Anda di halaman 1dari 10

IDENTIFIKASI TEORI CIRCUIT OF CULTURE PADA FENOMENA

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN BUSANA ADAT BALI PADA

PERSEMBAHYANGAN GENERASI MUDA HINDU DI BALI

A. Pendahuluan

Pakaian (Sandang) merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia saat ini. Setiap

aktivitas kehidupan manusia di tempat umum memerlukan pakaian, mulai dari aktivas sekolah,

pekerjaan, berwisata, aktivitas di rumah bahkan aktivitas keagamaan. Pada masing-asing aktivitas,

waktu, dan tempat terkadang memerlukan pakaian yang berbeda-beda. Adanya pakaian ini juga

bergantung pada kebudayaan setempat. Masing-masing daerah yang memiliki budaya yang

berbeda juga biasanya memiliki pakaiannya tersendiri. Kata pakaian juga merujuk pada kata

busana. Kata busana secara harfiah diartikan pakaian yang lengkap (yang indah-indah) dan mulia,

busana yang tidak perlu mewah. Bila dilihat dari aspek, antara lain aspek estetika (keindahannya),

dan juga aspek estetika langsung maupun tidak langsung berfungsi untuk memperindah dan

menambah kesan mulia pada busana yang dikenakan oleh seseorang tentu didalamnya juga terkait

nilai-nilai filosofis dan simbolik (Agung, 2004: 1). Hal ini menujukkan bahwa busana tersebut

pakaian yang mengandung unsur estetika, filosofis, teologis, dan simboli.

Kebudayaan Bali memiliki busana yang khas sesuai dengan adat Bali yang juga digunakan

untuk umat Hindu etnis Bali saat aktivitas keagamaan khususnya sembahyang di pura. Setiap hasil

kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan nilai-nilai luhur

budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu yaitu kebenaran

(satyam), kesucian (siwam), keseimbangan (sundaram) (Artiningsih, 2020). Hal tersebut juga

berlaku pada busana adat Bali yang dipergunakan pada persembahyangan umat Hindu di pura.
Tiga aspek tersebut perlu diperhatikan oleh umat Hindu yang hendak melaksanakan

persembahyangan di pura yang tentunya akan membawa pengaruh positif dan dapat mencapai

tujuan dari persembahyangan itu. Pada aspek kebenaran (satyam) lebih menekankan kepada

moralitas atau etika dalam berbusana adat Bali. Pada aspek kesucian (siwam) lebih menekankan

pada aspek ketuhanan yang terdapat pada unsur-unsur busana adat Bali tersebut. Pada aspek

keseimbangan (sundaram) merupakan aspek yang berkaitan dengan keindahan, yang mana apabila

keindahan dapat dipergunakan dengan tepat maka dapat mencapai pada keseimbangan dan

kedamaian.

Berdasarkan pada aspek tersebut, maka penggunaan busana adat Bali yang tepat adalah

menggunakan pakaian yang rapi dan sopan sesuai etika dengan memperhatikan kesucian secara

jasmani dan rohani yang didasarkan pada keseimbangan dan keindahan. Penggunaan pakaian

untuk laki-laki harus menggunakan kain yang bersih, rapi, dan sopan yang tingginya sebatas mata

kaki, menggunakan baju/ kemeja/ yang sopan, dan menggunakan udeng/ ikat kepala yang seusai

dengan makna filosofinya sebagai unsur kekuatan Tuhan. Sedangkan bagi perempuan harus

menggunakan kain yang bersih, rapid an sopan yang tingginya sebatas mata kaki dan tidak ketat,

menggunakan baju/ kebaya yang sopan dengan model lengan panjang, tidak menunjukkan belahan

dada dan tidak ketat, serta rambut yang ditata rapi dan dikikat agar tidak terurai semabarangan.

Dewasa ini, pengaruh globalisasi membawa perubahan pada segala aspek kehidupan

masyarakat. Walaupun kebudayaan Bali masih terlihat terjaga dengan baik, namun dengan adanya

arus globalisasi juga mengubah praktek budaya di Bali, termasuk dalam penggunaan busana adat

Bali. Terlebih lagi semakin hari trend fashion juga semakin maju dan dinamis, yang menghasilkan

berbagai jenis busana baru yang juga mengubah busana adat Bali. Penggunaan busana adat Bali

yang dahulu sesuai dengan aturan yang berlaku, kini mulai terjadi penyimpangan akibat dari arus
globalisasi dan trend fashion. Penggunaan busana adat Bali pada persembahyangan lebih

menekankan kemewahan kapitalis dan gaya busana selebritis, bahkan mengarah kepada erotisme.

Hal ini seharusnya tidak terjadi pada busana adat Bali yang identik dengan busana yang suci dan

sakral.

Penyimpangan penggunaan busana adat Bali ini pada umumnya dilakukan oleh generasi

muda. Saat ini generasi muda menggunakan busana adat Bali pada persembahyangan dengan kain

yang kurang sopan dan tingginya hampir mencapai lutut, kain pada busana perempuan yang

belahannya sampai memperlihatkan anggota tubuh lain, kebaya modifikasi dengan kain dan

pernak-pernik bermacam-macam dan model lengan pendek bahkan model kerah yang lebar,

penggunaan udeng/ ikat kepala bagi laki-laki yang sembarangan, tidak rapi dan jauh dari nilai

filosofis serta perempuan yang rambutnya dibairkan terurai yang dapat mengurangi kesucian pura.

Adapun perbedaan penggunaan busana adat Bali pada persembahyangan pada zaman dahulu yang

sesuai aturan dan saat ini yang terjadi penyimpangan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1.1
Penggunaan Busana Adat Bali pada Persembahyangan yang benar
Sumber : Arsip KPB Tabanan, 2020
Gambar 1.2

Penggunaan Busana Adat Bali pada Persembahyangan yang meyimpang.


Kerah baju yang lebar, model lengan pendek dan rambut teruari (kiri). Kain
yang terlalu menyingkap ke atas (kanan)
Sumber : Instagram.com, diakses pada 31 Oktober 2021

B. Identifikasi Teori Circuit Of Culture Pada Fenomena Penyimpangan Penggunaan Busana

Adat Bali pada Persembahyangan Generasi Muda Hindu di Bali

Penyimpangan penggunaan busana adat Bali ini dapat dianalisis menggunakan Teori

Circuit of Culture dari Stuart Hall. Menurut Stuart Hall, proses kultural dibagi menjadi

Representation, Identity, Production, Consumption, dan Regulation. Model sirkuit ini

dipergunakan untuk mengkaji bagaimana sebuah artefak kultural direpresentasikan, identitas

sosial apa yang tersemat atasnya, bagaimana artefak itu diproduksi dan dikonsumsi, serta
mekanisme seperti apa yang digunakan untuk meregulasi distribusi dan penggunaannya (Cahyo,

2014).

Sumber data pada penelitian ini berdasarkan pada pengamatan langsung dilapangan.

Penulis melihat bahwa di Bali sering ditemukan fenomena penyimpangan terhadap penggunaan

busana adat Bali pada acara persembahyangan di pura, khususnya adalah para generasi muda di

Bali. Selain pengamatan langsung, data-data juga diperoleh dari media massa online atau berita

online dan video pada youtube sebagai data sekunder. Data-data disajikan dalam bentuk deskriftif

– kualitatif, kemudian dianalisis sesuai dengan Teori Cicuit of Cuture. Adapun hasil analisis dapat

diuraikan sebagai berikut.

1. Produksi

Pada fenomena penyimpangan penggunaan busana adat Bali pada persembahyangan

umat Hindu di Bali dipengaruhi oleh produksi. Saat ini produsen memproduksi busana-

busana yang sesuai dengan model trend fashion kekinian. Hampir setiap tahun terdapat

model baru busana adat yang dibuat oleh produsen terutama kebaya. Trend fashion yang

digunakan lebih pada kemewahan dan lebih cocok untuk busana ke pesta, misalnya adanya

penambahan aksesoris, motif, ragam hias, serta model yang memperlihatkan lekuk tubuh.

Setelah memproduksi busana adat bali denga berabagi modifikasi, produsen memasarkan

produknya dengan menyasar kepada generasi muda yang memiliki karakter suka terhadap

hal yang baru, mencoba hal baru, serta mengikuti sesuatu yang lagi marak di masyarakat.

Proses pemasaran jga menggunakan model remaja yang tampan dan cantik guna menarik

konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa unsur produksi berpengaruh terhadap penyimpangan

penggunaan busana adat Bali pada persembahyangan umat Hindu di Bali.


2. Konsumsi

Pada umumnya generasi muda di Bali sangat tertarik terhadap busana adat Bali

dengan model-model yang terbaru. Mereka rela membeli kebaya seharga jutaan rupiah demi

mendapatkan kebaya model terbaru. Begitu pula jenis kain dan udeng/ ikat kepala pada laki-

laki yang selalu berubah-ubah menyebabkan laki-laki paling sering membeli busana adat

Bali. Kegiatan konsumsi ini dilakukan di gerai-gerai butik, distro dan shopping mall. Bagi

masyarakat yang masuk kedalam kategori ekonomi yang mampu biasa membeli busana adat

Bali untuk persembahyangan mengikuti tren perkembangan terbaru.

3. Identitas

Penggunaan busana adat Bali merujuk pada identitas seseorang. Generasi muda yang

menggunakan busana adat bali yang sesuai dengan tren maka dianggap sebagai pemuda yang

keren dan modis. Tak jarang generasi muda tersebut menjadi merasa lebih percaya diri dalam

apabila mengikuti tren yang menyimpang daripada menggunakan busana adat Bali yang

sesuai dengan aturan yang berlaku. Identias kekinian juga ditemui apabila generasi muda

mampu menggunakan busana adat Bali sesuai tren bukan sesuai atyran yang berlaku. Selain

itu, seseorang yang mampu mengikuti tren yang terbaru dalam hal busana adat Bali, maka

dapat digolongkan sebagai orang yang memiliki ekonomi mampu.

4. Regulasi

Regulasi penggunaan busana adat Bali terdapat pada dua sumber hokum yakni

hokum adat dan hukum formal. Hukum adat di Bali disebut dengan Awig-awig dan peraturan

tambahannya disebut dengan Perarem. Awig-Awig yang terdapat pada desa adat

menyebutkan bahwa penggunaan busana adat Bali harus bersih, rapi dan sopan sesuai dengan

konsep (satyam), kesucian (siwam), keseimbangan (sundaram). Seharusnya dengan adanya


Awig-awig ini dapat mengatasi penyimpangan penggunaan busana adat Bali pada

persembahyangan, namun kenyataannya di lapangan banyak yang masih melanggar aturan

ini. Secara hukum formal, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Gubernur

Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali. Dengan adanya

aturan terbaru ini diharapkan mampu mengurangi penyimpangan penggunaan busana adat

Bali pada persembahyangan. Penulis juga menemukan upaya dari pemerintah provinsi Bali

untuk menyebarkan aturan ini melalui kanal youtube dan media online. Adapun busana adat

Bali yang dimaksud dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 dapat dilihat

pada gambar berikut.

Gambar 2.1
Penggunaan Busana Adat Bali seusai Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018
Sumber : Lampiran Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018
5. Representasi

Penyimpangan penggunaan busana adat Bali pada persembahyangan generasi muda

Hindu di Bali merupakan masalag yang serius yang perlu ditangani. Apabila penyimpangan

ini terus terjadi maka, hal ini menunjukkan representasi budaya bali yang mulai terdegradasi.

Selain itu, dengan adanya penyimpangan ini merepresentasikan bahwa masyarakat Bali

khususnya generasi muda belum sepenuhnya sada terhadap kebudayaan Bali. Generasi muda

sebagai agen yang terlibat dalam masalah ini perlu diberikan pembinaan melalui lembaga

yang ada seperti Majelis Desa Adat Bali dan Pemerintah melalui Dinas Kebudayaan. Apabila

terus menerus mengalami penyimpangan, maka citra bali yang kental dengan agama, adat,

dan budaya akan memudar

C. Simpulan

Proses kultural menurut teori Circuit of Culture dibagi menjadi Representation,

Identity, Production, Consumption, dan Regulation. Penyimpangan penggunaan busana adat

Bali pada persembahyangan generasi muda Hindu di Bali dapat diidentifikasi menggunakan

teori Circuit of Culture. Berdasarkan identifikasi tersebut, menunjukkan bawah

penyimpangan terjadikarena dipengaruhi oleh produsen busana adat Bali yang memproduksi

busana dengan berbagai modifikasi sesuai trend fashion, hal ini didukung pula oleh konsumen

yang khususnya generais muda yang suka terhadap hal-hal baru serta sebagai identitas dirinya

yang modis dan mengikuti tren kekinian. Walaupun secara regulasi melalui Awig-awig dan

Peraturan Gubernur Bali sudah diatur mengenai penggunaan busana adat Bali, namun hal
tersebut belum sepenuhnya mampu mengatasi atau mengurangi masalah tersebut. Hal tersebut

dapat merepresentasikan bahwa budaya Bali mulai terdegradasi serta lemahnya kesadaran

masyarakat Bali khususnya generasi muda Bali terhadap kebertahanan budayanya.


Daftar Pustaka

Agung, A.A Ayu Ketut. 2004. Busana Adat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Artiningsih, N. W. J. (2020). Estetika Hindu Pada Pementasan Topeng Sidakarya Dalam Upacara

Dewa Yadnya. Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu

Kuturan Singaraja, 3(2).

Cahyo, PSN. (2014). Cultural Studies : Perlintasan Paradigmatik dalam Ilmu Sosial.

Komunikatif: Jurnal Ilmiah Komuniaksi. 3(1).

Gay, Paul du, Stuart Hall, Linda Janes, Hugh M ackay, dan Keith Negus. 1997. Doing Cultural

Studies : The Story of the Sony Walkman. London : SAGE Publications.

Sumber regulasi :

1. Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali.

Diakses melalui situs resmi Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Bali pada tanggal 31

Oktober 2021.

2. Instruksi Gubernur Bali Nomor 2331 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Gubernur

Bali Nomor 79 Tahun 2018. Diakses melalui situs resmi Biro Hukum Sekretariat Daerah

Provinsi Bali pada tanggal 31 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai