Anda di halaman 1dari 5

“Usang yang Renta”

-HnL

Dingin, sunyi dan sepi. Banyak kelelawar dan beberapa hewan lain yang
merasa nyaman untuk tinggal beranak pinak. Sudah beberapa tahun lamanya
kondisi ini terus berlanjut, tidak pernah ada yang merawat dan memberikan
kehangatan kepadaku, aku yang selalu sendiri hanya berteman dengan hewan-
hewan yang selalu menemaniku bercerita.

“Hei… kenapa kamu terlihat bersedih, padahal aku dan yang lain yang selalu
menemanimu?” Tanya seekor kelelawar yang sedang asyik bergelantungan sehabis
mencari makanan diluar.

“Aku tau. Kalian selalu ada setiap saat, tanpa peduli dengan kondisiku yang seperti
ini, usang dan renta. Tapi itu bukan yang aku inginkan sesungguhnya, aku bukan
hanya untuk kalian.”

Beberapa tahun yang lalu, aku masih bahagia dengan gelak tawa setiap
orang, banyaknya canda dari setiap orang selalu berhasil membuatku ikut tertawa.
Luapan amarah yang selalu aku terima pun itu menjadi hal yang selalu aku terima
tanpa mengeluh sedikitpun, karena hanya itu bantuan yang bisa aku berikan kepada
mereka. Sampai suatu hari aku melihat mereka berbenah membereskan semua
barang yang ada tanpa tersisa. Aku tak tahu akan pergi kemana mereka dengan
semua barang yang dibawanya itu, hanya saja yang aku tahu kalau aku akan
ditinggalkan. Untuk sementara waktu atau selamanya. Aku yang ditinggalkan
hanya menyisakan kenangan tentang mereka, tentang sedih dan senangnya mereka
yang sedikit demi sedikit mulai menghilang seiring berjalannya waktu. Tidak ada
yang bisa aku perbuat selain hanya diam dan menerima takdir yang harus aku jalani
ini.

Dalam suatu hari aku merasa mendengar ada langkah kaki yang
mendekatiku, segera kesadaranku yang sudah lama menghilang ditelan sepi
perlahan kembali. Lambat laun aku mendengarkan apa yang mereka bicarakan,
mereka membicarakan kondisiku yang sudah tidak seelok dahulu. Aku sadar
dengan kondisiku yang sekarang ini tidak mungkin ada orang yang mau denganku
ini, tapi ternyata aku salah mengira. Orang itu mau mengadopsiku dan merawatku
yang sudah renta ini.

Selang beberapa waktu berlalu harapanku untuk kembali merasakan


kehangatan sebuah keluarga mulai membara kembali. Setiap detik terlewati aku
selalu membayangkan akan seperti apa mereka, setiap menit yang berlalu aku
berharap kehangatan mereka, setiap hari yang berganti aku selalu menunggu
mereka sampai pada saatnya mereka tiba juga. Mereka adalah keluarga yang terlihat
bahagia dengan sepasang anak, yang pertama seorang anak perempuan sebagai
anak tertua dan yang kedua seorang anak laki-laki yang menjadi pelengkap
keluarga bahagia itu. Kedua anak kecil itu terlihat senang pada akhirnya bisa
berkumpul kembali.

Tanpa menunggu lama lagi mereka langsung bergegas membereskan barang-


barang yang mereka bawa, sedangkan kedua anak kecil itu malah asyik berkeliling
sambil bermain-main. Sang ayah kemudian memanggil mereka dan mengatakan
untuk segera masuk membantu mereka. Kedua anak itu langsung membantu
membereskan barang yang mereka bawa sedari awal, hanya saja yang mereka
bereskan adalah barang-barang kecil kepunyaan mereka sendiri. Ternyata tidak
hanya mereka saja yang beres-beres, ada juga tetangga-tetangga baru yang
membantu mereka tanpa di pinta.

“Waaah … terima kasih banyak atas bantuannya bapak ibu sekalian, sampai tidak
terasa barang bawaan kami yang segudang ini bisa selesai dengan cepat. Ternyata
kehidupan gotong royong disini masih kental ya, semoga kedepannya kita semua
menjadi tetangga yang rukun dan saling membantu ya.” Ucap Sang Ibu sambil
menyuguhkan makanan dan minuman seadanya yang mereka bekal. Sungguh
kehangatan yang sangat aku rindukan sejak lama, aku berharap akan seperti ini
selamanya.

Namun ternyata harapanku tidak berlaku untuk waktu yang lama, seiring
berjalannya waktu dari hari ke hari, bulan berganti dan tahun bergerak maju,
kehangatan itu sedikit demi sedikit mulai memudar. Sampai akhirnya menginjak
tahun ke-18 mereka bersamaku terjadilah sebuah percakapan yang membuat
semuanya berubah. Hubungan yang dingin di antara orang tua dan kedua anaknya
mulai terasa Dan hubungan yang meretak serta dingin itu terjadi diawali dengan
terkuaknya sebuah rahasia besar Ayah dan Ibu yang sudah di pendamnya selama
belasan tahun. Sang Ayah sadar kalau rahasia itu suatu hari harus dibuka dan
dijelaskan kepada kedua anaknya itu, dengan berat hati dan bersiap dengan segala
resiko yang akan terjadi Sang Ayah akhirnya membuka rahasia itu di hadapan
kedua anaknya.
“Kakak dan Adik coba kesini sebentar, Ayah dan Ibu mau membicarakan sesuatu
yang penting.” Sang Ayah sudah memanggil anaknya yang sedari tadi sibuk dengan
gawainya masing-masing.

Lalu tanpa menunggu lama kakak beradik itu menghampiri Ayah dan Ibunya, “Ada
apa ya tumben sekali Ayah dan Ibu memanggil dengan nada dan mimik muka yang
serius?” gumam Si Adik yang ternyata sudah menyadari ada hal lain yang terjadi.

“Kakak, Adik … Maafkan Ayah dan Ibu yang sudah menyimpan rahasia ini begitu
lama, sekarang saatnya Ayah memberi tahu kalian yang sebenarnya. Karena
sebentar lagi Kakak akan menikah dan Ayah sekali lagi minta maaf sebesar-
besarnya pada kalian, khususnya Kakak. Maaf dalam pernikahan nanti Ayah tidak
menjadi wali nikahmu nak.” Dengan muka yang menunduk merasa menyesal Sang
Ayah mulai membuka pembicaraan.

“Apa … ? Tapi kenapa yah ?” Sang Kakak yang terlihat kaget mendengar ucapan
Ayahnya itu menimpali ucapan Ayahnya dengan nada yang meninggi.

Dalam diam Sang Ibu mulai meneteskan air matanya dan berulang kali meminta
maaf kepada anak-anaknya itu.

“Kalian dengan sebenar-benarnya adalah anak kami secara biologis atau pun secara
negara, kalian anak sah kami. Hanya saja … kalian lahir sebelum pernikahan kami
langsungkan.Maaf”

Duaar … bak petir disiang bolong, Sang Kakak mulai menangis dan menjerit
melampiaskan amarahnya. Tidak terima dengan apa yang baru saja dia dengar.
Memang secara ajaran agama Islam, kalau seorang anak perempuan yang hendak
menikah itu sudah selazimnya yang menjadi wali nikahnya adalah ayahnya. Kalau
tidak dengan ayahnya, yang menjadi wali nikah perempuan itu adalah saudara laki-
laki dari keluarganya, itu sudah tertulis secara jelas menurut agama. Namun tidak
hanya itu saja, ada suatu kondisi yang menjadikan seorang ayah tidak bisa menjadi
wali nikah dari anak perempuannya, ya… benar saat anak perempuannya itu
dihadirkan ke dunia diluar pernikahannya secara agama atau pun pernikahan
secara negara. Dan itulah yang terjadi kepada Si Kakak yang ternyata tinggal
menghitung hari menjelang hari bahagianya.

Ditengah kekacauan dan tangisan mereka, yang tanpa di sadari Si Adik yang
awalnya hanya diam saja mulai membuka mulut dan berbicara.

“Kalau memang demikian yang terjadi lalu mau bagaimana lagi, yang terpenting
sekarang adalah pernikahan kakak. Pernikahan itu harus tetap berjalan apapun
kendalanya! Ayah dan Ibu yang pikirkan itu, yang paling penting lagi adalah
pernikahan ini harus sesuai secara ajaran agama dan juga negara!”

“Kak…ini sudah terjadi, dan kita pun sudah bukan anak kecil lagi. Memang sakit
rasanya mendengar ini disaat usia kita sudah menginjak dewasa, mungkin akan
butuh waktu lama untuk mengobati lukanya. Yang pasti kita harus tetap hidup dan
tetap berbakti kepada Ayah dan Ibu.”

Ternyata Si Adik yang secara usia paling kecil adalah seorang anak yang berpikiran
dewasa, aku bangga dan kagum dibuatnya.

Sesampainya pada hari bahagia yang mereka tunggu, tidak ada sedikit pun
yang memperlihatkan sesuatu hal yang menjadi awal perselisihan mereka. Hanya
saja sesekali aku melihat Si Adik menyendiri dan melamun. Entah apa yang ada
dalam lamunannya itu, aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Si Adik ini yang
tidak bisa diungkapkannya.

Setahun setelah pernikahan itu berlangsung, barulah terlihat perubahan


kepada Si Adik ini. Yang aku tahu sejak pertama kali kedatangannya Si Adiklah
yang selalu membuat candaan-candaan yang bisa membuat mereka tertawa, dan
aku pun dibuatnya tertawa dengan melihat tingkah lakunya. Akhir-akhir ini Si Adik
selalu sibuk menyendiri di kamarnya, menghisap berbatang-batang rokok dan
menikmati segelas kopi, atau bahkan bergelas-gelas kopi setiap harinya tanpa
banyak berinteraksi dengan Ayah dan Ibunya.

Tahun yang sudah berganti dan ditengah mereka sudah hadir buah hati dari
Si Kakak tetap tidak merubah kebiasaan Si Adik yang selalu menyendiri, bahkan
sesekali aku melihat Si Adik menangis di tengah malam. Entah apa penyebabnya,
yang aku tahu adalah rasa penyesalan dan tidak berdaya Si Adik dalam hidupnya.
Aku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata apa-apa kepadanya menunggu dia
melampiaskan saja amarahnya kepadaku, tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Pernah suatu malam Si Adik hanya berbicara sendiri dan meminta maaf.
Entah kepada siapa dia berbicara, namun yang aku dengar dan rasakan dia sedang
berbicara denganku. Dibuatnya aku menangis karena ternyata dia memperhatikan
aku yang sudah sejak lama hanya berdiam saja. Kondisiku yang sekarang sudah
usang dan renta dengan banyaknya retakan di sana sini sekuat tenaga berusaha
melindungi keluarga yang tanpa sadar akupun merasa kasian kepada mereka. Aku
yang sesekali mendapat perawatan seadanya tidak pernah mengeluh sedikitpun
karena aku tau kondisi mereka seperti apa, aku kasihan kepada mereka yang ketika
hujan harus banyak memasang tambalan karena kebocoranku ini. Setiap hari yang
harus membersihkanku karena sedikit demi sedikit debu yang aku jatuhkan mulai
menumpuk dengan sedikit getaran pun. Tapi aku hanya bisa berdiam tanpa bisa
melakukan apapun, ingin aku rasanya membantu mereka dengan menjadikan
kondisi rentaku ini lebih baik lagi. Tapi aku tidak bisa memperbaiki diriku sendiri
tanpa bantuan mereka.

Dalam setiap waktu aku selalu berharap kepada Tuhan untuk tetap kuat
menaungi mereka dari teriknya panas dan derasanya hujan angin yang silih
berganti, aku berdo’a kepada Tuhan untuk masa depan yang lebik baik keluarga
yang hidup di bawah naunganku ini. Aku berdo’a kepada Tuhan agar Si Adik bisa
menjadi ceria lagi seperti dahulu kala, menjadi penghibur di tengah keluarganya.

“Tuhan kalau saja Engkau izinkan, biarkanlah aku memperbaiki kondisiku


yang renta ini dengan sendirinya tanpa bantuan keluarga ini. Tuhan mungkin saja
dengan perubahan yang lebih baik dari diriku ini kehangatan yang aku rasakan
sejak pertama mereka menempatiku akan terasa kembali, dan Tuhan kuatkan aku
dari terpaan angin dan derasnya hujan agar bisa melindungi mereka dari segala
macam bahaya yang mungkin bisa saja terjadi. Dan apabila harus ada bagian dari
diriku yang jatuh, jangan biarkan itu membahayakan mereka dan mencelakakan
mereka. Sungguh Tuhan aku menyayangi mereka walau dengan sedikit perbaikan
yang mereka lakukan. Aku yang hanya sebuah rumah usang dan renta bisa apalagi
selain berharap kepada-Mu, untuk kebaikan Si Adik ,kebaikan mereka dan juga
diriku ini. Semoga Engkau selalu memberi ketabahan dan kesabaran kepada
mereka. Aamiin”

Tentang Penulis

Halo kenalin namaku Nurseprihana, biasa disapa Hanul, lahir di Kuningan


20 September 1994. Aku sudah selesai menempuh pendidikan Sekolah Menengah
Atas Negeri (SMAN) Subang dan sedang menyelesaikan studi di Universitas
Kuningan. Aku yang saat ini sedang menyukai membaca dan menulis tentang
apapun yang di lihat dan di rasakan. Baik itu cerpen atau sajak/puisi. Salah satu
cerpen yang telah ditulis telah diterbitkan READERZEN: Secangkir Kenangan. Dan
semoga kalian suka sama ceritaku kali ini. Salam Hangat.

Anda mungkin juga menyukai