Anda di halaman 1dari 7

1

API TAK BAKAR LILIN MANIS


Karya : Kaffah Hemas Safitri

Karena yang menciptakan lebih tahu mana yang terbaik untuk ciptaan-Nya, maka dari
itu aku selalu bersyukur walau terombang-ambing oleh badai kehidupan. Aku terlahir dari
sebuah keluarga yang serba berkecukupan karena pekerjaan Ayahku yang mampu
menghasilkan uang dengan coretan dan perhitungannya di kertas, dia seorang arsitek.
Kemajuannya dalam dunia pembangunan serta karirnya menjadikan ia orang yang
berpengaruh besar dalam tata kota tepatnya di Kota Jakarta ini. Hingga suatu saat
kesetiaannya kepadaku dan Ibuku teruji, bahkan hilang karena cintanya kepada dunia.

Aku tidak pernah menyalahkan salah satu atau bahkan kedua orang tuaku atas
perpisahan mereka yang selalu menjadi alasan air mataku berlinang setiap harinya. Masih
kuingat saat pisau di tangan Ayah mengarah ke perut Ibu, aku tak kuasa menahan bendungan
air di pelupuk mata dan ketakutanku itu menjadi trauma tersendiri yang tidak mereka ketahui.
Rasanya aku iri melihat keluarga teman-temanku yang nampak harmonis, walau begitu aku
tidak pernah protes kepada Tuhan tentang alasan aku diciptakan untuk menderita seperti
sekarang. Ibarat lilin yang membakar dirinya, namun berusaha menerangi ruangan dengan
cahaya berupa kuatnya hati.

Anandita Gita, itulah nama penuh arti yang disandangkan orang tuaku dengan harapan
bahwa aku akan menjadi perwujudan dari makna nama itu. Seseorang yang muda, cerdas,
baik, dan beruntung. Benar saja. Aku berusaha untuk mewujudkannya. Bersekolah di SMA
Negeri 45 Kota Jakarta yang bergengsi karena mayoritasnya adalah anak orang kaya,
awalnya ringan bagiku saat Ayah dan Ibu masih bersama. Namun, setelah Ayah menyisakan
aku dan Ibu untuk menyambung hidup dengan mandiri rasanya semua menuntutku untuk
menjadi dewasa dengan cepat. Aku tergolong anak yang pintar dan aktif di sekolah, hingga
suatu saat aku menemukan peluang untuk menyelamatkan keterpurukan Ibu dalam hal
keuangan.

Selalu terlintas dipikiranku akan angan-angan untuk dapat naik ojek ke sekolah.
Sebab saat perceraian orang tuaku, aku menggunakan angkutan umum tiga kali untuk
berangkat. Begitu pun untuk pulang. Belum lagi saat tidak sengaja tertidur di angkutan umum
dan tempat pemberhentian sudah terlewat. Aku merasa lelah akan hal itu karena jarak

2
rumahku ke sekolah sangat jauh. Namun, nihil rasanya jika memaksakan naik ojek yang
tarifnya Rp 40.000 rupiah hanya untuk sekali berangkat.

Senin itu, salah satu sahabatku bernama Hania membagikan cokelat green tea kepada
seluruh anak di kelas, masing-masing anak mendapatkan dua cokelat. Teman-teman yang
mendapat cokelat seusai melaksanakan upacara bendera tentu merasa senang, karena cokelat
yang diberikan sahabatku adalah cokelat green tea mahal yang ia beli dari Jepang saat liburan
kemarin. Aku menghabiskan liburan dengan depresi, sahabatku menghabiskan liburan
dengan rekreasi, pikirku. Terkadang aku masih sering menangis diam-diam, namun Ibu selalu
saja mendapatiku dengan air mata yang berusaha aku hapus.

“Tidak perlu iri dengan rezeki orang lain. Kamu tidak tahu apa yang telah diambil
darinya. Tidak perlu sedih juga akan cobaan yang kamu terima. Kamu tidak tahu apa yang
akan diberikan Allah kepadamu.” kata Ibu sembari menghapus air mataku. Aku hanya
membalasnya dengan berusaha tersenyum. “Jangan terlalu memikirkan tentang apa yang
menyakitkan” sambung Ibu. “Iya, Bu. Aku yakin masa sulitku sekarang akan menguatkanku
di masa mendatang.” jawabku untuk meyakinkan Ibu. “Kita berdua kuat, kan? Dan memang
seharusnya begitu.” ujarnya lembut. Kami pun berpelukkan. Setelah Ibu pergi, aku
bergumam sendiri pada diriku “Untuk diriku, terima kasih sudah menjadi kuat.” gumamku
sembari mengelus dada.

Kala itu aku heran, sebab teman-temanku sangat menyukai cokelat yang menurutku
rasanya biasa saja. Aku pun terkejut karena hampir seluruh anak di kelas memesannya
kembali kepada Hania agar saat ia ke Jepang pulangnya bisa membawa titipan dari teman-
temanku. Mereka tidak ragu-ragu untuk membelinya, padahal harga satu bungkus cokelat itu
Rp 300.000 rupiah. Namun, sahabatku menolak permintaan mereka karena ia hanya akan
mengunjungi berbagai Negara dengan sekali kunjungan saja. Otakku berputar untuk
menciptakan peluang. Akhirnya, aku mencari forum dan informasi yang menjual cokelat
green tea dari Jepang dengan harga yang lebih murah. Usahaku tidak sia-sia, aku
menemukannya. Salah satu forum online tampaknya menjual harga cokelat itu lebih murah,
yakni dengan harga Rp 110.000 rupiah.

Di kemudian hari, aku menawarkan cokelat tersebut kepada teman-temanku. “Minggu


depan, Tanteku ingin pergi ke Jepang. Apa ada yang ingin memesan cokelat seperti
kemarin?” tanyaku. “Mauuuuu !” ucap mereka kompak. Benar saja, mereka langsung tergiur
dan berebut untuk menuliskan nama beserta jumlah pesanan cokelat pada bagian belakang

3
buku tugasku. Mulai dari hal itulah aku bangkit dan semangat untuk berbisnis dengan
memanfaatkan berbagai peluang. Senangnya hatiku karena kemungkinan untuk dapat naik
ojek ke sekolah sepertinya bisa terwujud jika aku pandai mengolah kesempatan dan mencari
banyak relasi.

Setiap ada kesempatan yang datang, aku anggap sebagai peluang. Sehingga saat itu
aku belum tahu akan memulai bisnis apa. Aku hanya menjalankan apa pun yang bisa aku
lakukan. Ketika sedang maraknya pesta ulang tahun teman-temanku, karena di SMA Negeri
45 Kota Jakarta kebanyakan siswanya akan merayakan ulang tahun di hotel. Terlebih jika
menginjak usia tujuh belas tahun, maka pesta besar-besaran sudah tidak asing lagi. Kartu
undangan pun bisa saja menjadi koleksi setiap anak. Aku mencari ide agar dapat membantu
keuangan Ibuku. Ya, semua itu karena Ibu. Ia adalah motivasi terbesarku dalam hidup setelah
Ayah meninggalkan kami.

Make up adalah salah satu hal yang sangat dibutuhkan setiap wanita agar tampil
maksimal saat pesta. Maka dari itu aku belajar untuk merias wajah. Tentunya yang menjadi
peganganku ialah youtube dan konten lainnya yang dapat membantu terwujudnya niatku.
Seusai mahir dalam menggunakan make up, seperti biasanya aku mulai menawarkan diri
untuk membuka jasa make up kepada teman-temanku. Awalnya Rp 100.000 rupiah yang
dapat aku hasilkan. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai banyak yang
mengenalku sebab pengaruh promosi dari teman-teman yang pernah mencoba riasanku.
Hasilnya, dapat aku gunakan untuk naik ojek ketika berangkat sekolah setidaknya seminggu
sekali.

Aku bangga pada diriku apabila pulang ke rumah dengan membawa uang hasil
usahaku yang tidak seberapa itu, setidaknya aku tidak terlalu membebani Ibu untuk masalah
materi. “Alhamdulillah. Jangan lupa untuk selalu katakan Alhamdulillah. Jika selalu merasa
kurang rezeki solusinya bukan mencari lebih banyak lagi, tapi mensyukuri apa yang telah
dimiliki.” ujar Ibu. “Tentu saja, Bu.” jawabku dengan memeluknya. Begitulah yang sering
Ibu katakan walaupun di satu sisi ia memang terlihat bangga akan kemandirianku.

Menginjak kelas dua belas, aku merasa arti dari namaku benar-benar terwujud.
Teman-temanku banyak yang bertanya mengenai perubahan tubuhku yang mendadak
langsing. Mereka pun tidak henti-hentinya memojokkanku untuk bisa berterus terang tentang
rahasia apa yang ada dibalik langsingnya tubuhku. Aku pun memberitahu bahwa penyebab
kelangsingan ini adalah jamu racikan Ibuku yang setiap hari aku minum. Karena hal itulah

4
teman-teman perempuanku langsung antusias dan memesannya, mereka berani dan yakin
sebab tubuhku adalah bukti dari manjurnya racikan Ibu.

Di tengah kesibukan belajar karena ujian nasional sudah di depan mata, aku tetap
berusaha untuk bisa memegang semua yang sudah menjadi pilihan untuk dijalankan. Salah
satunya adalah berbisnis sebisa mungkin. Walau begitu, prestasi akademik dan non akademik
tetap berusaha kuraih dengan pencapaian memuaskan. Ternyata aku mulai menyadari bahwa
Tuhan tidak memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya adalah benar. Awalnya aku
ragu untuk menghadapi setiap masalah yang dijalani, terutama keluarga. Namun, secara tidak
langsung aku tahu bahwa Tuhan sangat menyayangiku hingga aku dapat melalui itu semua
dengan kuat.

Jamu pelangsing tersebut membuat namaku melejit dan viral di sekolah. Tentunya
tidak berhenti disitu, melainkan orang luar pun banyak yang mulai berlangganan jamuku. Di
antara usaha yang lainnya, aku pikir usaha inilah yang paling serius dan cukup dibutuhkan.
Kondisi tersebut membuat diriku semangat berbisnis, aku memberanikan diri untuk
mengajukan jamu pelangsing buatan Ibu ke BPOM. Aku memanfaatkan media sosial
tepatnya instagram untuk mempromosikan jamu itu dan dijual dengan harga Rp 200.000
yang berhasil menghipnotis banyak orang untuk berlomba-lomba membelinya demi
mendapatkan tubuh yang bisa disebut ideal. Atas dasar itulah diriku bisa ke sekolah naik ojek
setiap hari sebab produk yang aku jual merupakan kebutuhan banyak orang utamanya
perempuan, tiap harinya aku bisa meraih pendapatan yang lumayan besar.

Sebelumnya aku khawatir akan menjual jamu pelangsing tersebut, karena aku tidak
pernah menjual produk yang diolah sendiri. Namun, selagi itu baik dan tidak merugikan
orang sepertinya tidak ada salahnya mencoba. Mulai saat itu aku menanamkan prinsip diri
dengan jangan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu karena tidak akan ada
waktu yang tepat bagi mereka yang menunggu. Larisnya jamu pelangsing juga membuat
Ibuku senang dan terharu akan pencapaian yang tidak pernah dibayangkan. Hingga suatu
ketika aku lelah akan pesanan yang terlalu banyak juga promosi yang terus menerus di media
sosial, sepertinya membuat Ibu kasihan dan tidak tega. “Kamu lelah ? istirahatlah, karena
dunia tak ada habisnya untuk dikejar.” ucapnya. “Lelah sudah pasti, Bu. Namun, aku pun
senang menjalaninya. Maka dari itu, tidak ada beban yang terasa berat untuk ditanggung.”
jawabku dengan senyum.

5
Ketenaran menyeretku untuk terus bekerja. Banyak orang-orang yang menawarkan
produknya secara percuma hanya untuk dipromosikan melalui akun instagramku. Sehingga
uang yang aku dapatkan bertambah banyak. Namun, aku pun tetap memperhatikan kualitas
produknya. Sebab aku tidak akan mempromosikan produk yang kurang baik dan beresiko
kepada banyak orang, jadi produk yang aku bantu untuk promosikan dapat dikatakan aman.

Seiring berjalannya waktu, karena aku menganggap bahwa diriku sangat beruntung
serta selalu merasa dimudahkan dalam bidang wirausaha. Aku bermimpi untuk menjadi
wirausahawan muda. Tentunya mimpi itu tidak ada gunanya jika hanya sekadar dimimpikan.
Seperti yang sering didengar banyak orang bahwa doa tanpa usaha adalah bohong dan usaha
tanpa doa adalah sombong. Tak henti-hentinya aku berikhtiar kepada Allah untuk
mempermudah segala urusanku demi membahagiakan Ibu. Pesatnya perkembangan jamu
pelangsing dan namaku yang sudah dikenal banyak orang, aku memanfaatkan peluang
kembali dengan memberanikan diri membuka rumah makan.

Rumah Kita, namanya. Kuberi nama itu sebab aku ingin setiap orang yang datang ke
rumah makanku merasa bahwa tempat ini bisa membawa nuansa hangatnya kebersamaan
dalam keluarga. Mungkin memang motivasiku memberi nama seperti itu karena masa lalu
yang selalu membekas hingga kini. Tempatnya tidak terlalu mewah, terkesan sederhana.
Namun, di dalamnya aku beri konsep seperti rumah keluarga harmonis pada umumnya
dengan kenyamanan dan inovasi-inovasi seperti adanya foto-foto kebersamaan pelanggan
yang dipajang di dinding rumah makan itu secara tidak langsung menarik perhatian
pengunjung lebih banyak. Dekorasi rumah yang klasik juga menjadi daya tarik tersendiri
menurut orang-orang yang berkunjung dan menikmati hidangan yang tak kalah enaknya.
Walaupun seperti makanan rumahan, akan tetapi penampilan dan rasa yang diberikan juga
tak main-main sebab aku merancang semua ini dengan maksimal agar pelanggan yang datang
selalu puas saat pulang. Alhamdulillah, kata itulah yang selalu dinasehatkan Ibu dan aku
ucapkan.

Selain itu, aku pun menekankan kepada pegawaiku agar selalu menerapkan 5S
(salam, senyum, sapa, sopan, santun) dalam melayani pelanggan. Mungkin juga karena hal
itu mereka menjadi nyaman di tempat makanku yang sederhana dengan harga yang
terjangkau sehingga bisa dikunjungi oleh berbagai kalangan. Dibalik itu semua, aku tetap
tidak lepas komunikasi dengan Ayah. Sesekali kami berbincang lewat telepon dan Ayah

6
bangga melihat aku bisa maju dengan caraku sendiri walaupun aku tahu bahwa Ayah tidak
pernah menafkahi kami yang seharusnya masih menjadi tanggung jawabnya.

“Wah, Anandita sudah cantik hebat pula! Aku ingin sekali banyak belajar dari
pengalamanmu. Maukah kau berbagi?” kata teman SMA-ku. “Dengan senang hati.” jawabku.
Karena banyak yang ingin belajar dariku, maka dari itu aku pun membuka pelatihan bisnis
secara online sebab cara itu efektif serta dapat dijangkau oleh semua orang dimanapun dan
kapanpun. Aku kembali mendapat penghasilan dari sharing online yang kulakukan. Selalu
kukatakan pada mereka yang ingin belajar atau kehilangan semangat “Hidup hanya sekali,
jangan menua tanpa arti. Jika semua orang menyerah di saat sulit, tidak ada orang sukses di
dunia ini.” Mungkin hanya motivasi sederhana itu yang dapat aku ucapkan pada mereka.

Meskipun kebanyakan orang menilai diriku sudah mencapai kesuksesan sebab bisa
mendapatkan apa yang kumau. Aku tetap berkembang dan tidak berhenti sampai disitu. Aku
mulai membangun butik, tempat makan dengan cabang yang lebih banyak, serta banyak
mendatangi undangan acara-acara bisnis untuk menjadi motivator. Aku senang bisa
membahagiakan Ibuku dan ternyata bayanganku tentang tidak bisa menyambung hidup
berdua saat dahulu telah hilang karena keberanianku melawan ego untuk berhenti di tengah
jalan. Kini impianku menjadi wirausaha telah terwujud. Dengan sabar, aku belajar bahwa
Allah mampu mengubah situasi terpuruk menjadi situasi terbaik dalam hidup.

Tak lupa akan kewajibanku untuk menolong sesama, aku sedekahkan rezeki setiap
harinya kepada saudara-saudaraku yang kurang mampu dan kesulitan makan. Sebab sedari
kecil Ibu selalu membiasakan aku menyisihkan uang untuk bersedekah. “Sedekah yang
disembunyikan akan memadamkan kemurkaan Allah, silaturahmi akan menambah umur, dan
melakukan kebaikan akan menjaga dari berbagai kejelekkan yang menimpa.” pesan Ibu yang
selalu kuingat.

Di lain sisi, aku tetap berusaha untuk rendah hati dan tetap bersyukur dalam segala
keadaan. Tak cukup warna untuk melukiskan kasih sayang-Nya, tak cukup angka untuk
menghitung pemberian-Nya, tak cukup pula tetes keringat untuk membalas karya-Nya dalam
hidupku. Aku tidak berusaha untuk menjadi lebih baik dari orang lain, tapi aku berusaha
untuk menjadi lebih baik dari diriku yang kemarin. Apa pun yang menjadi masa lalu, tetaplah
berlalu. Sepahit apa pun masa lalu, masa depan masih ada. Maniskanlah dengan penuh
harapan dan perwujudan. Aku mencari segala bentuk rezeki, tetapi aku tidak menemukan
rezeki yang lebih baik daripada sabar.

Anda mungkin juga menyukai