Anda di halaman 1dari 43

15

William Godwin
Si Pecinta Tatanan

William Godwin adalah orang pertama yang meluncurkan pernyataan tegas tentang
prinsip-prinsip anarkis. Pada masa hidupnya, karya utamanya, An Enquiry
Concerning Political Justice (1793), menimbulkan pengaruh yang besar. “Ia
melesatkan cahaya,” tulis rekan radikalnya, William Hazlitt,

layaknya matahari di cakrawala reputasi; tak ada orang lain yang lebih
diperbincangkan, lebih dikaji, lebih ditekuni, dan dimanapun
kemerdekaan, kebenaran dan keadilan menjadi tema, namanya selalu ada
di dekat itu … Tidak ada karya lain di zaman kita ini yang kuat menohok
filsafat pemikiran negara seperti An Enquiry Concerning Political
Justice1.

Perdana Menteri William Pitt menimbang-nimbang akan menuntut sang pengarang,


tapi ia mengurungkan niatnya dan menentang buku itu sembari berusaha yakin bahwa
“buku seharga tiga guinea itu tak akan berbicara banyak bagi kalangan miskin yang
tak mampu menabung 3 shilling”. Toh kenyataannya Political Justice bisa dijual
setengah harga dan banyak buruh bergabung urunan untuk membeli buku itu. Edisi
bajakan juga terbit di Irlandia dan Skotlandia. Tak kurang ramainya, muncul pula
permintaan kepada Godwin pada 1796 dan 1798, agar ia merevisi karyanya dan
sebaiknya terbit dalam edisi murah. Buku tersebut tak hanya mempengaruhi para
pemimpin gerakan buruh yang sedang muncul menguat, seperti John Thelwall dan
Francis Place, melainkan juga menebarkan kabut pengaruhnya di kalangan penyair
muda seperti Wordswort, Southey dan Coleridge2.
Keberhasilan karya Godwin, di samping kekuatan filosofis dan gaya
ungkapnya yang menawan, juga menandai situasi betapa revolusi sepertinya sudah
berada di ambang pintu Inggris pada tahun 1790-an. Perang yang dideklarasikan oleh

1 William Hazlitt, The Spirit of the Age; or Contemporary Portraits (1825) (Oxford Univsity
Press, 1954), hal. 19-20
2 Tentang pengaruh Godwin, lihat karya saya William Godwin (New Haven & London: Yale
University Press, 1984), bab viii

1
Pitt melawan Perancis yang revolusioner, kontan membangkitkan emosi patriotisme
Inggris. Pemberangusan sistematis yang digelar Pitt terhadap tokoh-tokoh radikal dan
tindakan awalnya yang mau menerapkan Hukum Gagging pada 1794, sebenarnyalah
membungkam dan mematahkan gerakan reformasi untuk satu generasi. Ditengah
situasi itu Godwin tampil lugas mempertahankan kemerdekaan sipil dan membela
rekan-rekan radikalnya melalui serangkaian pamfletnya. Toh pada pergantian abad, ia
termasuk yang terseret jatuh ke dalam sebuah nisan bersama yang bertorehkan kata
kemerdekaan. Terlempar dari pusat pusaran Revolusi Perancis, Godwin tenggelam
ketika revolusi itu surut. Kebanyakan orang dalam masyarakat yang sopan, tulis De
Quincey, menilai Godwin sebagai “sesuatu yang asing dan menakutkan layaknya
setan kubur atau vampir haus darah”3.
Tetapi tidak semuanya sirna. Adalah berkat “gejolak emosi yang tak
terbayangkan”, Percy Bysshe Shelley muda menemukan pada 1812 bahwa Godwin
tetap hidup dan penyair muda ini tidak sekedar memadu kasih secara gelap dengan
puterinya melainkan juga muncul sebagai penyair anarkis terbesar dengan
menempatkan filsafat Godwin dalam baris-baris sajaknya 4. Robert Owen, yang
terkadang dikenal sebagai bapak sosialisme Inggris, jadi tampil lebih ramah segera
setelah ia menjunjung Godwin sebagai guru filosofisnya. Pada dekade 1830 dan 1840,
masa-masa puncak para pengusung pemikiran Owen dan Chart, pemikiran Godwin
diterbitkan ulang dalam jurnal-jurnal mereka berbarengan dengan penerbitan kembali
edisi baru Political Justice pada 1842. Melalui para pemikir sosialis awal Inggris,
khususnya William Thompson dan Thomas Hodgskin, pandangan Godwin tentang
menyingkirkan Negara secara total dan masyarakat yang bebas dan berkesetaraan,
mulai menghantui imajinasi para Marxist.
Sepintas Godwin tampil sebagai kandidat yang mustahil untuk berdiri di
barisan utama para filsuf anarkisme. Ia lahir pada 1756 di Wisbech (ibukota
Cambridgeshire Utara), sebagai anak ke tujuh dari tiga belas bersaudara. Ayahnya
pernah menjadi menteri daerah otonomi yang tak terkenal, yang lantas pindah ke desa
kecil di Guestwick di bagian utara Norfolk, tak lama setelah kelahiran William. Ini
kawasan yang masih memiliki tradisi memberontak yang kuat. Di sana tidak hanya
pernah terjadi pemberontakan petani menentang pematokan tanah pada 1549, namun

3 Thomas de Quincey, Collected Writings, ed. David Masson (1897), iii, 25


4 Percy Bysshe Shelley untuk William Godwin, 3 Januari 1812, The Letters of Percy Bysshe
Shelley, ed. Frederick L. Jones (Oxford University Press, 1964), I, 220

2
sepanjang Revolusi Inggris East Anglians5, Guestwick menjadi tulang punggung bagi
gerakan Independen. Ayah Godwin biasanya tampak dalam rumah pertemuannya,
duduk di ‘kursi Cromwell’, dinamakan demikian karena konon kursi itu merupakan
hadiah dari tokoh pemimpin Revolusi Inggris itu.
Godwin, dengan demikian, lahir menjadi anggota keluarga pembangkang yang
menolak Gereja Inggris beserta teks-teks keyakinannya. Mereka mempertahankan
mati-matian hak akan penilaian pribadi. Kendati secara resmi kehadirannya bisa
dimaklumi sejak 1689, para Pembangkang toh ditolak saat mengurus akte kelahiran,
ketika mau memasuki universitas dan manakala berkesempatan memegang jabatan
publik. Akibatnya mereka kemudian membentuk kelompok kebudayaan sendiri yang
terpisah dan berjarak, dan membangun penentangan permanen terhadap Negara
Inggris. Godwin melangkah masuk ke dalam tradisi ini : kakeknya pernah menjadi
pemimpin kementerian Pembangkangan, ayahnya juga seorang menteri dan pada
dirinya tertiupkan aspirasi dari zaman-zaman pendahulunya.
Semasa kanak-kanak, Godwin tampil dengan relijiusitas yang mendalam dan
kecerdasannya berkembang pesat. Pada usia 11 tahun ia kemudian dikirim menjadi
satu-satunya murid Samuel Newton, seorang pendeta yang dihormati di kota yang
hebat di Norwich. Inilah periode yang paling menumbuhkan dalam kehidupan
Godwin. Perlakuan Newton yang galak menorehkan pada Godwin kebencian terhadap
hukuman dan tirani. Namun Newton juga seorang penganut Calvinisme yang ekstrim,
seorang pengikut ajaran Robert Sandeman dan seorang saleh yang segera cara
pengajarannya diadopsi oleh Godwin.
Sandeman menekankan benar pada akal : rahmat bukanlah dicapai berkat
belas kasih takdir, melainkan melalui pemahaman rasional tentang kebenaran, sebuah
penilaian benar-salah berdasarkan pemahaman akal-budi. Sandemanian menafsirkan
ajaran Testamen Baru secara sastrawi : mereka berupaya mempraktekkan
persaudaraan yang saling berbagi kasih dan kesejahteraan. Mereka juga demokratis
dan egaliter : sebuah tindak penolakan kekuasaan atas mayoritas dan lebih memilih
konsensus serta menghapuskan pembedaan kehidupan sipil berdasarkan golongan-
golongan agama. Semua manusia, demikian penegasan mereka, adalah sama untuk
diselamatkan atau dikutuk.

5 Nama daerah di bagian tenggara Inggris. Kawasan ini pernah ditandai memiliki dialek bahasa Inggris
tua seperti juga yang berkembang di kawasan sekitarnya seperti dialek Mercian dan Northumbrian.

3
Godwin melangkah lebih jauh dengan membetot Tuhan Calvinist turun ke
bumi dan mengemukakan ihwal kesempurnaan dan kemurnian manusia dari dosa,
sembari tetap mempertahankan ajaran-ajaran Sandeman di bidang ekonomi dan sosial.
Godwin tidak berhenti hanya menelusuri jejak-jejak awal dirinya dalam Calvinisme –
yakni laku ketabahan dan penghukuman yang berlebihan akan cinta kasih pribadi –
melainkan, dan terutama juga, menguji pertanggungjawaban Sandemanianisme dalam
hal keyakinan mereka akan penilaian rasional sebagai sumber bagi tindakan-tindakan
manusia.
Selepas dari ajang pendidikan intelektual dan emosional di bawah Newton,
pada usia 17 Godwin melanjutkan studi ke Akademi Keragaman Berpendapat
(Dissenting Academy) di Hoxton – salah satu pusat pendidikan tinggi terbaik di
Inggris pada abad 18. Di sini ia menyerap dasar yang menyeluruh tentang psikologi
Locke, yang menghamparkan pikiran layaknya selembar kertas kosong; ia belajar
pengetahuan Newtonian yang melukiskan dunia sebagai mesin yang ditata oleh
hukum-hukum alam; dan tentang etika Hutcheson yang menekankan kedermawanan
dan utilitas sebagai fondasi bagi kebajikan. Pada saat yang sama Godwin membangun
kepercayaan akan ‘keterdesakan’, yakni, katakanlah, bahwa segala tindakan
ditentukan oleh penyebab-penyebab yang mendahuluinya, dan mengenai
‘immaterialisme’, yang melihat bahwa dunia eksternal diciptakan oleh pikiran. Kedua
pilar kembar pemikirannya ini, pada gilirannya kelak mengalami penggosokan
kembali.
Betapapun para pengajarnya betul-betul liberal dalam urusan agama dan
politik, dan memberanikan penjelajahan pikiran bebas, Godwin meninggalkan Hoxton
dalam posisi yang masih sama ketika ia memasukinya : seorang Sandemanian dan
seorang Tory6. Ia mencoba melamar jabatan menteri, namun tiga kali ditolak di
tingkat dewan daerah di Inggris selatan. Ini menandai periode penafsiran dan
pengujian kembali dirinya. Perkembangan intelektualnya tumbuh pesat. Kecamuk
debat politik mempersoalkan Perang Kemerdekaan Amerika pada masa itu, segera
mengarahkan ia untuk mendukung oposisi Whig7 terhadap perang, dan pembacaannya
akan sejarahwan-sejarahwan Latin dan Jonathan Swift membuatnya jadi seorang
republikan dalam tempo semalam.

6 Seseorang yang berpandangan politik konservatif dan reaksioner. Kebanyakan bergabung dengan
Partai Konservatif atau Union yang mendukung tatanan sosial monarki dan gereja Inggris.
7 Mereka yang mendukung pihak Amerika dalam menentang Inggris dalam Revolusi Amerika. Ini
gerakan yang terus membesar dan menjadi cikal bakal Partai Liberal di Inggris.

4
Pengaruh terpenting berasal dari pembacaannya akan filsuf-filsuf Perancis.
Pada Rousseau, ia menyimak bahwa manusia pada dasarnya baik namun dikorupsi
oleh institusi, bahwa pemilikan pribadi merupakan keruntuhan peradaban dan bahwa
manusia dilahirkan bebas namun di sekelilingnya yang ada melulu rantai belenggu.
Dari Helvétius dan d’Holbach ia belajar bahwa seluruh manusia adalah sama dan
masyarakat mestinyalah dibentuk demi kebahagiaan manusia. Begitu ia menutup
halaman buku-buku tersebut, seluruh pandangan-dunianya telah berubah. Semua
sontak menggaris-bawahi pandangan Calvinisnya tentang manusia, kendati pada saat
itu ia adalah pengikut Socinus (yang menolak sifat ketuhanan Yesus dan dosa asali)
ketimbang sebagai seorang atheis. Sadar bahwa dia sudah tak ada potongan untuk
menjadi seorang menteri, ia hengkang ke London dan berusaha memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan mengajar dan menulis.
Dalam masa peralihan kekuasaan yang cepat, Godwin menulis dalam masa
pemerintahan William Pitt8, dua pamflet dukungan atas kasus Whig, sekumpulan
gubahan sastra dan tiga novel pendek. Berhasrat menyingkirkan para pengkhotbah di
hadapannya, ia menerbitkan sebuah suntingan, Sketches of Histroy (1784), sembari
tak melupakan amatannya bahwa Tuhan di dalam injil berperilaku layaknya seorang
„legislator politik“’ dalam „negara ketuhanan“, dengan juga tak terlewat untuk
menyertakan fakta bahwa Tuhan „tidak punya hak untuk menjadi tiran“. Dalam hal ini
Godwin sedang amat terkesan dengan gambaran Milton tentang Iblis dalam Paradise
Lost – „sebuah keberadaan bagi kebajikan penting,“ tulisnya kemudian, „yang
berontak melawan penciptanya karena ia menimbang tidak ada nalar yang cukup di
balik ketimpangan yang ekstrim pada hierarki posisi dan kekuasaan yang telah
diciptakan“. Sosok ini meneruskan pemberontakannya setelah kejatuhannya karena
„panggilan nalar dan keadilan terasa lebih kuat ketimbang bekapan kekuatan yang
kejam9“.
Karya politisnya yang paling penting dalam periode ini, tentunyalah An
Account of the Seminary (1783), yang diniatkan oleh Godwin sebagai petunjuk bagi
dua belas murid dalam bahasa Yunani, Latin, Perancis dan Inggris untuk membuka
sekolah di Epsom --tak jauh dari London ke arah selatan. Meskipun tidak ada murid-

8 Kali pertama menjadi Perdana Menteri Inggris (1783-1801) usianya baru 24 tahun. Pitt amat tanggap
mengapungkan isu nasionalisme untuk memulihkan Inggris Raya dan berperang melawan Perancis
yang revolusioner. Ia kembali menjadi PM pada periode 1804-1806
9 William Godwin, Sketches of History, In Six Sermons (T. Cadell, 1784), hal. 5, 20; Godwin,
An Enquiry concerning Political Justice, edisi 3 (G.G. & J. Robinson, 1798), I, 323

5
murid yang muncul, prospektus ini tampil sebagai ulasan yang paling tajam dan
menawan bagi pendidikan yang progresif dan membebaskan. Tulisan itu menyatakan
keyakinan Godwin bahwa kanak-kanak bukan hanya dilahirkan murni dan berhati
bersih, melainkan juga adalah kewajiban guru untuk menyuburkan bakat-bakat khusus
mereka dan memperlakukan mereka secara lembut dan ramah. Pelajar eks-Tory dan
pejabat di kementerian yang Calvinist itu sampai pada kesadaran bahwa,

Kondisi masyarakat, tak pelak lagi adalah sesuatu yang semu; kekuasaan
satu orang terhadap yang lain pastilah selalu diturunkan dari konvensi atau
dari penaklukan; sementara secara alami kita semua adalah sama.
Akibatnya, pemerintah selalulah harus bergantung pada pendapat mereka
yang berkuasa. Biarkanlah orang-orang yang paling tertindas di bawah
surga ini untuk sekali ini saja merubah cara berpikir mereka dan mereka
pun akan bebas.
Kekuasaan pemerintah sangat terbatas untuk membuat manusia menjadi
bijak dan bahagia; hanyalah karena masyarakat yang masih bayi,
pemerintah diperlukan dalam batas tertentu; dalam masyarakat yang
dewasa, hanya sedikit yang bisa dilakukan pemerintah bagi aktivitas
eksternal kita. Watak dan karakter moral kita sebaliknya amat bergantung,
bahkan mungkin keseluruhannya, kepada pendidikan10.

Lima tahun sebelum revolusi Perancis, Godwin sudah mulai menuliskan pokok-pokok
pikiran Political Justice. Persahabatannya dengan penulis lakon drama Thomas
Holcroft mengantarkannya menjadi seorang atheis dan menolak lembaga perkawinan
dan pemerintah.
Lantaran tak satu pun karya-karya awalnya mendatangkan uang yang cukup
baginya, guna mencukupi kebutuhan hidupnya Godwin bekerja untuk jurnal Whig di
Grub Street. Ia menulis tentang penindasan yang dilakukan pemerintahan Pitt di
Irlandia dan India. Dalam tulisannya mengenai sejarah revolusi di Belanda pada 1787,
ia meramalkan bahwa “api kemerdekaan” yang pertama kali disulut oleh revolusi
Amerika telah menyebar dan bahwa “sebuah republik baru dari jenisnya yang paling
murni tengah menjelang bersemi di daratan Eropa”11.
10 The Anarchist Writings of William Godwin, editor Peter Marshall (Freedom Press, 1986), hal.
140. Sebagian besar bab ini muncul pertama kali dalam introduksi karya ini.
11 Godwin, History of the Internail Affairs of the United Provinces (1787), hal. 332

6
Manakala revolusi Perancis pecah pada 1789, tidak semuanya merupakan
peristiwa yang diluar dugaan. Godwin berusia tiga puluh tiga tahun pada waktu itu
dan seperti juga William Blake dan William Wordsworth, “jantungnya berdegup keras
oleh gelora kemerdekaan”12. Ia tidak terpaku diam. Ketika penerbitan Tom Paine
tengah terhuyung-huyung, Godwin terjun membantu menerbitkan bagian pertama
Rights of Man (1791). Ia juga menulis sepucuk surat kepada Sheridan, seorang politisi
Whig, dan menyatakan bahwa “Kemerdekaan melahirkan tiada yang lainnya kecuali
penghormatan kepada bakat-bakat dan kebajikan…Berikanlah pada situasi ini
sejumput kemerdekaan, maka keburukan akan mustahil hadir di dalamnya” 13.
Sebagaimana kemudian dikaji oleh Mary, puterinya, keyakinan Godwin bahwa
“keburukan tak akan muncul di bawah kebebasan sempurna”, merupakan “fondasi inti
dalam sistem yang dikembangkan Godwin, sebagai tiang pancang utama bangunan
keadilan, dengan itu ia berhasrat merangkaikan utuh segenap keluarga
kemanusiaan”14.
Karya Burke Reflections on the Revolution in France (1790) meletupkan
sebuah pamflet perang, namun Godwin memilih melintasi kontroversi pada saat itu
dan menulis karya yang pada gilirannya menegaskan prinsip-prinsip politik di atas
basis yang tak tergoyahkan. Sebagai filsuf, ia lebih berminat pada prinsip-prinsip
universal ketimbang rincian praktis. Ia berusaha memampatkan dan mengembangkan
apa pun yang terbaik dan paling liberal dalam teori politik. Ia cermat menyusun
argumen-argumennya dan menuliskannya dalam gaya yang jernih dan lugas. Hasilnya
adalah An Enquiry Concerning Political Justice and Its Influence on General Virtue
and Happiness (1793).
Sebagaimana dinyatakan Godwin dalam pengantarnya, karyanya menjalani
prosesnya sendiri dan begitu pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya ia luncurkan,
maka ide-idenya pun menjadi lebih “mudah dimengerti dan dicernakan”. Ia
mengembangkan teori keadilan yang menempatkan hasil penjumlahan terbesar dari
kebahagiaan sebagai tujuannya dan berlanjut pada penolakannya terhadap relasi cinta-
kasih berumah tangga, pamrih, janji-janji, patriotisme, hak-hak positif dan akumulasi
pemilikan. Pergeseran pandangannya tentang pemerintah, pada gilirannya membuka
betapa tidak-akuratnya makna kata ‘pemerintah’. Ia mengakui bahwa ia mengawali

12 Dikutip dari karya saya, William Godwin, op.cit., hal. 77


13 Godwin kepada Sheridan, ibid., hal. 81
14 Mary Shelley, C. Kegan Paul, William Godwin: His Friends and Contempories (Kegan Paul,
1876), I, 76

7
karyanya “tanpa menyadari bahwa pemerintah pada hakikatnya menihilkan kemajuan
pikiran individual; namun... Ia memahami kata itu secara lebih lengkap begitu ia
mulai menuliskan karyanya dan melihat hakikat perbaikan dengan lebih jelas”15.
Pengalaman revolusi Perancis memang telah memikatnya pada semacam hasrat akan
pemerintahan yang paling minimal. Namun kemudian nalar lugasnya
mengantarkannya pada kesadaran bahwa kemanusiaan bisa tercerahkan dan bebas
hanya dengan menghapuskan pemerintahan secara tuntas. Alhasil, Godwin bersanding
dekat dengan Jacobin Inggris seperti Paine, seorang anarkis yang nyaring dan tajam –
yakni eksponen besar pertama dari masyarakat tanpa pemerintah.
Political Justice bukanlah satu-satunya karya yang melentingkan kemashuran
Godwin. Pada 1794 ia menerbitkan novelnya, Things as They Are; or, The Adventure
of Caleb Williams, ini kisah pelarian dan pemburuan yang memukau tentang
bagaimana “jiwa dan karakter dari pemerintah menyelinapkan dirinya ke dalam lapis-
lapis masyarakat”16. Ini juga karya yang digolongkan sebagai karya besar. Ia tidak
semata menampilkan amatan sosial yang piawai, melainkan juga tampaknya itulah
novel thriller dan psikologis yang pertama, yang sekaligus merespon kegamangan
eksistensialisme modern.
Political Justice karya Godwin ini diterbitkan dua minggu setelah Inggris
Raya menyatakan perang terhadap Perancis yang revolusioner – pada masa ketika
publik “terpukul panik” oleh “segala prasangka terhadap pikiran manusia….lalu
mempersenjatai diri untuk memberangusnya”17. Pemerintahan Pitt berusaha untuk
membungkam tumbuhnya gerakan reformasi dengan memenjarakan pemimpin-
pemimpinnya, seperti Holcroft, Horne Tooke, Thelwall dan lain-lainnya, di bawah
tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Godwin kontan meluncurkan pembelaan
terhadap mereka dalam tulisan dengan argumentasi yang kokoh berjudul Cursory
Strictures (Kritik Selewatan) pada 1794. Antara lain lantaran pengaruh pamflet
Godwin, juri membatalkan tuduhan. Lalu, lagi, ketika pemerintah hendak
memberlakukan undang-undang bengis, Gagging Act, yang mau membatasi
kebebasan berbicara, berserikat dan kebebasan pers, Godwin menanggapi dengan
tajam dalam Considerations (1759) yang di ujung kalimatnya ia tanda-tangani sebagai
“Pecinta Tatanan”. Pamflet itu utamanya adalah pengaduan mengenai kebijakan

15 Godwin, Political Justice, op.cit., I, x


16 Godwin, Things as They Are; or The Adventure of Caleb Williams (1794), editor Maurice
Hindle (Harmondsworth: Penguin, 1987), hal. 3
17 Political Justice, op.cit., I, xii

8
represif Pitt sekaligus mengkritik cara-cara yang dilakukan beberapa asosiasi politik
baru, khususnya London Corresponding Society, yang memanas-manasi ‘panci
konflik sipil’ melalui pidato-pidato dan demonstrasi masal mereka18. Bagi Godwin
yang gigih dan tanpa kompromi mempertahankan kemerdekaan yang memang sukar
dicapai itu, ia lebih percaya bahwa reformasi sejati akan dicapai dengan cara
terbaiknya melalui pendidikan dan pencerahan dalam lingkup lingkaran-lingkaran
yang kecil. Salah satunya, lingkaran seperti inilah yang menelurkan ‘kelompok karib’
anarkis generasi berikutnya. Kritik-kritiknya terhadap cara-cara mengompori yang
dilakukan tokoh-tokoh sezamannya, toh berakibat ia diserang secara sengit oleh para
agitator Jacobin seperti Thelwall.
Pada masa yang sama, Godwin berhubungan semakin dekat dengan Mary
Wollstonecraft, penulis feminis penting yang pertama, yang menegaskan dalam
karyanya Vindication of the Rights of Woman (1792) bahwa pikiran tidak punya
kelamin dan bahwa perempuan semestinyalah menjadi rasional dan independen
ketimbang melulu sebagai ibu rumah tangga yang pasif dan malas. Kendati Godwin
tampil kurang percaya diri dan kadangkala suka pamer kepintaran, Wollstonecraft
tanggap dalam diri lelaki ini ada jiwa yang independen yang mampu mengolah secara
sama baiknya emosi-emosi terdalam dan nalar yang tinggi-ketat. Mereka kemudian
menjadi sepasang kekasih, namun lantaran menyadari bahayanya hidup sebagai
suami-isteri, mereka memutuskan untuk hidup berpisah.
Wollstonecraft punya seorang puteri di luar pernikahan dari kekasihnya
sebelum Godwin dan mengalami prasangka dan celaan yang hebat dari masyarakat
kaku abad ke-18 di Inggris. Ia pernah dua kali mencoba bunuh diri. Ketika ia hamil
kembali dalam keintimannya dengan Godwin, ia merasa tak mampu untuk
menghadapi lagi hukuman pengasingan dan meminta Godwin menikahinya. Kendati
Godwin mengecam institusi perkawinan Eropa sebagai “yang paling menjijikkan dari
segala bentuk monopoli”, ia setuju mengikuti jalan perkawinan. Musuh-musuhnya
bersuka-cita dengan tampilan yang tak konsekuen ini dan julukan sebuah kepala yang
panas dan kaki yang dingin, sejak itu santer dihunjamkan terhadap Godwin.
Betapapun, layaknya anarkis yang baik, Godwin percaya bahwa tidak ada tata moral
yang melarang jalan keluar bagi situasi-situasi khusus. Dalam hal ini, ia menyerah ke
sebuah institusi sembari tetap mengangankan bisa mengalami dimusnahkannya
institusi tersebut, demi kebahagiaan sesosok individu. Setelah upacara perkawinan, ia
18 Godwin, Considerations on Lord Grenville’s and Mr Pitt’s Bills (J. Johnson, 1759), hal. 21

9
menempatkan dirinya lebih bebas layaknya lepas dari ikatan, dibandingkan sebelum
pernikahannya.
Meskipun Teror Pemerintahan adalah tata-sosial yang berlaku, Godwin tetap
yakin bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang atas teror dan prasangka. Karena
itulah ia merevisi dengan cermat Political Justice, sebuah edisi baru yang terbit pada
1796. Wollstonecraft membantu ia menyadari pentingnya perasaan sebagai sumber
tindakan manusia dan titik pusat kenyamanan dalam etika. Godwin juga memperbaiki
argumen-argumennya jadi lebih konsisten, dengan mempertunjukan sedari awal
karyanya, ihwal jahatnya pemerintahan dan dengan memperjelas bagian tentang
pemilikan. Alhasil, mengikuti De Quincey, Kropotkin salah lantaran berpikir bahwa
Godwin telah menarik kembali keyakinannya dalam Edisi Kedua ini19. Nyatanya ia
toh bukan hanya mempertahankan gagasan yang tertuang dalam edisi pertama,
melainkan juga menawarkan ajuan yang lebih substansial dan meyakinkan mengenai
anarkismenya. Dalam edisi ke tiga pada 1798, ia malah menghapus sedikit dari ‘opini
yang masih dini dan mentah’ dan menambahkan sebuah ‘Ringkasan Prinsip-prinsip’.
Sembari merevisi edisi kedua Political Justice, Godwin juga menulis beberapa
refleksi orisinal tentang pendidikan, perilaku dan kesusastraan, yang diterbitkan
sebagai kumpulan esai bertajuk The Enquirer (1797). Karya ini berisikan gagasan-
gagasan tentang pendidikan yang luar biasa dan paling progresif diantara yang pernah
ditulis orang. Godwin menggagas bahwa tujuan pendidikan seharusnyalah untuk
menyuburkan kebahagiaan dan untuk mengembangkan pikiran yang independen dan
kritis. Dan tidak hanya itu, tapi juga bangunan keseluruhan otoritas pengajaran
haruslah bisa terlaksana berbarengan dengan hasrat kanak-kanak untuk belajar dengan
ritme dan cara milik mereka sendiri.
Pemikiran Godwin mengenai ekonomi, dalam the Enquirer, pun tak kalah
menantang. Bahkan dengan esainya berjudul ‘Of Avarice and Profusion’ ia mengkaji
tajam soal eksploitasi berdasarkan teori nilai tenaga kerja yang menjadi inspirasi bagi
Malthus untuk menorehkan pidato panjangnya yang menentang segala kemajuan,
Essay on the Principle of Population (1798). Pengamatan yang memporak-
porandakan masyarakat kapitalis pada waktu itu dari Godwin, yang berjudul ‘Of
Trades and Professions’ juga membetot minat kaum Chartists untuk mencetaknya
pada 1842 -- ini periode puncak agitasi mereka.

19 Lihat De Quincey, Collected Writings, op.cit., XI, 328; Kropotkin, Anarchism, op.cit., hal. 12

1
Masa kebersamaan dengan Wollstonecraft merupakan penggalan paling
membahagiakan dalam kehidupan Godwin : sebuah perpaduan dari dua pemikir
radikal besar. Melalui mereka perjuangan kebebasan lelaki dan perempuan bermuara
pada sumbernya. Namun itu adalah masa singkat yang tragis : Wollstonecraft
meninggal ketika melahirkan puteri mereka, Mary. Godwin menyepikan dirinya
dengan jalan menyunting tulisan-tulisan kekasihnya dan menulis semacam biografi
isterinya itu secara apa adanya yang, mudah ditebak, dilecehkan oleh kaum Anti-
Jacobin sebagai „buku tuntunan spekulatif untuk seks, makan dan minum tanpa
batas“20. Godwin tak pernah bisa menyembuhkan luka kehilangan kekasih pertama-
terbesarnya. Apa yang bisa dia lakukan hanyalah menghidupkan kembali cintanya itu
dalam karya roman berikutnya, St. Leon (1799), yang menggambarkan bahaya-bahaya
menjalani kehidupan yang terisolasi dan pemujaan terhadap cinta-kasih berumah-
tangga.
Godwin menunjukkan keampuhannya membendung arus reaksi terhadap
dirinya dengan kalem dan menawan dalam karyanya, Thoughts. Occasioned by the
Perusal of Dr Parr’s Spital Sermon (1801), sebuah pengingkaran dari seorang bekas
sahabat. Ia memakai kesempatan ini untuk menjelaskan pemikirannya tentang
keadilan, dengan menyadari klaim cinta-kasih berumah-tangga. Ia juga membuktikan
kesalahan dari tokoh lawan debatnya, Malthus, dengan menyanggah bahwa
pengekangan moral membuat sifat buruk dan kemelaratan sebagai sesuatu yang tidak
diperlukan untuk tindak pengendalian populasi. Toh itu pun tak membantu banyak.
Godwin tetap terpasung, dicemoohi dan kemudian perlahan-lahan dilupakan. Tak
pernah lagi dalam masa hidupnya ia hadir dalam benak publik.
Sisa kehidupan Godwin merupakan kisah muram tentang makin dalamnya
kemiskinan dan keterasingan. Ia mengawini seorang tetangga bernama Mary Jane
Clairmont yang sudah punya dua anak haram, dan dari hubungan perkawinan mereka
lahir seorang putera, sehingga seluruh anggota keluarga menjadi tujuh jiwa. Tapi tak
ada suntikan gairah yang besar atau pun inspirasi intelektual diantara keduanya, dan
isterinya mengasingkan dia dari sahabat-sahabatnya seperti Coleridge dan Charles
Lamb. Guna menafkahi kehidupan, mereka mendirikan Perpustakaan Remaja yang
menghimpun sekumpulan buku kanak-kanak berkualitas namun toh membelit Godwin
dalam keputusasaan dan hutang yang tiada akhir. Seorang mata-mata pemerintah
tampaknya tepat memberi catatan bahwa tokoh ini memimpikan perpustakaannya
20 T.J. Mathias, dikutip dari buku saya William Godwin, op.cit., hal. 215

11
sebagai persinggahan bagi persiapan sekolah-sekolah untuk menyongsong „datangnya
prinsip-prinsip demokrasi dan religiusitas cinta kasih sesama secara universal“21.
Godwin terus menulis untuk memenuhi tuntutan banyak mulut yang harus
diberi makan. Ia memproduksi naskah-naskah tragedi serta juga kisah lembut
kehidupan Chaucer. Ia menulis beberapa roman yang kuat, khususnya Fleetwood
(1805), sebuah lukisan yang hendak menyongsong sosok ‘Manusia Baru Berperasaan’
dan tumbuhnya kesadaran kritis akan sistem baru perpabrikan. Pada Mandeville
(1817) yang berlatar sosial abad ke-17, ia menggerai kisah kegilaan yang
menakjubkan. Ia kembali menggarap Of Population (1820) untuk menyerang lawan
debat utamanya, Malthus, dengan kritik yang penuh daya berisikan prinsip-prinsip
filosofinya dan penalarannya mengenai pertumbuhan populasi dan suplai makanan.
Kendati Godwin hidup sunyi dan layaknya pensiunan, gelora semangat muda
menangkap pesannya. Percy Bysshe Shelley, seorang penyair, yang dikeluarkan dari
Oxford lantaran menulis pamflet tentang atheisme dan ditelantarkan oleh ayahnya
yang bangsawan kaya, meluncur ke dalam kehidupan Godwin pada 1812, dengan
Political Justice di kantongnya dan visi tentang kemerdekaan dan keadilan yang
berapi-api di kepalanya. Semula Godwin menyambut murid barunya dengan senang,
sambil ia mengendalikan semangat anak muda ini yang hendak membangkitkan
pemberontakan di Irlandia. Simpatinya beralih menjadi kemarahan karena Shelley lari
bersama puterinya yang berusia 16 tahun, Mary (seorang ‘Wollstonecraft yang
sebenarnya’), sebuah pelarian yang mau membuktikan keyakinan terbaik mereka akan
percintaan bebas. Puteri tirinya, Mary Jane (juga dikenal sebagai Claire) menyusul
bergabung dan berujung dengan kelahiran seorang anak bernama Allegra dari kekasih
bernama Byron. Sementara Mary berlanjut menulis kisah Frankenstein (1818) dan
beberapa roman lainnya yang mengesankan.
Sebenarnyalah, Godwin patut berhutang budi besar pada Shelley atas usaha
penyair ini menyuburkan warisan ajarannya, utamanya, keyakinan mereka bahwa
pemilikan adalah kepercayaan yang mesti dibagikan kepada yang paling
membutuhkan. Pada sisi lain, utang intelektual Shelley terhadap Godwin juga tak
terkira. Betapa besar sanjungan Milton terhadap Injil, begitulah Godwin di mata
Shelley. Inti ajaran Political Justice digubah menjadi bait-bait puisi naratif
revolusioner terbesar – berbahasa Inggris -- yang luar biasa dan bergema kuat.
Bahkan, dalam kumpulan puisi Queen Mab (1812), The Revolt of Islam ((1818),
21 Laporan intelijen pemerintah, op.cit., hal. 290

1
Promotheus Unbound (1819) dan Hellas (1822), Shelley menggelar habis ajaran
anarkis dan secara sistematis mengolah prinsip-prinsip Godwinian tentang
kemerdekaan, persamaan dan kedermawanan universal.
Dalam Philosophical Review of Reform (1820), ia menyerukan kewaspadaan
akan “bencana dahsyat bernama pemerintah” yang berada di balik kemasan rutin
“sebuah ramuan keadilan dari elemen-elemen kehidupan sosial” dan, sebagaimana
Godwin, ia menyatakan bahwa penyair dan filsuf adalah “legislator tak resmi di
dunia”22. Kendati Shelley tampil sebagai murid yang tidak kritis dan malah makin
terbuai pada pemujaan Platonisme, ia tetaplah penganut sampai akhir yang
menyalakan cahaya-cahaya visioner Political Justice. Demikianlah, jika Godwin
adalah filsuf anarkis terbesar, maka Shelley adalah penyairnya.
Karya paling impresif dari masa tua Godwin adalah The History of the
Commonwealth (1824-8) dalam empat jilid, yang mengkaji periode yang paling ia
sukai. Meskipun ia mengulas secara umum soal Winstanley dan the Diggers, yang
pemikirannya tersemburat secara akrab dengan dirinya, ia menekankan bahwa masa
lima tahun mulai dari penghapusan monarki sampai ke kudeta Cromwell, adalah masa
kegemilangan yang menantang bagi periode-periode lain dalam sejarah Inggris. Ia
mempertahankan lebih jauh eksekusi terhadap Charles I berdasarkan alasan bahwa
keadilan alamiah tiada lain berarti bahwa terkadang adalah benar untuk “menanamkan
kembali ke dalam komunitas, keseluruhan hak-hak yang mereka miliki sebelum
hukum-hukum yang lebih khusus berlaku”. Maka di sini, hal pentingnya adalah
“perlawanan merupakan kebajikan”23.
Pada 1831 Godwin menulis kumpulan esai filosofis Thoughts on Man yang
memperlihatkan bahwa sampai akhir masa hidupnya ia masih kukuh menggenggam
prinsip-prinsip dasar Political Justice. Dalam pandangan metafisikanya, ia menyadari
bahwa perasaan dan sensasi kita mengarah kepada kepercayaan akan kehendak bebas
dan keberadaan dzat atau matter, namun ia tetap lugas berbicara “mengenai seberapa
perlu dan tidaknya” meneguhkan determinisme, dengan menyatakan bahwa pikiran,
segenap pemikiran, merupakan hal yang mudah menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Dengan keyakinan politiknya ia mengecam para reformer yang meneriakkan

22 Shelley’s Prose: or, The Trumpet of Prophecy, editor D.L. Clark (Albuquerque, 1954), hal.
237, 240, 252. Tentang pengaruh utama Godwin terhadap filsafat politik Shelley, lihat Michael H.
Scrivener, Radical Shelley. The Philosophical Anarchism and Utopian Thought of Percy Bysshe Shelley
(Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1982), hal. 8
23 Godwin, History of the Commonwealth of England (1824-8), i, 90; ii, 333

1
pemilihan rahasia sebagai simbol perbudakan ketimbang kemerdekaan. Ia masih
bersemangat membayangkan “manusia mungkin akan menafkahi hidupnya secara
sangat baik dalam bentuk perkelompokan atau badan-badan perkumpulan yang bebas
dari paksaan hukum”24.
Memanglah, Thoughts on Man merupakan perayaan terus-menerus akan
pencapaian dan serba-kemungkinan mahluk ilahiah yang memoles perjalanan
kesempurnaan spesies kita. Setelah melalui kehidupan yang panjang dan sulit,
keyakinan Godwin akan kemungkinan kesempurnaan manusia sampai pada titik tak
tergoyahkan dan ia mengakhiri bukunya dengan kepercayaan tuntas bahwa “mulai
dari titik ini, saling pengertian dan kebajikan kemanusiaan akan menuntaskan apa
yang sedari dulu hati manusia tidak pernah cukup berani untuk merengkuhnya”25.
Godwin terdesak oleh kesulitan yang semakin besar untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya hanya dari menulis; maka ketika Grey, Perdana Menteri Whig
yang baru, menawarkan pensiun pada usia tujuh puluh tujuh tahun, ia menerimanya
meskipun dengan perasaan enggan. Jabatan resminya adalah Penata Kantor dan
Pegawai Rendah Pengantar Pengunjung. Ia diberi tempat tinggal di kompleks Istana
Baru yang bersebelahan dengan Gedung Parlemen. Tentunya ini sebuah puncak ironi
dalam kehidupan Godwin yang rumit : ia menjalani hari-hari tuanya sebagai
pemelihara institusi absolut yang dalam angan-angannya ingin ia lihat dimusnahkan.
Toh kisah dirinya bukanlah tanpa pembalikan pada ujungnya. Pada Oktober 1834
kebakaran besar menghancurkan Istana Wesminster tua. Godwin bertanggung jawab
terhadap perlengkapan pemadam kebakaran, namun ia diam-diam melarikan diri ke
gedung teater ketika peristiwa itu terjadi. Tak seorang pun berpikir untuk menuduh
ada apa di balik larinya sosok lelaki berpakaian tua ini.
Dengan susah payah Godwin menambal masa senja hidupnya dengan gaji
kecil pensiunan, isterinya yang menua, perpustakaannya yang ganjil dan kenangannya
yang penuh warna, utamanya dengan keriangan yang dibawa oleh kunjungan-
kunjungan dari puterinya. Ia meninggal dalam damai di ranjangnya pada 7 April 1836.
Ia mencapai usia delapan puluh tahun. Hanya beberapa sahabat menghadiri
pemakamannya dan ia tidak mewariskan gerakan pengikut yang terorganisir.
Keinginan terakhirnya, ia minta dikuburkan bersebelahan dengan cinta terbesarnya,
Mary Wollstonecraft : dalam kematian sebagaimana juga dalam hidup, persatuan
24 Godwin, Thoughts on Man, his Nature, Productions and Discoveries (Effingham Wilson,
1831), hal. 112-13
25 Ibid., hal 471

1
anarkis terbesar pertama dan feminis terbesar pertama ini menyiratkan sebuah
perjuangan bersama demi emansipasi sempurna lelaki dan perempuan.

FILSAFAT
Tujuan pokok Godwin ialah hendak memeriksa prinsip-prinsip filsafat politik dan
untuk menempatkan pokok soal tersebut di atas basis yang baku. Ia memakai
pendekatan deduktif langsung berikut serangkaian argumentasi dan uraian
penerapannya. Ia berupaya keras mengemukakan dirinya sejelas dan sepersis
mungkin. Meskipun ia menyampaikan kebenaran yang tenang dan bersahabat, toh
kadangkala ia tak luput dari luapan retorika yang bersemangat.
Sebagaimana tersirat dalam judul lengkap karya utamanya, An Enquiry
Concerning Political Justice, and Its influence on General Virtue and Happiness,
Godwin pada dasarnya tengah menimbang relasi antara politik dan etika. Lebih jauh
ia mendasarkan prinsip-prinsip etikanya pada cara pandang khusus tentang dunia dan
sifat manusia. Diantara semua pemikir anarkis, Godwin adalah yang paling konsisten
dalam usahanya memperlihatkan asumsi-asumsi filosofis di atas mana ia menelurkan
kesimpulan-kesimpulan libertariannya.
Pijakan awal Godwin adalah keyakinan terhadap determinisme universal atau
‘kebutuhan’, demikian ia menyebutnya : alam diperintah oleh hukum-hukum
kebutuhan. Dalam sejarah seperti juga dalam kehidupan individu-individu, tak ada
yang lainnya yang bisa terjadi diluar itu. Serangkaian keteraturan sebab dan akibat
merupakan berkah yang memungkinkan kita membuat prediksi dan model yang sesuai
bagi penilaian-penilaian dan tindakan-tindakan kita. Toh, pada saat bersamaan,
Godwin mengakui bahwa kita tidak mampu mengetahui dengan persis sifat dari
kausalitas itu dan bahwa setiap prediksi pastilah didasarkan pada tingkat probabilitas
yang tinggi.
Adalah meditasi Godwin tentang doktrin ‘kebutuhan’ yang mengarahkan dia
menjadi seorang atheis sembari ia menulis Political Justice. “Agama”, simpulnya,
hanyalah “sebuah akomodasi untuk prasangka-prasangka dan kelemahan-kelemahan
kemanusiaan”26. Betapapun demikian, kepercayaan relijius awal Godwin jelas
mempengaruhi keyakinan moral dan politiknya. Anarkismenya, secara umum,
merupakan penerapan hak Protestan mengenai penilaian personal ihwal relijius
sampai ke wilayah moral dan politik. Tampilan versi Sandemanian dari Calvinisme
26 Political Justice (edisi pertama, 1793), I, ii

1
pada masa mudanya, telah membangkitkan rasionalitas dan ketabahannya sebegitu
juga dengan simpati demokratis dan egalitariannya.
Godwin tetap menjadi atheis hanya untuk beberapa tahun dan, seperti
kebanyakan anarkis, ia percaya pada semacam optimisme kosmik. Layaknya alam
yang justru akan berkembang sampai puncak jika ia dibiarkan apa adanya, begitulah
juga masyarakat manakala pengaruh turut campur dari luar semakin minimal. Di
bawah pengaruh Coleridge, belakangan dalam kehidupannya Godwin menganut
sejenis theisme yang samar-samar. Ia mulai memperbincangkan semacam ‘kuasa
misterius’ yang ajeg dan memberikan harmoni kepada semesta27.

SIFAT MANUSIA
Sifat manusia, seperti juga alam eskternal, diperintah oleh hukum-hukum kebutuhan.
Godwin menolak teori tentang ide-ide bawaan sejak lahir dan tentang insting. Ia
menegaskan, sebagaimana judul dalam satu bab bukunya, bahwa “Karakter Manusia
Bersumber dari Lingkungan Sekitarnya”. Kita lahir tanpa sifat buruk maupun
kebajikan, melainkan dibuat demikian sesuai pertumbuhan kedewasaan dan
pendidikan yang kita terima. Mengingat kita sepenuhnya merupakan hasil dari
lingkungan kita, maka samasekali tidak ada alasan biologis bagi pembedaan kelas dan
perbudakan. Bagi Godwin ini berarti bahwa kita memiliki kebersamaan alamiah dan
kesejajaran yang substansial. Dari kesejajaran fisikal ini, Godwin menarik kesimpulan
untuk kesejajaran moral : kita satu sama lain haruslah saling memperlakukan dengan
berdasarkan pertimbangan persamaan dan menyadari bahwa apa yang dihasratkan
oleh yang satu mestinyalah juga dihasratkan oleh semua yang lain.
Namun, sembari Godwin mempertahankan bahwa sifat manusia bisa dibentuk,
toh manusia punya beberapa karateristik tertentu. Pertama-tama, kita adalah mahluk
sosial dan masyarakatlah yang menuntun kemampuan-kemampuan dan simpati-
simpati terbaik kita. Pada saat yang sama, kita adalah juga individual unik dan tidak
bisa sepenuhnya berbahagia jika kita kehilangan kedirian kita di tengah massa. Kedua,
kita mahluk rasional, berkemampuan menyadari kebenaran dan berlaku sesuai dengan
itu. Dalam rantai besar sebab dan akibat, kesadaran kita adalah penyebab yang nyata
dan kaitan yang tak tergantikan dalam jaringan rantai itu. Ketiga, oleh sebab kita
memiliki nalar yang sadar, maka kita adalah mahluk sukarela, katakanlah begitu,
sehingga kita bisa memilih apa tindakan kita sambil tanggap apa konsekuensi-
27 Godwin, Essays. Never Before Published, editor C. Kegan Paul (H.S. King, 1873), hal. 87

1
konsekuensinya. Hal ini sudah tersirat pada judul dalam babnya yang lain : “Tindakan
Sukarela Manusia Bermula dari Opini-opini Mereka”. Kondisi yang paling
didambakan dari pandangannya tersebut, ialah untuk meluaskan sejauh yang paling
memungkinkan jangkauan dari tindak sukarela itu.
Upaya Godwin mempertemukan filsafat kebutuhannya dan pilihan
kemanusiaan, memanglah dilakukan melalui nalar. Sementara setiap tindakan
ditentukan oleh motif, akal memungkinkan kita memilih motif apa yang mendorong
tindakan kita. Ketimbang membuat pilihan-pilihan moral menjadi hal mustahil,
Godwin berkeyakinan bahwa doktrin kebutuhan memungkinkan kita untuk percaya
diri bahwa penyebab yang nyata menghasilkan dampak yang nyata pula, dan bahwa
pemikiran atau opini baru, bisa merubah perilaku orang.
Dengan empat karakteristik spesies kita, tiada lain menunjukan bahwa kita
adalah mahluk progresif. Godwin mendasarkan kepercayaannya pada “kemampuan
sempurnanya manusia” yang mengasumsikan bahwa tindakan sukarela kita bersumber
dari pendapat-pendapat kita dan bahwa sudah sifat dasar kebenaran untuk menang
atas kesalahan. Ia melukiskan hal ini dalam bentuk silogisme :

Nalar logis dan kebenaran, jika dikomunikasikan dengan tepat, haruslah


selalu akan menang melawan kesalahan : Nalar logis dan kebenaran
berkemampuan untuk komunikatif: Kebenaran adalah mahakuasa : Sifat
buruk dan kelemahan moral manusia bukanlah tak terkalahkan : Manusia
berkemampuan untuk sempurna atau mudah menerima perbaikan abadi28.

Mengingat sifat buruk tiada lain adalah ketidakpedulian, maka pendidikan dan
pencerahan akan membuat kita bijak, baik dan bebas. Alhasil, kita memanglah produk
dari lingkungan kita, tapi kita juga berkemampuan untuk merubah itu. Kita adalah,
sampai batas tingkatan tertentu, pencipta takdir kita.
Beberapa reaksi keberatan muncul terhadap pandangan Godwin tentang
kemampuan manusia untuk sempurna. Namun biasanya yang tak setuju cenderung
mengabaikan penjelasan Godwin. Sedari awal apa yang dimaksudkan Godwin dengan
kemampuan kesempurnaan manusia, bukanlah berarti mahluk manusia mampu
mencapai titik sempurna, melainkan lebih pada pemaknaaan bahwa manusia bisa
memperbaiki dirinya terus-menerus secara tidak terbatas. Bahkan, ia pun sangat

28 Anarchist Writings, op.cit., hal 61

1
tanggap akan adanya kekuasaan jahat, kekuatan mengacau dari ambisi dan beban dari
institusi-institusi yang ada. Kemajuan, tegasnya, akan hadir secara bertahap, kerap
terinterupsi dan malah mungkin mesti terjadi loncatan yang melampaui beberapa
tahapan.
Berikutnya, seringkali diakui bahwa tidak ada kebenaran yang kekal dan
universal dan bahwa kebenaran tidak selalu menang terhadap kesalahan. Meskipun
Godwin berbicara tentang kebenaran abadi dengan gaya yang Platonis, namun secara
gamblang ia tegaskan bahwa yang ia maksudkan bukanlah kebenaran absolut,
melainkan kebenaran dengan kandungan “sedikit atau banyak tingkat probabilitas”.
Lebih jauh ia paham benar akan betapa rentannya kebenaran dan betapa tangguhnya
prasangka dan kebiasaan. Betapapun, seperti halnya John Stuart Mill, Godwin
mengandaikan bahwa kebenaran akan mampu bertempur dalam perang yang memang
harus dihadapinya, dan ia akan menumpas kesalahan. Berdasarkan asumsi yang
masuk akal ini, ia menguraikan pembelaannya yang menawan bagi kebebasan berpikir
dan berekspresi.
Terakhir, Godwin dianggap berlaku terlalu rasional. Tentu saja, dalam edisi
pertama Political Justice, ia mempertahankan opini bahwa sebuah tindakan bisa
meluncur melalui persepsi rasional akan kebenaran dan ia menggambarkan kehendak
sebagai tindakan pamungkas untuk melahirkan saling pengertian. Namun ia juga
menekankan bahwa gairah tidak terpisahkan dari akal dan bahwa kebajikan tidak bisa
„dengan susah payah dikawini“ kalau ia tidak „dicintai secara bersemangat“. Dalam
edisi selanjutnya, ia bahkan memberi ruang yang lebih luas bagi perasaan dan
menyarankan bahwa akal bukanlah prinsip yang berdiri sendiri, melainkan sebuah
pandangan praktis yang semata-mata hasil „perbandingan dan penyeimbangan dengan
berbagai-bagai perasaan“29. Kendati akal tidak bisa membangkitkan kita untuk
bertindak, ia mampu mengatur sikap kita dan kepada akal-lah kita berpaling demi
upaya perbaikan kondisi sosial kita. Ini memang argumen yang rumit namun juga
tidak bisa diabaikan begitu saja.

ETIKA
Dari asumsi-asumsi substansial tentang sifat manusia, Godwin mengembangkan
sistem etikanya. Ini pokok bahasan yang terpenting baginya; jelas, dalam hidup tidak
ada pilihan -- bahkan juga tidak untuk sekedar memilih sebelah kiri atau sebelah
29 Political Justice (edisi 1798), I, 81; I, xxvi

1
kanan dari titik api pertikaian -- selain bahwa pilihan itu adalah moral dengan
berbagai kadar tingkatannya. Dan etika, lebih jauh, merupakan fondasi bagi politik.
Godwin adalah seorang utilitarian yang menyeluruh dan konsisten. Ia
mendefinisikan moralitas sebagai „sistem perilaku yang ditentukan oleh pertimbangan
tentang kebaikan umum terbesar“30. Ia seorang utilitarian yang bertindak ketimbang
utilitarian pengatur. Tanggap bahwa sekumpulan aturan moral umum kadangkala
memang dibutuhkan secara psikologis dan praktis, maka ia meluncurkan peringatan
dengan menentang penerapan aturan-aturan tersebut secara terlalu kaku. Mengingat
antar berbagai tindakan tidak ada yang persis sama, maka tak ada ungkapan yang
lebih lugas selain „Setiap kasus adalah sebuah aturan bagi dirinya sendiri“ 31.
Karenanya merupakan tugas seseorang yang adil untuk mengkontemplasikan
keseluruhan situasi dari kasus individual di bawah cahaya kriteria tunggal utilitas.
Penalaran tertentu mengarahkan Godwin untuk menjadi seorang anarkis lantaran ia
menolak semua aturan dan hukum kecuali tuntunan berdasarkan saling pengertian.
Dalam definisinya tentang kebaikan, Godwin tampil sebagai hedonis :
„Kesenangan dan kesakitan, kebahagiaan dan derita membentuk keseluruhan pokok-
pokok puncak pertanyaan tentang moral“32. Bahkan kemerdekaan, pengetahuan dan
kebajikan, bagi Godwin, bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai
kebahagiaan. Namun sambil ia menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan, ada
beberapa jenis kesenangan yang lebih disukai ketimbang yang lainnya. Kenikmatan
intelektual dan moral punya posisi superior dibandingkan kenikmatan yang fisikal;
bahkan Godwin mengabaikan kenikmatan seksual dengan menganggapnya sebagai
hal sepele. Bentuk kesenangan tertinggi dinikmati oleh ia yang murah hati, yang
menari dalam cahaya kebaikan total. Tapi Godwin tak berpikir bahwa kenikmatan
tertinggi mesti mendepak kenikmatan rendah dan ia tegaskan bahwa yang paling
dihasratkan adalah kondisi di dalamnya kita memiliki akses ke seluruh jenis
kenikmatan dan berada dalam „pemilikan kebahagiaan yang paling beragam dan tak
terputuskan“33.

30 Anarchist Writings, op.cit., hal. 64. Mark Philip (Godwin’s Political Justice, Duckworth,
1986, hal. 83) belum lama ini menolak bahwa moral filsafat Godwin adalah sebuah ‘bentuk
perfeksionisme’, tapi John P. Clark, The Philosophical Anarchism of William Godwin (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1977), hal. 110; dan Don Locke, A Fantasy of Reason (Routledge & Kegan
Paul, 1980), hal. 172-3, mendukung interpretasi saya
31 Anarchist Writings, op.cit., hal. 95
32 Ibid., hal. 65
33 Ibid., hal. 49

1
Godwin yang utilitarian mendefinisikan keadilan sebagai „yang terjadi
bersamaan dengan faedah (utility)“ dan menyimpulkan bahwa „saya memusatkan
penggalian bakat-bakat saya, pemahaman saya, kekuatan dan waktu saya demi
dihasilkannya kuantitas terbesar dari kebaikan umum“34. Digabungkan dengan prinsip
kenetralan, yang muncul dari kesetaraan fundamental antar mahluk hidup dan
sekaligus berlaku sebagai pengatur kebajikan, pandangan Godwin mengenai faedah
mengarahkan dia pada kesimpulan-kesimpulan baru.
Segenap mahluk hidup dipandang sama, toh ini tidak diikuti oleh perlakuan
yang juga sama bagi setiap orang. Manakala persoalannya sampai pada distribusi
keadilan, maka saya mesti menempatkan diri sebagai seorang pengamat yang netral
dan membagi-bagi berdasarkan mana yang paling buruk sampai ke yang terbaik,
yakni dalam kerangka siapa yang paling punya kapasitas terbesar dalam
sumbangannya kepada kebaikan umum. Jadi, andaikata dalam kebakaran saya
menghadapi pilihan tak terhindarkan apakah memilih menyelamatkan seorang
pelayan atau seorang filsuf, saya mesti memilih sang filosof. Bahkan jika pelayan itu
adalah saudara saya, ayah saya, ibu saya, adik perempuan saya atau donatur saya,
kasusnya akan berlaku sama. „Keajaiban apakah,“ tanya Godwin, „yang ada di dalam
perkataan ‚saya’ sehingga harus membenarkan kita menjungkirbalikkan keputusan
dari kebenaran netral?“35
Godwin menyimpulkan bahwa sentimen pamrih, persahabatan, cinta-kasih
personal dan domestik yang mungkin mempengaruhi tugas kita sebagai pengamat
netral, tidak punya tempat di dalam keadilan. Masalahnya mungkin akan lebih praktis
bagi saya untuk lebih memilih teman dan saudara, tapi itu tidak membuat mereka
lebih berharga dalam perhatian saya. Godwin sampai pada kesadaran pentingnya
cinta-kasih personal dan domestik dalam mengembangkan perasaan simpati dan
mengapresiasikannya sebagai „yang tak terpisahkan dari sifat manusia dan dari apa
yang mungkin memberi warna pada nurani kebudayaan“36. Namun, sementara
kebaikan hati mungkin dimulai di rumah, ia selalu menegaskan bahwa hal itu tidak
mesti berakhir di sana dan bahwa kita haruslah selalu berada dalam tuntunan
pertimbangan-pertimbangan kebaikan umum.
Penerapan Godwin yang lugas akan prinsip faedah mengantar dia pada
perlakuan yang orisinal terhadap tugas dan hak-hak. „Tugas,“ demikian ia
34 Political Justice (edisi 1793), I, 121, 88
35 Anarchist Writings, op.cit., hal. 69
36 Dikutip dari buku saya William Godwin, op.cit., hal. 204

2
memaknainya, „adalah perlakuan yang saya tujukan sebagai anugerah bagi sesama“;
inilah pola tindakan yang menjadi bagian dari individu yang membentuk „penerapan
terbaik yang bisa dilakukan dalam kapasitas dirinya bagi kemanfaatan bersama“ 37.
Agar sebuah tindakan memang untuk kebajikan sejati, bagaimanapun, ia harus
dihasilkan dari maksud-maksud baik dan memiliki konsekuensi-konsekuensi baik
dalam jangka panjang. Tugas untuk mempraktekkan kebajikan ini mempunyai
implikasi-implikasi yang serius terhadap hak.
Revolusi Amerika dan Perancis telah mengabadikan sehimpunan daftar hak-
hak dan Tom Paine dengan Rights of Man dan Mary Wollstonecraft dengan Rights of
Woman telah membuktikan keampuhan karyanya, maka dari sisi utilitarian Godwin
tak setuju bahwa kita memiliki hak-hak yang tidak bisa dicabut. Milik kita, kehidupan
kita dan kemerdekaan kita adalah kepercayaan yang kita genggam atas nama
kemanusiaan, dan dalam situasi-situasi tertentu keadilan bisa jadi mengambilnya dari
kita demi kebaikan yang lebih besar. Namun, sambil Godwin berkeras bahwa setiap
hak positif dan aktif untuk bertindak sesuai keinginan kita adalah sesuatu yang bisa
dicabut, ia mempertahankan ada dua hak -- dalam artian negatif dan pasif -- yang
harus tetap. Pertama dan yang terpenting adalah hak penilaian personal, yakni sebuah
‘ruang penilaian’ khusus yang merupakan hak saya untuk tidak dilanggar oleh
tetangga atau sekitar saya38. Lalu, kedua, hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan
dari tetangganya. Jadi sementara saya berhak untuk mengolah sumberdaya saya
berdasarkan hak penilaian personal, tetangga saya punya hak atas bantuan saya jika ia
membutuhkan dan saya berkewajiban menolong dia. Kedua hak ini selalu pasif dan
kekuatannya diturunkan tidak dari kajian hak natural melainkan dari prinsip faedah
(utility) : keduanya boleh jadi tergeser manakala memang ada hasil kebaikan yang
lebih jika ia dilanggar ketimbang jika ia ditaati.
Pembelaan Godwin terhadap hak penilaian personal berposisi sentral dalam
skema kemajuan rasional dirinya dan pada gilirannya membawa dia untuk menolak
segala bentuk pemaksaan. Begitu orang menjadi lebih rasional dan tercerahkan, dia
akan lebih mampu untuk memerintah dirinya sendiri, dengan demikian itu juga
membuat institusi-institusi eksternal makin meningkat keabsolutannya. Namun hal ini
hanya terjadi jika orang secara bebas menyadari kebenaran dan bertindak berdasarkan
itu. Oleh sebab itu pemaksaan jelaslah sesuatu yang salah : pemaksaan tidak bisa

37 Anarchist Writings, op.cit., hal. 75


38 Ibid., hal. 77

2
meyakinkan dan hanya mengasingkan nalar. Bahkan ia selalu sebuah „pengakuan
kedunguan yang tak terucapkan“39. Orang yang menggunakan pemaksaan berlaku
seakan-akan ia menghukum lawannya karena argumentasinya kuat, namun dalam
kenyataannya hal itu toh hanya lantaran argumennya lemah dan tidak pas. Hanya
kebenaran sejati yang membawa kekuatan persuasifnya sendiri. Keyakinan ini
membentuk tonggak kritisisme Godwin terhadap pemerintah dan hukum.
Berdasarkan alasan serupa Godwin menyoroti pandangan bahwa janji-janji
membentuk dasar moralitas. Janji itu sendiri tidak membawa beban moral karena ia
berdasarkan pada kewajiban yang terlebih dulu ada untuk melakukan keadilan : saya
mesti melakukan sesuatu yang benar bukan karena saya dijanjikan untuk
melakukannya, melainkan karena itu benar untuk dilakukan. Dalam semua kasus, saya
selayaknyalah dibimbing oleh hakikat nilai yang terkandung dalam setiap kasus dan
bukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal. Sebuah janji dalam arti sebuah
pernyataan kesungguhan memang relatif tak berbahaya; sebuah janji bahkan mungkin
dalam beberapa situasi merupakan keburukan yang diperlukan; namun kita harus
membuat janji sesedikit mungkin. „Mustahil untuk membayangkan,“ tegas Godwin,
„sebuah prinsip dengan kecenderungan buruk yang berlebih, ia lebih jelas
tergambarkan bahwa saya harus mengajari diri saya untuk menggantikan
kebijaksanaan masa depan dengan ketololan masa lalu“40. Pada gilirannya ini juga
berarti bahwa segenap sumpah dan kontrak yang mengikat adalah immoral.
Dengan perhatiannya terhadap kemajuan pikiran independen dan
penolakannya terhadap janji-janji, tak heran ia sampai mengutuk lembaga perkawinan
Eropa. Pertama-tama, hidup bersama sebagai suami-isteri melibatkan subjek
partisipannya pada andil tak terhindarkan yang berujung pada kegagalan,
pertengkaran dan ketidakbahagiaan. Kedua, kontrak perkawinan menjuruskan kepada
sumpah ikatan abadi setelah memasuki situasi-situasi yang penuh dengan khayalan.
Sebagai hukum, maka perkawinan adalah yang terburuk dari segala hukum; sebagai
soal pemilikan, ia yang terburuk dari segenap pemilikan. Di atas semua itu, „selama
saya berupaya memikat seorang perempuan bagi diri saya dan lalu melarang tetangga
yang juga hendak membuktikan kehebatannya dan mengecup buah keunggulannya,
maka saya telah melakukan kesalahan yang paling bodoh dari segala bentuk
monopoli“41. Penghapusan perkawinan, demikian keyakinan Godwin, tidak akan
39 Ibid., hal. 79
40 Political Justice (edisi 1793), I, 163
41 Ibid., II, 850

2
berujung pada keburukan kendati dalam masyarakat tercerahkan ia menyiratkan
bahwa relasinya dalam tingkatan tertentu bakal lebih permanen ketimbang kacau tak
berketentuan.

POLITIK
Politik bagi Godwin adalah perluasan dari etika dan haruslah tegas berdasarkan
prinsip-prinsip etika. Oleh sebab prinsip-prinsip ini universal, ia merasakan adalah
mungkin untuk menyimpulkan darinya „satu pola terbaik tentang eksistensi sosial“ 42.
Karena itulah maka muncul penyidikannya yang mengantarkan ia pada ‘political
justice’ (keadilan politis). Betapapun demikian, istilah ini agak disalahpahami
mengingat Godwin tidak percaya bahwa keadilan adalah politis bukan dalam
pengertian tradisional tapi sosial : pemikirannya tentang masyarakat yang adil ada
dalam kerangka tidak mengikutsertakan pemerintah. Tujuannya meminggirkan
pemerintah adalah untuk menciptakan masyarkat yang bebas dan tak lagi diperintah.
Penalarannya yang lugas mengantarkan ia pada kesimpulan bahwa tatanan atau order
terpuncak hanya bisa dicapai dalam anarki.
Sebagaimana semua anarkis, Godwin membedakan secara cermat antara
masyarakat dan pemerintah. Terhadap Kropotkin ia menolak bahwa manusia sedari
awal mula bergaul demi “tolong-menolong yang saling menguntungkan”. Dengan
Paine ia berkeyakinan bahwa masyarakat dalam berbagai kondisinya adalah sebuah
berkah. Adalah sifat manusia sebagai mahluk sosial; tanpa masyarakat, ia tidak akan
bisa mencapai kualitas totalnya. Namun masyarakat tidak untuk menciptakan sebuah
identitas korporasi atau bahkan sebuah kehendak umum, melainkan tetap tiada lain
sebagai “keseluruhan dari individu-individu”.
Adalah “kesalahan-kesalahan dan kekeraskepalaan dari yang sedikit” yang
mencampuri aktivitas-aktivitas damai dan produktif dari orang banyak sehingga
pengendalian dari pemerintah tampak diperlukan. Namun sementara pemerintah
bermaksud menumpas ketidakadilan, dampaknya justru ia mewujudkan dan
mengabadikan ketidakadilan itu. Mengandalkan pada kekuatan komunitas, pemerintah
mengundang “proyek-proyek liar yang berupa bencana, penindasan, despotisme,
perang dan penaklukan”. Dengan lebih jauh membagi masyarakat menjadi miskin dan

42 Ibid., I, 237

2
kaya, yang kaya tampil sebagai “pembuat undang-undang negara” dan secara terus-
menerus memoles penindasan menjadi sebuah sistem43.
Lebih jauh lagi, sudah sifat pemerintah untuk memeriksa dan mengawasi
kemajuan pikiran, dan membuat kesalahan-kesalahan kita menjadi permanen. Antara
pemerintah dan masyarakat, sebenarnyalah, berlaku dua kutub prinsip yang saling
berlawanan namun juga saling menguntungkan : yang satu adalah kediaman abadi
sementara yang lain merupakan aliran konstan. Lantaran pemerintah -- bahkan dalam
bentuk terbaiknya -- adalah keburukan, maka kita mesti sesedikit mungkin
menerimanya sepanjang kedamaian umum masyarakat mengijinkan. Betapapun
demikian, dalam jangka panjang Godwin menyarankan :

Selayaknyalah, dengan semacam kegembiraan, para sahabat kemanusiaan


yang berpengetahuan mesti menyongsong masa penuh berkah, yakni
periode pembubaran pemerintahan politik, yang tiada lain mesin tanpa
perasaan yang menjadi satu-satunya penyebab kekal kejahatan-kejahatan
kemanusiaan, dan yang… mengandung aneka rupa sumber pertikaian
yang tergabung dalam substansinya, dan yang memang tak terhapuskan
kecuali melalui langkah pemusnahan total!44

Tak heran jika kemudian Godwin menolak pikiran bahwa pembenaran bagi
pemerintahan bisa ditemukan pada beberapa kontrak sosial yang orisinal. Malah, jika
memang ada kontrak, ia toh tidak bisa diberlakukan bagi generasi-generasi mendatang
dan bagi kondisi-kondisi yang berubah. Begitu juga halnya dengan ide kesepakatan
secara diam-diam : ia membuat setiap pemerintahan mapan dalam legitimasi yang
bersifat tirani. Akan halnya dengan kesepakatan langsung, juga tak kurang absurdnya
mengingat ia akan berarti bahwa pemerintah bisa kehilangan otoritas terhadap
individu yang menolak persetujuan dengannya. Konstitusi adalah kesepakatan yang
terbuka untuk tujuan-tujuan tertentu : ia tidak hanya berarti bahwa rakyat adalah yang
diperintah oleh “diktum dari pendahulu-pendahlu mereka yang jauh,” melainkan juga
ia mesti menyuburkan kemajuan dari pengetahuan politik45.

43 Anarchist Writings, op.cit., hal. 50, 89

44 Ibid., hal. 92
45 Ibid., hal. 93

2
Dalam kenyataannya Godwin menegaskan bahwa seluruh pemerintahan
didirikan oleh opini. Keberadaannya didukung hanya oleh keyakinan akan nilai-nilai
yang ditempatkan oleh si lemah dan si bodoh. Namun dalam proporsi yang sejalan
dengan semakin bijaksananya mereka, toh basis pemerintah akan melapuk. Dalam
tampilannya ia berupa sistem sosial yang misterius dan rumit, yang telah membuat
kumpulan besar kemanusiaan layaknya “si jahat yang terperdayai” namun “sampai
waktunya ia berbalik menggusur praktik palsu pemerintahan dan menjadi medan
belajar yang paling terdidik untuk sampai cukup kuat mencium betapa palsunya
negara penipu yang bakal terus menyelewengkan dirinya”. Dengan demikian Godwin
merambah ke depan, ke “euthanasia sebenarnya” dari pemerintahan dan pada
gilirannya kepada “saingan tak terbendung dari segenap penjuru yang hendak
memajukan kesejahteraan umum”46.
Hukum-hukum, persis seperti pemerintahan, adalah kumpulan aturan yang
bertentangan dengan sifat dasar pikiran manusia dan gerak maju kebenaran. Mahluk
manusia tidak bisa bertindak melampaui pernyataan hukum alam yang telah terlebih
dahulu ditetapkan oleh keadilan abadi. Legislasi dalam pengertian mendesakkan
kerangka hukum-hukum buatan manusia ke dalam masyarakat, dengan demikian
bukanlah soal yang dibutuhkan atau pun dihasratkan : „Nalar yang tak terubahkan
adalah legislator sejati… Fungsi-fungsi kemasyarakatan meluas bukan untuk
membuat, melainkan guna menafsirkan hukum“47. Lebih jauh, jika hukum-hukum
keadilan dipahami secara benar, maka tidak diperlukan adanya hukum-hukum
artifisial dalam masyarakat.
Kritisisme Godwin terhadap hukum adalah yang paling tajam diantara yang
pernah disuarakan oleh seorang anarkis. Sementara suara liberal dan sosialis
mempertahankan bahwa hukum dibutuhkan guna melindungi kebebasan, Godwin
melihatnya sebagai dua prinsip yang justru saling bertikai. Seluruh hukum buatan
manusia sudah dari sifat dasarnya berlaku sewenang-wenang dan menindas. Mereka
bukan wakil kebijaksanaan nenek moyang – sebagaimana diklaim oleh para
pembelanya. Tetapi tak lebih dari „permufakatan rawan suap“ dari „tiran-tiran
superior“ yang peran utamanya adalah untuk mempertahankan ketimpangan ekonomi
dan ketidakadilan kekuasaan politik48. Tidak ada perumpamaan yang lebih lugas
ketimbang ini, „Setiap kasus adalah sebuah aturan bagi dirinya sendiri,“ dan toh,
46 Ibid., hal. 91-2
47 Ibid., hal. 94
48 Ibid., hal. 98

2
seperti ranjang Procrustes, hukum berusaha mengurung gelombang aksi rakyat untuk
menjadi standar universal. Sekali hukum sudah memulai, secara tak terhindarkan, ia
melipatgandakan dirinya; maka ia menjadi semakin membingungkan dan mendua,
dan mendorong para praktisinya untuk terus-menerus berbohong dan berlaku sebagai
tiran. „Ubahlah aku sebagai mangsa bagi binatang liar di gurun,“ ujar tokoh utama
Godwin dalam Caleb Williams, „sehingga tak lagi aku jadi korban dari mereka yang
berjubah dengan lemak menetes dari hasil merampok otoritas!“49.
Penghukuman sebagai sanksi bawaan untuk memperkukuh hukum adalah
immoral dan tidak efektif. Pertama-tama, di bawah sistem kebutuhan, tidak ada
tanggung jawab personal bagi tindakan yang berada dalam asumsi hukum : „si
pembunuh bayaran tidak bisa mengelakkan pembunuhan yang diakuinya lebih jauh
dari pisau belati“. Kedua, pemaksaan mengasingkan nalar dan mubazir untuk
argumen yang benar. Penghukuman atau „pembebanan keburukan sukarela“, dengan
demikian adalah barbar jika digunakan demi menghukum perbuatan salah, dan sia-sia
jika digunakan demi perbaikan atau peringatan 50. Godwin lantas menyimpulkan
bahwa bagi pelaku kesalahan haruslah dibatasi hanya dalam kelayakan yang
sementara dan diperlakukan sejauh mungkin dengan keramahan dan kelembutan.
Dengan penolakannya terhadap pemerintahan dan hukum, Godwin mengutuk
setiap bentuk kepatuhan terhadap otoritas yang sebetulnya cuma „pendiktean
pengertian“ itu51. Bentuk terburuk dari kepatuhan, bagi Godwin, terjadi bukan ketika
kita mematuhi pertimbangan-pertimbangan di balik sebuah penalti (misalnya
manakala kita terancam dihadapan seekor binatang buas), melainkan ketika kita
memasrahkan kepercayaan yang terlampau besar kepada pengetahuan superior dari
yang lain (bahkan ketika membangun sebuah rumah). Bakunin menyadari soal yang
terakhir ini sebagai satu-satunya bentuk legitim dari otoritas, namun Godwin
melihatnya sebagai yang paling membahayakan mengingat ia bisa dengan mudah
membuat kita tergantung, melemahkan daya pemahaman dan mendorong kita memuja
pakar.
Pembelaan Godwin bagi kemerdekaan berpikir dan berekspresi merupakan
ungkapan yang paling meyakinkan dalam bahasa Inggris. Semua pengawasan politis
terhadap opini adalah berbahaya lantaran ia mengebiri kemajuan intelektual, dan tidak
perlu karena kebenaran dan kebajikan punya kompetensi untuk bertempur di dalam
49 Caleb Williams, op.cit., hal. 218-9
50 Anarchist Writings, op.cit., hal. 99-100
51 Ibid., hal. 101

2
perang mereka sendiri. Jika saya menerima sebuah kebenaran atas dasar otoritas, ia
akan tampil tak bernyawa, kosong makna dan tak berdaya-gugah, dan ia
menjerumuskan ke dalam kegamangan. Jika, di sisi lain, sebuah prinsip terbuka untuk
menyerang dan tampil superior di tengah berbagai sanggahan, ia menjadi mapan
dengan nyamannya. Mengingat tidak ada otoritas yang tak terbantah, maka kebenaran
mewujud lebih kuat ketimbang sebelumnya manakala ia berhasil menembus serangan
opini-opini lawannya. Betapapun, Godwin menambahkan bahwa tenggang rasa sejati
bukan hanya diperlukan -- sehingga tidak perlu ada hukum-hukum yang membatasi
opini -- tapi juga karena kita haruslah memperlakukan satu sama lain dengan sabar
dan memerdekakan.
Berhasil memantapkan prinsip-prinsip politiknya, Godwin mengajukan kritik
meyakinkan terhadap praktek-praktek politik. Sedari awal ia menolak keras pikiran
Rousseau bahwa bagaimanapun masyarakat secara keseluruhan akan membentuk
sebuah moral ‘individual’ ke arah mana kepentingan berbagai kebijaksanaan akan
bermuara. Bagi Godwin, kemegahan dan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan
adalah „sekumpulan khayal yang tak terpahami“. Malah patriotisme atau rasa cinta
kepada negara telah digunakan oleh para penipu guna mengoperasikan sejumlah besar
„instrumen buta dari rencana-rencana bengkok mereka“52.
Dari segenap sistem politik, monarki-lah yang terburuk. Dengan kelakuannya
yang sok mengasuh dan kekuasaannya, „setiap raja adalah seorang despot sejak dari
jantung hatinya“ dan ia musuh bagi manusia beradab 53. Monarki menempatkan
kekayaan sebagai standar kehormatan dan mengukur pribadi tidak berdasarkan
keunggulan kualitas melainkan atas dasar gelar mereka. Soal-soal seperti itu
merupakan penipuan absolut yang menggusur persamaan alamiah antar manusia.
Kebangsawanan, hasil dari feodalisme itu, juga didasarkan atas dua hal : perlakuan
pembedaan keturunan yang jelas salah dan distribusi kesejahteraan yang tidak adil. Ia
mengubah seluruh mayoritas rakyat menjadi sekumpulan binatang dalam kerangkeng.
Di sisi lain, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lebih aman lantaran ia
menerapkan perlakuan yang sama untuk setiap pribadi dan ia menumbuhkan nalar dan
pilihan-pilihan.
Betapapun demikian, pembelaan Godwin terhadap demokrasi perwakilan dan
republikan, secara substansial merupakan pembelaan negatif. Republikanisme itu

52 Ibid., hal.107
53 Ibid., hal. 108

2
sendiri, demikian Godwin, bukanlah obat ampuh yang bakal memotong habis akar
kejahatan jika pemerintah dan sistem pemilikan dibiarkan tak tersentuh. Juga, model
perwakilan bisa jadi menyerap potensi-potensi tercerahkan dari sebuah bangsa, namun
ia tetaplah perangkat yang membuat mayoritas tidak bisa berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Praktek voting yang kerap dilakukan dalam model
perwakilan ini, lebih jauh malah menciptakan penyeragaman pendapat yang tidak
alami dengan membatasi perbantahan dan mereduksi perdebatan yang kaya menjadi
rumusan kasar yang cuma menuntut setuju atau tidak setuju thok. Yang demikian akan
menumbuhkan retorika dan demagog ketimbang pemikiran yang cermat-hati-hati dan
pencarian kebenaran secara dingin. Totalitas perdebatan dilukai semakin dalam oleh
„kekejian terang-terangan terhadap akal sehat dan keadilan“ mengingat penghitungan
jumlah unjuk jari dalam voting tidak pernah bisa memutuskan sebuah kebenaran54.
Di zaman Godwin, kartu-kartu suara (yang ‘bebas dan rahasia’) merupakan
perangkat prinsipil bagi para pembaharu (reformers) guna meraih kemenangan politis.
Betapapun, sebagai anarkis, Godwin secara terbatas mampu menunjukkan betapa
institusi politis telah „lebih langsung dan lebih mendukung menuju keburukan“.
Kerahasiaan institusi-institusi tersebut menyuburkan kemunafikan dan kebohongan di
balik maksud-maksud kita yang seharusnya justru dipersiapkan bagi akal sehat guna
menopang tindakan-tindakan kita dan menghadapi kritik-cela dari yang lain.
Pemilihan melalui kartu suara rahasia, dengan demikian bukanlah simbol
kemerdekaan melainkan perbudakan. Komunikasi-lah yang merupakan inti
kemerdekaan; kartu suara adalah „biang segala ambiguitas, segala cara
mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan dan setumpukan besar kebohongan tanpa
nomor“55.
Kelemahan lebih lanjut dari majelis perwakilan adalah ia menciptakan
kebulatan suara yang fiktif. Dalam argumentasinya Godwin menyatakan bahwa tidak
ada yang menggerus, mencabut karakterisasi dan saling pengertian kemanusiaan,
selain ia adalah minoritas yang menentukan keputusan bagi mayoritas. Mayoritas itu
sendiri, di mata Godwin, juga tidak punya hak memaksa terhadap minoritas bahkan
terhadap minoritas yang terdiri atas satu orang. Ini sama berlakunya dengan despot
yang tak berhak memaksa mayoritas. Sebuah majelis nasional mendorong orang per
orang untuk mengkaitkan dirinya kepada faksi-faksi tertentu atau kepada partai,

54 Ibid., hal. 114


55 Ibid., hal. 115

2
sementara institusi majelis dua kamar toh cuma bikin pecah bangsa dan saling
bertentangan antar mereka sendiri. Kebulatan suara yang nyata hanya bisa lahir dalam
masyarakat bebas tanpa pemerintah.
Godwin cukup jelas berada dalam posisi bahwa koalisi politik dan partai-
partai bukanlah perangkat untuk mencapai masyarakat bebas tersebut. Sementara para
pejuang kebebasan sezamannya beramai-ramai mengorganisasikan diri mereka ke
dalam koalisi -- guna memberikan tekanan di parlemen untuk laju reformasi --
Godwin meneriakkan bahayanya. Yakni betapa para anggotanya akan segera
merembes ke dalam semboyan-semboyan partai dan berhenti berpikir secara
independen. Tanpa kehadiran delegasi dari komunitas secara luas, koalisi-koalisi itu
akan merengkuh kekuasaan untuk diri mereka sendiri. Argumen kontra pemerintah
biasanya sangat berkaitan dan tidak ramah di mata koalisi-koalisi tertentu. Kebenaran
tidak dihasilkan dari ruangan-ruangan besar yang penuh sesak oleh ributnya silat lidah
melainkan lahir dari perenungan sunyi yang jernih.
EKONOMI
Godwin menegaskan bahwa tidaklah cukup membiarkan relasi pemilikan
sebagaimana adanya. Dalam hal ini ia berangkat dari tradisi liberal dan memadukan
pemikirannya dengan sosialisme. Malah ia menimbang ihwal pemilikan sebagai
‘kunci pokok’ yang melengkapi keutuhan bangunan keadilan politik (political justice).
Pandangan ekonomi Godwin sama soalnya dengan pandangan politiknya,
yakni merupakan perluasan dari keyakinan-keyakinan etikanya. Serangan pertama, ia
membantah Rousseau sekaligus, ditujukan kepada orang yang mengambil keuntungan
dari kelemahan-kelemahan di sekitarnya, para tetangganya, untuk mencengkeramkan
monopoli kekayaan. Mulai dari itu lantas terjalinlah kaitan erat antara pemilikan dan
pemerintahan bagi yang kaya, yang merupakan „penguasa langsung dan tak langsung
dari negara“. Dampak moral dan psikologis dari distribusi yang timpang telah menjadi
bencana baik bagi yang kaya maupun yang miskin. Akumulasi pemilikan menciptakan
„jiwa budak dan kepasrahan“, ia membuat perolehan dan tampilan kekayaan sebagai
hasrat universal dan menenggelamkan perkembangan intelektual dan kegembiraan56.
Dengan menyuntikkan nafsu kompetisi, ia mereduksi struktur total masyarakat
menjadi sistem picik yang mementingkan diri sendiri. Pemilikan tidak lagi muncul
sebagai gairah bagi dirinya sendiri, melainkan demi pembedaan dan status sesuai
tawaran-tawaran yang diajukannya.
56 Ibid., hal. 89, 125

2
Lahir dalam kungkungan pemilikan, demikian disiratkan Godwin, adalah lahir
sebagai budak; orang miskin ialah dia yang „daya-upayanya secara asing dikendalikan
dan dibelenggu“ dan menjadi „budak yang terikat ribuan keburukan“. Sistem pabrik
dengan penjajahannya yang bikin cemas dan monoton, merubah para buruh menjadi
mesin-mesin dan memproduksi sejenis „kekosongan bodoh dan tanpa harapan“ dalam
setiap wajahnya, khususnya di kalangan kanak-kanak57. Sadar akan konsekuensi
menyakitkan dari Revolusi Industri, Godwin menyesalkan bahwa di dalam kota-kota
manufaktur baru, jika para buruh mengelola diri untuk hidup hingga empatpuluhan
tahun, toh „mereka tak mampu memperoleh roti bagi garam mereka“. Ketimpangan
maha besar di negeri-negeri Eropa hanya akan berujung pada perang kelas dan
mengiris yang miskin untuk mereduksi segalanya menjadi ‘chaos universal’58.
Untuk menggantikan berlakunya relasi kepemilikan, Godwin mengajukan
bentuk komunisme sukarela. Pijakan awalnya : mengingat mahluk manusia adalah
bagian dan peserta aktif dari alam pada umumnya, ia mengikuti prinsip keadilan yang
tak memihak bahwa „hal-hal baik dari dunia adalah saham umum yang dipegang oleh
seorang manusia sebagai hak atau kuasa, sama seperti yang lainnya, untuk memenuhi
apa yang ia inginkan“59. Keadilan, selanjutnya memberikan kewenangan kepada
setiap orang untuk menempatkan pemilikan masing-masing orang sebagai
kepercayaan dan untuk menimbang-nimbang dengan cara bagaimana hal itu
menemukan fungsi terbaiknya guna meningkatkan kemerdekaan, pengetahuan dan
kebajikan.
Godwin menyadari bahwa uang merupakan satu-satunya alat tukar terhadap
komoditi real dan komoditi bukan real itu sendiri. Apa yang acap salah dinamai
sebagai kekayaan adalah semata-mata „kuasa yang diinvestasikan ke dalam
individual-individual tertentu oleh institusi-institusi masyarakat, untuk memaksa yang
lain membanting tulang bagi keuntungan mereka“60. Dengan demikian Godwin bisa
melihat tidak ada keadilan dalam situasi seseorang bekerja dan orang yang lain
mubazir, hidup bukan atas buah kerjanya. Akan lebih fair jika semua yang berbadan
sehat bekerja. Dan mengingat sejumlah kecil tenaga kerja ternyata mencukupi
kebutuhan subsisten, maka dengan sendirinya hal itu meningkatkan jumlah waktu

57 Ibid., hal. 127


58 Ibid., hal. 127, 126
59 Ibid., hal. 129
60 Ibid., hal. 130

3
luang dan memungkinkan setiap orang meraih puncak-puncak saling pemahaman dan
untuk mengalami sumber-sumber baru kegembiraan.
Godwin mempertajam analisanya dengan melakukan pembedaan soal empat
kelas ini : kelengkapan subsisten, kelengkapan intelektual dan penyuburan moral,
kenikmatan yang murah, dan kemewahan. Adalah yang terakhir yang merupakan
rintangan utama untuk distribusi yang adil bagi tiga kelas sebelumnya. Dari
pengelompokan ini Godwin menyimpulkan tiga tingkat hak-hak pemilikan. Pertama,
„hak permanen saya atas semua hal yang bermanfaat bagi saya, merupakan jumlah
dari keuntungan atau kenikmatan yang lebih besar yang akan dihasilkan dari
keberadaannya atau sesuatu yang lain yang sepadan“. Termasuk di sini adalah tiga
pertama dari urutan kelas-kelas tadi. Tingkat pemilikan yang kedua, adalah wilayah
negara atau kerajaan dimana setiap orang berhak atas produksi dari industri miliknya.
Ini hanya hak negatif dan dalam pengertian peralihan kekuasaan atau kedudukan,
mengingat keadilan mengharuskan saya mendistribusikan setiap produksi sehubungan
dengan pemberian hak kepada saya berdasarkan tingkat pemilikan yang pertama.
Tingkat ke tiga berkaitan dengan pengelompokan kelas ke empat, kemewahan :
„kemampuan khusus mengatur produksi dari industri milik orang lain“ 61. Ini
keseluruhannya bukanlah hak mengingat segenap nilai diciptakan oleh tenaga kerja
dan ia secara langsung mengkontradiksikan tingkat pemilikan kedua.
Alhasil Godwin mengutuk akumulasi kapitalis. Dari sisi positif, ia
menegaskan bahwa seluruh anggota masyarakat harus terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Tapi begitu saya berhak atas bantuan dari tetangga saya, ia pun punya hak atas
penilaian pribadi. Adalah tugas dia untuk menolong pemenuhan kebutuhan saya,
namun sebanding dengan itu adalah juga tugas saya untuk tidak mencederai ruang
penilaiannya, ruang kebebasannya. Dalam pengertian ini, maka pemilikan dibangun
dalam „hak penilaian pribadi yang suci dan tak dapat dicabut“. Pada saat yang sama
Godwin sepakat dengan kerangka alasan utilitarian bahwa dalam situasi-situasi
pengecualian, mungkin diperlukan pengambil-alihan secara paksa apa yang dimiliki
tetangga saya dengan tujuan menyelamatkan diri saya atau orang lain dari bencana62.
Rumusan Godwin soal pemilikan yang orisinil dan diakui banyak orang itu,
berpengaruh besar di kalangan pemikir awal sosialis. Dia yang pertama menuliskan
secara sistematis soal berbagai klaim tentang kebutuhan, produksi dan modal

61 Ibid., hal. 132, 134


62 Ibid., hal. 135

3
manusia. Marx dan Engels mengakui kontribusinya pada perkembangan teori
eksploitasi dan mereka bahkan berpikir untuk menerjemahkan Political Justice63.
Dalam tradisi anarkis, Godwin mendahului Proudhon dengan membedakan antara
pemilikan dan barang milik. Dalam skemanya ihwal komunisme sukarela, ia tampil
lebih dekat ke Kropotkin.
Godwin mengamati bahwa tidak ada ancaman dari pertumbuhan populasi
untuk meruntuhkan idealnya tentang masyarakat komunis. Sebagaimana kebanyakan
anarkis, ia menyandarkan harapannya pada tatanan alamiah atau harmoni : „Ada
sebuah prinsip dalam sifat dasar masyarakat kemanusiaan, yakni bahwa segala sesuatu
tampaknya menjurus kepada tingkatannya masing-masing dan akan berjalan dengan
cara yang sangat menguntungkan manakala ia semakin sedikit dicampuri oleh polah
regulasi“64. Tambahan lagi, toh tak ada bukti bagi keterbatasan atau kelangkaan
natural; masih banyak wilayah belum diolah dan apa yang sudah diolah pun masih
terus bisa dikembangkan. Bahkan jika benar populasi hadir mengancam, sudah ada
metode kontrol kelahiran. Malthus tentu saja tidak bisa menerima itu dan dalam
karyanya Essay on the Principle of Population (1798) ia tegaskan bahwa populasi
tumbuh lebih cepat ketimbang suplai makanan dan oleh sebab itu keburukan dan
kesengsaraan harus tetap pada tempatnya sebagai indikator yang dibutuhkan. Godwin
menyerang balik dengan doktrinnya tentang moral atau kebijaksanaan pengendalian,
yang sekaligus mempertanyakan kesahihan bukti-bukti yang diajukan Malthus dan
menyiratkan sesuatu yang kian benar selama ini bahwa orang memilih punya anak
makin sedikit seiring bertumbuhnya standar hidup mereka.

PENDIDIKAN
Perangkat utama reformasi, bagi Godwin adalah melalui pendidikan dan refleksi
orisinilnya atas masalah ini menempatkan dia sebagai pendahulu besar dalam
pemikiran libertarian dan progresif. Tampaknya, lebih dari kebanyakan pemikir
lainnya, Godwin sadar benar bahwa kebebasan merupakan basis bagi pendidikan dan
pendidikan adalah basis bagi kebebasan. Tujuan puncak pendidikan, tegas Godwin,

63 Lihat Marx kepada Engels, 17 Maret 1845, dikutip oleh Max Nettlau, Der Verfrühling der
Anarchie (Berlin: Fritz Kater, 1925), hal. 73. Rudolf Rocker dengan tepat mengamati bahwa Godwin
adalah ‚pendiri sesungguhnya dari apa yang kemudian disebut anarkisme komunis’, Anarcho-
Syndicalism, op.cit., hal. 14
64 Anarchist Writings, op.cit., hal. 136

3
adalah untuk mengembangkan saling pengertian individual dan guna menyiapkan
anak-anak untuk menciptakan dan menikmati masyarakat bebas.
Ketika mempertahankan pandangannya mengenai sifat-sifat dasar
kemanusiaan, ia meyakini pendidikan memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar
ketimbang pemerintah dalam membentuk karakter kita. Kanak-kanak dengan
demikian adalah „semacam bahan mentah yang dipercayakan dalam genggaman
tangan kita, sebuah substansi bentukan yang luwes dan menghasilkan“ 65. Alam tak
pernah melahirkan anak bodoh, begitupun juga anak jenius bukanlah bakat bawaan
sejak lahir melainkan ditumbuhkan. Maka apa yang dinamakan keburukan-keburukan
masa muda bukanlah diturunkan dari alam melainkan hasil langsung dari pendidikan.
Anak-anak dilahirkan murni : keyakinan diri, keramahan dan kebajikan membentuk
keseluruhan sifat mereka. Mereka memiliki cinta alamiah yang mendalam akan
kemerdekaan, justru pada masa ketika mereka tidak pernah bebas dari „jeruji campur
tangan“ orang dewasa. Kemerdekaan adalah „sekolah saling memahami“ dan „orang
tua yang kuat“; bahkan kanak-kanak mungkin belajar dan berkembang lebih banyak
dalam jam-jam waktu luang mereka ketimbang di sekolah66.
Bagi Godwin seluruh pendidikan melibatkan sebentuk despotisme. Pendidikan
modern tidak hanya mengkorupsi hati kanak-kanak, namun juga mendesak nalar
mereka melalui jargon-jargonnya yang bebal. Upaya yang sedikit saja cukup untuk
mengorek kapasitas sebenarnya dari sistem ini. Pendidikan nasional atau negara,
obyek penyelamatan besar bagi para pembaharu progresif, cuma membuat
persoalannya makin buruk. Seperti semua kemapanan publik lainnya, ia melibatkan
gagasan pembakuan dan secara aktif menentukan isi kepala sebagai “sekumpulan
ledakan error” : hasilnya, pengetahuan yang diajarkan di universitas-universitas dan
sekolah-sekolah tinggi selalu berada di belakang pengetahuan yang hadir tak
tergoyahkan di kalangan anggota komunitas67.
Parahnya lagi, sistem pendidikan nasional tidak pernah gagal menjadi cermin
dan alat pemerintah; ia membentuk aliansi kukuh antara gereja dan negara, yang
makin sukar diatasi, ia mengajarkan pemujaan kepada konstitusi ketimbang kepada
kebenaran. Dalam situasi seperti ini, tidak heran guru menjadi seorang budak yang
secara ajeg mengabdikan dirinya untuk memoles bangunan pengetahuan; dan ia

65 Ibid., hal. 141


66 Ibid., hal. 144
67 Ibid., hal. 146

3
menjadi tiran yang terus-menerus memaksakan kemauannya, amat mencurigai
kenikmatan dan kelakar anak muda.
Godwin mengakui bahwa pendidikan secara berkelompok lebih layak bagi
terselenggaranya pengajaran sunyi dalam mengembangkan bakat-bakat dan
menumbuhkan rasa identitas personal. Dalam masyarakat ia menyarankan sekolah-
sekolah kecil dan independen. Tapi Godwin juga lebih jauh mempertanyakan prinsip-
prinsip dasar persekolahan tradisional.
Tujuan pendidikan, tegas Godwin, haruslah untuk menumbuhkan kebahagiaan.
Dan sekarang, kebajikan merupakan soal esensial bagi kebahagiaan. Untuk membuat
seseorang penuh kebajikan ia harus menjadi bijak. Pendidikan semestinyalah
mengembangkan pikiran yang lebih terolah baik, aktif dan terbuka untuk belajar. Cara
terbaik mencapai hal ini bukanlah dengan menanamkan pengetahuan tertentu kedalam
kepala anak muda, tapi dengan menyuburkan bakat-bakat laten mereka, menggugah
nalar mereka dan menata kebiasaan jernih dalam berpikir.
Karena itu ketika memperlakukan kanak-kanak, kita haruslah bersikap
egaliter, penuh simpati, tulus, jujur dan lugas. Kita jangan menjadi pengawas yang
galak dan pembunuh kesenangan; letupan-letupan tak masuk akal anak muda kerap
kali merupakan petunjuk-petunjuk dini dari limpahan energi besar dan kejeniusan.
Kita mesti menumbuhkan minat membaca dan bukannya menyensor pilihan literatur
mereka. Utamanya, kita mesti menyuburkan kegairahan mereka akan pengetahuan
dengan memperlihatkan kandungan keunggulannya.
Lebih jauh Godwin menyiratkan bahwa jika seorang murid mau belajar, jika
memang melulu itulah dorongan hasratnya, maka keseluruhan bangunan kukuh aparat
pendidikan tiba saatnya untuk dihapuskan. Tak perlu ada lagi sosok guru atau murid;
masing-masing akan gembira bertukar peran dalam konsultasi berdasarkan siapa yang
punya informasi lebih baik, tapi mereka tak akan bisa diharapakan belajar sesuatu
kecuali dihasratkan oleh mereka sendiri. Setiap orang akan menjadi lebih siap
menawarkan bimbingan dan penyuluhan. Dengan cara seperti ini nalar akan
berkembang sesuai kecenderungan alamiahnya dan kanak-kanak akan mampu
mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.

MASYARAKAT BEBAS
Sementara Godwin tidak menawarkan cetak-biru masyarakat bebas yang dia
bayangkan – lantaran akan bertentangan dengan tawaran bangunan utuhnya soal

3
kemajuan dan renungannya tentang kebenaran – ia mengajukan garis besar arah
umum yang mungkin dituju. Pertama-tama, secara berhati-hati ia menunjukkan bahwa
kebebasan bukanlah berarti lisensi untuk, katakanlah, bertingkah-laku sesukanya
tanpa pertimbangan prinsip-prinsip akal sehat. Ia membedakan dua jenis kemerdekaan
: kemerdekaan alamiah, “sebuah kebebasan dari segala kendala, yang bukan
kebebasan dibawah batasan nalar dan bujukan menuju pengertian”, yang merupakan
kebebasan terpenting; dan kemerdekaan moral yang selalu tampil berbahaya 68.
Merupakan sesuatu yang hakiki bahwa kita haruslah bebas mengolah individualitas
kita dan mengikuti petunjuk dari hasil pemahaman milik kita sendiri, namun juga
dalam tindakan kita mesti siap dengan penilaian dan pengaruh dari sesama di sekitar
kita. Kebebasan eksternal akan bernilai kecil tanpa pertumbuhan moral. Bahkan
adalah mungkin bagi seseorang untuk secara fisik diperbudak namun tetap
mempertahankan rasa kemerdekaannya, mengingat seseorang yang tak terikat oleh
kendala apa pun toh bisa saja ia secara sukarela memperbudak dirinya melalui
kepatuhan pasif. Dengan demikian, bagi Godwin, kemerdekaan sipil bukanlah tujuan
demi dirinya sendiri, melainkan alat bagi pertumbuhan kebijakan dan kebaikan
personal.
Godwin tidak menyebut dirinya seorang anarkis dan ia tidak menggunakan
kata ‘anarki’ -- seperti rekan-rekan sezamannya – dalam pengertian negatif yang
menerangkan makna kekerasan dan kekacauan ekstrim, yang mungkin segera diikuti
oleh penghapusan pemerintah (an) tanpa terlebih dahulu menerima prinsip-prinsip
keadilan politis. Dalam situasi tertentu, ia khawatir bahwa elemen-elemen kemarahan
yang hebat malah mungkin mengancam keamanan personal dan pilihan-pilihan bebas.
Pengalaman revolusi Perancis untuk sebagian mempertunjukkan kepadanya bahwa
„gairah bebas pemerintahan kerap tidak berhenti pada kesetaraan, tapi menghasut
mereka untuk meraih kekuasaan“69. Dan memanglah Godwin melihat salah arah
anarki yang justru menuju pemaknaan yang disukai oleh mereka yang despotis.
Despotisme Negara merupakan sesuatu yang permanen sementara anarki adalah
sesuatu yang sementara sifatnya. Anarki mengaduk energi dan tatanan melalui
komunitas dan melepaskan orang-orang dari prasangka dan takdir implisit. Diatas
semua itu, ia memiliki „daya rubah-bentuk dan kesamaan yang luar biasa tentang
kebenaran dan kemerdekaan“ dan ia mampu mengarah ke bentuk terbaik masyarakat

68 Ibid., hal. 158


69 Ibid., hal. 161

3
kemanusiaan70. Adalah selalu merupakan pendirian Godwin bahwa masyarakat
mestilah terus menciptakan organisasi perdamaian dan organisasi produktifnya
sendiri.
Di tengah Negara-bangsa modern dengan jalinan aparatus pemerintahannya
yang rumit, Gowin mengajukan desentralisasi dan masyarakat yang simpel
berdasarkan komunitas-komunitas yang saling berhadap-hadapan muka. Gagasan
„sebuah kerajaan besar dan keterpaduan legislatif“ jelas merupakan „sisa-sisa barbar
dari heroisme militer“71. Jelas juga bahwa lebih disukai untuk mendesentralisasikan
kekuasaan mengingat lingkungan sekitar yang terdekat adalah wilayah pengetahuan
terbaik tentang kepedulian satu sama lain, dan ketenangan serta keadilan sendiri toh
merupakan sifat dasar dari sebuah lingkaran terbatas. Oleh sebab itu orang sebaiknya
membentuk federasi sukarela dari distrik-distrik ( sebuah „konfederasi dari republik
minimal“) untuk tujuan mengkoordinasikan produksi dan mengamankan hasil-hasil
sosial.
Dalam sebuah persemakmuran pluralistis tertentu, Godwin menyarankan
bahwa unit sosial yang mendasar mungkin akan berupa teritori kecil seperti „jemaat
gereja“ tradisional Inggris – bentuk komunal swakelola dalam pengertian anarkis
yang kemudian. Demokrasi akan berjalan secara langsung dan partisipatoris sehingga
suara-suara akal sehat akan didengar dan diucapkan oleh seluruh warga. Masyarakat
yang terdesentralisir tidak perlu menjadi ‘parokial’ (picik atau sempit) mengingat
dengan penghapusan Negara-bangsa dan rival-rival mereka, segenap spesies
kemanusiaan akan membentuk „satu republik terbesar“72.
Godwin tanggap bahwa dalam masa transisi sebuah badan koordinasi
sementara tampaknya diperlukan, dengan tugas memecahkan perselisihan antar
distrik-distrik atau untuk mengusir serangan asing. Karena itu ia menyarankan bahwa
distrik-distrik bisa mengirimkan delegasi ke majelis umum atau kongres federasi,
namun hanya untuk keadaan darurat. Dan majelis juga tidak membentuk sebuah pusat
otoritas permanen dan setiap petugasnya tidak dibayar dan bersifat sukarela.
Pada tingkatan lokal, hakim-hakim yang dikenal warga ditunjuk untuk
menyelesaikan urusan persengketaan dan ketidakadilan antar individu di dalam
komunitas yang bersangkutan. Kasus-kasus akan diadili sesuai situasi khusus yang
melingkupinya dan demi kebaikan umum. Dalam jangka panjang, majelis-majelis dan
70 Ibid., hal. 162
71 Ibid., hal. 164
72 Ibid., hal. 163-4

3
hakim-hakim tersebut akan hilang otoritasnya dan cukuplah kemudian dengan
mengundang distrik-distrik untuk saling bekerja sama guna keuntungan bersama, atau
menanyakan kepada para pembelanya agar memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka.
Jika sistem sosial dibuat simpel, Godwin yakin bahwa suara akal sehat akan
didengar, konsensus akan dicapai dan keseimbangan alamiah dari berbagai
kepentingan akan terjaga. Begitu orang jadi terbiasa menerapkan fungsi pemerintahan
dari dan bagi diri mereka sendiri, seluruh institusi yang memaksa kontan meningkat
kemubazirannya dan makin terasa usang. Pemerintah dengan sendirinya akan
memberi jalan kepada tatanan spontan masyarakat anarki. Orang akan hidup
sederhana namun mereka mengolah hidup dalam keluarga-keluarga terbuka, dalam
harmoni dengan alam. Perkawinan akan menghilang dan digantikan oleh persatuan
bebas; setiap keturunan akan dijaga dan dididik oleh komunitas.
Dalam masyarakat bebas dan setara, terbuka kesempatan bagi siapa pun untuk
mengembangkan potensi intelektual dan moral mereka. Dengan terhapusnya mesin
rumit pemerintah dan hasrat berlebihan akan kemewahan, serta dengan pembagian
kerja yang rata, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi kebutuhan hidup
akan berkurang secara drastis – mungkin, dalam hitung-hitungan Godwin, sampai satu
setengah jam per harinya.
Samasekali tidak mengabaikan revolusi industri, Godwin menilai teknologi –
„berbagai jenis penggilingan, mesin-mesin tenun, mesin-mesin uap“ dan bahkan
mungkin suatu hari nanti mesin bajak otomatis – telah mengurangi dan meringankan
kerja keras yang tak menyenangkan73. Tidak seperti Tolstoy, ia melihat tidak ada
martabat untuk kerja-kerja manual yang tak perlu. Teknologi yang pas tidak hanya
mengurangi paksaan kerja sama yang dibebankan oleh pembagian kerja yang berlaku,
tapi juga meningkatkan kenyamanan waktu luang yang tak terbandingkan di mana
orang berkesempatan mengolah nalar mereka. Ilmu pengetahuan, lebih jauh, mungkin
saja kelak menempatkan otak menjadi maha kuasa terhadap zat, ia mungkin
memperpanjang kehidupan dan, demikian Godwin melakukan ramalan liar, bahkan ia
mungkin menemukan rahasia keabadian!
Kendati masyarakat terdesentralisir Godwin terilhami oleh komunitas-
komunitas organik Inggris masa pra-industri, ia toh tanpa disengaja merupakan visi
murni agraris. Keyakinannya pada potensi membebaskan dari dampak teknologi
modern dan ilmu pengetahuan, menunjukkan bahwa ia tidak melihat ke belakang tapi
73 Ibid., hal. 172

3
ke muka, ke masa depan. Bahkan, sementara abad sembilan belas dan dua puluh
mengalami peningkatan sentralisasi produksi, teknologi baru tampaknya --
sebagaimana diharapkan Godwin -- akan mengarah pada penghapusan industri-
industri yang monopolistis dan memberikan jalan keluar bagi kota-kota terbesar.
Dalam hal ini ia merespon visi Kropotkin dalam Fields, Factories and Workshops.
Sementara ia tidak masuk ke rinci-rinci, Godwin menyiratkan bahwa produksi
akan diorganisasikan secara sukarela, dengan tenaga kerja yang mewujudkan
kepentingan dan bakat mereka sendiri. Pembagian kerja tertentu mungkin masih ada,
mengingat orang yang punya ketrampilan khusus mungkin lebih suka menghabiskan
waktu dalam kerja-kerja terspesialisasi. Akan ada pembagian bahan-bahan mentah
secara sukarela. Produsen akan memberikan surplus produksi mereka kepada yang
paling membutuhkan, dan akan menerima apa yang dibutuhkan untuk memuaskan
keinginan mereka dari surplus yang dihasilkan oleh sekitar atau tetangga mereka.
Dengan cara ini barang-barang akan mengalir secara spontan kemana pun ia
dibutuhkan. Relasi ekonomis, dengan demikian, akan selalu didasarkan pada
distribusi bebas dan bukannya barter atau pertukaran.
Godwin penasaran untuk mendefinisikan secara cermat hubungan mendasar
antara individu dan kelompok dalam sebuah masyarakat bebas dan setara. Posisinya
ini disalah-pahami secara serius, mengingat ia menghadapi dua tuduhan yang sama
besarnya : sebagai pengusung ‘individualisme ekstrim’ sekaligus sebagai orang yang
menginginkan peleburan indvidu ke dalam ‘solidaritas komunal’ 74. Dalam
kenyataannya, ia toh tidak melakukan keduanya.
Benar bahwa Godwin menulis „segala sesuatu yang biasanya dipahami dengan
istilah kerja sama (ko-operasi), dalam tingkatan tertentu, adalah kejahatan“ 75. Tapi ko-
operasi yang ia cerca adalah aktivitas seragam yang dipaksakan oleh pembagian kerja,
oleh asosiasi-asosiasi yang membatasi, atau oleh mereka yang berkuasa. Ia tidak bisa
mengerti mengapa kita harus patuh demi segala kesenangan orang lain atau mengapa
kita harus diperas semata sebagai „keseragaman detak jarum jam“. Dengan alasan ini,
baginya tak ada perlunya tenaga kerja bersama, makanan atau toko-toko dalam
masyarakat yang sama; itu semua „instrumen yang salah untuk mempertahankan
perilaku yang tanpa mengkaji terlebih dahulu penilaian yang berlaku“76.

74 Lihat Clark, The Philosophical Anarchism of William Godwin, op.cit., hal 312; Isaac
Kramnick, Introduction, Political Justice (Harmondsworth: Penguin, 1976), hal.52
75 Anarchist Writings, op.cit., hal. 171
76 Ibid., hal. 171-172

3
Juga benar bahwa di mata Godwin masyarakat tidak membentuk sebuah
keseluruhan yang organik dan ia tidak lebih dari sekumpulan individu. Ia melukiskan
orang yang tercerahkan akan membuat perhitungan individual soal kenikmatan dan
kepedihan dan mempertimbangkan secara hati-hati segala konsekuensi tindakannya.
Ia menekankan nilai otonomi untuk perkembangan intelektual dan moral; kita semua
membutuhkan ruang keleluasaan, ruang batin untuk pikiran kreatif. Ia melihat tidak
ada nilainya jika seseorang hilang dirinya demi eksistensi diri orang lain :

Setiap orang sebaiknya berdiri di atas pusat miliknya sendiri dan mencari
pemahamannya sendiri. Setiap orang sebaiknya merasakan
kemerdekaannya sendiri sehingga ia mampu menyatakan prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran tanpa harus patuh dan berkhianat dengan berusaha
menyesuaikan prinsip-prinsip tersebut kepada keganjilan situasi disekitar
dirinya dan kepada kesalahan-kesalahan orang lain77.

Pengenalan akan kebutuhan otonomi individu ini harus dipikirkan matang ketika
menimbang satu dari kritisisme utama yang diarahkan pada Godwin. Yakni, sebutlah
bahwa dalam masyarakat anarkis Godwin, tirani opini publik bisa lebih berbahaya
ketimbang tirani hukum. Godwin tentunyalah menegaskan bahwa kita semua punya
tugas memperbaiki kesalahan-kesalahan dan memajukan kesejahteraan sekitar kita;
bahwa kita harus menerapkan ketulusan sempurna setiap saat. Bahkan, lebih jauh ia
menyiratkan bahwa ‘inspeksi umum’ yang akan menggantikan otoritas publik akan
memberikan kekuatan „yang tak kalah garangnya dari cambuk dan rantai“ untuk
mereformasi perilaku78.
Sekarang, sementara hal itu jelas tampak picik, Godwin memastikan bahwa ia
sepenuhnya menentang setiap swakarsa kolektif yang mungkin berlaku sebagai tirani
terhadap individu atau yang memaksakan gagasan-gagasan dan nilai-nilai tertentu.
Pertama-tama, jenis ketulusan yang ia sarankan tidaklah dimaksudkan untuk merubah
sekitar kita menjadi sosok angkuh yang suka ikut campur, melainkan untuk
melepaskan mereka dari penindasan yang tidak perlu sehingga mereka menjadi
‘saling berteman sejati’. Kedua, setiap kritik yang kita ajukan ke sekitar kita,
sebaiknyalah merupakan panggilan bagi akal sehat mereka dan ditawarkan dengan

77 Ibid., hal. 60-1


78 Political Justice (edisi 1793), II, 565

3
cara yang lembut dan penuh kasih. Ketiga, Godwin mengandaikan bahwa orang akan
menjadi individu-individu rasional dan independen yang saling tanggap akan otonomi
masing-masing : „Tetangga saya boleh saja mengkritik saya dengan bebas dan tanpa
pedulian, tapi dia mesti ingat bahwa saya pun akan bertindak sesuai pertimbangan
saya dan bukan menurut pertimbangan dia“79.
Sementara Godwin amat menghargai otonomi personal, ia toh berulangkali
menekankan bahwa kita adalah mahluk sosial, bahwa kita ada untuk masyarakat dan
masyarakat mengantarkan kita kepada kualitas-kualitas terbaik kita. Malah ia tidak
melihat adanya ketegangan antara otonomi dan kolektivitas mengingat „cinta
kemerdekaan jelas mengarah kepada sentuhan persatuan dan kecenderungan untuk
bersimpati terhadap kepedulian pada orang lain“ 80. Roman-roman Godwin juga
dengan bersemangat menunjukkan bahaya-bahaya moral dan psikologis dari
kesendirian dan isolasi yang berlebihan. Keseluruhan sistem etisnya tentang kebajikan
diilhami oleh cinta kasih kepada yang lain.
Nyatanya Godwin percaya orang-orang yang berada dalam masyarakat bebas
dan setara akan segera tampil lebih sosial dan lebih individual : „setiap orang akan
berpadu dengan sekitarnya dalam cinta dan keramahan yang saling menguntungkan,
ribuan kali ketimbang sekarang : tapi setiap orang akan berpikir dan menilai bagi
dirinya“. Puncaknya, individu dan masyarakat tidak akan bertentangan lantaran setiap
orang akan menjadi berkembang lebih individual dan lebih berkesadaran sosial :
„prinsip sempit mementingkan diri sendiri“ akan sirna dan „masing-masing akan
melepaskan eksistensi individualnya dalam kerangka kebaikan umum“ 81. Salah satu
kekuatan terbesar Godwin adalah cara dia merekonsiliasikan klaim-klaim otonomi
personal dan tuntutan akan kehidupan sosial. Dengan demikian anarkisme Godwin
lebih dekat kepada komunisme Kropotkin daripada ke egoismenya Stirner atau
kompetisinya Proudhon.

PERANGKAT REFORMASI
Menyaksikan Revolusi Perancis beralih menjadi teror, Godwin tidak memberikan
dukungan sepenuh hati kepada revolusi dalam pengertian transformasi masyarakat
yang mendadak dan dengan kekerasan. Revolusi mungkin terinspirasikan oleh horor
terhadap tirani, tapi ia sendiri pada gilirannya bisa menjadi tiran, khususnya jika
79 Ibid., I, 335, 168.
80 Anarchist Writings, op.cit., hal. 172-3
81 Ibid., hal. 173

4
mereka yang mengambil alih kekuasaan mulai memaksa yang lain melalui ancaman
hukuman.
Godwin bukanlah seorang pasifis absolut, namun anti kekerasan merupakan
strategi pembebasannya. Ia tidak berpikir bahwa akal sehat kemanusiaan akan cukup
berkembang untuk membujuk seorang penyerang agar menjatuhkan pedangnya.
Perjuangan bersenjata mungkin juga diperlukan untuk bertahan dari ‘perusak rumah’
atau untuk mengusir balik serangan despot82. Betapapun, ia menerima pemanfaatan
kekuatan fisik secara minimal hanya jika segala persuasi dan argumen memang gagal.
Selanjutnya adalah tugas mereka yang tercerahkan untuk berusaha menunda revolusi
kekerasan.
Alhasil, yang dicermati Godwin adalah revolusi dalam opini, bukan diatas
barikade-barikade. Alat yang tepat untuk melahirkan perubahan adalah melalui
penyebaran pengetahuan : „Persuasi dan bukan kekuatan adalah instrumen sahih
untuk mempengaruhi pikiran manusia“. Penyetaraan masyarakat yang sejati bukanlah
dengan memangkas semua dengan kekuatan menjadi „persamaan yang telanjang dan
biadab“, melainkan dengan menghantar naik setiap orang menuju kebijaksanaan.
Reformasi yang disarankan Godwin („kekuatan yang ramah dan menguntungkan“
itu!) adalah sesuatu yang perlahan tapi pasti sehingga ia sukar untuk disebut sebagai
aksi83. Lantaran pemerintah dibangun oleh opini, begitu rakyat menjadi semakin
paham dan sadar bahwa pemerintah adalah keburukan yang tidak diperlukan, maka
mereka akan secara pelan namun ajeg menarik dukungan mereka. Pemerintah akan
terhapus begitu saja. Ini proses yang jelas tidak bisa dipahami oleh partai-partai atau
koalisi-koalisi politik.
Godwin mencari pembimbing yang berpikir cermat dan elok yang akan
menyuarakan kebenaran dan berlaku tulus dan, karena itu, bertindak sebagai katalis
perubahan. Satu-satunya jenis organisasi yang ia sarankan adalah lingkaran yang kecil
dan independen, sebuah bentuk awal untuk model ‘kedekatan kelompok’ dari anarkis
modern. Dengan demikian, dalam tradisi anarkis, Godwin sebagai yang pertama
berdiri mengajukan ‘propaganda melalui kata’. Dengan menekankan perlunya
penumbuhan kembali moral sebelum reformasi politik, ia sekaligus mendahului
gagasan ‘yang politis adalah yang personal’.

82 Ibid., hal. 77
83 Ibid., hal. 123, 121

4
Sementara gradualisme Godwin menunjukkan ia bukanlah seorang visioner
naif, hal itu toh menghasilkan sebuah pembalikan konservatif bagi praktek politiknya.
Ia mengkritik jenis tindakan protes terisolasi sebagaimana dilakukan Shelley. Ia
merasa adalah benar untuk mendukung dari kejauhan setiap gerakan yang tampaknya
menuju arah yang benar. Dalam lingkup sejarah dirinya, ia menyatakan : „Secara
prinsip saya republikan, dalam tindakan saya seorang Whig. Tapi saya seorang filsofof
: seseorang yang punya hasrat menjadi bijak dan saya membidik pokok soal ini
dengan membaca, menulis dan sedikit percakapan“84. Sekali waktu pada 1790-an ia
pernah berpikir bahwa ia mungkin akan menjadi anggota Parlemen, tapi segera pula
gagasan tersebut ia hapus lantaran berisiko melukai kemandiriannya dan
mengkerangkeng karakternya yang lebih pas untuk kontemplasi ketimbang aksi.
Godwin gagal mengembangkan sebuah praksis yang memuaskan.
Gradualismenya yang berhati-hati dimaksudkan untuk menghindarkan generasinya
dari dampak dahsyat otoritas politik dan ketimpangan ekonomi yang telah ia uraikan
dengan penuh perasaan. Kendati dengan gamblang ia melukiskan bagaimana opini-
opini dibentuk oleh kondisi lingkungannya, ia hanya berusaha merubah opini-opini itu
daripada berupaya merubah lingkungannya. Ia menempatkan dirinya dalam dilema
saat meyakini bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya rasional sepanjang pemerintah
tetap ada, dan toh pemerintah harus melanjutkan kehadirannya lantaran pemerintah
memang irasional. Masalah Godwin adalah ia gagal menangani reformasi di tingkatan
institusi sebagaimana yang ia lakukan pada level gagasan.
Sebagai filsuf sosial, tak diragukan lagi, Godwin sebanding dengan Hobbes,
Locke, Rousseau dan Mill. Dia filsuf anarkisme yang paling konsisten dan disegani.
Dengan argumennya yang bernalar ketat, secara cermat ia membeberkan kesimpulan-
kesimpulan libertariannya yang berasal dari pandangannya akan sifat manusia yang
berdasarkan akal sehat. Ia meyakini bahwa politik tidak terpisahkan dari etika dan
mengajukan pandangan persuasif tentang keadilan. Kritik-kritiknya terhadap asumsi-
asumsi mendasar tentang hukum, pemerintah dan demokrasi, dilandasi atas
pemahamannya yang mendalam atas pokok soal tersebut. Dari pandangan jernih atas
kebenaran, dia mengembangkan salah satu pembelaan yang paling tajam untuk
kebebasan berpikir dan berekspresi.
Di tengah tirani-tirani pada zamannya, Godwin mengajukan (model)
masyarakat simpel yang didesentralisasi, yang di dalamnya terdiri dari sekumpulan
84 Dikutip dari buku Peter Marshall, William Godwin, op.cit., hal. 343

4
asosiasi individu-individu yang bebas dan setara. Dalam teori pendidikannya, ia
menunjukkan hikmah dari belajar berkat dorongan hasrat. Pandangan ekonominya
adalah paparan dampak-dampak dahsyat dari ketimpangan ekonomi dan ia menggagas
pentingnya sistem komunisme bebas. Sementara, jika praktek politiknya tidak
memuaskan, itu disebabkan utamanya dia adalah seorang filsuf yang perhatiannya
lebih kepada prinsip-prinsip universal ketimbang penerapan-penerapan spesifiknya.
Melalui penyimpulan berani dari prinsip-prinsip pertama, ia melintasi radikalisme
pada zamannya untuk lantas tampil sebagai pemikir anarkis besar.

Anda mungkin juga menyukai