Anda di halaman 1dari 3

Hak Istimewa

Banyak yang bilang masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan. Namun yang ku
rasakan, ini adalah masa yang sangat membuat tertekan. Aku yang sebentar lagi tamat dari salah
satu SMK swasta dikota ku, dibebani dengan tuntutan kerja, ekspektasi orang tua, pertanyaan
untuk memilih kerja atau melanjutkan kuliah, kalau lulusan SMK lebih baik langsung kerja, letak
bola naga terakhir, siapa presiden konoha sekarang, dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang
muncul terkait masa depan ku.
 
Masalah mental health-pun menjadi yang sangat buming di anak-anak seumuran ku. Merasa
butuh konsultasi, bercerita ke orang yang lebih tua, akan di pandang lebay dan mereka bilang
anak seusiaku memanglah sangat panik terhadap masa depan. Bercerita dengan teman sebaya
pasti akan di akhiri adu nasib di antara keduanya, hingga keduanya hampir gila, dan berujung
menangis bersama.
 
Seperti tidak ada solusi untuk masalah ini. Mungkin cukup dipendam sendiri hingga akhirnya
lupa. Hingga overthinking menyerang, membuat mu sulit memejamkan mata. Sulit tidur,
sementara pagi menunggu dan tak bisa di undur. Tugas yang menggunung, air mata tak
terbendung. Maaf jika ini mulai menjadi terlalu dramatis.
 
Sangat heran untuk anak-anak yang bisa santai menjalani hidupnya. Seperti masa bodoh dengan
cita-cita, layaknya orang tua akan memberi makan selamanya. Tapi jika dilihat dibelakang
mereka hak istimewa siap menangkap mereka ketika terjatuh. Privilege yang menunjang mereka,
tentu saja mereka tetap usaha. Tapi usaha mereka seakan-akan sudah pasti tercapai hasilnya.
Kalaupun gagal tidak perlu berpikir keras akan jadi apa mereka nantinya. Lah kita sekalinya
gagal, akan berasa jadi orang yang paling tidak berguna sedunia.
 
"Adellll, sudah siap belum" teriakan ayah dari ruang tamu menghentikan ratapan nasib ku.
Hari ini aku dan ayah berencana pergi ke toko buku. Semalam tumben-tumbennya ayah
mengajakku jalan ke Gramedia. Padahal novel Parable yang ku beli online sebelum bulan puasa
kemarin, belum selesai ku baca. Rasanya lebih tertarik dengan notifikasi youtube Neuron atau
menghabiskan malam dengan marthon series One Piece dari pada melanjutkan bacaan ku.
Perjalanan kali ini kami memutuskan menggunakan mobil. Suasana hati langit cukup keruh hari
ini, bisa ribet jika di tengah perjalanan ia menumpahkan semua amarah nya pada kami.
Dari dalam mobil, aku melihat kiri dan kanan, kami sedang melawati jalan daerah pasar. Hiruk
pikuk manusia dan kendaraan bermotor terjadi di sepanjang pasar ini. Aku melihat ibu-bu
dengan keranjang bawaannya penuh dengan segala macam sayur belanjaan, ada juga aku melihat
seorang pria dengan setelan kemeja rapi dengan paduan celana bahan dengan tas ransel besar di
punggungnya, sedang membagi-bagikan flyer lembaran.

Di persimpangan lampu merah aku melihat banyak pengguna beroda dua dan beroda empat tidak
mematuhi peraturan lalu lintas. Ada yang tidak memakai helm, motor berisik, menerobos lampu
merah. Apapun yang menjadi alasan mereka tidak seharusnya juga mendahului kepentingan
pribadi, karena semua punya tujuan ke tempat masing-masing.

Ku alihkan sorot mataku kepada sepasang anak yang sepertinya berumur lima tahun di bawahku.
Dari dulu sampai sekarang mereka masih saja bernyanyi saat lampu merah berhenti. Kulihat
penampilan mereka yang begitu kumuh dengan berbagai aksesoris dan hiasan yang ada di
tubuhnya. Aku merasa terenyuh, memikirkan dimana orang tua mereka, bagaimana sebenarnya
peran orang tua mereka.

Larut dalam alunan musik dan gitar yang mereka mainkan, tak sadar ternyata lampu sudah
berganti menjadi hijau. Ku hargai usaha mereka karna telah menemani ku dalam tunggu sesaat
tadi, maka ku mintakan kepada ayahku selembar uang dan memberikannya kepada anak itu.
Senyum hangat terukir dari wajah anak-anak itu, tak lupa ucapan terima kasih mereka berikan
padaku.

Tiba di toko buku, aku langsung mengelilingi seisi ruangan mencari buku incaran ku. Kemarin
rekomendasi buku dengan cover super gemas lewat di beranda media sosialku. Jika di pikir-pikir
memiliki media sosial membuat kita menjadi lebih konsumtif, apapun yang lucu jika lewat
beranda ku ingin rasanya ku beli semua. Ayah hanya berdiri membaca buku di kelompok
ekonomi. Akhirnya sudah ku putuskan membeli dua buku, satu buku yag ku incar dari internet,
dan satunya lagi buku self improvement yang kurasa sangat berguna untuk diriku di masa-masa
ini. Jadi total pembelian dua buah buku ini 169 ribu dan sudah termasuk diskon yang ada.
Setelah membeli buku tadi, ayah mengajakku unuk makan di warteg yang dekat samping toko
buku tadi. Aku dan ayah memesan menu yang sama 1 porsi dan es teh manis.
“kamu tau ga dek, harga seporsi makan plus teh manis di sini sekitar 20 ribu lah”
“iya yah, emangnya kenapa jadi bahas harga makan yah, mau minta traktir sama adek ya?” apa
ini maksud ayah mentraktir ku untuk membeli buku, hanya karna ingin di bayarin makan gratis
di warteg dengan uang ku, oh tapi ga mungkin.
“engga dong, ayah cuma mau bilang kalo harga buku yang kamu beli tadi sebanding dengan 8
kali makan siang kita loh dek”
“ha maksud nya yah” tanyaku bingung dengan arah pembicaraan ini.
“ya maksud ayah ini termasuk salah satu privilage loh dek”
“ha privilage dari mana yah? Privilage tu kan hak istimewa, perasaan makan di warteg engga ada
istimewa-istimewanya yah” sahut ku karna aneh saja perkataan ayah ku ini. Privilage dari
mananya, serasa saja ayah tiba-tiba menjadi anggota DRPD setelah makan di warteg ini, dan
menyebutkan aku sudah mendapat privilage segala.
“gini loh dek, kamu inget kan anak-anak jalanan tadi. Mungkin mereka melakukan itu untuk
mendapat uang makan sehari-hari dek. Tapi kamu punya uang untuk beli dua buku tadi.”
“yang pendapatan kurang mungkin harus berpikir keras untuk kebutuhan makan. Sementara yang
punya kelebihan digunakan untuk menambah pengetahuan. Itu artinya kamu sudah punya modal
untuk curi start dibanding orang-orang tadi loh. Tinggal kamunya saja yang mau berjuang dan
berusaha atau malas-malasan dan menunggu ayah mu ini jadi anggota DPR”
Aku dan ayah lalu tertawa bersama, mengakhiri perbincangan kami hari ini.

Anda mungkin juga menyukai