Anda di halaman 1dari 3

SAMPAH SIAPA ?

Sebelum membicarakan hal yang bersifat substansi, saya ingin membual. Semoga
berkenan membaca, jika tidak maka habislah sudah. Tak ada isinya semua yang saya tulis
kecuali hanya curahan hati. Jika ada kesamaan tokoh, kejadian dan tempat, maka harap
dimaklumi sebagai cerita fiktif dan rekaan semata saja. Kalau benar-benar merasa sama,
sungguh itu kecerohohan saya semata.

Tunggu dulu, siapkan secangkir teh atau kopi, baca sambil nikmati minumanmu
kawan.

Cerita dimulai dari sebuah Negeri Sampah. Akhir-akhir ini sampah semakin banyak.
Berlimpah, diproduksi besar-besaran. Banyak orang muak dan kesal melihat itu, tapi heran
juga sebagian penduduk Negeri Sampah itu justru menyukai adanya sampah di mana-mana.
Aneh, tapi nyata. Seperti halnya sampah pada normalnya, membawa masalah jika tidak
dikelola dengan baik. Sampah itu paling banyak adalah sampah visual, isinya lebih
memuakkan. Produk yang namanya pencitraan. Apa pula yang kita harapkan dari pencitraan
itu ? Kau tahu kawan apa yang lebih buruk dari itu semua ? Adalah perihal siapa yang
menjadi bagian dari sampah-sampah itu.

Ada berupa-rupa, tiba tiba saja orang tak dikenal entah siapa. Maju dan mengaku-
ngaku sebagai saudara, orang dekat, lebih berani lagi mengaku ‘wakil’ di Negeri Sampah.
Wakil untuk duduk di kursi empuk, mewakili jalan-jalan, mewakili makan uang, karena
kukira di Negeri Sampah itu mereka tak makan makanan yang menarik bagi wakil rakyat,
kusarankan kalau kau mau merantau pergilah ke sana, jualan nasi uduk atau nasi padang, bair
mereka makan normal, bukan makan uang. Mereka memang makan uang. Entahlah, alat
tukar itu sudah beralih fungsi di sana. Kadang pula aku mendengar cerita, di sana ada yang
mau makan jembatan, makan beton-beton gedung, makan gedung sekolah, makan tiang-tiang
gedung, pantas saja jika gedung yang baru dibangun gampang roboh. Ada yang lebih
mengerikan, bayangkan kawan, ada yang makan kitab suci, makan tanah kubur, makan
apalagi aku tak tahu. Sudahlah, membicarakan makanan mereka membuatku tak habis pikir,
untung aku tak sedang tinggal di sana. Bukankah itu bukan negeri kita kawan ? Kau sepakat
denganku ? Kumohon, jangan ragu katakan iya.

Orang-orang sudah muak dengan Negeri Sampah itu, kita juga pasti, jika tinggal di
sana. Untung tidak ya kawan, negeri kita damai, negeri kita saat ini sedang menghadapi yang
kata orang orang pesta demokrasi ? Kau bilang pesta kawan, oh astaga. Aku lupa jika pesta
harusnya kita sambut dengan gembira ? Tunggu dulu, kita gembira karena apa kawan ?
Melihat politisi yang mewakili kita kini menjajarkan gambar warna warni di sepanjang jalan
bak pohon berderet deret. Indah ya kawan, warna warni. Aku tak kenal siapa mereka ? kapan
kapan kenalkan padaku kawan. Oh ya, kau mungkin kenal kawan. Aku saja yang terlalu
cupu, ah, aku saja yang kurang mengenal mereka. Mereka sudah berjibaku berusaha
memperkenalkan dirinya bukan, lewat gambar bisu. Tunggu dulu barangkali, gambar itu akan
bicara saat kita bertanya apa visi misi mereka. Ah.. aku mulai aneh lagi. Lalu bagaimana
kawan ?

Bagaimana kopi atau tehmu ? Cepat minumlah, tak enak jika sudah dingin.

Bersyukur ya kawan, negeri kita tak seperti Negeri Sampah. Aku mendengar di sana
banyak kampanye hitam. Kau tahu itu yang bagaimana ? Jadi mereka mengenakan semua
yang serba hitam sebagai alat mamperkenalkan diri, menjatuhkan lawan dan sekehendak hati
menyebar tulisan-tulisan panas, tak ada AC atau kulkas mungkin di sana, masih panas sudah
disebar-sebar, sebagian juga suka menggoreng isu. Padahal kita tahu, menggoreng isu tak
mengenyangkan, kenapa mereka masih saja berprofesi demikian. Jika mereka hidup di negeri
kita, kusarankan mereka-mereka itu untuk bekerja menggoreng tahu bulat saja.

Satu lagi kawan, kudengar di sana banyak orang-orang bersumbu pendek. Untung ya
di negeri kita semua sudah banyak yang menggunakan kompor gas, sudah tidak
menggunakan sumbu kompor lagi. Astaga, tak dapat kubayangkan bagaimana cara berbicara
dengan mereka. Sedikit saja tersentil, bisa terbakar. Bagaimana bisa terbakar ? Ah, kau
mudah lupa ya, tadi kan kubilang jika di sana banyak yang bersumbu pendek.

Satu lagi kawan, di sana kudengar tak dapat dibedakan antara berita asli dan tak asli.
Orang-orang di sana tiba-tiba menjadi latah dan langsung banyak yang serba meniru-niru.
Termakan berita palsu. Bagaimana pula ini kawan, termakan buaya berarti jasad tak lagi
ditemukan karena masuk mulut buaya. Termakan berita bohong, ah, ngeri sekali.

Namun di sini, pemilihan akan damai bukan ? Katakan iya padaku kawan. Bukankah
negeri kita sudah sejak lama terbuat dari perbedaan. Sejak kapan kita lupa itu, ah, di negeri
sampah saja yang gagap dengan sedikit perbedaan pandangan politik sehingga mereka
menjadi fanatik dan buas pada pemikiran orang lain. Negeri kita memang komposisinya dari
warga berbeda agama, berbeda suku, berdeda etnis, berbeda makanan, berbeda bunyi kentut,
berbeda jurusan dan fakultas, juga berbeda selera pedas. Berbeda pada banyak hal. Apa kau
tak mau berteman dengan ku karena itu ? Ah, kurasa kau langsung sepakat mengatakan tidak
padaku.

Kawan, kalau kau berkesempatan ke Negeri Sampah, tolong ajari mereka menghargai
perbedaan pendapat dengan sopan dan beradab. Ajari mereka betapa indahnya menghargai
dan toleransi seperti di negeri kita yang damai. Aparat dan warga sipil yang akur, tak saling
curiga mencurigai. Hukum ditegakkan sesuai dengan undang-undangnya. Tak ada lagi orang
yang makanannya aneh-aneh macam kehidupan di Negeri Sampah, makan beton, gedung,
tiang listrik, mobil, kitab suci atau tanah kuburan. Ajari mereka makan nasi aking, gaplek,
geblek, atau nasi jagung, rempeyek, tempe bacem atau sambel. Ajari mereka tidur di dipan
kayu, leyeh-leyeh di pematang sawah atau lebih eksotis dengan hidup di kepulauan, di hulu
sungai, atau di lereng-lereng gunung.

Kuyakin kawan, kita bukan sampah. Negeri kita juga tidak serendah itu untuk terus
menyampah, apalagi berucap sumpah serapah. Mengata-ngatai orang seperti pembicaraan
penuh prasangka buruk dan curiga di negeri sampah. Kita sudah diajari nenek moyang untuk
saling membantu, saling menghormati, saling menghargai. Kau tak lupa itu kan kawan ?
Mungkin mereka di Negeri Sampah itu belum tahu cerita damainya pemilu di negeri kita.
Jadi ceritakan pada mereka kawan.

Bagaimana kawan, apa teh atau kopimu sudah habis ?

Aku akan menyudahi bualan ini. Aku ingat, banyak yang mengingatkan untuk tak
lupa memilih. Jangan pernah salah pilih, dan menjadi pemilih sampah. Bacalah, yang berasal
dari sumber resmi. Baca dari dua sisinya, karena pada akhirnya kita hanya memilih satu.
Dalam aturan ini tak berlaku hukum poligami kawan. Jangan memilih dua apalagi empat
kawan, tak bisa, sungguh, aturan itu belum absah dalam perihal ini. Maka otomatis ada yang
tidak kita pilih bukan? Sudahlah, tak perlu menjadi sumbu pendek, karena kita bukan kompor
atau apapun yang gampang digoreng dadakan, karena kita juga bukan tahu bulat.

Sekian,

Isti’anatul Muflihah ( Pemilih Muda 2019)

Anda mungkin juga menyukai