PENDAHULUAN
Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan
makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru,
perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa
dalam berbusana adat Bali. Sehingga masyarakat menjadi lebih paham dang
mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat kepura.
Jika kita telusuri etika-etika dalam berbusana ke Pura. Orang berbusana adat
yang baik untuk ke pura yakni berbusana yang enak dipandang. Tidak kebablasan
seperti busana yang pendek-pendek, kebaya yang tipis dan transparan,
penggunaan kamen yang di atas lutut. Walaupun semua itu adalah trend atau
mode kita harus juga mengetahui apa makna dari pakaian adat ke Pura.
Jadi berbusana ke pura itu di harapkan busana yang bisa menumbuhkan rasa
nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian,
dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna
tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran. Bukan
berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi dalam
pemakaian pakaian adat ke Pura, namun kita sebagai penganutnya harus bisa
menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan,
kalau tidak begitu bila semua berbusana modifikasi sampai pemangku
bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura. Tentu itu akan mengakibatkan
sebuah penyimpangan dalam berpakaian kepura.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan karya ilmiah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi berbusana adat ke Pura bagi umat Hindu di Bali.
2. Untuk mengetahui perubahan gaya berbusana adat ke Pura bagi kalangan
remaja wanita Hindu di era globalisasi.
3. Untuk mengetahui dampak dan penyebab dari perubahan gaya berbusana adat
ke Pura bagi kalangan remaja wanita Hindu di era globalisasi.
4. Untuk mengetahui upaya untuk mengurangi pengaruh globalisasi terhadap
cara berbusana adat ke Pura yang semakin menyimpang.
1.6 Metodelogi
1.6.2.3 Survei
1.6.2.4 Dokumentasi
LANDASAN TEORI
2.1 Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang
maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu
proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di
dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari
sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan
baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung
oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak
berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang
lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Jan Aart Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan
orang dengan globalisasi:
1. Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama
lain.
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat
tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:
1) Busana adat Nista : Busana yang di gunakan sehari hari dan ngayah ( busana
yang belum lengkap) busana ini tidakbisa di pakai persembahyangan.
Namun yang memprihatinkan saat ini tren busana yang banyak di gunakan sudah
tidak sesuai dengn makna dari pakainan adat Bali, sebagian besar para gadis
munggunakan pakaian adat yang kurang sesuai menurut saya, tidak hanya para gadis
saja yang mengikuti tren busana tersebut, para ibu - ibu juga mengikuti tren ini.
Kamben yang di gunakan mulai di singsingkan naik sehingga betisnya terlihat.
mereka seolah - olah ingin menunjukkan lekuk tubuh dan keindahan betisnya, di
bandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke
Pura.
Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke
Pura tersebut.
Pengertian busana atau pakaian dalam arti luas adalah suatu benda
kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Pakaian
adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan,
tingkat, status, tetapi bukan identifikasi dengan suatu bagian dari pengada hakiki
(Dilistone : 2002:80).
Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya upacara
keagamaan, yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:
Busana pada bagian kepala (utama angga) bagi masyarakat umum adalah udeng
(destar), udeng (destar) sebagai simbol Om kara (Tuhan), ikatan udeng mengelilingi
kepala sehingga berbentuk lingkaran dan pada bagian ujung udeng diikatkan dengan
ujung menghadap ke atas yang bermakna memusatkan pikiran kepada Hyang Kuasa
(memuja Tuhan ). Aturan memakai udeng berdasarkan tradisi jika ke pura berwarna
putih, simbol kesucian yang berarti memuja Tuhan) sedangkan jika hendak melayat
menggunakan udeng hitam yang melambang seseorang sedang berkabung.
Adapun Makna Filosofis yang terkandung pada busana atau pakaian adat ke
Pura bagi umat Hindu antara lain :
Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan
sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai
symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol
kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan
kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh
ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan
(kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk
menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar.
Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua
yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan
simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama.
Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi
apapun siap memegang teguh Dharma.
Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga
yakni:
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen
tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri
sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma.
Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti
sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri
memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.
Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup
dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak
tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran
Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya). Dalam Seminar sehari oleh
Gunarta (2013) mengambil tema “Filosofi Pakaian Adat Bali” dijelaskan pepusungan
ada tiga yaitu :
a. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian
lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang atau
belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan
dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai
mahkota serta sebagai stana Tri Murti.
b. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.
c. Pusung podgala atau pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning,
sandat sebagai lambing Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga
bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai
lambing dewa Tri Murti.
Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berfikir lurus,
memuja Yang Diatas. Tapi simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan
berbagai variasi (mereng ke-kiri atau ke-kanan). Dan untuk perempuan mengikat
rambut memiliki makna filosofis. Untuk wanita yang sudah memiliki suami
diwajibkan menggunakan “sanggul” untuk menandakan bahwa dirinya sudah
mempunyai ikatan pernikahan, sedangkan untuk wanita yang belum menikah
diwajibkan menggunakan ikatan “megonjer” hal ini mengandung makna filosofis
yang menandakan bahwa wanita tersebut belum menikah. Namun kenyataannya
sekarang banyak wanita sekarang ke Pura tidak mengikat rambutnya (terurai). Dan
yang kedua, dada sampai pinggang yang melambangkan manusia. Melambangkan
manusia itu sendiri, maksudnya pakaian yang layak pakai, nyaman. Yang bisa
membuat sang penggunanya kushuk saat bersembahyang. Dan yang terakhir yaitu
bawah, dari pinggang sampai ujung yang melambangkan bhuta. Bhuta atau raksasa
yang menempati alam bawah, adalah simbol keburukan yang tidak akan pernah lepas
dari diri kita manusia. Umumnya dikenakan “Kamen“ atau kain yang membalut dari
pinggang sampai kaki. Yang perlu diperhatikan adalah ikatan selendang yang
mengikat pinggang, haruslah kuat karena simbol bhuta tidak akan bisa memasuki
tubuh manusia keatas apalagi ke dewa. Dan untuk kaum laki laki dalam
menggunakan kamben, kancut orang Bali berbentuk lelancingan, atau anyocat
pertiwi. Kancut itu lancip, tetapi tidak menyentuh lantai. Sedangkan kampuh tampak
lebih kurang 15 cm di atas ujung kancut. Kancut itu dapat dikatakan sebagai lambang
kejantanan laki-laki. Adapun busana adat ke Pura yang baik dan benar di kalangan
remaja dapat dilihat pada gambar 1.1 (terlampir).
2.2 Perubahan gaya busana adat ke Pura bagi kalangan remaja Hindu di era
globalisasi
Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat
penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia (Artini 2013:3). Saat ini banyak
generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambar 1.2 (terlampir).
Entah apa yang mereka pikirkan. Dari hal tersebut membuat suatu gagasan
menguhubungkan generasi intelek untuk menciptakan budaya ajeg Bali melalui cara
berpakaian adat ke pura. Mengingat berpakaian adat ke pura merupakan ciri khas
dari Provinsi Bali umumnya, memang terlihat anggun jika seseorang ke pura dengan
pakaian sedemikian rupa dan menggunakan aksesoris yang berlebihan. Namun ada
baiknya jika seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan
Yang Maha Esa tidak menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan
tattwa yang ada dalam tatanan agama dan budaya.
Dalam salah satu Dharma Wacana Ida Pedanda Gede Made Gunung (2013)
mengatakan “bahwa pakaian itu merupakan produk budaya manusia, sehingga
Agama Hindu tidak menyeragamkan pakaian penganutnya karena kitab suci agama
Hindu adalah wahyu Tuhan bukan produk manusia yang mengayomi, mengangkat,
dan memaknai budaya lokal, walaupun demikian Agama Hindu mengajarkan susila”.
Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman
baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan
mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak
ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.
a. Pemakaian baju kebaya atau brokat bagi busana wanita menjadi lebih
transfaran, modis dan memakai lengan pendek.
b. Pemakaian kamben atau kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau
diatas lulut.
c. Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal
seperti bross, hiasan kepala.
d. Pemakaian udeng atau destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak
memiliki ikatan ujung udeng menghadap keatas.
e. Pemakaian kamben atau kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki
kancut (ujungnya lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai
kamben model sarung yang bukan termasuk busana kepura.
f. Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang
salah biasanya sejengkal dari mata kaki.
g. Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita
yang sudah berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan
rambut terurai.
2.3 Penyebab dan dampak perubahan gaya busana adat ke Pura di era
globalisasi
Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat
ke pura saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan
umat ke pura kian menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke
pura, namun tetap diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang
(Bali Post) Minggu (8/12/2014).
Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai
dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini
tentunya dapat berpengaruh negatif. Dewa Putu Metayana, salah satu tim juri
mengatakan, generasi muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode
berpakaian namun hanya dilaksanakan dalam upacara resepsi atau menghadiri
upacara perkawinan. Untuk berpakaian ke pura memang tidak ada aturan baku.
Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian
embus pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi.
Sedangkan untuk pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifikasi
hendaknya hanya dipakai saat pesta.
Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura bagi umat Hindu adalah :
1. Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang
dipakai sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.
2. Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebretis menjadi banyak
yang ditiru oleh umat agama Hindu untuk busana kepura biar lebih modern.
3. Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana local yang
menjadi trend terbaru dalam berbusana.
Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana
diera globalisasi antara lain :
4.1 Simpulan
Pergeseran busana adat kepura yang sesuai kaidah mempunyai sebab dan
dampak antara lain: sebab dari perubahan busana adat ke pura seperti banyaknya
pengaruh gaya busana dari luar yang diadopsi serta dikombinasikan dengan budaya
lokal busana Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana yang berkembang. Serta
perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi muda umat Hindu kedepan
seperti kurangnya pemahanan makan dan filosofi yang terkandung dalam setiap
busana adat kepura. Serta menghilangnya gaya busana asli umat Hindu di masa
mendatang akibat semakin maraknya trend yang dipengaruhi diera globalisasi.
4.2 Saran
Melalui karya ilmiah ini, penulis mengharapkan agar para pembacanya kelak
akan mampu menyebarluaskan informasi yang didapat pada karya ilmiah ini. Dengan
membaca karya ilmiah ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat
khususnya para remaja yang telah terbiasa menyimpang dalam memakai busana adat
ke Pura supaya bisa lebih memahami bagaimana filosofi berbusana adat ke Pura
yang seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarta, I Wayan. (2013) Makalah Seminar tema “ Filosofi Pakaian Adat Bali” HUT
Kota Bangli. KEMENAG.
Artini, Ni Made Rai. 2013. Menyoroti Etika Umat Hindu “Ke Pura Berpenampilan
Selebritis” Skripsi :Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Dilistone, F.W. 2002, The Power of Syimbol. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Mantra, Ida Bagus , 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma
Sastra.
Synnott, 2003. Tubuh Sosial : Simbolisme diri dan MasyarakatI. Yogyakarta:
Jalasutra.
Tim Redaksi , (Bali Post) Minggu (8/12/2014). Denpasar. BALI POST
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu : Ke Pura Berpenampilan
Selebritis.Denpasar: Pustaka Bali Post.
Widana, Supartha. 2011. Berubah Menjadi Panggung Cat Walk.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bali) diakses pada 30 Juni 2015
(http://acaryawasu.blogspot.com/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna) diakses
pada 30 juni 2015
LAMPIRAN
Gambar 1.1
Gambar 1.2