Anda di halaman 1dari 7

Nama : Joko Sujarwo

Nama Kelompok : Kelompok Bawean

Program Studi : Sastra Indonesia

Antara Aku dan Sebuah Perjuangan

Perjuangan untuk meraih apa yang diinginkan oleh setiap orang pastinya selalu
diwarnai dengan lika-liku kesedihan dan kegembiraan. Hal ini wajar karena semua hal yang
kita inginkan selalu membutuhkan sebuah usaha. Akan tetapi, untuk mendapatkan sesuatu
yang kita inginkan itu tidak harus dengan usaha yang begitu keras bahkan kita hanya
berfokus pada usaha kita tersebut. Sebenarnya banyak faktor yang mendorong kita untuk
meraih keinginan itu, bukan satu atau dua hal, tetapi banyak hal yang tanpa kita sadari justru
menjadi penyebab kita sukses meraih keinginan tersebut. Ya..,itulah yang aku rasakan pada
perjuanganku yang akan aku ceritakan kali ini. Melalui secuil cerita perjuanganku yang akan
aku ceritakan kali ini, aku berharap semoga kita menjadi paham apa arti sebuah perjuangan
yang sesungguhnya. Bagaimanapun hal ini sangat sulit didefinisikan, sampai saat cerita ini
tertulispun aku masih bertanya-tanya makna dari kata “perjuangan”.

***

Cerita ini berawal saat aku duduk dibangku sekolah dasar, aku bersekolah di Sekolah
Dasar. Aku mempunyai paman yang kebetulan bekerja sebagai guru di sana. Beliaulah yang
menjadi salah satu inspirasiku waktu itu untuk menjadi seorang guru kelak saat aku sudah
dewasa. Bagaimanapun pikiran seorang anak yang masih kecil, bisa dibilang belum tahu
sebenarnya susahnya menjadi seorang guru yang baru aku temukan saat ini. Dulu saat aku SD
jika ditanya tentang cita-cita aku memang selalu menjawab dengan semangat bahwa aku
ingin menjadi seorang guru, namun belum tahu ingin menjadi guru di bidang apa. Dalam
otakku waktu itu hanya menilai jika menjadi seorang guru itu enak, kerjanya cuma duduk dan
menjelaskan, memberi pertanyaan, serta membuat kelucuan untuk murid-muridnya agar tidak
mengalami kejenuhan dalam belajar. Hal inilah yang aku tangkap waktu itu tentang sosok
seorang guru. Mungkin jika aku mengetahui pikiranku saat itu aku akan mengatakan pada
diriku sendiri “ perjuangan menjadi seorang guru tak semudah itu ferguso! ”

Keinginanku untuk menjadi seorang guru itupun berlanjut hingga aku duduk di banbku
SMP. Aku bersyukur karena aku dapat bersekolah di salah satu SMP yang favorit di
daerahku. Kata orang-orang yang ada di daerahku, dengan bersekolah di SMP favorit akan
mudah untuk menjadi seorang pegawai negeri termasuk menjadi seorang guru. Paradigma
inilah yang selalu melayang dalam pikiranku saat itu dan aku belum mgetahui apakah
pardigma ini benar atau salah, karena dengan keluguanku saat itu aku hanya bisa menuruti
apa yang dikatakan olaeh orang tuaku yang notabennya juga mereka terpengaruh dengan
pardigma itu. Sedikit mengingat ke belakang, untuk memasukki SMP ini pun tidak mudah
karena bagaimanapun banyak yang ingin bersekolah di SMP ini. Untuk itu, tiap hari aku
membiasakan diri untuk belajar mengulang materi yang sudah disampaikan oleh guruku.
Selain belajar sendiri di rumah rutin tiap hari, aku juga mengikuti bimbel yang ada di
desaku,dengan teman-temanku tiap sore hari.

Melanjutkan cerita, saat aku duduk di kelas 8 SMP kebetulan aku dipih guruku untuk
mengikuti lomba cipta puisi yang diselenggaran oleh daerahku. Sebelumya memang guruku
menyuruh semua siswa yang ada di kelasku untuk membuat puisi karena saat itu berbarengan
dengan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa indonesia yang diajarkan. Akan tetapi,
sebenarnya aku tidak tahu kalau ini juga seleksi untuk siswa yang dipilih untuk mengikuti
lomba cipta puisi. Setelah dinilai oleh guruku ternyata puisiku menjadi puisi terbaik dengan
tiga temanku lainnya dari kelas yang berbeda. Sebenarnya hal ini membuatku merasa tertekan
karena waktu itu aku tidak terlalu suka dengan puisi karena menurutku puisi itu mempunyai
bahasa yang terlalu lebai. Akan tetapi, pikiran ini harus aku buang jauh-jauh karena dengan
dipilihnya aku untuk mengikuti lomba cipta puisi ini menuntutku untuk suka pada sebuah
puisi. Seleksi yang dilakukan antara aku dan tiga temanku pun dilakukan kita disuruh untuk
membuat sebuah puisi kebetulan saat itu aku membuat puisi dari kisah Roro Mendut dan
Panacitra. Sebuah kisah asmara layaknya Romeo dan Juliet yang beredar di daerahku. Setelah
diseleksi oleh guruku akhirnya akulah yang berhak mewakili sekolah untuk maju ditingkat
kabupaten.

Dalam perlombaan puisi di tingkat kabupaten ini aku sangat bersemangat karena dalam
hatiku, aku ingin mendapatkan penghargaan dan bisa membuat bangga nama sekolahku serta
guruku yang telah membimbingku pada saat itu. Singkat cerita, aku berhasil mendapatkan
juara pertama dalam perlombaan ini melalui puisi yang telah kubuat yang mengangkat judul
tentang keunikkan kebudayaan yang ada di daerahku. Hal ini membuatku sangat senang
karena dapat membanggakan sekolahku dan guruku yang telah membimbingku dalam
membuat puisi. Setelah lolos pada tingkat kabupaten, aku berlanjut pada tingkat provinsi.
Tantangannya pun semakin berat karena lawanku adalah siswa-siswi yang terpilih dari
berbagai kabupaten. Berbeda dengan lomba di kabupaten, kesedihan dan kekecewaan aku
alami saat itu, aku belum berhasil menjadi juara dalam perlombaan ini. Namun, disatu sisi
aku menyadari bahwa masih panjang jalanku untuk mendapatkan keberhasilan. Lagipula
masih ada masa SMA yang menantiku untuk menuju kesuksesan. Pengalaman inilah yang
menggerogoti keinginanku menjadi seorang guru, dengan pengalaman ini aku bertekad dan
berucap pada diriku sendiri “Kelak aku akan menjadi seorang penulis yang hebat dan
seseorang yang mencintai seni sebuah sastra”.

Memasukki SMA adalah masa yang paling sulit bagiku. Hal ini mungkin tidak hanya
aku yang merasakan tapi pastinya semua siswa merasakan demikian. Masa SMA itu seperti
sebuah perahu yang terombang-ambing di tengah sungai. Semua cita-cita atau harapan yang
sudah kita rencanakan sebelumya mungkin bisa saja berubah secara dratis. Ditambah lagi
masa ini merupakan momentum untuk menentukan masa depan kita setelah lulus dari bangku
sekolah, dan bermuara pada bangku perkuliahan sebagai tonggak masa depan kita setelah itu.
Berbicara tentang SMA, aku bersyukur dapat diterima pada SMA favorit di daerahku. Akan
tetapi, sedikit kekecewaan pun timbul saat itu. Sebenarnya aku ingin masuk dalam kelas
bahasa saat SMA, tetapi yang ada dalam SMA itu hanya IPA dan IPS. Akupun memilih IPA
karena menurut pemahaaman yang aku peroleh, anak IPA itu lebih baik dalam sikap, ambisi,
dan prospek ke depannya daripada anak IPS. Stereotip tentang anak IPS ini aku telan dengan
mentah-mentah karena keterbatasan pengetahuanku mengenai hal ini.

Hari-hari menjadi anak IPA-pun aku lalui dengan semangat walaupun ada rasa kurang
nyaman terhadap pelajaran berhitung. Waktu SMA ini, entah kenapa aku kurang bisa
mengembangkan minatku dalam hal kesastraan. Hal ini mungkin banyak tugas yang
diberikan oleh guruku dan keikutsertaanku dengan organisasi serta ektrakulikuler. Akan
tetapi, sekolahpun kadang mengadakan perlombaan puisi dan inilah yang menjadi sedikit
mengembangkan minatku. Akupun selalu ditunjuk oleh teman-teman satu kelasku jika ada
event-event perlombaan puisi sebagai perwakilan kelas. Namun, yang aku sesali aku tidak
mempunyai kesempatan untuk mengikuti perlombaan puisi di tingkat yang lebih tinggi
daripada waktu aku duduk di bangku SMP.
Saat aku sudah kelas 12 SMA ini adalah waktu yang paling mendebarkan, karena di
sinilah momentum untuk menentukan pilihan antar kerja atau lanjut ke perguruan tinggi.
Kebetulan, karena aku ingin menjadi seorang yang berkecimpung di bidang sastra maka aku
memilih untuk melanjutkan kuliah saja dan orang tuaku pun menyetujuinya. Untuk
mendapatkan perguruan tinggi inipun tidaklah mudah karena teman-temanku juga pintar dan
nilainya bagus, sehingga waktu ada seleksi SNMPTN - Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri yaitu seleksi yang dilakukan oleh Lembaga Perguruan Tinggi kepada para
siswa yang ingin mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri yang diinginkan melalui nilai rapor
dan fortofolio pendukung - Sebelum mengikuti seleksi ini semua nilai siswa diperingkat
sesuai dengan bidang masing masing. Untuk bidangku yaitu IPA terdapat kuota 40% dari
keseluruhan siswa. Sementara untuk bidang IPS kuotanya 20% dari total keseluruhan siswa.
Lolos dalam peringkat sekolah 40% ini adalah harapan seluruh siswa pastinya, termasuk juga
aku. Tiap hari aku berdoa dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan agar Dia dapat
meloloskanku dalam seleksi pemeringkatan yang dilakukan oleh sekolahku ini. Sebenarnya
ini adalh perbuatan yang kurang baik, karena niatku mendekat kepada Tuhan hanya agar aku
lolos seleksi pemeringkatan. Namun, inilah sebuah ironi yang telah terbentuk dari dulu
hingga sekarang terutama untuk siswa-siswi kelas akhir.

Terlepas dari itu, akhirnya Tuhan pun memberiku kesempatan untuk dapat lolos dalam
seleksi pemeringktan yang dilakukan oleh sekolahku. Sehingga aku berhak mengikuti
SNMPTN, meskipun dengan peringkat yang tidak terlalu tinggi, tetapi aku bangga dan
percaya diri bahwa akau pasti dapat diterima dalam program studi yang nantinya akan aku
pilih. Dari sinilah sebuah kebimbangan besar menerpaku, di satu sisi teman-temanku
mengajakku untuk bersama-sama melanjutkan kuliah ke daerah Jogjakarta karena rumornya
di daerah ini biaya hidup sangat murah. Akan tetapi, sebenarnya aku sudah berniat untuk
menlanjutkan kuliah ke-UNS dengan program studi yang berhubungan dengan bahasa,
kesastraan serta kebudayaan, karena sebagaimana tekad yang telah aku janjikan pada diriku
sendiri waktu SMP. Namun, aku masih bimbang dengan pilihanku itu aapakah dengan
mendalami sebuah sastra dan kebudayaan itu akan membawa keuntungan bagiku di masa
depan. Di tengah kebimbanganku itu, akupun diberi saran oleh alumni dari sekolahku itu. Dia
mengatakan jika dalam bidang bahasa itu kelak akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan,
beliau menyarankanku untuk kembali ke keinginanku sejak awal yaitu menjadi guru.
Demikian beliau menyuruhku untuk terjun ke pendidikan guru sekolah dasar, karena peluang
kerjanya lebih dibutuhkan.
“Sebuah sugesti itu pun, telah memengaruhiku tanpa berfikir panjang aku memutuskan
untuk mengambil prodi PGSD, mungkin aku menganggap beliau sedah berpengalaman
dengan dunia kerja, apalagi beliau juga seorang guru. Kemudian untuk masalah perguruan
tinggi negerinya, entah kenapa aku juga menuruti teman-temanku yang mengajakku untuk
berkuliah di daerah Jogjakarta. Hal ini kulakukan saat itu karena aku tidak mau berpisah
dengan teman-teman yang sudah dekat denganku sejak SMP itu. Ditambah lagi biaya hidup
kuliah di Jogjakarta juga katanya lebih murah. Sehingga aku pun memilih salah satu
Universitas Negeri yang ada di Jogjakarta. Rasa khawatir tidak lolos pun ada dalam diriku,
tetapi anehnya aku terlalu percaya diri dengan nilaiku yang mungkin tidak terlalu baik
daripada teman-temanku. Harapanku untuk lolos pun sangat besar, bahkan aku melakukan
ibadah hanya semata- mata agar Tuhan meloloskanku untuk seleksi ini, sama seperti seleksi
pemeringkatan sekolah kemarin.

Hari pengumuman pun tiba dengan perasaan yang bercampur aduk aku beranikan diri
untuk membukanya. Akan tetapi, tidak seperti pemeringkatan sekolah waktu itu, kuan
kebahagiaan justru kesedihan menghampiriku. “Maaf Anda Belum Lolos Seleksi SNMPTN
2020”, kata inilah yang terdapat dalam layar HP-ku. Menangis, itulah yang seketika
kulakukan, bagaimanapun seleksi ini adalah harapanuku yang paling besar, karena jika tidak
lolos seleksi tanpa tes ini berarti kita harus mengikuti ujian mandiri yang rumornya harus
menggunakan biaya yang cukup besar. Apalagi orang tuaku notabennya adalah keluarga yang
tidak mampu, dan tidak hanya aku yang menjadi tanggungan tetapi kakakku saat ini juga
masih kuliah juga. Padahal harapanku saat aku kuliah nanti jangan sampai membebankan
orang tuaku dengan biaya kuliahku kelak. Kecewa pada diriku sendiri, merasa gagal dalam
usahaku selama di SMA ini untuk mendapatkan nilai yang baik di raporku dan seolah tidak
ada kesempatan lagi, aku rasakan hingga berhari-hari. Terkadang aku juga iri dengan teman-
temanku yang lolos dalam seleksi SNMPTN saat itu. Namun, teman-teman, saudara, dan
orang tuaku juga selalu menyemangatiku untuk jangan menyerah karena masih banyak
kesempatan yang lain. Semangat inilah yang berhari-hari akhirnya menyadarkanku bahwa
usahaku untuk meraih PTN yang aku inginkan masih panjang,

Kesempatan lainnya pun datang, setelah lulus SMA ini akan ada seleksi SBMPTN
-Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri yaitu seleksi yang dilakukan oleh
Lembaga Perguruan Tinggi kepada para siswa yang ingin mendaftar di Perguruan Tinggi
Negeri yang diinginkan melalui Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) – Untuk kesempatan
kali ini aku harus memanfaatkannnya dengan baik. Sebelum mengikuti SBMPTN ini aku
mencoba mengenal diriku sendiri apa benar bahwa minatku adaalah di bidang kesastraan dan
kebudayaan. Hari demi hari aku melakukan perenungan, mengikuti test bakat dan minat
secara online dan sebagainya, agar aku dapat mengetahui diriku yang sebenarnya. Setelah
berpikir yang cukup lama, akhirnya Tuhan memberiku petunjuk pada otakku agar aku dapat
memantapkan diriku untuk kembali ke keinginanku, yaitu melanjutkan kuliah di UNS pada
program studi yang berhubungan dengan kesastraan dan kebudayaan. Dalam hal ini aku
memilih program studi Sastra Indonesia pada pilihan pertama dan Sastra Daerah pada pilihan
kedua. Selain mengenali diri sendiri, untuk mempersiapkan SBMPTN, aku juga mengikuti
bimbel yang kebetulan biayanya tidak terlalu mahal dan orang tuaku pun menyanggupinya.
Belajar secara rutin pun juga aku lakukan setiap hari serta belajar kelompok dengan teman-
temanku yang belum lolos dalam SNMPTN waktu itu.

Berbeda halnya denganberibadah serta pendekatanku kepada Tuhan agar Dia dapat
meloloskanku dalam seleksi SBMPTN, aku tidak seperti waktu aku memohon dengan keras
agar Dia meloloskanku di SNMPTN. Kepasrahan dan keihklasan lah yang aku coba
tanamkan dalam batinku. Hal ini aku sadari bahwa waktu SNMPTN aku terlalu memaksa apa
yang dikehendaki Tuhan kepadaku, karena kita sebenarnya tidak boleh beribadah dan berdoa
secara berlebihan kepada-Nya apalagi untuk memeroleh kenikmatan yang bersifat duniawi.
Satu hal yang paling berkesan buatku saat itu adalah sebelum aku memulai belajar aku selalu
berucap pada diriku “ Aku akan lolos dalam seleksi SBMPTN 2020” .

Singkat cerita, setelah mengerjakan UTBK aku hanya bisa memasrahkan diri kepada Tuhan
tentang hasil yang akan aku dapatkan, lolos tidaknya. Meskipun dibumbuhi dengan perasaan
takut dan cemas tapi aku akan belajar ikhlas apapun hasil yang akan kudapatkan nanti. Bulan
demi bulan terlalui, hatiku selalu diringi perasaan khawatir akan hal itu. Saat pengumuman
SBMPTN tiba, hatiku mungkin lebih siap menghadapi kenyataan. Tidak seperti saat
SNMPTN kemarin, justru saat ini aku lebih tidak percaya diri. Pukul 15.30 tepatnya, aku
membuka pengumuman SBMPTN itu, dengan kemantapan hati dan rasa khawatir tentunya
aku membuka secara perlahan-lahan melalui layar HP-ku. “ Selamat! Anda dinyatakan
lulus dalam seleksi SBMPTN LTMPT 2020. Di Universitas Sebelas Maret dalam program
studi Sastra Indonesia”. Yaa…, inilah sebuah kalimat yang menjadi harapanku selama ini.
Akhirnya, Tuhan mengizinkanku untuk menuntut ilmu di universitas
dan program studi yang aku inginkan sebelumnya. Aku berharap dengan diterimanya aku di
sana, dapat menjadi awalku untuk mewujudkan cita-citaku menjadi penulis yang hebat dan
seseorang yang ahli dalam bidang kasusastraan dan kebudayaan. “Terima kasih! Tuhan!”
itulah kata yang mengiringi air mataku.

***

Melalui kisah yang aku ceritakan ini mungkin kita belum mengerti arti perjuangan yang
sebenarnya, jika kita masih mempunyai pemikiran kalau sebuah perjuangan itu harus dengan
usaha yang keras. Akan tetapi, percayalah, bahwa sebuah perjuangan itu sangat sulit
didefinisikan seperti apa yang aku katakan sejak awal. Hal ini dikarenakan, hanya diri kita
sendirilah yang mampu mamaknai besar kecilnya usaha yang kita lakukan untuk
mendapatkan sesuatu yang diharapkan.

***

Kota Pati, Joko Sujarwo

Anda mungkin juga menyukai