Pierre-Joseph Proudhon
Sang Filsuf Kemiskinan
‘Anda seorang republikan?’ Republikan, ya, tapi kata ini tidak tepat
artinya. Res publica adalah kebaikan publik. Sekarang sembarang orang
yang menginginkan kebaikan publik, di bawah bentuk pemerintahan apa
pun, dapat menyebut dirinya seorang republikan. Raja-raja juga adalah
republikan. ‘Jadi anda seorang demokrat?’ Bukan. ‘Apa, anda mungkin
seorang monarkis!’ Bukan. ‘Seorang Konstitusionalis?’ Ya Tuhan! ‘Jadi
anda berpihak pada aristokrasi.’ Tidak sama sekali. ‘Apakah anda
menginginkan pemerintahan campuran?’ Jelas tidak. ‘Lantas siapa anda?’
Saya seorang anarkis.
‘Saya paham, anda memang satiris atas biaya pemerintah.’ Tidak sama
sekali. Saya baru saja memberi anda pernyataan keyakinan saya yang
serius dan betul-betul dipertimbangkan. Kendati saya seorang pendukung
kuat tatanan, saya adalah seorang anarkis dalam arti sepenuhnya.1
2 Proudhon, System of Economic Contradictions or the Philosophy of Poverty (1846), SW, hal.
231
2
Proudhon acap kali menampilkan dirinya sebagai penentang pemujaan yang
terasing dan eksentrik. Tulisnya pada 1848 : ‘Tubuhku secara fisik berada di tengah
orang-orang, tetapi pikiranku ada dimana-mana. Pikiranku membawaku ke satu titik
dimana aku dengan orang-orang sejamanku nyaris tidak bersepakat dalam hal apa pun
dalam arus gagasan kami’. Dia suka menganggap dirinya sebagai orang yang ‘terkucil
dari jamannya’ dan bangga akan fakta bahwa dia tidak termasuk ke dalam kelompok
atau partai mana pun.3 Nyatanya, ini lebih merupakan satu sikap ketimbang sebuah
penilaian diri yang tepat.
Setelah diterbitkannya What is Property? pada 1840, kontan Proudhon menuai
pengaruh penting yang luas. Marx memujinya sebagai ‘karya yang tajam’ dan
menilainya sebagai ‘pengujian atas properti yang pertama kali dan yang menentukan,
bersemangat dan ilmiah.’4 Proudhon mulai menghantui imajinasi kaum borjuis
Perancis sebagai l’homme de la terreur yang mewujudkan semua bahaya revolusi
kaum proletar.
Seiring mulai berkembangnya gerakan buruh di Perancis, pengaruh Proudhon
pun tumbuh pesat. Gagasan-gagasannya amat mewarnai wacana kelompok-kelompok
kelas buruh yang amat berjasa membentuk First International. Pun kelompok tunggal
terbesar dalam Komune Paris tahun 1871 adalah sebuah tampilan Proudhonian.
Menyusul putusnya hubungan Bakunin dengan Marx, yang menandai terpecahnya
jalan kaum libertarian dan sosialis statis, organ kelompok anarkis militan pertama
yang berkedudukan di Swiss itu menegaskan: ‘Anarki bukan penemuan Bakunin …
Proudhon-lah bapak sejati anarki’.5 Dan Bakunin sendiri adalah yang pertama
mengakui bahwa ‘Proudhon adalah guru kami semua’.6
Penekanan Proudhon pada ekonomi sebelum perjuangan politik dan
anjurannya terhadap kelas buruh agar mengemansipasikan diri melalui keringat
mereka sendiri, juga mengantarkannya menjadi bapak anarko-sindikalisme. Murid-
murid Proudhon tidak hanya mendirikan Confédération Générale du Travail, gerakan
serikat perdagangan Perancis, tapi juga muncul inisiatif Fernand Pelloutier dengan
3 Proudhon kepada Maurice, 25 februari 1848, SW, hal. 155; Correspondence (Paris, 1874-5),
VI, 313
4 Marx, The Holy Family, dikutip oleh Edward Hyams, Pierre-Joseph Proudhon: His
Revollutionary Life, Mind and Works (John Murray, 1979), hal. 40
5 Bulletin de la Fédération Jurassienne, 39 (24 September, 1884); dikutip oleh Jean Maitron,
Histoire du mouvement anarchiste en France (1880-1914) (Paris: Société Universitaire, 1955), hal. 32
6 Dikutip oleh George Woodcock, ‘On Proudhon’s “What is Property?”’, Anarchy 106
(Desember 1969), hal. 353
3
Federation des Bourses du Travail-nya yang berupaya mendidik kelas buruh senapas
dengan gagasan mutualis yang diajukan Proudhon.
Pengaruh Proudhon tidak hanya terbatas di Perancis. Selama 1870-an, ide-
idenya mengilhami Pi y Margall dan para federalis di Spanyol dan narodniks di Rusia.
Sosialis besar Rusia Alexander Herzen menjadi teman dekatnya. Tolstoy yang
mengagumi gagasan Proudhon tentang properti dan pemerintahan, mencarinya dan
meminjam judul War and Peace-nya (1861) untuk roman dahsyatnya. Di Jerman,
Proudhon berpengaruh mendalam bagi gerakan sosialis awal di sana; pada 1840-an,
kepada Lassale orang memberi salut sebagai harapan terbesar Proudhonisme di negeri
itu. Di Amerika pandangan-pandangan Proudhon mencetak publikasi luas, terutama
melalui Charles Dana dari Fourierist Brook Farm dan William B. Greene. Benjamin
R. Tucker -- ‘tokoh yang selalu tampil sebagai Proudhonian tanpa tahu tentangnya’ –
mengutip semboyan atau bon mot Proudhon ‘Kemerdekaan bukanlah puteri tetapi ibu
dari Tatanan (Liberty is not the Daughter but the Mother of Order)’ sebagai seruan di
sampul depan jurnal Liberty-nya. Di Inggris, gerakan sindikalis sebelum Perang
Dunia I menyerap gagasan-gagasan Proudhon dan bahkan versi G.D.H. Cole tentang
sosialisme serikat kerja nyaris serupa dengan apa yang diajukannya.7
Abad Proudhon ini masih akan tetap kontroversial, rupanya. Upayanya
menemukan hukum-hukum yang memerintah masyarakat, menerbitkan reputasi bapak
pendiri sosiologi baginya. Ide-idenya diadopsi para penulis sosialis lantaran layak
diterapkan untuk negara-negara berkembang di Dunia Ketiga. 8 Karyanya juga
dicuplik oleh pengusung nasionalis Kanan karena pembelaannya terhadap para
pemilik properti-kecil dan kepentingan-kepentingan Perancis. Dia tidak hanya
disanjung sebagai salah satu ‘pendekar revolusi-tandingan abad sembilan belas’,
tetapi juga sebagai seorang ‘penanda fasisme’. 9 Namun yang terus berlanjut adalah
sosoknya yang paling dikenang sebagai pelopor gerakan anarkis historik.
Proudhon lahir sebagai anak pelayan kedai minuman di Besançon di belahan
Franche-Comte tak jauh dari perbatasan Swiss. Keluarganya adalah petani mandiri
dan pekerja kasar di kawasan pegunungan selama beberapa generasi dan dia
7 Lihat Alan Ritter, The Political Thought of Pierre-Joseph Proudhon (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1969), hal. 198-9; Paul Avrich, ‘Proudhon and America’, Anarchist Portraits
(Princeton NJ: Princeton University Press 1988), hal. 14-17
8 Lihat misalnya René Dumont, False Start in Africa (1966)
9 Lihat Louis Dimier, Les Maitres de la contre-révolution au XIXéme siéde (Paris, 1907); J.
Salwyn Schapiro, ‘Pierre-Joseph Proudhon, Harbinger of Fascism’, American Historical Review, I,
(1945), 714-37; Henri Bachelin, P.-J. Proudhon, socialiste national (Paris, 1941); dan karya Ritter,
Proudhon, op.cit., hal. 7-8
4
membanggakan diri bahwa dia ‘dibentuk dengan batu murni Jura’. 10 Dia
mengenangkan masa kecilnya sebagai masa indah yang hilang. Dari usia lima sampai
sepuluh, dia menghabiskan banyak waktunya di pertanian keluarganya di desa. Ini
sepenggalan kehidupan yang menggelarkan basis realistis bagi pemikirannya. Itulah
juga yang meniupkan individualitasnya yang berapi-api, yang membuatnya
belakangan menyatakan: ‘Siapa pun yang membebankan tangannya atasku untuk
memerintah adalah perampas dan tiran : dan aku serukan dia sebagai musuhku.’ 11
Kehidupannya juga menumbuhkan sikap puritan dan patriarkal yang membuatnya
menuntut kesederhanaan dan menempatkan perempuan terutama hanya sebagai
pelayan yang patuh. Yang pasti, pengalaman tumbuh dan besar di desa telah begitu
dalam menanamkan akar kehidupan yang dekat dengan tanah dan keyakinan mistik
kuat tentang tanah. Pengalaman itu menumbuhkan sensibilitas ekologis yang
belakangan membuatnya meratapi hilangnya ‘perasaan yang dalam terhadap alam’
yang hanya bisa diberikan oleh kehidupan desa :
Pada usia dua belas, Pierre-Joseph muda mulai bekerja sebagai kuli gudang
dalam bisnis ayahnya di Besancon. Namun, dia tetap berusaha mendapatkan beasiswa
College de Besancon, sekolah terbaik dengan reputasi akademik yang bagus di kota
itu. Tapi sayang, ayahnya yang lebih suka membuat bir ketimbang menjalankan bisnis
dinyatakan bangkrut ketika Pierre-Joseph berusia delapan belas. Dia harus putus
sekolah dan mencari kerja untuk penghidupan; pada 1827 dia memutuskan bekerja di
percetakan. Kehidupan Proudhon selanjutnya sebagai tukang, mengajarinya
pandangan independen tentang masyarakat, manakala kontrol personal yang dia
jalankan terhadap pekerjaannya toh cuma menghadirkan alienasi sistem pabrik baru.
Pengalaman itu juga membikin ia berpikir lagi untuk melanjutkan studinya. Pada
15 Alexis de Tocqueville, The Old regime and the French Revolution (New York: Anchor, 1955),
hal. 57
16 Dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 29
17 Proudhon, What isPproperty? (1840) (edisi 1841), p.v.
7
segera mengambil kesimpulan yang berakibat tidak kurang paradoksnya bahwa
bentuk sejati pemerintahan adalah anarki.’18
Proudhon menjawab pertanyaannya sendiri ‘Apakah itu properti?’ dengan
paradoks yang berani : ‘Properti adalah Pencurian’. Ini menjadi slogan paling
terkenalnya dan dampaknya telah begitu bergema. Tapi kendati Proudhon mengklaim
bahwa prinsip itu mendatangi dirinya sebagai wahyu dan merupakan pemikirannya
yang paling berharga, Morelly pernah mengungkapkan gagasan serupa dalam abad
sebelumnya dan Brissot adalah yang pertama kali menyatakannya selama Revolusi
Perancis.
Kenyataannya, Proudhon melakukan kajian yang sangat spesifik tentang
properti dan slogannya tidak serevolusioner sebagaimana bunyinya. Stirner dengan
cepat menunjukkan bahwa konsep ‘pencurian’ hanya dimungkinkan jika seseorang
menyetujui validitas utama konsep properti.19 Proudhon tidak menyerang properti
pribadi begitu saja; dalam karya yang sama sesungguhnya dia menyebut para komunis
ingin mengkolektifkan harta sebagai musuh kebebasan. Dia terutama menentang para
pemilik properti besar yang membebankan pajak kepada buruh dan diklaim sebagai
droit d’ aubaine. Pada titik ini dia condong menyepakati properti sepanjang itu berarti
‘pemilikan’, dengan hak-hak istimewa kepemilikan yang dibatasi berdasarkan
penilaian pertambahan manfaat yang dihasilkannya.
What is Property? bukan hanya menantang para kapitalis tapi juga menyerang
para sosialis jamannya. Dia dengan sengit menyerang komunisme sebagai penindasan
dan perbudakan. Dia yakin bahwa manusia senang memilih pekerjaannya sendiri,
sementara sistem komunisme ‘berawal dari prinsip bahwa individu secara keseluruhan
harus tunduk pada kolektivitas’.20 Karenanya hal itu memperkosa baik prinsip-prinsip
kesetaraan maupun otonomi kesadaran yang begitu dekat dengan hati Proudhon.
Adakah jalan antara akumulasi properti Scylla dengan komunisme
Charybdis21? Bisakah masyarakat hadir tanpa kapital dan pemerintahan atau Negara
komunis? Proudhon berpikir bahwa dia telah menemukan jawabannya. Dia yakin
bahwa kekuasaan yang dimiliki manusia atas manusia berbanding terbalik dengan
Properti dan royalti sedang rontok sedari dunia ini ada. Begitu manusia
mencari keadilan dalam kesetaraan, masyarakat mencari tatanan dalam
anarki.
Anarki, itulah dia, tidak adanya pemerintah atau penguasa. Inilah bentuk
pemerintahan yang semakin dekat kita tuju hari demi hari.22
Menanggapi adanya kemarahan yang, tak diragukan lagi, ditunjukkan oleh tuduhan
tak langsung Proudhon tentang sikap intoleransinya, Marx memilih tidak menjawab
surat itu. Tapi ketika karya Proudhon berikutnya, System of Economic Contradictions,
or The Philosopy of Poverty, muncul pada 1846, Marx mengambil kesempatan untuk
menyerang sang pengarang dengan panjang lebar. Dia menulis segera sesudah
membacanya bahwa buku itu adalah karya yang ‘tak berbentuk dan berlagak hebat’
yang menyisipkan ‘Hegelianisme lemah’ dan hipotesa palsu tentang ‘akal universal’. 28
Dalam jawabannya yang lebih berhati-hati dan ditulis dalam bahasa Perancis, The
Poverty of Philosophy, Marx berlanjut menggambarkan Proudhon sebagai seorang
borjuis-kecil idealis yang gagal mengenali bahwa manusia bukanlah sesosok esensi
yang tidak berubah melainkan produk sejarah. Argumen terpentingnya adalah bahwa
model ekonomi individualistis Proudhon membuatnya melihat kemanusiaan atau
masyarakat sebagai satu ‘subjek final’ statis. 29 Sehingga Marx kemudian selalu
merujuk Proudhon dalam tulisannya sebagai seorang ‘sosialis borjuis’ atau seorang
27 Proudhon kepada Marx, 17 Mei 1846, Confessions, op.cit., SW, hal. 150-1
28 Marx kepada P.V. Annenkov di Paris, 23 Desember 1846, Marx & Engels, Selected Works
(Lawrence & Wishart, 1968), hal. 669
29 Lihat Shlomo Avineri, Karl Marx: Social and Political Thought (Cambridge University Press,
1971), hal. 71
11
sosialis ‘pengrajin dan petani kecil’.30 Tampaknya Marx gagal memahami buku
Proudhon, atau dengan sengaja menghadirkannya kembali secara salah.
Proudhon pun gusar. Dia menimbang untuk menanggapinya waktu itu juga.
Tapi ia lantas memuaskan dirinya cukup dengan sebuah catatan dalam buku hariannya
(23 September 1847) bahwa ‘Marx adalah cacing sosialisme!’ Perpecahan jalan
mereka menandai berawalnya keretakan antara kelompok libertarian dengan
kelompok sosialis otoritarian yang menjadi inti perselisihan antara Marx dengan
Bakunin dalam First Internasional. Marx terus menyerang Proudhon karena
menganjurkan kolaborasi kelas dan mengharamkan serikat-dagang serta aktivitas
parlementer, dan dia makin jengkel serta tidak pernah bisa memaafkannya lantaran
kenyataan bahwa kelas buruh di Perancis justru mengadopsi ide-ide Proudhon
ketimbang ide-idenya.
Dua jilid tebal karya Proudhon, System of Economic Contradictions, or The
Philosophy of Poverty, diterbitkan pada 1848. Dalam pengamatan Marx, buku itu
dipenuhi dialektika sub-Hegelian dan Proudhon belakangan dengan enteng mengakui
bahwa pada tahap hidupnya saat itu dia memang ‘dimabukkan oleh dialektika’.31
Dalam On the Creation of Order in Humanity (1843), dia mengadopsi gagasan
Fourier tentang ‘hukum berangkai’ tentang perkembangan baik alam maupun
masyarakat yang dia namakan ‘Dialektika Berangkai’. Lalu dalam Economic
Contradictions, dia mengadopsi istilah Kantian, ‘antinomi’, untuk mengungkapkan
dialektika Hegel : ‘teori antinomi’, tulisnya, ‘merupakan representasi sekaligus dasar
semua gerakan dalam kebiasaan dan institusi.’32 Dengan berasumsi bahwa hukum-
hukum perkembangan berlaku baik terhadap dunia material maupun masyarakat
manusia, Proudhon berharap penemuan hukum-hukum ini akan mengubah politik dan
ekonomi menjadi sains. Tetapi dalam prakteknya, penggunaan dialektikanya selalu
keliru dan bersifat mekanis. Marx dengan tepat mengamati bahwa antinomi-antinomi
Proudhon disajikan sebagai entitas-entitas yang eksklusif satu sama lain. Memang
seyogianya Proudhon menegaskan bahwa ‘Seluruh filsafatku termasuk rekonsiliasi
yang terus menerus’, tapi dalam Economic Contradictions dia gagal mencapai sintesis
30 Marx & Engels, Selected Works, op.cit., hal. 59, 260. Lihat juga Paul Thomas, Karl Marx and
the Anarchists, op.cit., untuk pengkajian relasi yang sangat satu sisi.
31 Proudhon, Confessions (edisi 1851), op.cit., hal. 147
32 Economic Contradictions, dikutip dala, Guerin, Ni dieu ni Maitre: anthologie de
l’anarchisme (Paris: Maspero, 1972), I, 57
1
yang memuaskan, misalnya dengan berpendapat bahwa properti adalah
‘kemerdekaan’ sekaligus ‘curian’.33
Dalam karya inilah Proudhon menyatakan bahwa ‘Tuhan adalah kejahatan’
dan bahwa ‘selama manusia bersimpuh di depan altar, manusia akan tetap terkutuk,
menjadi budak para raja dan pendeta’.34 Dia juga kembali pada serangan kembarnya
terhadap pemerintahan dan properti. Dia bersikap kritis terhadap segala bentuk
demokrasi politik. Meski lebih baik daripada otokrasi, pemerintahan konstitusional
cenderung tidak stabil dan bisa menjadi alat dominasi kaum borjuis atau merosot
menjadi kediktatoran. Bahkan demokrasi langsung pun tidak dapat diterima karena
seringkali mencegah orang-orang mengambil keputusannya sendiri; demokrasi
langsung terkadang lebih buruk daripada otokrasi karena mengklaim legitimasi untuk
menindas warga negara. Sementara mengenai komunisme, Proudhon menolaknya:
33 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 231; Guerin, Ni dieu ni Maitre, op.cit., I, 55
34 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 223
35 Dikutip dalam Hyams, Proudhon, op.cit., hal. 85-6
36 Economic Contradictions, op.cit., SW, hal. 58
1
Dia lantas menggambarkan sistem mutualismenya sebagai hukum kuno
pembalasan, mata untuk mata, gigi untuk gigi, nyawa untuk nyawa yang berlaku bagi
tugas-tugas kerja dan persaudaraan. Semuanya membentuk asosiasi kecil sekaligus
besar, terutama dalam industri bahan baku dan manufaktur. Bersamaan dengan
berkembangnya mutualisme, organisasi ekonomi akan menggantikan organisasi
politik dan negara akhirnya akan musnah. Dalam sistem ini ‘buruh bukan lagi hamba
Negara yang dihempas oleh gelombang komunitas. Dia adalah orang bebas, tuan bagi
dirinya sendiri yang bertindak atas inisiatifnya sendiri dan bertanggung jawab secara
pribadi.’37 Manakala orang mulai mencapai kebersamaan, harmoni sosial akan
terwujud.
Akan tetapi, tidak akan ada negara dengan kesetaraan sempurna, karena yang
tekun akan lebih dihargai ketimbang yang malas. Proudhon memiliki unsur puritan
kuat yang membuatnya melihat kemalasan sebagai keburukan dan kerja sebagai
kebaikan : ‘Tidaklah baik manusia hidup dalam kesenangan’, katanya. Dia juga
memuji-muji kemiskinan sebagai sesuatu yang bersih dan sehat : ‘pemujaan
kemiskinan dalam Gospel adalah kebenaran teragung yang pernah difirmankan
Kristus kepada manusia’.38 Aspek positif kesederhanaan Proudhon adalah pendirian
bahwa jika manusia membatasi kebutuhan mereka dan hidup sederhana, alam akan
memberi cukup bagi semuanya. Lebih jauh, dia tidak mengutuk kemewahan sama
sekali. Dia tidak berpikir bahwa keberlimpahan akan pernah ada dalam pengertian
lebih banyaknya barang dan jasa ketimbang yang dikonsumsi, tapi dia siap mengakui
kemakmuran ke dalam pola mutualisnya jika kemakmuran itu tersebar secara adil.
Proudhon tak perlu menunggu lama untuk menerapkan gagasan-gagasannya.
Dia sudah bermukim di Paris pada 1847 ketika setahun kemudian menyusul revolusi
meletus dan kekuasaan raja Louis Philippe pun tumbang. Dengan menganggapnya
sebagai ‘revolusi tanpa ide-ide’, Proudhon pun terjun ke dalam perjuangan. Dia
berbicara di banyak klub terkenal dan pada Februari 1848 menerbitkan Le
Representant du Peuple. Sirkulasinya melonjak sampai angka empat puluh ribu.
Meski ditutup oleh sensor publik, karya itu muncul kembali tiga kali dengan nama
berbeda.
Dalam jurnalnya, Journal du Peuple, dia meluncurkan manifesto mutualis
pada November 1848 yang mengantisipasi aspek-aspek industri modern dalam
37 Political Contradictions: Theory of the Constitutional Movement in the 19th Century (1863-4),
SW, hal. 60
38 War and Peace (1861), SW, hal. 260
1
‘manajemen-diri’. Sembari membela properti dan keluarga, dia menyerukan
‘pembagian bebas atas hasil-hasil kerja, properti tanpa riba’. Yang terpenting, dia
menuntut: ‘Kami menginginkan kemerdekaan manusia dan warga negara yang tak
terbatas, tentu dengan memandang juga kebebasan orang lain : kemerdekaan
berasosiasi, kemerdekaan berkumpul, kemerdekaan beragama, kemerdekaan pers,
kemerdekaan berpikir dan berbicara, kemerdekaan kerja, keuangan dan industri,
kemerdekaan pendidikan, singkatnya kemerdekaan mutlak’.39
Proudhon juga sempat sebentar terlibat dalam politik parlementer kala itu. Dia
terpilih di Majelis Nasional untuk kawasan atau departement Seine pada Juni 1848
dan pada pemilihan presiden di musim gugur dia mendukung kandidat kiri Raspail.
Dalam menjaga prinsip-prinsipnya, dia memberikan suaranya untuk menentang
konsititusi baru Republik Kedua, semata-mata lantaran konsitusi itulah yang akan
menelikung kemajuan lebih jauh. Dia berupaya mengedepankan persoalan sosial
sebelum isu-isu politik, ia menuntut moratorium parsial atas hutang dan sewa. Semua
itu adalah bagian dari skemanya untuk secara berangsur mengalihkan properti
menjadi pemilikan tanpa pajak. Namun usulannya menimbulkan kegemparan dalam
majelis. Dia tidak hanya menyatakan kepada para wakil itu bahwa ‘andaikata ditolak,
kami sendiri yang akan menjalankan likuidasi tanpa kalian’, tetapi ketika dia ditanya
siapa yang dimaksud dengan ‘kami’ dia menyatakan: ‘Manakala saya mengatakan
‘kami’, saya mengidentifikasi diri saya dengan proletariat dan ketika saya mengatakan
‘kalian’, saya mengidentifikasi kalian sebagai kelas borjuis.’40 ‘Ini perang sosial!’
teriak para wakil dengan panik dan mereka kontan melakukan voting untuk mosi
Proudhon dengan jumlah 691 berbanding 2.
Pengalaman parlementernya tidaklah memuaskan dan hanya menegaskan
keyakinannya bahwa reformasi ekonomi lebih penting daripada perubahan politik.
‘Hak Pilih Universal’, demikian dia mulai menyadari, adalah ‚arus balik Revolusi’.
Terpilih hanya dua minggu menjelang pemberontakan Juni, dia benar-benar gagal
mengantisipasinya. Sebagaimana ditulisnya kali ini :
39 Journal du Peuple (8-15 November 1848), Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 84,83
40 Ibid., hal. 62
1
peristiwa terkini … Seseorang harus pernah mengalami berada dalam
pengasingan yang bernama Majelis Nasional itu guna menyadari bahwa
betapa orang-orang yang sesungguhnya tidak peduli akan negaralah yang
justru mewakili negara … rasa takut terhadap rakyat, itulah penyakit
mereka yang berpihak pada kekuasaan; rakyat, bagi mereka yang
berkuasa, adalah musuh.41
49 General Idea of the Revolution, dikutip dalam Guerin, cf. Guerin, Anarchism, op.cit. hal. 15-
16
50 Ibid., dalam Guerin, Ni du ni Maitre, op.cit., hal. 96-7
51 General Idea of the Revolution (edisi 1923), hal. 374, 378
1
terhadap kemerdekaan, sejauh yang diperhatikan oleh orang-orang bebas.’ 52 Dia
selanjutnya menolak argumen umum bahwa hukum dan kebajikan adalah saling
berkaitan dan bahwa orang yang adil adalah orang yang mematuhi hukum. Dia
membedakan secara jelas antara manusia yang diatur hukum dengan aturan-aturan
moral umum. Dia menerima yang kedua, jika diterima secara sukarela, dan mengutuk
yang pertama. Sebagaimana ditulisnya dalam Confessions, ‘hakim sejati bagi setiap
orang adalah kesadarannya sendiri, inilah fakta yang menunjukkan perlunya
penggusuran sistem peradilan dan hukum untuk diganti dengan sistem kewajiban dan
kontrak personal, dengan kata lain, represi terhadap insitusi-insitusi legal’.53
Proudhon menyimpulkan bahwa pemerintah adalah sesuatu yang tidak perlu
guna membangun tatanan, kendati ada persamaan yang populer antara ‘hukum dan
tatanan’. Pertama-tama, tidak ada keterkaitan logis mengingat ‘Tatanan adalah genus
sementara pemerintah adalah spesies’.54 Kedua, tidak ada hubungan sebab akibat
antara keduanya mengingat aturan politik biasanya gagal mengendalikan konflik
sosial. Juga bahwa pemerintahan dan hukum adalah kejahatan yang tidak diperlukan
dan mesti dihilangkan. Proudhon karenanya menyatakan dalam satu bagian tulisan
yang bisa dianggap sebagai ringkasan keyakinannya sebagai seorang anarkis:
Sifat Manusia
Kendati mirip Godwin – berkeyakinan bahwa manusia secara potensial
memang rasional, progresif dan adil -- dia memulai dari satu posisi yang sangat
berlainan. Pijakan awalnya, ia percaya manusia itu konstan dan tidak berubah.
Karakteristik pertama sifat kita adalah bahwa kita adalah individu-individu;
masyarakat ada setelah individu. Tapi ini memang melulu abstrak sehingga individu
dinilai berada dalam keadaan terasing; individu adalah ‘bagian integral dari eksistensi
kolektif’.58 Masyarakat sama nyatanya sebagaimana individu yang menyusunnya.
Dengan demikian kolektivitas atau kelompok adalah kondisi mendasar seluruh
eksistensi dan masyarakat, seperti halnya individu, memiliki ‘kekuatan, keinginan dan
kesadaran sendiri’.59 Proudhon lantas melangkah melintasi pendekatan atomistis
Etika
Politik
***
113
4
4