Anda di halaman 1dari 42

17

Pierre-Joseph Proudhon
Sang Filsuf Kemiskinan

Pierre-Joseph Proudhon adalah orang yang pertama kali menyatakan diri


secara terbuka sebagai seorang anarkis. Ia dengan sengaja mengadopsi label anarkis
dengan niat memprovokasi lawan-lawannya yang menganggap anarki sama dengan
kekacauan. Dalam What is Property? (1840), karya pertama yang melambungkan
namanya, Proudhon mempertunjukkan posisi paradoksnya dalam bentuk prosa
Perancis yang klasik dan mengesankan, yang membuatnya dikagumi Sainte-Beuve
dan Flaubert:

‘Anda seorang republikan?’ Republikan, ya, tapi kata ini tidak tepat
artinya. Res publica adalah kebaikan publik. Sekarang sembarang orang
yang menginginkan kebaikan publik, di bawah bentuk pemerintahan apa
pun, dapat menyebut dirinya seorang republikan. Raja-raja juga adalah
republikan. ‘Jadi anda seorang demokrat?’ Bukan. ‘Apa, anda mungkin
seorang monarkis!’ Bukan. ‘Seorang Konstitusionalis?’ Ya Tuhan! ‘Jadi
anda berpihak pada aristokrasi.’ Tidak sama sekali. ‘Apakah anda
menginginkan pemerintahan campuran?’ Jelas tidak. ‘Lantas siapa anda?’
Saya seorang anarkis.
‘Saya paham, anda memang satiris atas biaya pemerintah.’ Tidak sama
sekali. Saya baru saja memberi anda pernyataan keyakinan saya yang
serius dan betul-betul dipertimbangkan. Kendati saya seorang pendukung
kuat tatanan, saya adalah seorang anarkis dalam arti sepenuhnya.1

Seperti bunyi slogannya yang terkenal, ‘Pemilikan adalah Pencurian’, ‘Anarki


adalah Tatanan’, dan ‘Tuhan adalah Kejahatan’, Proudhon senang berada dalam
paradoks. Dia seorang pemikir kontradiktif dalam sejarah pemikiran politik dan
karyanya membangkitkan sejumlah besar penafsiran yang saling bertentangan. Dia
juga seorang penulis yang paling suka berpanjang lebar dalam berkata-kata : dia
menerbitkan lebih dari empat puluh karya dan mewariskan empat belas jilid

1 Selected Writings of Pierre-Joseph Proudhon, editor Stewart Edwards, penerjemah Elizabeth


Fraser (Macmillan, 1969), hal. 88 (berikutnya disingkat SW)
1
korespondensi, sebelas jilid buku catatan dan sejumlah besar manuskrip yang tidak
diterbitkan.
Menggali pemahaman yang jelas mengenai Proudhon bukan soal gampang.
Dia tidak senantiasa menyelami apa yang dia pelajari, dia tak berupaya untuk
sistematis dan konsisten dalam memaparkan argumen-argumennya. Dia bisa
menghargai kedua sisi dalam setiap persoalan tetapi seringkali tidak pasti sisi mana
yang mau ditekankannya : kebenaran baginya cenderung bergerak antara dua soal
yang berlawanan. Makna persis karyanya semakin disamarkan lantaran dia beberapa
kali berubah pikiran sepanjang karirnya.
Gayanya juga tidak membantu menuntaskan persoalan tersebut. Dalam
tampilan terbaiknya, gayanya itu tampak jelas dan memukau, meski seringkali
menjadi bertele-tele dan buram. Dia cenderung meletupkan polemik dan tidak tahu
kapan harus berhenti. Di hadapan kekaguman lawan-lawannya dan kebingungan para
pengkritiknya, dia adalah seorang ironis yang sadar-diri.
Seperti kebanyakan pemikir sosial pertengahan abad sembilan belas, Proudhon
menggabungkan teori sosial dengan spekulasi filosofis. Dia menyelam dengan berani
ke dalam hampir setiap ruang pengetahuan manusia : filsafat, ekonomi, politik, etika
dan seni. Dia mengajukan pandangan yang menyengat terhadap pemerintahan,
pemilikan (property), seksualitas, ras dan perang. Tapi di balik banyak dan beragam
karyanya, ada dorongan lintas-batas yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan.
Proudhon menghamparkan keyakinan abadnya bahwa akal dan ilmu
pengetahuan akan mengantarkan kepada kemajuan sosial dan memperluas kebebasan
manusia. Baginya alam dan masyarakat dibimbing oleh hukum-hukum perkembangan
dan ia percaya bahwa jika manusia hidup dalam harmoni bersama semua itu, mereka
akan meraih kebebasan. Dengan kata lain kebebasan adalah kesadaran yang
dibutuhkan : hanya dengan mengetahui batas-batas alamiah dan sosialnya, manusia
bisa menjadi bebas untuk menyadari potensi penuhnya. Dari perspektif ini Proudhon
menimbang dirinya sebagai ‚pemikir sains dan berkehendak meleburkan politik ke
dalam sains’. Toh kendati dia gemar berpikir bahwa ‘keseluruhan filsafatnya
merupakan rekonsiliasi yang tak putus-putusnya,’ metode dialektis yang
dioperasikannya seringkali gagal mencapai jalan keluar yang memuaskan bagi
gagasan-gagasan kontradiktifnya.2

2 Proudhon, System of Economic Contradictions or the Philosophy of Poverty (1846), SW, hal.
231
2
Proudhon acap kali menampilkan dirinya sebagai penentang pemujaan yang
terasing dan eksentrik. Tulisnya pada 1848 : ‘Tubuhku secara fisik berada di tengah
orang-orang, tetapi pikiranku ada dimana-mana. Pikiranku membawaku ke satu titik
dimana aku dengan orang-orang sejamanku nyaris tidak bersepakat dalam hal apa pun
dalam arus gagasan kami’. Dia suka menganggap dirinya sebagai orang yang ‘terkucil
dari jamannya’ dan bangga akan fakta bahwa dia tidak termasuk ke dalam kelompok
atau partai mana pun.3 Nyatanya, ini lebih merupakan satu sikap ketimbang sebuah
penilaian diri yang tepat.
Setelah diterbitkannya What is Property? pada 1840, kontan Proudhon menuai
pengaruh penting yang luas. Marx memujinya sebagai ‘karya yang tajam’ dan
menilainya sebagai ‘pengujian atas properti yang pertama kali dan yang menentukan,
bersemangat dan ilmiah.’4 Proudhon mulai menghantui imajinasi kaum borjuis
Perancis sebagai l’homme de la terreur yang mewujudkan semua bahaya revolusi
kaum proletar.
Seiring mulai berkembangnya gerakan buruh di Perancis, pengaruh Proudhon
pun tumbuh pesat. Gagasan-gagasannya amat mewarnai wacana kelompok-kelompok
kelas buruh yang amat berjasa membentuk First International. Pun kelompok tunggal
terbesar dalam Komune Paris tahun 1871 adalah sebuah tampilan Proudhonian.
Menyusul putusnya hubungan Bakunin dengan Marx, yang menandai terpecahnya
jalan kaum libertarian dan sosialis statis, organ kelompok anarkis militan pertama
yang berkedudukan di Swiss itu menegaskan: ‘Anarki bukan penemuan Bakunin …
Proudhon-lah bapak sejati anarki’.5 Dan Bakunin sendiri adalah yang pertama
mengakui bahwa ‘Proudhon adalah guru kami semua’.6
Penekanan Proudhon pada ekonomi sebelum perjuangan politik dan
anjurannya terhadap kelas buruh agar mengemansipasikan diri melalui keringat
mereka sendiri, juga mengantarkannya menjadi bapak anarko-sindikalisme. Murid-
murid Proudhon tidak hanya mendirikan Confédération Générale du Travail, gerakan
serikat perdagangan Perancis, tapi juga muncul inisiatif Fernand Pelloutier dengan

3 Proudhon kepada Maurice, 25 februari 1848, SW, hal. 155; Correspondence (Paris, 1874-5),
VI, 313
4 Marx, The Holy Family, dikutip oleh Edward Hyams, Pierre-Joseph Proudhon: His
Revollutionary Life, Mind and Works (John Murray, 1979), hal. 40
5 Bulletin de la Fédération Jurassienne, 39 (24 September, 1884); dikutip oleh Jean Maitron,
Histoire du mouvement anarchiste en France (1880-1914) (Paris: Société Universitaire, 1955), hal. 32
6 Dikutip oleh George Woodcock, ‘On Proudhon’s “What is Property?”’, Anarchy 106
(Desember 1969), hal. 353
3
Federation des Bourses du Travail-nya yang berupaya mendidik kelas buruh senapas
dengan gagasan mutualis yang diajukan Proudhon.
Pengaruh Proudhon tidak hanya terbatas di Perancis. Selama 1870-an, ide-
idenya mengilhami Pi y Margall dan para federalis di Spanyol dan narodniks di Rusia.
Sosialis besar Rusia Alexander Herzen menjadi teman dekatnya. Tolstoy yang
mengagumi gagasan Proudhon tentang properti dan pemerintahan, mencarinya dan
meminjam judul War and Peace-nya (1861) untuk roman dahsyatnya. Di Jerman,
Proudhon berpengaruh mendalam bagi gerakan sosialis awal di sana; pada 1840-an,
kepada Lassale orang memberi salut sebagai harapan terbesar Proudhonisme di negeri
itu. Di Amerika pandangan-pandangan Proudhon mencetak publikasi luas, terutama
melalui Charles Dana dari Fourierist Brook Farm dan William B. Greene. Benjamin
R. Tucker -- ‘tokoh yang selalu tampil sebagai Proudhonian tanpa tahu tentangnya’ –
mengutip semboyan atau bon mot Proudhon ‘Kemerdekaan bukanlah puteri tetapi ibu
dari Tatanan (Liberty is not the Daughter but the Mother of Order)’ sebagai seruan di
sampul depan jurnal Liberty-nya. Di Inggris, gerakan sindikalis sebelum Perang
Dunia I menyerap gagasan-gagasan Proudhon dan bahkan versi G.D.H. Cole tentang
sosialisme serikat kerja nyaris serupa dengan apa yang diajukannya.7
Abad Proudhon ini masih akan tetap kontroversial, rupanya. Upayanya
menemukan hukum-hukum yang memerintah masyarakat, menerbitkan reputasi bapak
pendiri sosiologi baginya. Ide-idenya diadopsi para penulis sosialis lantaran layak
diterapkan untuk negara-negara berkembang di Dunia Ketiga. 8 Karyanya juga
dicuplik oleh pengusung nasionalis Kanan karena pembelaannya terhadap para
pemilik properti-kecil dan kepentingan-kepentingan Perancis. Dia tidak hanya
disanjung sebagai salah satu ‘pendekar revolusi-tandingan abad sembilan belas’,
tetapi juga sebagai seorang ‘penanda fasisme’. 9 Namun yang terus berlanjut adalah
sosoknya yang paling dikenang sebagai pelopor gerakan anarkis historik.
Proudhon lahir sebagai anak pelayan kedai minuman di Besançon di belahan
Franche-Comte tak jauh dari perbatasan Swiss. Keluarganya adalah petani mandiri
dan pekerja kasar di kawasan pegunungan selama beberapa generasi dan dia

7 Lihat Alan Ritter, The Political Thought of Pierre-Joseph Proudhon (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1969), hal. 198-9; Paul Avrich, ‘Proudhon and America’, Anarchist Portraits
(Princeton NJ: Princeton University Press 1988), hal. 14-17
8 Lihat misalnya René Dumont, False Start in Africa (1966)
9 Lihat Louis Dimier, Les Maitres de la contre-révolution au XIXéme siéde (Paris, 1907); J.
Salwyn Schapiro, ‘Pierre-Joseph Proudhon, Harbinger of Fascism’, American Historical Review, I,
(1945), 714-37; Henri Bachelin, P.-J. Proudhon, socialiste national (Paris, 1941); dan karya Ritter,
Proudhon, op.cit., hal. 7-8
4
membanggakan diri bahwa dia ‘dibentuk dengan batu murni Jura’. 10 Dia
mengenangkan masa kecilnya sebagai masa indah yang hilang. Dari usia lima sampai
sepuluh, dia menghabiskan banyak waktunya di pertanian keluarganya di desa. Ini
sepenggalan kehidupan yang menggelarkan basis realistis bagi pemikirannya. Itulah
juga yang meniupkan individualitasnya yang berapi-api, yang membuatnya
belakangan menyatakan: ‘Siapa pun yang membebankan tangannya atasku untuk
memerintah adalah perampas dan tiran : dan aku serukan dia sebagai musuhku.’ 11
Kehidupannya juga menumbuhkan sikap puritan dan patriarkal yang membuatnya
menuntut kesederhanaan dan menempatkan perempuan terutama hanya sebagai
pelayan yang patuh. Yang pasti, pengalaman tumbuh dan besar di desa telah begitu
dalam menanamkan akar kehidupan yang dekat dengan tanah dan keyakinan mistik
kuat tentang tanah. Pengalaman itu menumbuhkan sensibilitas ekologis yang
belakangan membuatnya meratapi hilangnya ‘perasaan yang dalam terhadap alam’
yang hanya bisa diberikan oleh kehidupan desa :

Manusia tidak lagi mencintai tanah. Pemilik lahan menjualnya, menyewakannya,


membagi-baginya, melacurkannya, menawar dan memperlakukannya sebagai
objek spekulasi. Para petani menyiksanya, memperkosanya, menanduskannya
dan mengorbankannya demi hasrat tak sabaran untuk menuai hasil. Mereka tidak
pernah bersatu dengannya.12

Pada usia dua belas, Pierre-Joseph muda mulai bekerja sebagai kuli gudang
dalam bisnis ayahnya di Besancon. Namun, dia tetap berusaha mendapatkan beasiswa
College de Besancon, sekolah terbaik dengan reputasi akademik yang bagus di kota
itu. Tapi sayang, ayahnya yang lebih suka membuat bir ketimbang menjalankan bisnis
dinyatakan bangkrut ketika Pierre-Joseph berusia delapan belas. Dia harus putus
sekolah dan mencari kerja untuk penghidupan; pada 1827 dia memutuskan bekerja di
percetakan. Kehidupan Proudhon selanjutnya sebagai tukang, mengajarinya
pandangan independen tentang masyarakat, manakala kontrol personal yang dia
jalankan terhadap pekerjaannya toh cuma menghadirkan alienasi sistem pabrik baru.
Pengalaman itu juga membikin ia berpikir lagi untuk melanjutkan studinya. Pada

10 Proudhon kepada Pierre Leroux, 7 Desember, 1849, SW, hal. 197


11 Confessions of a Revolutionary (1849) (edisi 1851), hal. 31
12 Justice in the Revolution and the Church (1858, SW, hal. 261
5
1838 dia tidak hanya mengembangkan proses tipografis baru tapi juga menerbitkan
sebuah esai tentang tata bahasa umum.
Bengkel kerja Proudhon juga mencetak penerbitan bagi keuskupan lokal yang
mengilhami spekulasi relijiusnya. Tidak puas mengoreksi cetakan dan merancang
tulisan-tulisan lain, dia mulai menyusun karyanya sendiri. Dia menyumbangkan
sebuah edisi Injil dalam bahasa Hebrew – tentang mempelajari bahasa dalam proses--
dan kemudian menulis untuk ensiklopedi Katolik. Injil menjadi otoritas terpenting
bagi ide-ide sosialisnya. Pada saat yang sama, pengetahuannya yang luas tentang
doktrin Kristen justru tidak memperdalam keyakinannya melainkan malah berakibat
sebaliknya dan membuatnya sangat anti pendeta. Dia lantas menolak aturan takdir
Tuhan dan menyimpulkan bahwa ‘Tuhan adalah tirani dan kemiskinan; Tuhan adalah
kejahatan.’13
Yang lebih penting bagi perkembangan Proudhon selanjutnya, ia membuka
kontak dengan para sosialis lokal, termasuk sahabatnya sekota, Charler Fourier, yang
menolak peradaban yang berlaku beserta kode-kode moral represifnya. Dia bahkan
mengawasi pencetakan karya terbesar Fourier Le Nouveau monde industriel et
societarie (1829) yang memberinya perhitungan paling jelas bagi pandangan-
pandangan ekonominya. Karya itu juga menganjurkan sebuah masyarakat komunitas-
komunitas ideal atau ‘phalansteries’ untuk ‘memandu ras manusia menuju kekayaan,
kenikmatan sensual dan kepaduan global’.14 Fourier bersikeras bahwa jika manusia
menyesuaikan diri dengan ‘Harmoni Universal’, mereka akan bebas memuaskan
hasrat, memperoleh kembali kesehatan mental dan hidup tanpa kejahatan. Proudhon
mengakui rekannya sebagai sosok yang tertawan oleh ‘kejeniusan ganjil’ untuk
selama enam pekan. Ia terkesan dengan keyakinan Fourier akan keadilan imanen,
kendati dia menyadari phalansteries-nya itu terlampau utopis dan perayaannya atas
cinta bebas terasa tak berselera.
Setelah memutuskan untuk berusaha sendiri, Proudhon meninggalkan
Besançon dan menghabiskan waktu beberapa tahun sebagai pengembara yang
bertualang ke seluruh Perancis dari kota ke kota, untuk mencari kerja di mana saja
dia bisa. Perjalanan membawanya ke Lyon, tempat dia berkenalan dengan para buruh
dan menganjurkan kerja ko-operatif, juga ke Paris, kota yang dia benci. Tour de
France-nya hanya menunjukkan benarnya pengamatan Alexis de Tocqueville bahwa
13 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 223
14 The utopian Vision of Charles Fourier, editor Jonathan Beecher & Richard Bienvenu
(Boston: Beacon, 1972), hal. I
6
kekuasaan di Perancis saat itu terdiri atas ‘satu kekuasaan sentral tunggal yang
mengendalikan administrasi di seluruh negeri’ dengan menggunakan peraturan-
peraturan kaku yang meliputi segala rincian administratif.15
Proudhon akhirnya kembali ke Besançon dimana ia menjalin kerjasama dalam
sebuah usaha percetakan kecil. Tapi dia tidak puas menjalani suramnya penerbitan di
daerah; dia tidak bisa membulatkan tekad apakah hendak meniti jalan keilmuan atau
bergabung ke dalam kelas buruh. Pada 1838 dia mengajukan beasiswa ke Besançon
Academy untuk melanjutkan studinya, dengan menyatakan dirinya ‘terlahir dan
dibesarkan dari tengah kelas buruh, hati dan pikirannya berpihak pada mereka dalam
sikap dan dalam kesamaan kepentingan dan aspirasi’. 16 Sambil menggaungkan lagi
wasiat akhir Henri de Saint-Simon, Proudhon menegaskan bahwa dia ingin
memperbaiki ‘kondisi fisik, moral dan intelektual kelas paling banyak dan paling
miskin’.17 Dia memenangkan beasiswa itu sekaligus memperoleh hadiah dalam lomba
esai di Sunday Observance. Sosok pahlawan dalam esainya adalah Moses, pendiri
Sabbath; sosok yang digambarkan sebagai ilmuwan sosial besar karena berhasil
meletakkan dasar-dasar masyarakat yang bersandar pada hukum ‘alam’ dan karena
telah menemukan, bukan menciptakan, sebuah kode hukum. Ini pencapaian yang
ingin dikembangkan Proudhon guna menyusun aturan-aturan moral untuk hidup
dalam kesetaraan dan keadilan.
Proudhon mendedikasikan karya berikutnya What is Property? First Memoir
(1840) kepada para ilmuwan terhormat Besançon Academy. Mereka benar-benar
terkejut ketika membaca isinya. Maklum, buku tersebut mempertanyakan dua pilar
penyangga hak istimewa mereka : properti dan pemerintahan. Tak heran, mereka
menuntut agar dedikasi itu dihilangkan. Manakala kemudian mengenangkan soal
tersebut, sang pengarang yang agak menyamarkan diri itu, dalam waktu lama, secara
tekun dan rinci, berjarak dari semua analisa sepihak, maka dia sampai pada
kesimpulan mengagetkan : ‘pemilikan atau properti, dari sudut mana pun anda
melihatnya, dan apa pun prinsip yang anda rujuk, adalah gagasan kontradiktif! Karena
mengingkari pemilikan berarti mengingkari otoritas, maka dari definisi tadi saya

15 Alexis de Tocqueville, The Old regime and the French Revolution (New York: Anchor, 1955),
hal. 57
16 Dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 29
17 Proudhon, What isPproperty? (1840) (edisi 1841), p.v.
7
segera mengambil kesimpulan yang berakibat tidak kurang paradoksnya bahwa
bentuk sejati pemerintahan adalah anarki.’18
Proudhon menjawab pertanyaannya sendiri ‘Apakah itu properti?’ dengan
paradoks yang berani : ‘Properti adalah Pencurian’. Ini menjadi slogan paling
terkenalnya dan dampaknya telah begitu bergema. Tapi kendati Proudhon mengklaim
bahwa prinsip itu mendatangi dirinya sebagai wahyu dan merupakan pemikirannya
yang paling berharga, Morelly pernah mengungkapkan gagasan serupa dalam abad
sebelumnya dan Brissot adalah yang pertama kali menyatakannya selama Revolusi
Perancis.
Kenyataannya, Proudhon melakukan kajian yang sangat spesifik tentang
properti dan slogannya tidak serevolusioner sebagaimana bunyinya. Stirner dengan
cepat menunjukkan bahwa konsep ‘pencurian’ hanya dimungkinkan jika seseorang
menyetujui validitas utama konsep properti.19 Proudhon tidak menyerang properti
pribadi begitu saja; dalam karya yang sama sesungguhnya dia menyebut para komunis
ingin mengkolektifkan harta sebagai musuh kebebasan. Dia terutama menentang para
pemilik properti besar yang membebankan pajak kepada buruh dan diklaim sebagai
droit d’ aubaine. Pada titik ini dia condong menyepakati properti sepanjang itu berarti
‘pemilikan’, dengan hak-hak istimewa kepemilikan yang dibatasi berdasarkan
penilaian pertambahan manfaat yang dihasilkannya.
What is Property? bukan hanya menantang para kapitalis tapi juga menyerang
para sosialis jamannya. Dia dengan sengit menyerang komunisme sebagai penindasan
dan perbudakan. Dia yakin bahwa manusia senang memilih pekerjaannya sendiri,
sementara sistem komunisme ‘berawal dari prinsip bahwa individu secara keseluruhan
harus tunduk pada kolektivitas’.20 Karenanya hal itu memperkosa baik prinsip-prinsip
kesetaraan maupun otonomi kesadaran yang begitu dekat dengan hati Proudhon.
Adakah jalan antara akumulasi properti Scylla dengan komunisme
Charybdis21? Bisakah masyarakat hadir tanpa kapital dan pemerintahan atau Negara
komunis? Proudhon berpikir bahwa dia telah menemukan jawabannya. Dia yakin
bahwa kekuasaan yang dimiliki manusia atas manusia berbanding terbalik dengan

18 Confessions (1849), op.cit., SW, hal. 241


19 Lihat Stirner, The Ego & Its Own, op.cit., hal. 251
20 Dikutip dalam Guérin, Anarchism, op.cit., hal. 21
21 Scylla dan Charybdis adalah dua monster laut dalam mitologi Yunani yang berdiam di dua sisi yang
berlawanan dalam sebuah selat yang sempit. Dua mahluk ini melambangkan bahayanya pelayaran
pengembaraan di laut diantara intaian runcingnya batu-batu karang dan dahsyatnya pusaran arus bawah
laut.
8
perkembangan intelektualnya. Dalam masyarakatnya sendiri, dia yakin bahwa
kekuatan dan kelicikan dibatasi oleh pengaruh keadilan dan akhirnya akan lenyap di
masa depan seiring berjayanya kesetaraan. Dia menyimpulkan :

Properti dan royalti sedang rontok sedari dunia ini ada. Begitu manusia
mencari keadilan dalam kesetaraan, masyarakat mencari tatanan dalam
anarki.
Anarki, itulah dia, tidak adanya pemerintah atau penguasa. Inilah bentuk
pemerintahan yang semakin dekat kita tuju hari demi hari.22

Sebagaimana diakui dalam catatan kakinya, Proudhon sadar sepenuhnya bahwa


biasanya makna yang diberikan kepada kata ‘anarki’ adalah ‘ketiadaan prinsip,
ketiadaan hukum’, dan telah sama artinya dengan ‘kekacauan’.23 Dia dengan sengaja
meninggalkan pengertian itu semua untuk lantas menegaskan paradoks nyata bahwa
‘anarki adalah tatanan’, dengan memperlihatkan bahwa pemerintahan otoriter dan
pembagian kekayaan yang tidak seimbang adalah penyebab utama ketidakteraturan
dan kekacauan dalam masyarakat. Dengan berbuat demikian, dia menjadi pelopor
gerakan anarkis historis pertama.

What is Property? terancam dilarang, tapi Kementerian Kehakiman akhirnya


memutuskan bahwa karya itu terlalu ilmiah untuk menjadi berbahaya. Proudhon
lantas melanjutkannya dengan sebuah memoir baru berjudul Warning to the Property
Owners (1842). Dia menuntut kesetaraan ekonomi dan menegaskan bahwa manusia
berbakat dan jenius harus menerimanya dengan senang hati. Kali ini Proudhon
didakwa tapi juga dibebaskan oleh hakim yang lagi-lagi berpikir bahwa karya itu
terlalu rumit untuk dipahami orang awam.
Dorongan niat menemukan hukum-hukum dasar masyarakat, membuat
Proudhon berpaling ke filsafat dan karya penting berikutnya adalah On the Creation
of Order in Humanity (1843). Pijakan awalnya mirip karya Lao Tzu dan Hegel.
Kendati kita tidak bisa menembus esensi alam semesta, kita bisa mencermati bahwa
esensi tersebut berada dalam kondisi yang terus mengalir. Gerakan konstan ini dalam
alam dan masyarakat mengambil bentuk ‘rangkaian dialektis’, yakni arus yang
22 Proudhon, What is Property?, op.cit., SW, hal. 89
23 Ibid., hal. 89n
9
bekerja melalui rekonsiliasi antar dorongan-dorongan yang berlawanan. Betapapun
demikian, Proudhon dengan hati-hati menegaskan bahwa dia tidak sedang
mengajukan tafsir idealis tentang dunia yang di dalamnya semua makhluk hanyalah
ide-ide. Menurut apa yang dia sebut ‘teori ideo-realis’-nya, ‘realitas wujud’ meningkat
secara progresif dari dunia mineral melalui dunia tumbuhan dan kerajaan hewan
menuju manusia. Puncak pencapaiannya adalah berupa masyarakat manusia. Itulah,
dia ‘organisasi paling bebas dan toleransi paling minimal terhadap kesewenang-
wenangan mereka yang memerintah’. Sembari menekankan bahwa ‘Manusia
ditakdirkan hidup tanpa agama’, Proudhon menegaskan bahwa hukum moral masih
tetap abadi dan absolut sekalipun kemasan relijiusnya telah dihilangkan’.24
Proudhon juga mulai mengembangkan pandangannya tentang sejarah.
Baginya, studi ilmiah tentang sejarah harus berdasar pada pengaruh buruh di
masyarakat. Sementara mengakui bahwa semua peristiwa tergantung pada hukum-
hukum umum yang melekat pada alam dan manusia, Proudhon juga menegaskan
bahwa tidak ada kemampuan menghindar dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang
mungkin ‘tak terbatas ragamnya, sesuai dengan keinginan individu yang
menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi’.25
Pada musim dingin 1844-1845 Proudhon pergi ke Paris untuk menulis
serangan besar-besaran berikutnya terhadap pemerintahan dan properti. Di Latin
Quarter, dia menemui banyak tokoh buangan politik, termasuk Marx, Herzen dan
Bakunin, yang semuanya berusaha mengenal sang pengarang terkenal What is
Property? Itu. Di loteng-loteng dan kafe-kafe, mereka dengan bersemangat
mendiskusikan filsafat Hegelian dan taktik revolusioner. Bakunin dan Herzen menjadi
sahabat tetap Proudhon. Bakunin mengembangkan gagasan-gagasan Proudhon dan
menyebarkannya ke jantung gerakan anarkis internasional yang sedang tumbuh,
sementara Herzen meggelarkannya ke tengah khalayak Rusia.
Dengan Marx, hubungannya lebih problematis. Awalnya Marx memang
menyambut What is Property? dan mereka saling bersahabat sebentar di Paris.
Belakangan, Marx sebenarnya mengklaim bahwa dialah yang telah memperkenalkan
Proudhon pada Hegel. Engels juga menulis bahwa karya-karya Proudhon telah
membuatnya menaruh ‘rasa hormat paling besar’ terhadap sang pengarang. 26 Marx
berusaha mengajak Proudhon agar mau bergabung dengan kelompok komunis
24 On the Creation of Order in Humanity (1843), SW, hal. 226, 227n, 224
25 Confessions, op.cit., SW, hal. 237, 71
26 Marx, The Holy Family, dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 40
1
nasional mereka, tapi Proudhon segera kecewa baik terhadap doktrin dan
kepribadiannya yang mendominasi maupun terhadap komunisme otoriternya.
Korespondensi mereka yang tak menentu berakhir ketika Proudhon sepakat
berkolaborasi dalam mencari hukum-hukum masyarakat. Tapi dia menuntut:

demi tuhan, tatkala kita telah menghancurkan semua dogma a priori,


jangan sampai berpikir untuk mengindoktrinasi orang demi kebaikan kita
… saya dengan sepenuh hati menghargai ide anda untuk menyatukan
perbedaan pendapat. Marilah kita hamparkan polemik yang baik dan jujur.
Marilah kita susun dunia sebagai contoh kebijaksanaan dan toleransi yang
berpandangan jauh, karena kita adalah para pemimpin gerakan maka
janganlah kita menebar intoleransi baru. Janganlah kita menjadikan diri
kita nabi-nabi agama baru, bahkan jika agama baru adalah agama logika
atau akal.27

Menanggapi adanya kemarahan yang, tak diragukan lagi, ditunjukkan oleh tuduhan
tak langsung Proudhon tentang sikap intoleransinya, Marx memilih tidak menjawab
surat itu. Tapi ketika karya Proudhon berikutnya, System of Economic Contradictions,
or The Philosopy of Poverty, muncul pada 1846, Marx mengambil kesempatan untuk
menyerang sang pengarang dengan panjang lebar. Dia menulis segera sesudah
membacanya bahwa buku itu adalah karya yang ‘tak berbentuk dan berlagak hebat’
yang menyisipkan ‘Hegelianisme lemah’ dan hipotesa palsu tentang ‘akal universal’. 28
Dalam jawabannya yang lebih berhati-hati dan ditulis dalam bahasa Perancis, The
Poverty of Philosophy, Marx berlanjut menggambarkan Proudhon sebagai seorang
borjuis-kecil idealis yang gagal mengenali bahwa manusia bukanlah sesosok esensi
yang tidak berubah melainkan produk sejarah. Argumen terpentingnya adalah bahwa
model ekonomi individualistis Proudhon membuatnya melihat kemanusiaan atau
masyarakat sebagai satu ‘subjek final’ statis. 29 Sehingga Marx kemudian selalu
merujuk Proudhon dalam tulisannya sebagai seorang ‘sosialis borjuis’ atau seorang

27 Proudhon kepada Marx, 17 Mei 1846, Confessions, op.cit., SW, hal. 150-1
28 Marx kepada P.V. Annenkov di Paris, 23 Desember 1846, Marx & Engels, Selected Works
(Lawrence & Wishart, 1968), hal. 669
29 Lihat Shlomo Avineri, Karl Marx: Social and Political Thought (Cambridge University Press,
1971), hal. 71
11
sosialis ‘pengrajin dan petani kecil’.30 Tampaknya Marx gagal memahami buku
Proudhon, atau dengan sengaja menghadirkannya kembali secara salah.
Proudhon pun gusar. Dia menimbang untuk menanggapinya waktu itu juga.
Tapi ia lantas memuaskan dirinya cukup dengan sebuah catatan dalam buku hariannya
(23 September 1847) bahwa ‘Marx adalah cacing sosialisme!’ Perpecahan jalan
mereka menandai berawalnya keretakan antara kelompok libertarian dengan
kelompok sosialis otoritarian yang menjadi inti perselisihan antara Marx dengan
Bakunin dalam First Internasional. Marx terus menyerang Proudhon karena
menganjurkan kolaborasi kelas dan mengharamkan serikat-dagang serta aktivitas
parlementer, dan dia makin jengkel serta tidak pernah bisa memaafkannya lantaran
kenyataan bahwa kelas buruh di Perancis justru mengadopsi ide-ide Proudhon
ketimbang ide-idenya.
Dua jilid tebal karya Proudhon, System of Economic Contradictions, or The
Philosophy of Poverty, diterbitkan pada 1848. Dalam pengamatan Marx, buku itu
dipenuhi dialektika sub-Hegelian dan Proudhon belakangan dengan enteng mengakui
bahwa pada tahap hidupnya saat itu dia memang ‘dimabukkan oleh dialektika’.31
Dalam On the Creation of Order in Humanity (1843), dia mengadopsi gagasan
Fourier tentang ‘hukum berangkai’ tentang perkembangan baik alam maupun
masyarakat yang dia namakan ‘Dialektika Berangkai’. Lalu dalam Economic
Contradictions, dia mengadopsi istilah Kantian, ‘antinomi’, untuk mengungkapkan
dialektika Hegel : ‘teori antinomi’, tulisnya, ‘merupakan representasi sekaligus dasar
semua gerakan dalam kebiasaan dan institusi.’32 Dengan berasumsi bahwa hukum-
hukum perkembangan berlaku baik terhadap dunia material maupun masyarakat
manusia, Proudhon berharap penemuan hukum-hukum ini akan mengubah politik dan
ekonomi menjadi sains. Tetapi dalam prakteknya, penggunaan dialektikanya selalu
keliru dan bersifat mekanis. Marx dengan tepat mengamati bahwa antinomi-antinomi
Proudhon disajikan sebagai entitas-entitas yang eksklusif satu sama lain. Memang
seyogianya Proudhon menegaskan bahwa ‘Seluruh filsafatku termasuk rekonsiliasi
yang terus menerus’, tapi dalam Economic Contradictions dia gagal mencapai sintesis

30 Marx & Engels, Selected Works, op.cit., hal. 59, 260. Lihat juga Paul Thomas, Karl Marx and
the Anarchists, op.cit., untuk pengkajian relasi yang sangat satu sisi.
31 Proudhon, Confessions (edisi 1851), op.cit., hal. 147
32 Economic Contradictions, dikutip dala, Guerin, Ni dieu ni Maitre: anthologie de
l’anarchisme (Paris: Maspero, 1972), I, 57
1
yang memuaskan, misalnya dengan berpendapat bahwa properti adalah
‘kemerdekaan’ sekaligus ‘curian’.33
Dalam karya inilah Proudhon menyatakan bahwa ‘Tuhan adalah kejahatan’
dan bahwa ‘selama manusia bersimpuh di depan altar, manusia akan tetap terkutuk,
menjadi budak para raja dan pendeta’.34 Dia juga kembali pada serangan kembarnya
terhadap pemerintahan dan properti. Dia bersikap kritis terhadap segala bentuk
demokrasi politik. Meski lebih baik daripada otokrasi, pemerintahan konstitusional
cenderung tidak stabil dan bisa menjadi alat dominasi kaum borjuis atau merosot
menjadi kediktatoran. Bahkan demokrasi langsung pun tidak dapat diterima karena
seringkali mencegah orang-orang mengambil keputusannya sendiri; demokrasi
langsung terkadang lebih buruk daripada otokrasi karena mengklaim legitimasi untuk
menindas warga negara. Sementara mengenai komunisme, Proudhon menolaknya:

Orang-orang komunis umumnya berada dalam cengkeraman ilusi aneh :


fanatikus kekuasaan Negara yang mengklaim bahwa mereka bisa
menggunakan otoritas Negara untuk memastikan, dengan berdasarkan
ukuran timbal balik, kesejahteraan para buruh yang menciptakan
kesejahteraan kolektif. Seolah-olah individu ada sesudah masyarakat dan
bukannya masyarakat setelah individu.35

Tidak mengejutkan jika Economic Contradictions lebih jauh mengantarkan Proudhon


pada ketenaran dan permusuhan dari golongan Kanan dan Kiri.
Pada sisi positifnya, karya Proudhon menguraikan sistem ekonomi
mutualismenya. Yakni sistem yang ia niatkan menjadi ‘sintesis atas gagasan-gagasan
properti pribadi dan kepemilikan kolektif dan menghindari penyalahgunaan
keduanya.36 Sebagai pengganti laissez-faire dan kontrol Negara, dia mengajukan suatu
ekonomi ‘alami’ berdasarkan kerja dan kesetaraan, semacam sosialisme berdasarkan
pertukaran dan kredit. Dengan menerima teori nilai kerja, dia berpendapat bahwa para
buruh harus membentuk asosiasi untuk mempertukarkan produk kerja mereka,
nilainya akan dihitung melalui jumlah waktu kerja yang tercakup.

33 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 231; Guerin, Ni dieu ni Maitre, op.cit., I, 55
34 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 223
35 Dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 85-6
36 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 58
1
Dia lantas menggambarkan sistem mutualismenya sebagai hukum kuno
pembalasan, mata untuk mata, gigi untuk gigi, nyawa untuk nyawa yang berlaku bagi
tugas-tugas kerja dan persaudaraan. Semuanya membentuk asosiasi kecil sekaligus
besar, terutama dalam industri bahan baku dan manufaktur. Bersamaan dengan
berkembangnya mutualisme, organisasi ekonomi akan menggantikan organisasi
politik dan negara akhirnya akan musnah. Dalam sistem ini ‘buruh bukan lagi hamba
Negara yang dihempas oleh gelombang komunitas. Dia adalah orang bebas, tuan bagi
dirinya sendiri yang bertindak atas inisiatifnya sendiri dan bertanggung jawab secara
pribadi.’37 Manakala orang mulai mencapai kebersamaan, harmoni sosial akan
terwujud.
Akan tetapi, tidak akan ada negara dengan kesetaraan sempurna, karena yang
tekun akan lebih dihargai ketimbang yang malas. Proudhon memiliki unsur puritan
kuat yang membuatnya melihat kemalasan sebagai keburukan dan kerja sebagai
kebaikan : ‘Tidaklah baik manusia hidup dalam kesenangan’, katanya. Dia juga
memuji-muji kemiskinan sebagai sesuatu yang bersih dan sehat : ‘pemujaan
kemiskinan dalam Gospel adalah kebenaran teragung yang pernah difirmankan
Kristus kepada manusia’.38 Aspek positif kesederhanaan Proudhon adalah pendirian
bahwa jika manusia membatasi kebutuhan mereka dan hidup sederhana, alam akan
memberi cukup bagi semuanya. Lebih jauh, dia tidak mengutuk kemewahan sama
sekali. Dia tidak berpikir bahwa keberlimpahan akan pernah ada dalam pengertian
lebih banyaknya barang dan jasa ketimbang yang dikonsumsi, tapi dia siap mengakui
kemakmuran ke dalam pola mutualisnya jika kemakmuran itu tersebar secara adil.
Proudhon tak perlu menunggu lama untuk menerapkan gagasan-gagasannya.
Dia sudah bermukim di Paris pada 1847 ketika setahun kemudian menyusul revolusi
meletus dan kekuasaan raja Louis Philippe pun tumbang. Dengan menganggapnya
sebagai ‘revolusi tanpa ide-ide’, Proudhon pun terjun ke dalam perjuangan. Dia
berbicara di banyak klub terkenal dan pada Februari 1848 menerbitkan Le
Representant du Peuple. Sirkulasinya melonjak sampai angka empat puluh ribu.
Meski ditutup oleh sensor publik, karya itu muncul kembali tiga kali dengan nama
berbeda.
Dalam jurnalnya, Journal du Peuple, dia meluncurkan manifesto mutualis
pada November 1848 yang mengantisipasi aspek-aspek industri modern dalam
37 Political Contradictions: Theory of the Constitutional Movement in the 19th Century (1863-4),
SW, hal. 60
38 War and Peace (1861), SW, hal. 260
1
‘manajemen-diri’. Sembari membela properti dan keluarga, dia menyerukan
‘pembagian bebas atas hasil-hasil kerja, properti tanpa riba’. Yang terpenting, dia
menuntut: ‘Kami menginginkan kemerdekaan manusia dan warga negara yang tak
terbatas, tentu dengan memandang juga kebebasan orang lain : kemerdekaan
berasosiasi, kemerdekaan berkumpul, kemerdekaan beragama, kemerdekaan pers,
kemerdekaan berpikir dan berbicara, kemerdekaan kerja, keuangan dan industri,
kemerdekaan pendidikan, singkatnya kemerdekaan mutlak’.39
Proudhon juga sempat sebentar terlibat dalam politik parlementer kala itu. Dia
terpilih di Majelis Nasional untuk kawasan atau departement Seine pada Juni 1848
dan pada pemilihan presiden di musim gugur dia mendukung kandidat kiri Raspail.
Dalam menjaga prinsip-prinsipnya, dia memberikan suaranya untuk menentang
konsititusi baru Republik Kedua, semata-mata lantaran konsitusi itulah yang akan
menelikung kemajuan lebih jauh. Dia berupaya mengedepankan persoalan sosial
sebelum isu-isu politik, ia menuntut moratorium parsial atas hutang dan sewa. Semua
itu adalah bagian dari skemanya untuk secara berangsur mengalihkan properti
menjadi pemilikan tanpa pajak. Namun usulannya menimbulkan kegemparan dalam
majelis. Dia tidak hanya menyatakan kepada para wakil itu bahwa ‘andaikata ditolak,
kami sendiri yang akan menjalankan likuidasi tanpa kalian’, tetapi ketika dia ditanya
siapa yang dimaksud dengan ‘kami’ dia menyatakan: ‘Manakala saya mengatakan
‘kami’, saya mengidentifikasi diri saya dengan proletariat dan ketika saya mengatakan
‘kalian’, saya mengidentifikasi kalian sebagai kelas borjuis.’40 ‘Ini perang sosial!’
teriak para wakil dengan panik dan mereka kontan melakukan voting untuk mosi
Proudhon dengan jumlah 691 berbanding 2.
Pengalaman parlementernya tidaklah memuaskan dan hanya menegaskan
keyakinannya bahwa reformasi ekonomi lebih penting daripada perubahan politik.
‘Hak Pilih Universal’, demikian dia mulai menyadari, adalah ‚arus balik Revolusi’.
Terpilih hanya dua minggu menjelang pemberontakan Juni, dia benar-benar gagal
mengantisipasinya. Sebagaimana ditulisnya kali ini :

Segera setelah aku menginjakkan kaki di parlemen Sinai, aku berhenti


bersentuhan dengan massa; karena aku terkuras oleh pekerjaan
legislatifku, aku benar-benar kehilangan pandangan atas peristiwa-

39 Journal du Peuple (8-15 November 1848), Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 84,83
40 Ibid., hal. 62
1
peristiwa terkini … Seseorang harus pernah mengalami berada dalam
pengasingan yang bernama Majelis Nasional itu guna menyadari bahwa
betapa orang-orang yang sesungguhnya tidak peduli akan negaralah yang
justru mewakili negara … rasa takut terhadap rakyat, itulah penyakit
mereka yang berpihak pada kekuasaan; rakyat, bagi mereka yang
berkuasa, adalah musuh.41

Setelah menyadari betapa mustahilnya perubahan mendasar melalui parlemen,


Proudhon berupaya mendirikan Bank Rakyat dengan kredit bebas untuk
memperlihatkan jalan menuju transformasi mutualis dalam ekonomi. Bisnisnya
terbatas pada pertukaran komoditi dengan sejumlah uang sepadan dan memberikan
kredit bebas-bunga. Nilai-nilai komoditi didasarkan pada besaran kerja dan biaya
yang tercakup dalam produksi. Jelas, ini merupakan strategi yang bersifat konsensus
guna menggulirkan perubahan karena menguntungkan kebanyakan pengusaha kecil
dan buruh yang memiliki kepentingan sama. Lebih jauh strategi ini tidak berdampak
terhadap kekuatan pendorong lantaran Proudhon masih percaya bahwa kompetisi
adalah ‘bumbu bagi pertukaran, garamnya kerja. Menindas kompetisi berarti
menindas kebebasan itu sendiri.’42 Hasilnya, efektivitas Bank Rakyat itu tidak pernah
teruji karena meskipun ia mengelola dua puluh tujuh ribu nasabah, bank tersebut
bangkrut hanya dalam waktu satu tahun.
Hampir tidak ada waktu untuk melakukan eksperimen-eksperimen berani.
Penindasan keras ditebar seiring berhasilnya cuop d’etat Louis Napoleon pada
Desember 1848. Proudhon sendiri ditangkap pada bulan Januari karena menyerang
sang perebut kekuasan dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Sebelumnya ia
sempat lari ke Belgia, namun ia kembali ke Paris pada Juni 1849 dan menyerahkan
diri. Untungnya, penguasa penjara agak meringankan : dia diijinkan membaca buku-
buku, menerima kunjungan dan memilih makanan yang dia sukai serta dibolehkan
pergi ke luar selama satu hari dalam seminggu.
Dia bahkan bisa menemui istri yang baru dinikahinya dan mempunyai anak,
yang pertama dari tiga putri yang menjadi kegembiraan hidupnya. Pernikahan itu
terjadi setelah lamaran tunggal. Sambil mencemaskan kegagalan banknya dan

41 Dikutip dalam Anarchist Reader, op.cit., hal. III


42 General Idea of the Revolutionin the 19th Century (1851) (edisi 1923), hal. 132
1
keruntuhan harapan-harapan revolusionernya, bujangan berusia empat puluh satu itu
secara kebetulan melihat seorang perempuan muda sederhana di jalanan. Segera dia
menyelidiki dan meminta perempuan itu untuk menikah dengannya, dengan
menerangkan bahwa dia menyukai ‚gadis pekerja, sederhana, gemulai, naif, tekun
pada kerja dan tugasnya’. Ini adalah hubungan cinta yang sama sekali berdasarkan
otak dan dia mengabari saudaranya ‘aku mengambil seorang istri sebagai komoditi
bagi keberadaanku yang miskin …’43
Proudhon tidak menganggur di dalam penjara. Dia menulis tentang revolusi
1848, tentang kredit bebas dan dihimpun dalam Confessions of a Revolutionary
(1849). Ini adalah catatan penuh warna dan cemerlang tentang kehidupan dan
pandangan-pandangannya. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyatakan
kembali keyakinannya bahwa ‘Kami tidak lagi mengakui pemerintahan manusia atas
manusia yang tak lebih hanya eksploitasi manusia atas manusia.’ Dia juga
menegaskan kembali naluri kemerdekaannya yang runcing itu : ‘Siapa pun yang
membebankan tangannya diatasku untuk memerintahku adalah seorang perampas
kekuaasan dan seorang tiran.’44
Dia menulis pamflet Machiavellian berjudul The Social Revolution Vindicated
by the Coup d’Etat of December Second (1852), di dalamnya dia membela kolaborasi
dengan Napoleon dengan harapan tokoh ini akan menjalankan reformasi ekonomi. Si
Hantu menyeramkan bagi properti, pemerintahan dan hirarki itu menyatakan : ‘Paruh
kedua Desember adalah tanda langkah maju menuju jalan revolusioner, dan … Louis
Napoleon adalah jenderalnya’.45 Ini adalah kesalahan fatal dalam membaca karakter
Napoleon dan Proudhon menyesali penyimpangan sesaat ini yang memang
bertentangan dengan pemikiran dan tindakannya terdahulu.
Proudhon menarik pelajaran dari revolusi 1848 itu dalam salah satu karya
terpentingnya, General Idea of the Revolution in the Nineteenth Century (1851).
Karya ini merupakan pembelaan bersemangat terhadap revolusi sebagai sebuah proses
tetap dan berkelanjutan yang diatur oleh ‘hukum-hukum alami’ masyarakat. ‘Seluruh
keyakinanku’, tulis Proudhon, ‘terkandung dalam definisi berikut: “Revolusi adalah,
dalam tatanan fakta-fakta moral, sebuah tindakan pengadilan terhadap yang berkuasa

43 Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 93, 173


44 Proudhon, The Social Revolution Vindicated by the Coup d’Etat of December Second (1852)
(edisi 1936), hal. 177
45 Confessions (edisi 181851), op.cit., hal. 12, 31
1
yang berangkat dari kebutuhan. Akibatnya ada pembenaran-diri dan adalah sebuah
kejahatan jika negarawan menentang revolusi.”’46
Proudhon sekali lagi menyuarakan kutukannya terhadap kekuasaan Negara,
praduga pemerintahan dan hukum buatan manusia. Sejumlah kecil pemikir anarkis
telah menawarkan analisa serupa. Negara sepenuhnya merupakan sosok fiksi, sama
sekali tanpa moralitas. Negara telah direifikasi menjadi monster, tidak mempunyai apa
pun kecuali hutang dan bayonet.
Ia melacak asal mula Negara dan menemukan embrionya dalam keluarga
patriarki. Ia berasal dari bentuk hirarki yang di dalamnya sang pemimpin menyusun
tatanan, yaitu ‘secara prinsip ia otoritas, dalam tindakan ia pemerintahan’. 47 Dia
segaris dengan Rosseau ketika berpendapat bahwa minoritas yang mempunyai
kepentingan-diri pada awalnya berbuat curang terhadap mayoritas dengan membuat
mereka berpikir bahwa Negara menyumbangkan kebaikan umum. Ini menghunjam ke
dalam kesadaran manusia sehingga bahkan para pemikir paling berani pun melihatnya
sebagai kejahatan yang diperlukan.
Tidak ada cara untuk mengurangi kerusakannya. Pemerintahan demokratis
adalah kontradiksi karena rakyat tidak pernah benar-benar terwakili dan diajak
berunding. Pemerintahan macam ini tidak bisa mengekspresikan kehendak
konstituennya yang telah memberikan suara untuk memilihnya dan tetap tidak
berdaya sebelum dan setelah pemilu. Dalam buku catatannya, Proudhon
menggoreskan bahwa pemerintahan representatif adalah ‘penyalahgunaan tak henti-
hentinya atas kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak berkuasa dan
kepentingan para wakil rakyat, yang bertentangan dengan keinginan mereka yang
diwakili’.48 Hak pilih universal karenanya adalah lotere nyata dengan memastikan
kemenangan tirani mayoritas. ‘Diperintah’, demikian kesimpulannya dalam salah satu
ungkapan kemarahannya yang paling terkenal,

adalah diawasi, diperiksa, dimata-matai, diarahkan, diatur, ditata,


dikekang, diindoktrinasi, diceramahi, dikendalikan, dinilai, diuji, disensor,
disuruh; semuanya dilakukan oleh makhluk-makhluk yang tidak berhak,
yang tak memiliki kebijaksanaan pun kebajikan … Diperintah berarti
bahwa dalam setiap gerakan, operasi atau transaksi, seseorang dicatat,
46 General Idea of the Revolution, dikutip dalamHyams, Proudhon, op.cit., hal. 182
47 General Idea of the Revolution, dikutip dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit. hal. 86
48 Carnets (1843-1864), X, 52
1
didaftar, dikurung dalam sensus, dikenai pajak, dicap, diberi harga, dinilai,
dipaten, diberi lisensi, diberi kewenangan, dinasehati, diperingatkan,
dihalang-halangi, direformasi, diatur, dikoreksi. Pemerintahan diadakan
dengan tujuan memungut pajak, melatih, menebus, mengeksploitasi,
memonopoli, memeras, menindas, membuat bingung, merampok;
semuanya atas nama keperluan publik dan kebaikan umum. Sehingga
ketika pertama kali ada tanda perlawanan atau kata keluhan, seseorang
akan ditekan, didenda, dipandang rendah, disakiti, dikejar-kejar, dipaksa,
disiksa, dicekik, dipenjarakan, ditembak, dijadikan sasaran senjata mesin,
diadili, dijatuhi hukuman, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati, dan
sebagai penutupnya, orang itu akan diejek, dihina, disiksa dan
dipermalukan. Itulah pemerintahan, itulah keadilan dan moralitasnya! …
Wahai kepribadian manusia! Bagaimana bisa kamu tercekam ketakutan
dalam penaklukkan selama enam puluh abad?49

Sementara tentang hukum, seperti halnya Rosseau, Proudhon mengawalinya


dengan berpendapat bahwa tidak seorang pun harus mematuhi hukum kecuali mereka
sendiri telah merestui hukum tersebut. Dalam kasus ini, hukum dalam demokrasi
parlementer tidak memiliki legitimasi karena individu tidak secara langsung terlibat
dalam pembuatannya: ‘Hukum telah dibuat tanpa partisipasi saya, tanpa memandang
keberatan mutlak saya, tanpa memandang kerugian yang membuat saya menderita.’ 50
Tapi, berbeda dengan Rosseau, Proudhon menolak definisi kebebasan sebagai
kapasitas untuk mematuhi hukum yang dipaksakan sendiri. Jika mesti ada perundang-
undangan, ungkap Proudhon dengan yakin, sayalah yang harus menjadi pembuat
undang-undang bagi diri saya sendiri; dan jika saya adalah pembuat undang-undang,
saya tidak perlu membuat hukum untuk diri saya.
Bagi Proudhon, segala hukum sangat bersifat memaksa dan membatasi pilihan
serta tindakan individu; hukum meletakkan ‘otoritas eksternal … sebagai pengganti
otoritas warga negara yang imanen, tak bisa diasingkan dan tak bisa dipindahkan’. 51
Lebih jauh dia menegaskan ‘Organisasi macam apa pun sepadan dengan penindasan

49 General Idea of the Revolution, dikutip dalam Guerin, cf. Guerin, Anarchism, op.cit. hal. 15-
16
50 Ibid., dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 96-7
51 General Idea of the Revolution (edisi 1923), hal. 374, 378
1
terhadap kemerdekaan, sejauh yang diperhatikan oleh orang-orang bebas.’ 52 Dia
selanjutnya menolak argumen umum bahwa hukum dan kebajikan adalah saling
berkaitan dan bahwa orang yang adil adalah orang yang mematuhi hukum. Dia
membedakan secara jelas antara manusia yang diatur hukum dengan aturan-aturan
moral umum. Dia menerima yang kedua, jika diterima secara sukarela, dan mengutuk
yang pertama. Sebagaimana ditulisnya dalam Confessions, ‘hakim sejati bagi setiap
orang adalah kesadarannya sendiri, inilah fakta yang menunjukkan perlunya
penggusuran sistem peradilan dan hukum untuk diganti dengan sistem kewajiban dan
kontrak personal, dengan kata lain, represi terhadap insitusi-insitusi legal’.53
Proudhon menyimpulkan bahwa pemerintah adalah sesuatu yang tidak perlu
guna membangun tatanan, kendati ada persamaan yang populer antara ‘hukum dan
tatanan’. Pertama-tama, tidak ada keterkaitan logis mengingat ‘Tatanan adalah genus
sementara pemerintah adalah spesies’.54 Kedua, tidak ada hubungan sebab akibat
antara keduanya mengingat aturan politik biasanya gagal mengendalikan konflik
sosial. Juga bahwa pemerintahan dan hukum adalah kejahatan yang tidak diperlukan
dan mesti dihilangkan. Proudhon karenanya menyatakan dalam satu bagian tulisan
yang bisa dianggap sebagai ringkasan keyakinannya sebagai seorang anarkis:

Kedaulatan akal telah digantikan oleh wahyu; gagasan tentang kontrak


menggantikan paksaan; kritik ekonomi mengungkapkan bahwa institusi-
institusi politik sekarang mesti diserap ke dalam organisme industri : kita
tanpa rasa takut menyimpulkan bahwa rumusan revolusioner tidak bisa
lagi berupa pemerintahan langsung atau jenis pemerintahan apa pun,
melainkan harus menjadi : tak ada lagi pemerintahan.55

Ditegaskannya, daripada hukum dia lebih memilih kontrak bebas atau


kesepakatan sukarela yang dia anggap sebagai negosiasi kekuasaan. Kontrak bebas
didasarkan bukan pada keadilan distributif atau distribusi menurut kebutuhan, tetapi
berdasarkan keadilan komunikatif : saling pertukaran menguntungkan. Dalam bentuk
kontrak itu, komunitas-komunitas menjalankan kewajiban saling menguntungkan dan

52 Correspondence (Paris, 1875), IV, 149


53 Confessions (edisi 1929), hal. 236
54 General Idea of the Revolution (edisi 1923), hal. 116
55 Ibid., dikutip dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal 91
2
jaminan timbal balik untuk mempertukarkan barang yang nilainya setara. Kontrak
tersebut juga tidak akan tunduk kepada apa pun di luar kekuasaan dan tidak
memaksakan kewajiban apa pun terhadap kelompok-kelompok yang saling bersepakat
kecuali yang dihasilkan dari ‘janji personal mengenai pelayanan timbal balik’. 56 Inilah
yang menjadi dasar anarkismenya yang matang.
Proudhon dibebaskan dari penjara pada 1852, tapi suasana represi di bawah
kekuasaan Napoleon III tidak memungkinkan para sosialis untuk menerbitkan
gagasan-gagasan mereka. Pada 1854, sang pengarang yang telah menghasilkan
banyak karya dan bertahan atas tekanan itu dengan berat hati mengaku kepada
sahabatnya ‘Karir literer sekarang agaknya sudah tertutup bagiku. Tidak ada
percetakan, tidak ada penjual buku di Paris yang berani menerbitkan atau menjual
milikku yang mana pun … tampaknya Masyarakat benar-benar yakin bahwa aku
adalah musuh terbesarnya dan mereka telah mengucilkanku. Terra et qua interdictus
sum!’57
Toh nyatanya dia jauh untuk bisa dikatakan berhenti. Empat tahun kemudian,
terilhami oleh seorang pembuat pamflet Katholik, Proudhon menuliskan karya
terbesarnya dalam bidang etika, Justice in the Revolution and the Church (1858). Di
dalamnya dia meletakkan prinsip-prinsip etika yang implisit dalam semua karya-karya
terdahulunya dan mengklarifikasi pandangannya tentang manusia.

Sifat Manusia
Kendati mirip Godwin – berkeyakinan bahwa manusia secara potensial
memang rasional, progresif dan adil -- dia memulai dari satu posisi yang sangat
berlainan. Pijakan awalnya, ia percaya manusia itu konstan dan tidak berubah.
Karakteristik pertama sifat kita adalah bahwa kita adalah individu-individu;
masyarakat ada setelah individu. Tapi ini memang melulu abstrak sehingga individu
dinilai berada dalam keadaan terasing; individu adalah ‘bagian integral dari eksistensi
kolektif’.58 Masyarakat sama nyatanya sebagaimana individu yang menyusunnya.
Dengan demikian kolektivitas atau kelompok adalah kondisi mendasar seluruh
eksistensi dan masyarakat, seperti halnya individu, memiliki ‘kekuatan, keinginan dan
kesadaran sendiri’.59 Proudhon lantas melangkah melintasi pendekatan atomistis

56 General Idea of the Revolution, op.cit., SW, hal 97


57 Proudhon kepada Bergmann, Maret 1854, dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 210
58 Justice, op.cit., SW, hal. 249
59 Ibid., hal. 233
2
Godwin dan Stirner, dan berpendapat bahwa individu dalam satu kelompok
menciptakan ‘kekuatan kolektif’ dan ‘akal kolektif’ yang berada di atas sejumlah
kekuatan dan kecerdasan individu yang menyusun kelompok tersebut. Dia juga
menilai keluarga sebagai agen sosialisasi terpenting dalam masyarakat sekaligus
sebagai sumber sentimen moral dan kapasitas sosial kita.
Namun wujud sosial tersebut tidak mencegah kita untuk bersikap agresif. Sifat
gemar berkelahi yang kita miliki itulah yang membangkitkan konflik dan perang.
Menurut Proudhon, manusia pada dasarnya bebas dan egois. Dia mampu
mengorbankan diri demi cinta dan persahabatan tetapi sepanjang aturannya mengikuti
kepentingan dan kesenangannya sendiri.60 Akibatnya dia pasti akan berupaya
memperoleh kekuasaan atas yang lainnya.
Untuk menghindari konflik, Proudhon menyiratkan bahwa manusia primitif
mencari seorang pemimpin dan menciptakan sebuah hirarki sosial. Ini mengarah
kepada eksploitasi terhadap yang lemah oleh yang kuat. Untuk memaksakan konflik
sosial, agamalah yang pertama-tama dimanfaatkan. Tapi ketika terbukti itu belum
cukup, lantas didukung dengan kekuasaan pemerintah yang bersifat memaksa. Tapi
pemulihan tegas yang dilakukan pemerintah terhadap konflik akhirnya menjadi
penyebab tambahan bagi keberadaannya: ‘Pemerintah memang progresif ketika
membela masyarakat dari orang-orang biadab. Tapi tidak ada lagi orang-orang
biadab : yang ada hanya para buruh yang oleh pemerintah diperlakukan seperti orang-
orang biadab’.61
Syukurlah kita punya rasionalitas potensial. Bagaimanapun ada jalan keluar
dari kebuntuan yang nyata ini. Sebagaimana ditulis Proudhon dalam Confessions-nya,
‘dalam masyarakat sekaligus dalam individu, akal dan refleksi selalu menang atas
naluri dan spontanitas. Inilah gambaran karakteristik spesies kita dan ini mencatat
fakta bahwa kita mengalami kemajuan. Juga bahwa Alam dalam diri kita terlihat
mundur ketika Akal justru maju.’62 Seraya manusia mengembangkan kekuatan dan
kedewasaan berpikirnya secara moral, dia juga mampu melawan otoritas politik dan
agama dan mencapai tahapan yang di dalamnya batasan-batasan semu pemerintahan
dan hukum dapat dihilangkan. Pembebasan sedang diraih.

Etika

60 Justice (edisi 1930-5), I, 306


61 Carnets, op.cit., VII, 219
62 Confessions, op.cit., SW, hal. 243
2
Dalam etikanya, Proudhon menolak sanksi Gereja dan Negara. Dia tentu saja
telah membuang jauh Katolisisme masa kecilnya dan sudah menyimpulkan bahwa
‘Tuhan adalah kejahatan’. Kendati pernyataan itu mengandaikan keberadaan Tuhan
dan sifat moralnya, Proudhon nyatanya telah menjadi seorang ateis yang yakin.
Dengan begitu, baginya, manusia tidak bisa bersandar pada ketuhanan untuk
menjamin kemajuan; sebenarnya, ‘Setiap langkah maju kita merepresentasikan satu
lagi kemenangan yang di dalamnya kita menghapuskan Ketuhanan’.63 Namun
Proudhon tidak menyimpulkan seperti Stirner bahwa hanya manusialah yang
menciptakan nilai-nilai moral. Dia masih memegang teguh gagasan bahwa keadilan
bersifat imanen dalam dunia dan melekat sebagai kesadaran bawaan manusia. Oleh
sebab itu kita bisa bersandar pada panduan meyakinkan dan standar pamungkas dalam
upaya-upaya kita menciptakan dunia yang lebih baik.

Keberadaan sosial kitalah yang menumbuhkan daya kita dalam moralitas :


Manusia adalah bagian integral keberadaan kolektif sehingga dia
menyadari baik martabat dirinya sendiri maupun martabat orang lain.
Alhasil, dalam dirinya dia menyimpan prinsip-prinsip kode moral yang
bergerak di luar individu … Prinsip-prinsip itu membentuk esensinya dan
esensi masyarakat itu sendiri.64

Seperti Kant, Proudhon mendasarkan kasusnya tentang kebaikan intrinsik dalam


dunia dan manusia pada intuisi a priori: ‘Ada hal-hal yang kunilai baik dan patut
dipuji a priori, meski aku belum mengetahui hal-hal tersebut dengan jelas.’ 65
Proposisi bahwa alam semesta didirikan di atas hukum keadilan dan bahwa keadilan
diorganisasikan menurut hukum-hukum alam semesta, karenanya hadir ‘dalam jiwa
manusia tidak hanya sebagai ide atau konsep melainkan juga sebagai emosi atau
perasaan’.66 Tambahan lagi Proudhon adalah seorang pengkaji logika kewajiban moral
atau deontologis lantaran keyakinannya bahwa nilai-nilai intrinsik bukanlah alat
mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri.

63 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 221


64 Justice, op.cit., SW, hal. 249
65 Justice (edisi 1858), III, 340
66 Ibid., IV, 433
2
Mirip Godwin, dalam pandangan Proudhon tiap individu adalah hakim atas
benar dan salah serta ‘diberi kuasa untuk bertindak sebagai otoritas atas diri sendiri
dan orang lain’. Namun manakala tiap orang mempunyai hak penilaian pribadi, hanya
ada satu kebaikan tunggal yang melekat : Keadilan. Untuk prinsip yang mengemuka
itulah, Proudhon mencurahkan tulisan-tulisannya yang panjang dan mempesona;
sesungguhnya setelah dengan berani membuang Tuhan Kristen, dia memperkenalkan
kembali dirinya dalam samaran yang berbeda berkaitan dengan Keadilan : ‘Keadilan
adalah Tuhan tertinggi,’ demikian ia mengabarkan kepada kita, ‘itulah Tuhan yang
hidup’.67
Idee princesse ini, atau keadilan dalam sebutan Proudhon, tidak pernah
terdefinisikan secara jelas. Keadilan kerap disamakan dengan kesetaraan, tapi
tampaknya lebih dekat ke penghargaan, tindak menghargai. Proudhon berupaya
mendefinisikannya sebagai: ‘tindak menghargai yang muncul spontan dan menjamin
relasi timbal balik penghargaan terhadap martabat manusia yang ada dalam diri orang
macam apa pun dan dalam keadaan apa pun serta dengan resiko apa pun yang akan
menimpa’.68 Betapapun, definisi Proudhon juga tak sepenuhnya jelas. Dalam praktek,
Proudhon tampak bermaksud bahwa kita harus menghargai orang lain sebagaimana
kita berharap dihargai orang lain jika kita berada dalam posisi mereka – sebuah
prinsip yang tidak begitu berbeda dengan aturan utama Kristen. Dalam medan sosial
dan ekonomi, ini berarti bahwa semua manusia harus menerima sesuatu sepadan
dengan nilai diri mereka.
Keadilan, lebih jauh lagi, bagi Proudhon menuntut kewajiban menghargai
orang lain benar-benar sebagai keberadaan moral dan pembelaan atas martabat serta
kebebasan. Keadilan tidak meluncur dari rasa kebajikan spontan tetapi dari
perhitungan rasional atas ganjaran : altruisme adalah ‘perasaan naluriah yang berguna
dan terpuji untuk ditanamkan, tapi bertentangan karena ia jauh dari penumbuhan
martabat dan tindak menghargai’.69 Posisi ini menyisakan sebuah permasalahan etika
mendasar bagi Proudhon.
Pada satu sisi, kelihatannya saya menjadi hakim tunggal bagi tindakan-
tindakan saya dan orang lain harus menghormati hak saya untuk memilih dan

67 Justice (edisi 1868), I, 326, 43


68 Ibid., I, 225, Ritter, Proudhon, op.cit., hal. 68, memaknai keadilan sebagai penghormatan;
Gray, The Socialist Tradition, op.cit., hal. 235, dan Woodcock, Pierre-Joseph Proudhon (Routledge &
Kegan Paul, 1956), hal. 208, menyamakan keadilan dengan persamaan.
69 Justice (edisi 1858), I, 416
2
bertindak sekehendak saya. Pada sisi lain, orang lain berkewajiban menjamin bahwa
saya berperilaku layak moral. Masyarakat memiliki ‘fungsi-fungsinya sendiri, dan
yang asing bagi kita adalah ide-idenya yang dikomunikasikan kepada kita,
penilaiannya yang sama sekali tidak mirip dengan penilaian kita, pun keinginannya,
yang kesemuanya itu berada dalam posisi diametral terhadap insting kita’.70 Maka
akan ada konfllik tak terhindarkan antara moralitas pribadi kita dengan konvensi
moral masyarakat. Proudhon gagal memecahkan ambivalensi sentral ini dalam
etikanya. Kadangkala dia merayakan toleransi, tapi bisa juga ia menyatakan :
‘Penyesuaian adalah adil dan penyimpangan itu tercela’.71 Relativisme moral dan
kultural ini mengarahkannya membela praktek-praktek seperti perbudakan dalam
masyarakat di mana kala itu praktek tersebut secara umum diterima.
Kebingungan teoretis Proudhon memuncak di bagian akhir Justice in the
Revolution and the Church manakala dia mengemukakan tekanan sosial atau opini
publik sebagai alat untuk mewujudkan kemenangan kebajikan : ‘masyarakat’ harus
‘menggunakan stimulus kuat kesadaran kolektif untuk mengembangkan perasaan
moral seluruh anggotanya’. Dia berusaha mengurangi kecenderungan kasarnya
dengan mengutarakan bahwa tidak seperti halnya ajaran Tuhan, penguasa atau
ilmuwan yang memaksakan tekanan, tekanan sosial hanya dapat bekerja jika
diinternalisasikan dalam individu seperti ‘sejenis perintah rahasia dari dalam dirinya
dan bagi dirinya sendiri’.72 Tapi jalan ini tidak punya keterkaitan logis dengan seluruh
teori Proudhon yang lainnya. Ini juga bersifat palsu karena semua tekanan sosial
menurut sifat dasarnya pasti terasa kasar bagi individu.
Menambah buruk permasalahan, dalam tulisan yang tidak diterbitkan, Treatise
on Political Economy (1849-55) Proudhon bahkan memikirkan sebuah kelompok
panitia rahasia untuk memperkuat opini publik. Elit puritan ini akan menjamin bahwa
kesadaran individu akan diajari mengidentifikasi kesadaran sosial demi kelangsungan
hidup sosial. Panitia ini akan dilibatkan dalam eksekusi pribadi atas perbuatan kejam
sekaligus menghukum pengkhianatan dan perzinahan. Di sinilah Proudhon mencapai
titik kemundurannya yang paling rendah. Dalam karyanya yang diterbitkan, yang
berbicara tentang keadilan, dia akhirnya menolak keadilan panitia itu tetapi terutama
lebih dalam praktek ketimbang dalam tataran moral. Akan sangat sulit menemukan

70 Philosophy of Progress (1853) (edisi 1946), hal. 66-7,


71 Dikutip dalam Ritter, Proudhon, op.cit., hal. 63-4
72 Justice (edisi 1858), IV, 368; I, 325, untuk pembahasan yang menarik dari kontradiksi ini,
lihat Ritter, Prodhon, op.cit., hal. 83
2
manusia yang cukup murni untuk menjalankan tugas panitia semacam itu dan
kekuasaan mereka toh akan dengan mudah merosot menjadi kekuasaan teror atau
moralisasi kepatuhan. Hasilnya, dalam perumusan etikanya, Proudhon tidak pernah
berhasil memecahkan ketegangan antara penilaian pribadi dengan opini publik dan
antara otonomi moral dengan konvensi.
Serangan terbuka terhadap Gereja dan Negara dalam Justice in the Revolution
and Church lagi-lagi menelurkan dakwaan bagi sang pengarang. Proudhon dijatuhi
hukuman tiga tahun penjara, tapi kali ini kebijaksanaan yang diberikan adalah bagian
yang lebih baik dari keberaniannya. Dia pergi ke pengasingan di Belgia. Di sana dia
menetap sampai dia diampuni lewat sebuah amnesti pada 1860. Dia kembali ke
Perancis hanya untuk dua tahun ketika kemudian permusuhan penduduk lokal
memaksanya pergi setelah dia menulis artikel kritis tentang nasionalisme.
Selama tinggal di Belgia, Proudhon menulis War and Peace yang berpengaruh
besar terhadap Tolstoy. Karya ini menghamparkan kesaksian atas sifat paradoks dalam
pemikiran Proudhon. Sepintas, dia memuja-muja perang sampai taraf tertentu
sehingga dia tampak sebagai apologi bagi hak untuk unjuk kekuatan. Untuk sebagian,
itu disebabkan temperamennya yang suka bertikai yang membuatnya merayakan
perlawanan : ‘Bertindak adalah bertempur’, tegasnya.73 Disamping ia memang juga
berkeyakinan bahwa perang punya akar dalam keberadaan kita : ‘Perang itu bersifat
ketuhanan, perang memang primordial dan esensial bagi kehidupan dan bagi produksi
manusia dan masyarakat. Perang bersemayam sangat dalam pada kesadaran manusia
dan ide-idenya mencakup semua hubungan manusia.’74 Perang kurang lebih
merupakan ‘dasar sejarah, kehidupan dan seluruh wujud kita’; tanpanya, manusia
akan tinggal dalam keadaan ‘tidur siang permanen’. 75 Begitulah, ia sebenarnya
melangkah kelewat jauh dengan merepresentasikan perang sebagai wahyu keadilan
ideal karena perang adalah alat perata yang dahsyat dan bisa memusnahkan yang
lemah. Perang akan abadi sepanjang kemanusiaan juga abadi.
Kadang-kadang Proudhon menawarkan penjelasan psikologis tentang konflik
manusia dan mengemukakan bahwa ‘nafsu cepat marah yang kita miliki mendorong
diri kita untuk berperang’.76 Pada kesempatan lain, dia memberikan penjelasan
ekonomi dan berpendapat bahwa sebab utamanya adalah kemiskinan. Namun dia juga

73 War and Peace (1861), SW, hal. 204


74 Ibid., hal. 23
75 Ibid., hal. 207
76 War and Peace (edisi 1927), hal. 121
2
menggambarkan perang dalam istilah-istilah logis sebagai ‘rumusan abstrak
dialektika’.77 Dalam analisa akhirnya, Proudhon bukanlah seorang determinis
ekonomi seperti Marx karena dia berpendapat bahwa kemiskinan pada dasarnya
adalah suatu fakta psikologis dan melihat agresi sebagai pembawaan sifat manusia
yang tidak berubah.
Tapi tidak lantas kita selamanya menyalahkan mimpi buruk Hobbesian tentang
perang semua melawan semua. Menurut Proudhon, akan datang suatu masa dalam
perkembangan manusia tatkala perang bisa memberikan jalan bagi kedamaian. Lagi-
lagi akal yang memberikan kunci keluar dari kebuntuan. Sepanjang sejarah, institusi-
institusi represif berangsur-angsur menjalankan tugas mendidik kesadaran dan akal
sehingga dorongan untuk berperang dapat diubah menjadi sesuatu yang kreatif.
Proudhon merasa bahwa tahap ini telah dicapai pada pertengahan abad sembilan belas
dan bahwa tidak ada seorang pun bisa memulai perang agresif tanpa tunduk kepada
‘kecurigaan yang salah’. Tapi bahkan pengakuan ini berlawanan dengan wataknya :
‘Semoga Tuhan melindungi saya dari berceramah kepada kawan saya tentang
kebaikan yang lembut dan nikmatnya kedamaian!’, seru Proudhon.78 Seperti Setan
Milton, tampaknya Proudhon menyediakan retorika terbaiknya untuk perang, bukan
kedamaian.
Dalam tahun-tahun terakhirnya, Proudhon sebagaimana biasa aktif menulis.
Diilhami oleh sahabatnya Gustave Courbert, dia menulis On the Principle of Art
(1861) yang di dalamnya dia melihat tugas sosialnya untuk ‘memajukan kita,
menolong kita dan menyelamatkan kita’. Dia juga mengembangkan teori realis
tentang seni dengan menuntut seniman untuk berkarya berdasarkan pengamatan
nyata. Dalam frase yang mengingatkan pada definisi Godwin tentang kebenaran dan
judul romannya, Caleb Williams, Proudhon menyatakan bahwa kita tidak hanya mesti
mengawali dengan ‘melihat benda-benda sebagaimana mereka adanya’ tapi juga tugas
seniman adalah menggambarkan kita ‘sebagaimana benar-benar kita adanya’.79
Ironisnya, doktrin ini menjadi dasar gagasan Soviet tentang realisme sosialis dalam
seni, sementara anarkisme berpengaruh lebih kuat terhadap para seniman avant-garde
dalam gerakan Dadais dan Surealis di awal abad dua puluh.

Politik

77 Ibid., hal. 347


78 War and Peace, op.cit., SW, hal. 210
79 On the Principle of Arts (1861), SW, hal. 215-6
2
Bersemangat menjelaskan gagasannya tentang organisasi sosial, Proudhon
selanjutnya menulis The Federal Principle (1863). Dia menyatakan kembali bahwa
‘Pemerintahan berdasarkan kebebasan adalah pemerintahan atas setiap orang oleh
dirinya sendiri, yaitu anarki atau pemerintahan-swakelola.’ Ini harus dicapai melalui
prinsip-prinsip federalisme dan desentralisme. Sikapnya terhadap federalisme
merupakan salah satu sumbangan terpentingnya bagi teori anarkis dan menjadi sangat
relevan saat ini seiring dengan terpecahnya kerajaan-kerajaan dan munculnya aliansi-
aliansi kebangsaan baru. Guna melawan kecenderungan kekuasaan yang suka
menggemukkan kuasanya, dia menyarankan masyarakat dipecah menjadi federasi atas
sekumpulan daerah otonom. Kontrak antar mereka yang berupa kesepakatan eksplisit
haruslah bisa didiskusikan, diadopsi dan diamandemen sesuai keinginan partai-partai
yang terlibat kontrak. Sebenarnya dengan menelusuri kata itu sampai ke akarnya
dalam bahasa Latin, Proudhon menyebut federasi sebagai sebuah ‘kontrak politik’.80
Unit mendasar dalam masyarakat tetaplah komune yang di dalamnya asosiasi-
asosiasi mutualis dalam pemilikan properti dan kaum buruh independen
mempertukarkan produk-produk kerja mereka dan mengorganisasikan hubungan-
hubungan mereka melalui kontrak bebas yang bersifat bilateral dan berdasarkan
pertukaran yang sepadan. Produksi pertanian akan berbasis pada keluarga, meski
Proudhon mengakui kemungkinan bekerjanya asosiasi-asosiasi industri besar
sekaligus juga yang kecil.
Masyarakat bagaimanapun akan tetap tersusun dari bawah ke atas. Unit-unit
terbesar dalam federasi akan mengemban kekuasaan paling sedikit dan paling kecil.
Level-level tertinggi juga akan tunduk kepada level-level terendah. Setiap unit
masyarakat akan berkuasa dan memiliki hak melepaskan diri dari federasi. Delegasi
akan dikirim ke majelis federal, sembari para pejabat otoritas federal bisa ditarik
kembali (recallable) dan otoritas itu sendiri akan segera habis kewenangannya setelah
menyelesaikan tugas-tugasnya yang spesifik.
Proudhon berpendapat bahwa sistem federal semacam demikian sangat
berlawanan dengan hirarki atau tata administrasi pemerintahan tersentralisasi. Namun
demikian, jelas juga bahwa guna menyelesaikan perselisihan, partai-partai harus
mengirimkan seorang penengah independen kepada pihak otoritas. Karena kontrak
politik itu mengikat, warga negara harus melepaskan sejumlah kebebasannya untuk
mencapai tujuan khusus yang demi itulah kontrak dibuat, yakni untuk menjamin
80 The Federal principle (1863), SW, hal. 103, 106
2
bahwa mereka berpegang teguh pada kontraknya. Proudhon memang menyangkal
bahwa otoritas demikian serupa dengan pemerintahan dan semata-mata merupakan
agen partai-partai yang mengadakan kontrak. Tapi sulit untuk yakin bahwa otoritas itu
akan berkembang memusat menjadi satu. Proudhon secara drastis membatasi hak
melepaskan diri dari federasi dengan menegaskan bahwa dalam perselisihan mengenai
penafsiran dan penerapan syarat-syarat kontrak federal, mayoritas punya hak
memaksa kerelaan minoritas. Lagi-lagi kekuasaan menampilkan wajah buruknya
dalam skema Proudhon dan secara serius melanggar otonomi setiap anggota. Dengan
berpendapat bahwa otoritas dan kebebasan saling berprasangka satu sama lain,
Proudhon menggabungkan batas-batas dari anarkisme sampai liberalisme dengan
keyakinannya dalam sebuah Negara minimal untuk menjamin kontrak-kontrak itu
terjaga. Ancaman sanksi oleh otoritas federal juga mungkin akan mengurangi ikatan-
ikatan keyakinan-diri mengenai kewajiban antar warga negara.
Seiring menuanya Proudhon, dia memperlihatkan tanda-tanda konservatisme
yang meningkat, terutama pandangannya mengenai properti dan pemerintahan. Dia
memang masih menginginkan terciptanya distribusi properti yang adil yang di
dalamnya para pekerja menerima nilai kerjanya. Dalam karyanya, Theory of Property
yang ditulis antara 1863 dan 1864, dia menjelaskan posisi awalnya dengan
menyatakan bahwa dia tidak menentang kepemilikan pribadi demi kesejahteraan itu
sendiri, melainkan ia hanya menentang sejumlah penyalahgunaan yang mungkin
muncul darinya.81 Toh kemudian ia mengidentifikasi properti dengan keluarga,
institusi paling keramat yang di dalamnyalah hak warisan dipertahankan. Dia bahkan
lebih menyukai properti pribadi dalam pengertian absolut dan tidak bisa dicabut
ketimbang sebagai ‘pemilikan’ karena dia menganggapnya hanya sebagai kekuasaan
yang bisa bertindak sebagai imbangan terhadap Negara. Setelah berperang melawan
penyalahgunaan properti selama sebagian besar masa hidupnya, Proudhon
menyimpulkan bahwa hal ini memiliki kualitas yang melekat dalam sifat dasar dari
nilai terbesarnya. Yang terpenting, semua itu bersifat ‘liberal, federalis, desentralis,
republikan, egaliter, progresif, adil’.82 Ironi tertinggi dalam kehidupannya yang
kompleks adalah ketika lelaki yang pernah dengan berani menyatakan bahwa
‘Properti adalah Curian’ itu akhirnya menimbang properti pribadi sebagai benteng
pertahanan terbesar melawan tirani Negara.

81 Lihat Theory of Property (1863-4), hal. 17


82 Ibid., hal. 208
2
Proudhon juga menggagas pemikiran kedua tentang otoritas dan pemerintahan.
Telah sejak lama dia menimbang bahwa kedua soal itu bertentangan dengan
kedaulatan dan kebebasan manusia. Pada 1853 dia menyatakan kembali keyakinan
politik 1840 : ‘Aku seorang anarkis, yakni sebuah pernyataan negasi -- atau lebih
persisnya -- ketidaklayakan prinsip otoritas’.83 Tapi sepuluh tahun kemudian dia mulai
berbicara tentang ‘pemerintahan’ anarki ketimbang tentang ‘keterpaduan tatanan dan
anarki’ sebagai bentuk tertinggi masyarakat:

Saya telah menyebutkan ANARKI atau pemerintahan tiap orang atas


dirinya sendiri -- atau seperti kata orang Inggris, self-government --
sebagai satu contoh rejim liberal. Karena ungkapan ‘pemerintahan
anarkis’ adalah istilah kontradiktif, sebagai sistem ia kelihatannya
mustahil dan idenya absurd. Betapapun, sebenarnya hanya bahasanya
yang perlu dikritik.84

Sebenarnya bukan semata-mata persoalan linguistik yang dipertaruhkan melainkan


juga persoalan konseptual. Toh Proudhon kali ini bersikeras bahwa jauh dari
bertentangan dengan otoritas, kemerdekaan ‘mengandaikan otoritas yang didalamnya
terjadi proses tawar menawar, menahan diri dan toleransi’. 85 Sehingga dalam
masyarakat mana pun bahkan yang paling liberal, ada ruang yang dicadangkan untuk
otoritas. Otoritas dan kemerdekaan merupakan dua prinsip yang saling bertentangan
dan yang mendasari segala bentuk masyarakat terorganisir. Mengingat keduanya tidak
bisa dipecahkan atau dihilangkan, maka masalahnya adalah bagaimana menemukan
kompromi antara keduanya. Lalu ia ajukan rumusan baru : ‘penyeimbangan otoritas
oleh kemerdekaan, dan sebaliknya’ -- tidak perlu menghapus yang terdahulu untuk
menyadari yang belakangan.86
Nyatanyalah, Proudhon akhirnya menerima perlunya sebagian bentuk
pemerintahan minimal. Pemerintah pusat dalam masyarakat federal dan mutualisnya
bukanlah semata-mata sebagai penengah netral dan penguat melainkan juga sebagai
pengambil inisiatif. Kendati menyerahkan penentuan kebijakan kepada kekuasaan

83 Philosophy of progress (1853), SW, hal. 90


84 Federation, op.cit., SW, hal. 91
85 Ibid. (edisi 1959), hal. 271-2
86 Ibid., SW, hal. 102, C.f. hal. 104
3
lokal, dia menuntut bahwa ‘Dalam masyarakat bebas, peranan Negara atau
Pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, mengambil inisiatif, mencipta, melantik,
dan menyusun’. Jauh dari meluruh, fungsi-fungsi Negara ‘sebagai penggerak utama
dan pengarah keseluruhan tidak pernah berakhir’.87
Namun meski Proudhon kali ini menerima perlunya pemerintahan dan otoritas
dalam periode transisional, sebagaimana ia ajukan dalam karyanya yang diterbitkan,
dia masih berpandangan ke depan. Yakni ke masa tatkala otoritas politik yang
tersentralisasi akan menghilang, digantikan oleh insitusi-insitusi federal dan pola
hidup berdasarkan komune. Manakala kepentingan-kepentingan individu dan kolektif
menjadi identik dan segala bentuk paksaan hilang, kita akhirnya akan mencapai
‘keadaan merdeka total atau anarki’ yang di dalamnya ‘hukum-hukum Masyarakat
akan berjalan dengan sendirinya melalui spontanitas universal dan tidak harus
diperintah atau dikendalikan.’88
Baginya, dalam prinsip federalisme ada jalan untuk mengatasi batas-batas
nasional dan berharap Eropa akhirnya akan menjadi konfederasi yang terdiri atas
federasi-federasi. Tetapi nasionalismenya sendiri menjadi semakin sempit dan
xenofobi. Dia suka mengklaim bahwa patriotismenya tidaklah ekslusif, bahwa dia
tidak akan pernah memasrahkan ketaatan pada negerinya di atas hak manusia. Jika dia
harus memilih, dia akan bersiap-siap mengorbankan negerinya demi keadilan. Toh dia
berpendapat bahwa republik federal harus selalu memberi warga negaranya preferensi
di atas orang asing dalam semua transaksi.
Proudhon lantas mulai menyatakan keyakinan yang hampir Mesianis dalam
hal takdir negerinya sendiri. Ia secara sistematis menentang apa pun yang bermusuhan
atau asing bagi ‘tanah suci Galia’. Dia ingin melihat Perancis kembali ke ‘asal-
usulnya’, membebaskan semuanya dari keyakinan luar negeri dan institusi-institusi
asing: ‘Ras kita telah sejak lama tunduk pada pengaruh Yunani, Roma, Barbar, Yahudi
dan orang Inggris.’89 Bagi Proudhon, Perancis menjadi ekspresi akhir Ide
Revolusioner dan dia menilai hubungan luar negeri terutama dari perspektif
kepentingannya.
Akibatnya, dia menentang gerakan kaum nasionalis di Polandia dan Hungaria.
Dalam Federation and Unity in Italy-nya (1862), dia juga bersikap kritis terhadap
upaya-upaya ‘Jacobin Mazzini’ untuk menciptakan bangsa tersentralisasi karena dia
87 Ibid., hal. 108, 110
88 Surat, 20 Agustus 1864, SW, hal. 92
89 Prodhon kepada Pierre Leroux, 7 Desember 1849, ibid., hal. 196
3
takut bahwa Italia serikat yang begitu kuat akan mengancam peranan Perancis sebagai
kekuatan Katolik utama. Ini membuatnya mempertahankan dukungan Napoleon
terhadap Paus dalam rangka menentang Giribaldi dan Raja Sardinia. Tak heran
beberapa penulis nasionalis Perancis pada awal abad lalu menimba inspirasi dari
Proudhon.
Pandangan-pandangan tersebut bukanlah penyimpangan sesaat dalam diri
Proudhon. Ada aspek-aspek pemikirannya yang bersifat reaksioner sejak awal. Ini
paling terlihat nyata dalam doktrinnya tentang kesetaraan.
Definisi keadilan menurut proudhon juga terkait erat dengan prinsip
kesetaraan, yang dalam kosa kata Proudhon keduanya nyaris tampak sebagai dua
istilah yang saling bertukaran. Baginya, kesetaraan adalah hukum alam : manusia
terlahir setara dan masyarakat itu sendiri bergerak menuju kesetaraan bakat dan
pengetahuan. Ketimpangan muncul sebagai hasil kebiasaan sosial dan pendidikan.
Proudhon meyakini bahwa hirarki merupakan instrumen terkuat dalam praktek
penindasan. Dia menyimpulkan bahwa perlawanan Rosseau terhadap rasa hormat
ditujukan terhadap mereka yang memiliki kekayaan, kekuasaan dan gengsi. Hirarki
bukan hanya melahirkan eksploitasi tapi juga rasa hormat yang membiakkan
‘keuntungan khusus, hak istimewa, pembebasan, kemurahan hati, pengecualian,
semua pelanggaran keadilan’.90 Menyikapi itu semua, Proudhon menegaskan bahwa
kesetaraan adalah sebuah kondisi yang diperlukan bagi kemerdekaan.
Proudhon percaya bahwa Revolusi 1789 telah mendeklarasikan prinsip-prinsip
Kesetaraan dan Kebebasan dalam arena politik; maka pada pertengahan abad
berikutnya, tibalah masanya untuk memperluasnya sampai ke wilayah ekonomi.
Komitmen kuatnya pada prinsip kesetaraan mendorong ia menguraikan skema
mutualismenya di atas basis pertukaran sepadan antara barang dan jasa sesuai
keadilan komutatif, bukan distributif. Dia sepenuhnya menentang prinsip sosialis
dengan keadilan distributif yang berdasarkan kebutuhan – dikembangkan oleh Louis
Blanc dan Etienne Cabet – lantaran prinsip itu melestarikan sejumlah ketidaksetaraan.
Namun, dengan semua perhatian mulianya itu, sedari awal ada lubang
menganga dalam doktrin Proudhon mengenai kesetaraan. Layaknya para pengacara
Revolusi Perancis beserta hak-hak mereka, Proudhon hanya menerapkannya bagi
kalangan lelaki Eropa. Bisa ditebak dari sikapnya kepada istrinya, Proudhon
menganggap perempuan secara bawaan berada di bawah laki-laki dalam hal
90 Justice (edisi 1930-5), III, 174
3
kecerdasan dan kebaikan. Selapisan kecil lelaki tampil, secara kategoris, dalam
supremasi kelelakian mereka: ‘Wujud sempurna … adalah lelaki. Perempuan adalah
tiruan lebih kecil dari laki-laki.’91 Lantas dinyatakannya pula bahwa perempuan
adalah istilah pertengahan antara lelaki dengan dunia binatang. Dia mengidealkan
lelaki sebagai pencipta, perempuan sebagai pengguna; yang pertama memiliki otak
yang berpikir, yang kedua hanya memiliki hati untuk merasa. Proudhon bahkan
memperhitungkan inferioritas total perempuan terhadap lelaki dengan perbandingan
27:8.
Tempat yang pantas bagi perempuan karenanya adalah rumah dan peran
layaknya adalah sebagai instrumen reproduksi. Dia tidak punya hak kontrasepsi;
‘kepercayaan haruslah menjadi pantangan eksklusif’ perkawinan dalam soal kontrol
populasi.92 Perkawinan itu sendiri mesti kuat ikatannya : perkawinan adalah persatuan
‘kekuatan’ lelaki dengan ‘kelemahlembutan’ perempuan dengan pihak lelaki tetap
sebagai yang superior dalam ‘kerja, pengetahuan dan hak’. 93 Sembari mengakui
bahwa otoritas terlahir bersama keluarga dan keluarga adalah embrio Negara,
Proudhon tetap tak mau merubah pemikirannya tentang kebutuhan untuk
mempertahankan institusi patriarki ‘alami’ dalam keluarga. Otoritas dalam skema
Proudhon, harus dibuang dari seluruh bagian masyarakat kecuali rumah tempat lelaki
tetap berkedudukan sebagai sang tuan yang tidak perlu dipersoalkan lagi dan istrinya
adalah pelayannya yang patuh. Proudhon, tidak berapa lama sebelum kematiannya,
bahkan menulis jilid ketiga karyanya yang berjudul Pornocracy, or Women of Modern
Times (1875) yang di dalamnya dia dengan sengit menyerang kaum feminis Saint-
Simonian yang menuntut kemerdekaan seksual dan intelektual. Jadilah sebagai
sesuatu yang memalukan untuk selamanya : bapak anarkisme ini berpihak kepada
kaum reaksioner paling kasar yang dengan bangga menganggap dirinya berada di
tengah-tengah mereka yang berpikir bahwa ‘seorang perempuan cukup pintar jika
perempuan itu tahu bagaimana menambal pakaian kita dan memasak steak untuk
kita’.94
Tak heran jika kita menyimak dalam pemikiran Proudhon bahwa perempuan
benar-benar tidak diperhitungkan dalam kehidupan publik: ‘masyarakat tidak

91 Justice (edisi 1868), IV, 134


92 Proudhon kepada Joseph Garnier, Februari 1844, dikutip oleh Hyams, Proudhon, op.cit., hal.
64
93 Justice, op.cit., SW, hal. 254
94 Dikutip oleh Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 274
3
melakukan sedikit pun ketidakadilan terhadap perempuan dengan menolak
kesetaraannya di depan hukum. Masyarakat memperlakukannya sesuai bakat dan hak-
hak istimewanya. Perempuan sesungguhnya tidak punya tempat di dunia politik dan
ekonomi.’ Jika perempuan berdiri sama tinggi dengan lelaki dalam kehidupan publik,
ini berarti ‘kematian cinta dan kehancuran ras manusia’.95
Proudhon tidak kurang berpraduga dan dogmatis dalam hal ras. Dengan
perayaannya yang mengesankan akan kesetaraan laki-laki, dia bersikeras bahwa ada
ras yang ‘terlahir jahat dan bajingan’ yang inferioritasnya dipertegas oleh upaya untuk
mendidik mereka. Dalam gerak kemajuan, mereka akan tersapu bersih: dalam huruf-
huruf besar Proudhon menyatakan bahwa ‘hukum revolusi’ adalah ‘L’EGALITE OU
LA MORT!’96 Dia sangat anti-Semit dan menginginkan semua orang Yahudi kecuali
mereka yang telah menikahi wanita Perancis dikeluarkan dari Perancis: ‘Yahudi
adalah musuh ras manusia. Ras ini harus dikirim kembali ke Asia, atau
dimusnahkan.’97
Dengan demikian, dia mendahului Nazi Jerman dalam penekanannya tentang
keterkaitan antara darah dan tanah. Dia menegaskan bahwa ‘Tanah adalah milik ras
manusia yang dilahirkan di atasnya, sebab tidak ada orang lain yang mampu
mengembangkannya sesuai keperluannya. Orang Kaukasia tidak pernah bisa beralih
ke Mesir.’ Mengenai pencampuran ras, selama hal itu bisa memberi kekuatan bagi ras
asli, ‘darah bisa dicampur tetapi tidak akan bisa berbaur. Satu dari dua ras selalu
berakhir dengan kembali kepada jenisnya dan menyerap yang lain.’ 98 Dalam posisinya
berkaitan dengan ras dan perempuan, tidak ada sesuatu pun yang secara jelas
menyingkap asal-muasal pemikiran puritannya yang sempit sekaligus sosoknya
sebagai petani Franche-Comte yang reaksioner.
Kecenderungan konservatif dalam pemikirannya – tampak amat jelas dalam
pandangan-pandangannya tentang perempuan dan ras -- pada masa tuanya diusungnya
juga ke wilayah lain. Misalnya, dia menggusur dialektika Hegelian yang sedemikian
tegas dalam pemikiran di masa mudanya, dan mendekat ke tokoh liberal John Stuart
Mill dengan mengemukakan bahwa gerak perlawanan tidak harus berarti menuju
sintesis yang lebih tinggi atau pembauran melainkan menuju pada kesetimbangan.

95 Justice, op.cit., SW, hal. 255, 256


96 Justice (edisi 1868), I, 304-5
97 Carnets, op.cit., SW, hal. 228n
98 Justice, op.cit., SW, hal. 260
3
Dari perspektif inilah dia menyarankan properti sebagai imbangan terhadap kekuatan
Negara, dan menghendaki otoritas sebagai imbangan kebebasan.
Pertumbuhan minatnya juga tampil dalam pandangannya tentang kemajuan.
Dalam Economic Contradictions-nya, telah dia tulis bahwa kemanusiaan dalam
perkembangannya mematuhi suatu ‘kebutuhan yang tak dapat diubah’. 99 Dalam
karyanya Philosophy Progress (1853), lebih lanjut ia mendefinisikan kemajuan
sebagai ‘sebuah penegasan gerakan universal’ dan mengklaim bahwa yang telah
mendominasi studinya dan menyusun keahliannya sebagai seorang pemikir adalah
‘dalam semua hal dan di mana pun, saya menyatakan Kemajuan dan bahwa tidak
kurang tegasnya, dalam semua hal dan di mana pun, saya mencela yang Mutlak’.
Ketika dia menulis Justice in the Revolution and Church (1858), dia menekankan
‘Kita tidak bergerak menuju sebuah kesempurnaan ideal atau keadaan akhir’.
Kemanusiaan, seperti juga penciptaan, tak henti-hentinya berubah dan
mengembangkan ‘ideal Keadilan dan Keindahan yang harus kita capai yang memang
berubah sepanjang waktu.’100
Kendati kesehatannya menurun dan konservatismenya meningkat, Proudhon
masih amat berkepentingan untuk soal emansipasi kelas buruh. Dalam pemilihan
presiden pada 1863, dia menegaskan pentingnya abstain atau ‘suara diam’ bagi
mereka yang berpendapat bahwa untuk meraih kekuatan politik melalui kotak suara
adalah perlu. Terpukau oleh ‘Manifesto Enam Puluh’ yang diluncurkan oleh sebuah
komite kelas buruh guna mendukung kandidat mereka, Henri Tolain, ketika pemilihan
di Paris pada 1864, dalam surat terbuka dia mengakui adanya konflik kelas yang
menajam yang membagi ‘masyarakat menjadi dua kelas. Yang satu adalah kelas
pekerja. Yang satu lagi kelas pemilik properti, kapitalis dan wiraswastawan’.101 Tak
sebeberapa lama sebelum kematiannya, dia menulis buku berjudul On the Political
Capacity of the Working Classes (1865), antara lain untuk menyatakan bahwa dia
memilih proletariat sebagai pembawa obor revolusi dan merekomendasikan satu
taktik baru untuk meraih kemerdekaan dan keadilan.
Toh Proudhon tidak pernah menjadi seorang ahli taktik yang piawai dan ia
banyak mengadopsi bermacam strategi selama hidupnya. Pertama-tama dia bersandar
pada metode Godwin tentang pendidikan rasional : ‘Rangsanglah, peringatkan,

99 Economic Contradiction (edisi 1923), I, 385


100 Philosophy of Progress, op.cit., SW, hal. 246; Justice, op.cit., SW, hal. 245
101 Dikutip dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 122
3
beritahu, perintahkan, tapi jangan ditanamkan.’102 Dia tidak punya waktu bagi
alternatif-alternatif yang diajukan oleh sosialis sejamannya. Kontrol buruh terhadap
industri, menurutnya, hanya akan memangkas perusahaan dan produktivitas
sementara pajak penghasilan progresif baginya akan lebih melegitimasi hak istimewa
ketimbang melahirkan kesetaraan. Ketika pecah Revolusi 1848 di Perancis, dia lantas
menyalahkan usulan Louis Blanc karena Negara kesejahteraan yang dikemukakannya
akan memerlukan kekuasaan diktatorial dan rencananya menasionalisasi industri
cuma akan merubah lapisan para manajer dan pemegang saham saja. Mengenai
kediktatoran revolusioner dari Auguste Blanqui, hal itu bukanlah apa-apa kecuali
sekedar pemujaan kekuatan: ‘Justru teori tentang segala pemerintahanlah yang pada
gilirannya akan melawan kelas yang memerintah; masalah tirani mayoritas akan
dipecahkan sesuai kepentingan kaum buruh, sebagaimana sekarang ini hal itu
dipecahkan sesuai selera kaum borjuis.’103
Dari pengalaman ‚parlementer Sinai’-nya yang riskan itu, Proudhon beralih ke
topik-topik penyehatan ekonomi sebagai upayanya mewujudkan masyarakat mutualis.
Toh, jika saja Bank Rakyat-nya itu berhasil, gagasan tersebut hanya akan menguatkan
kaum borjuasi besar dan, utamanya, menguntungkan kelas menengah komersial.
Karena putus asa akan peristiwa-peristiwa tersebut, menyusul keakrabannya yang
singkat dan memalukan dengan Napoleon III, ia bahkan mempertimbangkan sebuah
pola bagi ‘kediktatoran di atas rakyat Paris’.104 Tapi Proudhon segera sadar bahwa hal
itu akan menjadi lebih buruk dan sia-sia, sehingga dia pun mundur kembali ke
gradualisme. Perombakan moral terlebih dahulu baru kemudian ekonomi politik,
sekarang adalah perkara penghimpunan segenap daya revolusioner, ‘attente
revolutionnaire’.
Dalam karya terakhirnya On the Political Capacity of the Working Class
(1865), Proudhon tiba-tiba mengajukan strategi baru yang tajam. Dia sampai pada
pandangan bahwa perubahan sosial ada dalam kerangka perjuangan kelas. Seiring
kian terjepitnya kelas menengah komersial, ada polarisasi yang melebar antara borjuis
besar dengan proletariat. Proletariatlah yang semakin berpengaruh bersamaan dengan
pertumbuhan kapasitas politik dan kesadaran kelasnya. Oleh sebab itu, tugas
revolusioner ada di pundak mereka. Yakni untuk bersatu di bawah kepemimpinan para
petani dan lapisan bawah kelas menengah.
102 Carnets, op.cit., VI, 269
103 Ibid., IX, 2
104 Dikutip dalam Ritter, Proudhon, op.cit., hal. 172
3
Penggabungan dengan analisa Marxian ini merupakan penekanan yang
diperbarui dalam pandangannya soal pendidikan kelas buruh. Proudhon senantiasa
merayakan kerja sebagai salah satu aktivitas terbesar manusia dan menatap ke depan
ke masa tatkala ‘Kerja akan menjadi tuhan, kerja akan menjadi agama.’ 105 Dia
membenci pembagian kerja di bawah sistem pabrik yang mensyaratkan adanya
spesialisasi dan memerosotkan pekerja menjadi alat semata-mata. Karenanya dia
menghendaki seorang pekerja muda untuk dikerja-magangkan dalam banyak
perdagangan. Dia juga merekomendasikan pendidikan simultan bagi pikiran dan
tubuh yang menggabungkan studi seni dan sains dengan kerja di lapangan dan pabrik.
Dengan cara ini dia berharap bisa membentuk pekerja serba bisa.
Proudhon terus mengkritik kalangan kiri dan kanan dalam politik. Dia
bersikeras bahwa laissez-faire para ekonom pasar-bebas sama menindasnya seperti
pemerintah karena menjamin ‘kemenangan yang kuat atas yang lemah, kemenangan
mereka yang memiliki properti atas mereka yang tidak memiliki apa-apa’. 106 Pada saat
yang sama, dia kembali menyerang ‘sosialisme Negara’. Utamanya versi komunis
Louis Blanc. Dengan kejernihan profetik, Proudhon di masa senjanya mencermati
bahwa

sistem komunis sungguhlah doktriner, otoriter, diktatorial dan memerintah


berdasarkan prinsip bahwa individu pada hakikatnya tunduk terhadap
yang kolektif; bahwa hanya melalui itulah ia memiliki hak dan
kehidupannya; bahwa warga negara adalah milik Negara seperti halnya
anak milik keluarga; bahwa seseorang berada dalam kekuasaan dan
pemilikan Negara, in manu, dan bahwa orang itu harus memberikan
kepatuhan dan ketaatan kepada Negara dalam semua hal.107

Ihwal kediktatoran proletariat yang diusung oleh Marx, Proudhon secara


profetik berpendapat bahwa ini akan memastikan perbudakan universal, sentralisasi
yang mencakup segala hal, penghancuran sistematis terhadap pemikiran individu,
polisi yang merecoki secara berlebihan, beserta ‘hak pilih universal yang

105 Justice, op.cit., SW, hal. 83


106 On the Political Capacity of the Working Class (1865) (edisi 1924), hal. 141
107 Dikutip dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 135
3
diorganisasikan untuk tak henti-hentinya melayani tirani anonim ini’. 108 Sebagai
pengganti laissez-faire kapitalisme dan sosialisme Negara, Poudhon akhirnya sekali
lagi mengajukan sistem mutualismenya sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan
masyarakat bebas : ‘Dalam sistem ini, buruh bukan lagi pelayan negara yang
dihempas gelombang komunitas. Dia adalah orang bebas, tuan bagi dirinya sendiri
yang bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri dan bertanggung jawab secara
pribadi.’109
Ketika sampai pada taktik praktis, Proudhon menolak pemulihan serikat
perdagangan dan jalan parlementer menuju kekuasaan. Sebagai penggantinya dia
menyarankan taktik penarikan diri secara total dari politik terorganisir dengan tujuan
mengajak seluruh Perancis ke dalam mutualisme dan federalisme: ‘Mengingat dunia
lama telah menolak kita’ jalan ke depan adalah ‘memisahkan diri kita darinya secara
radikal’.110 Dia yakin bahwa faktor terpenting dalam gerakan rakyat adalah
spontanitasnya dan bahwa revolusi bisa secara spontan merubah seluruh masyarakat.
Proudhon meninggal pada 1865. Masa hidupnya cukup lama untuk menyimak
bahwa banyak kelas buruh di Perancis yang menyambut nasihatnya dan bahwa First
International didirikan sebagian besar oleh para pengikutnya. Ironi puncak dalam
kehidupannya adalah bahwa lelaki yang merasa terasing dari rekan-rekan sejamannya
ini, ketika diantarkan menuju taman pemakaman di Passy, toh diiringi oleh ribuan
khalayak yang berkabung. Menyusul enam tahun kemudian kaum Proudhonian tampil
sebagai kelompok terbesar yang membentuk Komune Paris. Reputasi Proudhon
sedemikian hebatnya sampai-sampai seorang anggota komune begitu saja
mengacung-ngacungkan salinan tulisannya yang belum disunting, yaitu On the
Political Capacity of the Working Class demi mendemonstrasikan keseriusan
komitmen revolusionernya.
Proudhon, tak diragukan lagi, adalah salah seorang pemikir paling paradoks
dan inkonsisten pada abad sembilan belas. Pandangan lugasnya tentang sifat manusia
tak pelak lagi bersifat sepihak dan versinya tentang sejarah sungguh spekulatif. Dia
menghadirkan manusia sebagai individu yang memerintah diri sendiri dan mengakui
‘kekuatan kolektif’ kelompok-kelompok sosial, tetapi gagal menyusun pandangan-
pandangan ini dalam totalitas yang koheren. Dia melihat manusia dihancurkan oleh
hasrat-hasrat destruktif tetapi mampu melakukan kontrol rasional. Dia tidak secara
108 Ibid., hal. 138
109 Political Capacity, op.cit., SW, hal. 60
110 Political Capacity (edisi 1924), hal. 236
3
tepat mendefinisikan hubungan antara dorongan-dorongan egoistik dengan dorongan-
dorongan kebajikan. Yang paling penting, sebagaimana ditunjukkan Marx, dia gagal
melihat bahwa manusia bukanlah esensi yang tidak berubah melainkan produk sejarah
yang berubah dalam gerak perkembangannya.
Dalam etikanya, Proudhon tidak secara tepat mendefinisikan keadilan. Kendati
rumusannya tentang rasa hormat mencakup kewajiban untuk menahan diri sekaligus
ikut campur dalam urusan orang lain, dia gagal melukiskan batas-batas antara
otonomi pribadi dengan intervensi sosial. Dia lagi-lagi dengan memuaskan
memecahkan dilema antara kesadaran individu dengan konvensi-konvensi moral
masyarakat. Otonomi mengharuskan kita mengikuti kesadaran kita sendiri, bukan apa
yang ditentukan oleh masyarakat. Tapi Proudhon siap memanfaatkan tekanan sosial
untuk membuat individu menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat.
Institusi etikanya pada dasarnya tidak bisa disepakati atau disangkal, sehingga
berada di luar diskusi. Dia tidak menawarkan kenyataan apa pun untuk membuktikan
bahwa hukum-hukum keadilan melekat baik dalam alam maupun dalam kemanusiaan.
Dia mengklaim bahwa sains sosial juga tidak teruji dan dia membuat kekeliruan
klasik dengan membuat penilaian moral tentang ‘fakta-fakta’.
Dalam ekonominya, Proudhon menghamparkan kegiatan tawar menawar
sebagai pola utama hubungan sosial. Setelah menolak Negara dan segala bentuk
perencanaan sentral, dia melihat pasar sebagai alat mencapai pertukaran yang
sepadan. Masyarakat mutualisnya tersusun dari individu-individu rasional yang
memperhitungkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Tapi ini tampaknya
mengabaikan ‘kekuatan kolektif’ kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi
sosial. Inilah kelemahan yang juga tak terjawab oleh semua bentuk sosialisme pasar.
Paham akan sifat korosif kegiatan tawar menawar semacam demikian, Proudhon tidak
memperluasnya sampai ke keluarga patriarki yang di dalamnya cinta menggantikan
perhitungan dan rasa hormat melarang ‘pengorbanan total seseorang’.111 Dengan kata
lain, pertanda kelemahan posisinya tampil jelas : dia merasa terpaksa kembali mundur
ke masalah keluarga dengan tujuan mengimbangi kepentingan-diri publik dengan
altruisme pribadi. Ironisnya, keluarga memberikan dasar moral bagi skema
kontraktual Proudhon; tanpanya, tidak akan ada rasa moral.
Dalam masyarakat mutualisnya, Proudhon meninjau kontrak untuk mengganti
hukum dan pemerintahan. Tapi versinya tentang kontrak sebagai kesepakatan yang
111 Justice (edisi 1930-5), III, 429
3
diterima dan saling menguntungkan, tidak memaksakan kewajiban apa pun kepada
kelompok-kelompok yang mengadakan kontrak kecuali yang berangkat dari janji-janji
pribadi. Dengan pandangan menantangnya tentang manusia, sulit melihat mengapa
semuanya tidak mesti merosot menjadi pertengkaran tanpa akhir atau penyelesaian
yang didiktekan. Bahkan jika kontrak-kontrak tersebut, sebagaimana diajukannya,
dibuat bersifat publik, formal dan eksplisit, serta opini publik memperkuat kewajiban
moral murni atas janji-janji, tidak ada kepastian akhir bahwa orang akan memegang
teguh kesepakatan mereka. Guna memecahkan perselisihan ia memilih merujuk
kepada otoritas federal dan tuntutannya akan pengungkapan sumpah setia terhadap
aturan-aturan kontrak menunjukkan bahwa dia menyadari kesulitannya. Tapi
pengajuan itu tak pelak lagi akan mengarah pada penyusunan kembali Negara.
Mengingat keyakinannya bahwa manusia pada dasarnya agresif, egois dan
ingin berkuasa, tampaknya tidak bisa dihindari bahwa mereka akan merenggut
kekuasaan dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Proudhon berusaha
mengurangi bahayanya dengan menyetarakan kekuasaan organisasi-organisasi dan
dengan menganjurkan perbedaan: ‘kemerdekaan terbesar individu dan kelompok
harus sejalan dengan keberagaman terbesar dalam banyak kombinasi’. 112 Tetapi
prinsip perbedaan sosial itu tidak sepenuhnya berkembang. Kendati Proudhon lagi-
lagi mengadopsi versi keadilan komutatif sebagai aturan bagi semua kegiatan tawar
menawar untuk menghasilkan kesetaraan, para pekerja keras dalam skema Proudhon
akan mendapatkan lebih dan sebuah hirarki kerja yang baru akan tercipta untuk
muncul kembali dalam jangka waktu lama. Sebagaimana kemudian ditunjukkan
Kropotkin, kriteria kebutuhan sebagai prinsip distribusi, lebih daripada sekedar
produktivitas.
Namun kendati Proudhon tetap membingungkan secara teoretis, setidaknya dia
memberikan perhatian pada permasalahan utama tentang pemerintahan dan properti
yang menindas kemanusiaan. Karena rasisme, chauvinisme dan patriotismenya, tidak
masuk akal jika melihatnya sebagai pelopor fasisme; dia tetaplah seorang liberal
dalam baju proletar. Dia, bersamaan dengan usianya yang menua, mungkin telah
menjadi lebih konservatif dalam pandangannya tentang pemerintahan dan properti,
dan kurang menentu dalam hal kemajuan, tetapi pengalaman pahit telah
mengajarkannya kesulitan-kesulitan dalam mencapai tujuan. Pengakuannya akan

112 Ibid., III, 409, 424


4
kapasitas politik kelas buruh adalah kemajuan penting dalam posisi taktis
permulaannya.
Walaupun ada dimensi otoriter pada karyanya, kebebasan adalah tujuan akhir
Proudhon sekaligus merupakan kunci menuju pemikirannya. Baginya, kebebasan
menunjukkan pembebasan sempurna dari setiap kemungkinan gangguan : orang bebas
yaitu orang yang ‘terlepas dari segala kekangan, internal dan eksternal’. Kebebasan
dalam pengertian absolut ini tidak hanya menolak semua tekanan sosial, opini publik
dan kekuatan fisik dari luar, melainkan juga suara nurani atau rangsangan hasrat dari
dalam. Ini memungkinkan individu berpikir dan bertindak menurut kesenangannya,
menjadi otonom seutuhnya. Juga tidak mengakui ‘hukum, motif, prinsip, sebab, batas
tujuan, kecuali dirinya sendiri’.113 Tidak heran bahwa upaya apa pun untuk mencapai
kebebasan tak terbatas macam demikian akan menghadapi rintangan-rintangan besar.
Tapi bahkan jika ini adalah sebuah tujuan yang mustahil, upaya cacat Proudhon untuk
mencapainya membuat dia menjadi salah satu tokoh libertarian terbesar. Bukan tanpa
alasan yang benar bahwa Bakunin mengakuinya sebagai bapak gerakan anarkis
historis.

***

113
4
4

Anda mungkin juga menyukai