Anda di halaman 1dari 52

Pakaian Adat Pada Upacara

Adat Buton
Diposkan oleh Ahmad Kadir di 21.230 komentar
Label: Sejarah Buton

MENGENAL PAKAIAN ADAT SETIAP UPACARA

POSUSU / TANDAKI

Posusu adalah merupakan pakaian yang digunakan bagi anak-anak perempuan Sedangkan Tandaki a
digunakan pada acara sunatan yang telah mencapai u

Pakaian Posusu terdiri dari : Baju Kambalala, Sarung Kobiwi dan Punto yang dilengkapi deng
(anting-anting).

Pakaian Tandaki terdiri dari : Tandaki yang dipasang di kepala sebagai mahkota, bia beloki (Saru
gelang tangan satu buah ditambah jao-jaon

KABUA-BUA

Pakaian Kabua-bua digunakan bagi kaum remaja pada setiap pelaksanaan acara adat, pakaia

Pakaian Kabua-bua terdiri dari : Baju Kambowa, Bia-bia yitanu, sulepe dilengkapi dengan jao-jaong
BAWANA MANTOMU

Pakaian Bawana Mantomu dipakai pada saat pelaksanaan acara-acara adat antara lain : pada hari ke 4
undangan dari yang melaksanakan posu

Pakaian Bawana Mantomu terdiri dari : Baju Koboroko, sarung Sakalati, Salenda, Popungu Ogena dan
kanan dan 4 sebelah kiri, dali-dali dan simbi koronjo yang dipasang pada kaki. Pa
PAKAIAN KALAMBE

Merupakan pakaian yang dikenakan seorang gadis yang disebut kalambe adalah

Pakaian kalambe terdiri dari : Baju Kambowa, bia palebaau (warna hitam bersusun putih), sulepe, men

kepala dengan sanggul kelu-kelu yang dihiaskan pi

Baju kambowa bertangan pendek warna biru terbuat dari kain polos. Sarung dua lapis, lapisan bawah ber
disebut bia bia itanu kumbaea, serta kaboken
AJO BANTEA

Pakaian Ajo Bantea merupakan pakaian remaja putra yang dipakai pada berbagai acara adat diantaranya s
wanita hal ini digunakan bagi kaum bangsa

Pakaian Ajo Bantea terdiri dari : Sala arabu, sarung samasili sebatas lutut, bia ogena, salenda, sulep
PAKAIAN PENGANTIN

Merupakan pakaian pesta perkawinan yang digunakan o

Pakaian pengantin perempuan terdiri dari : mengenakan Baju kombo, sarung lonjo sebatas mata kaki, pu
pada bagian belakang dimasukkan kedalam sulepe dan dielengkapi dengan aksesoris : simbi, kabokena lima, j
dipasang sebelah kiri, sampelaka sebelah kanan, kipas dipegang sebelah kiri, kuku harim

Pakaian pengantin laki-laki terdiri dari : Baju Balaha dada, celana yang dikenakan Sala arabu, dilapisi
balaha dada dilapisi dengan bia ogena, tobo/keris diselipkan didepan/diperut masuk diantara sulupe, di bagian k
dibahu sebelah kiri.
PAKAIAN ORANG TUA

Merupakan pakaian yang digunakan pada saat acara adat (secar

Pakaian orang tua perempuan : Baju koboroko, sarung palebaau, katapisi sebelah dada, salend

Pakaian orang tua laki-laki : Juba lau-lau (baju yang berbentuk lurit), bia k

Makna Pakaian Adat Tradisional


Buton
Oleh : Israwaty, S.Pd.

Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa,


agama dan kebudayaan. Keanekaragaman inilah yang
menjadi ciri khas bagi bangsa Indonesia dibandingkan
negara-negara lain di dunia ini. Salah satu unsur yang
masih tetap dibina dan dilestarikan serta dikembangkan
dari keanekaragaman tersebut ialah adat istiadat dan
diselenggarakan oleh kelompok masyarakat adat pada
suatu suku secara tradisional. Arti penting pemahaman
unsur-unsur kebudayaan semacam ini adalah untuk
mengetahui nilai-nilai budaya apa saja yang ingin
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung baik
secara sadar maupun tidak disadari telah dijadikan
kerangka atau acuan pola bertindak oleh sekalian warga
masyarakat pendukung budaya bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan acara tersebut pakaian adat
merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari
prosesi adat yang diselenggarakan. Pakaian adat yang
digunakan biasanya bergantung dari jenis acara-acara
adat yang diselenggarakan atau dilaksanakan. Pakaian
adat yang digunakan oleh masyarakat mempunyai fungsi
adat, disamping itu juga terkandung nilai-nilai moral, nilainilai sosial, nilai-nilai agama atau kepercayaan dan lain-

lain. Dalam hal ini adalah pakaian adat tradisional Buton


yang dipakai oleh masyarakat baik secara perorangan
maupun secara kelompok.
Bagi masyarakat kota Bau-Bau (dulu kabupaten Buton),
pakaian adat tradisional mempunyai makna secara
khusus.
Dalam
arti
bahwa
masyarakat
yang
menggunakan pakaian adat tradisional tersebut dengan
ciri-ciri atau spesifikasi tertentu baik warna, bentuk,
perhiasan dan jumlah aksesoris yang digunakan maupun
perlengkapan lainnya adalah mereka yang memiliki status
sosial yang lebih tinggi dalam tingkat kehidupan
masyarakat Buton pada masa lampau maupun saat ini.
Keberadaan pakaian adat tradisional pada suatu daerah
merupakan suatu kebanggaan masyarakat itu sendiri
dalam menyampaikan pesan kepada lingkungan sosial
dimana dia berada secara tidak langsung.

Pakaian adat tradisional yang digunakan oleh masyarakat


Buton terdiri dari berbagai jenis dan fungsi yang berbeda
dalam setiap penggunaannya. Pada umumnya pakaian
adat tradisional yang ada lebih cenderung digunakan oleh
golongan-golongan bangsawan seperti Sultan, perangkat
masjid agung Keraton Buton, pegawai kesultanan dan
jabatan-jabatan yang ada dalam struktur pemerintahan
kesultanan Buton. Hal ini dapat dibenarkan karena secara
lahiriah subyek-subyek yang dikemukakan di atas
merupakan perwakilan dari perwujudan tata kehidupan
sosial masyarakat suku Buton secara keseluruhan.

Namun demikian, penggunaan atau pemakaian pakaian


adat tradisional adat Buton dalam berbagai kesempatan
khusus hampir sebagian masyarakat sudah tidak
mengetahui makna-makna yang terkandung dalam
pakaian adat tradisional Buton tersebut. Sebagai contoh;
pemakaian pakaian pingitan atau (Posuo) bagi anak putri
yang memasuki usia remaja antara lain jenis pakaian yang
dipakai, aksesoris yang digunakan, perlengkapanperlengkapan dan lain-lain sehingga apa hubungannya
dengan makna yang terkandung pada pakaian adat
tradisional tersebut, karena hal-hal tersebut juga
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat suku Buton.

Dengan kata lain apa, kenapa, dimana dan bagaimana


pakaian adat tradisional tersebut digunakan.

Seiring perkembangan kehidupan dalam masyarakat saat


ini penggunaan pakaian adat tradisional pada berbagai
kesempatan khusus masih sering digunakan. Namun
sangat disayangkan sebagian masyarakat sudah tidak lagi
memahami makna yang terkandung dalam pakaian adat
tradisional tersebut. Hal ini berarti akan mengurangi nilainilai keutuhan adat secara luas.

Gambaran Umum Pakaian Adat Tradisional Buton


Secara singkat, pakaian adat tradisional Buton yang
sampai saat ini masih digunakan adalah sebagai berikut :
a). Pakaian anak-anak
1. Tipolo (Pakaian putri cilik / balita)
2. Songko Madina (Pakaian putra cilik usia balita)
b). Pakaian Posusu (perempuan) dan Tandaki (lakilaki) (Pakaian putra putri pada saat dikhitan/ sunat)
c). Pakaian Remaja
1. Ajo Bantea (Pakaian putra)
2. Mobawana Mantomu (pakaian putri)

d). Pakaian Kombo (Pakaian gadis) ketika baru selesai di


pingit.
e). Pakaian Kalambe (Pakaian gadis yang sudah dipingit).
f). Pakaian Sio Limbona (Pakaian orang tua)
g). Pakaian Sultan dan Permaisuri
(Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota
Bau-Bau : 2001)

Kehidupan masyarakat Buton tidak terlepas pula dari


adanya stratifikasi/penggolongan kelas sosial masyarakat,
yang terdiri dari:

a). Golongan Kaomu


Golongan Kaumu adalah golongan bangsawan dengan
gelar La Ode bagi laki-laki dan Wa Ode bagi perempuan.
Golongan inilah yang paling berhak menduduki jabatanjabatan dalam struktur pemerintahan kesultanan Buton
seperti
Sultan,
Imam
Mesjid
Agung
(ulama),
Khatib, Sapati, Kapitalao (panglima perang) dan lain-lain,
dengan tanda-tanda kebesaran khusus baik pakaian
maupun lainnya berdasarkan adat dan ketentuan yang
telah disepakati bersama.

b). Golongan Walaka.


Golongan Walaka adalah golongan masyarakat biasa,
atau masyarakat merdeka atau masyarakat pada
umumnya. Namun golongan ini diantaranya ada yang
dipilih oleh kelompok-kelompok masyarakatnya tersebut
menjadi anggota adat / legislatif dalam penyelenggaraan
adat. Golongan ini jugalah yang berhak memilih dan
melantik calon sultan Buton pada saatnya.

c). Golongan Papara


Golongan masyarakat ini sebenarnya tidak ada dalam
masyarakat Buton, hanya saja dipakainya istilah ini karena
terjadinya sistem perbudakan atau pengasingan politik
oleh kesultanan Buton pada masa lampau. Tetapi
sesungguhnya tidak pernah terjadi sistem perbudakan
dalam masyarakat atau kesultanan Buton sendiri.
Perbudakan hanya dilakukan oleh para penjajah kolonial
Belanda.

Jenis dan Makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional Buton

Pakaian adat tradisional yang ada pada suatu daerah


umumnya juga digunakan oleh hampir setiap orang yang
berada pada suatu daerah adat tertentu, terlepas dari
stratifikasi sosial yang ada. Namun demikian pada

penggunaan pakaian adat tradisional tersebut biasanya


ada saja sesuatu hal yang membedakan status sosial
penggunanya,
apakah
golongan
bangsawan
kedudukannya ataukah masyarakat biasa. Salah satu
contoh pemakaian pakaian adat tradisional oleh
masyarakat yaitu pakaian pengantin.

Dalam tradisi masyarakat Buton yang masih terikat erat


dengan sistem adat yang berlaku, penggunaan atau
pemakaian pakaian adat tradisional juga digunakan oleh
seluruh masyarakat yang menyelenggarakan kegiatankegiatan yang masih berhubungan dengan adat. Hanya
saja pengguna pakaian adat tersebut dapat dengan
mudah diketahui kedudukan sosialnya berdasarkan
stratifikasi sosial masyarakat Buton yang telah
dikemukakan sebelumnya.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan para


narasumber atas beberapa pertanyaan yang diajukan
maka dapat diperoleh data-data mengenai makna yang
terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton.

1. Pakaian Balahadada

Pakaian Balahadada merupakan pakaian kebesaran bagi


seorang laki-laki suku Buton baik bagi seorang
bangsawan maupun bukan bangsawan. Hal ini
disebabkan karena pada masa lampau pakaian ini
merupakan pakaian para pejabat-pejabat kesultanan
Buton. Pakaian ini juga, pada masa masih jayanya masa
pemerintahan kesultanan Buton yang berakhir pada sultan
ke 38 La Ode Muhammad Falihi Isa Qaimuddin (Oputa
Moko Baadianai) hingga tahun 1963 adalah digunakan
oleh pejabat dari golongan bangsawan (La Ode) yang
dilkengkapi dengan berbagai macam kelengkapan
pakaian baik untuk jabatan Lakina, Bobato, Bonto Ogena,
Kapitalao, Syahabandara, dan jabatan-jabatan lain yang
khusus dijabat oleh golongan bangsawan.

Pakaian Balahadada dapat diartikan sebagai pakaian


belah dada. Dikatakan demikian karena pakaian tersebut
tidak memiliki kancing sehingga sipemakai dapat terlihat
dadanya. Pakaian ini baik dari kepala sampai pada kaki
terdiri dari :

(1) Destar
Dalam bahasa Wolio (Buton) destar dikenal dengan
nama Kampurui. Kampurui terdiri dari beberapa jenis
antara lain Kampurui Bewe Patawala, Kampurui Bewe

Palangi, Kampurui Tumpa dan Kampurui Bewe


Poporoki berdasarkan
bentuk
dan
warnanya.
Keempat Kampurui ini pada bahagian sekelilingnya
dijahitkan benang emas atau perak yang disebut Jai atau
Pasamani.
(2) Baju
Baju yang digunakan adalah baju Balahadada yang bahan
dasarnya sesuai dengan aslinya terbuat dari beludru
berwarna hitam. Sekujur bagian baju dipenuhi dengan
hiasan-hiasan yang terbuat dari emas atau perak.
Hiasannya merupakan bundaran-bundaran kecil yang
bertaburan secara teratur dan dinamakan sebagai BukaBuka. Pada pinggiran baju terdapat hiasan Pasamani.
Pada leher baju hiasan Pasamani lebih besar dan
mencolok dan ditempelkan Akeyang terbuat dari emas
atau perak. Pada masing-masing belahan belahan dada
baju dilekatkan sebuah Ake besar yang berpangkal dari
bawah leher baju langsung turun sampai perut baju. Di
atas Ake baik yang ada pada leher maupun belahan dada,
disebelah kanan masing-masing dilekatkan enam sampai
tujuh buah kancing kerucut segi lima pada ujung kengan
baju yang hanya berfungsi sebagai hiasan.
(3) Celana

Celana yang digunakan disebut dengan Sala Arabu atau


dapat diartikan sebagai celana panjang Arab. Warna dan
motif yang terdapat pada celana Sala Arabu ini sama
dengan motif yang ada pada baju Balahadada. Pada
bagian kaki celana terdapat belahan sedikit, pada pinggir
belahan ini dilekatkan pula masing-masing tujuah buah
kancing.

(4) Sarung
Disamping memakai celana, pakaian Balahadada juga
dilengkapi oleh sarung Samasili Kumbaea, yaitu berdasar
warna hitam serta motif kotak-kotak putih. Benang putih
yang dijadikan kotak-kotak tersebut adalah benang perak
yang dalam bahasa Buton disebut sebagai Kumbaea.

(5) Ikat Pinggang


Ikat
pinggang
dalam
bahasa
Buton
disebut
sebagai Sulepe. Ikat pinggang yang digunakan dalam
pakaian Balahadada terbuat dari kain warna hitam dengan
kepala ikat pinggang terbuat dari emas atau perak. Bentuk
kepala ikat pinggang lonjong telur atau empat persegi
panjang dengan ukiran kalimat Tauhid dan motif bungabunga dengan nama bunga Rongo pada sekeliling
pinggirnya. Ikat pinggang ini dikenakan pada bagian atas

baju dengan sebelumnya pada bagian bawah baju


dilekatkan sarung.

(6) Keris
Keris
dalam
bahasa
Buton
disebut
sebagai Tobo (baca: Tobho) atau Puu Salaka atau Puu
Tagabergantung dari asal bahan hulu keris.

(7) Bia Ogena


Bia Ogena berarti sarung besar. Tetapi bukan bentuknya
yang besar tetapi lebih merupakan sebagai sarung
kebesaran yang hanya digunakan oleh pejabat atau anak
keturunan bangsawan (La Ode). Bentuk Bia Ogena lebih
cenderung menyerupai selendang yang terbuat dari kain
sutera berwarna polos dan tidak berjahit. Pemakaiannya
dililitkan pada pinggang sedang kedua bagian ujungnya
terselip pada hulu keris. Bia Ogena dihiasi pula
oleh Pasamani diseluruh pinggirannya.

MAKNA:
Destar atau Kampurui dalam bahasa Buton berarti ikat
kepala. Yang mengandung makna kebesaran.kampurui
bagi seorang pejabat kesultanan buton sangatlah penting.

ini dikaitkan dengan kebijakan atau keputusan yang


diambil
berhubungan
dengan
kepentingan
dan
kemaslahatan rakyat yang ditandai dengan adanya tundu
pada bahagian tengah lilitan Kampurui yang bermakana
sebagai penjelmaan dari matahari yang berarti
memberikan pencerahan.

Balahadada adalah baju yang tidak memiliki kancing yang


mengandung arti sebagai perlambangan keterbukaan
sikap pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu
khususnya urusan masyarakat demi pencapaian
kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan
dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Baju
balahadada memiliki dasar warna hitam yang
mengandung arti kebenaran yang tak dapat diubah-ubah,
warna putih yang ditampilkan pada hiasan-hiasannya
mengandung kesucian.

Bia Ogena pada baju Balahadada bermakna kebesaran


dan keagungan. Tetapi dibalut oleh ikat pinggang (Sulepe)
bertuliskan kalimat Tauhid sebagai perlambangan dari
pengukuhan atau pengikat hukum agama dan adat yang
harus ditaati oleh orang Buton. Keris yang diselipkan pada
bahagian
pinggang
memiliki
makna
sebagai
perlambangan keberanian yang dibalut dengan sikap

lembut
dan
bijaksana
.
Akhirnya
celana Sala
Arabu memiliki makna filosofis yang sama dengan
baju Balahadada.

Balahadada adalah baju dengan dasar warna hitam yang


memiliki makna sebagai perlambangan keterbukaan sikap
seorang pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu
khususnya urusan masyarakat demi pencapaian
kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan
dengan jalan musyawarah untuk mufakat.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikutip dari hasil


wawancara yang dilakukan dengan bapak La Ode Zaady
mengenai baju Balahadada.

Kampurui melambangkan
kebesaran,
kebaikan,
kebijakan, kebenaran, ketepatan, kelembutan (fleksibilitas
dalam hal tertentu) yang dipancarkan oleh seorang sultan
atau stafnya dalam menangani urusan pemerintahan dan
untuk kemaslahatan/kesejahteraan masyarakat Buton
pada
masa
lampau.
Ini
dapat
dilihat
dari
bentuk Kampurui yang diikat sedemikian rupa sehinga
tampak seperti memancarkan cahaya.

Baju Balahadada warna aslinya hitam kalau ada warna


lain
pada
baju Balahadada maka
hanya
untuk
memberikan variasi warna dan sama sekali tidak
mengurangi makna yang terdapat di dalamnya.

Balahadada ini terdiri dari satu pasang (baju dan celana)


dengan warna dan motif yang sama pula. Belahan baju
menandakan sikap keterbukaan pemakainya dalam
bermusyawarah untuk mencapai mufakat dengan dasar
hukum adat maupun agama demi kepentingan bersama.

Keris adalah lambang kejantanan tetapi digunakan secara


bijak dan sesuai fungsinya (waktu dan tempat) jika tidak
maka keris lebih bermakna sebagai kelembutan sikap
pemakainya dimana hal ini sesuai dengan yang terdapat
pada hulu keris. Sulepe sebagai pengikat, atau pengukuh
aturan-aturan adat artinya bahwa orang yang memakainya
harus dikukuhkan dengan ajaran maupun aturan agama
islam.

Kampurui yang digunakan sebagai penutup kepala/ikat


kepala
bagi
masyarakat
Buton
mengandung lambang kebesaran. Dimana kepala adalah
bagian teratas dari badan manusia yang dipandang

sebagai penjelmaan dari lapisan langit yang dipancarkan


keseluruh alam jagad raya. Kiranya Kampurui ini dapat
disamakan dengan nimbus, prabha, aureul seperti yang
terdapat pada lukisan-lukisan orang suci atau lukisanlukisan pada patung dengan lingkaran cahaya di bagian
kepala.

Baju Balahadada dari warnanya yang hitam mengandung


arti ketegasan sikap dalam setiap pengambilan
keputusan, sedang sarung Bia Ogena dan keris adalah
perlambangan sikap kebesaran dan keagungan serta
keberanian pemakainya tetapi tetap pada ikatan aturanaturan adat yang berpangkal pada ajaran agama islam
sehingga digunakan secara bijaksana. Sedang motif dan
berbagai hiasan lainnya lebih merupakan penambah
keindahan dari tampilan pakaian tersebut.

Kesimpulan
makna
yang
terdapat
pada
pakaian Balahadada ini adalah terlepas dari status
kebangsawan
masyarakat
Buton
baik
golongan Kaomu (La Ode / (Wa Ode) maupun golongan
Walaka (Pejabat Penyelenggara Adat dan masyarakat
Buton secara umum) karena kenyataan pada saat ini
bahwa semua unsur-unsur tradisional (adat, pakaian dan
lainnya) sudah digunakan secara keseluruhan oleh

masyarakat. Hanya saja dalam pemakaiannya tentu saja


masih terdapat perbedaan-perbedaan antara golongan
bangsawan maupun bukan bangsawan khususnya pada
kelengkapan-kelengkapan pakaian. Karena sampai saat
ini masyarakat Buton baik yang berada di daerah maupun
di luar daerah masih memegang teguh sistem
peradatannya.

2. Pakaian Ajo Bantea


Ajo Bantea merupakan pengertian dari pakaian yang
indah-indah. Pakaian ini hanya terdiri dari celana
panjang (Sala Arabu) dan tindak menggunakan baju. Ajo
Bantea adalah pakaian yang dikenakan oleh anak-anak
atau lebih disebut sebagai Pakeana Mangaanaana yang
belum menduduki jabatan khusus dalam sistem
pemerintahan kesultanan Buton. Pakaian ini dilengkapi
pula dengan berbagai kelengkapan seperti Kampurui
Bewe
Patawala atau Kampurui
Tumpa atau Kampurui Palangi yang
dikenakan
bersama Lepi-Lepi,
Keris,
sarung Samasili
Kumbaea atau Bia Ibeloki , dan Bia Ogena.

Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Ajo


Bantea berikut ini adalah kutipan wawancara yang
dilakukan dengan para budayawan Buton :

Pakaian Ajo Bantea juga disebut sebagai pakeana


manganaana. Pakaian ini dipakai oleh anak laki-laki yang
belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan
kesultanan Buton. Pakaian ini tidak memakai baju
(bertelanjang dada), hanya terdiri dari ikat kepala
(Kampurui Bewe
Patawala atau Bewe
Palangi atau Kampurui Tumpa), Bia Ogena, Bia Samasili
Kumbaea, Keris dan Celana panjang (Sala Arabu). Makna
yang terkadung dari masing-masing tersebut di atas
adalah sama dengan makna yang terkandung pada
pakaian Balahadada.

Ajo
Bantea memiliki
pengertian
yang
berbeda
yaitu; Ajo adalah mengenakan, memakai, menggunakan
dan sejenisnya, sedang Bantea adalah barak atau tempat
berkumpul untuk melakukan musyawarah.yang kemudian
digunakan oleh para anak dari golongan bangsawan untuk
belajar, bermain, berkumpul dan sebagainya dengan
masyarakat.

Dengan kata lain pakaian Ajo Bantea memiliki makna


bahwa sifat keterbukaan dan kesederhanaan para anak
golongan bangsawan untuk berkumpul bersama dengan
masyarakat untuk melakukan berbagai hal secara

bersama dengan tidak memandang status sosialnya


masing-masing.

Sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady


tentang pakaian Ajo Bantea Berikut ini kutipan hasil
wawancara dengan bapak Hazirun Kudus mengenai
baju Ajo Bantea.

Ajo
Bantea dalam
bahasa
Buton
disebut
dengan Pakeana Manga Anaana atau dapat diartikan
sebagai pakaian para anak khususnya dari golongan
bangsawan. Untuk diketahui bahwa pakaian ini tidak
mengenakan baju layaknya pakaian lain tetapi hanya
menggunakan celana panjang (Sala Arabu), sedang
kelengkapan pakaian ini terdiri dari Kampurui , Bia
Ogena, Bia Samasili Kumbaea, dan Keris. Makna yang
terkandung pada masing-masing kelengkapan ini adalah
sama halnya dengan makna yang terdapat pada
pakaian Balahadada. Sedang makna secara keseluruhan
dari pakaian Ajo Bantea ini adalah adanya sifat
keterbukaan dan kesederhanaan yang ditunjukkan para
anak golongan bangsawan (La Ode) kepada masyarakat
dengan mengaplikasikannya dengan terlibat secara
langsung kedalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

Ajo Bantea merupakan pakaian yang indah-indah yang


khusus digunakan oleh anak golongan bangsawan yang
belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan
kesultanan Buton masa lampau. Pakaian Ajo Bantea ini
dilengkapi oleh beberapa kelengkapan yang terdiri
dari Kampurui (destar/ikat
kepala)
yang
dibentuk
sedemikian rupa yang melambangkan kebesaran dan
keagungan sipemakai sebagai seorang pemimpin dan
juga bermakna bahwa Ajo Bantea ini adalah memiliki
makna adanya keterbukaan baik sikap maupun sifat untuk
bermusyarawarah dan menerima hal-hal yang belum
diketahuinya atau juga adanya sikap tegas seorang calon
pemimpin Buton namun tetapi tidak dikhilafkan oleh
kedudukan tersebut karena terikat sebuah ikat pinggang
yang bertuliskan kalimat Tauhid yang berarti adanya ikatan
atau pengukuhan adat berdasarkan ajaran agama dalam
berkehidupan sehari-hari dan mau menerima keberadaan
masyarakat umum lainnya sebagai satu kesatuan alam
semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT.

3. Pakaian Ajo Tandaki


Ajo Tandaki adalah pakaian yang hanya terdiri dari
selembar kain besar (Bia Ibeloki) dan berwarna hitam
yang hanya dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya.
Pada permukaan pakaian Ajo Tandaki dilekatkan manikmanik motif ukiran bunga Rongo secara beraturan,

sedang
pada
sekeliling
pinggiran
kain
dijahitkan Pasamani atau hiasan yang terbuat dari benang
emas atau perak.

Pakaian ini dapat digunakan pada saat seorang anak


akan diislamkan (disunat) atau bahkan seseorang yang
akan menikah duduk sebagai mempelai pria. Pakaian ini
sangat mirip dengan pakaian ihram jemaah haji hanya
yang berbeda adalah warnanya.

Kelengkapan pakaian terdiri dari Tandaki (semacam


mahkota) yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa
dengan berbagai hiasan dan aneka rupa sehingga tampak
sebagai suatu lambang kebesaran pemakainya. Ikat
pinggang yang diukir dengan kalimat Tauhid dan sebilah
keris.

Kekhususan baju ini terdapat pada Tandaki sebagai


mahkota yang digunakan sekaligus sebagai penyebutan
nama baju tersebut. Tandaki terbuat dari kain merah,
manik-manik, bulu burung cenderawasih yang putih,
benang-benang sutra merah dan berbagai macam hiasan
yang terbuat dari perak, tembaga bahkan emas.

Berikut ini kutipan hasil wawancara mengenai makna yang


terdapat pada pakaian AjoTandaki :

Ajo Tandaki adalah pakaian kebesaran anak bangsawan


yang juga boleh dikenakan oleh masyarakat biasa pada
saat menyelenggarakan acara adat khususnya prosesi
sunatan (pengislaman). Pakaian ini sengaja dibuat
sedemikian rupa dengan warnanya yang hitam dikandung
maksud bahwa pada saat anak disunat, maka darah yang
keluar dapat berkamuflase dengan warna kain sehingga
tidak menimbulkan perasaan ngeri atau takut pada anakanak tersebut.

Disamping itu Ajo Tandaki juga memiliki arti keterbukaan,


kesederhanaan golongan Kaomu dalam berpenampilan
adalah sesuatu yang harus diutamakan sehingga tidak
menimbulkan berbagai fitnah dalam masyarakat.

Mahkota Tandaki sendiri merupakan perlambangan dari


keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi
dan dipatuhi dengan hati tulus ikhlas. Hal ini nampak pada
jumbai yang turun dari kepala langsung ke dada yang
berarti diserapkan kedalam kalbu. Keris yang terselip
dipinggang adalah suatu lambang keberanian untuk

membela
hak
berdasarkan
adat
dan
agama
dan Sulepe (ikat pinggang) adalah sebagai pengukuh
berdasarkan ajaran agama dari pengertian-pengertian
yang telah saya jelaskan.

Ajo Tandaki adalah pakaian yang digunakan oleh para


anak
bangsawan
yang
memiliki
arti
keterbukaan,kesederhanaan golongan kaomu (golongan
bangsawan) dalam hal berpenampilan dan menerima
ajaran-ajaran dari orang tua tentang aturan-aturan yang
berlaku di kesultanan Buton dan ajaran agama.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh bapak La


Ode Zaady dalam kutipan wawancara mengenai Ajo
Tandaki.

Tandaki terdiri dari dua unsur yaitu Tandaki sebagai


mahkota dan Tandaki sebagai pakaian. Tandaki sebagai
mahkota adalah wujud kebesaran, keagungan dan
kedamaian yang harus dijunjung tinggi yang dilaksanakan
dengan hati tulus ikhlas. Sedangkan Tandaki sebagai
pakaian adalah lambang keterbukaan, kebersahajaan,
kesederhanaan
dan
sejenisnya
oleh
golongan
bangsawan.

Kain yang digunakan sebagai baju dalam pakaian Ajo


Tandaki ini adalah Bia Ibeloki yang dapat kita terjemahkan
dalam bahasa Indonesia yaitu sarung yang dililitkan
kesekujur tubuh.

Makna
dari
keris
yang
digunakan
adalah lambang keberanian untuk membela hak dan
kewajiban dan ikat pinggang atau Sulepe adalah sebagai
pengukuh ikatan adat yang berlandaskan ajaran
agama. Ajo Tandaki secara umum digunakan pada saat
anak akan di islamkan/disunat. Dengan warna hitam yang
dimilikinya paling tidak akan mengurangi rasa takut dan
ngeri anak pada saat darahnya keluar. Itulah
sebabnya Ajo Tandaki digunakan pada saat anak akan
disunat.

Berdasarkan kutipan hasil wawancara di atas dapat


disimpulkan bahwa AjoTandaki adalah pakaian yang
hanya terdiri dari mahkota dan selembar kain lebar/besar
yang disebut sebagai Bia Ibeloki dan berwarna hitam
dengan dilekatkan manik-manik yang dijahit secara
teratur. Tandaki sebagai
mahkota
memiliki
makna
kebesaran, keagungan dan kedamaian yang harus
dijunjung tinggi dilaksanakan dengan hati tulus dan ikhlas

oleh pemakainya sedang bajunya adalah perlambangan


sifat keterbukaan dan kesederhanaan kaum golongan
bangsawan yang ditunjukkan kepada masyarakat sebagai
contoh teladan dengan tidak membanggakan dirinya.

Selain makna di atas, pakaian ini juga mengandung arti


ketenteraman. Yang dimaksudkan ketenteraman dalam
hal ini adalah kurangnya rasa takut anak pada saat di
sunat akibat yang dikeluarkan sehingga kalaupun darah
merembes kepermukaan kain maka darah tersebut akan
tertutupi oleh warna hitam kain.

4. Baju Kombo
Baju Kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita
Buton. Bahan dasar baju adalah kain satin dengan warna
dasar putih, penuh dihiasi dengan manik-manik, benangbenang berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas
atau benang perak serta berbagai ragam hiasan yang
terbuat dari emas, perak maupun kuningan.

Pakaian ini terdiri dari satu pasang, bagian atasan adalah


baju dengan bawahan sarung yang disebut Bia
Ogena (sarung besar). Bia Ogena adalah sarung yang
terdiri dari gabungan beberapa macam warna polos

seperti merah, hitam, hijau, kuning, biru dan putih dan


dijahit secara bertingkat-tingkat.

Pada permukaan baju dijahitkan rangkaian manik-manik


dengan formasi belah ketupat. Pada setiap petak-petak
belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau kuningan
dengan motif Tawana Kapa (daun kapas) dan pada ujung
daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga yang
berdiri tegak.

Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara mengenai


makna yang terdapat pada baju Kombo:

Makna yang terdapat pada baju Kombo adalah sebagai


berikut : (1) Dasar warna baju adalah putih yang
melambangkan kesucian, kepolosan wanita Buton, (2)
Bunga-bunga yang tumbuh tegak pada ujung Tawana
Kapa adalah melambangkan harapan-harapan atas
kebaikan, kesuburan, kesejahteraan, kelapangan dan halhal yang memiliki pengertian yang sama pada saat ia
menjadi mempelai wanita dikemudian hari untuk
membangun satu keluarga yang madani, (3) Perhiasan
yang digunakan khususnya gelang tangan sebagai
pertanda bahwa wanita Buton selalu taat dan patuh pada

ikatan sistem peradatan dan ajaran agama yang


dilingkarkan
pada
pergelangan
tangannya,
(4) Punto,berwarna dasar hitam yang dimaksudkan untuk
melindungi rembesan darah haid wanita jika sedang
dating bulan sehingga dapat tersamarkan, (5) Bia
Ogena atau sarung yang dijahit secara bertingkat-tingkat
adalah menunjukkan alam kejadian manusia dan jagad
raya.

......Selanjutnya warna-warna tersebut bagi masyarakat


Buton memiliki makna. Sebagai contoh warna biru bagi
masyarakat
Buton
adalah lambang ketaatan
dan
kepatuhannya
terhadap
berbagai
hal
utamanya hukum adat dan agama yang harus selalu dikuti
dan dijaga secara terus menerus.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan


bapak hazirun kudus mengenai baju kombo maka hal ini
sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady.

Baju Kombo syarat akan makna. warna dasar baju adalah


warna putih yang melambangkan kesucian, kedamaian
dan sejenisnya. Pada permukaan baju dijahitkan manikmanik (Tawana Kapa) yang beraneka rupa,dimana pada

bagian ujung Tawana Kapa dijahitkan pula masing-masing


sebuah hiasan bunga-bunga yang disebut sebagai
bunga Rongo. Bunga inilah yang kemudian melambang
keinginan-keinginan atau harapan-harapan wanita Buton
untuk kehidupan masa depannya dalam upaya
membentuk suatu keluarga.

Gelang yang berjumlah masing-masing empat buah pada


tangan kanan dan kiri merupakan arti dari bahwa wanita
Buton dalam semua aspek kehidupannya telah diikat oleh
adanya hukum adat dan agama yang harus selalu menjadi
sandaran dalam berkehidupan dengan lingkungannya.

Bia Ogena yang terdiri dari beberapa warna yang dijahit


menjadi sebuah sarung merupakan lambang proses
kejadian alam dan manusia. sesuai dengan kepercayaan
agama masyarakat Buton.Yang dijahit secara bersusun,
pertama adalah warna hitam. Warna ini khususnya
pada Punto atau sarung hias yang berfungsi untuk
mencegah merembesnya darah haid wanita pada saat
datang bulan sehingga tidak terlalu nampak. Selanjutnya
warna kuning. Warna kuning ini dimaksudkan sama, yaitu
apabila darah telah merembes dari Punto maka darah tadi
masih dapat pula disamarkan oleh warna kuning. Susunan

kain ini sampai kebawah akan berfungsi sama dengan


warna kuning dan hitam.

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat


disimpulkan
bahwa
baju Kombo pada
prinsipnya
mengandung arti adanya harapan-harapan kebaikan atas
segala kebaikan dalam berkehidupan, disamping itu juga
baju ini mempunyai makna yaitu warna dasar baju yang
putih merupakan lambang kesucian wanita Buton untuk
selalu dijaga. Sedang kain berwarna yang dijahit secara
bersusun disebut sebagai Lonjo. Lonjo dijahit secara
bersusun bukan tanpa maksud tetapi dikandung maksud
apabila
rembesan
darah
haid
tersebut
telah
menembus Punto, maka selanjutnya darah tersebut dapat
pula tersamarkan oleh warna hijau atau kuning sampai
pada bagian bawah susunan kain yang berwarna
merah. Lonjo juga berarti susun atau tata. Lonjo ini diatur
tiga susun warna yang menandakan bahwa di Buton
terdapat 3 golongan masyarakat yaitu Kaomu, Walaka dan
Papara. Dari sudut pandang islam Buton, Lonjobermakna
hubungan yang harus dijalani oleh manusia yaitu (1)
Hubungan manusia dengan Tuhan/Hablum minallah, (2)
Hubungan antar sesama manusia/Hablum Minannas, dan
(3) Hubungan manusia dengan alam.mengandung dua
makna yaitu makna lahir dan makna batin. Makna lahir
adalah bahwa warna-warna yang digunakan tersebut

digunakan sebagai pencegah rembesan darah haid wanita


agar tidak tampak pada saat wanita yang bersangkutan
berada di keramaian, atau juga berfungsi sebagai sarung
kebesaran wanita Buton itu sendiri. Makna batin yaitu
adanya kaitan antara pemahaman atas pengertian warna
terhadap proses kejadian alam dan manusia begitu juga
dengan kepercayaan beragama masyarakat Buton dulu
maupun sekarang. Seperti contoh gambar berikut
(Gambar 4).

5. Baju Kaboroko
Kaboroko berarti krah (leher) dikatakan demikian karena
baju ini agak berbeda dengan jenis baju Buton lainnya,
dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai dengan
adanya berbagai macam hiasan dan aksesoris yang
dilekatkan padanya. Terdapat empat buah kancing logam
pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada
lengan baju. Kancing-kancing itu tidak berfungsi
sebagaimana lazimnya kacing baju, namun hanya
merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam
berwarna putih sedangkan lapisan luas (atas) sarung
warna dasar hitam dengan corak garis-garis. Sarung
tersebut disebut sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia
Itanu. Pada sanggulnya diikatkan potongan-potongan
yang digulung dari kain yang berwarna putih dan kuning.

Mengenai
makna
yang
terkandung
dalam
pakaian Kaboroko ini berikut akan disajikan kutipan hasil
wawancara :

Kaboroko berarti baju berkerah atau memiliki kerah.


Penggunaan baju Kaboroko bagi wanita Buton adalah
pada saat-saat diadakannya upacara adat (khususnya
golongan Walaka/golongan tengah/ bukan La Ode/Wa
Ode).

Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang


digunakan oleh bangsawan maupun bukan bangsawan.
Pemakaian kain sarung yang dipakai secara berlapis-lapis
ini dimaksudkan bahwa orang yang memakainya adalah
para ibu rumah tangga yang telah memiliki anak
keturunan sehingga bermakna telah mempunyai tanggung
jawab yang harus selalu dijaga dan dilindunginya yang
ditandai dengan penggunaan selendang yang dililitkan
pada sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.

Tetapi jika ia masih gadis, Kaboroko digunakan tidak


dengan berlapis-lapis kain sarung, hanya satu buah
sarung saja yang sekaligus berfungsi sebagai rok.

Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun Kudus


sama halya dengan pengertian dari bapak La Ode Zaady,
berikut kutipan hasil wawancaranya .

Kaboroko adalah salah satu baju adat yang digunakan


oleh para wanita Buton. Baju ini terdiri dari satu lembar
baju dan tiga lapis kain sarung yang dipergunakan secara
bersamaan dengan lapisan paling bawah adalah kain
sarung yang berwarna putih, lapisan kedua adalah Bia-Bia
Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah
kain lebar yang lebih mirip selendang dan dililitkan pada
sekujur tubuh pemakainya dengan cara bagian ujung kain
sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke
dalam.

Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang oleh


para ibu pada baju Kaboroko . Antara lain warna Biru
adalah bagi para ibu yang telah memiliki anak lebih dari
satu orang, warna merah atau hitam bagi ibu yang baru
mempunyai satu anak dan warna kuning adalah bagi para
janda. Sedang maknanya adalah melindungi hak dan
kewajiban pribadi maupun anggota keluarga dari segala
hal yang dapat membahayakan kehidupannya, begitu juga
tanggung jawab akan melindungi adat dan ajaran agama

demi tercapainya keselamatan dan kesejahteraan hidup


dalam bermasyarakat dan bernegara.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas maka dapat


disimpulkan bahwa baju Kaboroko mempunyai makna
bahwa seorang wanita harus melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam melindungi diri dan anggota
keluarganya
dari
segala
sesuatu
yang
dapat
membahayakan kehidupan, adat dan ajaran agama.
Sedang perbedaan warna yang terdapat pada selendang
yang digunakan lebih cenderung kepada makna bahwa
perbedaan jumlah anak yang telah dimiliki.

6. Baju Kambowa
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian adat Buton
yang digunakan oleh para ibu, gadis maupun anak-anak
dalam berbagai kesempatan adat bahkan dapat pula
berfungsi sebagai pakaian hari-hari pada masa lampau.
Baju terdiri dari satu buah baju berwarna polos (kuning,
biru, hijau, ungu) begitu juga sarung yang digunakan. Baju
ini berbentuk ponco dan tidak memiliki kerah baju. Lengan
baju hanya sampai pada bawah siku dengan bahan satin.

Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini digunakan


pula kain sarung yang terdiri dari tiga lapis layaknya yang
digunakan pada baju Kaboroko , sedang yang bukan
bangsawan hanya menggunakan satu lapis sarung
yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea.

Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam


baju Kambowa ini dapat dilihat pada kutipan hasil
wawancara sebagai berikut :

leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa


pemakainya dilingkari oleh berbagai aturan adat dan
agama yang harus dipatuhi dan dijalankan sepenuh hati
demi kebaikannya sendiri.

baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh


berbagai ajaran adat dan agama yang harus dilindunginya
atau dapat saya katakan bahwa makna yang terdapat
pada baju Kambowa ini adalah sama dengan makna yang
terkandung dalam baju Kaboroko .

untuk memudahkan adik mengartikan makna yang


terdapat pada baju Kambowa maka makna apa yang

terdapat pada baju Kaboroko itulah juga makna baju


Kambowa.

baju Kambowa memiliki makna yang sama dengan


baju Kaboroko (Wawancara; La Ode Zaady, September
2006).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui


bahwa makna yang terdapat pada baju Kambowa adalah
sama dengan makna yang terdapat pada baju Kaboroko .
Namun demikian menurut para informan ada beberapa
perbedaan
kecil
tentang
makna
antara
baju Kambowa dengan baju Kaboroko.

7. Baju perangkat adat (Pakeana Syara)


Pakaian disebut demikian karena pakaian ini digunakan
oleh para perangkat adat agama masjid agung Keraton
Buton, Sultan dan Perangkat adat lainnya. Perbedaan
makna akan ditemukan pada pakaian yang digunakan
oleh perangkat masjid agung Keraton dengan Sultan dan
pejabat dalam pemerintahan kesultanan Buton.

Pakaian ini adalah jenis pakaian jubah lengan panjang


dengan motif tenunan tradisional Buton. Motif ini adalah
garis-garis yang membujur dan melingkar. Motif membujur
pada baju sedang melingkar pada lengan baju. Makna
yang terdapat di dalamnya adalah sebagai berikut :

perbedaan motif yang terdapat pada pakaian perangkat


adat adalah besar kecilnya tanggung jawab pada masingmasing bidang kerja.

Pakaian sarana hukum atau perangkat adat adalah


pakaian yang hanya digunakan oleh perangkat masjid
agung keraton dengan Sultan dan pejabat dalam
pemerintahan Kesultanan Buton dengan ciri yang spesifik
yaitu penggunaan motif garis-garis yang besar untuk sara
ogena,sedang untuk sara kidina menggunakan motif
garis-garis kecil.hal ini berkaitan debngan besar kecilnya
tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masung sara.

Perbedaannya terletak pada motif garis baju. Jika


perangkat masjid agung Keraton Buton mempunyai motif
garis yang lebih kecil, maka Sara Ogena memiliki motif
garis yang lebih besar. Garis kecil berarti terbatasnya
bidang kerja sedangkan motif besar adaah luasnya bidang

kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Motif melingkar


pada lengan baju bermakna bahwa pemakai dilingkari
oleh berbagai aturan atau hukum-hukum adat dan agama
dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing anggota
kedua syara ini dalam menjalankan tugasnya dilengkapi
pula dengan tongkat jabatan (Katuko).
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat
disimpulkan bahwa motif garis pada baju yang kemudian
berbeda dalam ukurannya (besar-kecilnya garis)
bermakna besar kecilnya pula masing-masing bidang
pekerjaan atau tugas yang dijalankan. Sedang garis
melingkar pada lengan menandakan bahwa pemakainya
atau pejabat syara yang bersangkutan diikat / dilingkari
oleh aturan atau hukum adat dan agama yang harus
dipatuhi dalam menjalankan tugasnya.

Warna-Warna Yang Digunakan Pada Pakaian Adat


Tradisional Buton
Pakaian tradisional Buton agak berbeda dengan pakaian
adat tradisional daerah lain. Paling tidak hal ini ditunjukkan
dari penggunaan warna-warna tertentu dalam pakaian
adat tradisional buton itu sendiri yang hanya terdiri dari
enam macam warna yaitu Hitam, Merah, Kuning, Biru,
Hijau, Putih dan Ungu.

Pada pakaian adat tradisional Buton masing-masing


pakaian umumnya menggunakan jenis warna dan motif
hiasan yang sama pada baju dan celana. Kalaupun
terdapat perbedaan warna itu terjadi pada kelengkapan
pakaian seperti sarung ataupun lainnya yang bukan
merupakan komponen dari baju dan celana.

Berikut adalah kutipan wawancara mengenai makna yang


terkadung dalam warna-warna yang digunakan pada
pakaian adat tradisional Buton :

Di Buton warna yang digunakan terdiri dari beberapa


macam dan sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur
yang ada pada manusia. Pertama adalah Merah, yang
bermakna keberanian dan juga darah. Ini diwujudkan
pada pakaian atau kelengkapan yang digunakan. Sebagai
contoh, Destar (Kampurui ) ikat kepala, hanya digunakan
oleh
panglima
perang
yang
disebut
dengan Kapitalao.yang berarti keberanian yang dimiliki
seorang panglima perang dalam melindungi sultan dan
pembelaan terhadap ajaran agama maupun adat yang
berlaku di kesultanan Buton (Ya katakan Ya dan Tidak
katakan Tidak). Hitam, yang bermakna kedalaman
pemahaman atau kebijakan atau ketetapan hati dalam
memutuskan berbagai ketentuan dalam kehidupan

masyarakat. Putih,
melambangkan
kesucian
dan
ketulusan dalam bersikap maupun beribadah kepada Allah
SWT sebagai seorang hamba. Artinya jika menggunakan
warna ini maka pada hakikatnya adalah wujud kertaatan
seluruh komponen masyarakat dan lainnya kepada sultan
sebagai khalifah atau pembimbing dalam berbagai aspek
kehidupan. Hijau,
warna
ini
digunakan
karena
melambangkan kedewasaan sikap yang harus dimiliki
setiap manusia. Kuning, yang bermakna adanya
kemandirian dalam menjalankan ajaran-ajaran agama
islam berdasarkan Al-Quran dan Hadist.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat


disimpulkan bahwa warna-warna yang digunakan dalam
pakaian adat tradisional Buton hanya terdiri dari warna
hitam, merah, kuning, biru, hijau dan ungu. Umumnya baju
dan celana pakaian adat tradisional buton terdiri dari
warna dan motif yang sama. Warna-warna ini ternyata
mengandung beberapa arti bagi masyarakat Buton antara
lain yang berhubungan proses kejadian alam dan
manusia, serta arti yang menunjukkan sikap masyarakat
Buton itu sendiri serta menyatakan bahwa di Buton
terdapat penggolongan masyarakat.

Aksesoris

Disamping sebagai penambah keindahan dalam


berpenampilan, aksesoris yang digunakan dalam pakaian
adat tradisional Buton disamping berfungsi sebagai
pelengkap, juga menjadi simbol kebesaran dari masingmasing jenis pakaian adat Buton yang digunakan.
Aksesoris ini umumnya terdiri dari pengikat kepala, antinganting, akaluing, gelang tangan, cincin dan sebagainya.

Pada pakaian adat tradisional Buton terdapat beberapa


jenis aksesoris begitu juga makna yang terkandung di
dalamnya antara lain sebagai berikut :

(1) Panto
Panto adalah salah satu jenis aksesoris sekaligus sebagai
penghias ikat rambut wanita dalam setiap kali
menggunakan pakaian Buton. Bahnnya terbuat dari kain
yang diberi hiasan-hiasan motif bunga dengan berbagai
macam warna.

(2) Dali-Dali
Dali-Dali dalam bahasa Indonesia adalah anting-anting.
Anting-anting umumnya terbuat dari emas, perak. Namun
saat ini anting-anting yang digunakan dalam pemakaian

pakaian adat tradisional Buton dalam berbagai


kesempatan khusus umumnya terbuat dari kuningan
karena hanya berfungsi sebagai kelengkapan adat saja.

(3) Giwang / kalung


Giwang atau kalung dalam bahasa Buton disebut
sebagai Giwa (baca; giwva) terbuat dari emas, perak tau
kuningan.

(4) Cincin
Cincin dalam bahasa Buton disebut sebagai Singkaru.
Singkaru yang dimaksud adalah cincin yang berbentuk
bulat. Sedang dalam masyarakat Buton terdapat salah
satu jenis cincin yang bentuknya memanjang dan
dipasangkan pada ibu jari pemakainya dan disebut
sebagai Korokoronjo. Korokoronjo ini biasanya digunakan
oleh
wanita
pada
saat
ia
melaksanakan
adat Posuo (pingitan) dan perkawinan.

(5) Punto
Punto disamping digunakan sebagai kelengkapan dalam
berpakaian Kombo juga berfungsi sebagai sarung hias
bagi pemakainya dengan dasar warna hitam dan

motif Tawana
Kapa yang
dilekatkan
pada
pemukaan Punto tersebut, dan banyak ditaburi oleh
berbagai manik-manik sehingga nampak indah terlihat.

(6) Kampurui
Kampurui adalah jenis ikat hiasan pria yang berfungsi
sebagai pengikat kepala. Kampurui ini dalam masyarakat
Buton dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
fungsinya. Pertama, Kampurui Bewe Patawala, digunakan
oleh para pejabat kesultanan Buton. Kedua, Kampuri
Palangi. Digunakan oleh para pejabat maupun sultan
Buton sebagai kelengkapan kebesaran. Ketiga, Kampurui
Tumpa, Kampurui ini
boleh
dikatakan
menyerupai
bentuk Kampurui Bewe Patawala yang terdiri dari dua
warna dengan hiasan Pasamani (benang-benang emas
atau perak) pada sekeliling pinggirannya. Keempat, Bewe
Poporoki, digunakan oleh para pejabat khususnya yang
berhubungna dengan adat dan ajaran agama islam.

(7) Sulepe
Sulepe diartikan sebagai ikat pinggang. Berfungsi sebagai
penahan / pengikat baju atau celana pada bagian
pinggang yang sekaligus mengandung makna bahwa
pengukuh atau pengikat adat dan ajaran-ajaran agama.

Penjelasan lihat pada poin (5) pakaian baju Balahadada.


(Gambar Terlampir)

Makna yang ada pada aksesoris ini adalah sebagai


penghias atau penambah penampilan agar lebih indah
namun seperti ikat kepala, gelang tangan dan ikat
pinggang menandakan bahwa wanita Buton dalam
menjalankan kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat
dan agama yang harus dipatuhinya dan dijalankan dengan
hati ikhlas, kampurui merupakan kelengkapan pakaian
kebesaran para pria Buton.

Dapat disimpulkan bahwa aksesoris yang digunakan pada


pakaian adat tradisional Buton disamping berfungsi
sebagai penambah penampilan atau kelengkapan
kebesaran dalam berpakaian juga mengandung makna
yang intinya menjelaskan tentang proses kejadian alam
semesta dan manusia dan atau sebagai pengukuh ikatan
adat dan ajaran agama masyarakat suku Buton dalam
berkehidupan.

Kebudayaan Suku Buton


Suku Dunia ~ Suku Buton merupakan suku
asli daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
khususnya di Pulau Buton. Suku Buton juga
tersebar di beberapa daerah Sulawesi Tenggara
misalnya di Kota Kendari, Kabupaten Bombana
dan
daerah-daerah
lainnya.
Beberapa
pendapat menyatakan bahwa nenek moyang
dari orang-orang Buton adalah imigran yang
datang dari wilayah Johor sekitar abad ke-15
Masehi yang kemudian mendirikan kerajaan
Buton. Pada tahun 1960, dengan mangkatnya
sultan yang terakhir, kesultanan Buton konon
dibubarkan tetapi tradisi-tradisi istana itu
telah melekat erat pada orang-orang yang
mendiami wilayah tersebut.
Adat Istiadat Suku Buton

Adat suku Buton ada beberapa macam salah


satu diantaranya ialah Tandaki atau Posusu,
yaitu
upacara
yang
berkaitan
dengan
penyunatan (tandaki bagi anak laki-laki) dan
posusu(bagi
anak
perempuan).
Upacara
tandaki di peruntukan bagi anak laki-laki yang
telah masuk aqil baliq, yang melambangkan

bahwa anak laki-laki tersebut berkewajiban


untuk melaksanakan segala perintah dan
larangan yang diajarkan dalam Agama Islam.
Posusu adalah upacara khitanan bagi anak
perempuan sebagaimana tandaki bagi anak
laki-laki. Pada posusu biasanya di barengi
dengan mentindik (melubangi daun telinga)
sebagai tempat pemasangan anting-anting.
Tandaki dan Posusu biasanya di lakukan 1 hari
sebelum pelaksanaan Idul fitri maupun idul
adha.
Pakaian Adat Suku Buton

Pakaian
Balahadada
merupakan
pakaian
kebesaran yang dikenakan oleh kaum laki-laki
Buton baik bagi seorang bangsawan maupun
bukan bangsawan. Pakaian dengan warna

dasar hitam ini dijadikan sebagai perlambang


keterbukaan pejabat atau sultan terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan
masyarakat demi pencapaian kesejahteraan
dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan
jalan musyawarah untuk mufakat. Kelengkapan
pakaian Balahada terdiri atas destar, baju,
celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio
ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan
pasamani diseluruh pinggirannya. Bukan hanya
Balahadada saja yang diketahui sebagai
pakaian adat Suku Buton dan diketahui juga
ada beberapa macam pakaian adat Suku Buton
misalnya pakaian Ajo Bantea, Ajo Tandaki,
Pakeana Syara, Kambowa, Kaboroko, dan
Kombo.

Rumah Adat Suku Buton

Banua tada merupakan rumah tempat tinggal


suku Buton di Pulau Buton. Kata banua dalam
bahasa setempat berarti rumah sedangkan
kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat
diartikan sebagai rumah siku. Berdasarkan
status sosial penghuninya, struktur bangunan
rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu kamali,
banua tada tare pata pale, dan banua tada tare
talu pale. Kamali atau yang lebih dikenal
dengan nama malige berarti mahligai atau
istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan
dan keluarganya.

Peninggalan Suku Buton

Benteng
Keraton
Buton
adalah
bekas
peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa
disebut dengan Benteng Keraton Wolio.
Benteng buton berada di Pulau Buton (Kota
Bau-Bau) secara geografis merupakan kawasan
timur jazirah tenggara pulau Celebes/Sulawesi.
Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut
Keraton
Wolio
dibangun
pada
masa
pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645),
bernama Gafurul Wadudu. Benteng yang
berbentuk lingkaran ini panjang kelilingnya
sekitar 2.740 meter. Benteng Keraton Buton
mendapat penghargaan dari Museum Rekor
Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record

yang dikeluarkan bulan september 2006


sebagai benteng terluas di dunia dengan luas
sekitar 23,375 hektare. Benteng Keraton Buton
ini menjadi salah satu objek wisata bersejarah
di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Benteng ini
merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton.
Kesenian Suku Buton

Salah satu kesenian dari Suku Buton yang


paling terkenak ialah Tari Kalegoa. Tari Kalegoa
merupakan salah satu jenis tarian yang
dilakukan oleh gadis-gadis di Buton dengan
spesifikasi berupa Gerakan memakai sapu
tangan. Tarian berasal dari Kelurahan Melai
Kecamatan Betoambari sekitar 3 km dari pusat
Kota Bau-Bau.

Makanan Khas Suku Buton

Kasoami (soami) adalah makanan khas


sulawesi tenggara yang terbuat dari ubi. Proses
pembuatannya bagi sudah terbiasa tentu tidak
sulit. Tapi bagi pemula tentu memerlukan
kesabaran dalam
proses pembuatannya.
Kasoami sangat enak bila dinikmati dengan
ikan asin. Cara membuatnya, ubi yang sudah
dibersihkan diparut. Setelah itu ubi diperas.
Biasanya proses ini memerlukan peralatan
khusus untuk memerasnya. Peralatan ini
intinya berfungsi untuk bagaimana agar ubi
yang diperas itu cepat kering. Setelah
dipastikan ubi sudah kering maka proses

berikutnya adalah pekerjaan pengukusan.


Media pengukusan biasanya terbuat dari daun
kelapa yang sudah dianyam dan berbentuk topi
(piramida).
Proses
pengukusan
biasanya
berlangsung antara 20 sampai 30 menit.
Pengukusan biasanya baru selesai setelah
didapatkan tanda-tanda yang dilihat dari uap
yang keluar. Atau sudah dipastikan ubi yang
dikukus telah menyatu dan telah berubah
warna. Perubahan warna biasanya dari putih ke
warna
agak
kekuning-kuningan.
Referensi Saya :

http://fitinline.com/article/read/7-ragam-pakaian-adat-buton
https://iqbalizati.wordpress.com/2012/07/16/upacara-adat-masyarakat-buton/
http://indotravelguides.com/top-destination/benteng-keraton-wolio-buton-sulawesitenggara/

Anda mungkin juga menyukai