Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

BEBERAPA PERSPEKTIF
KAJIAN SEJARAH LINGKUNGAN

2.1 Pendahuluan

2.1.1 Deskripsi Singkat


Bab ini akan memberi mahasiswa bekal untuk memahami berbagai
perspektif historiografi lingkungan. Survei historiografis ini bersifat
makro dan dibuat berdasar kajian-kajian akademis yang telah
dilakukan di negara-negara lain. Ilustrasi dari Indonesia relatif
terbatas karena di Indonesia penulisan sejarah lingkungan belum
banyak

2.1.2 Manfaat
Manfaat bagi mahasiswa setelah mempelajari bab ini adalah
diperolehnya pemahaman tentang berbagai perspektif sejarah
lingkungan. Pemahaman ini akan memberi inspirasi dan sekaligus
model yang dapat dijadikan acuan bagi mereka untuk menyeleksi isu
dan menjadikannya sebagai fokus kajian sejarah lingkungan sesuai
dengan minat pribadi.

2.1.3 Tujuan Instruksional Umum dan Khusus


Di dalam bab ini disajikan pokok bahasan perspektif penelitian sejarah
lingkungan yang telah ada dalam arena akademis.

2.1.3.1 Tujuan Instruksional Umum:


Agar mahasiswa mendapat pengertian dan mampu memetakan
berbagai perspektif kajian sejarah lingkungan berikut contoh-
contohnya.

21
2.1.3.2 Tujuan Instruksional Khusus:
Bab ini ditujukan agar mahasiswa dapat menjelaskan:
1. Pengelompokan historiografi lingkungan yang telah dibuat para
akademisi berdasar perspektif yang digunakannya.
2. Pokok pembahasan dalam sejarah lingkungan dari perspektif
perubahan lingkungan beserta contoh-contoh yang ada.
3. Pokok pembahasan sejarah lingkungan dari perspektif problem
atau permasalahan lingkungan dan contoh-contoh kajian.
4. Pokok pembahasan sejarah lingkungan dari perspektif politik
lingkungan.

2.2 Penyajian Materi


2.2.1 Pengantar
Sejarah lingkungan merupakan cabang kajian sejarah yang relatif baru. Kajian ini
termasuk sebagai bagian dari gerakan pembaharuan dalam mengkaji masa lampau.
Mereka yang tergabung dalam gerakan pembaharuan historiografis ini melacak
lebih dalam lagi, bukan hanya masyarakat bawah yang menyusun dan ada di balik
permukaan lapisan politik. Sejarah lingkungan bergerak lebih dalam lagi sebagai
upaya untuk menjadikan disiplin sejarah lebih inklusif dalam segi narasi dan
analisis dibanding dengan pemaparan historiografis yang biasa dijumpai selama
ini. Lebih penting lagi, sejarah lisan menyanggah asumsi konvensional bahwa
pengalaman manusia terpisah dari realitas-realitas lingkungan alam, bahwa
manusia merupakan spesies yang berada di atas alam, serta dampak ekologis
perbuatan manusia pada masa lampau dapat diabaikan. Manusia telah cukup lama
berada dan hidup di atas planet bumi, namun sebagaimana tampak dalam kajian-
kajian sejarah konvensional, manusia belum sepenuhnya menyadari kenyataan diri
sebagai bagian dari planet ini. Sejarah lingkungan, dengan demikian, juga
bermaksud untuk mengakhiri sikap naif semacam ini (Worster, 1988).
Menurut Worster (1988), gagasan tentang sejarah lingkungan pertama kali
muncul sekitar 1970-an ketika berbagai konferensi yang membahas berbagai
dilema global sedang berlangsung serta gerakan environmentalis populer
mendapatkan momentumnya dalam beberapa abad. Sejarah lingkungan
diluncurkan ketika berlangsung penilaian kembali atas budaya dan pembaharuan

22
berskala global. Lama setelah minat populer atas persoalan lingkungan merosot
karena isu-isu lingkungan menjadi pelik dan sulit mendapatkan jalan pemecahan,
minat akademis terus meluas, semakin canggih dan kompleks. Sejarah lingkungan
diluncurkan pengembangannya dengan komitmen politik yang kuat. Tujuan utama
yang mendasarinya adalah dalam rangka memperdalam pemahaman akademis
tentang bagaimana manusia sebenarnya dipengaruhi lingkungan alamnya
sepanjang masa, dan bagaimana mereka melalui berbagai aktivitas dan gagasannya
mempengaruhi lingkungan serta apa dampak yang mereka timbulkan.
Meskipun masih merupakan bidang kajian yang relatif muda, historiografi
sejarah lingkungan di tingkat global ternyata telah memperlihatkan kecenderungan
yang cukup beragam. Secara umum pengkajian sejarah lingkungan yang dilakukan
dapat dikategorikan dalam 4 kelompok besar, yakni 1) Permasalahan lingkungan,
2) Perubahan lingkungan, 3) Pandangan tentang lingkungan, dan 4) Politik
lingkungan. Secara lebih detil dijelaskan dalam sub-bab berikut.

2.2.2 Permasalahan Lingkungan


Kehadiran manusia dengan kegiatan yang dilakukan untuk menopang kehidupan
tanpa dapat dihindarkan akan memunculkan permasalahan terhadap lingkungan
hidup mereka. Jumlah penduduk, pemanfaatan sumberdaya, dan teknologi
merupakan faktor penting yang berpengaruh besar terhadap frequensi dan besaran
permasalahan lingkungan yang dihadapi. Berbagai aktivitas manusia menyebabkan
misalnya deforestasi, punahnya satwa dan tanaman, kebakaran hutan, erosi, polusi
(tanah, air dan udara), bencana banjir dan kekeringan. Namun demikian, harus
diakui manusia bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan bencana alam dan
lingkungan (gempa, letusan gunung, dan tornado). Alam sendiri bekerja dan ikut
memainkan peranan dan memberi kontribusi besar terhadap persoalan lingkungan.
Namun, kajian sejarah lingkungan lebih berurusan dengan keterlibatan dan
peranan manusia dalam proses munculnya permasalahan lingkungan serta
tanggapan untuk memitigasi dampak permasalahan tersebut. Harus diingat pula
fenomena alam seperti banjir, gempa, letusan gunung, bakteri baru baru disadari
menjadi masalah yang harus dipecahkan setelah ditempatkan dalam konteks
kepentingan dan keterkaitan dengan keberadaan manusia.

23
Permasalahan lingkungan hidup di negara-negara maju berbeda dengan di
negara-negara berkembang. Di negara maju pemasalahan lingkungan pada
umumnya diakibatkan oleh berbagai kegiatan industri modern yang menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Berbagai akibat yang ditimbulkan tersebut di
antaranya pencemaran udara, air, tanah, dan hujan asam; efek gas rumah kaca;
kebocoran reaktor nuklir, serta kasus limbah beracun yang mencemari lingkungan.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, permasalahan lingkungan pada
umumnya muncul sebagai akibat kemiskinan yang kronis yang berdampak pada
kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan tersebut di antaranya kerusakan
hutan, erosi tanah, degradasi lahan, kepunahan satwa liar, kepunahan tumbuh-
tumbuhan (flora), penurunan stok ikan dan udang, serta pencemaran atau polusi
yang diakibatkan limbah rumah tangga dan sebagian juga kegiatan pabrik
(Iskandar, 2001:1)
Kajian yang dilakukan B.W. Clapp (1994) merupakan ilustrasi penting
penulisan sejarah lingkungan dengan perspektif permasalahan lingkungan di
negara maju. Dengan menjadikan revolusi industri di Inggris sebagai titik tolak,
Clapp melakukan analisis secara mendalam persoalan polusi atau pencemaran
yang diakibatkan berbagai kegiatan industri dan pengurasan berbagai kekayaan
sumberdaya alam yang diakibatkan revolusi ini. Clapp lebih jauh juga
mendiskusikan berbagai bentuk tanggapan yang muncul dalam ranga memecahkan
problema yang dihadapi dan mengawetkan lingkungan dari kerusakan. Clapp
menunjukan dengan jelas bahwa dikeluarkannya regulasi-regulasi politik
merupakan bagian integral dalam rangka pemecahan masalah yang ditimbulkan
oleh revolusi industri, selain berbagai bentuk inovasi teknologis, serta pencarian
alternatif sumberdaya alam yang baru.
Di Indonesia sejarah lingkungan dengan orientasi problem
direpresentasikan misalnya dalam karya Luc Nagtegaal (1995) tentang polusi di
perkotaan Jawa. Periode pembahasan tulisan ini adalah masa kolonial hingga
pertengahan abad ke-19. Juga termasuk dalam model ini adalah tulisan Robert
Cribb (1990) dan Anton Lucas (1998). Tulisan Cribb mengupas kaitan dinamis
antara perkembangan ekonomi, kelompok penekan, dan kontrol birokrasi terhadap
polusi, sedangkan tulisan Anton Lucas tentang polusi sungai selama periode Orde
Baru, yang memperlihatkan peran aktif kelompok lingkungan dalam menekan

24
pemerintah untuk memberikan berbagai pemecahan atas masalah polusi. Tulisan
Colin MacAndrews (1994) menunjukkan pemanfaatan isu-isu lingkungan oleh
pemerintah Orde Baru dan berbagai kelompok sosial untuk tujuan dan kepentingan
mereka sendiri.
Sebuah karya sejarah lingkungan yang mendalam mengenai problem banjir
dan pengendaliannya dipublikasikan baru-baru ini oleh Restu Gunawan (2010).
Gunawan memperlihatkan bahwa perkembangan spasial kota Jakarta secara pesat
dibarengi dengan hilangnya lokasi-lokasi penampungan air sehingga memperbesar
aliran permukaan dan ancaman banjir. Upaya penanganan yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi permasalahan mengalami kegagalan karena terlalu
terlambatnya pembangunan infrastruktur yang diperlukan karena kurangnya dana.
Ketika berhasil direalisasikan, program pengendalian sudah tidak memadai lagi
karena ancaman banjir sudah jauh lebih besar skala dan intensitasnya. Realisasi
program pengendalian yang tidak tepat waktu membuat target pemecahan tidak
tercapai atau dengan kata lain program tersebut too little dan too late dibanding
banjir yang semakin parah.
Berkaitan dengan penulisan sejarah lingkungan dengan orientasi pada
permasalahan lingkungan, Frank Uekoetter (1998) telah mengembangkan sebuah
model pendekatan organisasional. Dalam model ini Uekoetter mengarahkan
sejarawan pada proses pengorganisasian jawaban-jawaban terhadap permasalahan
lingkungan yang dipersepsikan. Dalam perspektif ini definisi problem lingkungan
selalu berasal dari pandangan atas perbedaan antara kondisi objektif lingkungan
dengan nilai-nilai dan norma-norma politik, ekonomi dan kultural tertentu.
Pendekatan organisasional lantas memfokus pada proses-proses politik yang
mengikuti persepsi atas permasalahan lingkungan, menganalisis bagaimana
definisi problem ditransformasikan dalam tindakan-tindakan reformatif.

2.2.3 Perubahan Lingkungan


Dengan berbagai aktivitas kehidupan yang dilakukan, manusia menjadi agen yang
mengubah lingkungan. Lingkungan yang alami dan asli akan berubah sebagai hasil
campur tangan manusia. Perubahan yang diakibatkan kegiatan manusia dapat
terjadi dalam bentuk ekstrem dan radikal hingga tingkatan yang terbatas.
Semuanya tergantung pada intensitas dan skala kegiatan manusia. Dalam wajah

25
yang ekstrem perubahan misalnya berlangsung dari wilayah yang didominasi
dengan wajah hutan asli menjadi wilayah dengan dominasi karakter fisik seperti
kompleks pertokoan, pusat industri, gedung-gedung pencakar langit. Dalam skala
yang lebih terbatas misalnya berwujud peralihan dari kawasan hutan asli menjadi
kawasan hutan produksi (buatan) misalnya jati, mahoni, dan bambu.
Salah satu contoh penulisan sejarah lingkungan dengan tema pokok
perubahan lingkungan misalnya diberikan oleh Ann Young (2000). Studi ini
mengupas proses dan perubahan jangka panjang yang membentuk wajah
lingkungan Australia kontemporer mencerminkan perspektif ini. Young
berargumentasi bahwa pendirian pemukiman Eropa telah mengubah secara drastis
lanskap Austraslia dan berdampak pada lingkungan. Menguji berbagai bentuk
keterlibatan manusia dengan lingkungan dari pemanfaatan sumberdaya hingga
konservasi, Young menyimpulkan bahwa pertanian merupakan elemen paling
menonjol yang membentuk lanskap Australia dan mendorong perdebatan luas
mengenai penggunaan tanah dan isu-isu strategi kesinambungan (sustainable
strategy issues) khususnya melawan kepentingan konservasi dan kehutanan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah karya Madhav Gadgil dan
Ramachandra Guha (1993). Dalam kajian ini Gadgil dan Guha membedakan empat
moda penggunaan sumberdaya: peramu dan pertanian berpindah, pastoralisme,
pertanian menetap, dan industri. Gadgil and Guha berargumen bahwa kolonialisme
Inggris merupakan titik balik dalam sejarah lingkungan India, membawa konsepsi-
konsepsi baru dalam hubungan manusia-sumberdaya alam: manusia sebagai
penakluk dan agen terpisah dari alam, pengawaman alam (desacralizing nature),
dan mekanisme pasar dalam distribusi sumberdaya.
Juga menjadi bagian perspektif perubahan lingkungan adalah studi-studi
mengenai dampak manusia terhadap lingkungan. Sebuah studi klasik yang
menyoroti peranan manusia sebagai pengubah lingkungan adalah karya ahli
geografi, George Perkins Marsh yang diterbitkan pertama kali pada 1864. Sekitar
seratus tahun kemudian diedit oleh David Lowenthal dan diterbitkan ulang pada
1965. Juga dalam kategori ini adalah karya bunga rampai oleh William L. Thomas
(1955) yang menyoroti peranan manusia dalam mengubah wajah bumi. Sejumlah
artikel dalam kelompok ini baru-baru ini bermunculan. Mengenai Asia Tenggara
masa pra-kolonial, Anthony Reid (1995) mengemukakan bahwa perkembangan

26
penanaman padi sawah, pertanian komersial, dan eskploitasi hutan menyebabkan
hilangnya penutup hutan dan habitat mamalia besat. Tulisan Jeya Kathirithamby-
Wells (1997) mengkaji dampak kegiatan-kegiatan manusia pada populasi mamalia
di Malaysia.
Studi-studi yang lebih komprehensif juga baru-baru ini mulai muncul.
Karya Hans Knapen (2001) mengenai sejarah lingkungan Kalimantan Tenggara.
Karya ini menggarisbawahi dampak manusia terhadap lingkungan dan adaptasi-
adaptasi mereka terhadap tekanan-tekanan lingkungan yang meningkat saat daya
dukung lingkugan terlampaui. Karya penting lainnya dihasilkan oleh David Henley
(2005). Karya tentang Sulawesi Utara dan Tengah ini membahas secara mendalam
kompleks kaitan yang melibatkan proses-proses demografis dan ekonomis dengan
realitas lingkungan yang berubah.
Singkatnya, perspektif perubahan dalam historiografi lingkungan
menekankan manusia sebagai agen (human agency) atau penggerak perubahan
realitas lingkungan pada masa lampau. Peranan manusia diterjemahkan dalam
realitas fisik alamiah melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dari kegiatan
pertanian, ekploitasi sumberdaya alam (hutan, tambang, perairan), hutan produksi
monokultur, dan pembangunan pemukiman, industri, hingga terbentuknya lanskap
perkotaan yang secara radikal mengubah lingkungan fisik alamiah. Di dalam
perspektif ini dapat dikaji pula berbagai respons dalam bentuk adaptasi terhadap
realitas lingkungan yang telah berubah.

2.2.4 Pandangan terhadap Lingkungan


Sejarah lingkungan juga telah ditelaah dari perspektif pandangan dan nilai-nilai
kultural. Pandangan manusia terhadap lingkungan secara sederhana sering
dibedakan atas dua golongan, yakni pandangan imanen (holistik) dan transeden.
Menurut pandangan holistik, manusia mempunyai kemampuan memisahkan diri
dari lingkungan biofisik di sekitarnya, seperti hewan, tumbuhan, sungai dan
gunung dan unsur-unsur lainnya. Namun demikian manusia masih menganggap
dan menempatkan diri sebagai bagian integral dalam konteks hubungan fungsional
dengan faktor-faktor biofisik. Sebaliknya, menurut pandangan transenden,
manusia terpisah dari lingkungannya meskipun secara ekologis merupakan bagian
dari lingkungannya. Dalam pandangan ini, lingkungan hanya dianggap sebagai

27
sumber daya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besar kemampuan demi
kepentingan manusia. Pandangan transenden pada umumnya berkembang luas di
masyarakat barat, sedangkan pandangan imanen hidup dan berkembang di
masyarakat timur yang masih "tradisional" (Iskandar, 2001:11).
Salah satu contoh klasik tentang pandangan masyarakat timur terhadap
lingkungan adalah kumpulan tulisan oleh P.A. Stott (1978). Karya ini merupakan
eksplorasi nilai-nilai dan persepsi kultural pribumi tentang lingkungan dan
permasalahannya dalam konteks negara-negara Asia Selatan dan Tenggara. Dalam
imajinasi populer, sering dibedakan dua nilai dan sikap kultural terhadap alam:
destruktif dan harmonis. Dikotomi ini biasanya diterapkan dalam konteks
perbandingan Masyarakat Timur dan Masyarakat Barat, sebagaimana
dikemukakan dalam tulisan To Thi Anh (1985), serta tulisan Clarence J. Glacken
(1970). Validitas dikotomi perbedaan nilai Barat dan Timur belum lama ini
dipertanyakan oleh Ole Bruun dan Arne Kalland (1995), yang memandang bahwa
model semacam ini lebih merupakan mitos ketimbang relitas. Menunjuk pada
kemunculan permasalahan lingkungan diantara masyarakat-masyarakat Asia yang
konon berorientasi pada alam, Bruun dan Kalland menegaskan sifat partikularistis
dan pragmatis manusia terhadap alam ketimbang diatur nilai-nilai normatif.
Sejumlah studi merepresentasikan pendekatan dengan orientasi sikap dan
nilai kultural tetapi dengan penekanan berbeda, yakni pada proses pembentukan
kesadaran lingkungan. Dua contoh penting pendekatan semacam ini diberikan oleh
Richard Groves (1995) dalam karya berjudul, Green Imperialism dan karyanya
yang lain, Ecology, Climate and Empire (Grove, 1998). Richard Groves
berargumen bahwa pemikiran lingkungan diantara negara-negara kolonial tumbuh
sejajar dengan ekspansi kolonial. Ekspansi ini membawa mereka pada kesadaran
baru tentang lingkungan yang berbeda diantara negara-negara jajahan dan
memperkuat kepekaan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan
kolonialisme. Peranan ilmuwan kolonial dalam menumbuhkan kesadaran dan
kepekaan terhadap permasalahan lingkungan seperti degradasi hutan, erosi tanah,
dan kepunahan species adalah krusial. Meskipun sedikit jumlahnya, para ilmuwan
kolonial, kebanyakan ahli botani dan ilmuwan alam (naturalis), mampu
menanamkan pengaruh dalam kebijakan-kebijakan kolonial dengan memberikan
pengetahuan dan mengemas kerusakan lingkungan dan kebutuhan akan konservasi

28
lingkungan dalam pertanyaan mendasar menyangkut krisis kolonial dan
keberlanjutan hidupnya.

2.2.5 Politik Lingkungan


Politik lingkungan (environmental politics) dan ekologi politik (political ecology)
adalah dua kosakata yang mempunyai kedekatan makna. Karena begitu dekatnya
keduanya tidak jarang dianggap identik sehingga sering dipergunakan secara
bergantian. Akan tetapi, pandangan semacam ini sebenarnya tidak tanpa kritik dan
keberatan. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara politik lingkungan dan
ekologi politik. Politik lingkungan merupakan bidang kajian ilmu politik yang
diarahkan pada masalah lingkungan. Kajian politik lingkungan berurusan dengan
dampak isu-isu lingkungan terhadap berbagai proses politik di tingkat formal, serta
peran negara dalam manajemen lingkungan. Menurut Bryant dan Bailey (2001),
politik lingkungan hanya mempertimbangkan lingkungan sejauh aspek lingkungan
masuk dan mempengaruhi proses politik formal. Pengertian ini membuat politik
lingkungan sering dianggap lebih dekat dan mewakili sudut pandang teknosentris
daripada sudut pandang ekosentris.
Bagi Blaikie dan Brookfield (1987), ekologi politik merupakan kombinasi
antara kajian ekologi dan ekonomi politik. Ekologi politik mempelajari saling
bergantung dan berkaitnya unit politik dengan lingkungan hidup, khususnya yang
mengenai konsekuensi politik yang muncul dari adanya perubahan lingkungan.
Sementara itu, Bryant dan Bailey (2001) lebih memberikan tekanan pada ekologi
politik sebagai kajian yang menelaah sumber, kondisi dan implikasi politis dari
perubahan lingkungan hidup. Watts (2000) memandang ekologi politik sebagai
kajian tentang relasi yang bersifat kompleks yang melibatkan masyarakat dan
lingkungan hidup melalui analisis atas akses dan kontrol terhadap sumber daya
alam, termasuk berbagai implikasinya terhadap kesehatan lingkungan dan
keberlanjutan kehidupan.
Forsyth (2003) memandang ekologi politik tidak lain adalah kelanjutan dari
kajian ekologi budaya (cultural ecology). Ekologi politik menempatkan persoalan
sumberdaya alam sebagai isu sosial-politik. Di dalamnya dikaji berbagai aspek
politik yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Dalam ekologi politik berlaku
sebuah asumsi dasar bahwa perubahan lingkungan tidak netral sifatnya, melainkan

29
merupakan suatu bentuk lingkungan yang dipolitikkan (politized environment)
yang mana di dalamnya terlibat banyak aktor dengan kepentingan pada segala
tingkatan, dari lokal, regional, hingga global.
Salah satu model kajian politik lingkungan adalah mengupas proses
dinamis bagaimana kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan tertentu
membawa isu-isu lingkungan ke dalam agenda politik, proses perumusan
kebijakan dan langkah-langkah konservasi. Robert Cribb mengemukakan bahwa
bukti-bukti ilmiah, kepentingan non-ekonomi dan generasi mendatang
mempengaruhi perumusan kebijakan konservasi, yang dalam prosesnya tekanan-
tekanan luar memainkan peranan penting. Cribb (1988, 1997) juga
menggarisbawahi pengaruh konservasi kolonial dalam kebijakan konservasi
Indonesia hingga pertengahan 1970. Contoh yang lebih mutakir diberikan oleh
David Nicholson (2010). Karya ini menganalisis penerapan kerangka legal dan
efektifitas litigasi dan mediasi dalam memecahkan persengketaan lingkungan di
Indonesia. Karya ini memberi ikhtisar mengenai kerangka legal lingkungan dan
penafsirannya oleh pengadilan Indonesia, serta contoh-contoh kasus litigasi dan
mediasi lingkungan dan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non yuridis
yang telah mempengaruhi keberhasilan pendekatan-pendekatan tersebut dalam
memecahkan perkara dan persengketaan lingkungan.

2.2.6 Rangkuman
Sejarah lingkungan muncul sebagai sebuah pembaharuan historiografis dengan
secara struktural melihat hubungan dan pengaruh timbal balik antara manusia
dengan lingkungan sekitarnya pada masa lampau. Penelusuran atas berbagai karya
dalam historiografi lingkungan menunjukkan terdapat empat perspektif utama
kajian di bidang ini. Pertama, perspektif perubahan dalam historiografi lingkungan,
yang menekankan manusia sebagai agen (human agency) atau penggerak
perubahan realitas lingkungan pada masa lampau. Kedua, perspektif
problem/permasalahan dalam historiografi lingkungan yang menekankan manusia
sebagai pembawa dampak atau sumber munculnya berbagai permasalahan
lingkungan. Ketiga, perspektif kultural dan sikap terhadap lingkungan dalam
historiografi lingkungan yang menonjolkan sistem nilai yang mendasari sikap dan
pandangan mengenai lanskap lingkungan fisik (hutan, gunung, pohon, air, laut).

30
Keempat, perspektif politik dalam historiografi lingkungan, yang menekankan
pembahasan mengenai proses politik dan dinamika antara berbagai kekuatan dan
kelompok dalam menyikapi berbagai isu lingkungan yang muncul dalam kancah
publik dan politik

2.3 Penutup
2.3.1 Tes Formatif
a Apakah sejarah lingkungan dapat dipandang sebagai sebuah pembaharuan
historiografis?
b Apakah yang menjadi fokus pembahasan dalam historiografi lingkungan
yang menyoroti perubahan lingkungan?
c Berikan ilustrasi historiografi lingkungan yang berorientasi pada problem
lingkungan?
d Jelaskan permasalahan yang dikaji dalam historiografi lingkungan dengan
perspektif politik lingkungan.

2.3.2 Kunci Jawaban Tes


a. Sejarah lingkungan dapat dianggap sebagai sebuah pembaharuan
historiografis karena dua alasan pokok. Pertama, sejarah lingkungan
termasuk kajian yang baru belakangan ini muncul dalam kancah akademis,
sekitar 1970-an. Kehadirannya lebih belakangan dibanding kajian
historiografis lain, misalnya sejarah politik yang telah ada sejak jaman
Yunani Romawi. Kedua, alasan yang jauh lebih penting, sejarah lingkungan
mengkaji masa lampau dalam konteks hubungan manusia dengan
lingkungannya, bukan sebatas hubungan antara manusia dalam kancah
politik, sosial atau ekonomi. Sejarah lingkungan merepresentasikan upaya
untuk menjadikan disiplin sejarah lebih inklusif dalam segi narasi dibanding
dalam bentuk tradisionalnya. Sejarah lingkungan menyanggah asumsi
konvensional bahwa pengalaman manusia terpisah dari realitas-realitas
lingkungan alam, manusia terpisah dan merupakan spesies super-natural,
serta dampak ekologis perbuatan manusia pada masa lampau dapat
diabaikan. Manusia telah lama hidup di atas planet bumi, namun
sebagaimana tampak dalam kajian-kajian sejarah konvensional, manusia

31
belum sepenuhnya menyadari menjadi bagian dari planet. Sejarah
lingkungan bermaksud mengakhiri sikap naif semacam ini. Sejarah
lingkungan dikembangkan dalam rangka memperdalam pemahaman
akademis tentang bagaimana manusia sebenarnya dipengaruhi lingkungan
alamnya sepanjang masa, dan bagaimana mereka melalui berbagai aktivitas
dan gagasannya mempengaruhi lingkungan serta apa dampak yang mereka
timbulkan.

b. Historiografi lingkungan dengan fokus perubahan lingkungan menekankan


peran manusia sebagai pengubah lingkungan atau agen perubahan
lingkungan. Peran ini diwujudkan dalam beragam aktivitas dari
pembentukan pemukiman, penciptaan area pertanian dan perkebunan,
ekploitasi sumberdaya hutan, sumberdaya air hingga situs industri dan
perkotaan. Melalui kegiatan yang dilakukan manusia pada masa lampau
mengubah lingkungan natural dan menggantikannya dengan realitas
lingkungan yang baru baik sebagian maupun secara radikal berbeda dengan
lingkungan yang asli. Historiografi lingkungan lebih berurusan dengan
human-made environmental change, bukan perubahan yang disebabkan
kekuatan-kekuatan alamiah.

c. Historiografi lingkungan berorientasi pada problem lingkungan berurusan


terutama dengan dampak negatif kegiatan manusia Salah satu contoh
penting adalah karya B.W. Clapp (1994). Dengan menjadikan revolusi
industri di Inggris sebagai titik tolak, Clapp menganalisis secara mendalam
persoalan polusi dan pengurasan sumberdaya alam yang diakibatkan
revolusi ini, serta berbagai tanggapan untuk memecahkan problema yang
muncul dan mengawetkan lingkungan. Di dalamnya dibahas berbagai upaya
pemecahan dari regulasi-regulasi, inovasi-inovasi teknologis, hingga
pencarian alternatif sumberdaya alam yang baru.

d. Historiografi lingkungan dengan perspektif politik lingkungan mengkaji


proses dinamis dengan mana kelompok-kelompok dan kepentingan-
kepentingan tertentu membawa isu-isu lingkungan ke dalam agenda politik,

32
proses perumusan kebijakan dan langkah-langkah konservasi. Perspektif ini
membahas bagaimana permasalahan lingkungan ditransformasikan menjadi
isu politik dan wacana publik untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Permasalahan tersebut bahkan sebagian sebenarnya merupakan fenomena
lama dan alamiah, namun kelompok-kelompok tertentu kemudian mampu
mengusungnya dan membawa ke arena publik. Kepunahan satwa liar
misalnya dapat berlangsung tanpa campur tangan manusia (contoh
dinosaurus) dan tidak muncul menjadi isu politik. Akan tetapi, melalui
karya Robert Cribb dapat dilihat bagaimana ancaman terhadap lingkungan
alam dan satwa liar menjadi isu publik, melahirkan pertarungan kepentingan
antar berbagai kelompok dan melahirkan kebijakan konservasi pada masa
kolonial dan Indonesia merdeka. Demikian pula, karya Nicholson memberi
ilustrasi mengenai pertarungan dan konflik antara berbagai dalam
permasalahan lingkungan, serta bagaimana pertarungan tersebut diupayakan
pemecahannya dalam melalui kerangka dan proses hukum.

2.3 Daftar Pustaka


Blaikie, P. M. dan H. C. Brookfield. 1987. Land Degradation and Society.
London: Methuen.

Clapp, B.W.1994. An Environmental History of Britain since the Industrial


Revolution. London: Longman.

Bryant, L. Raymond dan Sinead Bailey. 2001. Third World Political Ecology.
London: Routledge.

Cribb, Robert. 1990. “The Politics of Pollution Control in Indonesia”, Asian


Survey, 30, hlm. 1123-1135.

Cribb, Robert. 1997. “Birds of Paradise and Environmental Politics in Colonial


Indonesia, 1890-1931”, dalam Peter Boomgaard, Freek Colombijn dan
David. E.F. Henley (ed). Paper landscapes: Explorations in the
Environmental Histories of Indonesia. Leiden: KITLV Press, hlm. 379-408.

Forsyth T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental


Sciences. London: Routledge.

33
Grove, Richard H. 1998. Ecology, Climate and Empire: The Indian Legacy in
Global Environmental History, 1400-1940. Delhi: Oxford University Press.

Grove, Richard H. 1995. Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island


Edens and the Origins of Environmentalism, 1600-1860. Melbourne:
Cambridge University Press.

Lucas, Anton. 1998. “River Pollution and Political Action in Indonesia”, Philip
Hirsch and Carol Warren (eds), The Politics of Environment in Southeast
Asia. London: Routledge, hlm. 189-209.

Nawiyanto. 2009. Transforming the Frontier: Environmental Change in a Region


of Java: Besuki 1870-1970. Bantul: Lembah Manah Press.

Nagtegaal, Luc, 1995. “Urban Pollution in Java, 1600-1850”, dalam Peter J.M.
Nas (ed.), Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia.
Leiden: CWNS, hlm. 9-30.

Iskandar, Johan. 2001. Budaya Manusia dan Lingkungan: Ekologi Manusia.


Bandung: Humaniora Utama Press.

Watts, Michael J. 2000. “Political Ecology”, dalam T. Barnes and E. Sheppard


(ed), A Companion To Economic Geography. Oxford: Blackwell, hlm. 257-
275.

Lucas, Anton. 1998. “River Pollution and Political Action in Indonesia”, in Philip
Hirsch and Carol Warren (eds), The Politics of Environment in Southeast
Asia. London: Routledge, hlm. 189-209.

MacAndrew, Colin. 1994. “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian


Survey, 34, 4, hlm. 369-380.

Cribb, Robert, 1990. “The Politics of Pollution Control in Indonesia”, Asian


Survey, 30, 12, hlm. 1123-1135.

Gunawan, Restu. 2010. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari
Masa ke Masa.Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Uekoetter, Frank. 1998. “Confronting the Pitfalls of Current Environmental


History: an Argument for an Organisational Approach”, Environment and
History, 4, 1.

34
Young, Ann R.M. 2000. Environmental Change in Australia since 1788.
Melbourne: Oxford University Press.

Gadgil, Madhav dan Ramachandra Guha. 1993. This Fissured Land: An


Ecological History of India. Berkeley: University California Press.

Marsh, George Perkins. 1864/1965, Man and Nature or Physical Geography as


Modified by Human Action. New York: Charles Scribner, disunting oleh
David Lowenthal dan diterbitkan kembali sebagai, Man and Nature.
Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press.

Thomas, William L. (ed.). 1955. Man’s Role in Changing the Face of the Earth.
Illinois: University of Chicago Press.

Reid, Anthony. 1995. “Humans and Forests in Pre-colonial Southeast Asia”,


Environment and History, 1, hlm. 93-109, juga terbit dalam Richard H.
Groves, Vinita Damodaran, dan Satpal Sangwan (ed). 1998. Nature and the
Orient. Delhi: Oxford University Press, hlm. 106-126.

Kathirithamby-Wells, Jeya. 1997. “Human Impact on Large Mammal Populations


in Peninsular Malaysia from the Nineteenth to the mid-Twentieth Century”,
dalam Boomgaard, Peter, Freek Colombijn, dan David Henley (ed). Paper
Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia.
Leiden: KITLV Press.

Knapen, Han, 2001. Forest of Fortune?: The Environmental History of Southeast


Borneo, 1600-1880. Leiden: KITLV Press.

Henley, David. 2005. Fertility, Food and Fever: Population, Economy, and
Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV
Press.

Stott, P.A. 1978. berjudul, Nature and Man in Southeast Asia. London: School of
Oriental and African Studies.

To Thi Anh. 1985. Nilai Budaya Timur dan Barat. Jakarta: Gramedia.

Glacken, Clarence, J. 1970. “Man against Nature: An Outmoded Concept”,


Harold W. Helfrich (ed.), The Environmental Crisis: Man’s Struggle to
Live with Himself. New Haven: Yale University Press.

35
Bruun, Ole dan Arne Kalland 1995. “Images of Nature: An Introduction to the
Study of Man-Environment Relations in Asia”, Ole Bruun dan Arne
Kalland (ed.). Asian Perceptions of Nature: A Critical Approach. Surrey:
Curzon Press,

Groves, Richard.1995. Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island


Edens and the Origins of Environmentalism, 1600-1860. Melbourne:
Cambridge University Press.

Groves, Richard. 1998. Ecology, Climate and Empire: The Indian Legacy in
Global Environmental History, 1400-1940. Delhi: Oxford University
Press.

Cribb, Robert. 1988. “The Politics of Environmental Protection in Indonesia”,


Working Paper No. 48, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies,
Monash Universit.

Nicholson, David. 2010. Environmental Dispute Resolution in Indonesia. Leiden:


KITLV Press.

36

Anda mungkin juga menyukai