Anda di halaman 1dari 5

Mamak ku, Inspirasi ku

Penulis: Rizqita Khumairah

Ditulis oleh: Rizqita Khumairah

Pernahkah kalian mendengar sebuah kata-kata inspirasi, motivasi, dan provokasi dari orang
tua? Setidaknya sekali dalam hidup, pasti ada. Semua orang pernah mendengarnya dan...
itupun tergantung bagaimana tanggapan setiap orang.

Terkadang, kata-kata buruk yang keluar dari mulut orang tua bisa menjadi motivasi, lho. Yah
kembali lagi ke ucapan ku tadi, tergantung bagaimana setiap orang menanggapi nya.

Aku adalah salah seorang siswi dari Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Ketapang. Dan kebetulan
macam apa ini? Aku diberi tugas mulia dari guru bahasa Indonesia ku untuk membuat Teks
Cerita Inspirasi dan aku juga memang seorang penulis! Wow... benar-benar kebetulan yang
sangat kebetulan.

Yahh mumpung sedang ada kesempatan, kenapa tidak? Selagi aku punya sejuta cerita sehari-
hari, maka salah satunya akan ku tulis di dalam tugas ku ini. Dan ini adalah salah satu kisah yang
menurutku inspiratif buatku, gak tau sih buat orang kira-kira ceritaku ini menginspirasi atau
tidak, hmm...

Baiklah oke, terkadang basa-basi itu membosankan jadi sebaiknya aku mulai bercerita yang
berawal dari sini...
***

Suatu hari pada tahun 2022, singkat cerita aku sedang mengeluh tentang... yah pelajar
manapun pasti pernah mengalaminya. Nilai. Adalah angka yang mampu membuat para pelajar
frustasi garis keras karena jika kurang 1 tingkat saja, maka dunia para pelajar yang memikul
harapan orang tua akan terasa gelap. Seperti sudah tidak memiliki masa depan.

Kebanyakan sih begitu ya, tapi itu terlalu berlebihan atau dalam bahasa gaulnya lebay. Tentu
saja aku berbeda dari mereka, jika orang lain mendapat nilai yang kurang dari hari kemarin,
mereka akan bertingkah layaknya mahasiswa semester 12 yang frustasi karena skripsinya
belum diterima.

Yup, cara mengeluh ku memang sedikit berbeda dari rata-rata siswa di belahan dunia. Tetapi
pasti ada yang seperti diriku juga. Ketika sedang mengeluh dan kecewa karena 2 atau 3 digit
angka yang menjadi penentu masa depan alias nilai, maka yang aku lakukan adalah.. berkhayal.

Singkat cerita, di malam hari *Ba'da Isya. Aku membuka ponsel dan melihat notifikasi yang
benar-benar meledak saking banyaknya, lalu mataku terfokus pada sebuah pesan di aplikasi
WhatsApp yang ternyata berasal dari grub kelas ku. Wali kelas ku mengirim nilai hasil ulangan
Matematika kemarin dalam bentuk PDF.

(*Ba'da; setelah, seusai).

Aku pun membuka PDF tersebut dengan mata tertutup berharap mendapat nilai yang
memuaskan sambil komat-kamit mulutku menyebut nama Allah dan berdzikir "Ya Allah, Ya
Allah, Ya Allah, Allahuakbar, Ma Shaa Allah, Subhanallah, Astaghfirullah.." ucapku.

Perlahan ku buka mataku dan... DUAR! Benar-benar mengejutkan! Perasaan ku saat itu antara
senang dan sedih. Senang, karena nilai ku di atas KKM. Sedih, karena ternyata teman ku yang
duduk di belakang dan ketahuan diam-diam menyontek ku mendapat nilai yang lebih tinggi dari
ku. Rasanya saat itu ingin ku hancurkan bumi dan seisinya.

Secepat kilat, *mood ku langsung berubah yang awalnya senang tak karuan menjadi menatap
malas ke dunia dan seisinya kala melihat nilainya yang lebih tinggi dari ku. Rasanya alam
semesta seperti tidak mau berpihak kepadaku, pikiran ku langsung melayang ke kehidupan
masa depan.

(*Mood; perasaan).

Saat belajar aku berkhayal, saat ke toilet aku berkhayal, saat sedang jajan aku berkhayal,
bahkan sampai ingin makan pun masih terbayang-bayang ke masa depan. "Dapat nilai di atas
KKM aja sujud syukur, tapi kali ini benar-benar gak adil... Mana bisa gitu! Harusnya aku yang
dapat nilai lebih tinggi! Aaaarrgghh!" batin ku menjerit.

"Astaghfirullah.. itu namanya penyakit hati. Kalo kata orang, iri dengki itu sifat setan yang
dibenci Allah. Ikhlaskan aja kali ya? Rezeki tiap orang kan beda-beda, hadeuh sabar." batin ku
sambil tersenyum hambar. Lalu aku membaca doa makan dan aku memakan makanan di
depanku yang sudah mendingin sambil menatap kosong ke piring.

"Ada apa?" Kata *Mamak ku yang tiba-tiba menyahut di belakang. Mungkin Mamak menyadari
aku yang sejak tadi menghela nafas panjang dan terlihat lemas. "Nilai Matematika jelek, kacil,
kayaknya emang udah gak ada harapan buat cari duit enak." ucap ku yang mulai pesimis.

(*Mamak; Mama, Ibu).

"Berapa emang?" tanya Mamak ku. "85, padahal dulu bisa dapat 100. Kurang belajar ya gak
mungkin, orang udah belajar sampe Subuh. Malah temanku yang nyontek di belakang dapat 95,
rugi 10 biji." kata ku sambil mendengus sebal. Lalu Mamak ku mengangguk paham dan berkata
"Itu udah di atas KKM, gak apa-apa, belajar lebih hati-hati lagi karena ini ulangan terakhir.
Tahun depan udah ujian jadi rajin-rajin belajar." kata Mamak ku, aku hanya merotasi kan bola
mataku malas. Sudah berjuta kali aku dilempar kata-kata itu, rasanya bosan mendengarnya.

"Mamak mau anak-anak Mamak Sarjana semuanya, belajar yang rajin biar bisa dapat Beasiswa
kuliah di Universitas bagus. Keluarga kita ini terkendala ekonomi kalo soal biaya sekolah, jadi
kamu harus bantu buat capai *Beasiswa. Zaman Mamak dulu, cuma Tante kamu yang bisa
Sarjana karena dia pintar." kata Mamak ku yang sudah mengarah ke zaman lampau.

(*Beasiswa; bantuan keuangan yang bertujuan untuk keberlangsungan pendidikan).


"Terus, kenapa Mamak gak Sarjana juga? Kenapa Mamak gak capai Beasiswa juga? Kan enak
bisa bantu ekonomi keluarga." tanya ku penasaran. "Mamak dulu gak pintar kayak Tante mu.
Pas masih sekolah pun Mamak udah kerja bantu *Datok jualan di pasar sepulang sekolah
pulang nya larut malam, mana ada waktu buat Mamak belajar biar bisa dapat Beasiswa. Kerja
gak tetap pun Mamak bersyukur karena bisa sekolah kan anak-anak Mamak, masih bisa makan
enak." jelas Mamak ku.

(*Datok; Kakek).

Sesaat aku berpikir, aku hidup di zaman yang serba modern. Mencari pekerjaan mudah, bisa
bekerja lewat ponsel, sekolah lewat ponsel, belajar lewat ponsel. Gaji pokok pekerjaan
sekarang pun sudah lebih baik dari zaman dahulu yang paling besar penghasilan hanya 10 ribu.
Bahkan sistem sekolah mereka zaman dahulu pun berbeda jauh dan peraturan sangat ketat
pada zaman itu, berbeda dengan zaman sekarang yang peraturan sudah sedikit longgar seiiring
berkembangnya zaman.

Lantas, mengapa aku masih mengeluh soal perkembangan zaman? Bukankah zaman sekarang
perekonomian sudah lebih membaik? Barang hanya 2 digit angka yang di tulis di raport, aku
masih mengeluh soal itu. Padahal letak kesalahannya ada pada diriku yang kurang disiplin
dalam menuntut ilmu. Dan pada saat itu aku sedikit tersadar bahwa semua yang dikatakan
Mamak ku benar.

Kalau aku rajin belajar dan disiplin, mungkin hasilnya lebih baik. Tetapi jika aku hanya akan
bermalas-malasan, memangnya apa yang aku capai dari bermalas-malasan? Padahal zaman
sekarang anak muda punya banyak waktu untuk belajar, tidak seperti zaman dahulu yang sulit
sekali untuk mencari waktu luang dan bahkan kecil-kecil sudah bekerja mencari rezeki.

Mamak ku memang bukan Sarjana, tetapi cita-cita Mamak ku adalah membuat anak-anaknya
menjadi Sarjana. Keren kan? Meski dengan pekerjaan yang tak tetap dan upah seadanya, tapi
Mamak ku bisa menyekolahkan ku di sekolah Top 5 di Ketapang. Dan Mamak ku pun juga
berusaha agar aku bisa Sarjana seperti Tante ku.
Yah, ini menyangkut soal bersyukur atau tidaknya. Setelah dipikir-pikir, aku beruntung hidup di
Zaman yang semuanya serba enak mau melakukan ini dan itu. Mendapat pekerjaan pun mudah
jika dibandingkan dengan Zaman dahulu. Kuncinya tetap bersyukur mau terlahir dari keluarga
miskin ataupun kaya, keluarga bermasalah, keluarga ningrat, dan keluarga pejabat sekali pun.

Karena sesungguhnya, rezeki sudah dititipkan oleh Allah ke masing-masing makhluk ciptaannya.
Namun, terlalu cepat untuk mendapat rezeki tersebut sehingga Allah membuat skenario di
mana dalam suatu rumah tangga, Allah buat susah dalam segala hal. Hutang menumpuk, beras
habis, belum makan berhari-hari, dipecat dari pekerjaan. Itu semua Allah berikan untuk menguji
hambanya apakah hambanya hanya akan diam saja dan menerima nasib atau mendekatkan diri
kepada Allah dan berdoa meminta dimudahkan dalam menghadapi segala urusan.

Seusai dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 286 yang berbunyi:

‫ ۗ اَل يُ َكلِّفُ هّٰللا ُ نَ ْفسًا اِاَّل ُو ْس َعهَا‬

laa yukallifullohu nafsan illaa wus'ahaa,

Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Mungkin, jika aku benar-benar menjadi seorang Sarjana nanti. Aku akan mengikuti jejak Mamak
ku yang tetap berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya dan membuat anak-anaknya
menjadi Sarjana seperti yang diinginkan. Meskipun kehidupan setelah Sarjana tidak seindah
yang diharapkan, tetapi setidaknya perjuangan Mamak ku untuk membuat ku menjadi Sarjana
tidak sia-sia.

Dan seterusnya, akan tetap menjadi inspirasi dan motivasi ku untuk terus belajar. Juga satu
pelajaran yang tidak boleh dilupakan, yaitu bersyukur. Dengan bersyukur, semua yang terasa
berat akan jauh lebih ringan. Bersyukur dan berusaha adalah kunci kesuksesan.

Anda mungkin juga menyukai