak tahu
pasti bagaimana cara menghadapi wanita itu.
Tapi mereka tidak mungkin duduk dalam kebisuan yang canggung seperti ini. Ia harus
mengatakan sesuatu.
“Jadi, apakah kau suka membaca?” tanya Lu, persis saat ia menanyakan seberapa
sering wanita itu pergi clubbing. “Kau bercanda, kan?” Lu menggelengkan kepala.
“Itu adalah yang pertama kalinya dalam ... um ... enam, tujuh—delapan?—tahun. Aku
lebih memilih untuk mencuci kostum rugby yang berkeringat dengan tanganku sendiri
daripada pergi clubbing lagi.”
“Seburuk itu, ya? Tapi kalau kau begitu membencinya kenapa kau berada di klub itu?”
Lu mengerutkan kening dengan jengkel. “Adik-adikku.”
Will memandangi hidangan lasagna dan Lu segera mengangsurkannya pada Will. Ia
mengisyaratkan pada wanita itu untuk terus menjelaskan.
Lu duduk bersandar dan menatap pada piringnya sendiri berlama-lama. Ketika
mengangkat tatapan lagi sepasang matanya tampak sayu dan polos. “Itu merupakan
sebuah tantangan konyol di antara kami.”
76
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will menyipitkan kedua matanya mendengar kebohongan itu. Untuk apa seorang wanita
dewasa ditantang pergi ke sebuah klub malam? Nope, ada bagian cerita itu yang Lu
sembunyikan.
“Kalau itu adalah tantangan terbaik yang bisa mereka pikirkan berarti mereka sangat
tidak kreatif.” Will sengaja menjaga agar suaranya tetap terdengar ringan.
Rona di wajah Lu menunjukkan bahwa wanita itu menyadari kalau ia menangkap
kebohongan tersebut. Lu menjilat bibir dan menyesap wine sementara Will
mengumpulkan peralatan makannya di atas piring dan menyisihkannya.
“Lagi?”
Will mengerang. “Tidak, aku sudah kekenyangan. Enak sekali, trims. Apa kau selalu
menyimpan ber-nampan-nampan lasagna di dalam freezer-mti”
Senyuman lebar Lu berkelebat. “Dengan keberadaan remaja laki-laki di rumah kau
selalu membutuhkan makanan ekstra untuk berjaga-jaga saat teman-teman mereka
mendadak datang ke rumah. Dan aku menyimpan beberapa nampan di dalam freezer untuk
Mak bawa pulang saat dia kehabisan makanan—yang sering terjadi.”
Mak lagi. Will jarang sekali cemburu. Pakaian dan wajah tidak penting baginya, dan
kesuksesannya dalam apa pun yang ia lakukan merupakan pilihannya untuk ia raih atau
tidak, jadi ia tidak pernah merasa iri. Namun demikian, ia merasakan sesuatu yang
agak mirip dengan kecemburuan pada ikatan yang sangat jelas antara Lu dan Mak.
77
joss ‘Wood
Will menelan sisa penghabisan wine-ny^ yang dan berpikir bahwa jika ia telah tiba
pada titik di mana ia mengakui kecemburuan dan frustrasinya maka sudah waktunya ia
pergi. Ia sengaja melihat pada jam tangannya dan terkejut saat mengetahui bahwa
ternyata hari sudah lebih larut dari perkiraannya. “Aku harus pergi. Kami punya
jadwal lari yang sangat melelahkan di sepanjang pantai besok pagi-pagi sekali.”
Lu ikut berdiri. “Kau berlari bersama tim?”
“Aku tidak mungkin meminta mereka melakukan sesuatu yang tidak akan mau kulakukan,”
sahut Will, sambil mengumpulkan piring-piring mereka dan nampan lasagna. “Perlu
kuletakkan ini di dapur?”
“Trims. Aku akan menyusunnya di dalam mesin cuci piring.”
Lu memain-mainkan kamera miliknya, lalu mengambil gelas-gelas wine mereka dan
mangkuk salad serta menyusulnya ke dalam.
Will mengganti board shorts dengan pakaiannya sendiri dan berpikir bahwa dalam
kehidupan normalnya, dengan seorang gadis yang “normal,” ia akan bicara terus
terang dan mengusulkan agar mereka menghabiskan malam bersama: bersenang-senang,
tanpa komitmen. Ia merasakan percikan ketertarikan terhadap Lu, akunya pada diri
sendiri. Percikan itu menyala dengan jelas serta terang dan ia telah mengabaikannya
sepanjang malam. Setiap kali ia berpikir untuk bertindak berdasarkan percikan itu,
ada sesuatu yang menghalanginya.
Percakapannya dengan Kelby pada malam itu terus bergema dalam benaknya dan ia harus
meng
78
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
akui bahwa banyak pengamatan Kelby yang sangat akurat. Belakangan ini ia telah
menjadi Mr. Control— hidupnya menjadi tidak terkendali saat ia membebaskan diri—dan
jika ia harus benar-benar jujur maka ia mengakui bahwa ia tidak pernah membiarkan
ketertarikan yang ia rasakan terhadap seorang wanita berkembang lebih jauh. Ia
menggunakan daya tarik seksual untuk mendapatkan ... yah, seks. Dan meskipun ia
selalu memastikan bahwa ia dan partnernya sama-sama menikmati saat yang
menyenangkan di ranjang, ia tahu bahwa ia bisa pergi kapan saja. Ia tidak mau
terlibat secara emosional karena ia benar-benar yakin bahwa ia tak mampu menawarkan
sesuatu yang permanen pada seorang wanita. Setiap nyala api akan padam pada
akhirnya.
Namun demikian pertanyaan Kelby terus mengusik benaknya.
“Bagaimana kalau sebagai gantinya kau mencoba berteman dengan seorang wanita?”
Dan Lu—kuat, tenang dan kompeten—adalah persisnya tipe wanita yang bisa menjadi
temannya. Keputusan Lu untuk membesarkan sang adik kembar di usia yang begitu muda
menunjukkan bahwa wanita itu setia dan tegar. Ia menyukai sifat itu dalam diri kaum
pria dan juga sangat menarik dalam diri seorang wanita. Ia bisa menghargai Lu—satu
lagi karakteristik yang ia anggap penting untuk sebuah persahabatan.
Dan, dengan tubuh luwes serta wajah yang murah senyum, wanita itu jauh lebih
menarik ketimbang Kelby dan teman-temannya yang lain.
79
joss ‘Wood
Lu baru saja mulai mengisi mesin pencuci piring ketika Will kembali memasuki
ruangan, kunci mobilnya menjuntai dari jemarinya. “Trims, Lu. Untuk makan malamnya
dan kesediaanmu menemaniku.”
“Dengan senang hati.” Lu mengantarnya ke ruang depan dan memasukkan satu tangan ke
dalam saku celana pendek, mengeluarkan sebuah memory card. Wanita itu memegangnya
di sela-sela jemari. “Ganti fotonya, OA?”
Will tersenyum hangat dan bersungguh-sungguh saat mengambil memory card tersebut.
“Akan kuterus-kan pada orang yang mengurusnya. Terima kasih.”
Will tak mampu menahan diri untuk mengangkat satu tangan dan menyentuh pipi Lu. Ia
perlu tahu apakah kulit wanita itu sehalus kelihatannya, apakah bibir bawah Lu
sekenyal perkiraannya.
Semuanya dan yang lebih dari itu.
Will menggelengkan kepala saat berpaling dan beranjak pergi. Ia tidak pernah
merasakan hasrat untuk menyentuh wajah teman-temannya dan bersyukur kepada Tuhan
untuk itu. Kalau sampai ia merasakan dorongan itu maka ia akan dipukuli habis-
habisan.
Lu mendongak saat Mak dan Deon memasuki dapur, berkat rangkaian kunci yang telah
ayahnya berikan kepada Mak bertahun-tahun yang lalu, pada awal persahabatan mereka.
Lu menerima sebuah pelukan dari putra Mak yang mengidap Down Syndrome kategori high
function dan tersenyum saat Deon langsung
80
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
menuju toples kuenya. Anak itu bersikap santai dan merasa nyaman di rumahnya
seperti halnya si kembar. Lu pernah menjadi pengasuh resmi untuk Deon sejak ibu
anak itu pergi setahun setelah anak itu lahir, tidak lama sebelum kematian
orangtuanya.
Mak duduk di kursi meja dapur dan menerima gelas berisi es teh yang Lu sodorkan.
“Tidak ada wine?
“Sekarang baru jam tiga sore, Mak. Masih agak terlalu pagi.”
“Sial.”
“Hari yang berat?” tanya Lu, mengetahui bahwa merupakan sebuah perjuangan keras
bagi Mak untuk membagi waktu antara pekerjaan dengan tuntutan dan keinginan seorang
anak berkebutuhan khusus yang luar biasa aktif. Deon memiliki seorang au-pair
(wanita pengasuh yang berasal dari luar negeri) yang sangat anak itu sayangi, dan
banyak sekali bibi serta paman yang melimpahkan perhatian pada Deon tapi Mak adalah
andalan, pelindung, dan pahlawan anak itu.
“Bagaimana jalannya wawancara di sekolah yang satunya?”
Mak mengangkat bahu. “Baik. Mereka akan menerimanya besok kalau aku mau, tapi aku
masih menunggu berita dari St. Clares.”
“Kau belum mendapat kabar?”
Mak terlihat frustrasi. “Belum.”
Lu menggigit bagian dalam bibirnya. Deon kesepian dan perlu kembali bersekolah—di
sebuah sekolah
81
joss ‘Wood
di mana, tidak seperti di sekolah yang terdahulu, anak itu tidak akan terus-menerus
diintimidasi dan disiksa.
Mak melambaikan satu tangan ke udara. “Aku pasti akan mendapat kabar dalam beberapa
minggu lagi. Jadi, apa kau sudah berhasil mendapatkan pekerjaan?”
Lu menghela napas dalam-dalam. “Tidak satu pun! Aku hanya mendapatkan satu
permintaan keterangan di website dan aku telah mendatangi semua toko yang menjual
pakaian pengantin serta toko bunga dan membagikan kartu namaku, berharap mendapat
rujukan. Aku sedang berpikir untuk mencari pekerjaan lain—”
“Lu, baru sebulan berlalu sejak anak-anak pergi. Bersabarlah. Teruslah berusaha.
Suatu saat pasti ada hasilnya. Jadi ... aku melihat Range Rover mewah milik Will
Scott terparkir di jalanan mobilmu malam itu.”
“Kau memata-mataiku lagi?” desak Lu.
“Tentu saja. Itulah yang dilakukan oleh teman yang baik,” sahut Mak. “Waktu itu aku
datang untuk memeriksa keadaanmu dan melihat mobil Will, jadi aku pergi.”
“Seharusnya kau bergabung dengan kami.”
“Dan mendengar Deon mengoceh tentang rugby selama seminggu ke depan? Tidak, terima
kasih!”
Lu tersenyum. Deon benar-benar terobsesi pada rugby dan Rays adalah tim idola anak
itu. Deon akan girang bukan kepalang jika bertemu Will, dan anak itu tidak akan
berhenti mendesak Mak dan Lu untuk meminta Will memperkenalkan Deon pada anggota
82
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tim lainnya. Saat anak itu memiliki sebuah keinginan maka dibutuhkan sebuah meriam
air untuk melenyapkan keinginan tersebut.
Lu menjelaskan bahwa ia mengundang Will untuk makan malam sebagai ucapan terima
kasih.
Mak menyesap minuman yang Lu berikan tadi. “Jadi, apa dia datang untuk mengatakan
‘dengan senang hati’ sebagai jawaban atas ucapan terima kasihmu? Ataukah dia
menginginkan sebuah kesenangan lain?” Mak menggoyang-goyangkan kedua alis ke
arahnya.
Lu memelototi pria tersebut. “Tidak seperti itu, Mak!”
“Memang selalu seperti itu, Lu.”
Lu tidak memberi tahu Mak tentang Will yang menyentuh wajahnya, tentang kobaran
gairah yang sepertinya ia lihat dalam sepasang mata pria itu. Ia meletakkan kedua
siku ke atas meja dan meringis pada Mak. “Tapi dia memang seksi.”
Mak memutar kedua mata. “Begitulah yang kudengar.”
“Jadi, semalam aku pergi ke Botanic Gardens dan Philharmonic Orchestra sedang
tampil di sana. Kupikir akan sangat menyenangkan jika ada orang yang menemaniku
melakukan berbagai hal. Maksudku, aku tidak keberatan sendirian, tapi—”
Mak terlihat ngeri. “Aku tidak mau pergi ke konser musik klasik mana pun.”
Lu tertawa. “Sebenarnya, yang kumaksud kali ini
83
joss ‘Wood
... bukan kau. Aku sedang mempertimbangkan untuk mengajak Will lain kali. Menurutmu
aku bisa melakukan itu?”
“Sekarang sudah cukup biasa bagi wanita untuk mengajak pria pergi,” tegas Mak.
Lu meluncurkan bokongnya ke sebuah bangku. “Tahukah kau apa yang kusadari minggu
ini, Mak?”
“Apa, honey?
“Bahwa selama ini aku telah begitu khawatir apakah anak-anak cukup mandiri, cukup
kuat untuk menjalani kehidupan mereka sendiri, dan mereka baik-baik saja. Aku—tidak
terlalu. Dari kami bertiga akulah yang tidak mandiri. Akulah yang paling banyak
menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri. Selain malam bersama Will itu aku benci
berada di rumah ini seorang diri, terbangun seorang diri, pergi tidur seorang diri.
Tidak adanya kebisingan, keteraturan ... aku begitu membenci semua itu.”
“Tentu saja.”
“Aku sangat butuh bekerja, untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku lebih
dari sekadar seorang ibu palsu. Aku ingin berkarya lagi. Aku ingin tatapan mata
orang bereaksi—baik maupun buruk—ketika mereka melihat foto-fotoku. Aku merindukan
hal itu, Mak. Aku rindu menjadi orang yang ... produktif. Aku bisa mengambil foto-
foto laut dan anjing-anjingku sebanyak yang kuinginkan, tapi itu tidak sama dengan
menciptakan gambaran untuk orang lain. Aku rindu menjadi ... diriku?
84
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Mak mendengarkan dan menunggu Lu melanjutkan.
“Dan ... kurasa aku sangat kesepian. Aku tidak pernah menyadarinya sampai anak-anak
pergi. Makan malam dengan Will tempo hari membuatku menyadari betapa aku merindukan
kebersamaan dengan seseorang ... dan, maaf, kau tidak masuk hitungan.”
“Lagipula kau memang terlalu kurus dan terlalu pucat untuk seleraku.”
Lu menggapai ke seberang meja untuk memukul bahu sahabatnya. “Menurutku Will akan
menjadi pria yang cocok untuk partner berlatih.”
Kepala Mak mendongak dengan tiba-tiba. “Hah? Apa?”
“Aku bisa memanfaatkan dia untuk mendapatkan kembali kepercayaan diriku, untuk
kembali memasuki dunia kencan. Untuk membantuku menjadi— mandiri. Itukah kata yang
kucari?”
“Bicaramu benar-benar tidak masuk akal.”
“Aku telah kehilangan kemampuan—aku bahkan tidak yakin apakah aku pernah memiliki
kemampuan—untuk bermain mata, untuk menikmati kebersamaan dengan seorang pria,
untuk berdansa. Bermain mata dan bersenang-senang dengan Will, akan mendorong
kepercayaan diriku dan dengan cara yang aneh akan menjadi sebuah ... um ... awal
yang dimulai dari bawah untuk fase yang baru dalam hidupku. Sebuah cara untuk
mengingatkan diriku sendiri bahwa aku lebih dari aku yang dulu—sesuatu selain wali
si kembar, pengurus rumah mereka, pengantar-jemput mereka.”
85
joss ‘Wood
Akankah Mak mengerti bahwa tiba-tiba saja ia merasa kebingungan dan tak mampu
menghadapi kenyataan bahwa sekarang ini hanya tinggal dirinya sendiri yang perlu
dikhawatirkan? Seharusnya ia merasa lega dan bebas. Sebaliknya ia merasa jauh lebih
gelisah dan ketakutan dari sebelumnya.
Itu tidak benar. Ataupun adil. Dan jelas tidak bisa diterima. Jadi ia akan
melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Akan lebih baik lagi jika bersama Will. Dapatkah ia melakukannya? Cukup beranikah
ia?
Mak terdiam untuk waktu yang lama. “Aku sangat setuju kalau kau bersenang-senang—
kembali berada dalam situasi yang sesuai dengan kemampuan dan minatmu. Tapi ada
bahaya dalam hal ini, Lu.”
“Misalnya?”
“Kau jatuh cinta padanya dan perasaanmu terluka, salah satunya.”
Lu menggelengkan kepalanya. “Pertama, dia telah sejak lama sekali menghindari
hubungan serius, dan kalaupun aku tidak tahu soal itu, ia memasang tanda ‘Dilarang
Melintas’ di hatinya, jadi aku tahu bahwa jatuh cinta padanya akan sangat bodoh.
Kedua, dia hanya berada di sini selama tiga bulan—sekarang kurang dari itu. Itu
rintangan kedua. Dia akan menjadi partner berlatihku dan saat dia pergi aku akan
baik-baik saja. Aku hanya membutuhkan seseorang yang kurang lebih ada dalam hidupku
untuk memudahkan jalanku memasuki kehidupanku yang seterusnya. Apakah itu masuk
akal?”
86
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Sepertinya. Kalau kau tetap menjadikannya sebagai sebuah kegiatan yang menghibur
dan menyenangkan.”
“Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi terikat padanya.”
“Terkadang kau tak mampu mencegahnya,” Mak bersikeras.
“Mak, itu hanya sebuah gagasan, dan jika dia menolak maka tidak masalah. Sekalipun
aku berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku di klub, aku tidak berniat
membuntutinya ke mana-mana, menatapnya dengan lidah terjulur ke lantai, kegirangan
menerima perhatian apa pun yang akan dia berikan padaku. Aku tidak akan memohon,
aku masih punya harga diri. Dan jika dia menolak maka aku akan menjaga jarak secara
emosional.”
“Mmm. Aku tidak yakin kalau selama ini kau sanggup melakukan itu, Lu.” Mak berdiri
dan meletakkan kedua tangan pada bahu Lu yang terbuka. Sahabatnya itu menarik dan
memeluknya. “Dan bicara soal clubbing, aku benar-benar minta maaf tentang malam
itu, Lu. Ya Tuhan, aku tidak bisa tidur membayangkan....”
Lu menggelengkan kepalanya. “Jangan, Mak. Aku baik-baik saja.”
“Kau baik-baik saja karena ada orang lain yang melindungimu.” Mak meletakkan dagu
pada puncak kepalanya. “Ayahmu pasti telah menghabisiku.”
“Aku sudah dewasa, Mak; aku telah mengurus diriku sendiri dan si kembar untuk waktu
yang lama,” ujar Lu pada sahabatnya. “Kau tidak perlu mengawasi aku.
87
joss ‘Wood
Aku harus bertanggung jawab atas hidupku, harus membiasakan diri untuk mandiri. Aku
harus menata pikiran dan hidupku. Aku bisa melakukannya, Mak!”
Mak meringis melihat wajahnya yang penuh tekad. “Bolehkah kuingatkan bahwa satu-
satunya orang di ruangan ini yang kedengarannya meragukan hal itu adalah kau,
manis?”
“Itu akan butuh banyak latihan,” Lu mengakui.
“Memang selalu begitu.” Mak beranjak menjauhinya dan meraih ke seberang meja untuk
mengambil ponselnya. “Jadi, telepon dia.”
Lu terpekik. “Jangan sekarang! Um ... aku harus berpikir tentang apa yang bisa kami
lakukan bersama.”
“Aku punya dua tiket untuk sebuah demo memasak oleh pastry chef terkenal yang
begitu kau gila-gilai itu.”
“Rupert Walker?” jerit Lu. Oh, wow\ Ia pernah berkata sambil lalu kepada Mak bahwa
ia ingin menonton demo itu, dan Mak, sebagai teman yang baik, telah mengusahakan
tiketnya.
“Tadinya aku hendak pergi denganmu, tapi menurutku sebaiknya kau mengajak Will. Kau
bisa menyiksa dia sebagai gantinya.”
“Kurasa itu bukan kegiatan yang dia sukai. Tapi aku sangat ingin pergi.” Kedua mata
Lu melebar saat Mak menggulirkan layar ponselnya untuk mencari nomor telepon,
menekan tombol hijau dan mengangsurkan benda itu padanya.
“Sudah tersambung. Tanyakan padanya.”
“Makhosi, dasar kau...! Apa yang harus...?” Mak menyorongkan ponsel ke arahnya dan
detik berikut-
88
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
nya suara Will yang dalam dan berat membuatnya gelisah.
“Hai, Lu. Ada apa?”
“ Um ... hai. Jangan ragu untuk menolak, karena tentu saja aku merasa bahwa kau
tidak akan meneri-yy ma—
Will tertawa. “Kedengarannya menakutkan.”
Lu memelototi Mak, yang sedang memutar-mu-tarkan satu jari tanpa bersuara untuk
menyuruhnya agar terus bicara.
“Aku mendapat dua tiket untuk sebuah demo memanggang kue oleh selebriti pada Senin
malam dan aku ingin tahu apakah kau mau pergi bersamaku.” Lu melepaskan kata-kata
itu dengan kecepatan tinggi. Ia membayangkan dirinya melompat ke dalam sebuah kolam
yang dalam dan mendapati bahwa kolam itu tidak ada airnya. Splat!
“Ah ... um ... sebenarnya itu bukan hobiku ... tapi OK. Perlukah aku menjemputmu?”
Oh, astaga, ternyata kolam itu ada airnya dan kini ia sedang mengapung. Yay\
Lu menjulurkan lidah pada wajah puas Mak sementara mereka mengatur rencana. Setelah
berpaling dari ekspresi menjengkelkan di wajah sahabatnya, ia membiarkan sebentuk
senyuman lebar terlintas di wajahnya.
Aku seorang wanita, dengarkan aku meraung, pikirnya. Yah, memang bukan persisnya
sebuah raungan tapi pastinya lebih dari sebuah rintihan. Go me\
89
joss ‘Wood
Satu jam kemudian Lu menepikan SUV miliknya ke sebuah tempat kosong di pelataran
parkir kantor Stingray Rugby Union. Tadi ia baru saja hendak mengakhiri percakapan
di telepon dengan Will saat pria itu memberitahunya bahwa Will sedang bersama Kelby
Cotter, CEO Rays, dan bahwa Kelby ingin bicara dengannya. Kelby telah memintanya
untuk menemui pria itu guna membahas sebuah proyek fotografi yang mungkin akan
membuatnya tertarik. Mungkin akan membuatnya tertarik? Ia sudah gatal ingin
memegang kamera dan mulai bekerja!
Saat ini ia rela berjalan memasuki api neraka jika ada pekerjaan fotografi di sana,
dan proyek apa pun yang menyangkut nama Rays akan menjadi sebuah sokongan besar
untuk kariernya yang non-existent.
Lu keluar dari mobilnya dan menunduk memandangi rok hitam pendeknya, T-shirt
berwarna tangerine dan wedges yang agak lecet-lecet, serta bertanya-tanya apakah
seharusnya ia berbelanja dengan royal untuk membeli pakaian lain yang mahal dan
lebih resmi. Gelang-gelang perak tampak ramai menghiasi satu lengannya dan anting
perak bergaya etnis menjuntai hingga ke bahunya. Ia lupa memakai riasan wajah. Lu
mendesah. Ia bermaksud untuk berdandan tapi, seperti biasa, niatan itu luput dari
ingatannya.
Lu diarahkan ke kantor eksekutif Humas oleh seorang resepsionis yang berpenampilan
seperti seorang model papan atas. Rambut sempurna, kuku jemari sempurna ... super-
langsing. Lu melawan dorongan untuk mengusapkan kedua tangannya yang
90
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
lembap serta lengket pada roknya dan kembali bertanya-tanya mengapa ia dituntun ke
sebuah kantor di Departemen Humas dan Publikasi.
Ia membenahi kembali posisi tali tas sandangnya dan mengetuk pintu. Dua detik
kemudian seorang pria bertubuh sangat besar serta berpenampilan keras membuka pintu
dan tersenyum padanya. Pria itu memegang sepotong sandwich di satu tangan dan
mengangkat bahu sebagai permintaan maaf.
“Lu? Maaf—ini pertama kalinya aku bisa menyantap makan siang dengan bebas,” jelas
pria itu. “Kelby Cotter.”
Kelby mengangkat dan menggigit sandwich yang tinggal separuh serta mengisyaratkan
agar Lu duduk di depan sebuah meja tulis dan sangat feminin dan sangat berantakan.
Kelby menelan gigitan sandwich yang terakhir tadi, meneguk air minum dari botol di
atas meja tulis dan mengacak-acak kertas yang berserakan untuk mencari sesuatu.
“Ini dia.” Kelby menjentikkan memory card dari kamera Lu ke arahnya dan ia
menangkap benda itu. “Foto-foto Will yang menakjubkan. Boleh aku memintanya?”
Pastinya Kelby bisa saja bertanya padanya di telepon apakah pria itu boleh memakai
foto-foto tersebut? Seharusnya ia meminta Kelby membayar untuk foto-foto itu.
Kebingungan melandanya. Tapi jika ia memberikan foto-foto tersebut pada pria itu
dan meminta rekomendasi maka hal tersebut akan membantu mengangkat profilnya.
“Uh ... tentu saja.”
91
joss ‘Wood
Kelby memiringkan kepala ke arahnya dan melepaskan sebuah tawa bergemuruh. “Kau
tidak bisa memberikan hasil kerjamu dengan begitu saja, Lu!”
“Jadi kau akan membelinya dariku?”
Kelby menyebutkan sebuah angka yang membuat kedua mata Lu melebar. Sepertinya Rays
memang membayar fotografer mereka dengan sangat memadai.
Dengan semangat dan keberanian yang terbangkitkan melihat tatapan ramah pria itu,
Lu menanyakan alasan sang CEO mengurus publikasi dan masalah ke-humasan.
“Pertanyaan bagus. Kepala Humas-ku sudah terbang ke Cape Town untuk menemani ibunya
yang sedang sakit parah. Aku mengurus departemen ini sampai dia kembali, dan lebih
mudah untuk bekerja di kantornya daripada memindahkan semua barang-barangnya ke
kantorku.” Kelby bersandar di kursi dan melipat kedua tangan di depan perutnya yang
gendut. “Aku punya dua tawaran untukmu. Kau akan dibayar untuk kedua-duanya.”
Lu tersipu dan merasa seperti seorang idiot. Dan kegirangan. Dan khawatir proyek
ini ada hubungannya dengan Will Scott. “OK Kedengarannya menarik.”
“Aku melihat-lihat foto lainnya di media card yang Will berikan padaku dan aku
sangat takjub melihat beberapa foto hasil karyamu. Luar biasa mengagumkan.”
“Terima kasih,” ujar Lu, sementara benaknya berpacu untuk mengingat-ingat foto apa
yang Kelby
92
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
maksudkan. Beberapa foto si kembar dan teman-teman mereka, pemotretan bayi,
beberapa pemandangan pantai.
“Aku dan istriku memiliki seorang putri berusia enam bulan dan kami sangat ingin
memiliki foto. Beberapa foto portrait bayi kami dan beberapa foto santai kami
bertiga.”
Yay\ Sebuah pekerjaan. “Tentu saja. Aku memiliki sebuah studio di rumah dengan
semua perlengkapan, background, dan pencahayaan. Sedangkan untuk foto santainya,
kita bisa melakukannya di rumahmu—ka-panpun waktu yang tepat.”
“Uh ... saat ini kami tinggal di sebuah lantai loteng yang agak sempit, sementara
rumah kami sedang dibangun, jadi itu tidak mungkin.” Kelby memain-mainkan penanya.
“Will bilang kau memiliki sebuah taman yang sangat indah ... bisakah kita
melakukannya di sana? Dan harus pada hari Minggu. Aku sangat sibuk saat hari
kerja.”
“Tentu saja. Bagaimana kalau Minggu pagi besok?”
“Bagus sekali!” Kelby mendongak saat mendengar sebuah ketukan keras di pintu.
“Will! Dia setuju untuk memotret Micki! Kami akan melakukannya pada Minggu pagi di
rumahnya.”
“Sudah kubilang dia pasti mau.”
Perut Lu bergejolak saat memutar tubuh di kursinya. Dalam balutan athletic shorts,
sehelai T-shirt biru bertanda Rays yang ujung bawahnya dibiarkan keluar dan sepatu
trainers, Will terlihat bugar dan seksi, dengan rambut basah seakan-akan pria itu
baru saja
93
joss ‘Wood
selesai mandi. Will melangkah ke dalam ruangan dan kedua mata Lu melebar saat pria
itu menundukkan kepala untuk mengecup pipinya. Berhubung ia beringsut mundur—karena
terkejut—kecupan Will mendarat di pelipisnya. Will menegakkan tubuh dan tatapan
mereka bertemu. Pria itu menyadari keterkejutannya dan sepasang mata berwarna topaz
yang menakjubkan itu berkilat-kilat penuh kegelian.
Will duduk bertengger di sudut meja tulis dan tanpa permisi menyambar sandwich
Kelby yang separuh lagi-
“Hei!” protes Kelby.
“Bukankah Angie menyuruhmu diet? Tanpa karbohidrat? Hanya salad?” tanya Will sambil
mengunyah. “Aku menjaga agar kau tidak sampai terlibat masalah dengan istrimu, man?
“Tapi aku kelaparan!”
“Makanlah carrot stick atau ikutlah berlari denganku. Setelah itu kau bisa
menyantap sandwich udang dan mayones.” Will menyeka mulut dengan sehelai serbet
yang pria itu temukan di samping sandwich. “Atau kembalilah ke gym.”
“Seolah aku punya waktu untuk itu,” gerutu Kelby.
Will melambaikan sandwich tadi ke arah Lu. “Kau sudah bertanya padanya?”
“Tadi pembicaraanku terputus oleh pelatih utamaku yang menyebalkan,” sahut Kelby,
sambil memandang dengan penuh damba pada wadah plastik tempat sandwich yang sudah
kosong. Pria itu berpaling ke arah Lu dengan tatapan serius. “Aku sedang
94
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
mencari seorang fotografer kontrak untuk bekerja dengan Rays—memotret foto-foto
resmi tim untuk kami gunakan guna keperluan berbagai kampanye promosi. Aku tidak
punya waktu menelepon ke sana-sini untuk mencari fotografer-fotografer freelance
yang tarifnya sangat mahal kalaupun aku bisa memakai jasa mereka. Aku ingin kau
menjadi fotografer resmi Rays.”
Lu berpaling dari Kelby ke Will dan menyadari bahwa tidak ada satu pun dari mereka
yang tertawa, jadi ini pasti bukan lelucon. Tadinya ia ingin memastikan dua kali.
“Maaf—apakah kau serius?” Ia bertanya, dengan detak jantung yang berpacu kencang.
“Yep. Kau harus bekerja dengan jam kerja yang fleksibel—denganku, dengan anggota
tim.” Kelby melayangkan sebuah tatapan sangsi ke arahnya. “Sanggupkah kau menangani
dua puluh lebih pria sekaligus?”
“Dia telah membesarkan dua bocah laki-laki kembar. Dia bisa dibilang Superwoman,”
ujar Will dengan tenang, dan Lu tersenyum sekilas pada Will serta berusaha untuk
tidak tersipu mendengar komentar pria itu.
Lu memandang Kelby. “Wow. Maaf, ini sangat mengejutkan. Apakah kau yakin?”
“Kalau kau memberiku foto-foto yang hasilnya separuh saja lebih bagus dari yang ada
di kartu itu maka aku akan sangat berbahagia.”
Lu mengangkat dagunya dengan penuh tekad. “Hasilnya akan sama bagusnya atau lebih
bagus lagi.”
Kelby memandang Will dan mengangguk. “Aku suka dia.”
95
joss ‘Wood
“Sudah kuduga,” sahut Will, dan jantung Lu berdebar keras.
Ponsel Kelby yang berdering memutus tatapan mereka dan, setelah Kelby memberi tahu
si penelepon bahwa dia akan menghubungi kembali lima menit lagi, pria itu meraih
sebuah berkas dari meja tulis. Kelby menyerahkan beberapa lembar dokumen kepada Lu
dan berdiri. “Periksalah kontrak itu dan mulailah bekerja Senin besok.” Pria itu
melambaikan ponsel tadi. “Maaf, aku harus mengurus sesuatu.”
“Terima kasih banyak.”
Lu memperhatikan bahwa tatapan Kelby meluncur ke laci meja tulis dan melihat bahwa
Will juga telah menangkap gerakan tersebut.
“Apa yang kau sembunyikan, Kelby?” desak pria itu. Will berdiri dan berjalan
memutari meja tulis, menyentakkan sebuah laci hingga terbuka. Pria itu
menggelengkan kepala sambil mengeluarkan sebuah bungkusan bernoda minyak. “Donat
selai? Serius? Dengan tingkat stresmu dan kurangnya kau berolahraga?”
Kelby mengerang. “Memangnya kau ini siapa? Polisi makanan?”
Will membuka bungkusan itu, mengeluarkan dan menggigit salah satu isinya. “Enak.”
Pria itu memandang Lu dan melambaikan donat tersebut. “Mau?”
Lu menggelengkan kepalanya. “Tidak, terima kasih.”
“Aku sangat membencimu, Scott. Aku akan kembali lima menit lagi,” gerutu Kelby,
tampak luar biasa kehilangan. “Jadi sampai jumpa Minggu besok, Lu.”
96
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu merasa iba pada pria itu. Berdiet memang sangat berat. “Datanglah jam sepuluh—
untuk minum teh. Aku akan membuatkanmu beetroot cupcake super-sehat yang akan kau
kira sarat dengan lemak dan kalori.”
Wajah Kelby langsung berubah cerah. “Kau—aku suka.” Pria itu menunjuk ke arah Will.
“Dia—tidak terlalu.”
97
Lima
Lu menelan ludah saat daun pintu menutup dan Will kembali menempati posisi di sudut
meja tulis, dengan satu lutut yang hanya berjarak beberapa inci dari lutut Lu. Ia
melipat kedua lengan di dada dan menunduk memandangi wanita itu.
Ia telah sering sekali memikirkan Lu sejak ia makan malam di rumah wanita itu dan
memaksakan diri untuk tidak menelepon. Ia terkejut saat menerima telepon Lu dan
menjadi lebih terperanjat lagi dengan kelegaan yang dirasakannya karena mendengar
kabar dari wanita itu lagi.
Lu mendongak dan dengan begitu memperlihatkan bagian kulit halus persis di bawah
rahang wanita itu yang ingin Will pagut.... Ia telah menghabiskan banyak malam hari
dengan memikirkan Lu, membayangkan apa yang akan ia lakukan pada wanita itu jika Lu
telanjang dan membuka diri. Will memukul kepalanya sendiri dalam hati.
Lu menunduk memandangi dokumen kontrak kerja yang sedang dipegangnya dan Will
mengamati saat rona kegembiraan mengembang di sepasang pipi
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
wanita itu. “Aku mendapatkan sebuah pekerjaan. Will.”
“Aku tahu...” Ia menggigit lidahnya untuk menahan agar kata honey tidak sampai
meluncur dari mulutnya. “Selamat.”
“Aku harus memberi tahu anak-anak.”
Lu melayangkan sebentuk senyuman lebar padanya sebelum mengambil tas. Setelah
menjatuhkan benda tersebut ke samping Will di atas meja, wanita itu berdiri untuk
merogoh-rogoh ke dalamnya dan akhirnya mengeluarkan ponsel. Will mendengar gemuruh
suara laki-laki saat ia menjulurkan kedua tungkainya dan menyilangkan kedua
kakinya.
Will mendengarkan dengan sabar sementara Lu bicara pada adik yang satu lalu yang
satunya lagi dan kemudian, sambil melayangkan sebuah tatapan meminta maaf ke
arahnya, cepat-cepat mengulangi berita yang sama dengan Mak. Setiap kali
mengucapkan kata-kata “fotografer resmi”, wanita itu menggoyang-goyangkan pinggul
hingga membuat darah mengalir deras dari kepala Will.
Dengan mengesampingkan rasa tertariknya, Will sangat suka mengamati Lu yang
melonjak-lonjak gembira. Kapan terakhir kalinya wanita itu mengabarkan berita yang
sangat penting tentang dirinya sendiri? Will menduga bahwa itu sudah lama sekali.
Ini benar-benar merupakan berita tentang Lu; tidak ada hubungannya dengan adik-adik
wanita itu, Mak, maupun orang lain.
99
joss ‘Wood
Will tahu seperti apa rasanya sebuah kesuksesan— kepuasan yang seseorang rasakan
ketika memperoleh pengakuan atas kerja keras atau bakat mereka. Ia telah mengalami
hal itu hampir sepanjang hidupnya, sepertinya sudah merasa ketagihan, dan
kemungkinan sudah menjadi agak acuh tak acuh dengan segala kesuksesannya. Terlepas
dari “Tahun-tahun Bodoh”-nya, kegagalan merupakan sesuatu yang jarang—OK, tidak
pernah—menjadi pilihan yang dapat ditolerir.
Lu mengakhiri percakapan dengan Mak dan mendongak ke arahnya, sepasang mata putri
duyung itu tampak bersemangat. “Aku semakin berutang budi padamu. Kau menyelamatkan
aku dan sekarang kau membantuku mendapatkan pekerjaan.”
Tidak, ia tidak akan membiarkan wanita itu mengalihkan penghargaan pada dirinya
maupun orang lain. Ini adalah momen milik Lu. “Yang kulakukan hanyalah menyerahkan
media card itu pada Kelby. Aku tidak berkata maupun berbuat apa-apa lagi. Kau
mendapatkan pekerjaan ini karena kau jelas memiliki keahlian hebat dengan kamera.”
Lu bergerak naik turun, bertumpu di tumitnya. “Jadi kau tidak mengisyaratkan atau
menyarankan agar dia sebaiknya—?”
“Kau menduga bahwa aku punya kekuasaan yang lebih besar dari yang sebenarnya
kumiliki. Aku tidak akan mentolerir siapa pun yang mencoba memberitahuku bagaimana
cara melatih, jadi aku memberikan penghargaan yang sama pada divisi publikasi. Aku
tidak akan berani memberi tahu mereka bagaimana
100
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
cara mempromosikan atau memublikasi. Tidak, Lu, kaulah yang melakukan ini,” ujar
Will, suaranya dalam dan serius. Lu harus memahami bahwa ini adalah murni
prestasinya sendiri.
Lu memandanginya beberapa waktu kemudian pinggul wanita itu bergoyang-goyang lagi
dengan gembira. Ia benar-benar berharap Lu tidak melakukannya. Bagaimana mungkin ia
tidak memikirkan tentang untuk apa pinggul tersebut diciptakan saat Lu
melakukannya?
“Yee-hahY Lu tertawa dan melakukan sebuah putaran kecil. “Jadi, menurutmu jam
berapa harus tiba di tempat kerja Senin nanti? Baju apa yang harus kupakai? Dan,
yang lebih penting lagi, berapa banyak lensa yang sebaiknya kubawa? Mungkin aku
harus membawa semuanya—”
Will tersenyum simpul. “Berapa banyak yang kau punya?”
“Delapan? Sembilan?”
Ia menahan tawanya. “Aku yakin kau tidak akan membutuhkan semuanya. Dan Kelby akan
mengirim e-mail tentang apa yang perlu kau ketahui. Atau memberitahumu Minggu
besok. Akhirnya aku akan melihat apakah aku bisa menemukan sebuah apartemen
sementara untuk kutempati. Aku sudah tidak tahan lagi dengan hotel itu.”
Will beranjak dan berdiri di hadapan Lu, sambil meletakkan satu tangan ke atas meja
di samping pinggulnya. Ia melihat rona merah yang menjalari pipi wanita itu,
menangkap gerakan Lu mengangkat satu
101
joss ‘Wood
tangan untuk menyentuhnya dan merasa kecewa ketika wanita itu kembali menurunkan
tangan ke sisi tubuh.
Will bergerak mendekat hingga bajunya bersentuhan dengan baju Lu. “Selamat atas
pekerjaanmu, Lu.” Irims.
“Setiap pekerjaan baru harus dirayakan.”
Apa yang ia lakukan? Hanya sebuah ciuman, katanya pada si tukang kritik dalam
dirinya. Bukan masalah besar. Ia telah mencium banyak wanita sebelumnya dan pergi
begitu saja tanpa terluka.
Lagipula, mencium Lu bukan masalah besar ... ia bisa berhenti kapan saja.
Yeah, tapi kau tidak pernah mencium putri duyung sebelumnya.
Will meletakkan kedua tangan di pinggul Lu, menarik wanita itu ke arahnya ... dan
mulutnya telah nyaris menyentuh bibir Lu saat pintu ruang kantor membuka dan Kelby
melesat masuk.
“WhoopsY seru Kelby.
Will menoleh dan melihat Kelby melangkah mundur sambil menyumpah, lirih dan lambat,
hingga daun pintu terhempas menutup lagi.
Lu mengangkat satu alis ke arahnya. “Well, canggung sekali.”
Will mengepalkan kedua tangan untuk mencegahnya meraih tubuh wanita itu lagi.
“Maaf. Itu tidak seharusnya terjadi.”
“Kau bahkan belum benar-benar menciumku,” Lu mengingatkan.
102
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Wanita itu menegakkan tubuh dan mengangkat bahu berkulit kecokelatan tersebut. Lu
pasti telah melihat sesuatu di wajah Will karena wanita itu buru-buru bicara.
“Will, aku tidak ingin hal ini menjadi aneh—terutama karena aku mengajakmu pergi.
Aku tidak mau kau berpikir bahwa aku mengejar-ngerjar dirimu, atau menginginkan...”
Lu menggigit bibir sementara kata-kata wanita itu terputus. Dia melambaikan satu
tangan dengan gelisah ke udara. “Aku tidak menginginkan apa pun selain
kegembiraan ... sedikit bersenang-senang. Aku bukan orang yang benar-benar idiot.
Aku tahu bahwa kau hanya akan berada di sini selama tiga bulan dan bahwa aku hanya
sedikit terbawa suasana karena momen ini. Terus terang, aku baru saja terbebas dari
sebuah hubungan selama satu dekade dengan dua bocah laki-laki dan aku telah memberi
mereka segenap tenaga yang kumiliki. Aku hanya ingin bersenang-senang—aku
menginginkan seorang teman. Kupikir mungkin kau juga membutuhkan hal yang sama.”
Teman? Apa yang wanita itu tawarkan? Teman sungguh an atau teman dalam seksi
“Apakah teman juga berarti telanjang?” Ia bertanya dengan suara paling datarnya.
Menilai dari keterkejutan yang muncul dalam tatapan Lu, wanita itu belum sampai ke
bagian tentang tempat tidur. Sial. Lalu sepasang mata Lu berubah sayu dan Will tahu
bahwa pemikiran wanita itu tidak jauh berbeda dengannya. Sayangnya, bersamaan
dengan
103
joss ‘Wood
hasrat aku-mau-membuatmu-telanjang itu ada juga keraguan aku-tidak-tahu-apa-yang-
kulakukan dalam dosis besar.
Lagipula, apa yang ada dalam pikirannya? Bukankah ia telah memutuskan untuk mencoba
sesuatu yang berbeda selagi berada di Durban sini? Tapi saat ini ia justru kembali
meluncur ke dalam pola yang lama dan reaksi yang seperti biasa.
“Ah ... um ... well...? Lu tergagap. Ya Tuhan. “Sebenarnya, aku sudah memikirkan
soal itu.” Pada akhirnya Lu mengucapkan kata-kata itu.
Ekspresi wanita itu tenang dan terkendali, sedikit menantang. Dan seandainya sejak
tadi sepasang mata Lu mengiriminya pesan yang sama, maka saat ini ia pasti telah
menyandarkan tubuh Lu ke dinding dan menciumi wanita itu habis-habisan. Sayangnya
Lu memiliki sepasang mata paling ekspresif di dunia dan, berkat hidup dengan dua
saudara perempuan, dengan mudah ia dapat membaca ketakutan di balik tatapan wanita
dewasa/wanita pemberani yang Lu layangkan padanya.
OK, aku ketakutan tapi bagaimanapun juga aku siap untuk mencoba melakukan ini.
Ia tidak tahu pasti alasannya tapi secara naluriah ia tahu bahwa ia tidak ingin
menjadi ekspresimen Lu.
“Will?”
Tok.
“Will?”
Tok.
“Will!”
104
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Kelby mengetuk lagi dan Will meringis. Diselamatkan oleh sahabatnya. Lagi. Ia jelas
berutang budi pada Kelby karena telah membebaskannya dari sebuah penyiksaan verbal.
Karena tidak ada cara yang bagus untuk mengatakan pada seorang wanita ‘ Trims, tapi
aku akan pikir-pikir dulu!
Will menyentakkan daun pintu hingga terbuka dan melayangkan sebentuk senyum yang ia
harap terlihat sebagai sebuah senyuman menenangkan ke arah Lu. “Aku akan
meninggalkanmu untuk bicara dengan Kelby dan sampai jumpa Senin malam. OK”
Hmm, ada lebih banyak kekakuan dalam kata bersuku satu itu dibandingkan dengan yang
ada dalam tepung kanji yang dibuat dari setumpuk kentang. Mungkin Kelby tidak
benar-benar menyelamatkannya. Pria itu itu hanya menunda hukumannya.
Kau sedang apa!
Itu adalah ketiga, keempat—kelima—kalinya salah satu dari si kembar mengiriminya
pesan singkat dan menanyakan hal yang sama. Lu ingin mereka berhenti terlalu
mencemaskan dirinya! Rasanya seperti memiliki dua ayah yang terlalu protektif dan,
meskipun mereka gembira mendengarnya mendapatkan sebuah pekerjaan, mereka masih
tetap belum melupakan pemikiran tentang kehidupan sosialnya.
Sementara Will pergi ke bar membeli minuman untuk mereka sebelum pertunjukan
dimulai, Lu buru-buru mengambil foto billboard yang mengiklankan
105
joss ‘Wood
ketiga pastry chef fan chocolatier. Setelah melampirkan foto itu pada sebuah pesan,
ia mengirimkannya pada kedua adiknya.
Seperti yang bisa kalian lihat, aku sedang keluar dan bersenang-senang.
Bersama seorang pria yang jelas sekali tidak ingin tidur denganku, pikir Lu, namun
ia tidak menambahkan kalimat itu. Daniel membalas.
Baguslah kalau begitu!
Uh ... tidak ... dan tidak untuk sarang laba-labanya juga. Balasan Nate muncul pada
layarnya.
Sepertinya tidak sendirian. Apa Mak serius waktu dia bilang kau bersama Will Scott?
Will Scott yang ITU? Dan kenapa dia mau datang ke sebuah demo membuat kue?
Siapa yang tahu? Kebingungan pun melanda. Dan Mak memiliki mulut sebesar paus!
Kemudian Lu membalas.
Yep. Dan heilAda banyak sekali selebriti di sini. Para chef ini adalah berita
BESAR!
Nate: Pasti tidak ada olahragawan di situ.
Daniel: Menurutmu dia bisa mengatur agar kami dapat bertemu para anggota tim saat
kami pulang?
Kapan itu?
Setelah kau kursus menari, belajar pottery dan melakukan terjun payung. Satu kencan
saja tidak ada artinya.
Yeah! Setuju!
OMG, aku lupa betapa kalian berdua bisa begitu menjengkelkan! :p
106
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan menoleh ke arah bar, di mana Will dapat
dengan mudah dikenali di antara orang-orang yang berjejalan dari bahu yang lebar
dalam balutan kemeja putih dengan bawahan jeans berbahan halus. Will telah
menggulung lengan kemeja yang dipakai dan pria itu terlihat rapi tapi santai—
rileks, tapi seakan telah sedikit berusaha keras untuk itu.
Dan luar biasa seksi!
Lu berharap bahwa ia sendiri berhasil memadukan antara santai dan seksi, dengan
jeans putih serta sehelai gypsy top berwarna hijau yang menurun ke satu bahu dan
bersabuk pada bagian pinggul. Heels bertali menambah tinggi badannya hingga sebahu
Will, namun demikian ia merasa—mungkin seperti halnya sebagian besar orang—kerdil
dibandingkan pria itu.
Will berjalan kembali ke arahnya dan Lu melihat sangat banyak mata yang mengikuti
langkah pria itu, menyadari siku-siku yang saling menyenggol, komentar-komentar
yang dilontarkan dari balik satu tangan di mulut. Mereka tahu persis siapa pria
itu.
“Ini,” ujar Will, sambil mengangsurkan segelas wine padanya dan memegang erat gelas
pria itu sendiri.
Bagaimana persisnya ia harus bersikap setelah ia mengisyaratkan bahwa ia tidak akan
menolak sebuah undangan ke kamar tidur dan Will belum mengatakan apa pun? Apakah
itu sebuah jawaban ya? Sebuah jawaban tidak? Tunggu, aku akan pikir-pikir dulu?
Yang tidak ingin ia lakukan adalah membiarkan Will berpikir bahwa ia peduli—
walaupun sedikit. Ia
107
joss ‘Wood
telah belajar untuk menyembunyikan emosinya, dan harga dirinya menuntut agar ia
melakukan itu sekarang.
“Apa yang kau minum?” tanya Lu dengan sopan. Lihat—ia bisa bersikap sopan.
“Coke. Aku harus mengemudi. Aku tidak terlalu banyak minum.”
Kenyataan yang sebaliknya berlaku di masa lalu pria itu, pikir Lu. Ia telah habis-
habisan mencari keterangan tentang Will di internet dan sepertinya pria itu pernah
terlibat dalam sebuah hubungan yang sangat tidak sehat dengan alkohol. Dan obat
bius. Dan sang mantan istri. Ada pertengkaran di depan publik, pameran kasih sayang
yang berlebihan di depan umum, kamar-kamar hotel yang rusak. Lu tidak dapat
mencocokkan pria berpembawaan tenang dan terkendali ini dengan versi lebih muda
yang pernah dibacanya.
Ia sangat yakin bahwa Will yang lebih muda pasti sudah tidur dengannya!
“Jadi, apakah kau sudah menemukan tempat untuk disewa?” tanya Lu sementara orang-
orang mulai bergerak menuju intimate theatre.
“Sebuah apartemen dekat rumahmu, sebenarnya. Kira-kira di sudut jalan. Ada bak
mandi air panasnya.”
Ya ampun. Will di dalam sebuah bak mandi air panas ... gelembung, sampanye ... ia
tidak akan berpikir tentang menyentuhkan kulitnya pada kulit pria itu. Will tidak
sependapat dengannya dalam hal kulit dan seks dan ... Ya Tuhan, panas sekali di
dalam teater ini.
108
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu menyerahkan tiket mereka dan menghela napas saat Will meletakkan satu tangan
pada bagian bawah punggungnya untuk membimbingnya menuruni tangga teater.
“Apartemen itu memiliki pemandangan cukup bagus,” lanjut Will saat mereka akhirnya
berhenti di deretan paling bawah, persis di tengah.
Merupakan tipikal Mak untuk mengatur tempat duduk terbaik, pikir Lu.
“Dan berperabotan lengkap, jadi aku hanya perlu memindahkan pakaianku. Aku akan
menandatangani kontrak sewanya besok. Aku juga bisa menyerbu kulkasmu untuk
mendapatkan lasagna beku saat aku lupa membeli makanan.”
“Akan kubuatkan senampan untukmu sebagai hadiah,” janji Lu saat menduduki kursinya.
Mungkin.
“Kau sangat suka memasak, ya?” Will menggelengkan kepala dengan kagum. “Keahlianku
di dapur terbatas pada membuat kopi. Saat kau membuatkan senampan lasagna untukku
jangan ragu-ragu untuk menyertakan beberapa beetroot cupcake yang kau buatkan untuk
Kelby.”
Lu kebingungan. “Kapan kau mencicipinya?”
“Kau membawakan beberapa buah saat Kels dan Angie pulang, bukan? Aku makan bersama
mereka tadi malam.”
“Oh. Kau menyukainya, ya?”
“Aku sangat menyukai makanan manis, bahkan sudah dalam taraf kronis. Aku benar-
benar berharap mereka punya sampel di sini dari apa yang mereka buat malam ini.”
109
joss ‘Wood
Will tersenyum padanya dan perut Lu bergejolak. Seharusnya senyuman pria itu
dinyatakan sebagai senjata pemusnah massal. Bagaimana mungkin ia bisa tetap merasa
jengkel saat Will begitu menawan? Begitu memesona?
“Aku sangat menyukai seni membuat kue ... dan menghiasnya. Begitu kreatif.” Lu
mendesah. “Seandainya saja aku bisa memotret mereka saat mereka sedang beraksi ...
itu akan sangat menyenangkan.”
“Bicara soal fotografi—Kelby dan Angie luar biasa gembira ketika menerima dua foto
pertama Micki yang kau kirimkan melalui e-mail.”
“Baguslah.” Lu menyilangkan kedua tungkainya dan mengetuk-ngetukkan satu jari pada
gelas wine. “Mereka keluarga yang menyenangkan. Ceritakan padaku tentang
keluargamu.”
Ekspresi penuh kasih sayang terlintas di wajah pria itu. “Aku punya dua saudara
perempuan—satu di London, satu di Wellington—dan kedua orangtuaku tinggal di
Auckland.”
“Apakah kau merindukan mereka?”
“Tentu saja. Tapi aku telah begitu lama hidup berjauhan dari mereka hingga hal itu
menjadi normal.”
Lu menatap pada panggung yang berisi tiga buah meja serta tumpukan peralatan
memasak dan merasakan tenggorokannya tercekat. “Anak-anak menikmati waktu yang
sangat menyenangkan di tempat kuliah ... aku sudah merasa seolah mereka semakin
jauh.
“Omong-omong, kau adalah salah satu olahragawan favorit mereka,” ujar Lu saat
lampu-lampu teater berkedap-kedip.
110
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Apa mereka suka main rugby?”
“Dan kriket dan hoki serta sepak bola. Dan squash. Dan mereka suka berselancar....
Apa pun yang disebut olahraga, mereka akan mencobanya. Satu-satunya hal yang tidak
kurindukan adalah mengangkut mereka dari satu kegiatan ke kegiatan lain. Anak-anak
di sini baru memperoleh kebebasan mereka di usia delapan belas, dan mereka baru
saja mendapatkan SIM.” Sesaat Lu menatap ke depan dengan pandangan menerawang.
“Kira-kira itulah satu-satunya hal yang tidak kurindukan dari kepergian mereka.”
Will mendengar getaran dalam suaranya. “Masa yang sulit, ya?”
Lu berusaha tertawa sekilas dan melambaikan satu tangan dengan sikap santai
menanggapi perhatian pria itu. “Nah, aku baik-baik saja.”
“Katakan padaku yang sebenarnya, Lu,” desak Will dengan tenang.
Kejengkelannya terhadap Will kembali meluap mendengar permintaan pria itu. Will
ingin tahu banyak tentang dirinya tapi tidak mau tidur dengannya? Ia tahu bahwa ia
sudah kaku dalam hal berkencan, namun ia sangat yakin bahwa keluhannya tidak logis.
Ia ingin mengatakan pada Will bahwa ia merasa seolah kepalanya telah diamputasi,
bahwa rumahnya terlalu sunyi dan bahwa anjing-anjingnya merana. Betapa gembira dan
bersemangatnya dirinya karena bisa bekerja lagi. Sebaliknya ia hanya memalingkan
kepala dan menatapi panggung.
111
joss ‘Wood
“Sudah dimulai,” ujarnya saat sebuah spotlight menyoroti meja bagian tengah.
“Siapa pria ini?” tanya Will dalam sebuah bisikan lirih.
“Rupert Walker dianggap sebagai pembuat kue terbaik di dunia. Dan Heinz Martine
adalah seorang pembuat cokelat yang luar biasa dan satu lagi pembuat kue yang
hebat,” bisik Lu sementara Rupert Walker melompat ke atas panggung dan menyapa para
penonton di tengah-tengah gemuruh tepuk tangan dan siulan. “Aku tidak mengenal chef
yang ketiga.”
Setelah penonton tenang kembali, sang chef dalam balutan chef's pants bermotif
kotak-kotak dan sebuah topi chef berukuran raksasa berwarna merah marun, meletakkan
kedua tangan di pinggul dan memandang ke deretan penonton.
“Terima kasih atas kehadirannya! Aku selalu meminta bantuan penonton dan biasanya
aku meminta partisipasi para sukarelawan, tapi malam ini aku diberi tahu bahwa Will
Scott ikut menonton. Aku adalah penggemar paling fanatik dan paling gay? Rupert
menggetarkan tubuh dengan gerakan halus dan gemuruh tawa para penonton meledak.
Lu mendengar erangan Will.
“Jadi mungkin Will bisa naik ke panggung dan membantuku membuat sugar basket! Will,
apakah kau ... berani?'
Will menggumamkan umpatan dan memandang Lu dengan tatapan panik. “Astaga, Lu—aku
selalu membuat air yang kumasak menjadi gosong!” bisik pria itu.
112
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Saat Will berdiri Lu menutup mulutnya dengan satu tangan untuk mencegah tawanya
terlepas.
Pria itu membungkuk sehingga bicara persis di telinganya. “Kau pasti menganggap ini
lucu, Mermaid, tapi aku pasti akan membalaskan dendamku.”
Tawa Lu, keras dan bersemangat, mengiringi Will ke atas panggung.
Will gagal total dalam membuat sugar basket. Pria itu berusaha keras, dan sangat
berbesar hati soal itu, tapi Will dua kali membuat gosong sugar basket-nya dan
tanpa sengaja menjatuhkan sugar cage buatan Rupert yang sudah setengah jadi ke
lantai, yang langsung hancur remuk menjadi jutaan keping gula. Pada akhirnya
Rupert, dengan sangat berbaik hati, menyerah dan mempersilakan Will untuk kembali
ke kursinya, di mana pria itu duduk lagi dengan sangat diam hingga Lu yakin bahwa
Will tertidur sepanjang sisa pertunjukan.
Saat mereka meninggalkan teater Lu mendongak memandangi pria itu dan mengangkat
kedua alisnya. “Apakah kau menikmati tidurmu tadi?”
“Luar biasa. Apa yang kulewatkan?” sahut Will dengan riang.
Lu tertawa. “Sama sekali bukan hal yang ingin kau ketahui. Sebaliknya, aku telah
belajar cara membuat ganache untuk Sacher Torte?
Sepasang mata Will tampak berbinar. “Kue cokelat khas Austria itu? Bagus—trims
sebelumnya.”
“Aku tidak akan membuatkan itu untukmu. Prosesnya butuh waktu berjam-jam!”
113
joss ‘Wood
Will meletakkan satu tangan berukuran besar pada bagian bawah lehernya. “Kau harus
membuatkanku kue itu karena tadi kau menertawakan aku! Ketika aku dipanggil untuk
naik ke panggung ... saat aku membuat gosong sugar—”
Lu terkekeh. “Dua kali.”
“Kau tertawa sampai berguling-guling di kursimu! Sacher Torte—dan kalau kau setuju
maka aku akan membelikanmu Irish coffee sekarang.”
Lu meringis saat pria itu mengarahkannya memasuki bar teater. “Oh, baiklah, kalau
begitu.”
Ia mengikuti pelayan ke sebuah meja yang menghadap keluar pada jalanan pusat kota
yang ramai. Will menyampaikan pesanan mereka dan menggelengkan kepala.
“Akulah yang memilih apa yang akan kita lakukan selanjutnya,” ujar pria itu
padanya, dengan berlagak tegas. “Kau tidak bisa dipercaya.”
Lu mengangkat satu alisnya, ingat bahwa Will tidak sebergairah itu padanya, dan
menggunakan ekspresi jangan-macam-macam-denganku yang biasanya berhasil membuat
adik-adiknya ciut. “Kau suka menduga-duga, ya?”
Will melayangkan sebentuk senyum santai padanya. “Kau jengkel padaku.”
“Kau sedang bertanya padaku atau memberitahuku?”
“Memberitahumu. Kau bisa tetap memasang wajah datar, Mermaid, tapi kedua matamu
terlalu ekspresif. Kau jengkel karena aku tidak memberimu jawaban
114
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
mengenai apakah aku mau tidur denganmu atau tidak.”
Bingo\ Beri pria ini sebuah bintang emas\
Will meletakkan kedua lengan di atas meja dan mencondongkan tubuh ke depan.
“Sebelum menjawab, aku perlu bertanya apakah kau bersungguh-sungguh dengan
perkataanmu di kantor Kelby waktu itu?” tanya Will.
Lu mengerutkan keningnya. “Bagian yang mana?” ia bertanya dengan perasaan was-was.
“Tentang tidak ingin terlibat dalam hubungan dengan siapa pun?”
“Ya.” Ia harus berdiri di atas kedua kakinya sendiri sebelum ia mencoba berjalan di
sisi orang lain. Mencari tahu apa yang membuatnya bersemangat, apa yang membuatnya
bahagia.
“OK, jadi menurutku begini: Aku bisa membawamu ke tempat tidur—dan, ya, aku masih
hidup dan bernapas, dan kau seksi, jadi percayalah bahwa aku sangat ingin
melakukannya—dan kita akan tidur bersama serta sangat bersenang-senang. Tapi aku
tidak akan menemuimu lagi. Itu bukan kebiasaanku.... Dan itu akan sangat aneh
berhubung kita harus bekerja bersama-sama untuk dua bulan ke depan.”
“OK....” Apa yang harus ia katakan sebagai jawabannya? Dan apa maksud Will dengan
pernyataan ini?
“Atau aku bisa tidak membawamu ke tempat tidur dan menemuimu lagi.”
Hah?
115
joss ‘Wood
“Dengar, Lu, dengan risiko terdengar seperti bajingan sombong, aku bisa memasuki
klub mana pun di kota dan mendapatkan orang baru di ranjangku setiap malam.”
“Kau benar—kau memang kedengaran seperti seorang bajingan sombong,” gerutu Lu.
“Tapi aku tidak punya teman untuk bersantai—seseorang untuk melewatkan waktu
bersama. Aku menikmati kebersamaan denganmu ... bahkan saat kau berusaha keras
untuk menyembunyikan kekesalanmu sekalipun.”
Will telah memikirkan soal itu sejak terakhir kalinya ia bertemu Lu—memikirkan
tentang apa yang pernah Kelby katakan. Terlepas dari masalah yang Will miliki dalam
hal hubungan dengan seseorang, ia benar-benar menyukai orang-orang dan ia sangat
senang berada di dekat mereka. Ia tidak mungkin memaksa rekan-rekan setimnya untuk
bersamanya di luar jam kerja—ia adalah atasan mereka, dan siapa yang mau bergaul
dengan atasan mereka? Dan Kelby serta keluarga sahabatnya itu tidak menginginkan
maupun membutuhkan keberadaannya di dekat mereka. Melajang di sebuah kota yang
asing bisa menimbulkan rasa kesepian, dan memiliki seseorang untuk menghabiskan
waktu bersama akan membuat waktu berjalan lebih cepat, akan menghilangkan kebosanan
saat tidak sedang berada di stadion.
Dengan mengesampingkan ketertarikannya terhadap Lu—ia bisa melakukan itu: ia bukan
seekor anjing pemburu—ia benar-benar senang berada di dekat
116
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
wanita itu; karena Lu adalah seorang wanita yang menenangkan, dan juga
menyenangkan. Lu memiliki karakter apa adanya yang sudah lama sekali tidak ia temui
dalam diri seorang wanita. Kapan terakhir kalinya ia merasa begitu tenang, begitu
santai bersama seorang wanita?
Bersama Lu, ia merasa seperti dirinya sendiri. Ia melengkungkan bibirnya membentuk
sebuah senyuman. Bukan Will Scott sang pemain rugby legendaris. Bukan sang pelatih
sementara yang semua orang amati untuk melihat apa yang ia lakukan dengan tim
mereka tercinta. Bukan mantan suami Jo Keith yang seorang bad boy tak bertanggung
jawab.
Hanya Will. Ia menikmati menjadi Will saja.
Dan ia sangat menyukai fakta bahwa Lu tidak meringis maupun tersenyum bodoh serta
mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan dengan penuh perhatian dan kekaguman.
Bahwa wanita itu bisa menyebutnya seorang bajingan sombong. Selain kedua saudara
perempuannya, yang memberinya sebutan yang jauh lebih kejam, setiap wanita lain
yang pernah ia temui selalu memujinya.
Dengan cepat Will menjadi bosan dengan semua itu.
Will membuat hal ini terdengar begitu mudah, begitu sederhana, pikir Lu. Dan bisa
sesederhana itu jika ia tidak terlalu memikirkan soal ini. Seks dan pergi begitu
saja, atau tanpa seks dan waktu dua bulan bersama, bersenang-senang.
117
joss ‘Wood
Lu menginginkan seks namun ia membutuhkan kesenangan. Ia ingin tertawa seperti yang
dilakukannya tadi, ingin mencoba hal-hal baru, ingin berjalan sempoyongan ke tempat
kerja dengan mata memerah karena ia habis menikmati keseruan yang gila-gilaan. Ia
ingin minum cocktail dan mengenakan gaun-gaun indah serta mencoba makanan baru. Ia
ingin merasakan kembali sedikit masa muda yang telah hilang darinya, untuk
menjalani hidup—mencicipinya, merasakannya, mengalaminya.
Dan ia yakin bahwa ia akan lebih bersenang-senang bersama Will ketimbang tanpa pria
itu.
Ia pasti sudah gila jika menolak kesempatan untuk satu atau dua malam dengan seks
yang panas dan juga—Ding! Ding! Ding! bel jackpot berdering—adik-adiknya akan
berhenti mengiriminya pesan seratus kali sehari untuk mengetahui apakah ia baik-
baik saja.
“OK-—dan pada saat yang sama kau juga harus menolongku.”
“Itu merupakan sebuah insentif tambahan ... tapi bagaimana?”
Lu melambaikan satu tangan di udara—sebuah gerakan yang kini Will sadari sebagai
isyarat yang Lu gunakan saat wanita itu tidak ingin memperpanjang sebuah subjek
pembicaraan. Atau ketika sedang berusaha untuk bersikap berani.
“Maukah kau mempertimbangkan untuk melakukan hal-hal seperti belajar pottery* Kelas
dansa?”
“Tadinya aku berpikir tentang makan malam dan menonton film. Tapi aku akan
mempertimbangkan apa pun ... kalau kau memberiku sebuah alasan”
118
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu menggelengkan kepala. “Itu tidak penting dan ... konyol.”
“Katakan padaku, Lu.”
Wanita itu mendesah keras dan menatapi meja. “Sebelum meninggalkan rumah untuk
berkuliah, adik-adikku berkata bahwa mereka sangat khawatir karena aku harus hidup
seorang diri dan bahwa mereka ingin aku mulai lebih sering pergi keluar rumah,
mulai beraktivitas. Mereka ingin aku bersenang-senang, keluar dan melakukan
berbagai hal.”
Melihat kilatan kesedihan dalam sepasang mata Lu, Will mengulurkan tangannya guna
menghibur wanita itu dan menikmati kesempatan langka untuk mengusapkan satu tangan
pada lengan Lu mulai dari siku hingga pergelangan tangan wanita itu. Kulit Lu yang
terbuka terasa halus dan dingin di bawah jemarinya.
“Hal-hal apa?”
“Clubbing adalah salah satunya ... terjun payung, berselancar, kelas dansa. Belajar
pottery. Sebuah pekerjaan—tapi yang satu itu sudah terselesaikan.” Lu tersenyum
sebagai ucapan terima kasih pada sang pelayan, yang meletakkan minuman mereka ke
atas meja. Irish coffee untuk Lu, kopi biasa untuk Will. “Aku telah berjanji untuk
melakukannya. Dan aku telah melakukan beberapa hal. Tapi akan jauh lebih
menyenangkan jika aku bisa melakukannya bersama seseorang.”
Menilai dari kebingungan yang Will lihat dalam tatapan Lu, ia menduga bahwa wanita
itu sedang menghadapi jauh lebih banyak hal daripada yang dikatakan. Tapi ekspresi
Lu memohon padanya untuk tidak memperpanjang soal itu.
119
joss ‘Wood
Kau telah berada dalam kesendirian dan menghadapi terlalu banyak hal untuk waktu
yang terlalu lama,Mermaid, ia berkata pada wanita itu dalam hati. Ia tahu seperti
apa rasanya.
Kembalilah ke subjek pembicaraan yang sebelumnya, Scott. Subjek yang tidak terlalu
sensitif.
Ia mengerang dengan gaya berlebihan. “Belajar dansa? Pottery* Ya Tuhan.” Will
mengetuk-ngetukkan satu jari ke meja, ekspresinya serius. “Kita bisa mendengarkan
live band dan tentu saja terjun payung—”
“Uh, tidak?
“Aku bisa mengajarimu berselancar.”
“Akan kupertimbangkan. Ice skating”
“Blergh. Basah dan dingin. Aku akan pertimbangkan belajar pottery kalau kau mau
mempertimbangkan untuk mengendarai motor trail, menjelajahi kawasan luar kota. Aku
tahu itu bukan hal yang biasa wanita lakukan, tapi mungkin akan menyenangkan
bagimu.”
Di bawah meja satu lutut Will bersentuhan dengan lutut Lu dan sebuah ledakan
sensasi yang menyerbu langsung ke pangkal pahanya. Sanggupkah ia melakukan ini?
Mampukah ia mengabaikan dengungan daya tarik seksual dan menjadi teman wanita itu?
Dapatkah ia berhenti memikirkan tentang ciuman yang tidak pernah ada itu? Berhenti
mengingat-ingat bagaimana sepasang mata Lu separuh terpejam dan bersinar dengan
kilauan berwarna hijau, bagaimana kedua tangan wanita itu memegangi pinggulnya,
bagaimana ia merasakan sekilas mulut berbentuk sempurna itu?
120
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Ia harus bisa ... tidak ada pilihan lain. Tidak lama lagi ia akan pergi dan Lu
terlalu berbahaya untuk berada di dekatnya dalam jangka waktu yang lama karena ia
menduga bahwa wanita itu bisa—mungkin—membuatnya berpikir tentang apakah percikan
bisa tetap bertahan dan terus menyala....
“Will? Bagaimana menurutmu? Haruskah kita melakukan ini? Bisakah kita melakukan
ini?”
Ia tahu apa yang Lu tanyakan.... Bisakah mereka melakukan ini tanpa menjadikannya
rumit dan kacau? Sulit untuk membalas tatapan wanita itu, untuk melihat tapi
mengabaikan kilatan panas yang sama yang ia kenali di dalam sepasang mata tersebut.
Ia menyadari bahwa ia harus mengabaikan itu. Persis seperti yang Lu lakukan. Karena
wanita itu belum siap untuk terlibat dalam sebuah hubungan maka ia tidak akan
melibatkan diri dalam sebuah hubungan, jadi pertemanan adalah satu-satunya
kesempatan yang bisa ia dapatkan.
“Tidak akan menjadi masalah, Lu.”
Jika kita mampu menahan diri untuk tidak saling menyentuh satu sama lain. Karena
jika kita tidak sanggup maka seluruh pertaruhan akan batal.
Will mendesah. Saat ini ia benar-benar butuh minuman keras.
121
Enam
Saat mereka mengikuti papan arah melewati rumah utama menuju The Pottery Shed, Lu
menjentikkan satu jarinya pada bahu Will. “Sudah kubilang padamu untuk memakai baju
yang sudah lama—bukan sebuah T-shirt Zoo York yang masih bagus dan celana pendek
kargo.”
Ia mengenakan sehelai kemeja lama, jeans yang dipotong pendek dan sandal jepit.
Will menunduk memandangi dada pria itu sendiri dan melayangkan sebuah tatapan
galak. “Waktu sedang mengemasi pakaian di Auckland aku tidak menduga akan pergi ke
tempat belajarpottery\ Ini kaus paling tua yang kubawa ke sini.”
“Aku bisa saja meminjamkan salah satu T-shirt lama milik si kembar,” ujar Lu saat
mereka mendekati sebuah lumbung di bagian belakang properti. “Dan berhentilah
mengeluh. Aku sudah setuju untuk pergi mengendarai motor trail minggu depan.”
“Aku ingin membawamu terjun payung.”
“Enak saja.” Lu menggigil. “Dan apa maksudmu ... membawakxP”
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Aku memiliki serifikat untuk melakukan tandem jump ... kita bisa melakukannya
bersama ”
“ Uh, biar kupikir-pikir dulu.” Lu berlagak menatap langit. Dua detik kemudian ia
bicara lagi. “Sudah kupikirkan ... tidak. Nope. Tidak mau. Tidak akan pernah.”
“Dasar payah,” ujar Will sementara seorang wanita berusia lebih tua dan bertubuh
jangkung dalam balutan celana panjang tie-dyed dan sehelai kaftan berwarna terang
berjalan lambat dari lumbung.
Lu melangkah maju dan mengulurkan tangannya. “Hai, aku Lu. Dan kau...?”
Wanita itu memandangi wajah mereka bergantian dan melayangkan sebuah tatapan
menerawang pada mereka. “Kate. Dan aku mabuk.”
Lu memandang Will dan mengangkat kedua alisnya. “Kau mabuki
“Pemasok baru. Barangnya sangat bagus.”
“Tapi pelajaran kami....” ratap Lu, tidak menggubris senyuman puas Will.
Satu tangan Kate melambai ke sebuah tempat di belakang kepala wanita itu. “Pergilah
ke dalam—tanah liatnya ada di dalam ember di sebelah alat pemutar. Jatuhkan sedikit
tanah liat ke atas alat pemutar, injak pedalnya, gerakkan kedua tanganmu ke atas
dan ke bawah. Buatlah sesuatu. Kunci pintunya saat kau pergi.”
“Tapi ... tapi....” Lu tergagap.
“Namaste? gumam Kate, dan berjalan dengan langkah berkelok-kelok ke arah rumah.
123
joss ‘Wood
Will melipat kedua lengan dan mengamati keper-gian wanita itu. “Apa kau sudah
membayarnya?”
Lu tersenyum kecil. “Belum. Tadinya aku hendak membayarnya setelah kita selesai.”
“Bagus. Kalau begitu ayo kita pergi dari sini,” ujar Will, dengan ekspresi yang
merupakan sebuah kombinasi antara rasa geli dan lega.
Lu menyipitkan kedua matanya pada pria itu. “Enak saja. Kau tidak akan lolos dengan
semudah itu. Semuanya sudah disiapkan ... memangnya seberapa sulit melakukannya?”
Will mengerang. “Aw, Lu, yang benar saja! Ayo kita pergi berjalan-jalan di pantai,
minum bir, melihat matahari terbenam.”
“Nope? sahut Lu keras kepala. “Kalau aku harus mengendarai motor trail maka kau
harus mencoba melakukan ini.”
Will melangkah melewati pintu studio yang terbuka, meletakkan kedua tangannya di
pinggul dan memandang berkeliling. Rak-rak yang penuh sesak dengan vas, mangkuk,
dan bejana dengan beraneka rupa dan bentuk tampak berderet di dalam ruangan itu,
dan meja-meja panjang yang sarat dengan peralatan dan kotak memenuhi separuh bagian
belakang gudang. Di bagian tengah ada tiga meja kecil berbentuk segi tiga dengan
sebuah alat pemutar di atas masing-masing meja dan sebuah ember dengan apa yang
Will duga adalah tanah liat di samping tiap-tiap alat pemutar.
124
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will menarik keluar sebuah bangku dan duduk di depan salah satu alat pemutar, lalu
memandang dari meja kecil itu ke arah Lu. “ Um ... sekarang apa?”
Mulut Lu tampak berkedut. “Entahlah. Aku juga belum pernah melakukan ini... tunggu
dulu!” Wanita itu menggapai ke seberang meja dan mengambil sebuah amplop plastik.
“Petunjuk!”
Will mencondongkan tubuh ke seberang meja dan memandang pada kertas yang tersampul
plastik itu. Ia menggelengkan kepala dan menunjuk pada bagian atas kertas. “Ini
dicetak dari internet, Lu!”
“Jadi?” Lu meringis. “Ayo kita coba.”
Sepertinya Will harus mencoba melakukan ini. Ia tahu bahwa semua yang bisa menjadi
kacau memang pasti terjadi. Ia sama sekali tidak punya bakat seni dan ia menduga
bahwa sebentar lagi mereka akan menjadi kotor.
Sangat kotor. Ia memandang berkeliling. “Kau lihat ada celemek di sini?”
“Sekarang siapa yang payah? Kita tidak membutuhkan itu,” sahut Lu. “Kita akan baik-
baik saja. Jadi, langkah pertama... Ambil sedikit tanah liat—seukuran dua kepalan
tangan yang disatukan termasuk banyak untuk seorang pemula—dan bentuk menjadi
kurang lebih seperti bola.’”
Will mencelupkan satu tangan ke dalam ember di depannya dan mengangkat kedua
alisnya. Tekstur yang hampir sama dengan lumpur yang dulu biasa ia lemparkan pada
saudara-saudara perempuannya.
“Kita harus meremas-remasnya—untuk menghilangkan gelembung udara di dalamnya.”
125
joss ‘Wood
“Kapan kita bisa bermain-main dengan alat pemutarnya?” tanya Will, sambil berusaha
menirukan teknik meremas Lu yang cukup ahli. Yang membuat Will berpikir tentang
roti, yang membuatnya berpikir tentang kue, dan itu mengingatkannya....
“Omong-omong, kapan aku akan mendapatkan kue khas Austria-ku?”
“Saat aku punya waktu.” Lu menuntuk menatapi kertas berisi petunjuk. “Mungkin. Jadi
... ‘Kalau menurut Anda gelembung-gelembung udaranya sudah tidak ada, bentuk lagi
menjadi seperti bola.”
Will menepuk-nepuk tanah liat di antara jemarinya.
“’Letakkan tanah liat pada bagian tengah kepala alat pemutar. Cara paling mudah
untuk melakukan ini adalah dengan melempar tanah liat dengan kuat ke bagian tengah
alat pemutar. Teteskan sedikit air ke atasnya dan putar alatnya dengan agak
cepat,”’ baca Lu.
“OK.” Will melempar tanah liat itu ke atas alat pemutar dan menginjak pedal dengan
cukup kuat. Ia mengamati tanah liatnya bergerak melesat di atas alat pemutar,
meluncur ke pinggir dan jatuh ke lantai. “ Whoops.”
Lu mendengus penuh cemooh.
“Memangnya kau bisa lebih baik dari itu, Mermaid?”
Yang tidak Lu sadari adalah bahwa pedal untuk alat pemutar wanita itu berada di
samping kaki kiri Will. Lu begitu sibuk mencoba melakukan dengan
126
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
benar hingga tidak menyadari kaki Will meluncur ke atas kaki wanita itu sampai Will
menginjak kuat-kuat. Alat pemutar Lu bergerak dengan gila-gilaan dan bola tanah
liat milik wanita itu meluncur dengan kencang di atas alat pemutar. Lu terpekik,
memutar duduknya dan meluncurkan satu tangan yang berlumuran tanah liat ke dada
Will, meninggalkan sebuah jejak sempurna dari jemari wanita itu.
Sepasang mata berwarna aquamarine yang bersinar kegirangan menatap Will sementara
Lu berusaha keras untuk memasang sebuah ekspresi tanpa dosa. “Bisa saja lebih
buruk,” ujar wanita itu sambil mengangkat bahu.
“Oh ya?”
Lu meringis. “Aku bisa saja menampar wajahmu.”
Will mencondongkan tubuh ke depan dan meletakkan satu tangannya yang basah dan
berlumur tanah liat pada pipi wanita itu. “Apa? Seperti ini?”
Will tetap meletakkan tangannya di pipi Lu sementara mulut wanita itu membuka dan
menutup seperti seekor ikan guppy yang sedang mencari udara untuk bernapas.
“Kau ... kau...”
Ia tidak berpikir—tak mampu berpikir. Ia hanya mendaratkan bibir dan menyapukan
mulutnya pada mulut Lu dalam sebuah ciuman yang menakjubkan sekaligus mengejutkan.
Lu mendesah ke dalam mulutnya dan menekankan kedua tangan ke dadanya—pasti berniat
untuk mendorongnya menjauh. Sebaliknya, jemari wanita itu melingkar ke dalam T-
shirtnya dan mencengkeram kain baju tersebut.
127
joss ‘Wood
Lu bercita rasa kehangatan cahaya mentari dan kegembiraan, pelembap bibir rasa
cherry dan keterkejutan. Parfum Lu merebak dari kulit hangat wanita itu dan Will
sangat suka wanginya. Ia menarik Lu dari bangku dan memutarkan tubuh wanita itu
menjauhi alat pemutar, menyandarkan tubuh Lu pada sebuah lemari tinggi. Ia mendesak
pada tubuh Lu, ingin lebih dekat, ingin merasakan sosok feminin wanita itu. Will
mengangkat kedua tangannya untuk menggenggam wajah Lu, memiringkan kepalanya
sehingga ia bisa merasakan keseluruhan mulut wanita itu. Lu membuat sebuah suara
penuh penerimaan yang membuat darah Will mengalir deras ke bagian bawah tubuhnya.
Wanita itu adalah panas dan cahaya, kelembutan dan keberanian, terlalu berlebihan
dan sama sekali tidak cukup. Tapi Will tak sanggup berhenti—tidak ingin berhenti.
Ia tahu bahwa ia harus berhenti, karena jika tidak maka ia tidak akan pernah
berhenti.
Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan mulutnya dari mulut Lu, untuk
menarik kepala Lu ke dadanya dan membenamkan dagunya ke rambut wanita itu. “Astaga,
Lu....”
Lu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan sepertinya Will merasakan bibir wanita
itu bergetar pada kausnya.
“Aku tidak bermaksud melakukan ini,” bisiknya, tapi baru saja kata-kata itu
meluncur dari mulutnya ia langsung mendaratkannya kembali pada mulut Lu.
128
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Mulut wanita itu membuka untuk lidah Will yang mendesak dengan tegas dan satu
tangannya bergerak di atas kemeja Lu, meletakkan telapak tangannya pada buah dada
wanita itu. Will kembali merasakan sebuah kilatan nafsu nakal yang mengaliri
tubuhnya dengan deras saat Lu memiringkan kepala untuk memberinya akses lebih
dalam. Wanita itu menggerakkan kedua tangan, menelusurkan jemari pada perut Will
yang berotot, membiarkan jemari tersebut meluncur lebih ke bawah sebelum mendarat
pada pinggul Will yang ramping.
“Lu, kau memperburuk situasi!” Will beringsut mundur, mencengkeram kedua lengan Lu
dan menjauhkan tubuh wanita itu. Ia berusaha menyuntikkan sedikit ketegasan ke
dalam suaranya. “Kita tidak akan melakukan ini!”
Lu memiringkan kepala ke arahnya. “Apakah kau selalu pergi begitu saja?”
Ia tahu maksud wanita itu. “ Yeah. Selalu.”
“Kenapa?”
Will menelusurkan satu tangan ke sela-sela rambutnya, membuat lapisan tanah liat
terselip di sela-selanya. “Pernahkah kau melihat nyala api yang telah dipadamkan?”
ia bertanya. “Sebuah kekacauan yang basah, lembap, kotor, dan menjijikkan.”
“Ah, jadi kau pergi sebelum nyala api itu sempat menjadi kacau?”
Pada dasarnya. Sebagian percikan, terutama per-cikan antara dirinya dan Lu ini,
memiliki potensi untuk menjadi sebuah kebakaran hutan yang dahsyat.
129
joss ‘Wood
Tapi bahkan kebakaran hutan sekalipun tidak akan bisa berkobar untuk selamanya. Dan
semakin besar kobarannya, maka semakin besar pula kekacauannya. Tidak, lebih
bijaksana jika menjaga agar hubungan ini tetap sederhana dan platonis.
Karena mereka harus bekerja bersama-sama, karena ia benar-benar menikmati saat-saat
yang menyenangkan bersama Lu ... tapi terutama karena ia sudah lama sekali tidak
begitu tergoda untuk berjalan memasuki sebuah nyala api.
“OK, minggir.” Lu menggeliat lepas dari cengkeramannya dan bersandar pada lemari.
Will memandang pada kedua tangannya, yang sekarang penuh berlumuran tanah liat. Di
rambut Lu ada tanah liat, yang juga mengotori kaus, pinggul, dan leher wanita itu.
“Kau kotor,” ujar Lu, menirukan pemikiran Will.
Jemari Will menelusuri pipi wanita itu. “Kau juga. Dan, oh, astaga ... kalau tadi
tidak langsung pulang maka sekarang kita harus pulang.”
Lu mengerutkan kening. “Kenapa?”
Will membuat gerakan isyarat ke arah dada wanita itu, di mana jejak telapak tangan
kirinya menutupi buah dada kiri. “Sepertinya merupakan sebuah petunjuk jelas
mengenai apa yang kita lakukan tadi.”
Lu menunduk dan memejamkan kedua mata. “Belajar pottery sudah tidak mungkin lagi,
kalau be-gitu?
Will mengangguk, dengan ekspresi penuh penyesalan. “Seharusnya itu masuk ke dalam
daftar hal-hal yang tidak boleh dilakukan.”
130
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Bersama dengan terjun payung,” tambah Lu buru-buru.
“Oh, aku pasti membawamu ke sana ” Will berjanji.
Selepas kerja pada hari Jumat, Lu memasuki Old Joes, sebuah bistro terkenal di
tengah Florida Road. Setelah menaikkan kacamatanya ke atas kepala, ia tersenyum
pada Mak sebelum mendaratkan pipinya pada pipi Mak dan menghirup aroma sahabatnya
itu. Kemeja merah muda Mak tampak luar biasa pada kulit pria itu, dasi Mak berwarna
raspberry dan celana panjang pria itu sudah pasti rancangan desainer.
“Aku tidak bisa lama-lama. Aku akan bertemu Will untuk pergi ten-pin bowling
dengannya dan beberapa anggota tim,” ujarnya memberi tahu Mak, sambil
menggantungkan tas jinjingnya pada sebuah globe chair dan menduduki bantalan kursi
yang berwarna cerah.
“Aku juga tidak punya banyak waktu. Aku cuma ingin memberitahumu bahwa Deon
diterima di St. Clares!”
Lu melepaskan sebuah seruan gembira sebelum melingkarkan kedua lengannya pada leher
Mak dan mengecup pipi sahabatnya itu.
“Itu berita yang sangat bagus, Mak!”
“Memang, tapi setelah harapan untuk bisa bersekolah di situ menjadi kenyataan, rasa
takut kalau dia akan diintimidasi lagi kini kembali. Dalam dirinya
131
joss ‘Wood
dan diriku,” ujar Mak mengakui, sambil mengisap sesuatu yang kelihatannya seperti
berry milkshake yang sangat kental.
Lu berjuang melawan godaan, lalu akhirnya kalah, dan memesan chocolate milkshake
yang sama kentalnya. Ia akan berlari dengan menempuh jarak jauh di sepanjang
promenade nanti. Saat itulah ia akan melunturkan lemak dari milkshakenyz.
“Dia akan baik-baik saja, Mak. Percayalah. St. Clare’s tidak mentolerir intimidasi
dalam bentuk apa »5 pun.
“Semoga saja,” sahut Mak pada akhirnya, sambil bersandar pada kursi. “Nah, sekarang
kita kembali membicarakan dirimu. Apa ini berarti kau dan Will berkencan?”
Lu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Yah ... tidak?
“Kedengarannya sangat ... tidak meyakinkan.” Mak menyisihkan gelasnya yang sudah
kosong. “Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian?”
“Entahlah.... Kurasa kami berteman, tapi kami saling memiliki ketertarikan seksual
terhadap satu sama lain.”
“Jadi dia sudah mendesakkan lidahnya ke dalam tenggorokanmu? ”
Lu tersentak, tersipu, dan seketika itu juga teringat pada ciuman maha-panas mereka
di studio pottery. Setelah memeluknya sejenak, Will sedikit beringsut mundur,
memandang padanya, dan menciumnya lagi. Bibir tegas Will, gerakan otot-otot kedua
tangan pria
132
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
itu, rasa dari tangan besar Will yang menyelimuti satu buah dadanya yang tidak-
begitu-besar.... Ereksi Will pada bagian bawah perutnya, membuat celana pendek pria
itu menonjol....
Will menyentuhnya dan melelehkan otaknya. Seandainya pria itu tidak mengambil kunci
mobil dan menariknya ke mobil maka ia pasti telah membiarkan Will menyetubuhinya di
atas lantai berdebu itu.
Sejak itu mereka berdua sama-sama bersikap seolah hal itu tidak pernah terjadi...
dan mereka sangat, sangat berhati-hati untuk tidak saling menyentuh satu sama lain.
“Ada lagi yang Anda inginkan?”
Tatapan Mak tidak berpaling dari wajah Lu untuk memandang pada sang pelayan yang
berdiri menunggu. “Sebuah alat pemadam api akan sangat membantu. Aku perlu
mendinginkan wanita ini,” ujar Mak dengan suara sangat datar.
“Makhosi!” desis Lu. Wajahnya tersipu saat mendongak pada sang pelayan yang
kebingungan. “Jangan hiraukan dia. Trims, ini sudah cukup.”
“Jadi, apa sekarang kau mau menjawab pertanyaanku?”
“Kami berciuman. Memangnya kenapa? Itu bukan masalah besar...” Itu masalah yang
sangat besar; seumur hidup ia belum pernah bereaksi seekstrem itu saat disentuh.
Dari nol ke setubuhi-aku-sekarang dalam sepuluh detik persis. Ia menghirup sedikit
udara yang sangat dibutuhkan saat ini. “Aku tetap tidak bisa dan tidak akan
terlibat dalam sebuah hubungan dengannya, Mak.”
133
joss ‘Wood
“Kenapa tidak?”
“Karena dia akan pergi dua bulan lagi. Karena dia hanya menginginkan sebuah
hubungan pertemanan biasa, seseorang untuk menghabiskan waktu bersamanya.”
“Kalau begitu kau bisa memiliki hubungan seks tanpa ikatan dengannya,” usul Mak.
“Itu tidak melanggar hukum, Lu.”
Lu memejamkan kedua matanya. “Aku tidak bisa, Mak.”
“Kenapa? Dia pintar, tampan, dan sukses. Kelihatannya dia pria yang baik. Kurasa
tidak ada masalah.”
Lu menelusurkan jemari ke sela-sela rambutnya. “Dia benar-benar tipe pria yang
hanya mau terlibat dalam seks satu malam dan aku bukan tipe penikmat seks semata.
Dan aku bekerja dengannya. Dan aku menikmati begitu banyak keseruan dengannya.”
Lu menyesap minumannya dan mengangkat bahu. “Sepulang kantor aku mengerjakan foto-
fotoku, atau membaca, atau berolahraga. Aku berpikir, menyusun rencana. Berusaha
untuk tidak merindukan si kembar. Aku harus—sedang berusaha—membiasakan diri dengan
kehidupan baru tanpa mereka, dengan kesendirianku. Kemudian, saat merasa jenuh, aku
menelepon Will dan kami pergi keluar dan sepenuhnya bersenang-senang. Kami tertawa,
Mak—keras. Sering. Kami bicara atau tidak bicara ... tidak ada paksaan dan aku suka
itu.” Lu menatap pada topeng Afrika berukuran sangat besar yang mendominasi dinding
di
134
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
seberangnya. “Tentu saja, aku menginginkan seks, tapi tidak jika harus mengorbankan
kesenangan yang kami miliki saat ini.”
Mak mencondongkan tubuh ke depan dan menyentuh tangannya. “Tapi berhati-hatilah,
Lu. Aku tidak ingin mengeringkan banjir air matamu, hon”
“Kau tidak akan perlu melakukannya, Mak.”
Celana tiga perempat dari bahan linen yang bergaya santai, sehelai T-shirt cokelat
dan keemasan yang funky, sandal manik-manik, dan perhiasan baru. Will mengamati
busana Lu saat wanita itu berjalan melintasi ruang makan untuk staf menuju meja di
mana Will duduk bersama para anggota tim yang berusia lebih tua. OK, berbeda ...
pikirnya.
Tatapannya bergerak naik ke leher Lu. Ia ingat bahwa titik di antara telinga dan
rahang wanita itu sangat sensitif, dan bahwa Lu bergetar dalam pelukannya saat ia
memagut persis di situ. Mencium Lu merupakan sebuah kesalahan, pikirnya, bukan
untuk pertama kalinya. Celana panjangnya menjadi sangat mengecil. Terutama karena
yang bisa ia pikirkan hanyalah mencium wanita itu lagi.
Mulut Lu panas dan menantang—dan, bicara tentang mulut wanita itu ... astaga.
Dengan apa Lu mewarnai bibirnya? Mulberry7. Will mencondongkan tubuh ke belakang
dan memandangi wanita itu dengan saksama: terlalu banyak perona pipi, riasan mata
yang terlalu kelabu, sebotol maskara. Lu terlihat glamor
135
joss ‘Wood
dan modern, tapi juga tampak seperti semua gadis lain yang pernah dikencaninya.
Licik, palsu, berpengalaman ... melelahkan.
Ia mendengar siulan dan pujian pelan dari dua teman makan siangnya: Jabu, sang
kapten Rays, dan Matt Johnson, yang ia tahu sangat tergiur pada Lu. Apakah ia harus
bicara pada Matt agar menjauhi Lu? Mungkin.
Matt harus tahu bahwa Lu sangat tidak boleh didekati.
Will memandangi Lu dan berharap ia bisa menarik wanita itu ke kamar mandi serta
membasuh riasan itu dari wajah Lu. Ia menginginkan Lu-nya kembali: kulit yang
bersih—bintik-bintik di wajah wanita itu kini nyaris tertutupi—sepasang mata yang
jernih ... normal. Ia menginginkan Lu yang bebas dari riasan, alami ... normal.
Sial.
Saat seorang pria mulai berpikir bahwa alami adalah kecantikan yang normal berarti
dia sudah nyaris tenggelam dalam masalah ... atau sebentar lagi akan jatuh ke dalam
masalah. Dua skenario yang sama-sama tidak menarik.
Lu menduduki kursi kosong di seberangnya dan meraih wadah garam untuk ditambahkan
pada salad ayam.
“Penampilan baru, Lu?” tanya Matt.
“Bereksperimen.”
Lu mengibas-ngibaskan bulu mata ke arah Matt dan Will merasa perutnya berkontraksi.
136
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Bagaimana menurutmu?”
“Seksi,” sahut Matt.
Lalu Matt menelusurkan satu jari pada tato bergambar bidadari nakal di bahu Lu.
Will berpikir untuk mematahkan jemari Matt.
“Tatomu keren.”
Apa-apaan...? Lu punya tato? Bukan berarti hal itu ada hubungannya dengan
dirinya ... hanya saja ia tidak suka membayangkan permukaan kulit yang menakjubkan,
mulus, dan bersih itu ternoda tinta. Kulit yang terlalu singkat ia eksplorasi, ia
temukan, ingin ia rasakan lagi.
Matt memiringkan kepala ke belakang untuk memandangi bahu Lu lagi. “Ah, ini hanya
tato henna— akan hilang dalam waktu enam minggu.”
“Syukurlah,” gumam Will dengan lirih. Ia tidak memedulikan tatapan bingung Lu,
menyesap banyak-banyak dari gelas air minumnya dan menyisihkan piringnya yang sudah
kosong. Ia menjulurkan satu tungkainya dan bagian dalam betisnya menyentuh kaki
telanjang wanita itu. Ia merasakan ledakan nafsu melesat ke pangkal pahanya.
Ia mengangkat tatapan dengan enggan dan melihat cerminan hasratnya dalam sepasang
mata Lu—bersama dengan kejengkelan dalam dosis penuh. Wanita itu menginginkannya
tapi tidak ingin menginginkan dirinya. Lu ingin ia memuji penampilan baru tersebut
tapi tidak ingin ia tahu kalau wanita itu takut. Will menelusurkan satu tangan pada
rahangnya. Hal ini mulai menjadi semakin rumit, agak lebih intens dari dugaannya.
137
joss ‘Wood
Dan ia tetap ingin menghapuskan riasan itu dari wajah Lu. Mengembalikan wanita itu
pada Lu yang alami.
“Maukah kau menandatangani ini untukku? Aku akan sangat berterima kasih.” Lu
mengangsurkan foto-foto letter-size dan pena-pena felt-tip warna hitam.
“Ada apa ini?” tanya Will sambil mengambil foto dirinya sendiri dan sebuah pena.
Lu meletakkan kedua lengan bawah ke atas meja. “Kau ingat ceritaku tentang putra
Makyang mengidap Down Syndrome kategori high function7. Dia penggila rugby dan
menganggapku sebagai gadis paling beruntung di dunia karena bisa mengenal kalian.
Kau adalah pemain favoritnya, Jabu.”
Sebentuk senyum lebar merekah di wajah Jabu. “Keren.”
Lu menyeka mulut dengan sehelai serbet kertas dan Will bersyukur melihat banyaknya
pewarna bibir berwarna mulberry yang terhapus. Tiga lapisan lagi dan mulut yang
indah itu akan kembali. “Aku telah banyak mengurus Deon selama bertahun-tahun ini.
Dia anak yang baik. Tapi dia memiliki ukuran fisik yang kecil untuk anak
seumurannya dan dia takut karena harus mulai sekolah lagi. Dia diintimidasi habis-
habisan di sekolah yang sebelum ini. Dia baru mau mulai bersekolah di St. Clare’s—”
“Tapi itu sekolah biasa, bukan sekolah kebutuhan khusus,” sela Matt. “Dulu aku
sekolah di sana; mereka tidak memiliki anak-anak berkebutuhan khusus.”
“Sekitar lima tahun yang lalu mereka memperkenalkan sebuah program baru untuk
mengikutsertakan
138
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sekolah biasa. Program itu sukses besar. Aku
juga mengenal sekolah itu dengan baik. Dulu adik-adikku sekolah di sana. Mak sangat
mencemaskan Deon. Dia berusaha untuk berani tapi sebenarnya dia ketakutan
sekali ... tapi kubilang padanya bahwa aku akan ikut dengan mereka pada hari
pertama Deon masuk sekolah.”
“Kapan itu...?” tanya Will.
“Besok.” Lu mengambil daging ayam dengan garpu dan melambaikan garpu itu pada
kumpulan foto tadi. “Kupikir jika Deon mengalami bullying, dia bisa memamerkan
beberapa foto yang sudah ditandatangani dari para pemain Rays idolanya untuk bisa
terbebas dari intimidasi.”
Will segera membubuhkan tanda tangannya pada sebuah foto dan tersenyum. “Beres.”
Lu menghentikan mobilnya di luar pekarangan St. Clare’s dan memutar duduknya untuk
memandang ke belakang. Deon terlihat agak pucat, kedua tangan anak itu gemetaran,
dan lututnya bergerak-gerak naik turun. Mak tampak sama pucatnya. Mungkin dia
tangguh dan tak kenal basa-basi, tapi dia menjadi selembek marshmallow jika
menyangkut putranya.
Lu menyentuh bahu sahabatnya itu sebelum mencondongkan tubuh ke belakang dan
menepuk-nepuk paha Deon. “Apakah aku sudah mengatakan padamu bahwa adik-adikku dulu
sekolah di sini dan bahwa ini adalah sekolah yang sangat bagus? Ingatlah bahwa Mr.
Klimt, sang kepala sekolah, tidak menolerir bullying?
139
joss ‘Wood
“Mr. Klimt tidak pernah masuk ke kamar mandi anak laki-laki,” sahut Deon dengan
suara pelan dan teratur.
Lu mendesah. Mungkin anak itu memiliki kekurangan tapi dia tidak bodoh. Bagaimana
Lu bisa membuat salah satu dari mereka keluar dari mobil dan menaiki tangga yang
mengarah ke bangunan sekolah? Mereka berdua mengamati kumpulan anak yang sedang
asyik mengobrol sambil tertawa-tawa dan tersenyum di rerumputan, di dalam halaman
sekolah, bersandar di dinding dan pintu-pintu.
Mereka tampak percaya diri dan gembira ... tidak mengherankan jika Deon dan Mak
ketakutan. Bahkan Lu sekalipun merasa agak ciut.
“Aku mau pulang,” ujar Deon, dan menundukkan kepala dalam-dalam.
Lu tidak boleh menangis. Itu tidak akan membantu siapa pun! Meskipun ketakutan,
harus ada orang yang mengambil alih kendali. “Baiklah, tenangkan dirimu, dude?
Lu mendesah saat ponselnya berdering. Ia mengambil benda itu dan mendesah ketika
melihat pada layar ponsel. “Ini benar-benar bukan waktu yang tepat, Will.”
“Ini waktu yang sangat tepat,” sahut Will dengan suara riang. “Beri tahu anak itu
bahwa pasukan pagar betisnya sudah tiba.”
“Apa?”
“Lihat ke kaca spionmu, Mermaid?
Lu melirik pada spionnya dan gelegak kegembiraan membutnya tenggorokannya tercekat.
Yang tam
140
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
pak sedang berjalan menyusuri trotoar, dalam balutan seragam latihan Rays mereka,
dan terlihat sangat mengancam, adalah Jabu, Matt, dan tiga pemain utama Rays
lainnya. Will dan Kelby berjalan di belakang mereka. Will sedang memegang ponsel di
tangan.
Lu menahan gejolak emosinya dan berpaling ke arah Deon, wajahnya berbinar penuh
semangat. “OK, Deon, ini adalah hari yang sangat penting untukmu.” Ia mengedipkan
mata kepada Mak, yang baru saja melihat pada pemain yang kini berhenti di luar
mobilnya. Sahabatnya itu memandang dengan melongo. Lu menggapai dan mengangkat dagu
Deon. “Aku tahu ini menakutkan, tapi ada beberapa orang spesial yang berpikir bahwa
mungkin kau membutuhkan seseorang untuk mengantarmu masuk sekolah. Perkenalkan
temanku, Jabu.”
Jabu menundukkan kepala ke dekat mobil dan Lu yakin bahwa seumur hidupnya ia tidak
akan pernah melupakan ekspresi di wajah bocah kecil itu ketika melihat sang
olahragawan idolanya. Pintu belakang melesat terbuka dan Deon menjatuhkan diri ke
dalam pelukan kedua lengan Jabu yang berukuran raksasa. Jabu menggendong anak itu
dengan santai dan dengan penuh ketenangan mengabaikan gemetar di tubuh Deon saat
Jabu memperkenalkan anak itu dengan rekan-rekan setimnya yang lain.
Lu memandang Mak, yang tenggorokannya bergerak-gerak naik turun dengan emosi
tertahan. “Apa kau tahu soal ini?” desak pria itu.
Lu menggelengkan kepala dan mendengus. “Tidak sedikitpun. Pasti Will yang telah
mengaturnya.”
141
joss ‘Wood
Mak menekankan pangkal telapak tangan pada kedua mata. “Aku benar-benar mulai
menyukai pria ini, Lu.”
Will memandang pada kehebohan yang mereka timbulkan dan meringis. Ia sudah lupa
seperti apa antusiasme yang dapat diperlihatkan oleh anak-anak— luapan kegembiraan
yang membuat kedua mata mereka melebar. Ia pernah merasakan hal yang sama persis
saat bertemu para olahragawan idolanya waktu masih kecil.
Lalu Will memandang pada wajah Lu ketika wanita itu keluar dari mobil dan meringis
melihat segenap emosi yang terlintas di wajah tersebut. Terkejut, takjub, bahagia.
Yeah, usaha ini memang sangat layak dilakukan.
Kelby menyikut rusuknya. “Hapus ekspresi dungu itu dari wajahmu, Scott. Kau tampak
seperti seorang idiot.”
“Aku tidak pernah memperlihatkan eskpresi dungu,” ujar Will geram.
“Yah, kau jelas sedang memperlihatkan sesuatu^ Kelby meringis sementara mereka
berdiri sedikit menjauh dari anggota tim lainnya. “Jadi apa yang menjadi alasan
dari semua ini, mate* Maksudku, aku tidak keberatan....” Pria itu membuat gerakan
isyarat ke arah beberapa fotografer olahraga yang sedang berjalan menyeberangi
jalanan ke arah mereka “...ini publikasi yang sangat bagus. Tapi jauh di luar
lingkup kerjamu sebagai seorang pelatih sementara....”
“Uh..Y Will menarik kerah kemejanya.
142
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Mungkinkah ini ada hubungannya dengan fakta bahwa kau mengencani fotografer pers-
ku, yang jelas memiliki sebuah hubungan yang sangat khusus dengan bocah ini?”
Will menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah. “Aku tidak tidur dengannya; kami
hanya berteman, Kelby.”
Tawa Kelby meledak dan pria itu menepuk punggung Will. “Yang benar saja! Kau tidak
pernah melakukan sesuatu yang seperti ini sebelumnya.”
Will menggemeretakkan giginya. “Kelby, kami berteman ... seperti saranmu. Hanya
itu.”
Tawa Kelby lenyap perlahan, keterkejutan mendominasi dan pria itu menggelengkan
kepala. “Oh, teman mudaku yang malang dan kebingungan!” Kelby meringis lagi dan
menepuk bagian atas punggung Will. Lagi. “Kau, dude, telah terjebak dalam masalah
wanita. Aku sangat suka itu!”
Will sedang berpikir untuk meninju sahabatnya itu ketika ia merasakan bahwa Lu
menghampiri mereka. Ia memandang berkeliling saat sebentuk tangan mungil mendarat
pada lengan atasnya.
“Kau yang telah mengatur semua ini, bukan?” tanya Lu, dengan air mata yang merebak.
Astaga, ia hanya melakukan satu hal baik dan semua orang menjadi cengeng!
“Jabu dan aku mengobrol soal ini. Dulu dia juga mengalami intimidasi di sekolah dan
dia tahu seperti apa rasanya. Rays juga mempromosikan anti-bullying di website
mereka,” sahut Will.
143
joss ‘Wood
“Terima kasih. Aku benar-benar terharu ”
“Tidak masalah. Ini bukan hal sulit,” ujar Will. Ia menatap Mak dan menjabat tangan
pria itu, menanggapi ucapan terima kasih Mak dengan santai.
Sepertinya hampir seluruh siswa sekolah itu mengerumuni mereka saat Jabu mengangkat
satu tangan dan kerumunan itu terdiam. a0K-—ada pemain rugby di sini?”
Tangan-tangan teracung ke udara. “Siapa tim favorit kalian?”
“Rays! Rays! Rays!”
Para pemain Rays tersenyum dan beberapa saat kemudian Jabu mengangkat tangan lagi.
“Ini Deon. Dia baru masuk sekolah hari ini dan dia adalah penggemar nomor satu
kami. Kami membutuhkan dukungan para penggemar, dan terkadang para penggemar
membutuhkan dukungan kami. Deon membutuhkan dukungan kami karena tidak mudah
memasuki sebuah sekolah baru. Jadi, sekalipun kami tidak akan berada di sini setiap
saat, kami akan tetap menjaga serta mengawasi Deon. Dan untuk saat-saat di mana
kami tidak ada di sini, kami akan menunjuk para pemain kami sendiri untuk
memastikan bahwa Deon tidak akan menghadapi masalah untuk beradaptasi di lingkungan
yang baru.”
Jabu membungkuk dan melakukan sebuah diskusi singkat dengan Deon.
“Pemain rugby yang berusia sebelas tahun, maju ke depan!” seru Jabu, dan sejumlah
bocah laki-laki menghambur keluar dari kerumunan untuk berdiri dengan
144
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
penuh antusias di depan Jabu dan para pemain lainnya. “Kalian bantu Deon untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan kami akan mengatur agar tim kalian
bisa berlatih bersama kami, di lapangan milik kami, satu kali dalam sebulan selama
tiga bulan ke depan. Setuju?”
“Setuju!” Terdengar suara-suara nyaring membahana.
Lu mengangkat satu tangan ke dada dan mendongak memandang Will dengan mata berkaca-
kaca. “Kau mau melakukan itu?”
“Ternyata Kelby telah sejak lama meminta Carter melakukannya sebagai bagian dari
program pelayanan masyarakat tapi dia belum siap untuk memikirkan soal itu. Bukan
hal yang aneh. Klub-klub lain biasa melakukannya dengan sekolah-sekolah berbeda.”
Will mengangkat bahu. “Lagipula hanya selama satu jam. Tidak ada artinya.”
“Sangat berarti untuk anak-anak,” ujar Lu sementara bel berbunyi.
Tapi anak-anak itu tidak beranjak. Mereka terlalu sibuk berdesakan untuk
mendapatkan perhatian dari para pemain dan meminta tanda tangan.
Will meringis ketika melihat dua bocah laki-laki, yang jelas adalah para pemain
rugby St. Clare’s, berdiri mengapit Deon untuk melindungi anak itu dari kerumunan.
“Kurasa tugas kami di sini sudah selesai.”
Sebuah bunyi peluit yang memekakkan telinga membuat tatapan mereka berpaling dan
anak-anak serta orang dewasa terdiam dengan seketika saat
145
joss ‘Wood
seorang pria bertubuh pendek gemuk bergegas menuruni tangga, dengan wajah memerah
yang Lu tahu merupakan sebuah kejengkelan palsu.
“Ada apa ini? Mengapa kalian tidak masuk kelas?” hardik Mr. Klimt, tapi Will
melihat wajah pria itu melunak ketika tatapannya melayang ke arah Deon dan kedua
pengawal baru tadi. Mr. Klimt meletakkan kedua tangan di pinggang. “Sedang apa
pria-pria bertubuh raksasa ini di sini? Siapa mereka?” tanya pria itu, berpura-pura
kesal.
Sebuah erangan kompak muncul dari kerumunan. Satu anak yang pemberani akhirnya
nekat menjawab pertanyaan sang kepala sekolah. “Mr. Klimt, mereka ini pemain Rays!
Jabu dan Matt.”
“Oh ya? Kupikir mereka penari balet! Mr. Johnson? Kaukah itu?” Kerumunan itu
terdiam saat Mr. Klimt yang bertubuh pendek itu mendongak—tinggi-tinggi—ke wajah
Matt.
“Benar, sir? Matt meringis dengan gaya dilebih-lebihkan dan beberapa anak mendengus
karena menahan tawa.
“Apa rencanamu untuk Jumat siang besok, Mr. Johnson?” tanya sang kepala sekolah.
“Sepertinya aku tidak punya rencana apa pun, Mr. Klimt ... sir?
“Bagus. Kalau aku tidak salah, kau masih berutang dua jam masa hukuman.”
146
Tujuh
Sorenya Lu sedang berada di ruang duduk para pemain, sambil bekerja di depan lap
topnya, saat mendengar tawa berat dan maskulin Will, Jabu, Matt, serta Kelby yang
berjalan masuk. Mereka semua, kecuali Kelby yang mengenakan jas, kini memakai baju
santai, dengan rambut basah sehabis mandi.
Lu mulai hafal dengan jadwal mingguan mereka; sekarang hari Rabu, yang berarti
bahwa setelah kembali ke stadion dari St. Clares mereka menghabiskan pagi hari
dengan menonton video untuk menganalisis permainan tim yang akan menjadi lawan
mereka dalam pertandingan akhir pekan nanti, lalu mereka akan masuk lapangan. Rugby
dengan kontak badan penuh dan Will telah menjadi bagian paling aktif serta
berbahaya dari permainan itu.
Lu bisa melihat sebentuk luka gores di lutut Will dan sebuah memar di atas satu
siku pria itu. Will ikut terjun langsung dalam setiap latihan. Pria itu tidak suka
meneriakkan perintah dari pinggir lapangan. Dan, menilai dari kepuasan yang bisa Lu
lihat dalam sepasang mata Will, pria itu sangat menyukai
joss ‘Wood
hal tersebut. Sekalipun mereka sepakat untuk tetap menjaga hubungan sebagai teman,
Will membuat jantungnya berdebar tak karuan setiap kali pria itu melayangkan
senyuman lebar yang menawan tersebut padanya, dan bagaimana tatapan Will tampak
bergejolak saat memandang wajahnya lekat-lekat. Lu menutup laptopnya saat pria itu
duduk di seberangnya dan menawarkan soda yang kalengnya baru saja dibuka.
Lu menyesap sedikit dan mengembalikan minuman itu. “Kelihatannya kau mengalami
beberapa benturan di lapangan.”
Will memijat-mijat bahu. “Benar. Jabu adalah tank Sherman berwujud manusia.”
“Terima kasih atas apa yang kau lakukan tadi pagi. Sekali lagi.”
“Tidak masalah. Sekali lagi,” sahut Will sementara yang lainnya duduk mengelilingi
mereka.
Lu menyapa mereka dan menanyakan rencana mereka nanti malam.
Jabu menguap. “Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada tidur lebih awal. Latihan
siang ini sangat brutal; Rabu adalah hari yang paling mengerikan.”
Will meringis. “Dasar cengeng.”
Jabu mengangkat satu jari tengah dengan gerakan malas dan menguap lagi. Sambil
memandang dari atas kepala Lu pada televisi yang menggantung di dinding, pria itu
duduk dengan tegak dan meraih remote control di atas meja di depannya. “Hei, Will—
itu mantan istrimu.”
Tidak seperti yang lainnya, yang langsung melihat ke layar, Lu memandang pada Will.
Wajah pria itu
148
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
menegang seketika, dengan bibir merapat dan tatapan berubah muram. Jabu
menyesuaikan kontrol suara dan dengan enggan Lu menoleh ke balik bahunya.
Cantik. Ramping dan jangkung, dengan otot tubuh yang bagus. Rambut pirang panjang,
mata biru besar, sepasang tungkai yang jenjang. Tulang pipi yang tinggi dan
sebentuk mulut berlekuk menyempurnakan sosok itu. Bagaimana dan mengapa Will
melepaskan wanita itu?
“Apa kau keberatan kalau kami menonton ini, Will?” tanya Matt. “Mantan istrimu
benar-benar seksi!”
“Tontonlah sepuas kalian,” sahut Will, berlagak tidak peduli. Yang sebenarnya
adalah bahwa pria itu sangat peduli. Lu bisa melihatnya dari mulut Will yang
mengatup rapat, dari satu jari yang mengetuk-ngetuk pada bagian samping paha pria
itu.
Mereka mendengarkan Jo bicara tentang jadwal latihannya, tentang cara
mempertahankan kebugarannya. Sesekali Lu memandang pada Will dan mendesah setiap
kali melakukannya. Wajah pria itu merupakan sebuah topeng ketenangan, tubuh Will
kelihatannya santai tapi tatapan pria itu memancarkan ketegangan dan frustrasi.
Sang pewawancara mengajukan sebuah pertanyaan lain. “Jadi, Jo, sekarang kau
menduduki peringkat dua dunia, tapi pernah ada masa di mana perilaku menge-jutkanmu
di luar lapangan memunculkan banyak pemberitaan.”
Lu melihat kilatan panik dalam sepasang mata Will tapi pria itu tetap tidak
bereaksi.
149
joss ‘Wood
“Yeah, itu bukan masa-masa membanggakan dalam hidupku....”
“Segera setelah perceraianmu, hidupmu berubah total. Kau menjadi religius,
memperbaiki perilakumu. Menurutmu mengapa Will Scott butuh waktu jauh lebih lama
untuk melakukan hal yang sama?”
Semua orang di dalam ruangan menghela napas dan Will memaksakan diri untuk tertawa.
“Karena aku sedang sangat bersenang-senang, tolol.”
Teman-teman pria itu tertawa, merasa lega saat mereka mendengar nada bergurau Will.
Hanya Kelby-lah, Lu rasa, yang mungkin curiga bahwa pria itu sedang mati-matian
berakting.
“Pernikahan itu hanya berjalan dua tahun—dan aku tidak mau bertindak lancang dengan
bicara mewakili Will,” sahut Jo.
“Pernikahan kalian identik dengan bertengkar dan berdamai. Ketika sedang gembira
kalian tampak penuh suka cita—ketika sedang bertengkar sikap kalian menunjukkan hal
itu dengan jelas. Meskipun demikian, dunia berpikir bahwa pernikahan kalian akan
mampu bertahan. Jadi apa yang menjadi penyebab perceraian kalian?”
“Astaga, kenapa orang masih saja peduli?” tanya Will. “Tidak adakah orang berusia
dua puluh tahun yang bertingkah buruk di zaman sekarang?”
“Tidak cukup banyak.” Matt menggelengkan kepala dengan sedih. “Dan sedikit sekali
dari mereka yang bisa menjadi hiburan bagus seperti kau dan Jo dulu. Kalian berdua
keren'”
150
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Sampai aku nyaris kehilangan karierku karena selalu datang ke tempat kerja dalam
keadaan mabuk atau sedikitnya mengalami hangover? ujar Will, meningkahi jawaban Jo
di layar televisi. “Dan bicara soal mabuk ... selagi ada CEO, Kapten dan Wakil
Kapten di sini, tanpa ada orang lain yang ikut mendengarkan, kalian harus melakukan
sesuatu menyangkut Campher. Dia memakai sesuatu. Narkoba, alkohol, obat-obatan,
steroid—aku tidak tahu apa, tapi ada sesuatu.”
Jabu menyumpah. “Itu tidak muncul dalam tes narkoba.”
“Percayalah bahwa dia memakai sesuatu,” ujar Will. “Waktuku di sini tinggal delapan
minggu lagi. Kalian masih punya waktu sepanjang sisa musim dengannya. Aku akan
memerintahkan sebuah pemeriksaan narkoba menyeluruh, tapi aku ingin menyampaikannya
pada kalian terlebih dulu.”
Tiga kepala mengangguk setuju lalu kembali berpaling pada layar televisi.
“Apa kau bangga dengan apa yang telah dia lakukan? Yang telah dia capai?”
Sang pewawancara masih membicarakan tentang Will.
“Tentu saja. Sejak dulu aku yakin bahwa Will ditakdirkan untuk meraih sukses. Kami
berdua hanya mengambil jalan yang sulit, agak kehilangan arah. Mengapa orang-orang
masih ingin mendengar soal itu?”
“Kalian berdua memiliki nilai jual yang bagus. Jadi, mari kita bicara tentang
kontrak sponsormu yang baru, Jo.”
151
joss ‘Wood
Matt menghunjamkan satu jari ke atas. “Benar kan—reporter itu sependapat denganku!
Sekarang kau cuma orang tua yang membosankan, Scott.”
Will berdiri dan memukul kepala Matt. “Lucu sekali—kau tidak bilang begitu saat aku
menjatuhkan-mu dengan wajah menghantam ke tanah tadi siang. Aku harus mengerjakan
beberapa dokumen sebelum pergi, jadi permisi.”
Will bahkan tidak memandang padanya, pikir Lu sambil mengamati kepergian pria itu.
Yep, Will pandai menyembunyikan perasaan—tapi begitu juga dengan Lu, dan ia tahu
apa yang harus ia antisipasi.
Will telah secara naluriah berjalan menuju ujung gym, menjauhi peralatan yang
modern dan menyambar sepasang sarung tangan dari rak di dinding ujung. Setelah
menyelipkan sarung tangan itu di antara kedua lutut, ia menanggalkan T-shirt,
sepatu trainers dan kaus kaki serta meninggalkan tumpukan pakaian itu di lantai
dekat sebuah matras. Setelah memasang sarung tangan, ia melanjutkan dengan meninju
dan menendangi sansak yang menggelantung.
Kelby telah menyuruhnya untuk melakukan ini bertahun-tahun yang lalu. Setiap kali
merasa kehilangan kendali dan frustrasi ia akan mencari sebuah sansak dan
menghajarnya habis-habisan. Suatu saat ia menghabiskan begitu banyak waktu dengan
sebuah samsak hingga ia mendaftar untuk olahraga beladiri Thai kickboxing dan
belajar untuk melakukannya dengan benar.
152
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Sekarang ia hanya melakukan ini saat ia sedang merasa sangat tertekan atau
ketika ... tinju, tendang, tinju ... ia merasa kehilangan kendali.
Kenapa melihat Jo di televisi terasa begitu membangkitkan segenap amarahnya? Wanita
itu memiliki kepribadian yang menonjol tapi Will telah belajar bagaimana cara
mendengar berita tentang Jo, melihat wanita itu di layar televisi, membaca tulisan
tentang Jo, dengan ketidakpedulian yang muncul sejak satu dekade yang lalu. Kenapa
sekarang?
Ia menyadari bahwa ini tidak ada hubungannya dengan Jo, dan berkaitan erat dengan
kehidupan yang ia jalani saat bersama wanita itu—dirinya yang dulu. Menyenangkan,
gila, spontan ... tidak terkendali.
Bersama Lu, menghabiskan waktu dengan wanita itu, mengingatkannya tentang dirinya
yang dulu. Oh, kali ini tidak melibatkan alkohol maupun narkoba, bar dance dan
mobil-mobil yang hancur, tapi seperti masa-masa terbaik yang dilaluinya dulu,
mereka tetap bersenang-senang. Mereka tertawa. Mereka bicara.
Mereka tidak bersetubuh seperti kelinci.
Dan dengan cepat mereka telah menjadi teman— teman yang sebenarnya. Bukan hanya
menganggap Lu sebagai teman bergaul yang menyenangkan, ia juga mulai mendapati
bahwa ia ingin menceritakan banyak hal pada wanita itu, bicara dengan terbuka. Dan
itu membuatnya ketakutan setengah mati. Seks pasti akan jauh lebih mudah. Ini?
Tidak terlalu.
Kebersamaan dengan Lu membuatnya merasa seperti versi terbaik dari dirinya sebagai
seorang pria
153
joss ‘Wood
muda. Menyenangkan. Spontan. Penuh keingintahuan.
Hidup.
Dulu ia lebih dari itu. Dulu ia dipuji sebagai pemain muda paling menjanjikan dalam
satu generasi—seorang pemimpin tim, dengan bakat yang mengagumkan. Lalu ia bertemu
Jo dan—dengan penuh kerelaan—jatuh ke dalam kehidupan liar yang telah wanita itu
anut sebelumnya. Mereka menikah mendadak di Bali, dan kehidupan yang mereka jalani
bersama bergantung pada alkohol dan obat bius serta menimbulkan banyak sekali
kekacauan. Saat itu mereka tak tersentuh, arogan, dan superior. Waktu kerjanya
mulai berkurang dan ia lebih memercayai pujian pers tentang dirinya, telah menjadi
keranjingan dengan sanjungan dan pemujaan dari penggemar dan para groupie. Untuk
waktu yang lama ia menganggap dirinya sebagai orang yang istimewa dengan bakat
dalam rugby. Kelby-lah yang telah membuatnya menyadari bahwa ia hanyalah seorang
pria biasa dengan bakat istimewa dalam permainan itu.
Sedangkan mengenai pernikahan mereka ... ia telah merasa bosan pada Jo dalam waktu
tiga bulan setelah menikah dan ia tidak memahami alasannya. Tentu saja, wanita itu
sangatlah seksi—tapi juga cerdas. Sesuatu yang sering ia lupakan. Jo bisa luar
biasa jenaka, memiliki keahlian hebat di atas kasur dan kepribadian yang sangat
menonjol. Tidak ada alasan untuk merasa bosan pada wanita itu. Jo memiliki semua
yang ia pikir adalah hal-hal yang diinginkannya dari seorang wanita tetapi....
154
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Percikan itu telah padam. Dengan sangat cepat.
Bisakah ia disalahkan jika meragukan kemampuannya untuk bertahan dalam sebuah
hubungan, untuk setia pada satu hubungan? Ia telah mendapatkan semua yang membuat
pria mana pun di dunia rela menjual jiwa mereka dan ia tidak menginginkan itu.
Namun ia tetap mempertahankan pernikahan mereka—dan ia rasa Jo juga melakukan itu—
karena ia dapat menyombongkan diri sebagai suami dari wanita terseksi di dunia. Dan
ia menyukai sorotan itu.
Ia tidak berani memutuskan hubungan itu ... sampai Jo melakukannya. Rupanya tidak
ada satu pun alasan bagus untuk keberadaan seorang wanita Argentina di kamarmu pada
jam tiga pagi saat kau sudah menikah.
Will melayangkan sebuah tendangan roundhouse pada samsak dan menyusul tendangan itu
dengan sebuah uppercut ketika samsak itu berbalik melesat ke arahnya. Dulu ia
benar-benar seorang pengecut dan setelah perceraian itu, bukannya mengakui
kesalahan dan meminta maaf, ia berpetualang dari skandal ke skandal, dari pesta ke
pesta, dari botol ke botol, semakin mempermalukan dirinya sendiri setiap bulannya,
kehilangan sedikit demi sedikit rasa hormat terhadap dirinya sendiri setiap
harinya.
Kalau bukan karena Kelby....
Will melirik pada arlojinya. Ia telah menghajar samsak selama setengah jam dan ia
bahkan tidak menyadarinya. Peluh mengalir turun di punggungnya yang terbuka ke
bagian belakang athletic shortsnyz dan
155
joss ‘Wood
rambutnya menempel di kepalanya. Dengan memakai punggung satu pergelangan tangan,
ia menyibakkan rambut dari wajahnya dan menghirup udara dalam-dalam. Adrenalin
serta amarahnya telah lenyap dan ia menyadari bahwa ia luar biasa letih, otot-
ototnya luar biasa lelah. Antara latihan lari tadi pagi, latihan kontak badan penuh
tadi siang dan memukuli samsak ini habis-habisan, ia telah tiba pada kepenatan
fisik.
Will memegangi kedua sisi samsak dan menyandarkan keningnya yang lengket pada
plastik tebal itu. Yah, ia akan tidur nyenyak malam ini—kalau ia tidak mulai
berpikir tentang masa lalunya yang mengerikan. Dan tentang Lu. Dan tentang berapa
lama lagi ia sanggup menahan diri untuk tidak menyentuh wanita itu....
Will berpaling mendengar hentakan halus dari sandal Lu saat wanita itu menyeberangi
gym.
“Sudah berapa lama kau di sini?” Will bertanya, sambil menarik lepas satu sarung
tangan dengan giginya, lalu menanggalkan sarung tangan yang satu lagi.
Lu melemparkan sebotol air minum padanya yang ia tangkap dengan satu tangan yang
bebas. “Cukup lama. Kau ingin membicarakannya?”
Will membuka penutup botol dan menyesap dalam-dalam sebelum menjatuhkan tubuh dan
duduk di atas matras. Ia membalas tatapan simpati Lu lekat-lekat sementara air
minum meluncur turun pada tenggorokannya.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan,” sahutnya saat menurunkan botol dari mulutnya.
156
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu memiringkan kepala dan menggeleng. “Masa lalu akan kehilangan kekuatan
cengkeramannya saat dibicarakan. Begitu juga rahasia.”
“Kau tahu apa soal rahasia dan kekuatan yang mereka miliki atas diri manusia, Lu?”
Tatapan Lu mengeras dan menajam. “Bagaimana kalau mendapati sendiri rahasia-rahasia
kedua orang-tuamu di usia sembilan belas dan katakan itu lagi, Scott.”
Will mengernyit. “Ouch. Apa kau mengetahui beberapa hal yang tidak ingin kau
ketahui?”
Lu melipat kedua lengan dan mengetuk-ngetukkan kaki. “Ya. Jadi jangan coba-coba
mengajariku tentang rahasia. Aku paham dan berpengalaman dalam hal itu.”
Will menjulurkan kedua tungkainya dan meletakkan kedua telapak tangan ke atas
matras di belakangnya. “Tapi kau tidak menceritakannya pada adik-adikmu.”
Lu mengerutkan bibirnya. “Ada hal-hal yang tidak perlu mereka ketahui.”
“Dan ada hal-hal yang tidak perlu dunia tahu tentang hidupi.”
Mulut Lu mengatup rapat. “Aku tidak membicarakan tentang dunia, Will. Aku
menyarankan agar kau membicarakan segala sesuatunya agar kau tidak perlu menendangi
sebuah samsak.”
“Aku suka menendangi samsak.”
Lu melontarkan kedua tangan ke atas. “OK, kalau kau hendak bersikap menjengkelkan
maka aku menyerah. Aku akan pergi dan membiarkanmu melakukannya.”
157
joss ‘Wood
Kata-kata tersebut tajam serta kaku dan Will mendesah melihat ekspresi terluka yang
berkelebat di wajah wanita itu. Sebagian dari dirinya ingin bisa memberi tahu Lu,
ingin bisa cukup memercayai wanita itu untuk membicarakan masalahnya, untuk
mengakui kebodohannya. Tapi selain fakta bahwa ia tidak terbiasa membicarakan
tentang dirinya sendiri, ia juga menganggap bahwa membicarakan hal itu dengan Lu
akan sama saja dengan menyayat tubuhnya dan menyaksikan dirinya sendiri berdarah-
darah. Ia juga tidak ingin melihat ekspresi jijik di wajah Lu, melihat kekecewaan
wanita itu terhadap dirinya yang dulu ... seorang pria yang ia rasa masih mengintai
di balik selubung kendali yang digenggamnya erat-erat.
“Sampai bertemu lagi.”
Lu berpaling untuk pergi tapi satu tungkai Will bergerak melesat, dengan berhati-
hati menangkap bagian belakang kedua lutut Lu. Wanita itu terjatuh ke matras, dan
mendarat dengan posisi telentang di sampingnya.
“Apa yang—?”
Sebelum Lu sempat mengatakan sesuatu Will berguling ke atas tubuh Lu dan
mendaratkan mulutnya pada mulut wanita itu. Satu tangan Lu mengepal pada bahunya,
tapi saat lidahnya menyentuh lidah Lu ketegangan wanita itu lenyap dan kepalan
tangan wanita itu membuka, dengan jemari melebar dan membakar kulit telanjangnya.
Will memundurkan kepalanya dan memandangi Lu, mengangkat satu tangannya sehingga
ujung je-
158
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
marinya menyapu pada pipi wanita itu. “Lu, kalau ada orang yang bisa kuajak bicara
maka orang itu adalah kau. Aku hanya tidak mau ... tidak bisa ... membicarakannya.”
Lu menirukan tindakannya, mengangkat satu tangan untuk menyentuh pipinya. “Kau
harus membicarakannya dengan seseorang. Kau tidak bisa memukuli sebuah samsak
setiap kali kau marah.”
“Sebenarnya, aku bisa.” Will menatap wanita itu dengan tatapan berkilat-kilat. “Aku
perlu melakukannya. Hanya itulah satu-satunya cara untuk meredakan ketegangan.”
Ia tahu bahwa Lu dapat merasakan ereksinya pada tulang pinggul wanita itu—dapat
merasakan debar jantungnya yang semakin cepat dalam sentuhan Lu. Mereka berdua
mengetahui kedua hal itu tapi tidak menghiraukan yang satunya, mencoba dan menguji
cara untuk mengurangi tekanan. Ia menyukai rasa wanita itu di bawah tubuhnya, namun
ia juga menyukai fakta bahwa Lu menyadari kalau ia sedang gusar, bahwa wanita itu
cukup peduli untuk berusaha menghiburnya.
Tatapan mereka bertemu dan di balik ketertarikan itu ia melihat simpati dan
pengertian. Kasih sayang yang total. Ia bisa menyayangi wanita ini. Ia benar-benar
bisa. Tapi saat segala sesuatunya berubah menjadi buruk dan nyala api itu padam—
seperti yang selalu terjadi—mungkin ia akan berakhir dengan luka bakar stadium
tiga.
Tidak boleh terjadi.
159
joss ‘Wood
Dengan enggan Will berguling turun dari tubuh Lu dan mendengar desahan merdu yang
penuh kejengkelan dari mulut wanita itu. Ia tahu bagaimana perasaan Lu. Will juga
mendambakan wanita itu. Sejenak mereka terbaring telentang di atas matras, sambil
menatapi langit-langit.
Lu memalingkan kepala di atas matras untuk memandang pada samsak tadi dan tidak
memercayai apa yang akan ia katakan.
“Apakah itu juga efektif untuk ketegangan seksual?”
Will mendesah. “Tidak seefektif mandi air dingin tapi ... yeah?
“Kau ingin menyentuhku?”
“Apa kau frustrasi secara seksual, Mermaid?
Satu tangan Will meluncur ke atas tangannya dan meremas. Ia tahu bahwa Will
bermaksud untuk bicara dengan nada bergurau, tapi sebaliknya kata-kata pria itu
terucap dengan penuh kepedihan.
Dan bukannya terdengar tenang serta berpengalaman, kata-kata^j/z justru lirih dan
sedih. “Yah, ada seorang pria yang membuatku luar biasa tertarik, dan dengan penuh
kegilaan kami sepakat bahwa akan lebih baik jika kami hanya berteman. Aku menikmati
saat-saat paling menegangkan bersamanya, tapi terkadang aku benar-benar ingin....”
Will menghela napas yang terasa panas. “Berhubungan seks dengannya?”
“Yeah” Lu mengerutkan hidung sementara sepasang mata yang penuh kesedihan dan
penyesalan itu menatap Will. Seperti halnya Will, Lu bermaksud
160
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
untuk meringankan ketegangan, tapi sebaliknya ia baru saja mengempaskan mereka ke
dalam sebuah kekacauan emosi. Lu ingin berpaling tapi tak sanggup—ingin membuat
sebuah komentar nakal tapi tak mampu menemukan kata-kata untuk diucapkan.
Tangan Will mencengkeram tangannya. “Astaga, Lu, aku tahu apa yang kau rasakan.”
“Aku menikmati saat-saat yang begitu menyenangkan bersamamu dan aku tidak ingin
merusaknya, jadi aku akan meninju sebuah samsak kalau itu bisa membantu,” celoteh
Lu.
Will menggulingkan tubuh ke samping dan meletakkan satu tangan yang bebas pada
wajah Lu. “Aku juga tidak ingin merusaknya, jadi aku akan mengajarimu tinju,” ujar
pria itu dengan suara parau. “Tapi jika kita tidak segera bangun maka kita tidak
akan perlu meninju apa pun.”
Lu memalingkan wajah ke dalam tangan Will dan mendaratkan sebuah kecupan pada
telapak tangan pria itu. “OK.”
Tapi mereka tetap terbaring di situ selama beberapa saat lagi, satu tangan Will
menggenggam tangannya, yang satu lagi pada wajahnya, merasakan adanya koneksi
secara fisik dan emosional di antara mereka.
Whoops, pikir Lu. Itu tidak seharusnya terjadi.
Minggu sore dan Lu sedang berusaha, tanpa hasil, untuk beralih dari posisi
berbaring di atas papan se-luncurnya ke posisi berdiri. Will, yang berdiri di
kedalaman air sebatas pinggul di Samudra Hindia tidak
161
joss ‘Wood
jauh dari North Beach, sedang berusaha untuk menyembunyikan senyum.
“Berhenti menertawaiku, brengsek!” Lu meneriaki pria itu saat ia muncul dari bawah
gelombang setinggi kurang lebih enam puluh sentimeter. “Tidak semua orang terlahir
dengan super seimbang!”
“Kau pasti bisa,” ujar Will, sambil tertawa sementara ia mengusap wajahnya.
Ia sudah hendak menyerah berjam-jam yang lalu, namun ia tahu bahwa belajar
berselancar merupakan sebuah cara untuk menghindari pembicaraan mereka yang
emosional di gym malam itu.
Terus-menerus terlihat seperti seorang idiot dan membuat butiran pasir memasuki
bawahan bikininya adalah pengorbanan kecil untuk mengembalikan kegembiraan dan tawa
ke dalam ... apa pun yang mereka miliki.
“Aku ingin mengingatkan, sebagai catatan, bahwa sepertinya kita hanya melakukan
hal-hal yang kau sukai.” Lu menepuk-nepukkan kedua tangan pada pinggulnya. “Kita
tidak pernah datang ke pameran seni itu—dan apa yang terjadi dengan kelas dansa?”
“Kita akan pergi ke pameran fotografi,” Will mengingatkan.
“Itu masih dua minggu lagi,” tukas Lu. “Aku basah, payah dan parah dalam olahraga.”
Will tertawa. “Katakan lagi—lima kali dan dengan cepat.”
“Aku basah, paha, dan ... aarrrggghhh!”
162
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will tertawa sambil berjalan mengarungi air ke arahnya dan mengambil papan seluncur
dari genggamannya. “Sudah cukup untuk hari ini; lagipula Mak dan Deon tampaknya
sudah siap untuk pergi.”
Lu memandang ke arah pantai, di mana Mak dan Deon berdiri di tepian air, kepala
Deon terkulai pada kedua lengan Mak. Mereka berempat telah menghabiskan siang hari
di situ dan Will serta Mak sudah menghabiskan waktu berjam-jam dengan melemparkan
sebuah bola rugby kepada Deon, yang membuat anak itu sangat gembira. Mereka semua
juga telah bergantian berenang dengan Deon, dan si kecil itu sangat letih sekaligus
bahagia.
Lu mengangkat tubuh Deon, mencium anak itu kuat-kuat dan menyerahkan Deon pada Will
yang menggendong anak itu di punggung menuju tas dan handuk-handuk mereka yang
berserakan di atas pasir yang masih panas. Will menurunkan Deon, membantu Mak
memasukkan tas-tas mereka ke dalam mobil dan mengusap-usap kepala Deon.
“Apa kau akan ikut ke stadion dengan anak-anak St. Clares pada Rabu nanti?”
Deon mengangguk. “Aku teman kepercayaan mereka.”
Will meringis. “Benar sekali. Sampai ketemu, dude”
“Sampai ketemu, dude? balas Deon dan ketiga orang dewasa itu tertawa.
Setelah mereka pergi, Will memiringkan kepala ke arah Lu. “Aku akan kembali ke air.
Kau ikut?”
163
joss ‘Wood
Lu mengangguk dan mereka kembali ke laut, mendesah saat air Samudra Hindia yang
hangat bergerak semakin tinggi seiring langkah mereka yang semakin jauh.
“Besok hari sekolah dan hari kerja,” ujar Lu, sementara ombak mengenai dadanya.
Ia bertanya-tanya apa saja yang si kembar lakukan hari ini ... apakah mereka juga
menikmati keseruan seperti dirinya. Di hari-hari seperti ini—hari bermain di
pantai, hari bahagia—ia amat sangat merindukan mereka. Seharian ia telah melawan
dorongan untuk menelepon mereka, dan beberapa pesan yang ia kirimkan pada mereka
sampai sepuluh menit yang lalu masih belum dibaca. Mereka tidak pernah berpisah
dari ponsel masing-masing, jadi apa saja yang mereka lakukan seharian?
Lu merasakan satu ibu jari Will menyapu pada tempat di antara kedua alisnya dan ia
memalingkan kepala untuk memandang pada pria itu. “Terkadang kau melamun lalu
kerutan-kerutan ini muncul.”
“Sinar matahari membuat mataku silau,” sahut Lu dengan riang.
“Yang benar saja.” Will mendengus.
Lu mencuri pandang pada wajah frustrasi pria itu. “Mengapa kau ingin aku bicara
tapi kau sendiri tidak mau bicara ... atau tidak akan bicara?”
“Karena aku seorang pria.”
Dengusan Lu lebih keras daripada dengusan Will tadi. “Kita sangat pandai dalam
bersenang-senang dan sangat payah dalam bicara pada satu sama lain ten-
164
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tang hal-hal yang emosional,” komentarnya. “Aku tahu bahwa kau sangat gusar setelah
melihat mantan istrimu di TV—”
“Aku tidak gusar.”
“Will.” Sekadar mendengar Lu menyebut namanya membuat protes Will lenyap. “Dan aku
merindukan si kembar. Tapi kita tetap berlagak semuanya baik-baik saja.”
“Aku tidak tahu bagaimana cara—” Will berhenti dan secara otomatis menggapai untuk
menyeimbang-kan tubuh Lu saat sebuah ombak besar melanda mereka. Dengan menggunakan
kekuatannya, ia mengokohkan pijakan dan menahan tubuh Lu agar tetap berdiri tegak
sementara aliran air menyerbu di atas kepala wanita itu. Lu mengaitkan kedua lengan
pada lehernya, dengan wajah dipenuhi butiran air.
“Aku berharap kau mau bicara padaku, Will,” bisik Lu dengan frustrasi. Will menahan
diri, menjaga jarak darinya, dan ia tidak suka itu. Jika Will bisa mendorong Lu
keluar dari zona nyamannya, mengapa ia tidak dapat melakukan hal yang sama untuk
pria itu?
Masalahnya adalah bahwa Will hanya memandang padanya dengan tatapan membara itu dan
ia lupa tentang zona nyaman dan bicara serta hal lainnya selain keinginan untuk
keberadaan mulut pria itu pada mulutnya.
Will mengecup bahunya sambil berbisik, “Akan kuberitahukan padamu bahwa menurutku
kau luar biasa cantik.”
Lu menahan tawanya. “Berbintik-bintik dan ku-rus.
165
joss ‘Wood
“Berbintik-bintik dan kurus yang cantik dan menawan,” Will bersikeras. Pria itu
menunduk dan memandang ke dalam kedua matanya. “Aku tidak tahu bagaimana
melakukan ... hal yang satunya itu ... tentang bicara. Aku tidak bisa melakukannya—
tidak punya keahlian untuk itu. Tapi ini ... ini aku tahu.”
Yes, pikir Lu. Dan itu merupakan sebuah akhir yang sempurna untuk hari yang indah
saat lidah Will meluncur memasuki mulutnya dan kedua tangan Will menarik pinggulnya
ke pinggul pria itu.
Perutnya menekan pada ereksi Will dan buah dadanya mengimpit ke dada pria itu. Ia
merasa liar dan bebas. Apa yang Will lakukan di bawah air tersembunyi dari sedikit
orang yang masih berada di pantai, dan para peselancar berada terlalu jauh dari
mereka untuk bisa melihat dan terlalu masa bodoh untuk peduli. Setelah meluncurkan
satu tangan pada pinggul Will, ia membelai perut pria itu, merasakan keajaiban dari
kulit hangat yang melapisi otot-otot yang keras. Will bereaksi dengan menggenggam
satu buah dadanya, secara naluriah mencari puting susunya, yang mengembang seketika
dalam tangan pria itu.
Lu tersentak dan menarik lepas mulutnya dari mulut Will, melengkungkan punggungnya
sambil membenamkan wajah ke leher Will dan mengusapkan lidahnya pada kulit pria
itu. Inilah yang selama ini Lu rindukan—kedahsyatan ini, luapan gairah dan emosi
ini yang tidak ia rasakan terhadap seorang pria dalam waktu yang sangat, sangat
lama.
Will mengerang sambil menyelinapkan kedua tangan ke balik atasan bikini Lu dan
mengaitkan lidah
166
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
wanita itu dengan lidahnya. Ia merasakan frustrasi Lu dan merespons dengan sebuah
tawa kecil yang tanpa suara. Wanita itu bukan satu-satunya orang yang mendambakan
lebih. Tapi tiba-tiba saja ini bukanlah tentang Will. Ini tentang Lu dan kenikmatan
yang dapat ia berikan pada wanita itu—kenikmatan yang ia tahu tidak wanita itu
rasakan dalam waktu yang sangat, sangat lama ... benar-benar sangat lama.
“Lingkarkan kedua tungkaimu pada pinggangku, honey? bisiknya di mulut Lu.
Dengan sepasang mata sayu penuh hasrat, wanita itu menurut. Will menundukkan
tatapan dan memandang ke antara mereka. Paha Lu ramping dan sehalus kulit bayi; ia
dapat merasakan tulang pinggul wanita itu di bawah telapak tangannya yang satu
lagi. Sebentuk anting manik-manik menghiasi pusar Lu.
“Nikmati saja, Lu,” ujar Will, dan melihat jawaban lembut dalam tatapan wanita itu,
merasakannya dalam bibir Lu yang terangkat.
Wanita itu menjadi pasrah di bawah kendalinya, keyakinan Lu bahwa ia akan menjaga
wanita itu sangatlah jelas. Will mengokohkan tubuhnya dengan membenamkan kedua kaki
ke dalam pasir sementara ia menciumi Lu—ia tidak pernah bisa merasa puas dengan
mulut yang menggiurkan itu. Ia menggerakkan satu tangan pada pergelangan kaki dan
betis wanita itu, meluncur naik ke paha Lu, berhenti untuk meremas bokong wanita
itu. Jemari panjangnya menyelinap ke balik bawahan bikini Lu dan membelai ringan di
antara kedua tungkai wanita itu. Ia tidak
167
joss ‘Wood
mengindahkan rintihan dan tarikan napas Lu saat ia menggerakkan tangan ke tengah
dan menelusurkan-nya pada bagian intim wanita itu, sambil menundukkan kepala untuk
mencium Lu, merasakan wanita itu berdenyut di bawah ujung jemarinya. Jemarinya—
kini dengan mendesak—meluncur masuk ke dalam lipatan kewanitaan Lu, membuat wanita
itu mengangkat pinggul, mendorong ke dalam tangannya. Takjub dengan reaksi
bergairah Lu, dengan ketegangan yang dapat ia rasakan dalam diri wanita itu, Will
merasa luar biasa kuat, sangat jantan.
Ia merasakan orgasme Lu pada tangannya, melihatnya dalam tatapan wanita itu,
mendengarnya dalam pekikan lirih Lu.
Wanita itu membuatnya merasa sebagai pria yang istimewa...
Lama setelah itu Lu kembali menurunkan kedua kaki ke dalam pasir dan menelusurkan
kedua tangan ke sela-sela rambut. Will yakin bahwa seumur hidupnya ia tidak akan
pernah melupakan pemandangan Lu yang sedang berdiri di dalam air laut setinggi
dada, sambil mendongakkan kepala untuk menangkap cahaya matahari yang penghabisan,
tampak sangat mirip dengan putri duyung seperti yang terkadang ia bayangkan tentang
wanita itu.
“Apa yang akan kita lakukan soal ini, Lu?” Will bertanya saat mereka berjalan
kembali menuju pantai. “Kita berusaha menghindarinya dan pada akhirnya kita akan
menyerah—tidak lama lagi.”
168
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu menelusurkan kedua tangan ke sela-sela rambut lagi, membentuk ujung-ujung
runcing. “Entahlah, Will! Aku tidak tahu! Aku tahu bahwa aku menginginkanmu, tapi
aku juga tidak ingin berhenti menikmati kegembiraan bersamamu—dan itulah
kesepakatannya, ingat? Seks dan kau pergi. Tanpa seks dan kau tidak akan pergi.”
“Ide bodoh siapa itu?” gumamn Will lirih. “Oh, pasti idemu, Scott. Dasar tolol.”
Kesepakatannya memang seperti itu, dan ia menganggapnya masuk akal berminggu-minggu
yang lalu, saat hidupnya juga masuk akal. Will menyambar sehelai handuk dari tikar
pantai dan menyeka wajahnya. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia sanggup menolak Lu—
menolak godaan untuk membawa wanita itu ke tempat tidur, untuk menjadikan Lu
sebagai miliknya. Tapi wanita itu membuatnya ketakutan. Lu memiliki kemampuan untuk
membuatnya kehilangan fokus, untuk membuatnya melakukan hal-hal, merasakan hal-hal
yang ia lakukan dan rasakan ketika hidupnya berada di luar kendali. Seperti
bertindak dulu dan berpikir kemudian. Hidupnya berpotensi untuk menjadi liar saat
ia membiarkan sisi kepribadiannya itu berkuasa.
Bersama Lu, sisi gegabahnya menuntut lebih banyak kesempatan untuk mengambil
keputusan dan— apa sebutan Kelby tentang dirinya?—Mr. Disciplined Control menjadi
tak berdaya.
Bagaimanapun juga, Will merasa seolah sedang melawan sebuah serbuan alien jahat
dengan sepucuk pistol air di sebuah gurun pasir.
169
joss ‘Wood
Lu bisa melihat segenap kebingungannya tercermin dalam sepasang mata Will. Pria itu
menginginkannya—ia pasti sudah mati jika tidak menyadari hal tersebut—tapi Will
tidak ingin menginginkan dirinya. Sedangkan ia sendiri, ia tahu bahwa jika mereka
beralih dari teman menjadi kekasih maka ia akan mengundang lebih banyak lagi
kegilaan yang rumit ke dalam hidupnya. Akan jauh lebih sulit untuk mengucapkan
selamat tinggal pada seorang kekasih ketimbang seorang teman saat Will pergi, dan
yang lebih buruknya akan semakin jauh lebih sulit lagi untuk menjaga agar benaknya
tetap berpikir tentang teman, tubuhnya berpikir tentang kekasih dan hatinya tidak
masuk dalam hitungan jika ia tidur dengan pria itu.
Lu membalas tatapan Will lekat-lekat, membenci pengendalian diri Will yang tegas
dan kaku. Pria itu tidak akan mengajaknya tidur, tidak akan mengambil langkah itu.
Kalau saja mereka bisa benar-benar saling bicara....
Apa yang akan ia katakan?
Aku sangat menikmati saat-saat menghabiskan waktu bersamamu, ia bicara pada Will
dalam hati. Tapi sepertinya aku belum siap untuk sebuah hubungan, dengan maupun
tanpa ikatan. Aku baru saja mulai mengenal diriku lagi, belajar untuk hidup
sendiri. Akhirnya aku mulai memahami diriku, belajar tentang siapa diriku tanpa
kewajiban membesarkan si kembar. Jika kita berkencan maka aku akan kembali memiliki
seseorang dalam hidupku dan aku tidak tahu apakah
170
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
aku sudah siap untuk itu. Karena kau adalah sosok yang kuat, seorang pelindung,
seorang pria dengan kepribadian menonjol, dan saat kau pergi aku akan kembali ke
titik awal, belajar untuk hidup sendiri lagi.
Begitu sulit untuk menolak Will, dan akan lebih mudah untuk membiarkan pria itu
meluncur masuk ke dalam ruang-ruang kosong di dalam hatinya dan rumah yang telah
anak-anak tinggalkan. Tapi untuk pertama kali dalam hidupnya ia harus berpikir
tentang apa yang terbaik untuk dirinya dan, sekalipun menurutnya itu akan
menyenangkan, ia rasa hal tersebut bukanlah merupakan sebuah langkah yang bijak
untuk jangka panjang. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade ia tidak harus
merisaukan orang lain— dan ia menyukainya.
Lu mendesah. “Will?”
“Yeah?
“Tahukah kau bahwa tidak ada satu pun dari kita berdua yang mengatakan sesuatu
selama sepuluh menit?”
Will mengangkat bahu. “OK ... jadi?”
“Jika kita harus begitu banyak memikirkan hal itu mungkin sebaiknya kita membiarkan
segala sesuatunya seperti sediakala?”
Will tersenyum kecil. “Kebingungan dan terang-sang?
Beri pria ini sebuah bintang emas lagi, pikir Lu dengan muram.
171
Delapan
“Jadi, Carter telah diizinkan untuk kembali bekerja sebulan lagi....”
Will menatap Kelby dengan tercengang. “Itu berarti aku bisa meninggalkan Durban
kira-kira sebulan lagi?”
“Kami akan membayarmu untuk tiga bulan penuh.”
Ia tidak peduli dengan uangnya. Meninggalkan Lu lebih cepat dari yang ia
harapkanlah yang mengancam terjun ke dalam kekacauan.
“Selain itu, pada rapat direktur tadi malam, dewan telah sepakat bahwa Carter akan
pensiun enam bulan lagi. Aku bisa menawarimu posisi sebagai pelatih penasihat
sampai Carter pensiun dan kontrak selama lima tahun sebagai pelatih utama setelah
dia pergi. Bagaimana?”
Will mengalihkan pikirannya dari Lu. “Mengembalikan kendali pada Carter terasa
menyebalkan. Aku tidak yakin bisa melakukannya kemudian bekerja di bawahnya.”
“Hanya untuk enam bulan, dude\ Dan dia pelatih yang bagus. Kau telah belajar banyak
darinya.”
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will meletakkan kedua tangan di atas meja tulis Kelby dan meluruskan lengannya,
mempertimbangkan hal itu dengan saksama. “Aku telah mendapatkan banyak tawaran dari
tim-tim lain. Tawaran untuk posisi penasihat korporasi lalu pelatih utama dari
Melbourne dan Auckland.”
Kelby menyandarkan duduknya. “Kau sudah bicara pada Lu soal ini?”
Will mengerutkan keningnya pada pria itu. “Belum.”
“Tidakkah menurutmu sebaiknya kau melakukan itu?”
Will berdiri dan melipat kedua lengannya dengan geram. Karena ia masih terkejut
memikirkan betapa ia tidak ingin meninggalkan Lu, ia menyipitkan kedua matanya
mendengar komentar Kelby. “Dia bukan faktor penting. Kami hanya berteman.”
“Teman! Yang benar saja.” Kelby menggelengkan kepala dengan rasa tidak percaya.
“Dan kalau kau melepaskan dia maka kau lebih gila dari dugaanku.”
Melepaskan Lu? Ia bahkan belum memiliki wanita itu! Ia telah menghabiskan hampir
sepanjang malam dengan berbaring gelisah di ranjangnya, dan ketika benar-benar
tertidur ia memimpikan hal-hal yang super panas dan termasuk dirinya yang bercinta
dengan Lu berkali-kali serta dalam segala posisi.
Akibatnya ia begitu lelah, jengkel, dan masih sama bingungnya serta lebih
terangsang lagi dari kemarin sore. Ia pikir dirinya adalah entah orang suci atau
seorang idiot karena telah mengantar Lu pulang ke
173
joss ‘Wood
rumah setelah hari yang mereka habiskan di pantai dan meninggalkan wanita itu di
sana.
Tidak, ia jelas seorang idiot.
Will melirik pada arlojinya. “Aku harus pergi. Aku benar-benar sudah terlambat.”
Kelby mengerutkan keningnya. “Terlambat untuk i» apa?
“Analisis pertandingan. Seharusnya jam empat.”
“Apa kau pernah membaca satu saja memo yang kukirimkan padamu? Aku meminta agar
analisis pertandingan ditunda karena Lu akan melakukan pemotretan telanjang untuk
kalender dengan tim petang ini.”
Will berbalik dengan sangat lambat dan memelototi Kelby dengan tatapan death-
raynyz. “Apa. Kau. Bilang. Barusan?”
Kelby tidak terlalu berhasil dalam usaha untuk menyembunyikan senyumnya. “Dua belas
klub franchise akan bekerja sama untuk membuat sebuah kalender yang menampilkan
kedua belas tim untuk mengumpulkan uang guna keperluan amal. Masing-masing
franchise harus mengambil foto tim yang layak.”
“Dan Lu yang akan melakukan ini?”
Kelby memperlihatkan wajah tak berdosa. “Dia memang fotografer kita. Aku tidak tahu
kenapa kau tampak begitu terkejut soal ini. Aku telah mengirimu e-mail sepanjang
minggu!”
“Aku melihat judul subjeknya dan kupikir kau bergurau.”
“Dan Lu tidak menyinggung soal itu padamu?”
174
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will mengerutkan keningnya. “Kurasa dia pernah melakukannya. Aku mengatakan sesuatu
tentang hal itu sebagai sebuah ide yang sangat tolol dan siapa pun yang ada
hubungannya dengan itu adalah orang bodoh ... ia tidak menyebut-nyebut lagi soal
itu.”
“Entah kenapa bisa begitu,” ujar Kelby dengan nada datar.
Mulut Will mengatup rapat. “Aku benar-benar tidak senang dengan hal ini.”
“Kau beruntung karena aku tidak peduli apakah kau senang atau tidak. Itu tugas Lu.”
Benar.
“Di mana mereka melakukan pemotretan?” desak Will.
“Di gym.” Kelby berdiri saat Will buru-buru memutar tubuh dan berjalan menuju
pintu. “Will, jangan coba-coba pergi ke sana! Jangan buat segala sesuatunya menjadi
sulit....”
Kelby terhenyak lagi ke kursinya ketika Will tidak menggubris perintahnya. Teman*
Yang benar saja\ Dia berharap agar Will tidak membuat pemotretan itu menjadi sulit
bagi Lu, tapi dia tidak akan mempertaruhkan pada hal itu. Kelby berdiri dengan
susah payah. Mungkin ia akan pergi ke gym untuk mendapatkan sedikit hiburan....
Ia butuh kipas angin. Ia butuh sebuah kulkas yang bisa dimasuki. Ia harus berhenti
tersipu, pikir Lu saat lima belas pemain rugby super seksi dengan tubuh berotot
175
joss ‘Wood
dan hanya mengenakan berjalan memasuki gym milik Rays, rumah kedua mereka. Will
tampak berdiri menjauh ke satu sisi ruangan, berpakaian lengkap dalam balutan jeans
serta T-shirt, dan wajah muram pria itu segelap awan badai musim panas.
Will belum bicara sepatah kata pun padanya.
Boxer, brief, bahkan Y-front ...Ya ampun, Lu, kau tidak boleh melihat ke situ!
Apakah pendingin udara di ruangan ini berfungsi? Para anggota tim tidak merasa risi
berkeliaran dengan mengenakan pakaian dalam mereka. Mereka mengobrol dan bergurau
serta saling mengejek satu sama lain tentang ukuran “perkakas” mereka dan
penampilan celana dalam mereka.
“Biar Lu saja yang memutuskan,” teriak Matt.
Lu mengangkat kedua alisnya. “Memutuskan soal i» apa?
“Boxer, brief atau thong? jelas Matt. “Apa yang lebih wanita sukai?”
Lu tetap memasang ekspresi wajah datar, karena tahu bahwa mereka sedang berusaha
memancing reaksinya. Ia tahu seperti apa para bocah laki-laki—mereka akan
mendesaknya sampai mereka mendapatkan reaksinya. Tidak sia-sia ia membesarkan bocah
laki-laki kembar dan membiarkan teman-teman mereka menjadikan rumahnya sebagai
tempat tinggal kedua. Namun ia tak mungkin memandang Will, karena pria itu akan
tahu bahwa ia lebih memilih tanpa pakaian dalam.
Sebenarnya, sekadar melihat Will sepenuhnya telanjang akan sangat memuaskan.
176
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Matt menjentikkan jemari di depan hidung Lu. “Lu! Konsentrasi, sebelah sini—ini
riset penting!”
Lu menggapai dan menepuk-nepuk pipi pemuda itu. “Sweetie ... percayalah. Kalau aku
cukup menyukaimu hingga ingin merobek pakaian dalammu sampai lepas maka aku tidak
akan peduli apa yang kau pakai. Tapi aku akan berpikir dua kali kalau kau memakai
sehelai thong merah bertali hitam ... itu norak sekali.”
Matt meletakkan satu tangan pada pipinya dan sepasang mata pemuda itu bersinar
dengan rasa geli. “Tapi kau menyukai thong bercorak kulit macan tutul, kan?”
Lu tertawa dan mengikuti permainan itu. “Tentu saja! Siapa yang bisa menolak
seorang pria dengan sehelai thong bermotif kulit macan tutul?”
Matt menyelipkan kedua ibu jari ke dalam boxer hitam yang dipakai dan menggoyang-
goyangkannya ke bawah pinggul. Lu menutup wajahnya dengan kedua tangan dan
mengintip melalui jemarinya saat Matt memutar tubuh dengan gerakan lambat, hanya
memakai thong bercorak macan tutul yang paling minim, paling norak, dan paling
palsu.
Lu menurunkan kedua tangannya dan tergelak keras saat Matt berpose di depannya,
dengan pinggul terdorong ke depan dalam sebuah pose khas model pria. Ia bertepuk
tangan sebelum meletakkan satu punggung tangan pada keningnya dan berlagak jatuh
pingsan.
Seisi ruangan itu bergemuruh dengan tawa. Matt bet-high five dengannya dan Lu masih
tertawa saat
177
joss ‘Wood
Will beranjak dari dinding dan berdeham. Sepasang mata yang dingin menatapnya
dengan tajam dan tawanya tercekat di tenggorokan sementara ruangan tersebut
diselimuti kebisuan yang canggung.
Pria itu menyentakkan kepala ke arah pintu gym. “Keluar.”
Lu mengerutkan keningnya. “Apa?”
“Aku mau bicara denganmu ... di luar,” tegas Will, dengan suara tajam yang bergetar
penuh amarah.
“Lu dalam masa-lah,” senandung Matt, lalu meringis saat Will berjalan
menghampirinya dan memukulkan satu tangan ke dada Matt. Maat mundur dua langkah.
“Kalau kau tahu apa yang baik untukmu, maka kau akan menutup mulutmu,” ujar Will
dengan tenang, tatapan pria itu menusuk.
Matt mengangkat kedua tangannya. “Baik, bos.”
“Kau—keluar.”
Will memandang Lu dan ekspresi murka pria itu membuatnya turun dari meja dan
berjalan menuju pintu. Ia mendengar bantingan pintu di belakangnya dan mendongak
pada Will, yang jelas luar biasa marah. Apa masalah pria itu?
“Berhenti main mata dengan Matt,” tukas Will dengan geram.
Ap-pa?
“Astaga, Will, dia hanya berusaha membuat suasana menjadi tidak terlalu canggung,”
sahut Lu kebingungan. Pria itu tidak mungkin menganggap serius senda gurau mereka
tadi, bukan? “Apa sebenarnya masalahmu?”
178
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will melangkah ke depannya dan mendorongnya mundur ke dinding. Pria itu meletakkan
satu telapak tangan ke dinding di sampingnya dan berdiri menjulang di hadapannya.
“Masalahku? Kau akan melihat lima belas pria telanjang dan satu-satunya orang yang
aku ingin kau lihat telanjang adalah aku. Itulah masalahku. Aku frustrasi dan
sangat terangsang. Itu masalah lainnya. Aku tidak peduli kalau ini adalah tugasmu.
Aku. Tidak. Suka. Itu.”
Ini adalah pertama kalinya ia melihat Will sepenuhnya menanggalkan selubung kendali
yang selalu pria itu kenakan. Sepasang mata Will dipenuhi kepedihan dan rasa
frustrasi. Tubuh pria itu mengepal penuh ketegangan. Will nyaris terlihat tidak
waras.
Karena ia dikelilingi oleh para pria seksi dan berotot.... Well, ya ampun!
Sekalipun ia ingin mendaratkan mulutnya pada mulut pria itu dan dicium oleh Will
yang lepas kendali ini, ada pekerjaan yang harus ia lakukan—sebuah pekerjaan yang
penting baginya. Franchise rugby lainnya, seperti yang dibilang Kelby, menyewa para
fotografer terkenal guna mengambil foto mereka untuk kalender, tapi Kelby percaya
padanya dan ia tidak boleh mengecewakan kepercayaan pria itu dan mempermalukan
Rays.
Ia tidak berniat melakukan itu, namun ia tidak akan berhasil dengan keberadaan Will
yang membayangi seperti amukan angin topan; pria itu akan membuat para pemain
merasa tegang, mereka tidak akan bisa santai sementara Will mengawasi mereka, dan
Lu
179
joss ‘Wood
tidak akan bisa bekerja. Ia harus menyingkirkan Will. Namun ia tahu bahwa bahkan
sebatang dinamit sekalipun tidak akan mampu membuat pria itu pergi.
Maka Lu berjinjit, mendaratkan mulutnya pada mulut Will dan meluncurkan lidahnya ke
dalam mulut pria itu. Ciumannya ia lakukan dengan mulut membuka dan cukup panas
untuk membuat darah mengalir turun dari otak Will ... hal yang ia butuhkan. Ia
harus mengerahkan segenap tekadnya untuk menjauh sebelum Will menangkapnya dalam
cengkeraman pria itu dan tidak mau melepaskannya.
Setelah buru-buru melangkah mundur, ia membungkuk sedikit seperti memberi hormat
sekilas, menyelinap melewati pintu gym, membanting daun pintu hingga menutup dan
memutar kunci pintu. Sambil mengabaikan gedoran Will yang penuh kemurkaan pada daun
pintu, ia berjalan kembali ke dalam dan menuju kotak yang ia bawa masuk tadi serta
mengeluarkan sebuah i-Pod dan speaker eksternal.
“Siapa yang menginginkan musik?” Ia bertanya dengan suara nyaring.
“Yes\ Tapi akan lebih baik kalau ada minuman!” sahut Matt menandingi sebuah paduan
suara penuh persetujuan dan siulan-siulan.
Lu meringis sambil mengeluarkan dua botol tequila dari kotak tadi dan
melambaikannya di udara. “Aku juga berpikir akan jauh lebih mudah dengan beberapa
sloki. Aku bawa cukup banyak, jadi jangan malu-malu. Tapi sebaiknya kita bergegas
sebelum Mr. Grumpy merobohkan daun pintu.”
180
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu, dalam balutan cycling shorts pendek, sehelai crop top dan sepatu trainers,
berdiri di depan samsak di gym Rays yang kosong dan menunduk memandangi sepasang
sarung tinju berukuran kecil yang baru saja Will ikatkan pada kedua tangan wanita
itu.
“Aku sudah mencoba memesan sebuah kelas privat untukmu di sekolah Thai kickboxing
dengan salah satu teman Kelby yang merupakan seorang instruktur, tapi mereka akan
menghadapi beberapa cage fight jadi dia sangat sibuk,” ujar Will, sambil menurunkan
kedua tangan Lu. Ia beranjak agak menjauh dari wanita itu. Lu mengenakan busana
yang sedikit lebih tertutup dibandingkan pakaian dalam, dan anak-anak asuh Will
tidak membedakan antara pakaian gym dengan pakaian dalam wanita.
Telah seminggu berlalu sejak ia mendekap Lu dalam pelukannya, dan sejak itu ia
tidak pernah bisa memandang ke laut tanpa mengingat betapa responsifnya wanita itu
terhadap sentuhannya. Ia telah sering melakukan seks selama bertahun-tahun ini,
bahkan sekadar bayangan tentang Lu sekalipun terasa jauh melampaui seks paling
panas dan paling gila yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Mengejutkan sekali saat menyadari bahwa ia, Raja dari Hubungan Seks Singkat, bisa
berpikir seperti ini. Ia adalah seorang pria dewasa yang rasional. Ia tahu bahwa
seks paling hebat tidak akan pernah bertahan untuk selamanya. Hal itu beralih dari
bagus, lalu OK, lalu memudar menjadi blah dan kemudian menjadi seperti robot.
181
joss ‘Wood
Itu akan terjadi meski dengan Lu.
Lu memutus lamunannya. “Baiklah—sarung tangan telah terpasang, samsak sudah
menanti.”
Tangan mungil wanita itu menghunjam ke samsak dan benda tersebut melayang sedikit
sekali. “Tidak terlalu bagus.” Lu mengerutkan kening. “Saat kau yang meninju,
samsak ini berayun!”
Will meringis. “Itu karena aku lebih kuat darimu dan juga karena kau meninju
seperti seorang anak gadis.”
“Kepalan tangan ke samsak. Itu sebuah tinju,” protes Lu.
“Tinju seorang gadis. Kau harus menempatkan sebagian berat tubuhmu untuk
meninjunya,” ujar Will. “Berdiri dengan sedikit jarak di antara kedua kakimu, tekuk
lututmu. OK, bagus. Bentuk sebuah kepalan longgar dengan masing-masing tangan dan
angkat, siku lurus di belakangmu. Benar. Sekarang, tolak dengan kaki belakangmu dan
putar pergelangan tangan serta bahumu saat kau melayangkan tinju.” Will mengamati
saat tinju wanita itu mengenai samsak dan benda tersebut bergoyang. “Itu lebih
baik.”
“Sulit sekali,” gerutu Lu sambil mencoba lagi.
“Tetap luruskan sikumu. Tolakkan kaki belakangmu.” Masih tetap tinju seorang anak
gadis, pikir Will, tetapi, melihat ekspresi penuh tekad di wajah Lu, ia tahu bahwa
wanita itu akan mampu melakukannya sekalipun sulit. Ia mulai menyadari bahwa Lu
memiliki kebulatan tekad seekor kumbang kotoran dan ke-keraskepalaan seekor
keledai.
182
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Kapan aku belajar menendang?” tanya Lu, dengan napas tersengal.
“Setelah kau belajar meninju,” sahut Will. “Tetap angkat tanganmu yang satu lagi
untuk melindungi wajahmu. Jangan biarkan wajahmu rentan terhadap serangan.”
“Memangnya apa yang akan memukulku?” tanya Lu.
“Kalau kau ingin belajar, maka lakukan dengan benar.”
Lu menjulurkan lidah padanya dan melontarkan tinju ke samsak, membuat benda itu
berayun lebih kuat dari sebelumnya.
“Itu sudah lebih baik.”
Setelah dua puluh menit Lu meletakkan kedua tangan di paha dan mendongak memandangi
samsak. “Seharusnya aku melakukan ini saat kedua orangtuaku meninggal.”
Ini adalah pertama kalinya Lu bersedia menyinggung tentang kematian mereka dan Will
berusaha keras untuk tidak bereaksi, menunggu wanita itu bicara. “Ada hari-hari di
mana aku begitu sedih dan begitu marah hingga aku meninju tempat tidurku. Ini lebih
baik.”
Will berjalan menuju kulkas di samping matras, mengeluarkan sebotol air minum,
membuka penutupnya dan memeganginya ke bibir Lu. Wanita itu minum dan menjatuhkan
tubuh ke atas matras, melipat kedua tungkai saat duduk.
183
joss ‘Wood
Will menyusul Lu dan mereka duduk dalam kebisuan sejenak sebelum ia mengajukan satu
lagi pertanyaan yang selama ini telah membuatnya penasaran. “Siapa yang
memberitahumu? Tentang kecelakaan itu?”
“Mak. Waktu itu dia adalah tetangga sebelah rumah kami.”
“Bagaimana kau menghadapinya?” tanya Will.
“Apa maksudmu?” tanya Lu, sambil melayangkan sebuah tatapan kosong padanya.
“Lu, saat itu kau masih remaja dan tiba-tiba saja harus bertanggung jawab atas dua
anak. Bagaimana kau menghadapi kematian orangtuamu? Menghadapi hidupmu yang berubah
drastis?”
Lu terdiam untuk waktu yang lama, dengan tatapan ke arah sepatu. “Aneh ... tidak
pernah ada seorang pun yang menanyakan hal itu padaku sebelumnya.”
“Kau bercanda?”
Wanita itu menggigit bibir bawahnya. “Nope. Orang-orang bertanya apakah aku baik-
baik saja tapi nyaris tidak menunggu sebuah jawaban sebelum menanyakan bagaimana si
kembar menghadapinya, betapa menyedihkannya kenyataan bahwa mereka harus menjadi
anak yatim piatu dalam usia semuda itu.”
Hati Will dipenuhi kepedihan mendengar nada pilu dalam kata-kata Lu. “Kau juga
menjadi yatim piatu.”
“Tapi aku tidak berusia delapan tahun dan pirang serta imut-imut,” sahut Lu.
184
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Jadi bagaimana kau menghadapinya?” Will mengulangi pertanyaan tadi.
Lu mengangkat bahu. “Aku tidak tahu, sebenarnya. Enam bulan pertama terasa agak
kabur. Kami sering menangis. Aku ingat itu. Aku juga ingat melakukan banyak
kegiatan olahraga bersama anak-anak—bermain sepak bola dengan mereka, membawa
mereka ke pantai, membuat mereka selelah mungkin sehingga kami semua bisa langsung
tidur tanpa bermimpi, berusaha menghindari mimpi buruk.”
“Anak-anak mengalami mimpi buruk?”
“Tidak terlalu sering.”
“Kau?”
“Terus-menerus.”
Will mengangkat satu tangannya dan membe-laikan ibu jari pada tulang pipi yang
menonjol, lalu mengusap bayangan berwarna ungu di bawah sepasang mata wanita itu.
“Apa kini mimpi-mimpi buruk itu kembali, Lu?”
“Tidak.”
“Tapi kau tidak tidur?” Ia bisa melihat awal sebuah kebohongan, sebuah dalih, lalu
melihat Lu mengurungkannya dan memilih untuk jujur.
“Tidak banyak.”
Will tahu bahwa ia tidak bodoh jika menyangkut wanita; ia tahu bahwa Lu sedang
berpikir. Wanita itu juga tidak terlalu pandai bersembunyi seperti dirinya. Ia
menyadari bagaimana tatapan Lu melekat pada bibirnya, menangkap getar ketertarikan
saat ia berjalan melewati wanita itu. Ia menduga bahwa
185
joss ‘Wood
seperti dirinya, Lu berbaring terjaga di malam hari sambil mengingat-ingat rasa
dari kulit telanjang, kehangatan bibir dan panas dari kedua tangannya.
Pemikiran yang berbahaya.
Will mundur dan melompat berdiri sebelum menggapai dan menarik Lu berdiri. “Tinju
samsak itu selama dua puluh menit lagi dan kujamin kau akan tidur pulas nanti
malam.”
“Aku tidak ingin tidur.” Kata-kata tersebut meluncur keluar dari mulut Lu dan ia
tidak tahu dari mana mereka datang. Mungkin karena ia merasa begitu nyaman bersama
Will, begitu dekat. “Satu malam. Hanya itu. Paginya kita kembali menjadi teman, dan
bersikap seolah itu tidak pernah terjadi.”
Kedua mata Will melebar penuh keterkejutan. Ia tidak yakin apakah pendengarannya
benar. “Apa?”
“Kau—aku—tempat tidur. Besok pagi kita kembali ke normal. Bagaimana?”
Tatapan Will bergejolak. “Seharusnya aku menolak...”
Kedua mata Lu tampak berapi-api dan mengancam. “Aku bersumpah, kalau kau menolak
maka aku akan meninjumu dengan sangat keras hingga kau tidak bisa pulih lagi!”
Will buru-buru mengangkat kedua tangannya. “Peace\ Darahku hanya mengalir dengan
kacau. Aku tak mampu berpikir. Selain untuk berkata ... ya! Dan syukurlah.”
“Itu lebih baik,” sahut Lu, sambil berusaha melepaskan sarung tangan dengan
menggunakan gigi. “Lepaskan benda ini agar aku bisa menyentuhmu.”
186
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will berhenti persis di luar jangkauan tangan wanita itu. “Jangan sentuh aku, Lu.”
Lu terperangah. “Apa? Kenapa?”
“Kalau kau menyentuhku maka kita tidak akan keluar dari ruangan ini,” gumam Will,
lalu menyambar satu sarung tangan dan mulai menarik lepas tali-tali-nya. “Serius,
Lu, jangan sentuh. Jangan dulu.”
Gejolak mengaliri Lu. Ke sekujur tubuhnya.
Ia menggoyang-goyangkan kedua tangan dengan tidak sabar. “Cepatlah!”
Sementara Will menghentikan mobil dengan suara menderu di depan pintu gerbang
rumahnya, Lu merogoh-rogoh ke dalam tasnya, mencari gantungan kunci tempat remote
control untuk membuka gerbang elektriknya.
“Cepat,” bisik Will, dengan satu tangan pada paha Lu.
“Di mana sebenarnya benda terkutuk itu?” tukas Lu.
“Lu, kau benar-benar menyiksaku.” Will menyambar dan membalikkan tasnya hingga isi
di dalamnya berhamburan ke atas pangkuannya. “Kalian para wanita selalu saja
membawa-bawa banyak sekali ba-rang.”
Lu memukulkan satu tangan pada keningnya. “Kantung samping!” Setelah meraba-raba
tas itu, ia membuka kantung samping tas, mencabut kuncinya dan mengarahkan remote
ke arah gerbang. Segera
187
joss ‘Wood
setelah tersedia cukup ruang untuk melajukan Range Rover melalui celah yang
terbuka, Will menginjak pedal gas lalu menghentikan mobil dengan suara berdecit dan
parkir di sebuah ruang yang lowong di dalam garasi. Pintu garasi menutup secara
otomatis di belakang mereka dan Will mengerang saat berpaling pada Lu.
“Aku sungguh tidak tahu apakah aku sanggup berjalan ke dalam.”
Lu memutar tubuh, membuat isi tasnya berjatuhan ke lantai mobil, lalu menggenggam
rahang Will dan memagut mulut pria itu, lidahnya membuat gerakan menyentak kecil ke
dalam mulut Will. “Apakah akan membantu jika pindah aku ke situ dan naik ke atas
tubuhmu?” bisiknya di mulut pria itu.
Will mengerang. “Ya. Apa itu akan membantumu?”
“Sangat.”
Will mendorong mundur joknya sementara Lu bergeser menyeberangi konsol tengah dan
duduk di atas pangkuan pria itu.
“Aku bersyukur karena mobil ini berukuran besar.”
Will menekan sebuah tombol dan joknya merata.
“Aku juga.”
Will menangkap kedua tangannya yang sibuk berkeliaran dan ekspresi pria itu tampak
serius saat memandang padanya. “Lu ... hentikan. Tunggu ... sebentar saja.”
Kedua tangan Lu terdiam lalu mengepal penuh frustrasi. “Apa?”
188
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Aku sangat menginginkanmu, dan kalau kau menghentikan ini maka aku benar-benar
akan mati, tapi kau harus tahu ... harus mengerti. Aku akan segera pergi—kembali
pada kehidupanku di En Zed. Aku tidak bisa terlibat secara emosional. Cinta,
komitmen ... kita ... bukanlah bagian dari kesepakatan. Jadi ini akan menjadi....”
“Sesuatu yang singkat. Aku tahu! Aku yang mengatakan itu! Aku yang mengusulkannya,”
sahut Lu, sambil menjilati urat yang menjalar pada sisi leher Will. “Aku paham,
Will. Satu malam.... Besok pagi kita kembali ... seperti semula.”
“Satu malam. Kau masuk masuk ke dalam?”
“Aku tak sanggup menunggu selama itu,” gumam Lu, dan Will mengangguk setuju.
Satu tangan Will meluncur ke balik kaus longgar yang Lu kenakan di atas pakaian
olahraganya dan pria itu menarik semua pakaian itu melewati kepalanya, lalu
mencampakkan benda-benda tersebut ke jok penumpang. Lalu kedua ibu jari Will
meluncur pada puting dan kekacauan pun meletus.
Bibir mereka bertaut dan mereka memperebutkan dominasi atas ciuman itu. Will
mendorongkan jemarinya ke bagian belakang celana Lu dan mendorongnya ke atas
sementara pria itu mendaratkan mulut ke buah dadanya yang telanjang. Lu seakan lupa
dengan sekelilingnya saat ia menekankan tubuhnya ke atas ereksi Will yang sekeras
baja, tidak sabar ingin segera merasakan pria itu di dalam tubuhnya, ingin
melingkupi kejantanan Will.
189
joss ‘Wood
Will mengangkat kepada dari dada Lu dan menyentakkan kausnya melewati kepala.
Dengan bantuan Lu, Will menurunkan celana pendeknya. Lu, yang memutuskan bahwa
mereka terlalu lama, me-nyeimbangkan tubuh pada satu kaki dan melucuti celana
pendek dan celana dalamnya. Nyaris tanpa memberi Will waktu untuk memasang kondom,
Lu kembali duduk di atas pangkuan pria itu, menggenggam kejantanan Will dan
membimbing pria itu memasuki tubuhnya. Sambil mengerang saat Will meregangkan dan
mengisinya, ia membenamkan wajahnya ke leher Will dan menarik napas dalam-dalam,
ingin menggunakan setiap indranya untuk merasakan esensi dari mencintai pria itu.
Ia dapat merasakan ketegangan tertahan dalam tangan Will saat pria itu mencengkeram
pahanya, desakan gairah dalam lidah Will saat pria itu mencari dan menemukan
mulutnya. Ia merasakan Will bergetar dalam tubuhnya. Kebutuhan akan pria itu
membuatnya menekankan tubuh ke bawah dan mengepalkan otot-otot internalnya.
Ia tak mampu melambat... tidak ingin ... lagipula mereka punya waktu semalaman.
Mereka bisa saling mengeksplorasi satu sama lain nanti....
Will mulai mendorong di bawahnya dan ia mencengkeram bahu pria itu agar tidak
terjatuh. Will menggigit bibir, mengangkat pinggulnya dan meluncur lebih jauh ke
dalam tubuh Lu. Ia mendorong ke bawah, bertekad untuk membuat pria itu lepas
kendali.
190
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lebih keras, lebih tinggi, lebih dalam, lebih cepat. Dunia di sekeliling mereka
menyusut dan satu-satunya masalah penting adalah siapa yang akan orgasme lebih
dulu. Lu merintih dan Will berteriak saat dunia mereka meledak. Tidak ada satu pun
dari mereka yang tahu kapan yang satu mulai atau kapan yang satunya lagi berakhir,
tapi keduanya menyatakan diri sebagai pemenang dengan membuat yang lain kehilangan
kendali terlebih dulu, dengan memberi kekasih satu malam mereka kenikmatan dan
kepuasan sebanyak yang mereka bisa dalam sebuah mobil berukuran besar tapi masih
tetap sempit di dalam sebuah garasi yang gelap pada penghujung hari di musim panas.
Keesokan paginya Lu merasakan Will meninggalkan ranjangnya dan membuka satu mata
untuk melihat pria itu berjalan, dalam ketelanjangan yang indah, ke kamar mandi en-
suite-ny^, sambil memunguti pakaian yang dikenakannya kemarin. Ia melirik pada jam
di samping tempat tidurnya dan melihat waktu menunjukkan jam lima kurang
seperempat. Ia tahu bahwa Will punya jadwal berlari di pantai bersama tim pria itu
jam enam nanti.
Sekarang sudah pagi dan satu malamnya yang luar biasa menakjubkan bersama Will
telah berakhir. Lu membenamkan kepala ke dalam bantalnya saat mendengar pancuran
dinyalakan dan berusaha untuk tidak membayangkan tubuh indah pria itu licin dengan
sabun. Ia pernah berhubungan seks sebelumnya—tidak
191
joss ‘Wood
sering—tapi tidak ada yang mampu membuatnya siap untuk satu malam yang dihabiskan
bersama Will. Pria itu bercinta dengannya berulang kali dan setiap kalinya pula
Will mengajarinya sesuatu yang baru tentang tubuhnya. Ia baru tahu bahwa ada sebuah
titik pada pergelangan kakinya di mana saat pria itu memagut-nya percikan-percikan
panas menjalar naik pada kedua tungkainya. Atau bahwa bagian belakang kedua
lututnya sangat sensitif dan bahwa ia merasa tak berdaya saat Will membenamkan
jemari kuat pria itu ke dalam otot-otot bokongnya. Will adalah kekasih yang lembut
tapi menuntut, dan ia yakin bahwa saat berdiri nanti ia akan mendapati rasa nyeri
di tempat-tempat yang selama ini ia pikir tidak memiliki otot.
Usulnya untuk satu malam telah baru saja menggelegak keluar dari tubuhnya, pikir
Lu. Mungkin karena ia telah merasa begitu dekat secara emosional dengan Will. Untuk
pertama kalinya ia bukan hanya membicarakan tentang kematian kedua orangtuanya tapi
juga reaksinya terhadap berita itu—bagaimana ia mengatasinya, bagaimana
perasaannya. Bukan bagaimana perasaan Nate dan Daniel. Semua hanya tentang dirinya—
Lu. Will menunjukkan kepedulian, simpati, dan empati. Seandainya ia bisa merayap
memasuki tubuh Will dan meringkuk di dalam tubuh pria itu maka ia akan merasa luar
biasa aman.
Dan boom\ Ia sudah menduga bahwa ia tidak ingin menjalani satu hari lagi tanpa
mengetahui seperti apa rasa kulit Will, bagaimana rasa otot-otot yang panjang itu
dalam dan apakah bercinta dengan pria itu memang akan semenakjubkan yang ia
bayangkan.
192
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Memang benar-benar menakjubkan. Dan jauh melebihi itu.
Lu mendengar pancuran dimatikan dan berbalik membelakangi pintu kamar mandi. Ia
mengingatkan dirinya sendiri bahwa hari sudah pagi, bahwa ia tidak mungkin meminta
Will untuk kembali ke tempat tidur. Bukan begitu kesepakatannya. Lu menggigit bibir
bawahnya saat pintu kamar mandi membuka dan beberapa menit kemudian ia merasakan
berat tubuh Will di atas ranjang dan satu tangan pria itu pada bahunya.
Lu telah melingkarkan selimut pada kedua lengannya, jadi ia tahu bahwa tubuhnya
tidak dalam keadaan terbuka saat ia menggulingkan tubuh dan memandang pada Will,
wajah pria itu tampak serius dalam cahaya fajar. Ia bisa melihat bahwa Will sedang
mencari kata-kata untuk diucapkan, bahwa pria itu—seperti dirinya—berusaha keras
untuk melawan godaan. Ia bisa melihat itu dalam tatapan Will yang membara, dalam
ketegangan di rahang pria itu.
Lu memaksakan diri untuk menggelengkan kepalanya. “Kita tidak boleh, Will. Hanya
inilah yang bisa kita dapatkan.”
Will membungkuk dan merebahkan kening pada bahunya. Lu mencium aroma sabun dan
pasta gigi.
“Aku—”
Lu memberikan satu belaian singkat pada rambut pria itu sebelum menurunkan
tangannya. Ia berkata dengan bersusah payah. “Satu malam, Will. Begitulah
perjanjiannya. Kau akan pulang sekitar enam minggu lagi. Aku tetap di sini. Kita
adalah teman baik. Sebaiknya jangan kita rusak hubungan itu. Membuatnya rumit.”
193
joss ‘Wood
Will mengecup bahunya sebelum menegakkan tubuh. Pria itu menggenggam pipinya dengan
satu tangan dan menggelengkan kepala. “Terima kasih untuk malam terbaik dalam
hidupku. Kau luar biasa.”
“Kau juga lumayan,” sahut Lu, lalu ia memejamkan kedua matanya dan memaksakan diri
untuk bersikap realistis. “Ada satu set kunci cadangan dengan sebuah remote untuk
pintu gerbang di atas rak gantungan sebelah kulkas. Kau bisa keluar sendiri dan aku
akan mengambil kembali kuncinya darimu nanti ... di tempat kerja.”
Will berdiri, dan meletakkan kedua tangan ke pinggul. Pria itu tersenyum kecil.
“Well, sungguh tanpa basa-basi.”
Harus, atau ia akan menangis. Atau memohon agar Will jangan pergi.
“Sebelum aku pergi ... tidak ada penyesalan?”
Lu menggelengkan kepalanya. “Tidak sama sekali.”
“Apa kita sudah kembali ke normal?”
“Ya,” sahut Lu dan mengamati saat pria itu melayangkan sebentuk senyuman sekilas
padanya sebelum meninggalkan ruangan. Ia kembali menjatuhkan diri ke atas bantal
dan menatapi langit-langit.
Mereka sudah kembali ke normal. Apa pun yang dimaksud dengan normal.
194
Sembilan
Will melirik ke kursi penumpang di sampingnya. Lu meringkuk dengan kepala terselip
di ruang antara jok dengan pintu mobil. Wanita itu tertidur pulas. Ia melirik pada
lampu berwarna merah pada jam das-bor. Tidak peduli sekarang baru jam sebelas di
suatu Minggu pagi; kini ia tahu bahwa Lu hanya sanggup tetap membuka mata selama
sekitar tiga puluh menit sebelum jatuh tertidur.
Hanya dalam waktu sebulan, selain kecenderungan Lu untuk tertidur di dalam mobil,
Will telah mengetahui banyak hal tentang wanita itu—termasuk fakta bahwa Lu benci
selai kacang, sangat menyukai tontonan apa pun di TV tentang dekorasi, dan bahwa
saat sedang sangat asyik membaca sebuah buku maka sekalipun sebuah bom nuklir
meledak di sampingnya wanita itu akan tetap bergeming.
Lu selalu menepati janji dan wanita itu memegang teguh janji yang dia buat pada
adik-adiknya. Kini Lu—berkat Will—sudah lumayan bisa berselancar, dan Will telah
mengajari wanita itu mengendarai motor trail. Tentu saja Lu nyaris menabrak
sebatang
joss ‘Wood
pohon pada percobaan pertama, tapi wanita itu telah berusaha.
Sekalipun Will telah memohon dengan sangat— dan ia sangat sering memohon—Lu tetap
menolak untuk terjun payung, dan mereka telah bersumpah untuk tidak kembali ke
kursus pottery.
Ia masih menginginkan wanita itu melebihi sebelumnya. Ia menginginkan Lu di
ranjangnya, dalam hidupnya, dalam pikirannya. Mungkin juga dalam hatinya. Oh, ia
tahu bahwa itu mustahil, tapi terkadang ia mengesampingkan ketakutan serta
kebulatan tekadnya dan memikirkan tentang betapa akan menyenangkannya jika mereka
bersama, membayangkan sebuah kehidupan dengan wanita tersebut. Itu adalah dongeng
khayalannya sendiri—dongeng yang ia tahu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Ia menyukai Lu—sangat—namun ia tidak memiliki keterikatan secara emosional dengan
wanita itu. Ia tetap bisa pergi begitu saja.
Lu menguap dan meregangkan tubuh serta melayangkan sebuah tatapan mengantuk ke
arahnya. “Sudah berapa lama aku tertidur?”
“Satu jam lima belas menit,” jawab Will.
Wanita itu menegakkan duduk dan memandang keluar jendela. “Di mana kita sekarang?
Astaga, kupikir kita akan makan siang, bukan melakukan perjalanan melintasi separuh
Afrika.”
“Ada apa dengan kalian orang-orang Durban? Kau menganggap bahwa perjalanan selama
lima menit sudah terlalu jauh dan kau tidur hampir sepanjang jalan.
196
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lagipula, kau akan berterima kasih padaku,” sahut Will, sambil berpindah jalur agar
ia bisa mengambil pintu keluar yang berikutnya.
Lu menarik tas ke atas pangkuan dan mengeluarkan sebuah tas kecil berisi
perlengkapan mandi dan rias yang segera wanita itu buka. Setelah mengoleskan
sedikit lipstik berwarna netral ke bibir yang menakjubkan itu, Lu mendecakkan bibir
dan Will mengerang. Ia berharap wanita itu tidak melakukan hal-hal seperti barusan.
Menyadari bahwa ia mungkin hanya punya sedikit waktu bersama Lu, ia ingin wanita
itu berada di sisinya sesering mungkin. Seharusnya ia memperingatkan Lu bahwa
mungkin ia akan pergi lebih cepat dari rencana, namun ia tidak tahu harus berkata
apa. Ia juga sedang mempertimbangkan dengan serius tawaran Kelby untuk kontrak enam
bulan lagi lalu posisi sebagai pelatih utama. Namun demikian, ia harus melakukan
pertemuan langsung dengan tim-tim lainnya, untuk mendengarkan tawaran mereka, yang
berarti ia harus segera melakukan perjalanan pulang.
Dan jika dirinya tetap di Durban apa yang akan ia lakukan menyangkut Lu? Akankah ia
ingin melanjutkan ini dengan mengetahui bahwa ia mulai terjatuh semakin jauh ke
dalam ... sesuatu ... dengan setiap minggu yang ia lalui bersama wanita itu?
Mungkin lebih baik tidak mengatakan apa-apa tentang rencananya hingga ia tahu pasti
apa yang akan ia lakukan dan ke mana arah yang ditujunya.
Lu memandangnya dengan kening sedikit berkerut. “Apakah kau baik-baik saja?”
197
joss ‘Wood
“Tentu saja ... hanya terangsang.”
Will nyaris tergelak melihat ekspresi terkejut di wajah wanita itu, namun ia merasa
seolah ada seekor ular boa yang melilit pada pinggulnya. Ia sudah sangat bosan
berada di dekat Lu dan tidak bisa menyentuh wanita itu.
“Ap...?”
“Hanya karena kita tidak saling menyentuh atau berciuman bukan berarti aku tidak
menginginkanmu. Dan saat kau membusungkan dada seperti yang kau lakukan tadi dan
bermain-main dengan bibirmu membuatku bernafsu.” Will mengangkat bahu dan melihat
pada GPSnya, bersyukur karena ada hal lain yang dapat mengalihkan fokusnya selain
celana pendeknya yang menegang. “Sebentar lagi kita akan berbelok ke sebuah jalan
tanah di sebelah kanan. Buka matamu dan perhatikan.”
“Ah ... OK.”
Will tersenyum sendiri. Lu terlihat tersipu serta gelisah dan sama sekali tidak
setenang lima menit yang lalu. Bagus. Akhirnya ada orang lain di dalam mobil ini
yang merasa gerah serta kebingungan dan juga resah. Selamat datang di duniaku.
Mermaid.
Will menikmati kesenangan ini, dan ia berpikir untuk membuat wanita itu menjadi
sedikit lebih gelisah lagi.
“Tentu saja apa pun yang kau lakukan selalu membuatku terangsang,” ujarnya saat
meninggalkan jalan beraspal dan berbelok ke jalanan tanah.
“Kau masih ingin tidur denganku?” tanya Lu dengan suara tercekat.
198
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Tidur? Astaga, tentu saja tidak, aku tidak ingin tidur denganmu. Menciumi sekujur
tubuhmu, menyentuh sekujur tubuhmu, memasuki tubuhmu ... ya.” Will berbelok
memasuki sebuah area parkir darurat di bawah naungan beberapa pohon tropis dan
mematikan mesin mobil. Ia mengangkat tangannya dari tongkat persneling untuk
menutup mulut Lu yang membuka dengan gerakan lembut.
“Tapi kupikir kita...”
“Aku setuju dengan satu malam—bukan berhenti menginginkanmu, Lu. Apa kau pikir aku
berubah menjadi seorang kasim setelah mendengar hanya satu malam- Will memutar
kedua matanya. “Jangan kaget begitu.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa,” ujar Lu sementara Will melompat turun ke tanah
yang berpasir dan ditumbuhi rumput di sana-sini.
Lu duduk terdiam seperti patung di kursi penumpang sementara Will berjalan memutari
mobil untuk membukakan pintu untuk wanita itu. Ia telah membuat Lu kebingungan. Ia
bisa melihat itu. Wanita itu turun dari kabin yang tinggi dengan ekspresi linglung,
dan setan penggoda di dalam diri Will mendesaknya untuk membuat Lu semakin kalut.
Tidak ada apa-apa selain semak belukar yang lebat di sisi penumpang, dan tubuh
bongsor Range Rover akan melindungi mereka dari mobil-mobil yang datang atau siapa
pun yang berjalan kembali ke mobil mereka masing-masing.
Will menyambar satu tangan Lu, dan menyentakkan wanita itu ke arahnya. Lu membuka
mulut untuk
199
joss ‘Wood
memprotes dan ia melesat masuk, lidahnya menemukan lidah wanita itu dalam sebuah
gerakan meluncur yang panjang, lambat, basah, dan menggairahkan. Ia merasakan Lu
bergumam di mulutnya, sebuah suara feminin yang mengisyaratkan penerimaan, dan ia
mengimpit punggung wanita itu di pintu mobil.
“Tahukah kau betapa aku menginginkanmu?”
Will meraih tangan Lu, membuka jemari wanita itu dan meletakkan telapak tangan Lu
yang terbuka pada ereksinya, sambil kembali membenamkan lidah ke dalam mulut wanita
itu. Saat ibu jari Lu menyapu pada ujung kejantanannya ia meluncurkan satu tangan
ke bawah pinggul wanita itu dan naik ke balik sundress pendek, berlipat-lipat dan
seksi yang Lu kenakan. Tangannya mengusap bokong telanjang Lu dan menelusuri garis
thong yang wanita itu pakai. Ia membelai Lu dengan mesra sebelum kembali meletakkan
kedua tangan di bawah bokong wanita itu, lalu mengangkat tubuh Lu dan menggesekkan
tubuhnya pada tubuh wanita itu dengan intim, dengan posesif.
Lu memekik tertahan yang sebagian merupakan keterkejutan dan sebagian besarnya
adalah hasrat saat ia mendesakkan tubuhnya pada tubuh wanita itu, dengan hanya
beberapa lapis kain yang memisahkannya dari penyempurnaan total.
“Astaga...” gumam Will pada leher Lu, merasakan lekukan pada tulang leher wanita
itu. “Aku bisa me-nyetubuhimu sekarang juga.”
Lu memagut bibir bawahnya lalu menghapuskan rasa sakit akibat gigitan itu dengan
menjilatinya. “Dan aku akan membiarkanmu melakukannya.”
200
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will menyandarkan keningnya pada kening wanita itu. “Kau membuatku gila, Lu. Kita
harus melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini, Mermaid, sebelum aku meledak
akibat frustrasi seksual. Kita sudah cukup dewasa untuk merasakan ini—melakukan ini
—tanpa menanggung konsekuensi yang buruk.”
Dalam benaknya, spontanitas mulai mengalahkan kendali dan Will tidak terlalu ambil
pusing.
“Kita berdua sama-sama tahu hubungan apa ini— hubungan seksual jangka pendek dan
penuh kesenangan. Mari kita ambil risiko ini!”
“Astaga, Will. Apa yang terjadi dengan seks dan pergi berlalu, dan sebagainya, dan
sebagainya?”
Will mengangkat bahu dan memandangi Lu dengan tatapan membara. “Ayolah, Lu,
bersenang-senanglah sedikit.”
Sepasang mata mermaid Lu melebar penuh keterkejutan. “Sekarang?'
Will meringis sambil menurunkan tubuh wanita itu. “Tidak, bukan sekarang. Aku lebih
suka melakukannya tanpa ada penonton yang menyaksikan.”
“Apa?' Lu menjerit sambil buru-buru memandang berkeliling penuh keterkejutan untuk
melihat siapa yang sedang melihat mereka.
Will tergelak keras dan membuat gerakan isyarat ke sebelah kirinya dengan satu ibu
jari. Serombongan kecil monyet duduk di sebidang tanah terbuka yang ditumbuhi
rerumputan, dengan kepala dimiringkan dan sepertinya tertarik dengan tingkah konyol
mereka.
201
joss ‘Wood
Lu mendesah keras penuh kelegaan dan meletakkan satu tangan ke dada. “Brengsek kau,
Will! Aku nyaris serangan jantung!”
Will meringis dan menyandarkan bahu pada pintu mobil sambil mengamati monyet-monyet
itu melesat kembali ke dalam semak belukar.
Di dalam kamar mandi wanita—yang menurut Lu menempati lokasi yang sangat strategis
di pintu masuk dari tempat apa pun ini—Lu memercikkan air ke wajahnya untuk
mengurangi rona merah padam di kedua pipinya.
Dalam cermin di atas wastafel, kedua matanya yang lebar dan liar balas memandangnya
dengan tatapan menyala-nyala, dan ia rasa siapa pun yang memiliki kecerdasan
sedikit saja akan menyadari bahwa jika ia tidak segera membawa Will ke tempat tidur
lagi maka ia akan langsung terbakar habis.
Ia tidak pernah merasakan gejolak dan hasrat sedahsyat ini sebelumnya. Setiap kali
ia dan Will bersentuhan mereka berubah dari teman baik menjadi binal dalam sekejap.
Ia menginginkan pria itu, dan Will sangat jelas menginginkan dirinya, dan pria itu
benar. Mereka harus segera melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini.
Mereka membohongi diri mereka sendiri jika berpikir bahwa mereka akan sanggup
meneruskan lelucon tentang persahabatan ini. Mereka telah berusaha keras, tapi
hasrat untuk telanjang ini terlalu dahsyat untuk
202
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
mereka berdua. Lupakan tentang satu malam—ia akan memanfaatkan seluruh malam yang
bisa ia dapatkan, dan tidak banyak lagi malam yang tersisa.
Namun ia harus berusaha dan bersikap rasional juga—memikirkan dengan sungguh-
sungguh tentang bagaimana ia bisa menjadi kekasih Will dan mengucapkan selamat
tinggal pada pria itu dalam waktu yang tidak lama lagi. Will bisa mendapatkan
tubuhnya, melakukan apa pun yang pria itu inginkan dengan tubuhnya, namun ia harus
menemukan cara untuk memastikan bahwa saat Will meninggalkan dirinya, pria itu
tidak membawa serta hati dan jiwanya.
Siapa yang tahu bagaimana cara ia mewujudkan hal itu? Namun ia telah bertahan
melalui kematian kedua orangtuanya, membesarkan adik-adiknya, dan tentu saja ia
juga akan melakukan ini. Karena—ia mulai menyadari—kemandirian bukan hanya tentang
memiliki karier dan belajar hidup sendiri. Tapi juga tentang mengambil keputusan,
bertahan pada kepu-tusan itu dan menghadapi konsekuensi dari pilihan yang
diambilnya.
Itu adalah kemandirian berpikir, pembebasan jiwanya, sebuah pilihan yang murni
menjadi haknya. Dan ia memilih Will, selama ia bisa memiliki pria itu.
Ia tidak tahu akan seperti apa konsekuensi dari pilihan ini, namun ia akan
menanggung konsekuensi yang hidup ini sodorkan padanya dan ia akan baik-baik saja.
Karena, paling tidak, ia adalah seorang pejuang.
203
joss ‘Wood
Lu menghabiskan setengah gelas wine dingin, membalas tatapan Will dan tersipu lagi.
Ia meletakkan satu telapak tangan pada keningnya dan memejamkan kedua mata untuk
melindunginya dari tatapan sepasang mata berwarna kuning gelap yang berbinar nakal
dan penuh kegelian. “Kau pria jahat, Will Scott.”
Will mencondongkan tubuh ke depan dan memelankan suaranya. “Pria yang sangat
jahat.”
Lu tersipu lagi dan mengerang. “Bisakah kau berhenti sekarang? Kumohon? Aku merasa
sangat malu!”
Will hanya meringis dan menyesap birnya.
Lu mengangkat gelasnya lagi, kembali menyesap minuman yang menyegarkan itu dan
memandang berkeliling. Ia merasakan pasir pantai di bawah sandalnya, membebaskan
kedua kakinya dari benda itu dan membenamkan jemari kakinya ke dalam pasir. Ada
sekitar sepuluh meja reyot yang ditempatkan di bukit berpasir itu, sebuah bar yang
berpenampilan sederhana, dan banyak orang yang duduk di meja ataupun bersantai di
bar. Beberapa orang duduk di keranjang-keranjang berukuran raksasa yang menggantung
dari sebatang pohon ara yang sangat besar, yang lainnya duduk di atas selimut
pantai. Semua orang bertelanjang kaki, sebagian wanita memakai bikini, dan banyak
pria yang bertelanjang dada.
“OK, jadi di mana kita sekarang?”
Will menyesap bir langsung dari sebuah botol yang dingin. “ The Beach Shack.
Makanan segar, baru ditangkap tadi pagi....”
204
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu meringis lebar. “Sudah lama aku ingin ke sini. Ini hebat sekali! Memang terlihat
seperti sebuah gubuk.”
“Tapi tempat ini memiliki hidangan laut paling enak dari tempat mana pun, atau
begitulah yang kudengar,” ujar Will sambil mencondongkan tubuh di kursi dengan
begitu jauh ke belakang hingga kaki depan kursi terangkat dari pasir. “Kelby yang
memberitahuku tentang tempat ini.”
“Mengingatkanku tentang beberapa tempat yang dulu biasa kedua orangtuaku kunjungi
sambil mengajak kami saat aku masih kecil. Acara makan siang pada hari Minggu
adalah sesuatu yang selalu kami lakukan ... hotel-hotel mewah, restoran-restoran
bobrok, kedai-kedai makan, berbagai pub. Kami mengunjungi semuanya. Orangtuaku
selalu tahu tempat yang menyediakan makanan paling enak.” Kedua mata Lu berubah
muram dan suaranya melemah. Ia kembali pada kenangan-kenangan buruk dan kepedihan-
kepedihan yang menyakitkan. Ia menyingkirkan semua itu. “Kami menikmati makan siang
terakhir bersama mereka sekitar tiga minggu sebelum mereka meninggal. Makan siang
yang sangat mahal. Aku ingat ibuku mencoba membayar dengan kartu kreditnya dan
terjadi masalah. Dad menggunakan tiga kartu sebelum tagihannya diterima. Seharusnya
itu menjadi pentunjuk yang jelas.”
Kursi Will membentur pasir. Pria itu mencondongkan tubuh ke depan dengan tatapan
simpatik saat
205
joss ‘Wood
memandang Lu. “Bahwa mereka sedang kesulitan? Secara keuangan?”
“Kesulitan? Tidak. Pada dasarnya mereka bangkrut.” Lu menghabiskan isi gelasnya dan
mencoba mengalihkan pembicaraan. Will tidak perlu tahu soal ini. Ia tidak boleh
menceritakannya. Seks adalah masalah yang berbeda, tapi memberi tahu pria itu
tentang masa lalunya yang sangat emosional adalah benar-benar bodoh—terutama karena
ia sedang berusaha untuk menjaga jarak emosional. “Laut berada persis di balik
bukit pasir ini, bukan?”
“Di ujung jalan setapak itu.” Will menganggukkan kepala ke arah sebuah lintasan
sempit yang berkelok-kelok pada bukit pasir dan meraih tangannya. Pria itu
mengusapkan satu ibu jari pada pergelangan tangannya. “Bicaralah padaku, Lu.”
“Bisakah kita berjalan-jalan? Apakah mereka akan menjaga meja kita?” tanya Lu
sambil berdiri. Will ikut bangkit dan mengangguk. “Aku yakin begitu. Ayo kita
pergi.”
Will memegang tangannya dan membimbingnya menyusuri bukit pasir, tidak mendesaknya
untuk bicara—sikap yang Lu hargai. Air laut menghantam bibir pantai dan melanda
kaki mereka. Will hanya menggenggam tangannya dengan tangan besar pria itu.
“Setelah mereka meninggal aku tidak pernah merisaukan masalah keuangan,” ujar Lu
pada akhirnya, sambil mendongakkan wajahnya ke arah matahari yang bersinar terik.
206
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Polis-polis asuransi dibayarkan dengan sangat cepat dan ada begitu banyak uang;
polis-polis itu berjumlah sangat besar. Ironisnya jika kedua orangtuaku masih hidup
mereka tidak akan mampu membayar premi bulan berikutnya ”
Lu berhenti, membungkuk untuk memungut sebentuk kulit kerang cowry dan tanpa sadar
menyerahkannya kepada Will, meletakkan benda itu di telapak tangan Will yang bebas.
Ia tidak melihat ketika pria itu memasukkan kulit kerang tersebut ke dalam saku
celana kargo yang dipakai.
“Aku menyewa seorang penasihat keuangan dan dia memutarkan uang itu—memasukkannya
ke dalam dana-dana simpanan dan rekening-rekening yang berbunga tinggi. Fokusku
adalah adik-adikku, jadi aku sangat bersyukur atas pertolongannya. Sampai
sekarang.”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka bangkrut?” tanya Will.
“Sekitar enam bulan setelah mereka meninggal akhirnya aku mendapatkan jeda waktu
dan kekuatan yang cukup untuk membersihkan lemari-lemari mereka, ruang kerja,
memilah-milah barang-barang pribadi mereka.”
“Aku terus saja lupa kalau kau masih remaja saat melakukan semua ini,” ujar Will,
dan Lu mendengar kepiluan dalam suara pria itu ... karena rasa iba padawj/^.
“Aku menemukan kotak-kotak berisi tagihan-tagihan yang belum dibayar dan yang belum
dibuka. Banyak sekali kotak berisi dokumen-dokumen
207
joss ‘Wood
yang seharusnya mereka perhatikan. Aku membuka semuanya dan merasa ... hancur lagi.
Dan amat sangat bersalah.”
Will meremas tangannya dan kepedihan serta rasa bersalahnya sedikit menyurut.
“Kenapa kau merasa bersalah, Lu?”
“Karena kedua orangtuaku meninggal agar kami dapat menikmati kehidupan yang sangat
nyaman ini.” Lu menunduk menatapi kedua kaki telanjangnya. “Jika mereka masih hidup
maka kehidupan kami akan sangat berbeda. Tidak ada sekolah maupun universitas mahal
untuk anak-anak. Sekarang ada cukup uang untuk memulai sebuah bisnis atau membeli
sebuah rumah nantinya.”
“Apa mereka mewariskan uang itu pada adik-adik-mu?
“Tidak. Uang itu telah dibagi rata.”
“Lalu kenapa kau bicara seolah ini adalah warisan milik si kembar dan bukan
milikmu?”
Pertanyaan yang bagus. Ia memang bersikap seperti itu—berpikir seperti itu.
“Entahlah, mungkin karena aku sudah dewasa—secara hukum, paling tidak, dan karena
itu aku pernah menikmati kesenangan hidup bersama kedua orangtuaku, sedangkan si
kembar tidak.”
“Kau jugalah yang telah menangguhkan kehidupanmu untuk mengurus mereka. Kau sama
berhaknya atas bagian dari uang itu seperti halnya mereka.”
“Mereka telah kehilangan kedua orangtua mereka, Will,” protesnya.
208
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Sweetheart, begitu juga kau.” Will meletakkan kedua tangan pada bahunya dan
meremasnya. “Mereka hanya harus menghadapi kedukaan mereka. Kau harus menghadapi
yang jauh lebih banyak dari itu.”
“Orangtuaku pasti sangat ketakutan—kalut dan tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan. Bagaimana mereka akan menghidupi si kembar. Di mana mereka akan tinggal.
Dan lebih takut lagi pada kemungkinan kehilangan citra dan gaya hidup serta teman-
teman mereka.” Lu membenamkan jemari kakinya ke dalam pasir yang basah dan
mengerjapkan mata kuat-kuat. “Tempat tinggal, makan, mobil, bensin ... semua
pengeluaranku yang jumlahnya besar dibayar dari dana perwalian, tapi aku merasa
tidak seharusnya memakai uang itu untuk diriku sendiri, untuk hal-hal yang
kuinginkan.”
“Kenapa tidak?”
Lu menautkan kedua tangan di belakang kepalanya dan memandangi Will dengan kedua
mata melebar serta ketakutan.
Will menyentuh pipinya dengan ujung jemari. “Lu, kau tidak boleh menghukum dirimu
sendiri untuk sesuatu yang mereka lakukan atau tidak lakukan. Merekalah yang
memilih untuk tidak menjaga keuangan mereka, bukan kau,” ujar Will dengan tegas.
“Sedangkan tentang menggunakan uang itu—coba kita tinjau situasinya dari sisi lain,
Lu. Kalau hanya satu dari orangtuamu yang meninggal maka yang satunya lagi pasti
harus mempekerjakan seorang au pair
209
joss ‘Wood
untuk membantu mengurus si kembar. Bukan begitu?”
“Ya.”
“Dan au pair itu pasti dibayar, bukan?”
“Ya.”
“Ini merupakan sebuah analogi sederhana, dan sama sekali tidak mendekati apa yang
telah kau lakukan untuk anak-anak, tapi maksudku tetap sama. Gunakan uang itu, Lu.
Tanpa perlu merasa bersalah.” Will melingkarkan satu lengan pada bahunya dan
menariknya ke sisi pria itu. Will mendaratkan sebuah kecupan pada pelipisnya.
“Kalau kau memakai uang bagianmu sekarang, akankah itu mengubah fakta bahwa mereka
bangkrut?”
“Tidak.”
“Apakah itu akan membawa mereka kembali?”
“Tidak.” Lu melingkarkan satu tangan pada punggung lebar Will dan berpegang erat.
Will menunduk memandanginya dan menyentuh dagunya dengan ujung jemari. “Kalau
begitu gunakan uang tersebut, sweetheart? Pria itu melepas topi yang dipakai dan
memasang benda tersebut di kepala Lu. “Kurasa sudah waktunya menghindarkan wajah
cantikmu itu dari sinar matahari. Saat ini aku bisa melihat bintik-bintik yang
mulai terbentuk.”
Lu menjerit tertahan, dan menutup hidungnya dengan satu tangan.
Will tertawa. “Aku bercanda, Mermaid. Kapan kau akan mengerti kalau aku suka
bintik-bintik di wajahmu itu?”
210
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will menutup dan mengunci pintu depan setelah ia masuk, dan Lu menjatuhkan tasnya
ke lantai ruang depan serta menanggalkan sandalnya. Acara makan siang mereka di The
Beach Shack telah berlanjut hingga sore dan senja hari. Seperti banyak pengunjung
lainnya mereka kembali ke pantai dan melihat matahari terbenam di atas Samudra
Hindia, dan hari telah benar-benar gelap saat akhirnya mereka menempuh perjalanan
panjang untuk kembali ke rumah.
Lu ketiduran dalam perjalanan pulang. Lagi.
Lu berjalan memasuki dapur, membuka pintu kulkas dan mengeluarkan dua botol air
minum. Ia melemparkan sebotol pada Will, yang menangkapnya dengan satu tangan. Pria
membuka penutup botol dan memandanginya dengan tatapan misterius sambil
menghabiskan setengah isi botol dalam sebuah tegukan panjang. Seharian itu telah
menjadi sebuah sesi pemanasan yang panjang, diawali dengan interaksi yang
menggairahkan sambil bersandar pada pintu mobil. Meskipun Will telah berhati-hati
untuk tidak menyentuhnya sepanjang hari—sebagian besar pengunjung restoran tahu
persis siapa Will, dan beberapa kamera ponsel telah mengambil foto pria itu—ia
melihat gejolak dalam tatapan Will dan kata-kata bisikan pria itu yang telah
membuat darahnya menggelegak.
“Aku sangat menyukai urat-urat pada bagian dalam pergelangan tanganmu. Dapatkah kau
merasakan bibirku mengecupnya?”
“Aku sedang membayangkanmu di tempat tidurku, dengan tungkai jenjang dan sebuah
senyuman seksi. ”
211
joss ‘Wood
Lu menelusurkan botol yang dingin pada lehernya dan melihat tatapan Will menyala-
nyala.
Sebentuk otot menyentak di rahang Will saat pria itu memasang kembali penutup
botol. “Gerah, Lu?”
“Ini musim panas di Durban,” sahut Lu, dan tidak percaya mendengar suaranya begitu
parau, begitu seksi. Dengan semakin berani, ia menggulirkan botol tadi ke dadanya,
membiarkan benda itu meluncur pada kedua putingnya.
“Kalau kau segerah itu, aku punya ide.”
Will menyambar satu tangannya, menariknya ke arah pintu beranda dan cepat-cepat
membukanya. Pria itu membawanya memasuki udara malam yang masih panas, dan
membimbingnya menuruni tangga beranda menuju kolam renang yang gelap. Will
mengangkat kedua tangan dan memegangi lehernya yang ramping.
“Bercumbu denganmu di dalam kolam renang sudah lama menjadi fantasiku.”
“Bercumbu? Hanya itukah yang akan kita lakukan?” tanya Lu saat pria itu menggunakan
kedua ibu jari yang berada pada rahangnya untuk mendongakkan kepalanya.
“Kuharap tidak,” erang Will, persis sebelum mulut pria itu mendarat pada mulutnya.
Lu mengharapkan ciuman yang panas dan liar, tapi sebaliknya ia mendapatkan sebuah
eksplorasi yang lamban dan menggairahkan—tenang dan menggoda pada setiap inci
mulutnya: sebuah jilatan di sini, sebuah pagutan di sana. Kedua tangan Will
meluncur
212
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
turun ke punggungnya, dengan cekatan melepaskan retsleting kecil yang menahan
sundressny^. Gaun itu terjatuh membentuk sebuah tumpukan bergelombang di kakinya
dan ia berdiri di bawah sinar bulan dalam balutan bra tanpa tali dan thong
berukuran mungil, tubuhnya milik pria itu.
Kedua tangan besar Will menelusurkan sebuah jejak menuruni tulang punggungnya, pada
bokong telanjangnya, pada bagian atas kedua pahanya. Tangan pria itu menelusuri
tulang rusuknya dan meluncur dari bahu ke jemarinya, membuat ujung-ujung sarafnya
bergetar.
“Indah sekali,” gumam Will.
Saat ini, ia benar-benar memercayai pria itu. Lu mendorong kedua tangannya ke atas
dan ke balik T-shirt Will, mendesak pria itu untuk menanggalkan pakaian. Will
mengangkat kedua tangan, meraih bagian punggung kaus dari belakang leher dan
menyentakkan T-shirt tersebut hingga terlepas dengan cara yang sangat maskulin. Lu
mengerang saat merasakan otot-otot yang panjang tersebut bergetar penuh ketegangan
di bawah kedua tangannya. Mengapa ia harus menunggu begitu lama untuk menyentuh
pria itu lagi, untuk merasakan kulit pria itu, untuk menikmati keajaiban Will yang
luar biasa?
Lu tersentak saat jemari pria itu melepaskan kancing celana pendek dan mendorong
celana kargo serta boxer tersebut menuruni pinggul. Will berdiri di hadapannya,
telanjang bulat. Dalam pancaran cahaya redup yang mengalir dari dalam rumah, pria
itu terlihat seperti fantasi setiap wanita. Kuat dan jangkung
213
joss ‘Wood
serta indah, bahu yang bidang, perut yang bergelombang, pinggul yang ramping, dan
Lu tidak dapat mengabaikan ereksi Will yang jelas terlihat serta sangat besar.
Semua itu hanya untuknya, dan ia tidak sabar untuk bermain-main dengan pria itu.
“Itu senyuman yang sangat nakal, Lu,” ujar Will dengan lirih, kedua tangan pria itu
bergerak ke pinggulnya.
“Aku sedang memikirkan ide-ide yang sangat nakal, Will,” sahut Lu.
“Aku suka ide-ide nakal.” Will meletakkan satu jari pada kulitnya dan menarik kain
di antara buah dadanya. “Meskipun aku suka ini, tapi aku lebih suka kalau
dilepaskan.”
Lu memutar tubuh dan menyodorkan punggungnya pada pria itu. “Jangan ragu-ragu.”
Will melepaskan kaitan bra-nya, menjatuhkannya ke lantai dan mendaratkan mulut pada
bagian atas tulang punggungnya sementara kedua tangan pria itu menggenggam buah
dadanya. Ibu jari Will mengusap puting susunya, menariknya menjadi butiran keras
sementara ereksi pria itu menekan pada bokongnya.
“Jalan,” bisik Will di telinganya. “Ke dalam kolam renang. Aku punya sebuah fantasi
yang ingin kuwu-judkan.”
Lu duduk di ujung sofa untuk menonton film Sabtu malam, dengan semangkuk popcorn di
pangkuannya,
214
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
dan Dore si kucing menyelip di belakang kedua lututnya. Ini adalah malam pertama
yang ia lewatkan seorang diri selama lebih dari seminggu terakhir dan rumahnya
terasa hampa tanpa Will.
Ia sangat menikmati setiap detik keberadaan pria itu di dekatnya.
Setiap. Detiknya.
Will suka bernyanyi di kamar mandi—lagu-lagu cengeng tahun sembilan puluhan,
sumbang dan benar-benar tidak sesuai dengan nada lagu. Pria itu menjadikan setiap
harinya sebagai sebuah petualangan dalam “Tebak Lagu.” Will mengamatinya membuat
red velvet cupcake dan menyantap tiga buah saat Lu menunggu kue-kue itu dingin,
lalu mencelupkan potongan kue ke dalam lapisan krim keju dan bukannya menunggu
sampai ia melapisi kue-kue itu. Mereka pergi ke pameran fotografi dan pria tersebut
dengan kukuh tapi keliru bersikeras bahwa hasil kerjanya lebih bagus dari itu.
Ia memberi Will hadiah besar untuk itu.
Dan mereka melakukan seks. Banyak sekali seks yang sangat, sangat indah.
Dan karena ia sangat menyukai berada di dekat Will, ia sengaja mendorong pria itu
agar menerima ajakan Mak untuk menonton sebuah pertandingan sepak bola di stadion
di kota.
Ia sering mengingatkan dirinya sendiri bahwa Will hanyalah seseorang yang menjadi
temannya bersenang-senang—seseorang yang akan segera pergi. Seorang
215
joss ‘Wood
pria yang datang dalam hidupnya saat ia membutuhkan seorang teman—seseorang untuk
membuatnya tertawa, untuk membantunya dalam permainan.
Dan karena semakin lama menjadi sulit baginya untuk mengingat bahwa Will akan
pergi, ia pikir satu malam dengan saling berjauhan bukanlah gagasan buruk. Itu akan
membantunya mendapatkan sedikit jeda dan perspektif yang sangat ia butuhkan,
menjadi sebuah pengingat bahwa kebahagiaan yang luar biasa dahsyat ini tidak
bersifat permanen.
Itu adalah kepura-puraan, sandiwara ... sebuah pelarian romantis kecil dari
kehidupan nyata. Jika ia mulai menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang lain
berarti ia menempatkan dirinya dalam kemungkinan untuk hancur.
Ooh, film sudah dimulai, pikir Lu. Pemeran utama yang seksi ... sama sekali tidak
seseksi Will... lagipula memang tidak ada pria yang seseksi Will.
Ponselnya berdering dan ia memandangi benda itu dengan wajah cemberut ketika
melihat sebuah nomor yang tidak dikenal pada layarnya. Ia hanya menginginkan jeda
sejenak.
“Halo?”
“Harap menunggu sebentar,” sebuah suara ketus memberinya instruksi, dan ia
mengerutkan keningnya.
“Lu? Ya Tuhan, Lu....”
Suara Nate pecah dan Lu melesat bangkit, membuat si kucing melarikan diri sementara
kengerian membuat tenggorokannya tercekat.
216
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Nate! Ada apa?” Ia bertanya, suaranya parau penuh ketakutan.
“Tadi kami pergi ke sebuah festival musik dan saat hendak meninggalkan tempat itu
Daniel dan aku serta beberapa pria lainnya diserang. Ada sekitar delapan laki-laki
dan mereka memukuli kami. Merampas ponsel kami ... dan juga dompet.”
“Apakah kau terluka? Bagaimana keadaan Daniel?”
“Aku menelepon dari rumah sakit ... mereka memasukkannya ke ruang rawat. Kepalanya
terkena tendangan dan dia tidak sadarkan diri....” Suara Nate pecah lagi dan Lu
mendengar isak tangis dalam kegagapannya.
“Mereka bilang dia pasti sadar. Mungkin dalam kurang lebih sehari. Tapi, Lu,
bisakah kau datang?”
Lu merasakan jeritan mulai terbentuk di tenggorokannya, menelannya lagi dan
mengumpulkan ketenangan penuh ketegaran yang ia tahu adiknya butuhkan darinya.
“Tentu saja. Aku akan menumpang penerbangan pertama yang bisa kudapatkan. Di mana
kau? Di mana diaC
“Constantia General. Korban kecelakaan. Aku tidak punya uang sama sekali ...
seorang temanku akan membawakanku ponsel, jadi aku akan mengirimimu pesan setelah
mendapatkannya.”
“OK. Tetaplah menghubungiku,” tegas Lu, dengan enggan menyadari bahwa lututnya
melambung-lambung dan tangannya gemetaran. “Nate...?”
“Yeah?
“Dia akan baik-baik saja. Percayalah.”
217
joss ‘Wood
“Datanglah, Lu. Aku takut.”
“Aku tahu, Nate.” Ia sendiri juga luar biasa ketakutan, namun ia harus kuat. Untuk
Nate dan Daniel.
Lu memutus sambungan telepon dan menunduk menatapi ponselnya. Secara naluriah ia
menekan nomor Will dan melingkarkan lengan pada perutnya sambil menunggu pria itu
mengangkat telepon.
“Kalau ini sebuah ajakan kencan, aku siap...” jawab Will sambil tertawa.
Lu memejamkan kedua matanya dan sebuah isakan terlepas tanpa sengaja dari mulutnya.
“Lu ... honeyl Ada apa? Apa kau baik-baik saja?”
“Tidak....” sahut Lu, dan seolah dari jarak bermil-mil jauhnya mendengar tarikan
napas tercekat pria itu. “Aku baik-baik saja. Tapi Daniel tidak. Aku membutuhkan
tumpangan ke bandara. Aku harus pergi ke Cape Town secepat mungkin. Dapatkah kau
mengantarku ke bandara? Aku terlalu gemetar untuk mengemudi dan aku harus
mendapatkan penerbangan ... dan informasi dari rumah sakit mengenai kondisi
adikku....”
“Aku segera ke sana. Aku berangkat sekarang. Bertahanlah, baby. Aku segera datang.”
Lu menyandarkan ponsel pada keningnya sementara air mata bergulir turun ke pipinya.
Ia sudah menduga bahwa Will akan meninggalkan semuanya, bahwa pria itu akan
bergegas datang. Sekali ini saja ia tidak harus sendirian.
218
Sepuluh
Dalam penerbangan sore saat kembali dari Cape Town seminggu kemudian, Lu
menyandarkan kepalanya pada jendela kabin dan menatapi gumpalan awan di bawahnya.
Ia nyaris tidak menyadari guncangan kecil yang terjadi. Benaknya terlalu penuh
dengan peristiwa yang terjadi seminggu terakhir ini dan kesadaran bahwa akhirnya ia
akan pulang ... pada Will.
Ia ingat betapa luar biasanya pria itu. Tenang, santai, begitu terkendali. Will
memasukkan beberapa pakaian ke dalam sebuah overnight bag untuknya, karena tidak
terpikir olehnya untuk berkemas, lalu pria itu mendudukkannya di jok penumpang
serta memasangkan sabuk pengamannya dan, sambil melajukan mobil dengan kencang di
jalan raya, menggenggam tangan Lu sementara ia menelepon bandara untuk memesan
kursi dalam penerbangan tengah malam menuju Cape Town. Saat akhirnya bisa bicara
dengan dokter yang telah merawat Daniel ia begitu gemetaran hingga nyaris tak mampu
bicara, maka Will mengambil alih ponselnya dan mendapatkan seluruh informasi
menyangkut kondisi Daniel. Adiknya mengalami pendarahan ringan di bawah tengkorak
kepala.
joss ‘Wood
Will memberitahunya bahwa mereka masih membius Daniel untuk memberi waktu agar
pembengkakannya berkurang. Pria itu membantunya mengambil kartu kreditnya dan
menggesekkannya pada mesin tiket otomatis, memegang tiketnya dan diri Lu erat-erat
sampai penerbangannya mendapat panggilan boarding.
Saat waktunya tiba, dengan tenang Will menaiki pesawat bersamanya—ia baru menyadari
bahwa pria itu juga telah membeli tiket sendiri—dan memeluknya selama dua jam
penerbangan. Ia tidak ingat bagaimana mereka tiba di rumah sakit, ia hanya ingat
bahwa Will ada di sisinya, kokoh dan tegar saat menggenggam tangannya. Will
membelikannya kopi, menyewa sebuah mobil dan membawa Nate yang memar dan terluka
pulang ke tempat tinggal adiknya itu agar Nate bisa mandi dan beristirahat.
Sementara Daniel terbaring sediam patung, Will memeluknya sementara ia menangis.
Besoknya pria itu membawa Nate kembali ke rumah sakit dan sekitar tengah hari, saat
Daniel telah mulai menunjukkan tanda-tanda membaik, Will mengecup keningnya dan
mengatakan bahwa pria itu akan menunggunya di rumah.
Lu tetap berada di Cape Town selama seminggu dan ia merindukan Will. Teramat sangat
merindukan pria itu. Will sering menelepon, dan saat bicara dengan pria itu
dunianya terasa baik-baik saja. Perutnya berhenti bergejolak, napasnya teratur dan
ia bisa lebih santai. Selama lima, sepuluh, lima belas menit itu ia merasa
tenteram, tenang, rileks.
220
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu mengempaskan kepalanya pada sandaran kepala dan menampar dirinya sendiri dalam
hati.
Ia telah berusaha sangat keras untuk menjaga jarak emosionalnya namun ia mulai
terpikat pada Will. Yang lebih buruk lagi, ia mulai bergantung pada pria itu. Ia
ingin memiliki hak untuk menelepon Will, ingin merasa bahwa Will adalah pria yang
dapat menjadi tempatnya bersandar, pria yang dapat ia andalkan, dan ia cintai.
Alangkah bodohnya. Ia menginginkan pria itu untuk segalanya: untuk menemaninya,
untuk menjadi sahabatnya, untuk seks, untuk memberinya dukungan ... dan yang paling
buruk untuk cinta.
Kapan semua ini terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Ia telah begitu berhati-hati,
begitu waspada, begitu bertekad untuk tidak membiarkan dirinya merasakan yang
lebih.
Ia memang sangat bodoh.
“Cinta, komitmen, bukanlah bagian dari kesepa-katan.”
Lu mendengar suara Will dalam kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Dasar gadis
dungu.
Bagaimanapun juga, ia tidak boleh bergantung pada pria itu—pada siapa pun—untuk
dukungan emosional karena jika ia melakukannya maka ia akan hancur.
Tanpa Will dalam hidupnya maka ia pasti bisa tetap tenang, pasti telah mengumpulkan
ketegaran yang ia pelajari dalam menghadapi kematian kedua orangtuanya, dan
melangkah dengan berhati-hati serta menyelesaikan kewajibannya. Tapi karena Will
ada
221
joss ‘Wood
di sisinya, begitu kuat dan cekatan, ia tumbang dan membiarkan pria itu mengambil
alih.
Bagaimana jika—amit-amit—ini terjadi lagi saat Will sedang berada di belahan dunia
yang lain? Bagaimana ia akan menghadapinya? Tidak akan ada bahu yang kokoh untuk
tempatnya bersandar. Mak memang temannya, tapi pria itu memiliki beban sendiri yang
harus ditanggung. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya menjadi lemah, menjadi
terbiasa mengandalkan orang lain. Mengandalkan Will.
Ia harus mundur. Ia harus menjaga jarak di antara mereka. Ia harus tegar, harus
kuat bertahan....
Lagipula, ia melakukannya dengan sangat baik.
Bagian depan tungkai Will menghantam samsak, disusul oleh sebuah tinju cepat, dan
ia melompat menjauhi samsak. Sejak kembali dari kunjungan sangat singkatnya ke Cape
Town ia telah menghabiskan sangat banyak waktu di sudut gym ini, sambil menggerutu
sendiri.
Ia tidak suka, benci, membayangkan Lu seorang diri di Cape Town, sekalipun Daniel
sudah dalam proses pemulihan. Anak itu harus menjalani pembedahan untuk memasang
pin pada satu pergelangan tangan yang patah dan Will ingin bersama Lu, sekalipun
itu hanya sebuah operasi kecil. Wanita itu cemas, dan Will mengkhawatirkan Lu saat
wanita itu mencemaskan mereka.
222
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Apakah Lu mau makan? Bisa tidur? Sudah cukupkah Will membantu wanita itu? Apa
seharusnya ia tinggal lebih lama di Cape Town? Lebih sering menelepon? Menawarkan
untuk libur kerja selama beberapa hari untuk menemani Lu?
Will melangkah menjauhi samsak dan meletakkan kedua kepalan tangan pada pahanya. Ia
merindukan wanita itu, dan bicara di telepon sama sekali tidak mengurangi kerinduan
tersebut. Ia merindukan senyuman Lu di pagi hari, merindukan saat-saat di mana ia
terjaga di tengah malam dan mendapati Lu terbaring meringkuk di belakang
punggungnya, dengan satu lengan melingkar pada pinggangnya. Astaga, ia bahkan
merindukan rumah wanita itu—merindukan saat-saat bersama Lu di rumah itu. Ia bisa
bersantai di sana, dapat menenangkan diri dan sekadar berpikir. Ia bisa duduk di
beranda dan memandangi samudra, bekerja di meja makan Lu atau di ruang kerja Lu
yang sangat berantakan, berbaring di sofa kulit Lu dan menonton saluran olahraga.
Lu memberinya ruang untuk bergerak, untuk berpikir, untuk ada. Ruang untuk
sendirian tapi tidak merasa kesepian ... Lu tidak mendesak atau memaksa maupun
menuntutnya memberi Lu yang lebih dari yang ia berikan pada wanita itu sekarang
ini.
Sangat menakjubkan. Luar biasa mengejutkan. Nyala api itu masih berkobar dengan
dahsyat.
Will menghantamkan satu tinjunya pada samsak. Apakah ia mulai membiarkan dirinya
tergoda oleh dongeng khayalan itu? Ini tidak seperti dirinya—bukan
223
joss ‘Wood
orang yang mempertahankan pengendalian diri dan emosinya dengan cengkeraman kuat—
dan ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri.
Lu telah membuatnya kacau-balau dengan kemampuan wanita itu untuk menghancurkan
pengendalian dirinya di dalam dan di luar kamar tidur. Saat bercinta dengan Lu ia
berada di luar kendali, pikirannya tak berfungsi dan tubuhnya mengambil alih,
memegang kendali. Dengan wanita lain ia pasti telah melarikan diri berminggu-minggu
yang lalu, dan sekalipun telah memikirkan hal itu ia tetap belum mampu
melakukannya. Ia harus mengambil keputusan—keputusan menyangkut karier tentang
franchise lain yang ingin bekerja sama dengannya—dan ia ingin bisa bicara pada Lu
soal itu. Namun ia tidak bisa, karena bicara hanya akan semakin menguatkan ikatan
di antara mereka. Seharusnya ia berusaha memutuskan ikatan itu, bukannya
memperkuat. Ia harus berusaha keras dan mengakhiri semua ini. Semakin lama ia
menunda, maka akan semakin sulit baginya untuk melakukan itu.
Ia akan meninggalkan Durban—meninggalkan Lu. Itu tidak bisa ditawar lagi. Nyala api
itu kini sudah berada dalam kekuatan penuh dan ia tahu bahwa tidak lama lagi
kobaran tersebut akan mulai padam.
Semua itu akan berakhir. Sesuatu akan terjadi dan menyiramkan air ke dalam kobaran
itu atau ia akan pergi. Dan semakin cepat ia terbiasa dengan pemikiran itu, akan
semakin baik.
224
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Keesokan paginya Will meletakkan secangkir kopi di atas meja samping tempat tidur
di sisi Lu dan mendesah saat wanita itu menolak untuk membalas tatapannya. Hampir
sepanjang malam kemarin ia telah berusaha mengajak Lu bicara, tapi rasanya seperti
mencoba menarik gigi anjing laut dan ia benar-benar muak dengan hal itu. Untuk
pertama kalinya mereka tidak bercinta, dan Lu terbaring dalam pelukannya dengan
sikap dingin dan kaku.
“Ada apa, Lu?”
Lu tidak balas menatapnya. “Tidak ada apa-apa.”
“Omong kosong! Kau bersikap ketus, tidak banyak bicara dan temperamental.”
“Maaf. Banyak sekali yang kupikirkan. Mungkin kau belum tahu, kemarin adalah minggu
yang berat bagiku.”
Ooh, sarkasme. Persis seperti yang ia butuhkan.
“Mau membicarakannya?” tanya Will, tahu betul jawaban apa yang akan wanita itu
berikan. Tapi meskipun ia telah menceramahi dirinya sendiri dengan panjang lebar
bahwa ia harus mundur, ia merasa perlu mengetahui apa yang Lu pikirkan, apa yang
wanita itu rasakan.
Ia ingin berhenti memedulikan Lu—sungguh. Ia hanya sama sekali tidak tahu bagaimana
melakukannya!
“Tidak, aku tidak ingin bicara.”
“Apa sudah ada berita lagi dari Daniel?” Sebuah pertanyaan lagi. Ia jelas orang
yang sangat suka mencari masalah.
225
joss ‘Wood
“Tidak, dia baik-baik saja. Yah, masih sering sakit kepala, tapi lumayan.” Lu duduk
di tempat tidur, mengambil dan menyesap kopi tadi.
“Yah, kalau kau tidak mau bicara padaku lebih baik aku pergi saja.”
“Aku hanya sedang menghadapi sedikit masalah, Will.”
“Kalau kau akan menghadapinya dengan kebisuan yang muram maka aku tidak mau
melihatnya,” sergah Will.
Sesuatu yang tidak ia bisa ia kenali tampak berkelebat dalam sepasang mata Lu.
Ketakutan? Kelegaan?
“Kalau kau tidak ingin berada di sini, Will, tidak ada yang memaksamu.”
“OK, itu menyebalkan,” Will balas menukas. “Berhentilah menjauhkanku, Lu.”
“Oh, apa? Seperti yang kau lakukan padaku? Sepanjang waktu?”
“Apa maksud omongan itu? tuntutnya.
Lu turun dari ranjang dan memiringkan dagu. “Sepertinya kau ingin tahu tentang aku
tapi tidak bersedia mengizinkanku mengetahui tentang dirimu!”
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Will.
Lu menelusurkan kedua tangan ke sela-sela rambut. “Kau tahu apa yang ingin
kuketahui! Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan pernikahanmu. Mengapa kau begitu
antipati terhadap sebuah hubungan! Apakah kau masih mencintainya?” tanya Lu.
“Jo? Tentu saja tidak!” Will menyumpah lirih. “Kau mau tahu? Baiklah—akan kuberi
tahu.” Ia duduk di
226
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
pinggiran bingkai jendela. “Itu sama sekali bukan sebuah dongeng. Kami menikah
ketika sama-sama berusia dua puluh dua, dan selama dua tahun pernikahan itu kurasa
kami hanya saling menghibur satu sama lain.” Ia menelusurkan satu tangan ke sela-
sela rambutnya. “Kami juga sangat bersenang-senang—terlalu banyak bersenang-senang.
Kami punya banyak uang dan menganggap diri kami istimewa. Kami menikah dalam sebuah
gelombang adrenalin yang dipicu oleh seks dan lama kelamaan daya tarik itu padam.
Kurasa bila kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama ketertarikan itu pasti
telah padam jauh lebih cepat lagi.”
Sekarang bagian sulitnya.
“Ada banyak alasan yang membuat pernikahan kami terus memburuk, tapi akulah yang
telah melakukan tindakan fatal hingga hubungan itu benar-benar hancur.” Katakan
saja terus terang. “Dia menangkap basah aku sedang berselingkuh. Itu bukan untuk
yang pertama kalinya atau satu-satunya perselingkuhan yang kulakukan, tapi pertama
kalinya dia memergoki aku.”
Ekspresi Lu tetap netral namun ia tahu bahwa wanita itu pandai dalam hal tidak
bereaksi. Sepasang mata itulah yang membuka rahasia Lu. Kekecewaankah yang ia lihat
itu? Yep, itu dia. Persis seperti perkiraannya.
“OK. Lanjutkan.”
“Kau mau tahu lebih banyak lagi? Kami saling mengizinkan, bahkan saling mendorong
satu sama
227
joss ‘Wood
lain, untuk bertingkah liar, tapi itu adalah batasan yang dia berikan:
ketidaksetiaan. Dan aku telah melewatinya. Sepanjang waktu. Mungkin berharap akan
ketahuan. Pada akhirnya dia memang memergoki aku.”
“Mengapa tidak kau tinggalkan saja dia?”
“Karena aku senang bisa berkata bahwa aku menikah dengan salah satu wanita paling
seksi. Aku sepicik itu—sepalsu itu,” tukas Will. “Aku bukan pria yang baik, Lu.
Sampai sekarang.”
Lu tidak membantah dan ia merasa kecewa. Lalu ia menjadi jengkel pada dirinya
sendiri karena merasa kecewa.
“OK, aku mengerti bahwa pernikahanmu yang dulu tidak bahagia, tapi mengapa kau
menghindari sebuah hubungan?” tanya wanita itu.
Apa mereka benar-benar akan membahas ini sekarang? Lu memasang wajah keras kepala
itu. Yep, mereka memang akan membahas soal ini. “Jo wanita yang liar serta
menggairahkan dan seks kami gila-gilaan. Seks— daya tarik—memicu kobaran cinta, dan
saat nyala itu padam maka yang tersisa untukmu hanya tinggal setumpuk abu.”
“Aku tidak sependapat denganmu. Menurutku cintalah yang memicu seks.”
“Yeah, itu menurut dongeng. Bukan seperti itu cara kerjanya. Bukan untukku,
setidaknya. Aku tidak mau terperangkap saat ketertarikan itu padam—harus bertahan
dalam sebuah hubungan karena terpaksa. Aku tidak percaya percikan itu akan
bertahan, Lu.”
228
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Itu dalih yang sangat payah untuk membenarkan ketidakberanian dalam mengambil
risiko,” ujar Lu.
“Dan kau? Apa kau sangat berani?” Will balas menukas, merasa perlu menghunjamkan
perkataan tajamnya sendiri. “Bukankah sikap dingin ini merupakan suatu cara untuk
menjauhkan diri dariku?”
Will tahu bahwa tembakannya telah mengenai sasaran saat kemarahan membuat kedua
mata wanita itu menyala-nyala. “Tidak, kaulah yang membuatku merasa sesak! Selalu
membayangiku! Will, aku telah lama sendiri, dan terkadang aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan dengan keberadaanmu! Aku hanya menginginkan sedikit waktu untuk
sendirian ... sedikit waktu untuk berpikir!”
“Kau sudah punya waktu untuk berpikir selama seminggu penuh kau jauh dariku!” Ia
mencengkeram batang hidungnya dan berusaha mengendalikan diri. “Aku hanya ingin
membantu, Lu.”
Ia tidak tahu kalau beberapa kata terakhir itu akan semakin menyulut amarah wanita
itu.
“Aku tidak butuh bantuanmu!” jerit Lu. “Aku tidak membutuhkannya ketika aku
menguburkan kedua orangtuaku, atau saat aku berbaring di tempat tidur ini, dengan
dua bocah laki-laki kecil yang menangis berkepanjangan penuh kesedihan, satu anak
pada masing-masing sisi tubuhku. Aku tidak membutuhkannya ketika mereka terkena
campak, atau saat Nate patah hati. Di mana kau saat aku terpaksa menolak semua
kesempatan berkarier yang pernah kuterima karena harus menyiapkan makan malam? Aku
tidak butuh bantuanmu. Aku tidak butuh siapa pun}f
229
joss ‘Wood
Whoa! Will melangkah mundur saat kata-kata Lu mendera sanubarinya. “Jadi kenapa kau
meneleponku minggu lalu? Kenapa kau tidak menghadapinya saja, Lu?”
“Karena aku lemah! Kau akan pergi dan aku tidak boleh—tidak mau—bergantung padamu
maupun orang lain!” Lu berpaling dan menatap keluar jendela.
Will mengempaskan cangkir kopinya ke atas meja samping tempat tidur dan memelototi
punggung kaku wanita itu. Benaknya memutar video tentang sebuah helikopter yang
sedang menumpahkan segayung air ke atas sebuah kebakaran semak. Tapi nyala api itu
masih tetap berkobar.
“Yah, kau punya waktu untuk sendiri sebanyak yang kau butuhkan.”
Lagipula ia akan segera pergi. Apa pedulinya?
Terlalu peduli, pikirnya saat berjalan menuruni tangga menuju pintu depan rumah Lu.
Ia berhenti, menyandarkan keningnya pada daun pintu kayu dan memerintahkan dirinya
sendiri untuk berjalan keluar.
Ia peduli. Sial.
Gagasan untuk membawa Rays memasuki lapangan, secara teori, merupakan sebuah ide
yang hebat untuk si kecil Deon, tapi begitu mendengar gemuruh suara empat puluh
ribu lebih penonton dan melihat kekacauan di terowongan, dengan para staf,
paramedis dan anggota pers yang sibuk keluar masuk, Deon menjadi benar-benar gugup.
230
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu menyadari bahwa anak itu tidak akan mungkin berlari ke lapangan seorang diri.
Deon membenamkan wajah ke perut Mak dan tidak mau melepaskan sang ayah. Kelby, yang
sedang berdiri di sebelah kiri Lu bersama seorang wakil dari perusahaan yang
merupakan sponsor terbesar Rays, melayangkan sebuah tatapan bertanya ke arah Lu dan
ia menarik satu tangan ke lehernya.
Mak membungkuk untuk bicara lagi pada Deon. “Dengar, buddy—Rays akan keluar dari
ruang ganti. “Lihat—itu Jabu.”
Deon menggelengkan kepala dan menutup wajah dengan kedua tangan. Lu melirik pada
arlojinya dan mengernyit. Lima menit lagi tim penantang akan memasuki lapangan,
dengan atau tanpa Deon. Lu dan Mak sama-sama tahu bahwa Deon ingin melakukannya,
tapi anak itu dilanda ketakutan.
Bocah malang. Lu meletakkan satu tangan pada bahu Mak dan saat melakukan itu ia
merasakan sebuah sentuhan sekilas dari sebentuk tangan maskulin pada punggungnya.
“Ada masalah?” tanya Will.
Lu menoleh dan tak sanggup mencegah debaran kencang di jantungnya, rasa tercekat di
tenggorokannya. Ia belum bicara dengan Will sejak pria itu meninggalkan rumahnya,
dan mudah untuk menghindari Will minggu ini karena pria itu membawa tim ke sebuah
sesi team-building di luar kota.
Sepanjang minggu itu ia merasa sedih dan kehilangan.
231
joss ‘Wood
Ia telah bersikap sangat mengerikan, kejam, dan jahat. Ia meminta bantuan Will dan
pria itu memberikannya tanpa bertanya lagi. Will terjun ke dalam situasi itu—
menghabiskan malam Sabtu dengan melakukan perjalanan ke luar kota agar Lu tidak
harus sendirian—dan ia telah membalas Will dengan caci maki karena ia takut akan
menjadi bergantung pada pria itu.
Itu adalah masalahnya, bukan masalah Will. Pria itu telah bersikap jujur padanya.
Will tidak menawarkan apa pun yang lebih dari persahabatan dan dengan membantunya,
mendukungnya, pria itu telah memberikan hal tersebut. Ia telah membayar kebaikan
hati itu dengan memaksa Will untuk menceritakan tentang masa lalu pria itu padanya,
dengan menyerang Will secara verbal saat pria itu menawarkan bantuan.
Jika si kembar yang bersikap seperti itu maka ia akan lebih dari sekadar menegur
mereka.
Lu harus meminta maaf, dan ia harus meminta maaf dengan cara yang membuat Will
yakin. Terkadang kata-kata memang terlalu mudah, namun ia harus mencoba.
“Will, aku—”
Will memandangnya dan ia mendesah ketika melihat wajah datar pria itu.
“Ada masalah apa?” tanya Will, sambil menganggukkan kepala ke arah Deon.
“Demam panggung,” bisik Lu dari atas kepala Deon.
“Dia tidak bisa melakukan ini, Will.” Mak memandang pada Will dengan tatapan
menderita.
232
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Tentu saja bisa; dia bisa melakukan apa pun yang ingin dia lakukan ” sahut Will.
Sang pengarah pertandingan mengangkat satu jari untuk mengisyaratkan bahwa Deon
harus menempati posisi dan Lu menyadari bahwa kedua tim telah berbaris di belakang
mereka di dalam terowongan—tiga puluh pria bertubuh besar, kekar, dan penuh tekad.
Will berjongkok dan menarik Deon menjauh dari Mak, mengangkat wajah anak itu untuk
melakukan kontak mata. “Sangat menakutkan, ya?”
Deon mengangguk kuat-kuat.
“Apa kau akan melakukannya kalau ada yang menemanimu?” tanya Will dengan lembut.
Deon mengangguk. “Jabu.”
“Jabu tidak bisa melakukan itu, sobat. Dia harus memimpin Rays. Itu adalah tugas
penting seorang kapten.” Will tersenyum dengan meyakinkan. “Bagaimana kalau aku?
Aku pernah membawa beberapa tim memasuki lapangan dan aku cukup tahu apa yang harus
dilakukan.”
Deon melayangkan sebuah tatapan menilai dan Lu harus menggigit bibirnya untuk
menahan senyum. Bocah itu benar-benar tidak mau terburu-buru memutuskan apakah Will
layak untuk mendapat kehormatan itu. Rasanya waktu telah berlalu lama sekali
sebelum akhirnya Deon menganggukkan kepala, beranjak menjauh dari Mak dan
menyelipkan sebentuk tangan mungil ke dalam genggaman tangan Will yang berukuran
raksasa.
233
joss ‘Wood
“Bisakah kau melakukan ini?” tanya Lu dengan berbisik. “Bukankah kau harus berada
di suatu tempat?”
Seharusnya Will menuju tempat duduk pelatih, dari mana pria itu akan memberikan
instruksi pada pasukannya di lapangan.
Will mengangkat bahu sambil berdiri. “Ini adalah mimpinya. Aku bisa meluangkan lima
menit untuk mewujudkan impian itu.”
Tatapan Lu melembut dan ia menyentuhkan satu tangannya sekilas ke tangan pria itu.
“Kau pria yang baik, Will Scott.”
Will melayangkan sebentuk senyum kecil padanya, menarik Deon ke posisi, dan sesaat
kemudian mereka berjalan memasuki lapangan. Hati Lu bergetar saat kekasihnya yang
bertubuh besar dan seksi itu melambatkan langkah sehingga Deon, sambil memegang
bola yang akan digunakan pada pertandingan itu, mampu mengimbangi Will. Saat
penonton menyadari siapa yang berada di lapangan, mereka melepaskan sorakan gembira
yang bergemuruh dan suara itu memantul di seluruh stadion.
“Dan sepertinya Will Scott menemani Deon Sibaya ke lapangan hari ini.” Suara sang
komentator mengalir meningkahi keriuhan pononton. “Deon adalah penggemar Rays yang
paling setia dan paling istimewa. Dia adalah seorang siswa di St. Clare’s dalam
program mereka untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Dan, hadirin sekalian, menyusul
mereka memasuki lapangan, berikan sambutan meriah, dari Melbourne, sang juara
bertahan!”
234
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Astaga. Lu begitu ingin menjeritkan aku-cinta-padamu, ingin mempersembahkan hatinya
pada pria itu. Will begitu kuat dan cerdas. Bagaimana mungkin ia tidak jatuh cinta
pada pria itu? Will adalah seorang pemimpin yang luar biasa, hebat dalam menghadapi
anak-anak. Sebuah inspirasi yang sangat bagus bagi para pemuda agar, melalui pria
itu, dapat memahami bahwa hidup bisa diubah dan rasa hormat bisa didapatkan dengan
berusaha.
Will jenaka dan tidak sempurna, berapi-api tapi lembut.
Dan Lu pikir mungkin ia jatuh cinta pada pria itu. Sekalipun Will akan segera
pergi, sekalipun pria itu mungkin tidak ingin mendengar kata-kata tersebut, ia
merasa harus mengatakannya pada Will, untuk memberi tahu pria itu. Ia juga,
setidaknya, harus meminta maaf pada Will karena telah bertingkah menyebalkan.
Itu akan berarti membuka diri, mempertaruhkan perasaannya, menjadi rentan—namun ia
harus melakukannya. Mungkin Will tidak menginginkan cintanya, mungkin tidak mau
tahu soal itu, namun ia tidak ingin hidup dalam penyesalan karena tidak
mengungkapkan perasaannya—betapa istimewanya kebersamaan dengan Will, betapa pria
itu telah sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Will dan Deon telah seperempat jalan menuju lapangan dan Will meletakkan satu
tangan pada bahu Deon sementara tim penantang berkumpul beberapa meter dari mereka,
sambil melompat-lompat, beberapa dari mereka melakukan peregangan otot lutut. Kedua
235
joss ‘Wood
mata Deon tampak selebar piring terbang, pikir Lu. Setelah meninggalkan Mak, yang
telah memasangkan kacamata ke wajah untuk menyembunyikan air mata, ia berpindah ke
sisi lapangan dan melepaskan kamera dari bahunya untuk memotret para pemain Rays
sementara mereka berseliweran melewatinya.
“Dan, hadirin, tim Anda semua—Stingrays!”
Lu menahan satu jarinya pada tombol dan berharap bisa mendapatkan beberapa foto
yang bagus sementara tim melesat melewatinya. Ia langsung mengayunkan kameranya ke
lapangan, di mana Jabu berlari lurus menuju Deon dan Will serta mengulurkan satu
kepalan tangan ke arah Deon untuk sebuah fist bump.
Will menepuk bahu Jabu dan Lu menelan ludah.
Ia mengambil gambar itu dan terus memotret saat Jabu mengulangi fist bump tadi
dengan sang pelatih dan Will serta Deon berbalik lalu berjalan ke arahnya. Saat
melihatnya di pinggir lapangan langkah Deon berubah menjadi gerakan berlari yang
canggung, dan ia menurunkan kameranya untuk menangkap Deon saat anak itu melompat
ke dalam pelukannya.
“Apa kau tadi melihatku, Lu?” tanya Deon dengan penuh semangat.
“Kau sungguh seorang superstar,” sahutnya, dan mengulurkan satu tangan saat Will
berjalan melewatinya. Pria itu menggenggam dan meremas jemarinya. Lu, yang lupa
akan keramaian penonton, akan pertandingan penting yang sebentar lagi akan dimulai
dan beberapa fotografer serta staf yang berseliweran, mendongak memandangi pria itu
dengan tatapan berbinar. “Sedangkan kau, Will Scott....”
236
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Senyuman santai dan seksi Will memunculkan lesung pipit pria itu. “Sedangkan aku
apa, Mermaid^
“Kau benar-benar menakjubkan,” ujar Lu dengan bersungguh-sungguh.
Will melangkah lebih dekat dan, tanpa menghiraukan Deon yang sedang melompat-lompat
di kaki mereka, meraih dagunya dengan satu tangan dan mendongakkan wajahnya. “Aneh
sekali, aku juga berpikiran yang sama tentangmu.”
Will menyapukan bibir pada bibir Lu dalam sebuah ciuman yang singkat tapi tetap
membuat sekujur tubuhnya menggelenyar. “Semoga berhasil,” bisiknya di mulut pria
itu.
Will menepuk hidungnya. “Trims. Kerja bagus, nak.” Pria itu mengusap kepala Deon.
“Aku ada acara corporate function nanti malam, tapi aku akan meneleponmu setelah
itu, OK?”
“Akan kutunggu.”
237
Sebelas
Will tidak menelepon. Tidak malam itu. Dan pada Minggu pagi Lu memandangi Sacher
torte yang telah ia buat dengan cermat pada malam sebelumnya dan memutuskan untuk
mengantarkannya langsung. Ia perlu bicara pada Will, dan semakin lama ia menunda
pembicaraan ini maka akan semakin mudah baginya untuk berubah pikiran dan
mengurungkan niat itu.
Aku menyesal karena telah bertingkah begitu menyebalkan. Kurasa aku mungkin jatuh
cinta padamu. Kupikir sebaiknya kau tahu.
Lu berlatih mengucapkan kata-kata sederhana tersebut hingga sempurna namun ia
menduga bahwa semua itu akan pergi beterbangan, tanpa bisa ditangkap lagi, saat ia
benar-benar harus mengutarakannya pada Will secara langsung.
Tidak lama selepas pukul sembilan Lu mengetuk pintu apartemen Will kuat-kuat dan
berharap pria itu bergegas membukakan pintu. Sacher torte tiga lapis yang telah ia
buatkan untuk pria itu lumayan berat. Lu mengetuk lagi dan menggigiti bagian dalam
bibirnya. Mungkin Will telah berubah pikiran dan sedang sembunyi di balik pintu,
sambil berharap ia akan pergi.
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Setelah menunggu beberapa menit lagi tanpa jawaban, ia memutar tubuh dan berjalan
kembali ke lift.
Sial, pikirnya, sambil mengerjap untuk menghalau air matanya. Ia pikir hubungan
mereka telah mulai membaik di pertandingan kemarin. Ia melihat sesuatu di wajah
Will yang memberinya harapan.
Pintu menuju lift mulai bergeser membuka saat Will akhirnya membuka pintu. “Mau ke
mana kau dengan kue itu?” tanya pria itu.
Lu berbalik lambat-lambat dan menghela napas tercekat ketika melihat Will, yang
sedang bersandar pada bingkai pintu, dengan sehelai handuk melilit pinggul ramping
tersebut. Ia menjilat bibirnya saat berjalan kembali ke arah pria itu. “Aku
menyandera kue ini. Ke mana pun dia pergi, aku ikut.”
“Kau memang benar-benar tanpa kompromi.” Will mundur dan menyentakkan kepala untuk
menyuruhnya masuk. Pria itu menutup pintu setelah ia berada di dalam. “Beri aku
waktu sebentar untuk berpakaian dan aku akan membuat kopi untuk teman makan kue
itu.”
“Aku yang akan membuat kopinya,” ujar Lu sambil berjalan memasuki dapur bermodel
galley dan meletakkan kue tadi ke atas meja.
Sambil menjerang ketel, ia memandang pada kotak-kotak kosong bekas masakan Cina di
atas meja. Di belakang tempat sampah ada sebuah kotak pizza yang sudah kosong.
Saat Will kembali ke dapur, dalam balutan jeans lama dan sehelai jersey rugby, ia
menjentikkan satu jari
239
joss ‘Wood
pada kotak-kotak makanan itu. “Tidak pernahkah kau memasak untuk dirimu sendiri?”
“Nope? sahut Will sambil bergabung di dalam ruang dapur berukuran kecil itu.
Ia bisa mencium wangi sabun yang baru saja pria itu pakai mandi dan pasta gigi
mint. Lu menganggukkan kepala ke arah tumpukan surat kabar yang tadi ia letakkan di
atas meja yang sempit. “Aku membawakan surat kabarmu.”
“Trims. Maaf aku tidak menelepon. Acaranya selesai larut malam dan aku lelah.”
“Tidak masalah.”
Lu di sini, dengannya, akhirnya. Tuhan memang ada, pikirnya, takjub dengan betapa
gembiranya ia bertemu wanita itu. Mereka perlu bicara hari ini. Ia perlu memberi
tahu Lu tentang keputusan-keputusan yang harus diambilnya, mendapatkan masukan dari
Lu, melihat tanggapan wanita itu. Kini Lu merupakan bagian penting dari hidupnya.
Ia tidak tahu ke mana mereka akan mengarah, namun ia harus membahas hal ini sampai
tuntas.
Ia harus mengatakan hal-hal yang ia tahu bagaimana cara mengatakannya—mencoba
menjelaskan perasaan-perasaan yang sepertinya belum bisa ia kenali—menemukan sebuah
jalan yang belum bisa ia lihat. Sebenarnya, ia lebih memilih untuk meneteskan lilin
panas ke dalam matanya, namun ia harus bicara pada Lu.
Karena ia sangat tergoda untuk menangguhkan pembicaraan tersebut dengan membawa
wanita itu ke
240
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tempat tidur, Will melangkah mundur. Tumpukan surat kabar tadi terjatuh ke lantai
dan semua bagiannya meluncur di atas ubin.
Lu menunduk memandangi surat kabar di bawah kursi dan mengerutkan kening melihat
warna khas seragam Rays pada halaman depan society section (bagian dalam sebuah
surat kabar atau majalah yang berisi berita laporan tentang aktivitas kalangan
masyarakat elite). “Ha-ha, seorang pemain Rays terpampang di halaman depan
Lifestyle Section. Pasti Matt lagi; dia ahli dalam mengencani para wanita yang
layak diberitakan.”
Lu terperanjat saat menyadari bahwa di(AA\ orang yang mengenakan kaus Rays, dan
rasa terkejut itu berubah menjadi kengerian ketika membaca judul yang tertulis di
depan wajahnya: Apakah ini cinta?
Lu memaksakan diri untuk fokus pada gambar dirinya dan Will yang memenuhi setengah
halaman bagian atas. Satu ibu jari pria itu di dagunya dan kedua matanya berbinar
dengan kobaran ketertarikan dan gairah serta ... cinta? Benar-benar terlihat
seperti cinta.
Jantung Lu nyaris terlompat keluar dari dadanya.
“Hei, kau sedang lihat apa?” tanya Will, dan memutar tubuh untuk melihat apa yang
telah menyita perhatiannya.
Ia merasakan tubuh pria itu menegang.
“Yang benar saja!”
Lu memandang pada Will yang, bisa ia lihat, sangat murka. Pria itu telah menjadi
pemberitaan utama
241
joss ‘Wood
lagi—dan untuk alasan yang sangat salah. Berkaitan dengan wanita, bukan berkaitan
dengan rugby.
Jadi para jurnalis mengomentari hubungan mereka? OK, tarik napas dan tetap tenang.
Tidak mungkin seburuk itu, bukan?
Lu menyambar surat kabar itu dari tangan Will dan membaca cuplikan artikel tersebut
sambil berjalan mondar-mandir di depan pria itu.
“’Lu Sheppard telah empat bulan terakhir ini dipekerjakan oleh Stingrays sebagai
fotografer resmi.... Kami mengutip pernyataan sumber dari dalam yang mengatakan
bahwa pasangan itu tampak sangat bahagia bersama. ”
Will berdiri, meletakkan kedua lengan di pinggul dan menggumamkan serangkaian kata-
kata umpatan yang sangat kotor. “Apa lagi katanya?” desak pria itu, dengan bibir
mengatup rapat membentuk sebuah garis tipis.
Lu melihat lagi pada surat kabar itu dan suaranya tegang saat menjawab
pertanyaannya. “Mereka tidak pernah melihatmu memandang pada seseorang dengan cara
seperti itu ... apakah kau telah jatuh cinta ... siapa aku...?”
Will berjalan memutar ke sisi lain meja dapur, mencengkeramnya dengan kedua tangan
memucat dan menatap ke lantai. “Brengsek.”
“Masih ada lagi.” Kedua tangan Lu gemetaran. “Sheppard sama sekali tidak dikenal
dalam kalangan fotografi sebelum ditunjuk sebagai fotografer resmi—diperkenalkan,
kabarnya, pada departemen
242
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
publikasi dan Humas oleh Will sendiri. Apakah ini merupakan sebuah nepotisme yang
dilakukan oleh Scott? Bagaimanapun kejadiannya, memanfaatkan kesuksesan dan
ketenaran Will telah menjadi sebuah langkah cerdas Sheppard ambil ... kariernya
telah terbantu oleh hubungannya dengan Rays dan Will Scott. Bravo, Ms. Sheppard.
Meskipun menjadi kekasih sang pelatih utama yang seksi pastinya bukanlah pekerjaan
tersulit di du-• >5
ma.
Lu mendengar gemuruh sebuah kereta barang dalam kepalanya. “Kupikir aku telah mulai
membuktikan diri, menunjukkan kepada orang-orang siapa aku dan apa yang mampu
kulakukan, tapi semua itu tidak ada artinya. Sekarang semua orang akan berpikir
bahwa aku hanya mendapatkan pekerjaan itu karena dirimu....”
Will hendak bergerak ke arahnya namun ia mengangkat satu tangan untuk menghalangi
pria itu. “Kumohon jangan.”
Will menjejalkan kedua tangan ke dalam saku jeans. “Lu, itu hanya satu pendapat—dan
meskipun terdengar menjijikkan, itu benar-benar tidak penting.” “Tidak penting
bagiwzz! Kau telah mengukuhkan kariermu. Kau dihormati karena apa yang telah kau
lakukan, yang telah kau capai. Setiap pekerjaan yang kudapatkan mulai sekarang akan
membuat orang bertanya-tanya apakah aku memang hebat atau hanya hebat dalam urusan
tidur dengan/wz/!”
“Kau menanggapinya dengan berlebihan, Lu.”
“Jangan berani-berani mengatakan itu padaku!” teriak Lu, amarahnya mewarnai setiap
kata. “Cobalah
243
joss ‘Wood
bekerja mati-matian untuk membangun sesuatu yang spesial lalu mendapati bahwa kau
berada dalam posisi itu hanya karena kau adalah teman tidur seseorang!”
“Kau bukan sekadar teman tidur!” protes Will.
“Aneh sekali—kupikir itulah aku. Bukankah itu yang kau katakan tentang aku? Ataukah
sebuah hubungan tanpa ikatan terdengar lebih berkelas?”
“Kau sedang kalut dan kau bereaksi berlebihan.”
Lu membungkuk, memungut surat kabar tadi dan merengut. “Ini berlanjut ke halaman
dua.” Lu membalikkan halaman tersebut. “Mari kita lihat apa lagi yang perempuan itu
katakan. 'Terlepas dari kehidupan asmara Will, kita semua ingin mengetahui ke mana
kariernya mengarah. Beberapa sumberku mengatakan bahwa pertandingan kemarin adalah
pertandingan terakhirnya sebagai pelatih sementara, bahwa John Carter akan kembali
melatih pada hari Senin. Will telah lama diincar oleh sebuah franchise dari
Auckland dan, berhubung itu adalah tim di mana dia mengawali karier profesionalnya,
diperkirakan bahwa dia akan menerima tawaran mereka untuk posisi pelatih penasihat.
Kami tahu bahwa Will telah memesan penerbangan ke Auckland besok malam. ” Lu
memejamkan kedua matanya untuk melawan kepedihan yang ia rasakan sebelum
mendongakkan kepala dan menatap Will dengan tajam. “Kau mau pulang? Dan menurutmu
kau tidak perlu memberitahukan soal ini padaku?”
“Aku memang akan memberitahumu. Hari ini. Aku hanya....”
“Kau sudah cukup lama mengetahui tentang ini, bukan?”
244
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Yeah.^i—
Hatinya terasa hancur. “Kau tidak memberitahuku, Will. Kau tidak memberitahuku
mengenai tawaran pekerjaan itu atau bahwa pelatih Rays akan kembali atau bahwa kau
akan pulang.” Air mata bergulir turun ke pipinya. “Inilah yang kumaksud saat aku
berkata bahwa kau tidak bicara padaku!”
“Aku baru bertemu lagi denganmu. Sebelumnya aku pergi—”
“Jangan!” Kata-kata Lu membahana di dalam ruangan itu. “Jangan beralasan. Ponselku
selalu berada di dekatku sejak pertengkaran terakhir kita. Kau bisa saja menelepon—
memberitahuku tentang ini. Sudah seharusnya kau melakukan itu.”
Will mengusap-usap rahangnya. “Kau benar. Aku hanya tidak tahu harus berkata apa.”
“Aku akan pulang Senin nanti—itu akan menjadi awal yang bagus.” Lu meremas kertas
dalam genggamannya. “Bukankah menurutmu aku telah mendapat cukup banyak kejutan
dalam hidupku? Bagaimana mungkin kau begitu masa bodoh padaku, sekalipun kita hanya
berteman, hingga tega melakukan ini padaku? Meremehkan aku seperti ini? Aku tidak
pernah mengharapkan cinta darimu, Will, tapi aku berharap kau sedikit
menghargaiku!”
“Aku memang menghargaimu!”
“Omong kosong.” Lu menyeka kedua matanya dengan satu tangan yang bebas. “Kau tahu?
Mungkin memang akan lebih baik kalau kau bertahan dengan hubungan seks satu malam
dan pergi begitu saja.
245
joss ‘Wood
Kupikir kau telah berubah, tapi ternyata kau masih tetap pria egois dan arogan yang
sama seperti saat kau berusia dua puluh empat. Kau sama sekali belum dewasa!” Lu
menghempaskan surat kabar tadi ke dada Will. “Aku sudah muak. Trims untuk saat-saat
yang menyenangkan, tapi hubungan kita telah berakhir. Aku tidak siap untuk
menikmati ketenaran karena memiliki hubungan denganmu, tidak siap untuk mendapatkan
pengakuan dan penghargaan atas kerja kerasku karena popularitas dan kemasyhuranmu.
Itu harga yang terlalu mahal untuk seks dan sedikit hiburan. Dan mengenai
ketidaksediaanmu untuk bicara padaku—puaskan dirimu dengan kebekuan hatimu dan
kecenderunganmu untuk selalu memegang kendali sampai semua itu membuatmu tercekik!”
Setelah mengucapkan kata-kata tajam yang menyakitkan tersebut, Lu pergi dari hidup
pria itu.
Will duduk di pinggir tempat tidurnya di rumahnya di Auckland dan memandang
berkeliling ruangan yang berdekorasi indah itu. Dengan linglung ia mempermainkan
kulit kerang cowry yang Lu berikan padanya di pantai dan sekarang selalu ia bawa ke
mana-mana.
Ini tampak seperti sebuah kamar hotel, pikirnya. Bukan tempat tinggal seseorang. Di
mana foto-fotonya? Meja rias Lu yang berantakan? Deretan gantungan tempat manik-
manik dan gelang wanita itu? Baunya steril dan tidak terpakai, dingin dan kaku.
Berbau debu dan kesendirian.
246
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will memandang pada kontrak yang tergeletak di atas ranjang dan memungutnya, tidak
merasa perlu membacanya lagi untuk memahami ketentuan-ketentuan di dalamnya. Ia
belum menyetujui apa pun, ia masih mempertimbangkan semua pilihan yang dimilikinya,
dan.... Ya, apa yang akan ia lakukan menyangkut Lu adalah bagian yang sangat besar
dari pertimbangan itu. Tawaran yang ia terima kurang lebih sama dengan yang telah
Kelby berikan padanya—sebuah posisi sebagai pelatih penasihat sampai ada lowongan
untuk pelatih utama.
Ia tidak mau berperan sebagai cadangan. Ia ingin memegang kendali. Posisi sebagai
cadangan berarti menyerahkan kekuasaan, bekerja di bawah pengawasan orang lain, di
bawah aturan orang itu. Ia tidak suka itu. Tapi dengan Rays posisi tersebut hanya
akan ia pegang selama enam bulan ... Carter akan pensiun pada akhir tahun.
Dan, yang paling penting, di Durban ada Lu, yang kini ia sadari telah menawan
hatinya. Saat wanita itu terbangun di ranjangnya enam minggu yang lalu ia belum
menyadari bahwa sementara ia menyelamatkan Lu sebenarnya wanita itu juga akan
menyelamatkan dirinya.
Menyelamatkannya dari sebuah kehidupan yang penuh dengan petualangan seks dan
wanita-wanita bodoh, dengan pertemuan-pertemuan singkat di mana tubuh bersentuhan
tapi jiwa tidak. Dari sebuah kehidupan tanpa perjalanan wisata yang gila—ia pasti
akan membawa wanita itu terjun payung suatu hari
247
joss ‘Wood
nanti!—dan perdebatan dan momen-momen mesra dan seks yang dipicu oleh cinta.
Komentar Lu yang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak berubah terasa menyengat
seperti seekor kalajengking, dan sekalipun ia tahu bahwa ia sudah berubah, mungkin
ia belum cukup berubah. Lu benar-benar membuatnya ingin menjadi lebih baik. Ia
menginginkan sebuah kehidupan bersama sahabatnya. Ia ingin berdansa dengan wanita
itu di beranda. Ia ingin menjadi orang yang menguji rasa dari kue buatan Lu dan
membuat wanita itu tertawa. Ia ingin menjadi semua yang Lu butuhkan, ingin wanita
itu merasa bangga padanya.
Lu membuatnya percaya pada cinta, pada harapan, pada dongeng khayalan.
Ia sepenuhnya, seutuhnya jatuh cinta pada Lu. Hati dan jiwa dan raganya berada
dalam genggaman wanita itu.
Percikan itu, kini ia sadari, harus dipelihara dalam sebuah bara, dan bara itu
harus dipertahankan. Dengan pembicaraan yang tenang dan pengalaman yang dirasakan
bersama, dengan memberi dan menerima dukungan.
Dengan komunikasi—yang benar-benar tidak ia kuasai.
Tapi Lu—jika ia memang bisa membujuk wanita itu—yang keras kepala, berani dan
setia, juga tidak akan membiarkan percikan itu padam; mereka berdua adalah pejuang
dan bila mereka sanggup melalui semua ini maka mereka tidak hanya akan mampu
248
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
menjaga agar bara itu tetap berkobar tapi juga melakukan sesuatu yang luar biasa.
Will berdiri dan melemparkan kontrak tadi ke atas ranjang, meraih tas kecil yang
belum ia bongkar isinya. Ia akan kembali ke Durban. Ia akan menemukan Lu dan menata
hubungan yang kacau-balau ini. Ia tahu bahwa itu tidak akan mudah, namun ia akan
berusaha sekuat tenaga.
Wanita itu akan menjadi miliknya.
Dikuatkan oleh harapan dan kebulatan tekad, ia menelepon taksi untuk membawanya
kembali ke bandara. Ia akan pulang.
Ia akan mati. Itu sudah pasti.
Lu duduk di pintu Cessna yang terbuka, menghadap keluar, dan kakinya menjuntai ke
udara terbuka. Ia menggapai dan mencengkeram lutut pasangannya dalam kegilaan ini
dan berpikir bahwa selain terlibat hubungan dengan Will, ini adalah tindakan paling
bodoh yang pernah ia lakukan dan, janjinya pada diri sendiri, yang akan pernah ia
lakukan.
Terjun payung bukanlah hal yang terpikirkan olehnya saat ia meninggalkan Durban.
Awalnya ia berencana untuk menghabiskan beberapa malam jauh dari rumah, namun ia
begitu terpukau dengan ketenangan dan minimnya kontak dengan orang lain di
Himeville hingga telah hampir dua minggu sebelum ia mengemudi keluar dari gerbang
penginapan dan seratus meter kemudian melihat sebuah papan tanda yang mengiklankan
tandem jump.
249
joss ‘Wood
Apa-apaan? pikirnya waktu itu. Apa lagi yang akan lebih buruk dari hati yang hancur
berkeping-keping?
Itu lebih buruk—atau sedikitnya sama buruknya. Ya Tuhan, apakah yang berada jauh
sekali di bawah mereka itu adalah seekor burung?
Ia tidak mau mati.... Ia ingin pulang dan menyelinap ke dalam pelukan Will dan
tetap di sana untuk selamanya. Ia ingin terbangun dengan tubuh keras pria itu
merapat pada tubuhnya, ingin mendengar tawa berat Will, ingin dicintai karena ia
jatuh cinta setengah mati pada pria itu.
Ia baru sepenuhnya meyakini hal itu saat ia pergi meninggalkan Will, dan setiap
langkah yang menambah jarak di antara mereka telah ia ambil dengan ber-susah payah.
Rasanya seolah tubuhnya mengenali pria itu sebagai satu-satunya dan telah berjuang
untuk menahan Lu.
Akan tetapi, sekalipun meninggalkan Will terasa berat, ia tahu bawa ia tidak
mungkin bisa tetap bersama pria itu. Will tidak menghargai dirinya sebagaimana ia
menghargai pria itu, dan sayangnya ia tidak bisa memaksa Will untuk itu. Tidak ada
lagi yang tersisa dari hubungan mereka. Pria itu telah pergi, dan ia sedang duduk
di sebuah pesawat terbang untuk berusaha membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia
benar.
Lu bisa melakukan apa pun yang ia mau: ia dapat mencoba hal-hal baru, bertemu
orang-orang baru, jatuh cinta. Ia bisa melakukan terjun payung jika ia bertekad
untuk itu.
250
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Ia telah bertahan setelah kematian kedua orang-tuanya, membesarkan dua bocah laki-
laki, sedang mulai memantapkan sebuah karier. Ia sanggup dan pasti akan bertahan
setelah kehilangan Will.
Memang akan terasa menyakitkan sebentar, tapi setelah itu akan berangsur-angsur
hilang. Penderitaan, dalam wujud apa pun, pada akhirnya selalu lenyap perlahan ...
ia hanya harus melaluinya.
Ia menggemeretakkan giginya. Melangkahlah dengan hati-hati dan teruslah berjalan.
Ia bisa mencoba kursus pottery lagi, terus latihan berselancar atau belajar
melukis. Ada banyak sekali hal yang dapat ia coba untuk mengisi waktu sambil
membiasakan diri dengan ketidakhadiran Will dalam hidupnya, hatinya, pikirannya.
OK, pelajaran sudah dipetik, pikir Lu. Pembicaraan yang bagus dengan dirimu
sendiri.
Jadi, sebenarnya, apakah ia memang harus melompat keluar dari pesawat ini sekarang?
Ia sedang melayang-layang di dekat angkasa, ia ketakutan setengah mati, tapi
berhubung sudah melangkah sampai sejauh ini ia yakin bisa melakukannya jika memang
benar-benar harus—ia bisa melakukan apa pun jika ia benar-benar harus—jadi ia tidak
benar-benar harus melompat keluar dari pesawat, bukan?
Ia bisa sekadar memberi tahu sang ahli terjun payung dengan kalem bahwa ia berubah
pikiran. Ia diperkenankan melakukan itu.
Lu membuat sebuah gerakan memotong pada lehernya, tapi menyadari bahwa pria itu
tidak memahami
251
joss ‘Wood
maksudnya saat ia dan pesawat itu berpisah dan mereka terjatuh ke dalam kehampaan
yang tak nyata.
Oh, Tuhan, ini dia ... ia akan matiiiiiiiiii!
252
Dua Belas
Sore itu, Lu memutar-mutarkan kepalanya, mencoba menghilangkan kekakuan otot sambil
memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Waktu yang telah dihabiskannya di Himeville
ternyata merupakan jeda yang ia butuhkan untuk memikirkan hidupnya secara mendalam:
siang hari yang dingin, malam yang dingin, baterai ponsel yang mati dan tidak ada
koneksi internet. Selain sebuah pesan singkat yang ia kirimkan pada si kembar saat
meninggalkan Durban, untuk menjelaskan bahwa ia pergi selama beberapa hari, ia
sudah lama sekali tidak bicara dengan siapa pun.
Ia butuh kesempatan untuk tidak bicara pada siapa pun untuk jangka waktu selama itu
—butuh waktu untuk menata pikiran dan hidupnya—dan ia senang telah melakukannya. Ia
merasa tenteram, terkendali, lebih tenang.
Setelah menyapa anjing-anjingnya, yang telah diberi makan oleh para tetangga selama
ia pergi, Lu meraih tasnya dan berjalan memasuki rumah. Di dapur ia menepuk-
nepukkan sehelai serbet bersih pada rambutnya untuk menyerap tetesan hujan lalu
menyeka butiran air yang dingin itu dari wajahnya.
joss ‘Wood
Ia menginginkan secangkir teh, mandi air panas dan naik ke ranjangnya yang
berukuran raksasa. Tiba-tiba saja Himeville terasa seperti sudah lama sekali
berlalu, maka pelan-pelan ia mengingat-ingat kembali kesimpulan yang telah ia
dapatkan.
Lu memegangi punggung kursi dapur dan memandang keluar pada taman yang kacau di
luar dapur. Masa lalu tidak dapat diubah. Itu adalah kenyataan yang harus diterima.
Kedua orangtuanya telah bersikap tidak bertanggung jawab dalam keuangan, tapi pasti
akan sangat jauh lebih buruk jika mereka wafat tanpa meninggalkan apa pun untuk
mereka.... Ia tidak akan mampu mempertahankan si kembar dan mereka pasti harus
mengikuti prosedur negara bagian.
Pemikiran tentang itu membuatnya menggigil ngeri.
Kedua orangtuanya telah meninggal dengan sangat tragis, tapi mereka meninggalkan Lu
dan si kembar dalam kecukupan. Ia tidak boleh dan tidak mau berpikir tentang
situasi keuangan mereka sebelum mereka meninggal ... berandai-andai dan mengira-
ngira hanya membuatnya kalut. Jika orangtuanya masih hidup mereka pasti telah
menyusun sebuah rencana, dan ia yakin bahwa apa pun yang terjadi keluarga mereka
pasti akan tetap bersama-sama. Mungkin orangtuanya lalai dan labil, tapi kesetiaan
mereka kepada satu sama lain dan anak-anak mereka adalah sesuatu yang mutlak dan
kokoh.
Bukankah itu yang telah mendorongnya untuk mempertahankan anak-anak? Kesetiaan?
Akhirnya ia
254
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
menyadari bahwa orangtuanya akan sangat bangga padanya atas apa yang telah ia
lakukan, jadi mungkin sudah waktunya untuk menerima hal itu. Ia telah melakukan
semua hal yang biasa dilakukan oleh orang dewasa yang normal, namun ia bisa
berbangga hati dan berkata bahwa ia telah melakukan apa yang seharusnya.
Memangnya kenapa kalau satu orang reporter brengsek menganggap bahwa ia telah
memanfaatkan Will untuk mendorong kariernya? Ia tahu bahwa hal tersebut tidak
benar, Will tahu itu, dan para atasannya tahu itu. Ia memiliki sebuah karier yang
dicintainya dan ia tidak akan pernah meninggalkan kariernya!
Sedangkan mengenai Will.... Yah, tidak ada yang bisa ia lakukan menyangkut pria
itu. Will sudah kembali ke Auckland dan ia sendirian. Ia telah menghabiskan banyak
waktu dengan bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan jika pria itu kembali, jika
Will menawarinya sebuah hubungan jarak jauh, bila pria itu ingin melanjutkan status
teman-tapi-mesra mereka. Ia tidak akan menerima satu pun dari tawaran itu,
putusnya. Will harus melangkah maju atau melangkah pergi. Teman tapi mesra bukan
gayanya. Tidak ada kompromi, tidak ada jalan tengah. Ia berhak memiliki sebuah
hubungan yang nyata dan kokoh dengan seorang pria yang ia tahu akan mendampinginya
dalam situasi apa pun, dan jika Will tak mampu berkomitmen maka hal tersebut adalah
masalah pria itu sendiri.
“Ketelnya sudah hampir gosong.”
255
joss ‘Wood
Lu menoleh dan mengerjap pada Will, yang sedang berdiri di ambang pintu menuju
ruang depan. Ia melongo memandangi pria itu sebelum buru-buru menutup mulutnya dan
melayangkan sebuah tatapan bingung. “Hai. Aku tidak mendengarmu mengetuk pintu.
Maaf.”
Will berjalan dua langkah menyeberangi ruangan dan mengangkat ketel dari tungku
serta mematikan gas. “Aku memang tidak mengetuk pintu. Aku masih menyimpan
kunciku.”
Lu mengangkat kedua alisnya mendengar nada ketus pria itu. Will jelas merasa kesal,
namun ia tak mampu menahan diri untuk mengagumi bahu bidang pria itu dalam balutan
sehelai sweater hijau tua. Jeans yang Will pakai sudah belel dan pudar, dengan
bagian bawah yang berjumbai dan menyentuh flat boot kulit berwarna cokelat. Rambut
pria itu berkilap dengan air hujan dan rahang Will tampak kasar dengan pangkal
janggut.
Pria itu terlihat sangat menawan.
Will menemukan dua buah gelas dan meletakkannya kuat-kuat ke atas meja dapur.
Sebuah pencarian yang berisik lainnya menghasilkan sebotol whiskey yang bahkan
tidak Lu ketahui keberadaannya. Pria itu menuang cukup banyak ke dalam sebuah
gelas, menghabiskannya dalam satu tegukan cepat lalu menuangkan sedikit ke dalam
kedua gelas.
“Kau telah membuatku begitu kacau hingga mulai menenggak alkohol,” gerutu Will.
Setelah mengambil gelas yang pria itu angsurkan, Lu memandangi benda tersebut lalu
memandang pada
256
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Will, yang bersandar pada meja dapur, dengan kedua tungkai disilangkan ke depan,
dan dengan sepasang mata berkilat-kilat mengancam. Pria itu lebih dari kesal—dia
marah besar. Dan Lu tidak perlu menjadi seorang yang luar biasa genius untuk
melihat bahwa segenap kemarahan tersebut tertuju padanya.
Dalam upaya untuk terlihat masa bodoh, Lu duduk di atas meja makan dan mengangkat
kakinya ke atas bantalan sebuah kursi. Will menyipitkan kedua matanya dan Lu
merasakan kekuatan penuh dari tatapan yang setajam sinar laser itu. OK, ini buruk.
Pria itu telah melewati batas marah dan kini mulai murka.
“Dari mana saja kau?” tanya Will dengan gigi bergemeretak geram.
Lu mengabaikan minumannya dan menumpukan kedua lengan bawah pada pahanya. “Di
Himeville.”
“Aku bahkan tidak tahu di mana itu! Kau menghilang selama dua minggu dan hanya itu
yang kudapatkan? Di Himeville?”
Lu memiringkan kepala melihat kemarahan pria itu. Ia berpikir untuk berkata bahwa
sepengetahuan-nya ia adalah seorang wanita dewasa dan ia tidak harus menjelaskan
pada siapa pun ke mana ia akan pergi atau kenapa. Firasatnya mengatakan kalau hal
itu akan seperti menyulutkan sebatang korek api ke sebuah tong berisi bubuk mesiu.
“Ya. Di Himeville.”
“Dan kau tidak berpikir bahwa mungkin aku akan bertanya-tanya di mana kau berada?”
“Aku sudah memberi tahu Kelby kalau aku akan pergi untuk beberapa hari,” protes Lu.
257
joss ‘Wood
“Aku bukan Kelby, dan ‘beberapa hari’ adalah dua atau tiga—bukan sepuluh!” bentak
Will.
Kedua mata Lu melebar, tapi Will belum selesai.
“Dan aku tidak tahu di mana kau berada—apa kau baik-baik saja—apa kau mengalami
kecelakaan. Si kembar tidak mengetahui keberadaanmu, dan begitu juga teman-
temanmu!”
“Kau bahkan tidak ada di sini! Kau berada di New Zealand!”
“Aku di New Zealand selama sepuluh jam\ Kalau saja kau memberiku kesempatan untuk
menjelaskan maka aku pasti sudah memberitahumu kalau itu adalah kunjungan singkat,
sebuah perjalanan pulang-pergi.”
“Kalau saja kau meneleponku dan menjelaskan pasti aku akan mengetahuinya!” Lu balas
menukas.
“Aku sudah mencoba! Setiap jam selama sepuluh hari!”
“Aku butuh waktu untuk menjauh sejenak—untuk berpikir,” tambah Lu, dengan nada
berapi-api penuh kejengkelan.
Hardikan Will bertambah tiga puluh desibel lebih kuat. “Aku menjadi gila karena
mencemaskanmu! Aku bahkan sudah mulai menelepon rumah-rumah sakit.”
“Bisakah kau berhenti meneriaki aku? Kurasa reaksimu ini agak berlebihan, Will.”
“Omong kosong! Tahukah kau di mana seharusnya aku berada sekarang ini? Bersama
timku, membantu Carter bersiap untuk sebuah pertandingan tiga jam lagi, tapi
sebaliknya aku berkendara mele-
258
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
wati rumahmu sambil berdoa kau akan pulang!” Will mengusapkan kedua tangan ke
wajah. “Kau benar-benar tidak mengerti, ya?”
Lu mengangkat kedua tangannya dengan kebingungan. “Mengerti apa?”
Will menatap ke sebuah titik di balik bahunya. Sepasang mata pria itu dikelilingi
lingkaran hitam, wajahnya letih dan rambutnya kusut. Lu melihat Will menghela napas
dengan berat dan membuka mulut untuk bicara, tapi tidak ada kata yang terucap.
“Will, maafkan aku karena telah membuatmu khawatir. Mengingat pembicaraan terakhir
kita, aku berpikir bahwa kau telah meninggalkan kota dan bahwa kau akan merasa lega
karena aku sudah pergi dari hidupmu. Aku baik-baik saja dan—”
“Kau masih tidak mengerti.” Kini suara Will terdengar tenang. Hal itu membuat Lu
kebingungan. “Yah, berarti aku harus menunjukkannya padamu. Beri aku waktu
sebentar.”
Ia mengamati, dengan melongo, saat pria itu mencabut ponsel tipis dari saku dan
menekan beberapa tombol. “Mak—dia sudah kembali.” Will menunggu beberapa detik
sebelum bicara lagi. “Ternyata dia pergi ke Himeville—di mana pun itu.”
“Aku baik-baik saja, Mak!” protes Lu, tapi Will melayangkan sebuah tatapan yang
mengisyaratkan agar ia menutup mulutnya.
Pandangan pria itu tidak sekejap pun berpaling darinya.
Will menutup telepon, dan melempar benda itu ke atas meja dapur. Lu membalas
gerakan pria itu dan
259
joss ‘Wood
meluncur turun dari meja, sambil mengepalkan kedua tangan pada pinggulnya. “Aku
sudah bilang kalau aku menyesal, tapi ini benar-benar tidak ada hubungannya
denganmu, dan aku—”
“ Tidak ada hubungannya denganku?'
Lu sedang mencoba menyampaikan jawabannya ketika Will menyambar tubuhnya,
menariknya ke arah pria itu dan mendaratkan bibir pada bibirnya, mulut Will
menangkap kata-kata yang masih berusaha ia ucapkan. Sebelum Lu sempat berpikir
untuk menolak, lidah pria itu meluncur masuk ke dalam mulutnya dan ia kehilangan
kemampuan untuk berpikir. Darah mengalir turun dari kepalanya dan ia hanya sanggup
bertahan di atas kedua kakinya sementara Will mengenyahkan setiap penolakan dengan
ciumannya. Kedua tangan lebar Will menjalar ke balik pakaian Lu dan dalam satu
gerakan tangkas melepaskan bra-nya. Tangan hangat pria itu berada di buah dadanya,
meremas kedua puting susunya hingga menimbulkan rasa nyeri yang berdenyut dan
sedikit mendekati rasa sakit.
Lu merintih dalam mulut Will, mengaitkan kedua tangan pada leher pria itu dan
mendorong tubuhnya ke atas. Kedua tungkainya melingkar erat pada pinggang Will dan
titik di antara pahanya menggesek pada ereksi pria itu.
Will menahan tubuhnya tanpa kesulitan dan hanya menciuminya. Lalu pria itu
menciuminya lagi, dengan mulut membuka dan hati terbuka. Ia dapat merasakan tubuh
Will bergetar, tahu kalau getaran itu muncul dari emosi, dan mendesakkan tubuhnya
pada
260
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
tubuh Will, ingin menyerap setiap emosi yang nyata yang bisa ia rasakan memancar
dari tubuh pria itu.
Will mendudukkannya di atas meja dapur dan menggenggam wajahnya, dengan tatapan
menelusuri wajahnya.
Lu menggigit bibirnya. “Will? Mengapa kau berhenti?”
Jemari pria itu menyapu pada mulutnya, pipinya, membelai telinganya.
“Aku perlu tahu bahwa kau selamat—secara fisik, mental, emosional.”
Konsentrasi Lu melompat-lompat antara kata-kata dan tindakan Will, pikiran dan
hatinya berusaha memahami kata-kata Will sementara libidonya menuntut agar pria itu
menciuminya lagi.
Ia tak mampu berpikir.
“Kau pikir bagaimana rasanya jika tahu kalau kau terluka dan tidak ada yang bisa
kulakukan untuk menolongmu? Kalau aku tidak ada di sisimu untuk membebaskanmu dari
pikiranmu yang terlalu berbahaya? Kalau aku tidak ada di sisimu untuk menghapus air
matamu?”
Lu menggigit bibirnya, tak sanggup menundukkan tatapan dari Will.
“Ada banyak sekali air mata, bukan begitu, Mermaid?”
Ponsel yang diselipkan ke dalam saku belakang pria itu berbunyi dan Will
mencabutnya dengan tangan kanan. “Kelby dan Carter ingin tahu di mana aku berada.”
261
joss ‘Wood
Lu mengerutkan keningnya sambil melompat turun dari meja dapur. “Kupikir kontrakmu
dengan Rays telah berakhir?”
“Itu satu dari banyak hal yang perlu kubicarakan padamu. Aku tidak bisa
melakukannya sekarang.” Will melirik pada jam tangan yang dipakai. “Aku harus pergi
ke stadion. Sebenarnya ini sudah terlambat.”
“Aku sependapat bahwa kita memang perlu bicara,” ujar Lu, dengan tangan memelintir
baju pria itu. “Tapi aku tidak yakin kau akan menyukai apa yang harus kukatakan.”
Will meletakkan kedua tangan di bawah siku wanita itu dan dengan mudah mengangkat
tubuhnya sehingga pria itu bisa menatap lurus ke dalam kedua matanya. Otot-otot
lengan Will mengepal saat menahan tubuhnya. Ekspresi pria itu penuh kesungguhan dan
kekeraskepalaan. “Baiklah, kalau begitu, kau harus tahu hal ini sebelum mengatakan
apa pun yang harus kau katakan. Ke mana pun kau melarikan diri, aku pasti akan
menemukanmu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku—tidak akan pernah. Kau
adalah duniaku—segalanya bagiku. Kaulah yang kubutuhkan. Kaulah hal terpenting
dalam hidupku. Berada bersamamu adalah satu-satunya hal yang kuinginkan.”
Lu merasa ketegangan yang menyelimuti hatinya musnah. Ia begitu terperanjat hingga
bahkan tak mampu tersenyum. “Aku—”
Will menurunkan tubuhnya. “Aku harus pergi, Lu, tapi gunakan beberapa jam ke depan
untuk mem
262
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
biasakan diri dengan pemikiran bahwa kau dan aku adalah satu. Bahwa aku mencintaimu
dan bahwa kita berdua tidak akan pergi ke mana-mana.” «'T» • >5
lapi—
Will mendaratkan sebuah kecupan pada rambutnya dan satu tangan pria itu mengusap-
usap bahunya. Will terlihat risau dan pilu, tertekan dan agak ketakutan. Hati Lu
dipenuhi keharuan.
“Sampai nanti—kumohon? Aku akan kembali setelah pertandingan ... sekitar jam
sebelas. Tunggu aku, OK?”
“Uh ... OK.”
Lama setelah mendengar pintu depan menutup barulah ia benar-benar memahami makna
kata-kata pria itu. Will mencintainya dan ingin bersamanya. Akhirnya akan ada akhir
bahagia-untuk-selamanya yang merupakan miliknya sendiri.
Lu melepaskan gejolak tawa yang telah ia tahan sejak tadi dan memutar-mutarkan
tubuhnya, sambil meringis lebar seperti orang idiot.
Menunggu sampai pria itu pulang? Ia rasa tidak.
Fakta bahwa Rays telah memenangkan pertandingan dan memastikan posisi mereka di
perempat final sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya dan berkaitan erat
dengan timnya, simpul Will dengan sedih sambil menunggu dipanggil untuk melakukan
sebuah wawancara pasca pertandingan yang disiarkan di televisi. Ia tidak
berkontribusi sedikit pun selama
263
joss ‘Wood
keseluruhan delapan puluh menit durasi pertandingan. Biasanya ia memiliki rentang
waktu konsentrasi yang menakjubkan, tapi malam ini ia diserbu pemikiran tentang Lu
yang tak mampu ia kendalikan.
Will memandang ke lapangan, yang dipenuhi dengan para penggemar dari segala usia
yang sedang merayakan kemenangan mereka, dan bertanya-tanya apakah Lu menonton
pertandingan tadi. Ia gembira dengan kemenangan itu—tentu saja dia gembira— tapi
pikirannya hanya berisi Lu. Ia telah mengacau sebelumnya dengan meneriaki wanita
itu lalu merancukan situasi dengan ciuman panas tadi. Lalu ia menambahkan
kekisruhan pada sebuah situasi yang sudah rumit dengan mengatakan pada Lu bahwa ia
jatuh cinta pada wanita itu. Yah, ia memang jatuh cinta— tapi seharusnya ia bisa
menemukan sebuah cara yang lebih romantis untuk mengatakannya.
Lu adalah keseluruhan dari apa yang ia inginkan, butuhkan dan harapkan.
Tapi bagaimana jika ia bukanlah apa yang wanita itu inginkan dan butuhkan? Apa
maksud Lu saat berkata bahwa mungkin ia tidak menyukai apa yang harus wanita
tersebut katakan? Kira-kira apa artinya itu? Kenapa tadi ia tidak meluangkan
sedikit waktu lagi dan bicara hingga tuntas dengan Lu? Setidaknya sekarang ia tidak
akan tersiksa seperti ini.
Will melirik pada arlojinya. Ia harus bersikap manis pada para sponsor, mengucapkan
selamat pada timnya, lalu ia bisa pulang. Brengsek, si pewawancara ini lambat
sekali. Ia bahkan tidak seharusnya melaku-
264
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
kan wawancara ini, tapi Carter benci berurusan dengan pers dan telah mengalihkan
tanggung jawab itu padanya. Ia menduga bahwa hal itu akan berlangsung selama enam
bulan ke depan. Carter akan memperoleh kejayaan dan Will-lah yang harus bekerja
keras. Ia bisa terima itu. Enam bulan lagi tim ini akan menjadi miliknya lagi.
Ia ingin segera bersama Lu, namun ia juga ingin menangguhkan berita buruk apa pun
selama yang ia bisa—ia ingin mempertahankan harapan bahwa mereka punya masa depan.
Ia telah menyadari bahwa jika Lu berkata bahwa wanita itu tidak menginginkan
dirinya maka ia harus sanggup menyingkir dan mengobati lukanya sendiri. Ia tidak
yakin mampu melakukan wawancara apa pun jika tadi Lu mengusirnya.
Ia melihat isyarat untuk maju dan berdiri di depan pewawancara dan menghela napas
dalam-dalam. Bicaralah dengan singkat, ringkas, selesaikan dan pulanglah pada Lu.
Lu, dalam balutan jeans, sehelai sweater tebal dan sebuah topi yang ditarik rendah
menutupi kedua matanya, mengamati saat Will berjalan menjauhi kamera, menghindari
sekelompok anak kecil yang sedang saling menjegal satu sama lain dan berjalan
menuju terowongan pemain. Pria itu menyentakkan dasinya ke bawah dan membuka satu
kancing kerah kemejanya, menelusurkan satu tangan ke sela-sela rambut.
265
joss ‘Wood
Will menyibakkan bagian bawah jasnya ke belakang dan memasukkan kedua tangan ke
dalam saku celana panjang. Pria itu tampak letih dan galau serta nyaris kehabisan
kesabaran. Seorang remaja laki-laki berlari menghampirinya dan senyumannya tidak
sesantai biasanya saat menandatangani sebuah bola rugby dengan terburu-buru. Lu
bisa melihat ketegangan di bahu Will, dalam pandangan yang sering pria itu
layangkan ke arah pintu keluar.
Setelah menyelipkan iPad-nya ke bawah lengan, Lu menjejalkan kedua tangan ke dalam
saku jaketnya dan mulai berjalan menghampiri Will.
“Will!” panggilnya, dan kepala pria itu berpaling dengan cepat.
Tatapan mereka bertemu dan Will memiringkan kepala, sambil menunggunya di pinggir
lapangan. Setelah ia berada dalam jangkauan, pria itu mengulurkan satu tangan
padanya dan ia melihat sebagian ketegangan Will lenyap saat ia menyelipkan satu
tangannya ke dalam tangan pria itu.
“Kenapa kau datang ke sini?”
“Ada sesuatu yang harus kutunjukkan padamu. Maukah kau ikut denganku?”
“Tentu. Ke mana?”
Lu menganggukkan kepala ke arah tempat duduk baris pertama di dalam stadion yang
sudah hampir kosong itu. “Ayo kita duduk.”
Will memandang berkeliling dengan ragu. “Di sini agak dingin, dan hujan akan turun
lagi. Kau tidak ingin masuk ke dalam?”
266
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu menggelengkan kepalanya sambil membawa Will menaiki tangga dan mendudukkan pria
itu di salah satu kursi plastik yang keras. Ia menyilangkan kedua tungkainya dan
menghela napas, lalu memandang ke lapangan.
“Waktu kita bertengkar aku mengatakan bahwa kau belum berubah, bahwa kau masih sama
persis seperti saat usiamu dua puluh empat,” ujar Lu, suaranya tersendat. “Itu
sangat kasar serta kejam dan aku menyesal telah berkata begitu.”
“Terkadang aku bertanya-tanya apakah itu memang benar,” sahut Will, sambil
menaikkan kakinya ke atas kursi di depan pria itu.
“Kau tahu itu tidak benar, Will. Aku sangat menghargai bagaimana kau mengubah
hidupmu dan aku sangat bangga padamu karenanya. Aku prihatin karena kau masih
dibebani perasaan bersalah yang begitu besar tentang periode tertentu dalam
hidupmu, tapi mungkin sebaiknya kau memaafkan atlet muda konyol dan dungu yang dulu
itu.”
Lu mengambil iPad dari bawah lengan dan menyalakannya.
“Ada apa ini, Lu?”
Lu mengetuk-ngetuk layar iPad. “Kau pernah bertanya apakah fotografi
merupakanpassion-ku...”
“Memang—tentu saja itu adalah passion-mw^ sahut Will, dengan suara yang penuh
keyakinan sementara serangkaian foto yang ia ambil bermunculan di layar.
267
joss ‘Wood
Will menunjuk pada layar iPod saat sebuah foto muncul. “Apakah ini foto dari
pemotretan kalender waktu itu?”
Lu menunduk memandangi foto para anggota tim yang telanjang—dengan bagian intim
yang ditutupi— dan tersenyum. Mereka semua sedang tertawa, semua terlihat seksi,
semua tampak seolah sedang menikmati saat-saat paling menyenangkan dalam hidup
mereka.
“Dalam warna hitam putih, foto ini dingin dan kaku—jadi kenapa aku merasa kalau
foto ini berwarna?” Will memiringkan kepala, sambil berpikir. “Emosi mereka,
kegembiraan mereka ... itulah yang memberi kesan berwarna.” Will memandang padanya,
dengan ekspresi luar biasa takjub. “Ini foto yang mengagumkan ... mereka tampak
begitu bahagia. Bagaimana kau melakukannya, Lu? Memunculkan warna dengan emosi?”
“Tequila? gurau Lu. “Tetapi, alasanku menunjukkan ini padamu adalah karena aku
telah menyadari bahwa sekalipun aku mencintai pekerjaanku, ^/zz/lah hasrat
terbesarku.”
Lebih banyak foto lagi menyusul, diawali dengan foto Will yang pertama kali ia
ambil, tampak serius tapi kompeten. “Malam itu aku merasa seperti mengenali jiwamu
tapi sekarang—” beberapa foto Will yang sedang melatih muncul di layar menyusul
foto tadi “—aku yakin.”
Lu mencuri pandang pada Will, yang terlihat kagum pada foto pria itu sendiri di
layar.
268
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Tahukah kau bahwa sedikitnya separuh dari ribuan foto yang kuambil selama sebulan
terakhir ini adalah fotomu?” Ia bertanya pada Will. “Aku sangat menyukai yang satu
ini,” ujarnya, sengaja bersikap riang, sambil bersandar pada bahu pria itu. Dalam
foto tersebut Will sedang berjongkok di lapangan, dikelilingi oleh pasukan pria
itu, dengan ekspresi serius tapi sepasang mata yang berkilauan. “Ini menangkap
gambaran tentang bagaimana perasaanmu tentang rugby. Hasratmu.”
“Sampai aku bertemu denganmu,” ujar Will dengan suara parau.
Lu menelan ludah dan mengerjap untuk menghalau air matanya sambil menunjuk ke layar
lagi. “Foto-foto berikutnya menangkap apa yang paling aku sukai tentang dirimu....”
Will sedang menyantap kue di beranda, melemparkan sebuah bola rugby pada Deon di
pantai, menceritakan sebuah lelucon pada Kelby, berbaring di samping kolam renang
dalam balutan celana renang, sinar mentari memantulkan cahaya gemerlapan pada sosok
berotot pria itu.
Will tertawa ketika melihat beberapa foto.
Lu menyelipkan satu tangannya ke dalam tangan Will dan menjalinkan jemarinya dengan
jemari pria itu. “Inilah yang kulakukan—inilah diriku, Will. Dan sepertinya kau
adalah subjek favoritku.” Lu setengah berbalik di kursinya untuk menghadap pada
pria itu. “Sebelum kau mengatakan apa pun, aku ingin memberitahumu bahwa aku telah
menurunkan kanvas-
269
joss ‘Wood
kanvas berukuran raksasa itu dari ruang depan dan ruang duduk serta menyimpannya di
ruang kerja.”
Will mencondongkan tubuh ke depan dan emosi dalam tatapan pria itu membuatnya
mengerjap.
“Kenapa kau menurunkannya, hori? Kau sangat menyayangi foto-foto itu.”
Lu mengerutkan bibirnya. “Memang, tapi sudah waktunya untuk melanjutkan hidup. Aku
punya begitu banyak foto kedua orangtuaku dan si kembar yang bertebaran di mana-
mana. Aku tidak ingin lagi foto-foto itu mendominasi rumah dan pikiranku. Aku
menginginkan foto-foto kita dan kau—keluarga dan kenangan-kenangan baru.”
Sepasang mata Will tampak menyala-nyala. “Lu ... astaga... ”
“Orangtuaku sudah tiada, dan aku merindukan mereka, tapi sudah waktunya untuk
merelakan ke-pergian mereka. Si kembar sudah mulai menjalani kehidupan mereka
sendiri serta mengambil keputusan sendiri dan aku harus melanjutkan hidupku.”
“Melanjutkan ke tahap apa, Lu?”
Lu tersenyum lembut. “Kau, aku, kita?
Suara Will samar-samar kedengaran emosional saat akhirnya pria itu menjawab. “Jadi
ada kita di masa de-■0’ pan?
Lu menatap pria itu lekat-lekat, penuh keterkejutan. Menilai dari ekspresi takut-
takut itu, Will masih meragukan dirinya—ragu kalau Lu mencintainya. Bagaimana
mungkin?
“Kenapa tidak?”
270
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Karena tadi kau bilang harus mengatakan sesuatu yang tidak akan kusukai....”
Mau tak mau Lu tersenyum. Bagaimana prianya yang cerdas ini bisa sampai salah
paham?
“Aku hendak mengatakan padamu bahwa aku menginginkan yang lebih dari sekadar teman
dengan hubungan mesra! Kau masih tampak ragu ... mengapak
“Aku hanya tidak percaya dengan betapa beruntungnya diriku.” Will mengusap-usap
tengkuk pria itu sendiri, dengan tatapan yang dipenuhi emosi. “Aku benar-benar
berharap kau bisa melihat dirimu sendiri melalui kedua mataku—berharap kau memahami
betapa luar biasanya kau menurutku. Kau fotografer yang genius dan pribadi yang
sangat murah hati dan tidak egois. Aku adalah pria yang berapi-api dan ambisius
serta sering bertingkah egois. Aku pribadi yang keras, dan aku takut akan
menyakitimu.”
“Apakah kau akan selingkuh dariku?” tanya Lu, sambil memiringkan kepala.
“Tidak.”
Jawaban Will cepat dan bersungguh-sungguh. Lu bahkan tidak perlu menanyakan hal
itu. Ia sudah mengetahui jawaban untuk pertanyaan tersebut dalam hatinya. Namun ia
pikir pria itu perlu mengatakannya.
“Apakah kau akan menuntutku untuk berhenti bekerja?”
Penyangkalan, yang cepat dan berapi-api, berkelebat dalam sepasang mata Will.
“Tidak. Kau mencintai pekerjaanmu—untuk apa aku melakukan itu?”
271
joss ‘Wood
Lu menunduk memandangi tangan mereka yang bertaut. “Will, jangan terlalu memujiku
dan menganggapku ideal, karena aku akan membuatmu kecewa. Aku melakukan satu hal
baik, dan aku bangga karenanya, tapi itu bukan keseluruhan diriku. Aku bisa
bertingkah sangat menyebalkan dan labil, dan ada hari-hari di mana aku ingin
mengurung diri di studioku dan tidak mau keluar. Akan ada hari-hari dengan
kesedihan dan frustrasi, saat-saat penuh kegilaan, waktu-waktu berisi
ketidaklogisan. Terkadang aku akan merasa tidak percaya diri dan mungkin akan
melakukan beberapa kesalahan yang sangat besar. Begitu juga denganmu. Tetapi,
dengan menginterpretasikan perkataan si pirang yang termasyhur, Marilyn Monroe,
jika kita tak mampu saling menghadapi satu sama lain pada masa-masa terburuk kita,
maka kita sama-sama tidak berhak atas yang terbaik dari satu sama lain. Aku bukan
malaikat, dan begitu juga dirimu, dan aku akan merasa sangat tidak senang kalau
kita memang malaikat. Aku berdiri di sini untuk berusaha memberitahumu bahwa aku
hanyalah Lu....”
“Dan menurutku kau sempurna—dengan segala kekuranganmu.”
“Dan bahwa aku mencintaimu.” Kedua mata Lu penuh dengan emosi.
Kepuasan menari-nari di wajah Will saat pria itu bangkit berdiri. “Dan aku sangat
jatuh hati padamu.”
Will mengangkat kedua tangan dan mendekap wajahnya, sepasang mata pria itu dipenuhi
kobaran cinta untuknya. Lu tenggelam dalam ciuman Will dan
272
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
kebahagiaan menggelegak di dalam dirinya saat ia menyandarkan tubuhnya dalam
pelukan pria itu, merasakan kedua lengan kokoh itu menyelimutinya.
Ia berada di mana ia seharusnya berada ... akhirnya. Pria ini adalah rumahnya.
Ia mengenali sebuah suara—bunyi klik dan desiran kamera ... lagipula, selain suara
tawa Will, itu adalah suara favoritnya di dunia. Lu melepaskan mulutnya dari mulut
Will lalu berpaling dan melihat seorang wanita berambut gelap yang berdiri persis
di bawah mereka.
“Namaku Lin Reynolds. Bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan?” tanya wanita
itu, sambil mendongak memandangi wajah mereka.
Sepasang mata Will berkilat-kilat penuh amarah. “Tidak. Dan bukankah sudah agak
terlambat bagimu untuk mengajukan pertanyaan? Kupikir kau menulis artikel dulu dan
memeriksa faktanya belakangan.”
Lin Reynolds ... penulis artikel yang telah membuatnya melarikan diri. Lu
mengangkat kedua alisnya saat wanita itu mengibaskan kepala dan mendengus
menanggapi pernyataan Will.
“Seolah Anda bersedia akan menjawab pertanyaan apa pun soal foto it^
“Mungkin tidak.” Will menggenggamkan satu tangan pada tengkuk Lu dan tatapan pria
itu melembut saat memandang padanya. Kebahagiaan, kepuasan dan kelegaan tampak
menyala-nyala dari sepasang mata Will.
273
joss ‘Wood
“Pergilah,” ujar pria itu, tanpa memalingkan tatapan dari wajahnya.
“Lagipula apa yang membuat Anda tertarik padanya?” desak si reporter lancang.
Ya ampun, perempuan ini benar-benar menjengkelkan.
Lu mendongakkan kepalanya dan melayangkan sebuah seringai nakal pada Will. “ Yeah,
Will, lagipula apa sebenarnya yang membuatmu tertarik padaku?”
Pria itu memandang lurus ke dalam kedua matanya dan tersenyum lembut. “Menurutku
dia berani, setia dan penyayang. Juga sangat seksi.”
“Cuma karena dia dulu adalah seorang pengasuh yang hebat?”
Itulah yang ia pikirkan dulunya—tapi ia bukanlah pengasuh yang hebat. Ia adalah
mata rantai antara si kembar dengan kedua orangtua mereka, tempat mereka berlabuh
dalam setiap terpaan badai, sebuah kehadiran yang kokoh dan konsisten dalam hidup
mereka.
Ia juga akan menjadi sosok yang sama untuk Will.
Dan mereka telah menikmati seks yang sangat panas bersama. Whoo!
“Aku tahu tatapan itu,” bisik Will, dan meringis.
“Sudah seharusnya,” gumam Lu, sambil melirik ke kanan. “Dia masih di sini....”
“Harus kuakui bahwa dia memang gigih,” ujar Will, dan sambil mendesah penuh
frustrasi pria itu kembali pada si jurnalis menyebalkan tadi. “Apa kau bersenang-
senang dengan mengganggu sebuah mo-
274
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
men pribadi? Dan, omong-omong, apa yang kau lakukan di umur sembilan belas? Seks,
narkoba dan rock and volt* Kau baru saja mencela orang yang salah, Ms. Reynolds ”
Perempuan itu melipat kedua lengan di depan dada. “Aku tetap beranggapan bahwa ada
banyak sekali yang Anda sembunyikan ... persis seperti yang Anda rahasiakan dari
semua orang tentang perceraian Anda.”
“Perceraianku adalah berita yang sudah sangat kuno dan sangat membosankan. Satu-
satunya hal yang harus kau ketahui adalah bahwa aku mencintai Lu dan—”
“Aku mencintainya,” Lu menimpali, senyumnya melebar memikirkan hal itu.
“Dan...?” Lin mencondongkan tubuh ke depan dengan antusias. “Apakah kalian akan
menikah? Menjadikan hubungan kalian sah secara hukum?”
“Kami tidak akan memberitahumu soal itu,” tukas Will.
“Tapi ... apa lagi yang bisa kuberitakan pada para pembacaku?”
Lu, sambil merapat ke sisi tubuh Will, merasa iba pada wanita menyedihkan ini yang
menjalani hidupnya dengan memberikan laporan tentang kehidupan orang lain.
“Sungguh, Ms. Reynolds, tidak ada yang bisa diceritakan di sini. Will dan aku
bersama, kami saling tergila-gila pada satu sama lain, dan kami akan amat sangat,
luar biasa bahagia. Setia, penuh cinta ... setia pada satu pasangan. Tanpa ke-
275
joss ‘Wood
hebohan, tanpa drama. Dia akan terus melatih. Aku akan terus memotret.”
Will memandang padanya dengan tatapan setuju. “Itu secara singkatnya.” Pria itu
menoleh pada Lin dan meringis. “Kau boleh kutip pernyataan kami.”
Setelah sang reporter pergi dan tidak bisa lagi mendengar pembicaraan mereka, Will
melingkarkan lengan yang satunya pada pinggang Lu dan menariknya ke tubuh pria itu.
“Amat sangat, luar biasa bahagia, Mermaid?”
Lu meringis. “Terucap begitu saja.”
“Menurutku kedengarannya bagus. Ayo kita pu-•ang”
“Rumahmu atau rumahku?”
Will menyapukan satu ibu jari pada bibirnya. “Aku benar-benar berharap rumahmu juga
bisa menjadi rumahku. Setidaknya untuk lima tahun ke depan, berhubung aku telah
menandatangani sebuah kontrak dengan Rays yang akan menahanku di sini selama itu.
Aku tidak ingin menghabiskan satu malam lagi tan-pamu. Kau setuju?”
“Sangat. Aku hanya menginginkan dirimu ... untuk selamanya.”
Bibir Will menyentuhnya dalam sebuah ciuman yang diluapi rasa cinta dan membanjiri
setiap atom dalam tubuhnya, menjanjikan cinta dan kesetiaan serta perlindungan. Lu
mendesah dalam mulut pria itu saat meraih dan menggenggam rasa bahagia yang
bermandikan cahaya berkilauan.
Ia adalah Lu, akhirnya. Dan bagian terbaiknya
276
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
adalah ia amat sangat tergila-gila pada seorang pria yang juga mencintainya. Hidup
ini luar biasa menakjubkan, pikirnya, saat mereka berjalan menuju pintu keluar
dengan satu lengan saling merangkul satu sama lain.
277
Epilog
Tujuh bulan kemudian, pada ulang tahun Lu yang ketiga puluh, ketiga prianya berdiri
di hadapan para tamu yang berkumpul di beranda rumahnya yang berukuran besar untuk
merayakan ulang tahunnya. Ia merasakan napasnya tercekat. Si kembar sudah hampir
sama tingginya dengan Will—kedua bocah laki-laki-nya yang berambut pirang,
pemberani, dan baik.
Dan Will, yang terlihat begitu seksi dalam balutan celana panjang hitam dan sehelai
kemeja katun putih yang memamerkan kesempurnaan tubuh indah itu, berdiri di antara
si kembar, dengan kedua tangan dijejalkan ke dalam saku, tampak benar-benar santai.
Seperti Nate dan Daniel, Will juga ingin memberikan sambutan, tapi tidak seperti
adik-adik Lu, pria itu tidak membutuhkan kartu yang berisi tulisan untuk
mengingatkan tentang apa yang hendak dikatakan.
Will memiliki mulut yang sangat pandai—di dalam dan di luar kamar tidur.
Nate berdeham sementara Daniel mengetuk-ngetukkan sendok pada kaki gelasnya. Para
tamu terdiam dan tatapan Lu bertemu dengan tatapan Will serta tersenyum membalas
kedipan mata pria itu.
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
“Terima kasih semuanya karena telah bergabung dengan Daniel, Will dan aku pada
acara ini untuk merayakan ulang tahun Lu yang ketiga puluh. Seperti yang sebagian
besar dari kalian ketahui, Lu telah membesarkan kami setelah kedua orangtua kami
meninggal saat kami berumur delapan tahun, dan sekitar setahun yang lalu kami pergi
meninggalkannya untuk kuliah. Waktu itu kami sangat takut kalau dia akan mengurung
diri di rumah ini dan mulai mengajak bicara kucing-kucingnya.”
Terdengar tawa yang bergemuruh sementara Daniel mengambil alih pidato. “Sebaliknya
dia bertemu Will, dan kami sangat senang karena dia memilih seseorang yang bisa
mengatur tiket masuk ke pertandingan rugby mana pun yang kami mau dan yang bisa
mengajak kami berlatih dengan Rays. Selain dari kedua hal itu, Will sangat tidak
berguna.”
Will memutar kedua mata sementara anak-anak menepuk-nepuk bahu pria itu. Yeah,
tidak berguna, pikir Lu. Kecuali saat mereka telah melampaui batas pemakaian uang
saku mereka dan meminta pinjaman pada Will. Atau saat mereka membutuhkan saran
menyangkut gadis-gadis, atau pelajaran mereka, atau sekadar untuk mengobrol. Will
telah dengan mulus memasuki peran sebagai penasihat serta seorang kakak, dan si
kembar menghargai kehadiran pria itu dalam hidup mereka. Kini Will memiliki arti
yang jauh lebih penting bagi mereka daripada sekadar kekasih Lu yang tinggal
serumah, dan rasa haru dan bahagia membuat tenggorokannya tercekat hanya dengan
mengingat
279
joss ‘Wood
ikatan yang mereka miliki. Bila sampai terjadi sesuatu pada dirinya, ia tahu bahwa
mereka tidak akan pernah kehilangan Will.
Daniel meneruskan. “Tapi dia membuat Lu bahagia, dan kami sangat berterima kasih
padanya untuk itu.”
Air mata Lu merebak dan ia melihat tenggorokan Will bergerak-gerak saat Will
menelan ludah untuk menahan gejolak emosi pria itu sendiri.
“Jadi, Lu, kami membelikanmu satu lagi tiket untuk terjun payung—bukan berarti kau
benar-benar melakukannya saat pertama kali.”
Lu meminjam salah satu ungkapan favorit Will. “Hell, no^ serunya.
Ia telah memberi tahu mereka bahwa ia melakukan terjun payung waktu di Himeville
tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memercayainya, bersikeras bahwa ia hanya
mengarang-ngarang cerita itu agar bisa lolos dari keharusan untuk benar-benar
melakukannya. Lu mengatakan dengan tegas bahwa ia tidak peduli mereka percaya
padanya atau tidak, tapi perdebatan itu terus memanas.
“Kau benar-benar penakut ujar Nate dengan pura-pura muak.
“Dan bangga karenanya,” tukas Lu sementara para tamu tergelak.
“Tetapi,” lanjut Daniel, “hadiahmu yang sebenarnya adalah semacam hadiah
gabungan ... dari Will, Nate dan aku.”
280
‘loo Much of A Qooct ‘Thing
Lu memiringkan kepalanya dengan rasa penasaran.
Nate menatapnya lekat-lekat. “Kami ingin memberimu rumah, Lu. Rumah ini. Kami ingin
mengalihkan bagian kepemilikan kami di dalamnya padamu. Sebagian sebagai ucapan
terima kasih karena telah memberi kami sebuah tempat yang aman saat hidup kami
hancur berantakan. Terima kasih karena kau telah sangat berani dan begitu
menyayangi kami untuk melakukan itu.”
“Dan kami sangat ingin kau tinggal di sini dengan Will, tapi kalau sampai dia
membawamu pindah ke Auckland dan melatih tim mereka maka kami tidak akan senang!”
tambah Nate.
“Begitu juga aku!” seru Kelby dari bagian belakang ruangan.
Lu memegangi lehernya dengan satu tangan sementara air mata mengalir turun ke
wajahnya. Will seperti bayangan buram dari sekumpulan otot saat pria itu melangkah
maju dan meraih satu tangannya. Lu mengerjap dan Will muncul dalam fokusnya,
sebentuk cincin yang berkilauan terlihat berada di antara ibu jari dan jari
telunjuk pria itu.
Lu melongo pada cincin berhiaskan batu aquamarine dan berlian itu kemudian pada
Will. “Ap—?”
Pria itu menggelengkan kepala untuk menyuruhnya diam. “Bagianku dari hadiah
gabungan kami adalah ini, tapi sayangnya, hadiah ini disertai dengan diriku. Aku
ingin tinggal di rumah ini denganmu, sebagai suamimu, kekasihmu, sahabatmu. Maukah
kau menikah denganku, Lu?”
281
joss ‘Wood
“Kau ingin menikah lagi?” Lu bertanya dengan tergagap.
“Bukan menikah lagi ... tapi menikah untuk pertama kalinya. Dengan selayaknya.
Karena aku sangat mencintaimu. Katakan ya, Lu.”
“Aku juga mencintaimu. Ya. Tentu saja!”
Will menyematkan cincin tadi ke jarinya sementara sorak-sorai para tamu meledak.
“Katakan ya pada terjun payung, baby? ujar Will saat menunduk untuk menciumnya.
“Apa pun yang kau inginkan...” sahut Lu, terhanyut oleh momen emosional itu saat ia
mendongak untuk menyambut ciuman Will.
Lalu kedua matanya menyipit dan memukulkan satu tangan ke dada pria itu. “Apa? Apa
yang barusan kau minta padaku? Dasar penipu licik!”
Will hanya tergelak, melingkarkan kedua lengan pada tubuhnya dan menciumnya.
Lu mendesah dan membenamkan diri ke dalam pelukan Will. Ia akan berdebat dengan
Will soal ter-jung payung itu nanti....
Lagi.
TAMAT
282
। TOO MUCH
’ /OF A GOOD THING?
Berhati-hatilah dengan keinginanmu.
Sudah waktunya bagi Lu Sheppard untuk kembali kepada kehidupannya. Setelah sepuluh
tahun menjadi ibu bagi kedua adik laki-lakinya, kini mereka sudah meninggalkan
rumah dan Lu bertekad untuk menebus waktu yang telah hilang dari hidupnya! Urutan
pertama dalam daftarnya? Seorang pria untuk bersenang-senang!
Pelatih rugby Will Scott tepat seseorang yang Lu butuhkan. Hanya berada di kota
untuk sementara, rajanya hubungan tanpa ikatan ... pria itu sempurna. Tapi ciuman
Will begitu hebat, membuatnya sulit untuk mengingat bahwa hubungan mereka mempunyai
batas waktu. Tiba-tiba Lu mulai bertanya-tanya, mungkin memang tidak mustahil
menikmati kesenangan yang berlebihan!
Penerbit PT Elex Media Komputindo Gedung Kompas Gramedia
Jl Palmerah Barat 29-37 Lt.2 Tower
Jakarta 10270
Telp. (021) 536501 10, 536501 I I ext. 3225
Web Page: www.elexmedia.id

Anda mungkin juga menyukai