Anda di halaman 1dari 6

"Kalo miskin jangan punya anak!

"

"Aku nggak minta dilahirkan, apalagi di keluarga miskin seperti ini!"

"Orangtua harus minta maaf karena tidak mampu memfasilitasi anak-anaknya!"

"Kalian orangtua yang gagal!"

-ilustrasi (sumber: pixabay)-

Sebagai gen X, saya mau narik napas dulu membaca pernyataan di atas yang - mungkin -
dicetuskan oleh para gen Z.

Sebelum sharing, rasanya lebih baik saya minta maaf dulu barangkali ada kata-kata yang
tidak berkenan bagi sebagian Quoran.

Inilah pengalaman hidup saya sebagai anak dari keluarga menengah atas yg lantas terpuruk
ke titik nol.

Sampai kelas 3 SD, saya jadi anak yg tidak kekurangan uang. Uang jajan harian saya waktu
itu setara dgn 70 ribu saat ini. Bapak saya adalah Asisten General Manager sebuah hotel.
Saya ingat, waktu itu kami punya mobil dan motor. Untuk rumah yang kami tempati,
belakangan bapak cerita bahwa itu memang rumah yang beliau beli.

Saat saya kelas 4, roda kehidupan mulai berputar membawa kami sekeluarga ke titik nol.

Sejak saat itu hingga lulus SLTA, saya hidup sebagai anak dari keluarga yang kesulitan
ekonomi. Uang jajan saya - yang semula 70 ribuan - turun jadi setara 2000 dan nggak pernah
naik sampai saya lulus SLTA :)

Bapak kerja serabutan, apa saja dijalani asalkan halal diantaranya jadi pencuci bus di
terminal, jadi kuli, dan jadi pengecat trotoar.

Bapak berasal dari keluarga pendidik, sifatnya memang rebel sejak dulu, jadi saya rasa ia tak
masalah bekerja apa saja. Nggak gengsian.

Sebaliknya, alm. Ibu berasal dari keluarga birokrat, tentu saja kejatuhan ekonomi keluarga
sedikit-banyak memberi tekanan psikologis padanya, apalagi saya dengar juga kakak-
kakaknya (budhe-budhe saya) ikut mengomeli Bapak dan Ibu.

Saya pun tak luput dari omelan itu.

"Gimana sih bapakmu itu."

"Bilangin bapakmu, cari kerja yang bener."


Suatu waktu Bapak pernah cerita bahwa keluarga besar Ibu pernah mendesak Ibu untuk cerai
dari Bapak, tapi Ibu nggak menuruti desakan itu hingga pada suatu hari di tahun 1989, Ibu
meninggal karena asma-nya. Ibu meninggalkan anaknya, adik saya, yang waktu itu masih
berusia 6 bulan.

Begitulah.

Jika ditanya sesusah apa kehidupan kami, mungkin gambarannya bisa didapat dari
pengalaman saya di sini:

Foto profil untuk Eka Halim


Eka Halim
· 24 Mei
Pemikiran out of the box apa yang pernah terpikirkan oleh kalian?
Sebelumnya saya perlu ingatkan bahwa apa yang saya lakukan ini SANGAT BERBAHAYA
DAN KARENANYA TIDAK UNTUK DITIRU. Sejak kelas I SMP saya menyadari bahwa
keluarga kami hidup dalam kemiskinan. Sebelumnya, kami hidup berkecukupan. Ayah saya
dulu adalah Asisten General Manager sebuah hotel kemudian resign…
(lanjut)
Oke, kembali ke topik.

Saya pernah mendengar dan membaca 'keluhan' seorang gen Z karena orangtuanya tidak
mampu membiayai les privat. Ia lalu mencap orangtuanya sebagai orangtua gagal.

Bagaimana dengan saya waktu itu?

Jangankan les privat, SPP saja sering nunggak padahal nominalnya kurang lebih 50 ribu
sebulan dengan kurs saat ini.

Kali lain. ada seorang gen Z yang menganggap kegagalannya saat ini adalah akibat masa
kecilnya kurang asupan gizi karena orangtuanya miskin.

Bagaimana dengan saya dan adik-adik saya waktu itu?

Jangan bicara gizi deh, waktu itu kami setiap hari makan nasi dengan satu lauk saja entah itu
krupuk, tempe, parutan kelapa, sambal, atau hanya garam. Krupuknya juga krupuk plastikan
yang harga saat ini Rp 1.000 dan isinya banyak (10 mungkin ya), dibagi sama rata. Tempenya
dipotong tipiis banget dan masing-masing cuma boleh ngambil maksimal 2 potong.

-makan nasi berlauk sambal saja (dokpri)-

Begitu terus kehidupan kami.

Dengan segala kesulitan yang kami alami, apakah lantas kami menganggap orangtua kami -
terutama Bapak sebagai orangtua tunggal - sebagai orangtua gagal karena tidak mampu
memberikan yang terbaik buat anak²nya?
Tidak. Sama sekali tidak.

Buat saya, orangtua saya - terutama Bapak - adalah the best!

Mereka mungkin miskin, namun mereka mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan
kuat.

Kini, karena Ibu sudah lama meninggal, Bapak jadi orang sepuh yg banyak di-iri-in oleh
teman-teman seusianya. Mereka iri karena menganggap Bapak berhasil mendidik anak-
anaknya dengan segala keterbatasan dan kondisinya sebagai orangtua tunggal.

Flashback lagi.

Bagaimana cara saya belajar di tengah keterbatasan? Saya cari buku bekas!

Buku yg saya cari adalah Buku Pintar & Buku Kumpulan Soal. Saya pernah menulis bahwa
waktu kelas 5, saya sengaja belajar materi pelajaran kelas 6. Saya juga mengerjakan soal-soal
ujian untuk kelas 6, padahal saya masih kelas 5.

Nah, namanya beli kan pake uang ya. Kalo keluarga kami miskin, bagaimana saya bisa punya
uang untuk beli buku bekas?

Yang pertama jelas, saya menabung. Dari uang jajan yang diberikan, saya berhemat. Saya
berusaha agar uang jajan saya ada sisanya.

Yang kedua, saya membantu budhe saya berjualan es lilin. Jadi, budhe membuat es lilin yang
lantas ditaruh di wadah seperti ini:

-termos es lilin (sumber: tokopedia)-

Termos itu lalu saya bawa dan titip jual di warung dekat sekolah, sekalian dengan kue pastel
buatan Ibu. Pulang sekolah, saya ambil.

Dari penjualan es, budhe membagi sebagian keuntungannya dengan saya. Keuntungan yang
tidak seberapa itu pastinya saya tabung.

Jadi begitu.

Sewaktu SLTA, kebetulan ada toko buku baru yang konsepnya seperti Gramedia atau
Gunung Agung. Nah, saya sering ke toko buku tersebut, mencari buku yang plastiknya sudah
terbuka, lalu membaca dan mengingat isinya, bila perlu saya catat.

Kita memang tidak bisa memilih lahir dari orangtua yang seperti apa. Saya lahir dan
mengalami masa kecil sebagai anak orang berkecukupan namun menjalani masa remaja
sebagai anak miskin.
Ya diterima saja.

Saya tidak menyalahkan orangtua karena sejak kecil saya sudah diajari filosofi roda berputar
itu tadi. Hari ini kaya, besok miskin. Hari ini miskin, besok kaya. Hari ini lapar, besok
kenyang. Hari ini kenyang, besok makin kenyang.

Bagi saya, lebih baik energi difokuskan untuk berpikir, "Apa yang bisa saya lakukan?"
ketimbang menyalahkan orangtua atau orang lain.

"Tapi jaman dulu kan beda sama jaman sekarang? Jaman sekarang tantangannya lebih besar
daripada dulu."

Betul. Betul banget. Jaman dulu lulusan SD atau SMP saja sudah bisa dapat pekerjaan. Kalo
sekarang kan mesti lulusan S1? Dan kuliah butuh uang kan? Kalo orangtua miskin mana bisa
membiayai kuliah?

Sharing lagi, waktu SMP di tengah kesulitan ekonomi yang parah, saya bilang gini ke Bapak,
"Pak, saya jualan koran ya? Biar dapat uang."

Apa tanggapan beliau?

"Apa-apaan kamu? Biaya sekolah kamu sampai SMA adalah tanggung jawab saya! Kamu
jangan pernah lagi ngomong seperti itu."

Jaman dulu, peluang anak sekolah untuk bisa nyari uang yaa kebanyakan di jalanan seperti
jadi loper koran, tukang semir sepatu, atau pedagang asongan.

Jaman sekarang? Saya yakin peluangnya jauh lebih luas dibanding jaman saya dulu.

Meski sulit, anak sekolah jaman sekarang bisa dapat uang dari jualan di online shop, jadi
YouTuber, jadi freelancer secara remote, dll. Di Quora ini pula saya membaca kisah-kisah
inspiratif gen Z yang sukses dengan online shop-nya. Keren!

Saya sendiri pada waktu itu akhirnya nyari tambahan uang dengan mendesain kartu ucapan
yang saya tawarkan ke teman-teman sekolah.

Laku? Ya namanya orang dagang, bulan ini laku, bulan depan kering haha…

-ilustasi (sumber: envato)-

"Tapi bapak lu keren, Mas. Setidaknya masih berusaha bertanggung jawab. Nggak kaya'
orangtua gue yang toxic."

Untuk soal ini, saya mengakui Bapak memang the best, orangtua yang keren. Beliau punya
tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Perkara apakah beliau mampu memenuhi tanggung
jawabnya, itu tidak jadi soal.

Selagi kita mampu berusaha sendiri, kenapa tidak?


Bukankah kelak kita harus mencukupi kebutuhan kita sendiri? Bukankah kelak kita harus
mandiri? Apa salahnya jika kita nyolong start nyari uang sejak dini?

"Tapi pelajar kan tugasnya belajar, bukan nyari uang?"

Itu kan dalam kondisi ideal. Lha kalo kondisinya tidak ideal bagaimana?

Jangan gantungkan nasibmu pada orang lain. Gantungkan nasibmu pada tanganmu
sendiri, pada dirimu sendiri. Tidak ada yang bisa menolongmu selain dirimu sendiri.

Itu keyakinan saya - sampai saat ini.

"Kalo miskin jangan punya anak!"

Barangkali saja dia sebelumnya hidup berkecukupan, lalu terjadi roda berputar seperti yang
terjadi pada orangtua saya. Diterima saja kondisi tersebut. Hanya saja memang orangtua dari
keluarga seperti ini sebaiknya menjaga agar anaknya jangan banyak-banyak.

"Aku nggak minta dilahirkan, apalagi di keluarga miskin seperti ini!"

Yang sudah terjadi, terjadilah. Sekali lagi, diterima saja. Lalu berpikirlah, pikirkan apa yang
bisa dilakukan untuk lepas dari kemiskinan. Tentunya hal-hal baik saja, jangan pernah
berpikir untuk melakukan hal-hal buruk. Ketika kamu tumbuh di keluarga miskin, bisa jadi
waktu kamu lahir dulu, orangtua sedang jaya-jayanya.

"Orangtua harus minta maaf karena tidak mampu memfasilitasi anak-anaknya!"

Mungkin saja tanpa sepengetahuan kalian, orangtua sudah bekerja sangat keras untuk
melaksanakan tanggung jawabnya, hanya saja memang mereka sedang tidak mampu. Karena
itu - kembali lagi - kalian harus berupaya untuk memfasilitasi diri sendiri. Sulit? Pasti. Tapi,
sulit bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

"Kalian orangtua yang gagal!"

Saya tidak bisa berkomentar untuk pernyataan ini.

Kembali ke teman-teman Bapak.

Menurut penuturan Bapak, salah satu temannya yang 'iri' (dalam tanda kutip ya, bukan iri
yang negatif) pada beliau dulunya adalah orang kaya yang mampu memberikan fasilitas
terbaik pada anak-anaknya.

"Sekarang dia (teman Bapak) pensiunan. Anaknya (laki-laki) dan mantunya tinggal sama dia.
Setiap pagi mereka berangkat kerja, terus anaknya dititipkan ke dia. Listrik dan sebagainya
masih dia yang bayar."
Kalau begitu ceritanya, siapa yang gagal?

Orangtua sudah memberikan fasilitas terbaik tapi kalo anaknya nggak punya motivasi ya
percuma.

Intinya, yang menjalani hidup adalah kita sendiri, jadi jangan berharap orang lain akan
menolong kita. Kitalah yang harus menolong diri sendiri!

Sekali lagi saya mohon maaf apabila ada kata atau pemikiran yang tidak berkenan ataupun
tidak sejalan.

Anda mungkin juga menyukai