Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Om swastyastu,

Pertama- tama patutlah kita menghaturkan angayubhagia ke hadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, karena atas waranugrahaNya, penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas Antropologi Budaya. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun berkat bantuan dosen , doa orang tua, serta dorongan
dari teman-teman, sehingga kendala yang penulis hadapi bisa teratasi. Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang pengaruh globalisasi terhadap
perubahan cara berpakaina adat sembahyang umat Hindu, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi dan berita.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran dan pengetahuan kepada pembaca, khususnya mahasiswa dan
akademisi di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena pengalaman yang
kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap kepada dosen pembimbing
dan para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini, baik dari bentuk maupun isinya, sehingga kedepannya dapat lebih
baik.

Om santi santi santi om


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi zaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari
arus globalisasi. Termasuk gaya hidup yang suka kebarat-baratan, mulai dari sikap, gaya bicara,
maupun dalam berbusana. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah soal penampilan
(gaya pakaian). Gaya pakaian menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi kepribadian
seseorang di era globalisasi saat ini.

Globalisasi memang membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam berbusana adat ke
Pura oleh generasi muda Hindu. Banyak generasi muda yang kurang memahami dan juga ada
yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari meraka
terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang sering
dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang kurang sesuai.

Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan
yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan transparan
dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk
melakukan persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu
tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini. Tapi ada yang
berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi orang yang mempunyai
pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang
melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan. Oleh karena itu dalam
makalah ini, kami akan membahas tentang perkembangan gaya busana remaja Hindu pada
Khususnya dan bagi umat Hindu pada umumnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi?

2. Apakah dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura remaja Hindu
diera globalisasi?

3. Bagaimana etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar dan
tepat?
1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi;

2. Untuk mengetahui dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura
remaja Hindu diera globalisasi;

3. Untuk mengetahui etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar
dan tepat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Gaya Busana Remaja Hindu di Era Globalisasi

Secara etimologis globalisasi berasal dari kata globe (Inggris) yang berarti dunia. Dari
kata itu dikenal istilah globalisasi yang berarti proses mendunia. Globalisasi secara harfiah
adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan diantara masyarakat dan
elemen-elemen yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang
komunikasi dan transportasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional

Mantra (1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan,
tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan
besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat
Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru
dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini harus dicarikan
solusi.

Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat
penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Pakaian adalah menyimbolkan manusia,
sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi
dengan suatu bagian dari pengada hakiki (Dilistone : 2002:80). Pakaian atau busana dikatakan
sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di
dunia (Artini 2013:3).

Synnott (2003 : 11-14), juga mengemukakan bahwa, “tubuh kita dengan bagian-
bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan
ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial”. Pakaian adalah salah satu ciri khas
seseorang dalam berpenampilan. Baik itu dalam bekerja, jalan-jalan, belanja maupun dalam
bersembahyang.

Saat ini banyak generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambaran di atas.
Agama Hindu mengajarkan susila. Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa
menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa
kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak
ngejreeeng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.

Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam menggunakan busana adat ke
pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan
jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat ke pura terutama untuk
persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat
Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan
aturan.

Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana
adat tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada
masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat. Sehingga masyarakat menjadi
lebih paham dan mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat ke pura.

Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari
kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya
dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih
banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik
dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya
menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang
menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk
kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan
penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-
anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.

Adapun contoh-contoh perubahan busana adat ke pura diera globalisasi sekarang seperti :

a) Pemakaian baju kebaya/brokat bagi busana wanita menjadi lebih transfaran, modis
dan memakai lengan pendek

b) Pemakaian kamben/kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau diatas lulut.

c) Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal seperti
bross, hiasan kepala.

d) Pemakaian udeng/destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak memiliki ikatan
ujung udeng menghadap keatas

e) Pemakaian kamben/kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki kancut (ujungnya
lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai kamben model sarung yang bukan
termasuk busana ke pura.

f) Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang salah biasanya
sejengkal dari mata kaki.

g) Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita yang sudah
berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan rambut terurai.

2.2 Dampak dan Penyebab Perubahan Gaya Pakaian Adat ke pura Umat Hindu/ Remaja Hindu
di era Globalisasi
Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat ke pura
saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan umat ke pura kian
menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke pura, namun tetap
diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang (Bali Post) Minggu
(8/12/2014).

Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura bagi umat Hindu adalah :

a) Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang dipakai
sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.

b) Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebritis menjadi banyak yang ditiru
oleh umat agama Hindu untuk busana ke pura biar lebih modern.

c) Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana lokal yang menjadi
trend terbaru dalam berbusana.

d) Berkembangnya pariwisata bali terutama orang-orang suka dengan budaya dan busana
bali sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para tusis-turis yang dating ke Bali.

e) Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana modern dari luar yang dapat


mempengaruhi busana adat ke pura sehingga dilihat menjadi lebih modis.

f) Banyaknya umat Hindu (para ABG) yang mengikuti perkembangan fashion/trend


terbaru dari berbagai gaya busana. Seperti kebaya, kamen dan pakaian lainnya.

Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana diera
globalisasi antara lain :

a) Kurangnya kesadaran terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari symbol-
simbol busana adat kepura umat Hindu.

b) Adanya penyimpangan etika dalam berbusana, seperti banyak busana contohnya :


kebaya yang tarnsfaran dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas lutut).

c) Adanya pikiran-pikiran kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang sopan
terutama bagi laki-laki yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang tranfaran dan terlalu
vulgar.

d) Mengganggu kenyamanan saat sembahyang, dari bahan yang terlalu bervariasi dan
gaya yang sedikit ketat.

e) Adanya persaingan busana dikalangan ibu-ibu yang sedang sembahyang akibat


berkembangnya terus fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat menimbulkan
kesenjangan dan merasa jengah dalam berbusana.
2.3 Etika Berpakaian Sembahyang atau Busana Adat ke Pura yang Benar dan Tepat.

Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai dengan pakem.
Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini tentunya dapat berpengaruh
negatif. Generasi muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode berpakaian namun
hanya dilaksanakan dalam upacara resepsi atau menghadiri upacara perkawinan. Untuk
berpakaian ke pura memang tidak ada aturan baku.

Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian tembus
pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi. Sedangkan untuk
pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifokasi hendaknya hanya dipakai saat
pesta.

Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara persembahyangan
yang masuk kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya dimaksudkan untuk digunakan
pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa
atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar
yaitu Asuci laksana,dimana umat ketika datang pedek tangkil ke Pura sepatutnya terlebih
dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam
balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan.

Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan,
yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:

1. Busana/pakaian pada Uttama Angga(kepala).

2. Busana/pakaian Madyama Angga(badan),

3. Busana/pakaian Kanistama Angga(dari pinggang ke bawah)

2.3.1 Etika Busana Adat ke Pura untuk Putra

Dalam menggunakan busana adat diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan
untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma.
Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab
Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak
adalah Dharma.

Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya
menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan
terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak
diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat
ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan
saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk
menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan
melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu
Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di
sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai
baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh
Dharma.

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan.
Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke
pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah
diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.

Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni:

a. Udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di


depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang
pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang
Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan
sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri
symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa
wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih
brahmacara dan amsih meminta.

b. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan
penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan
pemusatan kecerdasan.

c. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup
kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan
kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi serta disimbolkan sudah mampu
menundukkan indria-indria.

2.4.1 Etika Busana Adat ke Pura untuk Putri.

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen
melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga
agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak
tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek.
Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim,
untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan
simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar,
tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma,
dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya).

Dalam Seminar sehari oleh Gunarta (2013) mengambil tema “ Filosofi Pakaian Adat Bali”
dijelaskan pepusungan ada tiga yaitu :

1. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi
digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai
lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga
sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti.

2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.

3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai
lambang Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu
cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka
kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan
mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu.

Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat
penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Pakaian adalah menyimbolkan manusia,
sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi
dengan suatu bagian dari pengada hakiki.

Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi bentuk penampilan saat berbusana adat
kepura remaja Hindu hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis.
Banyaknya perubahan busana yang sedikit menyimpang seperti : busana pakaian wanita yang
terlalu transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan.

Pemakaian sanggul yang kadang tertukar dengan perempuan yang lajang daan yang sudah
berkeluarga. Bagi busana laki-laki dalam pemakaian busana udeng/destar kebanyakan tidak
memakai symbol ikatan ujung udenga yang menghadap keatas, pemakaian kancut yang salah.

Pergeseran busana adat kepura mempunyai sebab dan dampak antara lain: sebab dari
perubahan busana adat kepura seperti banyaknya pengaruh busana dari luar yang diadopsi
serta dikombinasikan dengan budaya lokal busna Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana
yang berkembang. Serta perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu
kedepan seperti kurangnya pemahanan tattwa/filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap
busana adat ke pura.

3.2 Saran

Dari makalah ini kami menhgarapkan agar para pembaca dan umat Hindu pada
umumnya agar seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan Yang
Maha Esa menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan tattwa yang ada dalam
tatanan agama dan budaya.

Berpenampilan tetap cantik/tampan, rapi dan bersih pada saat melakukan


persembahyangan tidak ada salahnya, namun tidak boleh berlebihan sehingga
persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus
menggunakan pakaian kebaya, dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan
keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari
pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk acara persembahyangan, dan rambut sewajarnya,
demikian juga aksesoris. Dan jangan lupa agar filosofis dalam berpakaian tidak dilupakan.
Karena itu adalah sebuah budaya yang patut untuk di pertahankan

Anda mungkin juga menyukai