Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Teori
Antropologi
Disusun oleh:
Kelompok 3
KELAS 3B (EKONOMI)
KEGURUAN
JAKARTA 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalu dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul Teori Evolusi Klasik dan Neo Evolusionisme tepat pada
waktunya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori Antropologi.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Segala
kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik kami sebagai penulis dan
segala kelebihannya adalah milik Allah Swt. Mudah-mudahan segala bentuk
partisipasi dari berbagai pihak terkait dapat menjadi berkah. Semoga karya
sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
padaumumnya.
Kelompok 3
ii
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C. Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB II...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
III................................................................................................................... 21
PENUTUP.............................................................................................................. 21
iii
A. Kesimpulan .................................................................................................... 21 B.
Saran .............................................................................................................. 21
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
hingga saat ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Mengetahui teori yang termasuk ke dalam teori evolusi klasik dan teori neo
evolusionisme.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar teori evolusi universal, evolusi
unilinear, evolusi multilineal, dan evolusi diferensial, serta tokoh yang
membuat teori-teori tersebut.
3. Mengetahui dan memahami konsep dasar teori evolusi menurut White,
Steward, Sahlins dan Service.
4. Mengetahui kelebihan dan kelemahan teori evolusi klasik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Evolusi Klasik
Gagasan evolusi budaya awal abad ke-19 oleh Tylor, Morgan, dan Frazer
yang dikembangkan di Inggris disebut sebagai "evolusionisme klasik". Meskipun
secara umum mendapatkan kritikan dan ditolak karena etnosentrisme dan
kesederhanaannya, evolusionisme klasik tetap memainkan peran penting dalam
sejarah antropologi budaya dan mempengaruhi pemikiran antropologi kontemporer.
1. Teori Evolusi Universal (Herbert Spencer)
Herbert Spencer merupakan seorang sosiolog dan filsuf yang lahir pada 27
April 1820 di Derby, Inggris. Ayahnya bernama William George Spencer
adalah seorang kepala sekolah. Perbedaan keyakinan agama dari orang tuanya
menginspirasi ketidaksesuaian dalam diri Herbert. Ia pernah menolak tawaran
pamannya untuk belajar di Universitas Cambridge, sehingga pendidikan
tingginya sebagian besar berasal dari hasil bacaannya sendiri. Selama beberapa
bulania pernah menjadi guru sekolah dan pada tahun 1837-1841 ia menjadi
2
Self Study for Anthropology, “Classical Evolutionism”, diakses pada 2 Oktober 2023
https://selfstudyanthro.com/2020/04/19/i-6-a-classical-evolutionism/
3
insinyur sipil perkeretaapian.Spencer meninggal pada tahun 1903 di Brighton
dan meninggalkan surat wasiat yang membentuk lembaga pengawas untuk
menyelesaikan penerbitan Descriptive Sociology, yang terdiri dari 19 bagian.
Herbert Spencer merupakan pendukung awal teori evolusi. Karya
besarnya, The Synthetic Philosophy (1896), merupakan karya komprehensif
yang memuat banyak sekali prinsip-prinsip biologi, psikologi, moralitas, dan
sosiologi. Ia paling dikenang karena doktrinnya tentang Darwinisme sosial,
yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip evolusi, termasuk seleksi alam,
berlaku juga pada masyarakat, kelas sosial, dan individu, serta pada biologi.
Spencer pertama kali memperoleh konsep evolusi umumnya dari refleksi
masyarakat manusia terlihat dalam karyanya Social Statics, dimana evolusi
sosial dianggap sebagai proses peningkatan “individuasi”. Ia melihat
masyarakat manusia berkembang melalui peningkatan pembagian kerja dari
kelompok yang tidak terdiferensiasi menjadi peradaban yang kompleks.
Spencer percaya bahwa klasifikasi sosiologi mendasar adalah antara
masyarakat militer, yang kerja samanya dijamin dengan kekuatan, dan
masyarakat industri yang kerja samanya bersifat sukarela dan spontan.3
Menurut Soekanto, teori evolusi universal ini menyatakan bahwa
perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahapan tertentu yang tetap
karena menurut teori ini kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis
evolusi tertentu.4 Teori evolusi universal yang dikonsepsikan oleh H. Spencer
menjelaskan bahwa seluruh alam, baik yang berwujud non organis, organis,
maupun superorganis (kebudayaan), berevolusi karena didorong oleh kekuatan
mutlak.5 Perkembangan masyarakat dan kebudayaan tiap bangsa di dunia telah
3
Harry Burrows Akton, “Herbert Spencer”, diakses pada 30 September 2023
https://www.britannica.com/biography/Herbert-Spencer
4
Soerjono Soekanto, dalam Muhammad Nur dan M. Samson Fajar, “Dinamika Masyarakat Beragama
Menuju Negara Baldatun Toyyibatu Warabbun Ghafur (Sebuah Tinjaun Implementasi Teori Billyard
Ball), Jurnal al Idza’ah, vol. 3, no. 1, Januari-Juni 2021, h. 21.
5
Herbert Spencer, dalam Ratih Baiduri, Teori-Teori Antropologi (Kebudayaan), (Medan: Yayasan Kita
Menulis, 2020), h. 26.
4
atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Dengan kata lain, gejala
umum yang sama akan terjadi pada semua bentuk masyarakat. Namun, ia tidak
mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub
kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat yang berbeda
beda. Spencer juga berpendapat bahwa kehidupan masyarakat dapat
diibaratkan seperti kehidupan organisme yang masing-masing elemen
memiliki fungsiserta peranan. Spencer mengemukakan prinsipnya yaitu antara
lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan sifat
maupun susunannya dari kelompok yang homogen ke kelompok yang
heterogen.
6
Encyclopaedia Britannica, “Lewis Henry Morgan”, diakses pada 30 September 2023
https://www.britannica.com/biography/Lewis-Henry-Morgan
5
menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai
tahap-tahap tertentu. Perubahan ini membuat masyarakat berkembang dari
yang sederhana menjadi lebih kompleks. Morgan sendiri membedakannya
menjadi 3 tahap utama, 2 antaranya terbagi dalam 3 sub-tahap, yakni lower,
middle, dan upper.7
1) Lower status of Savagery. Pada tahap ini, manusia hidup dengan
memakan buah-buahan, bahasa mulai berkembang, manusia hidup
berkelompok, diikuti oleh hidup bersama saudara kandungnya
(keluarga konsanguin) sebagai bentuk pertama ketertiban.
2) Middle status of Savagery. Pada tahap ini, muncul penemuan api,
manusia mulai memakan ikan dan umbi-umbian, serta penggunaan
tombak sebagai senjata. Umat manusia menyebar ke seluruh dunia.
Dalam tahap ini juga manusia melakukan perkawinan, baik
perkawinan panaluan maupun gent untuk mendapatkan keturunan.
Kurun waktu ini berlangsung cukuplama.
3) Upper status of Savagery. Pada tahap ini, mulai ditemukan panah dan
busur yang digunakan untuk berburu dan mengayau sebagai sarana
kehidupan.
4) Lower status of Barbarism. Pada tahap ini, ditemukan tembikar
(periuk tanah liat yang dibakar), serta peralihan kepada syndiasmian
family (sering adanya hubungan di luar perkawinan). Dalam kurun
waktu ini dan berikutnya, muncul organisasi klan yang kuat.
5) Middle status of Barbarism. Pada tahap ini, manusia bercocok tanam
dengan menanam gandum dan beternak, timbulnya keluarga
patriarkal dengan poligini.
6) Upper status of Barbarism. Pada tahap ini ditemukan besi dan alat-alat
kerja yang terbuat dari besi, serta berkembangnya pengertian
7
J. Van Baal, dalam Ratih Baiduri, Op.Cit, h. 88-89.
6
kepemilikan.
7) Status of Civilization. Pada tahap ini, mulai ditemukan alfabet fonetik
dan tulisan. Tahap ini juga timbul monogami sebenarnya
8
J. Van Baal, dalam Ida Ayu Wirasmini Sidemen, Paradigma Dalam Studi Kebudayaan, (Bali:
Universitas Udayana, 2017), h. 6.
9
Tari Purwanti, Paradigma dan Teori Antropologi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2019), h.
4. 10 Praveen Varghese Thomas,”Classical Evolutionism”, diakses pada 1 Oktober 2023
https://www.tutorialspoint.com/classical-evolutionism
7
evolusi unilinear. Julian Haynes Steward lahir pada 31 Januari 1902 di
Washington DC, Amerika Serikat dan meninggal pada 6 Februari 1972 di
Illinois. Menurut Steward, proses perkembangan kebudayaan di setiap bangsa
di dunia memiliki ciri khasnya masing-masing. Secara garis besar, proses
perkembangan berbagai kebudayaan di dunia terlepas satu sama lain
(independen). Kesamaan evolusi akan tampak pada beberapa unsur
kebudayaan, seperti sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan
sistem religi. Dia juga berpendapat bahwa proses-proses perkembangan
beberapa unsur universal disebabkan karena lingkungan tertentu memaksa
terjadinya perkembangan ke arah tertentu pula.11
Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan
erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture
core, berupa teknologi dan organisasi kerja.12 Dengan demikian, terjadinya
evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang
terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya.
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa semua masyarakat dan juga semua
unsur-unsur kebudayaan yang ada pada masyarakat itu mempunyai
perkembangan sendiri-sendiri dan akan mencapai suatu tingkat yang
berbedabeda pula sehingga akan dapat dijumpai perbedaan yang mencolok
antarmasyarakat. Perbedaan kecepatan evolusi ini disebut dengan differential
evolution.13
Evolusi diferensial merupakan hal yang sangat penting dalam
rekonstruksi evolusioner. Menurut Carneiro, apabila evolusi tidak bersifat
11
Tari Purwanti, Op.cit, h. 5.
12
I Wayan Dana, “Tatanan Nilai Sosial Budaya Dan Modernisasi Masayarakat Hindu Bali di Desa
Tamban Luar Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas”, Jurnal Belom Bahadat, vol. 8, No. 2, Juli
Desember 2018, h. 7.
13
Tari Purwanti, Op.cit, h. 10-11.
8
diferensial, maka hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali yang dapat
disimpulkan mengenai arah perkembangan masyarakat dengan
membandingkannya. Masyarakat manusia berevolusi secara berbeda-beda.
Berikut beberapa pendapat dari beberapa tokoh mengenai evolusi diferensial:14
1) Sir Henry Maine, bahwa masyarakat tidak maju secara bersama, mereka
maju dalam tingkat yang berbeda-beda.
2) James G. Frazer, bahwa umat manusia berevolusi dalam baris yang
tidak sejajar satu samalain, melainkan dalam garis yang tersebar.
3) McLennan, bahwa perkembangan spesies tidak merata, sehingga
hampir setiap fase kemajuan dapat dibayangkan dan dipelajari.
4) L. H. Morgan, bahwa sejak awal umat manusia sudah terbagi menjadi
beberapa negara. Kemajuan yang tidak sama telah terjadi pada mereka
sejak saat itu hingga saat ini.
5) John Fiske, bahwa sebagian masyarakat telah mengalami kemajuan
yang luar biasa, sebagian lagi mengalami kemajuan yang kurang pesat,
dan sebagian lagi hanya mengalamisedikit kemajuan.
Kelebihan:
1) Pengenalan evolusi budaya. Konsep evolusi budaya pertama kali
diperkenalkan oleh evolusionis klasik, yang melihat perkembangan
masyarakat sebagai proses adaptasi dan penemuan.
14
Robert L. Carneiro, Evolutionism in Cultural Anthropology: A Critical History, (New York:
Routladge, 2003), h.19.
9
2) Studi komparatif. Mitologi komparatif James George Frazer
meletakkan dasar bagi studi komparatif dalam antropologi budaya, di
mana keyakinan dan praktik budaya yang berbeda dibandingkan untuk
mengidentifikasi pola dan persamaan
3) Perspektif sejarah. Evolusionisme klasik memberikan perspektif sejarah
tentang perkembangan masyarakat manusia, memandang evolusi
budaya sebagai proses yang terjadi seiring berjalannya waktu.
4) Landasan bagi teori-teori lainnya. Karya para evolusionis klasik
meletakkan dasar bagi teori-teori antropologi selanjutnya, seperti
ekologi budaya dan fungsionalisme struktural.
5) Perluasan disiplin. Evolusionisme klasik membantu memperluas
disiplin antropologi budaya dengan menjadikannya sebagai bidang
studi terpisah dan mendorong penelitian terhadap budaya dan
masyarakat yang berbeda.
Kekurangan:
10
4) Validitas ilmiah. Beberapa orang mengkritik validitas ilmiah
evolusionisme klasik, dengan menyatakan bahwa teori tersebut
didasarkan pada data yang terbatas dan kurang dukungan empiris.
5) Cultural determinism. Teori evolusi budaya sering dikritik karena
determinisme budayanya, karena teori ini memandang perubahan
budaya sebagai hasil yang tak terhindarkan dari tahapan yang telah
ditentukan, bukan sebagai akibat dari faktor sosial, ekonomi, dan
politik.15
B. Neo Evolusionisme
15
Praveen Varghese Thomas, Loc. Cit.
16
Bambang Sucipto, “Lembaga Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial”, Insania: Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan, vol. 18.no. 3, September-Desember 2013, h. 494.
17
Rahayu, “Pengaruh Perkembangan Filsafat Ilmu Terhadap Ilmu Pengetahuan Kontemporer”,
Perseptif: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, vol. 1, no. 1, 2023, h. 21-26.
11
Teori evolusi budaya klasik, seperti yang diajukan oleh Edward Tylor dan Lewis
Henry Morgan, mencoba menjelaskan perkembangan masyarakat manusia dari
tingkat primitif ke tingkat yang lebih tinggi melalui konsep evolusi budaya. Namun,
kritik terhadap teori ini muncul karena terlalu bersifat etnosentris dan
menyederhanakan perkembangan budaya manusia.18
1. Teori LeslieWhite
18
Arief Fahmi Lubis, Buku Ajar Antropologi Budaya, (Pasuruan: CV. Penerbit Qiara Media, 2022), h.
103-104.
19
Ibid.
20
Paul A. Erickson dan Liam D. Murphy, Sejarah Teori Antropologi Penjelasan Komprehensif Edisi
ke-5, Penerjemah Mutia Nurul Izzati, (Jakarta: Prenada Media, 2018), h. 173.
12
keritikannya terhadap paparan-paparan evolusi kebudayaan yang diajukan oleh
Tylor dan Morgan sebelumnya, White mengemukakan teori evolusinya sendiri
berdasarkan sebuah kriteria yang sama sekali baru dan belum pernah
dikemukakan oleh dua pendahulunya tersebut.
White mengusulkan bahwa perkembangan budaya manusia dapat
dijelaskan oleh pertumbuhan dan penggunaan energi. Menurutnya, masyarakat
yang lebih maju mengonsumsi lebih banyak energi dan menghasilkan lebih
banyak kompleksitas budaya. Teorinya dikenal sebagai "teori energi dan
evolusi budaya”. Pendekatan White mengemukakan bahwa perbedaan tingkat
kompleksitas budaya antara masyarakat dapat diukur berdasarkan jumlah
energi yang dikonsumsi dan bagaimana energi tersebut digunakan. Dengan
kata lain, perkembangan teknologi dan kompleksitas budaya dipandang
sebagai hasil dari upaya manusia untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
energi.21
Kriteria ini baginya merupakan satu hal yang memungkinkan sebuah
teori evolusi menjadi bersifat objektif dan tidak seperti model yang
dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif.
Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena
menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan
transformasi energi. Dengan menggunakan energi sebagai standar atau tolok
ukur dalam melakukan kajian terhadap fase perkembangan suatu kebudayaan
manusia, dimana hal ini tidak ada dalam teori Morgan, maka akan dapat
diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi yang ada dalam sebuah masyarakat
dapat ditentukan secara kuantitatif.22
Untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru
ini, White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam
melakukan kajian. White menyebutnya sebagai sebuah „hukum‟ evolusi
21
Oekan S. Abdoellah, Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2017), h. 112-113.
22
Robita Islami, “Teori Evolusionisme Dilihat dari Sudut Pandang Antropologi Hukum”, 2022, h. 13.
13
kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C merupakan kebudayaan
(culture), E adalah energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology).
Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia
adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan
teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase
perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai „hukum‟ evolusi
kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya
sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari
mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi
dengan bantuan teknologi yang ada saat itu. Dalam teori mengenai evolusi
kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White,
yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi), energi
dan transformasi.23
Leslie White, seorang antropolog Amerika Serikat, memperkenalkan
teori evolusi kebudayaan yang dikenal sebagai "teori energi" atau "teori
energetics." Berikut adalah beberapa poin utama dari teori evolusi kebudayaan
Leslie White:24
a. Konsep Energi
White merumuskan bahwa perubahan dalam
kebudayaan manusia dapat dijelaskan oleh perubahan dalam
cara manusia menggunakan energi. Ia percaya bahwa
perkembangan kebudayaan dapat diukur melalui jumlah energi
yang diolah oleh masyarakat.25
b. Hukum White
23
Eri Barlian dan Iswandi U., Ekologi manusia, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h. 28. 24 Aulia
Rahman dan Reni Nuryanti, “Perubahan Kebudayaan di Jawa (Surakarta dan Yogyakarta)”.
Seuneubok Lada: Jurnal Ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan, vol. 5, no. 2, 2018, h.
151.
25
Oekan S. Abdoellah, Op.Cit, h. 107.
14
Salah satu kontribusi utama White adalah "Hukum
White", yang menyatakan bahwa tingkat kompleksitas
kebudayaan berkorelasi positif dengan jumlah energi per kapita
yang diolah oleh masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi
tingkat energi yang diolah, semakin kompleks kebudayaan
tersebut.
c. Penggunaan Teknologi dan Organisasi Sosial
White menyatakan bahwa perubahan dalam teknologi
dan organisasi sosial merupakan upaya manusia untuk
meningkatkan penggunaan dan pemanfaatan energi.
Perkembangan teknologi dan organisasi sosial diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan
energi.26
d. Materialisme Budaya
Teori White merupakan bentuk materialisme budaya
yang menekankan peran teknologi dan ekonomi sebagai
pendorong utama evolusi kebudayaan. Ia berargumen bahwa
perkembangan budaya dan kompleksitas masyarakat terutama
dipengaruhi oleh bagaimana manusia mengelola dan
menggunakan energi.27
2. Julian Steward
26
Maulana Irfan, “Metamorfosis Gotong Royong Dalam Pandangan Konstruksi Sosial”, Prosiding KS:
Riset & PKM, vol. 4, no. 1, h. 1-10.
27
Indra Tjahjadi, dkk, Pengantar Teori dan Metode Penelitian Budaya, (Lamongan: Pagan Press, 2020)
h. 102.
15
Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang
digunakan untuk mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara
memperbandingkan antara tuntunantuntunan perkembangan kebudayaan yang
sejalan yang biasanya terdapat di tempat-tempat yang terpisah. Seperti White
yang menganggap bahwa pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh dua
pendahulunya mengenai kebudayaan yang memiliki kelemahan pada ketiadaan
standar dalam menentukan setiap fase perkembangan kebudayaan manusia,
Steward pun melakukan hal yang sama. Meskipun demikian, titik fokus
kritikan Steward terhadap model teori evolusi terdahulu bukan pada standar
yang digunakan, tetapi pada data yang digunakan oleh Tylor dan Morgan
sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang memunculkan
pandanganpandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian
lama bercokol dalam khazanah ilmu antropologi.28
Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward
sampai pada suatu kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh
yang merupakan generasi awal teori evolusi tersebut tidak berasal dari hasil
penelitian lapangan yang dilakukan secara benar. Untuk membuktikan fokus
kritikannya ini, Steward melakukan suatu penelitian terhadap salah satu suku
Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika Serikat. Dari penelitiannya
ini, Steward mendapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari paparan dua
pendahulunya tersebut sekaligus juga semakin menguatkan kritikannya
sebagaimana di atas, dimana ternyata suku Indian tersebut tidak lagi
mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.29
Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian
kebudayaannya, yang membuat suatu suku Indian tidak lagi mengalami
evolusi dan dapat pula terjadi pada suku-suku lainnya. Dari kajian yang
dilakukannya,
28
Ani Purwati, Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek, (Surabaya: CV. Jakad Media Publishing,
2020).
29
Robita Islami, Op. Cit, h. 12.
16
Steward menyimpulkan bahwa tidak lagi berjalannya perkembangan
kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam konteks penelitiannya adalah
suku Indian, disebabkan karena suku tersebut telah mengalami penyesuaian
atau beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal dan menetap
dalam keseharian mereka. Berdasarkan kesimpulan ini, maka Steward
mengajukan sebuah teori baru dalam khazanah kajian budaya, khususnya
dalam rangkaian teori evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.30
Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan
erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture
core, berupa teknologi dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya
evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang
terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya.
Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier
juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya,
yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.31
Steward mengembangkan konsep evolusi multilinear, yang
menekankan bahwa berbagai masyarakat dapat mengalami perkembangan
yang berbeda tergantung pada lingkungan alam dan ekologi tempat mereka
hidup. Ia menolak ide evolusi linier yang menganggap perkembangan
masyarakat sebagai langkah-langkah menuju suatu tahapan tertentu.
Salah satu kontribusi utama Steward adalah pengembangan konsep
"Cultural Ecology". Cultural Ecology mengeksplorasi hubungan kompleks
antara masyarakat manusia dan lingkungan fisik mereka, serta dampaknya
terhadap perkembangan budaya. Steward berfokus pada konsep adaptasi
budaya, yaitu bagaimana masyarakat mengembangkan pola-pola budaya
30
Ibid.
31
Wahyu, dkk, “Penerapan Nilai Keagamaan Melalui Seni Hadrah Maullatan Al-Habsyi di Kelurahan
Pelambuan Kecamatan Banjarmasin Barat”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, vol. 5, no. 9, Mei
2015, h. 681.
17
tertentu sebagai respons terhadap tekanan-tekanan lingkungan. Adaptasi
budaya dianggap sebagai kunci bagi perkembangan dan kelangsungan
masyarakat.
32
John Clammer, Neo-Marxisme Antropologi, Penerjemah Ilham B. Saenong, (Yogyakarta: Kaktus,
2017), h. 102-103.
33
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial Edisi ke-2, Penerjemah Mestika Zed, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 245.
18
kebutuhan dasar mereka tanpa harus bekerja berlebihan. Sahlins mengkritik
pandangan tradisional yang melihat pertukaran kultural sebagai pertukaran
benda fisik semata. Ia mengajukan bahwa pentingnya pertukaran kultural
seharusnya diukur bukan hanya dari segi materi, tetapi juga dari perspektif
makna sosial dan simbolik.34
Sahlins secara kritis meninjau dan menantang stereotip dan pandangan
yang merendahkan terhadap masyarakat tradisional, terutama pandangan yang
menganggap mereka sebagai "masyarakat primitif" atau "masyarakat yang
tertinggal dan tidak maju. Sahlins memberikan wawasan yang mendalam
tentang kompleksitas masyarakat dan budaya manusia, dengan mengeksplorasi
aspek-aspek simbolik, ekonomi, dan ekologis dalam interaksi manusia dengan
lingkungannya. Pemikirannya yang kritis dan konsep-konsepnya memberikan
landasan untuk pemahaman yang lebih kontekstual dan mendalam terhadap
kehidupan manusia.35
Service mengembangkan "Evolutionary-Processual Model," yang
membagi evolusi sosial ke dalam empat tipe utama: masyarakat berburu dan
meramu (hunting and gathering), masyarakat agraris, masyarakat industri
sederhana, dan masyarakat industri kompleks. Model ini menyoroti
perkembangan organisasi sosial, politik, dan ekonomi sepanjang waktu. Dalam
kerangka Evolutionary-Processual Model, Service mengidentifikasi dua
bentuk organisasi sosial yang lebih kompleks: "chiefdoms" (kepemimpinan
suku) dan "states" (negara). Chiefdoms adalah suatu bentuk organisasi yang
memiliki pemimpin sentral yang lebih dominan, sedangkan states memiliki
bentuk pemerintahan yang lebih kompleks dan sentral. Dalam analisisnya
tentang masyarakat, Service menekankan peran aspek ketergantungan dan
kontrol sebagai faktor kunci dalam pembentukan struktur sosial. Konsep ini
34
Ciek Julyati Hisyam, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara, 2020), h.
46. 35 David Marsh dan Gerry Stoker, Struktur dan Agensi: Seri Teori dan Metode Ilmu Politik,
Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah, (Bandung: Nusamedia, 2021), h. 149.
19
membantu memahami bagaimana kebudayaan berkembang melalui upaya
manusia untuk mengontrol sumber daya dan lingkungan.36
Service mencoba mengatasi pandangan evolusi linier yang melihat
perkembangan masyarakat sebagai suatu tahapan yang berurutan. Dengan
Evolutionary-Processual Model, ia mengakui variasi dan kompleksitas dalam
perkembangan masyarakat manusia. Pemikiran Service didasarkan pada
metode perbandingan untuk memahami perbedaan budaya dan perkembangan
masyarakat. Dengan cara ini, ia berusaha menyusun kerangka kerja yang lebih
umum dan komprehensif untuk menganalisis variasi budaya.37
Teori Service memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pemahaman kita tentang evolusi kebudayaan dengan menekankan aspek-aspek
seperti stratifikasi sosial, organisasi politik, dan kompleksitas masyarakat.
Pendekatannya yang berfokus pada perbandingan antar masyarakat juga
memberikan pandangan yang lebih luas terhadap keragaman budaya
manusia.38
36
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h.
12- 13.
37
Alo Liliwei, Pengantar Studi Kebudayaan, (Bandung: Nusamedia, 2018), h. 105. 38 Alo Liliweri,
Memahami Makna Kebudayaan dan Peradaban: Seri Pengantar Studi Kebudayaan, (Bandung:
Nusamedia, 2021).
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis yang telah kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa kedua teori ini
memiliki nilaipenting dalam memahami perubahan dan adaptasi dalam budaya
manusia. Namun, saran-saran yang dapat diambil dari pemahaman ini termasuk
perlunya pendekatan yang interdisipliner dalamstudi evolusi budaya, penggunaan
metodologi yang tepat, dan penekanan pada konteks budaya yang beragam. B. Saran
Dalam konteks yang lebih luas, makalah ini telah memaparkan perbandingan
antara Teori Evolusi Klasik dan Neo Evolusionisme dalam pemahaman
perkembangan sosial dan budaya. Meskipun keduanya memiliki pendekatan yang
berbeda dalam menjelaskan fenomena sosial, keduanya memberikan wawasan
berharga tentang bagaimana masyarakat dapat berevolusi dan beradaptasi seiring
waktu. Sebagai bagian dari saran-saran akhir, penting bagi kita untuk terus
mengintegrasikan pemahaman dari keduanya dalam analisis dan interpretasi kita
tentang perkembangan sosial dan budaya di masa depan. Dengan demikian, kita
dapat lebih efektif dalam menghadapi perubahan dan tantangan yang terus
berkembang dalam masyarakat global saat ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A. (2011). Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka
Alvabet.
Burke, P. (2011). Sejarah dan Teori Sosial Edisi ke-2. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
22
Hisyam, C. J. (2020). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta Timur: PT. Bumi
Aksara.
Lubis, A. F. (2022). Buku Ajar Antropologi Budaya. Pasuruan: Penerbit Qiara Media.
Marsh, D., & Stoker, G. (2021). Struktur dan Agensi: Seri Teori dan Metode Ilmu
Politik. Bandung: Nusamedia.
Nur, M., & Fajar, M. S. (2021). Dinamika Masyarakat Beragama Menuju Negara
Baldatun Toyyibatu Warabbun Ghafur (Sebuah Tinjaun Implementasi Teori
Billyard Ball). Jurnal Al-Idza'ah, 18-32.
Purwati, A. (2020). Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek. Surabaya: CV. Jakad
Media Publisher.
Rahman, A., & Nuryanti, R. (2018). Perubahan Kebudayaan di Jawa (Surakarta dan
Yogyakarta). Seuneubok Lada: Jurnal Ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan
Kependidikan, 138-152.
23
Self Study for Anthropology. (2020, April 19). Classical Evolutionism. Retrieved
from Self Study for Anthropology: https://selfstudyanthro.com/2020/04/19/i-
6-a classical-evolutionism/
Sucipto, B. (2013). Lembaga Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial. Insania: Jurnal
Pemikiran Alternatif Kependidikan, 483-501.
Tjahjadi, I., Andayani, S., & Wafa, H. (2020). Pengantar Teori dan Metode
Penelitian Budaya. Lamongan: Pagan Press.
Wahyu, Matnuh, H., & Sari, R. P. (2015). Penerapan Nilai Keagamaan Melalui Seni
Hadrah Maullatan Al-Habsyi di Kelurahan Pelambuan Kecamatan
Banjarmasin Barat. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 679-686.
24