Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi kehidupan kita. Globalisasi


merupakan suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal
batas wilayah. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan
baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi
untuk kepentingan kehidupan. Kita ketahui, dengan adanya era globalisasi ini
segala aspek kehidupan menjadi berubah dan lebih mudah. Namun, dengan
asanya perubahan kehidupan yang menjadi lebih mudah ini, ternyata berdampak
pada kebudayaan kita. Seperti gaya hidup yang suka kebarat-baratan, mulai dari
sikap, bicara, maupun dalam berbusana. Salah satu perubahan yang paling
mencolok adalah bagaimana berbusana. Berbusana yang beretika dan sopan saat
ke pura. Gaya berbusana menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi
kepribadian seseorang di era globalisasi saat ini.

Tekanan globalisasi dewasa ini memang membawa dampak terjadinya


pergeseran etika dalam berbusana adat ke Pura oleh generasi muda Hindu di Bali.
Banyak generasi muda yang kurang memahami dan juga ada yang tidak mau
memahami tentang etika dalam berbusana ke Pura yang baik dan benar. Banyak
dari meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju
atasan yang sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang
kurang sesuai. Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan
dengan aktivitas / kegiatan yang akan dilakukan. Sering kita jumpai perempuan
hindu yang mengenakan kebaya dengan bahan transparan dan kain bawahan
(kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan
persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia
tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini.
Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi
orang yang mempunyai pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan
mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga
mempengaruhi konsentrasi persembahyangan. Sejak dahulu hingga sekarang
busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya
dalam menggunakan busana adat ke pura terutama untuk persembahyangan harus
sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun saat ini umat Hindu terutama para
remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan.

Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan
makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru,
perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa
dalam berbusana adat Bali. Sehingga masyarakat menjadi lebih paham dang
mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat kepura.

Jika kita telusuri etika-etika dalam berbusana ke Pura. Orang berbusana adat
yang baik untuk ke pura yakni berbusana yang enak dipandang. Tidak kebablasan
seperti busana yang pendek-pendek, kebaya yang tipis dan transparan,
penggunaan kamen yang di atas lutut. Walaupun semua itu adalah trend atau
mode kita harus juga mengetahui apa makna dari pakaian adat ke Pura.

Jadi berbusana ke pura itu di harapkan busana yang bisa menumbuhkan rasa
nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian,
dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna
tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran. Bukan
berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi dalam
pemakaian pakaian adat ke Pura, namun kita sebagai penganutnya harus bisa
menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan,
kalau tidak begitu bila semua berbusana modifikasi sampai pemangku
bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura. Tentu itu akan mengakibatkan
sebuah penyimpangan dalam berpakaian kepura.

Sebagai generasi muda memang sudah harus sepatutnya mempelajari dan


mampu memahami serta melakasakan etika dalam berpakaian untuk
persembahyangan ke Pura. Pikiranlah yang utama dalam mengantarkan bhakti
kita kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Dan apabila hanya karena
mengikuti trend dan mode busana yang dikenakan bisa mengganggu konsentrasi,
tentu saja itu akan membuat terganggunya situasi persembahyangan yang
khusyuk. Sehingga melalui penulisan karya ilmiah ini penulis bermaksud untuk
menuliskan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap cara berbusana adat ke pura
bagi kalangan remaja hindu di bali serta menuliskan apa hal-hal yang dapat
dilakukan untuk menghindari dampak negatifnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis membuat rumusan masalah


sebagai berikut:

1. Bagaimana filosofi busana adat ke Pura bagi umat Hindu di Bali?


2. Bagaimana perubahan gaya berbusana adat ke Pura bagi kalangan remaja
umat Hindu di era globalisasi?
3. Bagaimana penyebab dan dampak dari perubahan gaya berbusana adat ke
Pura bagi kalangan remaja umat Hindu di era globalisasi?
4. Bagaimana upaya untuk mengurangi pengaruh globalisasi terhadap cara
berbusana adat ke Pura yang semakin menyimpang?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan karya ilmiah
ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui filosofi berbusana adat ke Pura bagi umat Hindu di Bali.
2. Untuk mengetahui perubahan gaya berbusana adat ke Pura bagi kalangan
remaja wanita Hindu di era globalisasi.
3. Untuk mengetahui dampak dan penyebab dari perubahan gaya berbusana adat
ke Pura bagi kalangan remaja wanita Hindu di era globalisasi.
4. Untuk mengetahui upaya untuk mengurangi pengaruh globalisasi terhadap
cara berbusana adat ke Pura yang semakin menyimpang.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun beberapa manfaat yang akan didapat dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah sebagai berikut:
1. Karya ilmiah ini diharapkan mampu menambah wawasan kita sebagai
generasi muda tentang cara berbusana adat ke Pura yang baik dan benar
sesuai etika yang berlaku terutama bagi kalangan remaja wanita.
2. Karya ilmiah ini dapat digunakan untuk memberikan masukan dalam rangka
mengurangi pengaruh besar globalisasi terhadap cara berbusana adat kePura
bagi umat Hindu di Bali khususnya di kalangan remaja wanita.

1.5 Ruang Lingkup


Untuk mempermudah penulisan karya ilmiah ini agar lebih terarah dan
berjalan dengan baik, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun
ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini
yaitu:
1. Penulis hanya membahas tentang perubahan gaya berbusana adat ke Pura
yang semakin menyimpang di kalangan remaja Hindu khususnya wanita di
Bali yang dipengaruhi oleh budaya luar di era globalisasi ini.

1.6 Metodelogi

1.6.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan dikawasan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
meliputi Politeknik Negeri Bali, Rumah Narasumber, dan lain-lain . Penelitian ini
dilaksanakan dari tanggal 6 Juli - 13 Juli 2016.
1.6.2 Pengumpulan Data
Jenis data yang diambil penulis adalah jenis data primer yaitu data yang
diperoleh langsung dari responden. Responden merupakan kalangan remaja dari
rentangan usia 15 – 22 tahun. Maka pada pengumpulan data berikut :

1.6.2.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi di kota


Denpasar maupun di kabupaten Badung. Sedangkan sampel penelitian adalah
perwakilan dari populasi yang langsung dijadikan objek penelitian. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 35 orang responden di
kawasan penelitian. Responden ditentukan secara acak.
1.6.2.2 Wawancara

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui tanya jawab


secara lisan kepada narasumber pada tanggal 7 Juli 2016 di rumahnya,
dengan sistematis pertanyaan yang berlandaskan pada rumusan masalah
kepada narasumber yang mengetahui permasalahan tersebut.

1.6.2.3 Survei

Survei merupakan metode pengumpulan data dengan menyebarkan


kuisioner atau angket. Kuisioner disebarkan kepada 35 responden, untuk
mengetahui skor yang diberikan terhadap setiap pernyataan yang diberikan.
Responden diminta untuk memberi skor sesuai skala berikut:
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
Kurang Setuju (KS)
Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak Setuju (STS)

1.6.2.4 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode untuk mencari dokumen atau data-


data yang dianggap penting melalui narasumber, artikel koran, informasi
media elektronik yaitu internet, yang ada kaitannya dengan Pengaruh
globalisasi terhadap perubahan cara berbusana adat ke Pura.

1.6.2.5 Studi Literatur

Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data


atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam
suatu penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, internet dan
buku.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Globalisasi

Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena


pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan
lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk
kemunculan telegraf dan Internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang
semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan
budaya. Meski sejumlah pihak menyatakan bahwa globalisasi berawal di era modern,
beberapa pakar lainnya melacak sejarah globalisasi sampai sebelum zaman
penemuan Eropa dan pelayaran ke Dunia Baru. Ada pula pakar yang mencatat
terjadinya globalisasi pada milenium ketiga sebelum Masehi.Pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, keterhubungan ekonomi dan budaya dunia berlangsung sangat
cepat.
Istilah globalisasi makin sering digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an
dan lebih sering lagi sejak pertengahan 1990-an. Pada tahun 2000, Dana Moneter
Internasional (IMF) mengidentifikasi empat aspek dasar globalisasi: perdagangan
dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia,
dan pembebasan ilmu pengetahuan. Selain itu, tantangan-tantangan lingkungan
seperti perubahan iklim, polusi air dan udara lintas perbatasan, dan pemancingan
berlebihan dari lautan juga ada hubungannya dengan globalisasi. Proses globalisasi
memengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis dan tata kerja, ekonomi, sumber daya
sosial-budaya, dan lingkungan alam.

Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang
maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu
proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di
dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari
sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan
baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung
oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak
berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang
lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.

Jan Aart Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan
orang dengan globalisasi:
1. Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama
lain.

2. Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas


antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa,
maupun migrasi.

3. Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya


hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas
dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.

4. Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan


semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.

5. Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda


dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing
negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang
kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar
gabungan negara-negara

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat
tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:

Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang


memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia
berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang
diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para
globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses
tersebut.

Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan


semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat
dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena
negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama
Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang
homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari
mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi
(antiglobalisasi).

Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka


berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada,
terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah
fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini
hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan
kapital.

Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis.


Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para
globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal
keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya
dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni
melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka
menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau,
setidaknya, dapat dikendalikan

2.2 Pakaian Adat ke Pura

Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih


memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep
tapak dara (swastika).

Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:

Dewa Angga : dari leher ke kepala

Manusa angga : dari atas pusar sampai leher


Butha Angga : dari pusar sampai bawah

Secara umum busana adat Bali di bagi menjadi 3 bagian yaitu :

1) Busana adat Nista : Busana yang di gunakan sehari hari dan ngayah ( busana
yang belum lengkap) busana ini tidakbisa di pakai persembahyangan.

2) Busana adat Madya : Busana ini di gunakan untuk persembahyangan, secara


filosofis busana ini sudah lengkap.

3) Busana Adat Agung : Untuk upacara pernikahan atau pawiwahan. ( sudah


lengkap secara aksesoris)

Namun yang memprihatinkan saat ini tren busana yang banyak di gunakan sudah
tidak sesuai dengn makna dari pakainan adat Bali, sebagian besar para gadis
munggunakan pakaian adat yang kurang sesuai menurut saya, tidak hanya para gadis
saja yang mengikuti tren busana tersebut, para ibu - ibu juga mengikuti tren ini.
Kamben yang di gunakan mulai di singsingkan naik sehingga betisnya terlihat.
mereka seolah - olah ingin menunjukkan lekuk tubuh dan keindahan betisnya, di
bandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke
Pura.

Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke
Pura tersebut.

1. Busana adat ke Pura untuk putra

Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen.


Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki
merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak
kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan
panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra
menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya
menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol
penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti
pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk
menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan
kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan
juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah
jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil
(umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah
tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga.
Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai
symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal
harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh
dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat
bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan
perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa
syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju
sebenarnya tidak ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan dengan
penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran
(udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng
beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul
hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga
sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol
penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan
yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus
mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan
symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng
jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih
brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada
bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang
selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng
beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan
dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.
2. Busana adat ke Pura untuk putri

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan


kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan
konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng
dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan
putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek. Setelah
menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga
rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat
menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri
memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi
putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya
sama seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada
putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu
pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri
tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan
cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai
symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah
pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung
podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di
pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.
BAB III

HASIL & PEMBAHASAN

3.1 Konsep dan filosofi busana adat ke Pura umat Hindu

Pengertian busana atau pakaian dalam arti luas adalah suatu benda
kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Pakaian
adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan,
tingkat, status, tetapi bukan identifikasi dengan suatu bagian dari pengada hakiki
(Dilistone : 2002:80).

Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara


persembahyangan yang masuk kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya
dimaksudkan untuk digunakan pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan
bhakti dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Apabila umat
hendak melakukan persembahyangan maka sesungguhnya persyaratan yang penting
sesuai dengan kaidah etika dalam ajaran Hindu. Soal segi estetika atau keindahan
dalam penampilan memang tidak dapat dihalangi, tetapi ketika sudah mengarah
pada eksplorasi dan eksploitasi diri umat dengan berpenampilan yang menunjukan
unsur-unsur pamer kemewahan seperti halnya kalangan selebritis yang selalu tampil
trendis dan modis, dalam konteks ke Pura yang merupakan tempat suci atau sakral
jelas tidak dapat dibenarkan.

Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya upacara
keagamaan, yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:

a. Busana atau pakaian pada Uttama Angga(kepala).

Untuk putra mengenakan udeng, dan wanita rambutnya diikat rapi. Di


bagian kepala yang kerap diistilahkan Prabu, adalah tempat
bersemayamnya Dewa. Akal, Pikiran, serta awal dari semua perbuatan
yang diberkati oleh Hyang Widhi. Awalnya agar adanya keseragaman
PHDI (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke
Pura haruslah berwarna Putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan
kedamaian pikiran. Serta ujung udeng, atau muncuk udeng harus lurus keatas.
Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berfikir lurus, memuja
Yang Diatas. Tapi simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai
variasi (mereng ke-kiri atau ke-kanan).

Busana pada bagian kepala (utama angga) bagi masyarakat umum adalah udeng
(destar), udeng (destar) sebagai simbol Om kara (Tuhan), ikatan udeng mengelilingi
kepala sehingga berbentuk lingkaran dan pada bagian ujung udeng diikatkan dengan
ujung menghadap ke atas yang bermakna memusatkan pikiran kepada Hyang Kuasa
(memuja Tuhan ). Aturan memakai udeng berdasarkan tradisi jika ke pura berwarna
putih, simbol kesucian yang berarti memuja Tuhan) sedangkan jika hendak melayat
menggunakan udeng hitam yang melambang seseorang sedang berkabung.

b. Busana atau pakaian Madyama Angga(badan).


Pada bagian tengah area dada-pinggang (manusa) melambangkan manusia itu
sendiri. Maksudnya pakaian yang layak pakai, nyaman Yang bisa membuat sang
penggunanya kushuk saat bersembahyang. Disarankan lagi yang berwarna Putih.
Pada bagian madyama angga (badan) menggunakan baju sapari, pakaian untuk
badan biasanya menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

c. Busana atau pakaian Kanistama Angga(dari pinggang ke bawah).


Pada Bawah Pinggang-Ujung (Bhuta) atau raksasa yang menempati alam bawah,
simbol keburukan yang tidak akan pernah lepas dari diri manusia. Umumnya
dikenakan Kamen atau kain yang membalut dari pinggang sampai kaki. Yang
perlu diperhatikan adalah ikatan selendang yang mengikat pinggang, haruslah
kuat karena simbol bhuta tidak akan bisa memasuki tubuh manusia keatas apalagi
ke dewa. Bagian kanistama angga (pinggang ke bawah) menggunakan kamben,
sesaput untuk pinggang dan sandal sebagai alas kaki.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa mesti menggunakan kamben, sesaput


yang kesemuanya berbentuk kain lembaran, ternyata hal ini bersumberkan pada
ajaran agama (kitab bhagavata purana), bahwa pakaian yang baik untuk digunakan
sebagai persembahyangan adalah pakaian yang jaritannya sedikit (kain lembaran
yang tidak dijarit, lihat kamben, saputan, udeng atau destar yang belum jadi),
sehingga pakaian seperti celana jean dan yang sejenisnya yang banyak jaritan tidak
baik digunakan sebagai pakaian persembahyangan. hal ini karena berkaitan dengan
himsa karma.
Dari ketiga unsur di atas dapat dibedakan antara pria dan wanita. Di samping
itu penggunanan warna disesuaikan dengan jenis upacara Yadnya yang bersangkutan.
Misalnya, pakaian serba putih digunakan saat upacara dewa Yadnya, pakaian serba
gelap (hitam) digunakan saat pitra Yadnya (upacara kematian, ngaben). Pakaian
kuning diperuntukan seorang Brahmacarin (bujang, belum menikah) dan pakaian
warna merah diperuntukan bagi seorang Grahastin (sudah menikah).
Berdasarkan uraian tersebut bahwa pakaian atau berbusana sembahyang
berbeda dengan berbusana dalam keseharian, busana persembahyangan seharusnya
dengan sedikit jaritan. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan Prabu adalah tempat
bersemayamnya Dewa, akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati
oleh Hyang Widhi. Awalnya agar adanya keseragaman PHDI (Parisadha Hindu
Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna Putih agar
menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran serta ujung udeng,
atau muncuk udeng harus lurus keatas.

Makna Filosofis Pakaian Adat ke Pura bagi Umat Hindu

Adapun Makna Filosofis yang terkandung pada busana atau pakaian adat ke
Pura bagi umat Hindu antara lain :

a. Makna busana adat ke pura untuk putra

Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain


atau kamen, dengan lipatan untuk putra kamen atau wastra melingkar dari kiri
kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira
sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus
melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah
Dharma.

Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan
sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai
symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol
kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan
kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh
ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan
(kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk
menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar.
Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua
yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan
simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama.
Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi
apapun siap memegang teguh Dharma.

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat


bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur
tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya
tida ada patokan yang pasti.

Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga
yakni:

a. Udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup


di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga
sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai
symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki
dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah
yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol
Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan
Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak
tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta.
b. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan
penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
c. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada
penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai
symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi
serta disimbolkan sudah mampu menundukkan indria-indria.

b. Busana adat ke Pura untuk putri.

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen
tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri
sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma.
Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti
sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri
memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.
Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup
dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak
tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran
Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya). Dalam Seminar sehari oleh
Gunarta (2013) mengambil tema “Filosofi Pakaian Adat Bali” dijelaskan pepusungan
ada tiga yaitu :

a. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian
lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang atau
belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan
dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai
mahkota serta sebagai stana Tri Murti.
b. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.
c. Pusung podgala atau pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning,
sandat sebagai lambing Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga
bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai
lambing dewa Tri Murti.

Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berfikir lurus,
memuja Yang Diatas. Tapi simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan
berbagai variasi (mereng ke-kiri atau ke-kanan). Dan untuk perempuan mengikat
rambut memiliki makna filosofis. Untuk wanita yang sudah memiliki suami
diwajibkan menggunakan “sanggul” untuk menandakan bahwa dirinya sudah
mempunyai ikatan pernikahan, sedangkan untuk wanita yang belum menikah
diwajibkan menggunakan ikatan “megonjer” hal ini mengandung makna filosofis
yang menandakan bahwa wanita tersebut belum menikah. Namun kenyataannya
sekarang banyak wanita sekarang ke Pura tidak mengikat rambutnya (terurai). Dan
yang kedua, dada sampai pinggang yang melambangkan manusia. Melambangkan
manusia itu sendiri, maksudnya pakaian yang layak pakai, nyaman. Yang bisa
membuat sang penggunanya kushuk saat bersembahyang. Dan yang terakhir yaitu
bawah, dari pinggang sampai ujung yang melambangkan bhuta. Bhuta atau raksasa
yang menempati alam bawah, adalah simbol keburukan yang tidak akan pernah lepas
dari diri kita manusia. Umumnya dikenakan “Kamen“ atau kain yang membalut dari
pinggang sampai kaki. Yang perlu diperhatikan adalah ikatan selendang yang
mengikat pinggang, haruslah kuat karena simbol bhuta tidak akan bisa memasuki
tubuh manusia keatas apalagi ke dewa. Dan untuk kaum laki laki dalam
menggunakan kamben, kancut orang Bali berbentuk lelancingan, atau anyocat
pertiwi. Kancut itu lancip, tetapi tidak menyentuh lantai. Sedangkan kampuh tampak
lebih kurang 15 cm di atas ujung kancut. Kancut itu dapat dikatakan sebagai lambang
kejantanan laki-laki. Adapun busana adat ke Pura yang baik dan benar di kalangan
remaja dapat dilihat pada gambar 1.1 (terlampir).

2.2 Perubahan gaya busana adat ke Pura bagi kalangan remaja Hindu di era
globalisasi

Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat
penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia (Artini 2013:3). Saat ini banyak
generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambar 1.2 (terlampir).
Entah apa yang mereka pikirkan. Dari hal tersebut membuat suatu gagasan
menguhubungkan generasi intelek untuk menciptakan budaya ajeg Bali melalui cara
berpakaian adat ke pura. Mengingat berpakaian adat ke pura merupakan ciri khas
dari Provinsi Bali umumnya, memang terlihat anggun jika seseorang ke pura dengan
pakaian sedemikian rupa dan menggunakan aksesoris yang berlebihan. Namun ada
baiknya jika seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan
Yang Maha Esa tidak menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan
tattwa yang ada dalam tatanan agama dan budaya.
Dalam salah satu Dharma Wacana Ida Pedanda Gede Made Gunung (2013)
mengatakan “bahwa pakaian itu merupakan produk budaya manusia, sehingga
Agama Hindu tidak menyeragamkan pakaian penganutnya karena kitab suci agama
Hindu adalah wahyu Tuhan bukan produk manusia yang mengayomi, mengangkat,
dan memaknai budaya lokal, walaupun demikian Agama Hindu mengajarkan susila”.
Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman
baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan
mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak
ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.

Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi,


namun sebagai penganut agama Hindu yang benar harus bisa menempatkan dimana
seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila
semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya
suasana di pura.

Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana)


khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model
sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang
ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan
cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut
pendek atau pun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis
ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita
pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan
prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan
penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup
banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.
Adapun contoh-contoh perubahan busana adat kepura diera globalisasi sekarang
seperti :

a. Pemakaian baju kebaya atau brokat bagi busana wanita menjadi lebih
transfaran, modis dan memakai lengan pendek.
b. Pemakaian kamben atau kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau
diatas lulut.
c. Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal
seperti bross, hiasan kepala.
d. Pemakaian udeng atau destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak
memiliki ikatan ujung udeng menghadap keatas.
e. Pemakaian kamben atau kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki
kancut (ujungnya lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai
kamben model sarung yang bukan termasuk busana kepura.
f. Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang
salah biasanya sejengkal dari mata kaki.
g. Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita
yang sudah berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan
rambut terurai.

2.3 Penyebab dan dampak perubahan gaya busana adat ke Pura di era
globalisasi

Kurangnya pemahaman para remaja terhadap filosofi dari berbusana adat


yang baik dan dipengaruhi oleh globalisasi merupakan penyebab yang paling
berpengaruh terhadap menyimpangnya etika dalam berbusana adat ke Pura di
kalangan remaja.

Mantra (1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak


dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi
telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam
kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur.
Dalam konteks fenomena berpenampilan dalam berbusana adat kepura bagi umat
Hindu.

Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat
ke pura saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan
umat ke pura kian menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke
pura, namun tetap diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang
(Bali Post) Minggu (8/12/2014).

Menurut Juniartawan mahasiswa Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali


mengatakan bahwa budaya berbusana merupakan sebuah seni yang dipengaruhi oleh
perkembangan zaman. Jadi, sudah tidak heran lagi jika mode berbusana adat juga
semakin berkembang kearah modernitas. Tapi semkain berkembangnya zaman
seperti sekarang menyebabkan menyimpangnya etika berbusana adat kepura
khususnya di kalangan remaja wanita karena wanita bali kurang memahami desa,
kala, patra masih kurangnya pemahaman mengenai kapan ia memakai busana adat
yang sopan untuk dipakai ke Pura dan busana adat yang dipakai fashion.

Menurut Pradnya Pitala mahasiswa semester akhir di Institut Seni Indonesia


ini mengatakan bahwa perkembangan mode berbusana adat kepura khususnya
dikalangan remaja wanita memang sudah menyimpang dan kurang memahami
makna berbusana adat bali yang sesungguhnya, ia hanya melihat dari segi
estetikanya tanpa memperhatikan unsur etikanya sehingga tidak terwujud
keseimbangan antara perkembangan zaman yang modern dengan etika berbusana
adat sesungguhnya. Perlu adanya penyuluhan kecil khususnya untuk kalangan remaja
agar mereka mengetahui makna dan filosofi berbusana adat Bali ke Pura yang
sesungguhnya.

Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai
dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini
tentunya dapat berpengaruh negatif. Dewa Putu Metayana, salah satu tim juri
mengatakan, generasi muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode
berpakaian namun hanya dilaksanakan dalam upacara resepsi atau menghadiri
upacara perkawinan. Untuk berpakaian ke pura memang tidak ada aturan baku.
Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian
embus pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi.
Sedangkan untuk pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifikasi
hendaknya hanya dipakai saat pesta.

Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura bagi umat Hindu adalah :

1. Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang
dipakai sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.

2. Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebretis menjadi banyak
yang ditiru oleh umat agama Hindu untuk busana kepura biar lebih modern.
3. Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana local yang
menjadi trend terbaru dalam berbusana.

4. Berkembangnya pariwisata bali terutama orang-orang suka dengan budaya


dan busana bali sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para tusis-turis
yang dating kebali.

5. Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana modern dari luar yang dapat


mempengaruhi busana adat kepura sehingga dilihat menjadi lebih modis.

6. Banyaknya umat Hindu (para ABG) yang mengikuti perkembangan


fashion/trend terbaru dari berbagai gaya busana. Seperti kebaya, kamen dan pakaian
lainnya.

Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana
diera globalisasi antara lain :

1. Kurangnya kesadaran terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari


symbol-simbol busana adat kepura umat Hindu.

2. Adanya penyimpangan etika dalam berbusana, seperti banyak busana


contohnya : kebaya yang tarnsfaran dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas
lutut).

3. Adanya pikiran-pikiran kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang


sopan terutama bagi laki-laki yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang
tranfaran dan terlalu vulgar.

4. Mengganggu kenyamanan saat sembahyang, dari bahan yang terlalu


bervariasi dan gaya yang sedikit ketat.

5. Adanya persaingan busana dikalangan ibu-ibu yang lagi sembahyang akibat


berkembangnya terus fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat
menimbulkan kesenjangan dan merasa jengah dalam berbusana
2.4 Upaya untuk mengurangi pengaruh globalisasi terhadap cara berbusana
adat ke Pura yang semakin menyimpang

Seiring perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi, cara berbusana adat


kepura semakin menyimpang dari kaedah dan fungsi utamanya. karena itu perlu
adanya upaya dalam mengatasi kejadian ini. Adapun beberapa upaya yang dapat
kami sampaikan ialah sebagai berikut :
1) Menggencarkan sosialisasi khususnya kepada kaum remaja dengan
cara melakukan kegiatan sosialisasi ke sekolah-sekolah hingga ke
perkumpulan sekaa teruna teruni di setiap banjar, agar mereka
memahami makna dari pakaian adat tersebut, bukan hanya dijadikan
sebagai gaya atau mode berbusana agar tampak menarik dan trendy.
2) Menegaskan larangan, terutama kepada desa adat agar menghimbau
masyarakatnya ketika ingin bersembahyang menggunakan pakaian
adat yang pantas dan tidak menyimpang. Karena hal ini dapat
membiasakan mereka untuk lebih menggunakan pakaian adat yang
sesuai dengan norma atau adat yang berlaku ketika melakukan
persembahyangan.
3) Kepada para tenaga pendidik agar lebih mengingatkan kembali dan
mengajarkan kepada siswa-siswinya agar tidak terlalu terpengaruh
akan efek globalisasi yang buruk, contohnya saja seperti pakaian adat
yang telah menyimpang. Dan memperkuat mental mereka agar
mengetahui mana yang pantas digunakan ketika melakukan
persembahyangan.
4) Kepada para masyarakat khususnya remaja agar bisa membedakan
pakaian adat mana yang pantas digunakan ketika persembahyangan
dan pada saat menghadiri pesta atau undangan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan

Etika berbusana adat ke Pura umat Hindu khususnya di kalangan remaja


ketika sembahyang kini dipermasalahkan karena sudah menyimpang dari etika
berbusana adat ke Pura yang benar. Mereka dinilai sudah tergerus dan sudah
dipengaruhi oleh zaman globalisasi. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi,
orang Bali yang beragama Hindu tidak bisa menghindar dari pengaruh
konsumerisme, idiologi pasar dan pengaruh lainnya. Umat Hindu ketika sembahyang
ke Pura mengalami pergeseran tujuan, yakni dari yang spriritual menuju material.
Tampaknya harus diakui, seiring dengan tingkat pertumbuhan dan kemajuan
ekonomi, fenomena konsumerisme tidak dapat dipungkiri telah merasuk pada gaya
hidup umat Hindu. Bentuk penampilan saat mengikuti upacara yadnya seperti
nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis
selebritis dengan balutan busana yang serba di modifikasi. Banyaknya perubahan
busana yang sedikit menyimpang seperti : busana pakaian wanita yang terlalu
transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan.
Pemakaian sanggul yang kadang tertukar dengan perempuan yang lajang daan yang
sudah berkeluarga. Bagi busana laki-laki dalam pemakaian busana udeng/destar
kebanyakan tidak memakai symbol ikatan ujung udenga yang menghadap keatas,
pemakaian kancut yang salah.

Pergeseran busana adat kepura yang sesuai kaidah mempunyai sebab dan
dampak antara lain: sebab dari perubahan busana adat ke pura seperti banyaknya
pengaruh gaya busana dari luar yang diadopsi serta dikombinasikan dengan budaya
lokal busana Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana yang berkembang. Serta
perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi muda umat Hindu kedepan
seperti kurangnya pemahanan makan dan filosofi yang terkandung dalam setiap
busana adat kepura. Serta menghilangnya gaya busana asli umat Hindu di masa
mendatang akibat semakin maraknya trend yang dipengaruhi diera globalisasi.
4.2 Saran
Melalui karya ilmiah ini, penulis mengharapkan agar para pembacanya kelak
akan mampu menyebarluaskan informasi yang didapat pada karya ilmiah ini. Dengan
membaca karya ilmiah ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat
khususnya para remaja yang telah terbiasa menyimpang dalam memakai busana adat
ke Pura supaya bisa lebih memahami bagaimana filosofi berbusana adat ke Pura
yang seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA

Gunarta, I Wayan. (2013) Makalah Seminar tema “ Filosofi Pakaian Adat Bali” HUT
Kota Bangli. KEMENAG.
Artini, Ni Made Rai. 2013. Menyoroti Etika Umat Hindu “Ke Pura Berpenampilan
Selebritis” Skripsi :Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Dilistone, F.W. 2002, The Power of Syimbol. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Mantra, Ida Bagus , 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma
Sastra.
Synnott, 2003. Tubuh Sosial : Simbolisme diri dan MasyarakatI. Yogyakarta:
Jalasutra.
Tim Redaksi , (Bali Post) Minggu (8/12/2014). Denpasar. BALI POST
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu : Ke Pura Berpenampilan
Selebritis.Denpasar: Pustaka Bali Post.
Widana, Supartha. 2011. Berubah Menjadi Panggung Cat Walk.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bali) diakses pada 30 Juni 2015
(http://acaryawasu.blogspot.com/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna) diakses
pada 30 juni 2015
LAMPIRAN

Gambar 1.1
Gambar 1.2

Anda mungkin juga menyukai