Anda di halaman 1dari 8

CERITA RAKYAT BANDUNG : ASAL USUL NAMA BANDUNG

Bandung adalah ibukota Provinsi Jawa Barat. Mengapa dinamakan kota


Bandung? Ada beberapa pendapat mengenai asal usul nama tersebut.

Nama Bandung berasal dari kata “bendung” atau “bendungan”. Dahulu


kala, Sungai Citarum terbendung oleh lava yang berasal dari Gunung
Tangkuban Perahu. Akibatnya, daerah antara Padalarang hingga
Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban
Parahu hingga Soreang (± 50 kilometer) terendam air dan menjadi
sebuah telaga besar yang kemudian dikenal dengan sebutan “Danau
Bandung” atau “Danau Bandung Purba”.

Menurut penelitian, Danau Bandung lama-kelamaan surut. Di bekas


daerah danau tersebut, berdirilah pemerintahan kabupaten Bandung.
Jadi, secara historis asal-muasal nama Bandung itu berasal dari Danau
Bandung.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata Bandung berasal dari nama


sebuah kendaraan air yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A.
Wiranatakusumah II. Kendaraan tersebut terdiri dari dua perahu yang
diikat berdampingan yang disebut perahu bandung. Saat itu, R.A.
Wiranatakusumah II melayari Citarum dalam mencari tempat
kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang
lama di Dayeuhkolot.

“Catatan dari Cerita Rakyat Bandung : Asal Usul Nama Bandung adalah
Bandung merupakan tempat penyelenggaraan ktt asia afrika untuk
pertama kali pada Tanggal 18 April 1955.”
Asal Muasal dan Sejarah Bandung
Oleh Vanni Hadiani, Sumber berita dari Berbagai Sumber

Hari ini merupakan hari jadi Kota Bandung yang ke-208. Pada 25 September 1810, Gubernur Jenderal,
Herman Willem Daendels mengeluarkan surat keputusan tentang pembangunan sarana dan prasarana.
Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan permukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Kemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.

Sejarah Kota Bandung


Sejarah Kota Bandung bermula dari Legenda Sangkuriang yang menceritakan bagaimana terbentuknya
danau Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu. Air dari danau Bandung menurut legenda, mulai
mengering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama Sanghyang Tikoro. Situ Aksan merupakan
daerah terakhir dari sisa-sisa Danau Bandung yang telah kering. Pada tahun 1970-an masih merupakan
danau tempat pariwisata, hingga saat ini sudah menjadi daerah perumahan untuk permukiman.

Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh pegunungan, dan ini menunjukkan
bahwa pada masa lalu kota Bandung memang merupakan sebuah telaga atau danau. Tahun 1896
Bandung belum ditetapkan menjadi kota dengam data penduduk sebanyak 29.382 orang, sekitar 1.250
orang berkebangsaan Eropa, mayoritas orang Belanda.

Pada 1 April 1906, Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal
J.B. van Heutsz dengan luas wilayah sekitar 900 ha. Tahun 1949, bertambah menjadi 8.000 ha.

Pada masa perang kemerdekaan, 24 Maret 1946, sebagian kota ini di bakar oleh para pejuang
kemerdekaan sebagai strategi perang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan
diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Kemudian, Kota Bandung ditinggalkan oleh sebagian
penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.

Asal muasal nama “Bandung”


Sedangkan, terdapat beberapa versi munculnya kata "Bandung" yang kini dijuluki juga sebagai Parijs Van
Java. Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh
lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga. Adapun legenda yang menceritakan
"Bandung" diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan
yang disebut perahu bandung. Perahu ini digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II,
untuk melayari Citarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan
ibukota yang lama di Dayeuhkolot.

Ada juga sejarah kata "bandung" dalam bahasa Indonesia, identik dengan kata "banding" berarti
berdampingan.

Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Sedangkan, berdasarkan filosofi Sunda, kata
"bandung" berasal dari kalimat "Nga-Bandung-an Banda Indung," yang merupakan kalimat sakral dan
luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam
tempat segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi yang
keberadaanya disaksikan oleh yang Maha Kuasa.

Julukan Kota Bandung


Selain sejarah mengenai Kota Bandung, kota ini juga memiliki beberapa julukan yang biasanya disebut
oleh masyarakat. Pertama yaitu dengan julukan Kota Kembang. Istilah kota kembang berasal dari
peristiwa yang terjadi tahun 1896 saat Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula,
Bestuur van de Vereninging van Suikerplanters yang berkedudukan di Surabaya memilih Bandung sebagai
tempat penyelenggaraan kongresnya yang pertama.

Tuan Jacob mendapat masukan dari Meneer Schenk agar menyediakan ‘kembang-kembang’ berupa
"noni cantik" Indo-Belanda dari wilayah perkebunan Pasir Malang untuk menghibur para pengusaha gula
tersebut.

Kongres tersebut dikatakan sukses besar. Dari mulut peserta kongres itu kemudian keluar istilah dalam
bahasa Belanda De Bloem der Indische Bergsteden atau ‘bunganya’ kota pegunungan di Hindia Belanda.
Dari situ muncul julukan kota Bandung sebagai kota kembang.

Adapun Kota Bandung dijuluki Parisj Van Java. Pada buku Otobiografi Entin Supriatin, berjudul Deritapun
Dapat Ditaklukan, disebutkan Bandung dikenal dengan sebutan Parijs Van Java atau Paris-nya Pulau Jawa.
Istilah Parijs van Java muncul karena pada waktu itu di Jalan Braga, terdapat banyak toko yang menjual
barang-barang produksi Paris, terutama toko pakaian. Toko yang terkenal diantaranya adalah toko mode
dan pakaian, Modemagazinj ‘au bon Marche’ yang menjual gaun wanita mode Paris.

Selain itu, terdapat restoran makanan khas Paris Maison Bogerijen yang menjadi tempat santap para
pejabat dan pengusaha Hindia Belanda atau Eropa. Muncullah julukan lain bagi kota Bandung sebagai
Parijs van Java.
Sebutan Bandung Lautan Api juga sering disebut-sebut sebagai julukan untuk Kota Bandung. Pada Maret
1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah
dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Bandung sengaja
dibakar oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakannya lagi.

Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu.
Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang
Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk
memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum
Inggris.

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang
wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari
bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung
yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi
judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul
berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

Kini julukan Bandung Lautan Api digunakan sebagai nama stadion bertaraf internasional di kawasan
Gedebage, wilayah timur kota Bandung: Stadion Gelanggang Olahraga Bandung Lautan Api (GBLA).***
Permainan Tradisional Engklek
Engklek adalah permainan anak tradisional yang populer di Indonesia, khususnya
di masyarakat pedesaan. Permainan ini dapat ditemukan di berbagai wilayah di
Indonesia, baik di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Di setiap
daerahnya dikenal dengan nama yang berbeda. Permainan Sunda manda biasanya
dimainkan oleh anak-anak, dengan dua sampai lima orang peserta. Di Jawa,
permainan ini disebut engklek dan biasanya dimainkan oleh anak-anak
perempuan.

Permainan engklek ini sangat baik untuk anak – anak dikarenakan anak akan
belajar bersosialisasi dan juga baik untuk kesehatan karena permainan ini cukup
banyak gerakan sehingga mengurangi peningkatan obesitas pada anak.

Jumlah Pemain:
Jumlah pemain dalam permainan ini adalah dua sampai lima orang.

Peralatan:

Gacuk/pecahan genting

Kapur/tepung untuk garis batas

Lapangan Untuk Permainan Tradisional Engklek

Untuk dapat memainkannya, para pemain harus memainkan engklek di halaman.


Permainan ini memang sebuah permainan outdoor atau permainan yang harus
dilakukan di luar rumah. Memerlukan sebuah pekarangan kecil untuk dapat
memainkan permainan tradisional engklek. Diperlukan sebuah tanah pekarangan
yang datar dengan ukuran kurang lebih 3 – 4 m2. Bisa di atas tanah, pelataran
ubin, ataupun aspal. Berikut ini gambar lapangan permainan engklek.

Permainan Engklek
Cara Bermain:

Para pemain harus melompat dengan menggunakan satu kaki di setiap kotak-
kotak / petak-petak yang telah digambarkan sebelumnya di tanah.

Untuk dapat bermain, setiap anak harus mempunyaigacuk yang biasanya berupa
pecahan genting / kreweng, keramik lantai, ataupun batu yang datar.

Gacuk dilempar ke salah satu petak yang tergambar di tanah, petak dengan gacuk
yang sudah berada diatasnya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap pemain,
jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki
mengelilingi petak-petak yang ada.

Pemain tidak diperbolehkan untuk melemparkan gacuk hingga melebihi kotak


atau petak yang telah disediakan. Jika ada pemain yang melakukan kesalahan
tersebut maka pemain tersebut akan dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain
selanjutnya.

Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan gacuk


dengan cara membelakangi engkleknya, jika gacuk jatuh tepat pada salah satu
petak maka petak tersebut akan menjadi daerah kekuasaan pemain. Kemudian
pada petak tersebut, pemilik sawah boleh menginjak petak dengan dua kaki,
sedangkan pemain lain tidak boleh menginjak petak tersebut selama permainan.
Pemain yang memiliki sawah paling banyak adalah pemenangnya.

Manfaat Permainan Engklek

Manfaat yang diperoleh dari permainan engklek ini antara lain adalah:

Kemampuan fisik menjadi kuat karena dalam permainan engklek di haruskan


untuk melompat – lompat.

Mengasah kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan mengajarkan


kebersamaan.

Dapat menaati aturan – aturan permainan yang telah disepakati bersama.


Mengembangkan kecerdasan logika. Permainan engklek melatih untuk berhitung
dan menentukan langkah-langkah yang harus dilewatinya

Dapat menjadi lebih kreatif. Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh
para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang, benda-benda, atau
tumbuhan yang ada di sekitar para pemain. Hal itu mendorong mereka untuk
lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan.

Selain permainan engklek, bangsa Indonesia juga mempunyai banyak permainan


yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu diantaranya adalah Fahombo
Batu.

Tradisi lompat batu berasal dari suku Nias. Suku Nias berasal dari Pulau Nias, yang
terletak di sebelah barat Pulau Sumatera. Lompat batu atau yang dikenal dengan
nama “Fahombo Batu” merupakan ciri khas masyarakat Nias.

Tradisi melompati batu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, khususnya pemuda.
Mereka harus melompati susunan batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm.
Tradisi ini bertujuan untuk menunjukkan kekuatan dan ketangkasan para pemuda
yang melakukannya.

Seseorang yang berhasil melakukan tradisi ini dianggap hebat, baik bagi dirinya,
maupun keluarga dan masyarakat di desa itu.

Anda mungkin juga menyukai