Anda di halaman 1dari 34

2

Masyarakat dan Negara

Para anarkis membedakan secara jelas antara masyarakat dan Negara. Sementara
mereka menilai masyarakat sebagai sejumlah asosiasi sukarela, di sisi lain mereka
menolak Negara sebagai badan khusus yang diniatkan untuk mempertahankan skema
pemaksaan tatanan legal1. Kebanyakan anarkis melukiskan Negara sebagai kendala
yang dibebankan ke atas masyarakat. Yakni kendala yang dapat dibuang. Kendati
belakangan ini seperti, Gustav Landauer, menekankan bahwa Negara adalah relasi yang
pasti ada di antara mahluk hidup dan masyarakat yang berlapis-lapis.

Masyarakat
Masyarakat di mata anarkis, sebagaimana ditulis Thomas Paine, merupakan “berkah”
yang penuh variasi, lemari tempat menyimpan segala yang baik dalam kemanusiaan :
ko-operasi, berbantu saling menguntungkan (mutual aid), simpati, solidaritas, inisiatif
dan spontanitas2. Dengan demikian cukup menyesatkan, sebagaimana dilakukan Daniel
Guérin, untuk menyiratkan bahwa anarkis “menolak total masyarakat” 3. Hanya
individualis ekstrim seperti Stirner yang menyerang baik masyarakat maupun Negara,
bahkan meskipun ia menyerukan asosiasi atau “serikat para egois” sebagai kendaraan
agar orang bisa mencapai tujuannya bersama-sama. Sepintas Godwin menimbang
masyarakat hanya sebagai “agregasi atau penjumlahan total individu-individu”, namun
ia berbicara menyepakati kebanyakan anarkis manakala ia menegaskan bahwa “Kondisi
yang paling dihasratkan spesies manusia adalah keadaan bermasyarakat”4.
Anarkis menegaskan bahwa Negara merupakan perkembangan belakangan saja
dalam organisasi sosial dan politik manusia. Bahwa dalam sebagian terbesar sejarahnya,
mahluk hidup mengorganisasikan diri mereka sendiri secara damai dan produktif dalam
masyarakat tanpa pemerintahan dan hukum. Malah dalam banyak masyarakat, tatanan
sosial hadir sebagai proporsi yang berkebalikan dengan perkembangan Negara.

1 Lihat Ernest Barker, Principles of Social and Political Theory (Oxford Univ. Press, 1967), hal. 3
2 Thomas Paine, Common Sense, editor Isaac Kramnick (Harmondsworth:Penguin, 1976), hal. 65
3 Guérin, Anarchism, op.cit., hal. 13
4 Godwin, Anarchist Writing, op.cit., hal. 89, 50

1
Anarki murni dalam artian masyarakat tanpa konsentrasi kekuasaan dan tanpa
kontrol sosial boleh jadi tak pernah ada. Masyarakat-masyarakat tanpa negara dan
masyarakat petani memberlakukan sanksi -- kesepakatan dan ketidaksepakatan, tawaran
timbal-balik dan ancaman terhadap yang mangkir – semua sebagai instrumen kontrol
sosial. Namun antropologi modern mengkonfirmasi bahwa pada masyarakat-masyarakat
organik atau “primitif” berlaku pembatasan konsentrasi kekuasaan. Andaikata otoritas
hadir, itu akan didelegasikan dan jarang diterapkan telanjang, dan di banyak masyarakat
tidak ada relasi perintah dan kepatuhan yang diberlakukan.
Bahkan sejak manusia dikenal sebagai homo sapiens, manusia hidup di
komunitas-komunitas tanpa negara yang secara kasar terbagi dalam tiga kelompok :
masyarakat acephalous (harafiahnya berarti binatang tak berkepala), yang didalamnya
jarang sekali ada spesialisasi politik dan tak ada kepemimpinan formal (kendati
beberapa individu memiliki martabat untuk itu); kepemimpinan mercu suar (chiefdoms)
di mana pemimpin tidak memiliki kontrol terhadap kekuasaan yang terkonsentrasi dan
yang pewarisan martabatnya sebagian terbesar tergantung pada kemurahhatian; dan
sistem tokoh besar yang karisma sosok tokohnya terbangun demi kemaslahatan
masyarakatnya. Para antropolog telah menggambarkan banyak ragam masyarakat
anarkis indigenous. Tampilannya bervariasi dari warga pengolah kebun hingga
masyarakat kampung pedalaman, kelompok-kelompok kecil seperti orang-orang pygmi
dan aborigin di kawasan marjinal hingga ke sepenuhnya suku-suku seperti suku Tiv di
Nigeria atau suku Santal di India Timur5. Namun sementara manusia telah hidup di
komunitas-komunitas tertentu untuk selama empatpuluh atau lima puluh ribu tahun,
nyaris seluruhnya kemudian telah diserap atau dirusak oleh negara-negara dalam
beberapa abad terakhir ini.
Banyak dari masyarakat-masyarakat organik ini tentunya akan tampil bersifat
membatasi bagi libertarian modern. Mereka kerap dikarakterisasikan tampil
diskriminatif berdasarkan usia atau jenis kelamin. Mereka memiliki sistem moral dan
relijius kolektif yang menjuruskan orang untuk berkompromi. Tekanan moral dan sosial
yang kuat, sebagaimana juga sanksi supranatural, diterapkan terhadap perilaku anti-
sosial. Betapapun, dengan segala pembatasan tersebut, mereka tunjukkan bahwa mimpi

5 Lihat Taylor, Community, Anarchy and Liberty, op.cit., hal. 6-10; Ward, “Harmony through
Complexity”, Anarchy in Action, op.cit., hal. 44-52; John Pilgrim, “Anarchism and stateless societies”,
Anarchy, 58 (Desember 1965), 353-68; “Primitive Societies and Social Myths”, A Decade of Anarchy
1961-70, editor Colin Ward (Freedom Press, 1987), hal. 59-71; Harold Barclay, People Without
Government: An Anthropology of Anarchism (Kahn and Averill, 1982); dan John Middleton & David
Taid, editor, Tribes without Rulers (Routledge & Kegan Paul, 1958)

2
buruk Hobbesian tentang perang universal sebagai “panggilan alamiah” adalah mitos.
Masyarakat tanpa hierarki dalam bentuk penguasa atau pemimpin bukanlah impian
utopis tetapi nyatanya bagian integral dalam pengalaman kolektif manusia. Para anarkis
berharap menjahit pola-pola kuno ko-operasi dan berbantu saling menguntungkan
(mutual-aid) dari masyarakat-masyarakat organik ini dengan dorongan individualitas
dan otonomi personal modern.
Terlepas dari individualis ekstrim, anarkis dengan demikian menatap masyarakat
sebagai kondisi alamiah mahluk hidup yang bakal menelurkan segala yang terbaik dari
dalam mereka. Mereka menimbang masyarakat akan menjadi tatanan yang mengatur-
sendiri yang akan berkembang dalam bentuk terbaiknya manakala semakin sedikit yang
mencampurinya. Menjawab pertanyaan, lantas apa yang akan menggantikan
pemerintahan, anarkis menjawab “Ditukar apa ketika kamu menggusur kanker?”.
Adapun Proudhon menjawab lebih lugas, “Tak ada” :

Masyarakat adalah gerak abadi; ia tidak harus disuntikkan lebih bergairah; ia tidak
perlu dilecut waktu. Ia memanggul pendulumnya sendiri yang senantiasa
menerbitkan gairah dari dalam dirinya sendiri. Masyarakat terorganisasi
membutuhkan hukum-hukum minimal sejumlah para legislatornya. Hukum bagi
masyarakat layaknya jejaring sarang bagi lebah, itulah jejaring yang ada hanya
untuk memerangkap lebah6.

Anarkis dengan demikian meyakini bahwa institusi-institusi relijius dan politik dalam
sebagian terbesarnya adalah irasional, tak alamiah dan memagari keteraturan kehidupan
sosial. Sementara bila dibiarkan beserta segala kelengkapan milik mereka, masyarakat
toh akan menemukan maslahat dan hamparan kreatifnya. Tatanan sosial akan meresap
sangat mendasar berupa peka-rasa keterjaminan keamanan pribadi-pribadi dan properti.
Pembedaan fundamental antara masyarakat dan Negara ini amat ditegaskan para
pemikir liberal dan juga anarkis. Locke melukiskan manusia dalam kondisi alamiahnya
sebagai bebas, setara dan diatur oleh hukum alam yang dari situlah juga diturunkan hak-
hak alamiah. Pemaknaannya akan tatanan alamiah hadir secara independen, terlepas dari
Negara, yang menyajikan dasar teoritis bagi para liberalis klasik dalam
mempertahankan laissez-faire. Bedanya dengan anarkis, Locke berpikir bahwa
kehidupan dalam kondisi alamiah bisa tampil tidak pasti dan tidak nyaman sehingga

6 Proudhon dikutip dari Rocker, Nationalism and Culture (Freedom Press, 1947), hal. 231

3
dibutuhkan hukum-hukum dan pemerintahan terbatas guna melindungi hak-hak alamiah
untuk hidup, kemerdekaan dan properti. Anarkis menyepakati Locke bahwa
kemanusiaan senantiasa hidup dalam masyarakat namun juga ditegaskan bahwa
pemerintahan sungguh sangat mengganggu sekaligus menumbuhkan konflik sosial
ketimbang mengajukan penyembuhan untuk itu.
Dengan demikian anarkis meyakini orang-orang bisa hidup bersama dalam
kedamaian, kebebasan dan saling percaya. Anarkis sosial memperjuangkan solidaritas
alamiah untuk menumbuhkan ko-operasi sukarela, sementara anarkis individualis
menimbang bukanlah mustahil untuk mengatur urusan-urusan melalui kontrak-kontrak
sukarela yang berbasiskan kepentingan-diri rasional. Bahkan sebagian kecil anarkis
seperti Sébastian Faure yang menganggap pertempuran demi survival merupakan
panggilan alamiah, meyakini bahwa tanpa hukum, majikan dan represi, “kengerian
pertempuran demi hidup” bisa digantikan oleh “kesepakatan yang menyuburkan” 7.
Dengan demikian jelas tak diperlukan Negara yang memata-matai malam sebagaimana
pandangan kalangan Liberal, apalagi auman otoriter monster besar Leviathan komunis
dan fasis. Tatanan alamiah secara spontan menghidupi dirinya sendiri.

Tatanan Alamiah
Asumsi fundamental anarkisme adalah alam akan mekar dalam keadaan terbaiknya jika
dibiarkan apa adanya. Layaknya alunan alegori Taois :

Kuda hidup di atas tanah kering, makan rumput dan minum air. Ketika senang
mereka saling menggosok leher. Ketika marah, mereka berbalik dan saling
bertendang-kaki. Sedemikian itu mereka toh hanya berlaku sejauh alam membawa
mereka. Namun seiring dilesakkannya kekang besi dan tali kendali plus
selempengan logam menempel di dahi mereka, mereka pun belajar bertingkah
buruk rupa, mengangkat kepala untuk menggigit, untuk melawan, mencoba
mengenyahkan kekang di mulut. Alhasil, sifat alamiah mereka menjadi humor yang
menyesatkan8.

7 Sébastian Faure, La Douleur universelle, la philosophie libertaire (Paris: Savine, 1895), hal.
217
8 Chuang Tzu, terj. Herbert A. Giles (1889) (Allen & Unwin, 1980), hal. 98-9

4
Itu serupa dengan manusia. Dominasi kuasa yang bikin amburadul harmoni alamiah dan
keseimbangan benda-benda, sungguh amat merecoki. Hanya karena mereka bekerja
bertentangan dengan benih, memblokir alur energi alam, maka masalah-masalah pun
muncul dalam masyarakat. Keyakinan anarkis pada kelebihan kebebasan, pada
keuntungan dengan membiarkan apa adanya, didasarkan pada sejenis optimisme
kosmik. Tanpa campur tangan manusia, hukum-hukum alamiah akan menjamin
mekarnya tatanan spontan.
Dalam konsep alamnya, anarkis cenderung menganggap hamparan alamiah
masyarakat bukanlah dalam pengertian historis “segala hal sebagaimana kini atau
sebagaimana terbentuknya”, atau natura naturata, melainkan dalam pengertian filosofis
“segala hal sebagaimana mungkin menjadi”, natura naturans. Seperti Heraclitus,
mereka tidak menilai alam sebagai keadaan baku tetapi lebih serupa proses dinamis :
kamu tidak bakal pernah menjejakkan kakimu di dasar sungai yang sama dua kali.
Bilamana pemikir konservatif meyakini alam dalam ekspresi terbaiknya sebagai “segala
sebagaimana adanya”, yakni sebagaimana sejauh diproduksi oleh sejarah, para pemikir
progresif memandang alam senantiasa bergerak memenuhkan potensinya. Kebanyakan
anarkis meyakini bahwa cara terbaik menghantarkan perbaikan adalah dengan
membiarkan alam mengepaskan kebajikannya tergerai.
Kepercayaan akan kebajikan alam pertama-tama muncul di kalangan para
penganut Tao di Cina kuno. Orang-orang Yunani awal, khususnya kalangan Stoik, juga
merasakan bahwa manakala manusia hidup berdamai dengan alam, segala akan berjalan
baik. Seiring masa Abad Pertengahan, alam pun mulai ditanggapi dengan istilah Rantai
Besar Keberadaan yang disusun oleh sejumlah tak terbatas jejaring saling
bersambungan mulai dari tatanan hierarkis bentuk-bentuk terendah keberadaan hingga
bentuk tertinggi – Keberadaan Absolut atau Tuhan. Woodcock telah menyiratkan bahwa
dalam pandangan mereka tentang tempat manusia di dunia, anarkis percaya akan versi
modifikasi dari Rantai Besar Keberadaan9. Nyatanya, konsepsi semesta sebagai Rantai
Keberadaan dan prinsip-prinsip yang menopang konsepsi ini – keterpenuhan,
keberlanjutan dan gradasi – merupakan konservatisme yang mendalam. Lebih jauh,
kosmogoni hierarkis Rantai Keberadaan beserta gradasinya dari yang liar hingga ke
malaikat dengan manusia berada di tengahnya, mencerminkan hierarki sosial sebuah
periode. Pada abad ke-18 soal ini menjuruskan kepada kepercayaan bahwa sudah tidak

9 Anarchist Reader, op.cit., hal. 16

5
ada perlunya lagi perbaikan dalam organisasi masyarakat dan, sesuai penyimpulan Paus,
“apa pun itu, benarlah itu adanya”10.
Dan memang benarlah, hanya sampai menjelang penghujung abad 18
pemaknaan Rantai Keberadaan yang statis itu mulai luntur. Muncul penggantinya yaitu
pandangan yang lebih evolusioner tentang alam dari para pemikir yang progresif.
Mereka menampilkan alam sebagai tonggak yang melukiskan terbitnya peradaban
modern. Primitivist seperti Rousseau bereaksi menentang peradaban Eropa yang semu
dengan menyarankan bahwa kita semestinyalah mengembangkan cara hidup yang lebih
alamiah. Kebaikan alamiah manusia telah digerus oleh pemerintahan dan lembaga-
lembaga politik; oleh sebab itu sangat perlu memperbaharuinya agar manusia alamiah
berkembang.
Tak diragukan lagi bahwa ada arus primitifisme yang kuat alam pemikiran
anarkis. Ia tampil baik dalam bentuk kronologis, yakni keyakinan bahwa periode terbaik
dalam sejarah adalah masa sebelum berdirinya Negara, maupun dalam bentuk kultural
yaitu gagasan bahwa pengambil-alihan oleh peradaban modern adalah setan. Keyakinan
ini bisa berupa perayaan akan kesederhanaan dan kehalusan dari apa yang dibayangkan
sebagai kehidupan primitif. Namun demikian kebanyakan anarkis tidak menatap ke
belakang sebagai jaman emas, melainkan ke depan menuju era baru kesadaran-diri yang
bebas. Dengan begitu mereka primitif sekaligus progresif yang menimba inspirasi dari
cara hidup yang lebih membahagiakan di masa lalu guna menyambut yang baru yang
lebih baik di masa depan.
Soal ini tampil jelas pada karya Godwin, yang pertama mengajukan pernyataan
lugas tentang prinsip-prinsip anarkis ketika muncul di penghujung abad ke-18. Ia
menempatkan alam dalam kerangka natura naturans, segala yang mungkin menjadi.
Keyakinannya pada kemungkinan kemajuan moral dan sosial tak pernah goyah. Bahkan
jika menyangkut seorang atheis, ia meyakini bahwa kebenaran adalah maha tinggi dan
universal. Pada masa tuanya ia mulai berbicara tentang bijak dan misteriusnya beberapa
kekuatan yang menopang dan memberikan harmoni bagi segenap semesta. Begitu pula
Proudhon meyakini hukum alamiah universal dan bahwa jauh di dalam diri manusia
terdapat kepekaan keadilan immanen : “manusia menyimpan di dalam dirinya prinsip-
prinsip kode moral yang melampaui individu … Itulah yang mempertautkan esensi

10 Lihat Arthur O. Lovejoy, The Great Chain of Being (1936) (Cambridge, Mass.: Harvard Univ.
Press, 1971), hal. 196-7

6
dirinya dengan esensi masyarakat. Kode-kode yang menandai cetakan jiwa manusia,
yang setiap hari diperhalus dan disempurnakan melalui relasi sosial”11.
Adapun Bakunin, ia menempatkan alam dan masyarakat dengan cara yang lebih
dialektis dan menilai bahwa perubahan terjadi melalui rekonsiliasi dari oposisi-oposisi :
“kekuatan-kekuatan harmoni alamiah muncul hanya sebagai hasil perjuangan yang
menerus, yang merupakan kondisi nyata kehidupan dan pergerakan. Dalam alam seperti
juga dalam masyarakat, tatanan tanpa perjuangan sama saja dengan kematian”. Alam itu
sendiri hanya bertindak dengan cara tak disadari namun sesuai hukum-hukum alamiah.
Betapapun demikian, tatanan universal hadir dalam alam dan masyarakat. Bahkan pada
manusia dengan kekuatan bernalarnya, “ ia adalah produk material dari bertaut dan
bertindaknya kekuatan-kekuatan alamiah”12.
Sedangkan Kropotkin, ia tidak hanya merasakan, seperti Proudhon, bahwa
sentuhan moral itu bersemayam dalam, melainkan juga melihat bahwa alam membuka
diri secara mendasar melalui saling berbantu-baku-untung (mutual aid) mendaki
bentuk-bentuk yang lebih tinggi dan lebih rumit. Di titik ini Malatesta mengkritisi
optimisme yang kelewat bersemangat dari Kropotkin dan malah menyatakan bahwa
anarki adalah “perjuangan dalam masyarakat manusia untuk melawan serangkaian
ketidakseimbangan alamiah”. Namun kendati bagi Malatesta “manusia alamiah
senantiasa berada dalam kondisi konflik dengan sesamanya”, ia toh juga meyakini
masih mungkinnya solidaritas sosial dan harmoni13. Teoritisi modern seperti Murray
Bookchin dan John Clark mengikuti jejak Kropotkin yang berupaya mempertautkan
anarkisme dengan ekologi – dengan itu mereka juga mau menunjukkan bahwa prinsip-
prinsip ekologis tentang kebertautan dalam keragaman dan harmoni melalui kerumitan,
bisa diterapkan pada masyarakat bebas.
Alhasil semua anarkis meyakini bahwa tanpa pembatasan semu berupa Negara
dan pemerintah, tanpa pemaksaan otoritas yang dibebankan, harmoni kepentingan-
kepentingan antar manusia akan berkembang. Bahkan para individualis yang
menggebu-gebu juga yakin bahwa jika orang-orang mengikuti kepentingan mereka
sendiri secara jernih, mereka akan mampu membentuk kebersatuan yang meminimalkan
konflik. Anarkis, apa pun ajuan mereka, meyakini tatanan spontan. Dengan kebutuhan
umum terberi, mereka yakin bahwa manusia bisa menata diri mereka sendiri dan

11 Proudhon, Selected Writings, op.cit., hal. 249


12 Bakunin on Anarchy, op.cit., hal. 271
13 Erico Malatesta: His Life and Ideas, editor Vernon Richards (Freedom Press, 1977), hal. 267,
277

7
menciptakan tatanan sosial yang akan terbukti jauh lebih efektif dan bermanfaat
ketimbang otoritas apa pun yang dibebankan14. Kemerdekaan, sebagaimana dicermati
Proudhon, adalah ibunda dan bukan anak tatanan.
Namun sementara anarkis menyerukan penghapusan Negara dan meyakini
tatanan sosial akan terbentuk dengan sendirinya, mereka mendasarkan keyakinan
tersebut di atas berbagai premis dan model 15. Para individualis seperti Stirner dan
Tucker mengembangkan visi ekonomi Adam Smith – tentang tangan terembunyi yang
akan menerjemahkan kepentingan pribadi menjadi kebaikan umum dan memajukan
persilangan-temu kepentingan-kepentingan. Maklum, dalam aktivitas ekonomi terlibat
banyak keputusan dan tindakan yang tak selalu terhitung-jelas sehingga ia tidak bisa
sepenuhnya diatur atau diarahkan hanya oleh satu individu atau sekelompok individu.
Dengan demikian ia harus diserahkan kepada dirinya sendiri, kepada sistem ekonomi
yang mengatur-sendiri guna menghasilkan harmoni. “Adiministrasi segala sesuatu”
pada akhirnya akan menggusur “pemerintahan manusia”, demikian jika memakai istilah
Saint-Simon.
Godwin mendasarkan model harmoni masyarakat bebasnya pada lingkup
kebernalaran yang selaras dengan hukum-hukum moral universal. Melalui pendidikan
dan pencerahan, orang akan menjadi lebih rasional, menyadari kebenaran universal,
menyadari kepentingan-kepentingan umum mereka dan bertindak saling bersesuaian
dengan itu semua. Setiap orang akan menyimak suara kebenaran. Proudhon merasakan
bahwa orang dengan sendirinya memerlukan saling berdiri sendiri dan memetik manfaat
dari tindak mengko-ordinasikan secara sukarela kepentingan-kepentingan ekonomi
mereka. Bakunin meyakini kesadaran dan nalar akan mencukupkan arahan
kemanusiaan, kendati ia sendiri sudah merasa cukup dengan ajuan Hegellian yang
menggambarkan perkembangan kesadaran manusia dan masyarakat melalui sejarah
secara dialektis. Demikianlah, hanya organisasi spontanitas warga yang meluas yang
bisa mempertemukan tumbuhnya keberagaman kebutuhan dan kepentingan.
Sedangkan model harmoni sosial Kropotkin dan Tolstoy didasarkan pada
pengamatan mereka atas tebaran organisasi masyarakat tribal dan petani-petani di
pelosok perkampungan. Mereka amat terkesan oleh cara-cara serakan komunitas
tertentu menata kehidupan tanpa hukum dan pemerintah, dan lebih bersandar pada

14 Lihat artikel saya, “The Natural Order of Anarchy”, The New Internationalist (Februari 1979),
hal. 20-1; dan Ward, “The Theory of Spontaneous Order”, Anarchy in Action, op.cit., hal. 28-38
15 Lihat April Carter, The Political Theory of Anarchism (Routledge & Kegan Paul, 1971), hal. 78-
8

8
kebiasaan dan kesepakatan sukarela. Bersamaan dengan itu Kropotkin pun berupaya
membumikan anarkisme dalam studi ilmiahnya tentang masyarakat dan sejarah alam
sekaligus menunjukkan bahwa upaya untuk hidup bersesuaian dengan hukum-hukum
alam dan sosial adalah sebuah filsafat rasional. Manusia, demikian ditegaskannya, telah
mengembangkan insting-insting alamiah berupa simpati dan ko-operasi, insting-insting
yang ditindas dan dirusak oleh Negara-negara otoriter dan kapitalis. Dalam tatanan
spontanitas dari masyarakat bebas, insting-insting tersebut akan lahir kembali dan
menjadi lebih kuat.

Negara dan Pemerintah


Negara tidak bermula hingga sekitar 5500 tahun silam di Mesir. Sementara kerajaan dari
dinasti-dinasti besar Cina dan Romawi silih berganti rontok dan berjaya, dengan tanpa
perbatasan-perbatasan yang jelas pada lingkar terluarnya, sebagian terbesar populasi
dunia berlanjut hidup dalam lingkar keluarga besar (klan) atau suku-suku. Perilaku
mereka dibimbing oleh kebiasaan dan tabu; mereka tak punya hukum-hukum,
adiministrasi politik, pengadilan atau pun polisi untuk menegakkan tatanan dan
kelekatan sosial mereka.
Negara muncul bersama ketimpangan ekonomi. Itulah bilamana sebuah
masyarakat mampu memproduksi surplus, yang hanya bisa dinikmati oleh yang sedikit,
maka properti pribadi dan relasi kelas pun berkembang. Manakala yang kaya meminta
dukungan dukun dan prajurit, maka mulai muncul juga Negara sebagai rekanannya yang
mengklaim otoritas tunggal di kawasan tertentu. Hukum-hukum pun dibuat guna
melindungi properti pribadi dan diberlakukan melalui kelompok-kelompok khusus (para
lelaki) bersenjata. Negara dengan demikian berdiri di atas konflik sosial dan bukan,
sebagaimana dibayangkan Locke, oleh manusia-manusia rasional yang berniat baik
saling membakukan kontrak sosial guna merancang pemerintahan, untuk membuat
hidup lebih pasti dan nyaman.
Dalam studinya ihwal muasal Negara, Kropotkin menunjukkan bahwa
Kekaisaran Romawi adalah Negara dan yang bukan negara adalah kota-kota Yunani
serta kota-kota republik abad pertengahan. Pada bangsa-bangsa Eropa, demikian tegas
Kropotkin, Negara mulai benar-benar menunjukkan diri pada abad ke-16 manakala
mereka mengambil-alih kota-kota bebas berikut federasi-federasinya. Negara ini lahir
dari “Aliansi Segitiga”, kaum bangsawan, pengacara dan pendeta yang mendominasi

9
masyarakat16. Baru belakangan kemudian bergabung para kapitalis yang terus
memperkuat dan memusatkan Negara sembari memberangus inisiatif-inisiatif bebas.
Orang-orang pada masa itu dibujuk untuk bekerjasama dengan proses dan tumbuhnya
kebiasaan sebagai pelayan sukarela,
Kebanyakan anarkis menerima versi sejarah ini. Semua anarkis sepakat menilai
bahwa, di satu sisi, masyarakat yang berbagai-bagai itu merupakan berkah, di sisi lain,
Negara adalah superstruktur semu yang terpisah dari masyarakat. Negara adalah
instrumen penindasan dan ia salah satu penyebab utama keburukan masyarakat. Alhasil
mereka menolak pandangan idealis seperti Rosseau bahwa Negara bisa
mengekspresikan Kebaikan Umum rakyat. Mereka juga tak bersepakat dengan
mistisisme Hegellian yang berupaya melihat Negara sebagai ekspresi jiwa bangsa.
Mereka tidak percaya bahwa Negara membentuk keberadaan moral atau tubuh politik
yang konon lebih besar ketimbang jumlah total dari bagian-bagiannya. Mereka
menanggapi menembus seremoni mistifikasi dan ritual yang menopengi kekuasaan
telanjangnya. Mereka mempertanyakan seruannya tentang patriotisme dan demokrasi
yang membenarkan kekuasaan minoritas penguasa. Mereka bahkan tidak menerima
pendirian liberal bahwa Negara bisa ditimbang sebagai pusat simpati dan ko-operasi di
kawasan-kawasan tertentu.
Di sisi lain, anarkis tanpa masalah menerima definisi Negara dari Max Weber,
yakni sebagai badan yang mengklaim monopoli legitimasi penggunaan kekuatan fisik
pada lingkup teritori tertentu. Negara menggunakan monopoli kekuatannya, melalui
tentara dan polisi, untuk mempertahankan diri melawan invasi asing dan
pembangkangan internal. Sebagai otoritas tunggal dalam teritori tertentu, Negara
mengklaim legitimasi tunggal akan hak untuk memerintah warganegara dan hak untuk
dipatuhi.
Anarkis juga bersepakat dengan pendirian para sosialis bahwa Negara dalam
berbagai bentuknya dikontrol oleh yang kaya dan kuat, dan bahwa perundang-
undangannya secara tak terhindarkan dibuat demi kepentingan elite dominan. Di mata
Godwin, seperti juga Marx, yang kaya selalu “langsung atau tak langsung juga legislator
negara” dan bahwa pemerintahan mengabadikan ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat. Kropotkin menambahkan bahwa Negara senantiasa, dalam sejarah kuno
maupun modern, “merupakan instrumen bagi monopoli-monopoli mapan demi selera

16 Kropotkin, The State, op.cit., hal. 31

1
minoritas penguasa”17. Dengan penghapusan Negara, anarkis mengandaikan bahwa
kesetaraan yang lebih besar akhirnya akan bisa dicapai, namun mereka mengajukan
sistem-sistem ekonomi yang amat berbeda-beda, terentang mulai dari laissez-faire yang
berbasis properti pribadi hingga ke komunisme sukarela.
Tentu saja ada perbedaan antara Negara dan pemerintah. Dalam teritori tertentu
Negara tetap ada sementara pemerintahan bisa silih berganti. Pemerintah adalah badan
di dalam Negara, yang mengklaim legitimasi otoritas untuk membuat hukum-hukum; ia
juga mengarahkan dan mengawasi aparatus Negara. Pemerintah mengikuti beberapa
prosedur tertentu – berbasiskan konstitusi atau kebiasaan --guna menghimpun dan
menggunakan kekuasaan. Tucker mendefinisikan Negara sebagai “monopoli
pemerintahan” di kawasan tertentu dan pemerintah sebagai “si penyerbu ruang privat
individu”18.
Betapapun demikian kebanyakan anarkis menggunakan istilah Negara dan
pemerintah secara longgar, seakan-akan keduanya bersinonim sebagai tempat
bersemayamnya otoritas politik dalam masyarakat. Sementara semua anarkis menentang
Negara, sebagian kecil ada yang membuka diri mengijinkan pemerintahan dalam bentuk
yang tipis untuk selama periode transisi. Godwin, pada masa Negara-Bangsa di Eropa
sedang mulai pekat ke bentuk modern, utamanya menulis tentang kebengisan
pemerintahan. Ia menandaskan bahwa manusia pada mula-pertamanya bergaul demi
saling membantu, namun “kesalahan-kesalahan dan kekeras-kepalaan sedikit orang”
telah menjuruskan pada kebutuhan akan pengendalian yang mengambil bentuk
pemerintah. Namun dengan pemerintahan semula bermaksud menekan ketimpangan,
dampaknya toh malah memperkuat ketimpangan dengan adanya pemusatan kekuasaan
komunitas dan menyuburkan ketimpangan properti. Sekali didirikan, pemerintahan-
pemerintahan langsung merintangi dinamika kreativitas dan spontanitas orang-orang :

Mereka ‘membebankan tangan mereka pada mekarnya masyarakat dan


menghentikan geraknya’. Mereka cenderung memelihara penyelewengan. Apapun
yang sekali waktu dipikirkan sebagai kebenaran dan kegunaan, mereka ambil-alih
untuk diwariskan kepada hanya generasi terujung. Mereka memutar balik
kecenderungan umum manusia dan bukannya mempertahankan kita untuk
menghasilkannya, mereka malah mengajari kita menatap ke belakang untuk

17 Godwin, Anarchist Writings, op.cit., hal. 89; Kropotkin, Anarchism and Anarchist Communism,
op.cit., hal. 9
18 Tucker, Instead of a Book, op.cit., hal. 21-3

11
kesempurnaan. Mereka mendorong kita mengupayakan kesejahteraan publik,
bukan dengan perubahan dan perbaikan, namun dengan malu-malu merujuk pada
keputusan-keputusan nenek moyang kita, seakan-akan sudah sifat akal manusia
untuk selalu meluruh dan tak pernah pada kemajuan19.

Individualis Stirner, pada sisi lain, memusatkan pada Negara sebagai penyebab
keburukan. “Setiap Negara adalah despotisme, jadilah satu despot atau banyak” 20. Satu
tujuan Negara adalah membatasi, mengawasi dan menundukkan individu.
Tidak semua anarkis sekukuh Godwin dan Stirner. Proudhon menandaskan
bahwa pemerintahan manusia oleh manusia adalah perbudakan. Tetapi ia secara
paradoks mendefinisikan anarki sebagai absennya penguasa atau kedaulatan
sebagaimana serupa “bentuk pemerintahan”. Pada karya masa senjanya tentang
federalisme, ia bahkan menimbang peran positif Negara sebagai “penggerak utama dan
pengarah keseluruhan” dalam masyarakat21. Meskipun begitu ia menegaskan bahwa
“pemerintahan anarkis” adalah istilah yang kontradiktif dan ia juga yang menggoreskan
kritik paling tajam yang pernah dibuat tentang pemerintah dan birokrasi :

Diperintah adalah diawasi, diperiksa, dimata-matai, diarahkan, diatur, ditata,


dikekang, diindoktrinasi, diceramahi, dikendalikan, dinilai, diuji, disensor, disuruh;
semuanya dilakukan oleh makhluk-makhluk yang tidak punya hak, yang tidak
punya kebijaksanaan pun kebajikan … Diperintah berarti bahwa dalam setiap
gerakan, operasi atau transaksi, seseorang dicatat, didaftar, dimasukkan dalam
sensus, dikenai pajak, dicap, diberi harga, dinilai, dipaten, diberi lisensi, diberi
kewenangan, dinasehati, diperingatkan, dihalang-halangi, direformasi, diatur,
dikoreksi. Pemerintahan diadakan dengan tujuan memungut pajak, melatih,
menebus, mengeksploitasi, memonopoli, memeras, menindas, membuat bingung,
merampok; semuanya atas nama keperluan publik dan kebaikan umum. Sehingga
ketika pertama kali ada tanda perlawanan atau kata keluhan, seseorang akan
ditekan, didenda, dipandang rendah, disakiti, dikejar-kejar, dipaksa, disiksa,
dicekik, dipenjarakan, ditembak, dijadikan sasaran senjata mesin, diadili, dijatuhi
hukuman, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati, dan sebagai penutupnya,

19 Godwin, Anarchist Writings, op.cit., hal. 90


20 Max Stirner, The Ego & Its Own, terj. Steven T. Byington (1907), dalam Anarchist Reader,
op.cit., hal. 240
21 Proudhon, Selected Writings, op.cit., hal. 89, 110

1
orang itu akan diejek, dihina, disiksa dan dipermalukan. Itulah pemerintahan, itulah
keadilan dan moralitasnya!22

Retorika terbaik Bakunin dilontarkan dalam tema mengutuk Negara yang memberangus
kehidupan spontan masyarakat. Namun ia juga tidak selalu konsisten. Dalam First
International Bakunin dan pendukungnya memakai istilah „melahirkan kembali
Negara“, „Negara baru dan revolusioner“ atau malah „Negara sosialis“ untuk soal yang
maksudnya „kolektif sosial“. Namun sadar akan ambiguitas, pemaknaan yang samar,
yang bisa dieksploitasi oleh kalangan sosialis otoriter dan Marxist, mereka lantas
mengajukan federasi atau soliderisasi komune-komune sebagai konsep yang lebih
akurat dari apa yang mereka kehendaki akan menggantikan Negara. Dalam pidatonya di
Kongres Basel pada 1869, Bakunin tampil menegaskan diri bahwa ia memilih
kolektivisasi kesejahteraan sosial, yaitu „mengambil alih seluruh dari apa yang sekarang
dikangkangi para pemilik, dengan menghapus Negara yudisial dan politik sebagai
pemberi sanksi dan penjamin tunggal properti selama ini“. Adapun bentuk organisasi
dari gagasannya, ia lebih menyukai berupa soliderisasi komune-komune karena
soliderisasi berarti „pengorganisasi masyarakat sedari bawah ke atas“23.
Pencampuradukkan konsep pemerintah dan Negara yang kerap terjadi di
kalangan anarkis, paling jelas terjadi pada Malatesta. Dalam pamfletnya, Anarchy
(1891), ia memaknai Negara sebagai :

Jumlah total dari lembaga-lembaga politik, legislatif, judisial, militer dan finansial,
dengan itu semua mereka mengelola urusan-urusan mereka, mengawasi perilaku
personal mereka, bertanggungjawab bagi keamanan personal, yakni semua yang
mereka rampas dari rakyat dan dialihkan kepada yang lain yang, melalui
kedudukan atau pendelegasian, dikuasakan pada kekuatan yang membuat hukum-
hukum bagi segala hal dan dibebankan ke setiap orang serta mewajibkan orang-
orang mematuhi mereka, jika perlu, dengan menggunakan paksaan kolektif.

Namun ia menambahkan bahwa dalam pengertian ini kata Negara berarti juga
pemerintah atau dinyatakan secara lain, hal ini adalah „ekspresi abstrak dan non-
personal dari segala urusan negara itu yang dipersonifikasikan oleh pemerintah“.

22 Proudhon, General Idea of the Revolution in the Nineteenh Century (1851), dikutip dari Guĕrin,
Anarchism, op.cit., hal. 15-16
23 Bakunin, ibid., hal. 61

1
Mengingat kata Negara sering digunakan untuk menjelaskan kolektif manusia tertentu
yang berhimpun di kawasan tertentu dan juga untuk memaknai badan administrasi
utama dari sebuah negeri, Malatesta memilih mengganti ekspresi „menghapus Negara“
dengan „istilah yang lebih jelas dan lebih konkrit yaitu menghapuskan pemerintah“24.
Sementara Kropotkin menimbang tentang menghapus keduanya, pemerintah dan
Negara. Ia memaknai anarkisme sebagai „Tanpa sistem pemerintahan sosialisme“ dan
sebagai „prinsip atau teori kehidupan dan perilaku di mana masyarakat berjalan tanpa
pemerintah“25. Dalam karyanya berjudul The State (1897), Kropotkin membedakan
antara Negara dan pemerintah. Ia menimbang bahwa tidak semua pemerintahan buruk
dengan mengajukan contoh baik kota-kota abad pertengahan dengan lembaga-lembaga
pemerintahannya, lengkap dengan majelis-majelis, hakim-hakim terpilih dan kekuatan
militer yang berada di bawah kewenangan otoritas sipil. Namun manakala
Negaramuncul, ia tidak hanya menyertakan kehadiran kekuasaan yang berada di atas
masyarakat dalam bentuk pemerintah, namun juga “konsentrasi teritorial dan
konsentrasi dari banyak atau bahkan seluruh fungsi-fungsi masyarakat di tangan
kalangan yang sedikit”. Ini membawa akibat relasi-relasi baru antar anggota masyarakat
yang tidak pernah ada sebelumnya pembentukan Negara. Hal ini menjadi misi historis
bagi Negara untuk “mempertahankan asosiasi langsung ke tengah manusia,
membelenggu perkembangan inisiatif-inisiatif lokal dan individu, memberangus
kemerdekaan-kemerdekaan yang ada, untuk mempertahankan keberadaan baru Negara
– kesemuanya ini dengan tujuan menundukkan kumpulan yang banyak di bawah
kehendak minoritas”26.
Pada abad lalu kritik anarkis terhadap Negara telah sedemikian berkembang.
Gustav Landauer menyiratkan bahwa „Negara adalah kondisi, relasi tertentu antar
manusia, modus perilaku; kita menghancurkan itu dengan mengembangkan relasi yang
lain melalui perilaku yang berbeda“. Hanya ketika orang-orang membuat keterhubungan
yang ada antar mereka menjadi ikatan dalam komunitas organik, maka demikian pulalah
tatanan legal Negara dibikin absolut27.
Lebih kemudian, Murray Bookchin menegaskan dengan cermat bahwa Negara
bukanlah semata konstelasi lembaga-lembaga koersif dan birokratis, melainkan juga
24 Malatesta, Anarchy (Freedom Press, 1974), hal. 13-14
25 Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets, editor Roger N. Baldwin (1927), cetak ulang (New York:
Benjamin Blom, 1968), hal. 46, 284
26 Kropotkin, The State, op.cit., hal. 10, 52
27 Gustav Landauer, dikutip dari Martin Buber, Paths in Utopia (Boston: Beacon Press, 1958), hal.
46

1
cara berpikir „dari mentalitas yang ditanamkan bagi realitas yang mau dimapankan“. Di
dalam demokrasi-demokrasi liberal abad ini, kapasitas Negara berupa kekuatan yang
kasar telah dibatasi, namun ia berlanjut memiliki pengaruh psikologis yang amat kuat
dengan menciptakan pesona dan ketidakberdayaan pada subyek-subyek tindasannya.
Bahkan telah menjadi sangat sulit untuk menandai batas-batas. Garis antara Negara dan
masyarakat telah sangat kabur sehingga kini „Negara adalah cangkokan (hibridisasi)
institusi politik dengan institusi sosial yang amat memaksa beserta fungsi-fungsi
distributifnya, dengan bawaan yang sangat suka menghukum beserta aturan-aturan
proseduralnya dan akhirnya dengan kelas sosial beserta kebutuhan administratifnya“28.

Demokrasi Liberal
Adalah pada isu Negara pandangan anarkis bersilangan dengan pandangan liberal dan
sosialis. Kalangan liberal berpandangan bahwa Negara adalah tatanan legal wajib yang
dibutuhkan guna melindungi hak-hak dan kemerdekaan sipil, tatanan yang dibutuhkan
untuk mengurusi persengketaan dan konflik dalam masyarakat dengan perekonomian
yang bebas. Sebagaimana ditulis oleh pemikir liberal L.T. Hobhouse :

Fungsi koersi Negara adalah untuk mengatasi koersi individual dan, tentu
saja, koersi dijalani oleh setiap asosiasi individu-individu di dalam Negara.
Hanya dengan alat inilah Negara mempertahankan kemerdekaan ekspresi,
keamanan orang per orang berikut propertinya, kontrak kebebasan sejati,
hak pertemuan publik dan berorganisasi, dan akhirnya dengan kekuasaannya
menjaga tujuan-tujuan umum agar tak terpelintir oleh ketidakpatuhan
anggota-anggota individunya29.

Para anarkis menolak, di sisi lain, bahwa bahkan yang paling minimal pun dari Negara
„peronda malam“ yang diusung oleh kalangan libertarian modern toh bakal dikontrol
oleh yang kaya dan berkuasa, dan akan digunakan untuk membela kepentingan dan hak-
hak istimewa (privileges) mereka. Betapapun besar klaim-klaimnya untuk melindungi
hak-hak individu, pemerintahan akan senantiasa menjadi „instrumen di tangan kelas-
kelas berkuasa guna mempertahankan kuasa atas rakyat“ 30. Ketimbang menyediakan

28 Bookchin, Ecology of Freedom, op.cit., hal. 94, 124


29 L.T. Hobhouse, Liberalism (Williams & Norgate, n.d.), hal. 146-7
30 Kropotkin, Paroles d’un révolté (Paris: Marponet Flammarion, 1885), hal. 34

1
stabilitas yang sehat, ia cenderung menjaga perubahan positif; bukannya menumbuhkan
tatanan, ia malah menciptakan konflik; manakala ia mencoba memajukan daya-usaha, ia
malah menghancurkan inisiatif. Ia mengklaim mewujudkan keamanan, namun ia toh
melulu melahirkan kecemasan.
Kendati para anarkis merasa bahwa demokrasi perwakilan lebih condong pada
monarki, aristokrasi atau despotisme, mereka menimbang itu pada dasarnya lebih
sebagai yang menindas. Mereka menyangkal pilar kembar teori demokratik Negara –
representasi dan kekuasaan mayoritas. Pertama-tama, tak seorangpun benar-benar dapat
mewakili orang lain dan adalah mustahil untuk mendelegasikan kewenangan seseorang.
Kedua, mayoritas tak lagi punya hak mendikte minoritas, bahkan minoritas satu orang,
begitu juga minoritas terhadap mayoritas. Dengan memutuskan kebenaran melalui
pemungutan suara atau voting adalah, tulis Godwin, “penghinaan keji yang terbuka
terhadap nalar dan keadilan”31. Gagasan bahwa pemerintah dapat mengontrol individu
berikut propertinya semata karena ia mencerminkan kehendak mayoritas, dengan
demikian, adalah terang-terangan tidak adil.
Para anarkis juga menolak teori liberal tentang kontrak sosial yang amat
digemari oleh Hobbes, Locke dan Rousseau. Tak ada pemerintah, dalam pandangan
anarkis, dapat berkuasa atas setiap individu yang menolak kesadaran dan adalah absurd
mengharap seseorang menyerahkan kesadarannya secara individual kepada segenap
hukum. Individualis Amerika, Lysander Spooner, menguliti teori kontraktual Negara
dengan menganalisis konstitusi Amerika. Ia tak menemukan bukti seseorang pernah
membuat kontrak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan menegaskan bahwa
adalah absurd menilai praktek pemungutan suara atau membayar pajak sebagai bukti
dari kesadaran yang tak terucapkan. „Jelaslah,“ demikian disimpulkannya, „bahwa atas
prinsip-prinsip umum hukum dan nalar ... Konstitusi bukanlah kontrak; bahwa ia tak
mengikat seorang pun ... ia semata perampas dan bahwa setiap orang tidak hanya
memiliki hak, melainkan secara moral terikat, untuk memperlakukannya sebagaimana
adanya32.
Tidak semua anarkis berbagi pandangan yang sama soal kontrak di tengah
individu-individu ini. Godwin menolak segala bentuk kontrak mengingat semua itu
biasanya dihasilkan oleh ketololan masa lalu yang hendak memerintah kebijakan masa
depan. Jika sebuah tindakan benar, ia sebaiknya dilakukan; jika tidak, hindari. Maka tak

31 Godwin, Anarchist Writings, op.cit., hal. 114


32 Lysander Spooner, No Treason (1870), dikutip dari Miller, Anarchism, op.cit., hal. 37-8

1
perlu lagi kewajiban tambahan dari kontrak. Di sisi lain, Proudhon dan Kropotkin
melihat kontrak sebagai sebentuk kesepkatan sukarela untuk mengatur urusan-urusan
antar orang di dalam masyarakat anarkis tanpa Negara. Namun mengingat kontrak-
kontrak tertentu tidak secara legal berdaya-paksa dan tak memiliki sanksi, maka ia lebih
serupa deklarasi niat ketimbang kontrak-kontrak mengikat dalam pengertian
konvensional. Satu-satunya alasan mengapa orang-orang mematuhinya adalah alasan
pragmatis bahwa andaikata seseorang secra perilaku melanggar kontraknya, ia akan
segera menemui semakin sedikit orang bikin kesepakatan dengannya.
Beberapa anarkis memiliki sedikit gambaran tentang karakter demokrasi liberal
dan pemerintahan representatif. Ketika Proudhon dengan terang menjadi anggota
majelis Nasional selama Revolusi 1848, hal itu mengkonfirmasi apa yang telah lama ia
sangka : „Begitu saya menjejakkan kaki dalam parlementer Sinai, saya terbendung
untuk bersentuhan dengan massa. Takut pada rakyat adalah penyakit yang diderita oleh
semua yang berserah pada otoritas; rakyat, bagi mereka yang di dalam kekuasaan,
adalah musuh“33. Sejak itu ia mendeklarasikan „Kartu suara Universal adalah Kontra-
revolusi“ dan mendesakkan bahwa perjuangan seharusnya berada di arena ekonomi dan
bukan politik. Bakunin tidak pernah memasuki parlemen sebagai wakil atau bergabung
dengan partai politik. Sedari mula ia sangat menyadari bahwa „Seluruh organisasi
politik ditakdirkan untuk berakhir dalam negasi terhadap kebebasan“ 34. Meskipun
selama Perang Sipil Spanyol para anarkis berpartisipasi dalam jangka yang pendek
dalam pemerintahan republik guna melawan pemberontakan Franco, gerakan historis
anarkis secara konsisten memajukan abstain terhadap politik konvensional. Tak heran
slogan-slogan populernya adalah „Siapapun yang kau pilih, pemerintahlah yang selalu
menyambar“, atau „Jika voting merubah sesuatu, mereka akan membuatnya ilegal“.
Hasil perjuangan sosial pada dua abad terakhir, Negara modern liberal telah,
tentu saja, berkewajiban memenuhi kesejahteraan dan pendidikan bagi warganegaranya.
Beberapa anarkis seperti Nicolas Walter menyiratkan bahwa tidak semua lembaga
Negara sepenuhnya buruk mengingat mereka bisa memiliki fungsi yang berguna
manakala mereka mengatasi kegunaan otoritas oleh institusi-institusi lain dan manakala
mereka memajukan aktivitas-aktivitas sosial tertentu yang dikehendaki : „Alhasil kita

33 Proudhon, dikutip dari Anarchist Reader, op.cit., hal. 111


34 Bakunin, ibid., hal. 109

1
memiliki negara pembebasan dan negara kesejahteraan, negara yang bekerja untuk
kebebasan dan negara yang bekerja untuk kesetaraan“35.
Betapapun, peran prinsip Negara toh senantiasa untuk membatasi kebebasan dan
mempertahankan ketimpangan. Kendati ia boleh jadi berwajah elok, Negara
Kesejahteraan dapat menjadi membatasi dengan mengintensifkan genggamannya
terhadap kehidupan subjek-subjeknya melalui registrasi, regulasi dan supervisi. Ia
menciptakan birokrasi yang kasar dan melayu. Ia bisa, sebagaimana ditegaskan George
Woodcock, menjadi „semata perkakas yang mahir untuk menindas dan membusukkan
seperti halnya dengan lebih terang pada sistem totaliter“ 36. Ia secara ganjil gagal
membuat orang-orang bahagia dan dengan mengajukan keterjaminan palsu ia
membenamkan praktek berbantu-saling-menguntungkan (mutual-aid). Ia cenderung
menjadi mubazir dengan itdak mengarahkan sumberdaya kepada mereka yang paling
membutuhkan. Ketimbang membayar pajak kepada Negara yang kemudian
memutuskan siapa yang perlu bantuan, para anarkis lebih suka membantu secara
langsung mereka yang tak beruntung melalui tindakan-tindakan sukarela memberi atau
berperan-serta dalam organisasi-organisasi komunitas.
Argumen serupa menentang Negara liberal diterapkan terhadap Negara sosialis,
namun dengan kadar yang lebih. Para anarkis menolak klaim dari sosialis-demokratik
bahwa Negara adalah alat terbaik untuk mendistribusi-ulang kekayaan dan
memenuhkan kesejahteraan. Dalam prakteknya Negara sosialis cenderung membiakkan
total birokrasi yang membekukan kehidupan komunitas. Ia menciptakan elite baru
birokrat yang kerap mengadministrasi kepentingan mereka sendiri ketimbang
kepentingan mereka yang diniatkan untuk dilayani. Ia menumbuhkan ketergantungan
dan keseragaman melalui ancaman untuk menarik bantuannya atau melalui penghargaan
kepada mereka yang disukainya. Dengan membenam perserikatan sukarela dan praktek
mutual-aid, ia sebenarnya merubah masyarakat menjadi kerumunan yang kesepian yang
ditopang oleh pekerja sosial dan polisi. Hanya jika sosial-demokrat mengadopsi bentuk
libertarian dan terdesentralisasi dari sosialisme, maka para anarkis bisa bergabung
dengan perjalanan mereka dan menumbuhkan kepada mereka untuk mengadopsi
prinsip-prinsip federasi dan perserikatan sukarela.

35 Nicolas Walter, About Anarchism (Freedom Press, 1969), hal. 10


36 Woodcock, “Tradition and Revolution”, The Raven, II, 2 (1988), hal. 104

1
Negara Marxis
Selintasan, para anarkis dan Marxis tampak saling bersepakat. Keduanya mengkritik
Negara sebagai yang melindungi kepentingan orang-orang kaya yang teristimewakan.
Keduanya berbagi visi serupa tentang masyarakat bebas dan setara sebagai ideal
pamungkas. Namun, adalah dengan para Marxis-Leninis para anarkis memasuki
penolakan terbesar tentang peran Negara dalam masyarakat. Tema ini mengantar pada
pertikaian besar antara Marx dan Bakunin pada abad ke 19 yang pada gilirannya
mengarah pada kematian First International Working Men’s Association (Serikat Buruh
Internasional Pertama).
Dalam karyanya, The Origin of the Family, Private Property and the State
(1884), Engels, sepeti halnya Kropotkin, menegaskan bahwa Negara muncul
belakangan ini dalam sejarah manusia sebagai aparatus penguasa yang terpisah dari
masyarakat : “Maka Negara tidak hadir dalam segenap waktu yang panjang. Ada
masyarakat-masyarakat yang bertumbuh tanpanya, yang tanpa gagasan tentang negara
dan kuasa negara“. Ia hanya berkembang dengan terbaginya masyarakat menjadi kelas-
kelas dan menjadi mesin pemaksa untuk mempertahankan kekuasaan satu kelas
terhadap yang lain. Negara kapitalis mengajukan kebebasan hanya bagi mereka
memiliki properti dan penjajahan bagi sisanya – kaum pekerja dan petani. Engels
meyakini bahwa generasi tengah mendekati tahapan perkembangan produksi manakala
kelas-kelas dan Negara akan secara tak tertolak runtuh. Ketika masa itu datang

Masyarakat yang akan menata-ulang produksi di atas basis serikat bebas dan
setara para produsen, masyarakat akan menempatkan keseluruhan mesin
negara kepada miliknya kemudian : museum benda-benda antik
bersebelahan dengan roda-kayu dan kapak perak37.

Kendati Marx dan Engels memandang perlu bagi proletariat untuk mengambil-
alih Negara, untuk memberangus lawan-lawan mereka dan menata-ulang produksi,
mereka berdua menatap ke depan kepada masa manakala proletariat akan menghapus
supremasi Negara sebagaimana kelas dan masyarakat akan menjadi „sebuah
perserikatan di dalamnya perkembangan bebas dari masing-masing adalah kondisi

37 Engels, “The Origin of the Family, Private Property and the State”, Marx & Engels, Selected
Works (Lawrence & Wishart, 1968), hal. 589

1
untuk perkembangan bebas bagi semua“38. Adalah pendirian Engels, dalam karyanya
Anti-Dühring, bahwa campur tangan Negara menjadi meruyak dalam satu wilayah ke
wilayah lainnya sehingga pemerintahan orang per orang digusur oleh administrasi
benda-benda. Dalam prosesnya, „Negara tidak ‚dihapuskan’, ia akan raib dengan
sendirinya“39.
Meskipun demikian Engels tetap mendesakkan pada kebutuhan Negara dalam
periode transisi sosialisme sebelum masyarakat komunis dapat terbentuk. Sementara
Bakunin dan para anarkis mengklaim demokrasi langsung Komune Paris sebagai model
masyarakat bebas, Engels menegaskan,

Para anarkis menempatkannya dengan kacau. Mereka menyatakan bahwa


revolusi harus dimulai dengan meruntuhkan segenap organisasi politik
negara ... Namun dengan menghancurkan itu pada sebuah momen tertentu,
akan menghancurkan satu-satunya organisme, yang dengan alat itu kejayaan
proletariat dapat menegaskan penaklukan kekuasaan terbarunya, merebut
kapital milik lawan-lawannya dan menggulirkan revolusi ekonomi
masyarakat ...40

Lenin mengembangkan pandangan Marx dan Engels tentang Negara. Sebagai prinsip
umum ia menyatakan „kita Marxis menentang seluruh dan setiap jenis Negara“ 41.
Dalam pamfletnya, The State and Revolution, ditulis pada Agustus 1917 sesaat ketika
Bolshevik merebut kekuasaan, Lenin menampilkan “impian yang paling ideal, yang
semi-anarkis” dari revolusi proletarian, dengan menggambarkan bagaimana Negara bisa
mulai menghilang dengan segera setelah kemenangannya 42. Memanglah, Lenin
menimbang tema Negara sebagai yang paling penting dalam menjelang revolusi. Dalam
komentarnya terhadap pamflet Plekhanov, Anarchism and Socialism (1894), ia
mengkritik Plekhanov karena merancang pengabaian yang sepenuhnya terhadap “soal
paling mendesak, membakar dan secara politik merupakan tema paling mendasar dalam

38 Marx & Engels, The Communist Manifesto, editor A.J.P. Taylor (Harmondsworth: Penguin,
1967), hal. 105
39 Dikutip oleh Lenin, The State and Revolution (1917) (Peking, 1965), hal. 19
40 Engels, “On the Occasion of Karl Marx’s Death”, Anarchism and Anarcho-syndicalism:
Selected Writings by Marx, Engels & Lenin, editor N.Y. Kolpinsky (New York: International Publishers,
1972), hal. 171-3
41 Lenin, The Tasks of the Proletarian in our Revolution, dikutip dari Alexander Gray, The
Socialist Tradition, op.cit., hal. 469
42 Robert Conquest, Lenin (Fontana, 1972), hal. 85

2
perjuangan melawan anarkisme, yakni hubungan antara revolusi dengan negara dan
pertanyaan tentang negara pada umumnya!”43. Lebih jauh, membedakan diri dengan
Engels, ia meyakini bahwa pabrik adalah otoritas yang dibutuhkan dalam kemampuan
pengorganisasiannya, dengan mempertahankan bahwa di bawah komunisme tetaplah
memungkinkan bagi pabrik untuk mengoperasikan masyarakat modern terindustrialisasi
tanpa perlu pemaksaaan atau penyempitan spesialisasi.
Namun kalangan Marxis dan anarkis sangat menentang akan cara mewujudkan
tahapan kondisi yang dikehendaki tersebut. Marx menyarankan kebutuhan akan
„kediktatoran proletariat“ dalam periode transisional sosialis dan sejak itulah ide
tersebut menjadi bagian utama ortodoksi Marxis-Leninis. Betapapun demikian,
perbedaan antara anarkis dan Marxis lebih dari sekedar pertanyaan tentang taktik.
Perbedaannya juga melibatkan substansi teoritis. Pertikaian Marx dengan Bakunin
memang berdimensi historis yang penting, namun itu juga tersulut oleh pertimbangan-
pertimbangan teoritis. Marx menyerang Stirner dalam The German Ideology dan
Proudhon dalam The Poverty of Philosophy karena kegagalan mereka menyerap
materialisme dialektik. Di mana Marx berupaya membalikkan posisi Hegel dan
menyidik keutamaan ekonomi kapitalis terhadap Negara borjuis, para anarkis tetap
melihat Negara sebagai kekuatan yang menentukan ekonomi. Ketimbang menyadari
akan perlunya menunggu kondisi ekonomi untuk berkembang sebelum menghapuskan
Negara, mereka membidikkan keyakinan mereka pada kekuatan kreatif dari kehendak
revolusioner. Marx juga menentang penolakan para anarkis terhadap otoritas yang
dibebankan; ia sangat ingin merubah bentuk otoritas dalam sebuah masyarakat komunis,
namun sekaligus tidak berupaya menghapus prinsip otoritas. Ia berpikir bukan hanya
perlu merebut kekuasaan Negara guna mempertahankan revolusi, namun juga untuk
mengembangkan sejenis baru kontrol sosial akan kekuatan-kekuatan produksi.
Para anarkis dalam pandangan Marx gagal mengembangkan analisis kelas yang
koheren, apakah itu berposisi sebagai individualis seperti Stirner maupun dengan
mengadopsi pendekatan „borjuis kecil“ seperti Proudhon dalam mempertahankan soal
kaum petani, atau dengan cara keyakinan „oportunis“ dan „voluntarist“ seperti Bakunin
dalam soal energi-energi kreatif dari „rakyat“ dan „proletar kumuh“ yang tak
terdefinisikan. Tentu saja ada beberapa substansi dalam kritisisme ini. Tidak seperti para
Marxis, kalangan anarkis tidak memiliki basis kelas yang spesifik. Mereka mengenali
perbedaan kekuasaan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin, dan melibatkan
43 Lenin, The State and Revolution, op.cit., hal. 124

2
diri mereka dengan „orang-orang“, namun tidak dengan kelas tertentu yang punya peran
sejarah yang terberi dan unik. Proudhon mengawali kariernya terutama dengan menaruh
perhatian pada kaum tani untuk lantas berujung mengamati apa yang dia senangi yakni
soal kapasitas politik kelas pekerja. Bakunin terkadang menggunakan retorik „kelas
pekerja“ dan „proletariat“ namun ketika ia mempersiskan lagi siapa gerangan para
pekerja revolusioner itu, maka tiada lain adalah kaum proletar urban yang tak terdidik
dan kaum tani. Kendati ia merasa, seperti halnya Marx, bahwa para proletar akan
memimpin revolusi, ia menyimpang dari jalannya untuk menekankan potensi
revolusioner kaum tani. Tambahan lagi, ia menilai mereka yang terampas dan
termiskinkan akan bangkit lantaran mereka tak punya beban apa-apa selain rantai
mereka.
Di atas semua itu, Marx mengkritisi para anarkis yang hanya berjuang pada
hamparan ekonomi dan kultural saja dan gagal menangkap kebutuhan bagi kelas pekerja
untuk menaklukkan kekuasaan politik. Politik bahkan dalam bentuk parlementer bisa
menjadi progresif di mata Marx; ia bahkan terhibur dengan pandangan bahwa
memungkinkan untuk menggunakan kelengkapan politik dengan tujuan melintasi
politik konvensional. Dalam „Instruksi“-nya ketika Kongres Internasional di Jenewa ia
menantang para Proudhonis dengan menegaskan bahwa kelas pekerja dapat
memenangkan reformasi melalui „hukum-hukum umum yang diberdayakan oleh
kekuasaan negara“ dan „dalam memberdayakan hukum-hukum tertentu, kelas pekerja
tidak memperkuat kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya mereka merubah kekuasaan lalu
menggunakannya untuk menentang mereka, menusuk ke dalam cabang-cabang mereka
sendiri“44. Merujuk Bakunin, ia mendeklarasikan secara arogan : „para sialan ini bahkan
tidak mampu memahami bahwa setiap gerakan kelas, sebagaimana adanya, adalah
diperlukan dan senantiasa merupakan gerakan politik“45. Secara khusus ia mengutuk
Bakunin karena mempercayai bahwa „Kehendak, dan bukan kondisi ekonomi, itulah
fondasi revolusi sosial“46,
Dalam berurusan dengan Stirner, Proudhon dan Bakunin, Marx tentunya tampil
„dengan sisa-sisa daya tariknya, dengan sikapnya yang paling menindas dan dengan

44 Marx, “Instructions”, The First International and After, editor David Fernbach
(Harmondsworth: Penguin, 1974), hal. 89
45 Marx kepada Paul Lafargue, 19 April 1870, Marx, Engels & Lenin, Anarchism and Anarcho-
syndicalism, op.cit., hal. 46
46 Marx, “Conspectus of Bakunin’s Statism and Anarchy” dalam The First International and After,
op.cit., hal. 334

2
segala kecanggungannya“47. Ia tidak hanya mencerminkan kecenderungan otoriter
dalam pemikiran sosial dan politiknya, namun juga sifat otoriter bawaan
kepribadiannya. Lebih jauh, manuver anti-anarkisnya yang menjuruskan pada kematian
Internasional Pertama memperjelas bahwa masa depan Internasional di bawah kontrol
Marxis akan menjadi kaku dan monolitik, dan Marxisme itu sendiri akan mengeras
menjadi dogmatis yang tidak mengantarkan pada perbedaan pendapat.
Lenin, lebih dari siapa pun, amat berperan dalam proses ini. Ia mencungkil isu
anarkis utamanya tentang peran Negara dalam revolusi. Ia menegaskan bahwa para
anarkis salah bukan dalam hal kehendak untuk menghapus Negara, namun dalam
kehendak untuk menghapusnya dalam semalam. Lenin merasa adalah esensial untuk
„menghajar“ warisan mesin birokrasi militer Negara. Namun hal ini tidak berarti
melakukan yang sama sekalian dengan seluruh kekuasaan Negara, sebab ia diperlukan
oleh proletariat untuk digunakan selama kediktatoran periode transisi. Seperti halnya
Marx, Lenin meyakini „sentralisme demokratis“; oleh karena itulah maka perlu
memperkuat dan memusatkan kekuasaan Negara dengan tujuan untuk melawan
kekuatan-kekuatan kontra-revolusi dan „untuk memberangus perlawanan borjuis“48.
Lenin dituduh menipu dalam seruannya untuk menghilangkan Negara dalam
segera, sebelum ia merebut kekuasaan di Rusia49. Sudah pasti pula setelah Bolshevik
berkuasa pada Oktober 1917, ia membungkam kekuasaan Soviet-soviet dan mendirikan
struktur komando yang hierarkis dan tersentralisasi dengan Partai Komunis sebagai
„pelopor“. Dalam karyanya, „Left-Wing“ Communism, An Infantil Disorder (1920), ia
mengecam para revolusioner anarkis dan sosialis dengan menyebutkan mereka
„oportunis“ kekanak-kanakan dalam menghendaki penghapusan Negara segera seiring
fajar revolusi. Ia mengisahkan bagaimana Bolshevisme menjadi „dibajakan“ dalam
perjuangan mereka melawan „revolusionisme borjuis-kecil yang mengecap atau
meminjam sesuatu dari anarkisme” dan yang dengan gampangan meluncur ke ekstrim-
esktrim revolusioner namun „tak berkemampuan untuk gigih, pengorganisasian, disiplin
dan mantap-bersetia“. Malah ia menyatakan bahwa anarkisme „tak jarang merupakan
sejenis penghukuman dosa-dosa oportunis bagi gerakan kelas pekerja“. Ia mencemaskan
bahwa seksi-seksi tertentu dari Pekerja Industrial Dunia dan arus anarko-sindikalis di

47 Paul Thomas, Karl Marx and the Anarchist, (Routledge & Kegan Paul, 1980), hal 351
48 Lenin, The State and Revolution, op.cit., hal. 63, 71
49 Lihat Conquest, Lenin, op.cit., hal. 86

2
Rusia berlanjut mengidap „kesalahan-kesalahan Komunisme Sayap-Kiri“ karena
menjunjung sistem Soviet mereka50.
Betapapun, selain pemusatan dan penguatan Negara yang dilakukannya serta
penyingkiran oposisi dari kalangan anarkis, Lenin tetap ngotot meyakini bahwa
penghapusan Negara adalah tujuan akhir komunisme. Dalam sebuah kuliah tentang
Negara pada 1920, ia mendesakkan bahwa sementara perlu menempatkan mesin (atau
„gada“) Negara di tangan kelas yang digunakan untuk menggulingkan kekuasaan
modal, ia menatap ke masa manakala mereka „mesti mengalihkan mesin ini ke
tumpukan rongsokan. Kemudian kelak di sana tak lagi ada negara dan tak lagi ada
eksploitasi“51.
Apapun impian puncak Lenin, sandarannya pada kepeloporan Partai Komunis
untuk menyetir „Kediktatoran Proletariat“ pada gilirannya toh menjuruskan pada bukan
hanya kediktatoran Partai, melainkan juga kediktatoran satu orang – Stalin – di Uni
Soviet. Lebih jauh, dalam revolusi-revolusi utama Marxis-Leninis pada abad lalu di
Cina, Korea Utara, Vietnam dan Kuba, „sentralisme demokratis“ dalam prakteknya
menghasilkan Negara yang sangat hierarkis dan otoriter dibawah kontrol elite partai.
Ramalan peringatan dari Bakunin bahwa Negara „Pekerja“ akan menjurus ke „borjuis
merah“ baru, secara tragis terkonfirmasi. Negara-negara Komunis yang muncul abad
lalu semakin menunjukkan kecemasan para anarkis bahwa „Negara Rakyat“ atau
Pemerintahan Revolusioner“ bukan hanya meneguhkan tapi juga memperluas tirani.

Hukum
Para anarkis yang condong tergolong liberalis, memandang Negara utamanya sebagai
serikat legal dan menempatkan hukum sebagai modus bertindaknya 52. Negara dirancang
untuk mempertahankan setingkatan kewajiban tatanan legal. Badan-badan utamanya –
legislatif, judikatif dan eksekutif – bertanggungjawab untuk membuat, menafsirkan dan
memberdayakan hukum. Ringkas kata, hukum adalah aturan perilaku yang dibuat oleh
pemerintah dan diberlakukan oleh Negara.
Sementara bagi Tolstoy, dengan lugas ia menggambarkan hukum sebagai
„aturan-aturan yang dibuat oleh rakyat yang berada dibawah perintah alat kekerasan
terorganisir, karena mereka yang tak melaksanakan hukum -- dengan demikian berada

50 Lenin, ‘Left-Wing’ Communis, An Infantile Disorder (1920) (Peking, 1965), hal. 16-17, 94
51 Lenin, The State (1929) (Peking, 1965), hal. 24-5
52 Lihat Barker, Principles of Social and Political Theory, op.cit., hal. 227

2
dalam kategori sebagai mereka yang tak patuh -- adalah subjek untuk dihantam, untuk
dihilangkan kebebasannya, atau bahkan untuk dibunuh“53. Hukum membatasi
kebebasan kita dengan membuat kita melakukan atau menahan diri dari tindakan yang
sesuai harapan-harapan kita; hukum serupa pagar tinggi yang mengurung kita tetap
berada di jalur lurus dan terbatas. Metode yang diterapkan oleh Negara untuk
memberlakukan hukum-hukumnya adalah berupa pemaksaan : puncak kekuasaan
hukum merupakan kekuasaan koersif dari Negara. Sebagaimana Hobbes mengenalinya,
otoritas Leviathan pada ujungnya berdasarkan atas pedang –keserupaan modernnya
adalah pentungan polisi atau senjata tentara. Memanglah, seturut amatan Tolstoy,
karakteristik tampilan pemerintah tiada lain adalah „ia mengklaim hak moral untuk
memberlakukan hukuman-hukuman fisikal dan pada setingkatan tertentu menjadikan
pembunuhan sebagai tindakan baik“54. Mengingat mereka menolak Negara, maka tak
tertolak bahwa kalangan anarkis juga menolak ekspresi paling koersif dari Negara, yaitu
hukum; dalam kata-kata Jean Grave, „anarkisme memperlihatkan bahwa tidak ada
setitik pun hukum yang baik, tidak juga pemerintahan yang baik, pun tidak penerapan
terbaik dari hukum ... seluruh hukum manusia adalah arbitrer, senantiasa sementara“55.
Dari semua anarkis, Godwin adalah yang paling awal dan paling tajam
mengkritik hukum. Pertama-tama, ia menegaskan bahwa hukum buatan manusia
tidaklah diperlukan lantaran „hanya nalar abadi yang legislator sejati“. Manusia tak
mampu melakukan kelebihan yang lain kecuali menyatakan dan menafsirkan aturan-
aturan keadilan universal sebagaimana ditangkap oleh nalar. Kedua, kelemahan utama
hukum adalah statusnya sebagai aturan umum. Tidak pernah ada dua tindakan yang
sama dan toh hukum secara absurd berupaya mereduksi sejumlah besar tindakan
manusia ke dalam satu ukuran bersama dan cara hukum bekerja menyerupai ranjang
Procuruste dalam legenda Yunani yang memotong atau meregang siapa pun yang
berbaring di atasnya. Ketiga, hukum secara tak terhindarkan dibuat berdasarkan
kepentingan si pembuat hukum dan dengan demikian ia adalah „peringkasan-padat hasil
suap dari tiran superior yang telah membeli dukungan dan kerjasama dari yang
inferior“56. Di atas semua itu, sangat persis dengan pemerintah, hukum membakukan

53 Tolstoy, “The Slavery of our Times”, Anarchist Reader, op.cit., hal. 118
54 Tolstoy, “Patriotism and Government”, The Works of Leo Tolstoy, terj. Aylmer Maude (Henry
Frowde, 1904), XLVI, I, hal. 250
55 Jean Grave, L’Anarchie, son but, ses moyens (Paris: Stock, 1899) hal. 3. Untuk diskusi yang
lebih kemudian, lihat Thom Holterman & Henevan Maarsween, Law and Anarchism (Montréal: Black
Rose, 1984)
56 Godwin, Anarchist Writings, op.cit., hal. 94, 98

2
benak manusia dalam kondisi stagnan dan membekukan kemajuan tak terhentikan yang
merupakan panggilan alamiah.
Godwin meyakini bahwa hukuman atau sanksi – siksaan sukarela dari iblis
terhadap kejahatan – yang diancamkan atau dibebankan oleh hukum bukanlah cara yang
cocok untuk mengubah perilaku manusia. Mengingat manusia adalah produk dari
lingkungannya, mereka tidak bisa begitu saja dinilai bertanggungjawab atas apa yang
mereka lakukan : seorang pembunuh tidaklah lebih salah karena kejahatan yang ia
lakukan dibandingkan dengan belati yang ia genggam. Mengingat mereka berada dalam
genggaman kondisi di sekitarnya, mereka tidak memiliki kehendak bebas. Oleh sebab
itu tidak ada pembenaran bagi hukuman atau sanksi, apakah itu untuk tujuan hukuman
setimpal perbuatan, untuk contoh maupun untuk mengubah kelakuan. Seluruh hukuman
adalah „pengakuan tak terucapkan dari kebodohan“; bahkan ia lebih buruk ketimbang
kejahatan awal karena ia memanfaatkan kekerasan sementara dengan bujukan rasional
pun cukup bisa dilakukan. Pemaksaan tidak bisa meyakinkan atau menciptakan rasa
hormat; ia hanya bisa melukai akal sehat – membikin benak jadi masam – dan
mengasingkan orang yang dikenainya.
Bagi Godwin hukum, seperti halnya pemerintah, tidak hanya penuh noda
melainkan juga tidak diperlukan. Ajuan penyembuhan Godwin terhadap tindakan-
tindakan anti sosial adalah dengan mengurangi undangan bagi kejahatan dengan cara
mengikis penyebab-penyebabnya yang berada dalam pemerintah dan akumulasi
properti, serta dengan menumbuhkan orang-orang melalui pendidikan berpikir dalam
kerangka kebaikan umum ketimbang kepentingan pribadi. Mengingat keburukan pada
dasarnya adalah kekeliruan, maka pencerahan akan cukup membuat orang menjadi
bijak.
Godwin cukup realistis untuk menyadari bahwa bahkan dalam masyarakat bebas
pun boleh jadi dibutuhkan pembatasan sementara terhadap orang yang melakukan
kejahatan, namun mereka harus selalu diperlakukan secara ramah dan tetap berada
dalam lingkup komunitasnya sejauh yang memungkinkan. Ketimbang memasrahkan
kepada pengadilan dan pengacara profesional, persengketaan dapat diselesaikan melalui
juri-juri dari publik yang mempertimbangkan konteks situasi dari setiap kasus : „Tidak
ada kebajikan umum yang lebih terang daripada ini, ‚Setiap kasus merupakan aturan
bagi dirinya sendiri’“57. Tujuan dari semua itu harus senantiasa untuk mengurai konflik
ketimbang membagi-bagi kesalahan. Di sini, sebenarnyalah, Godwin meyakini
57 Ibid., hal. 79, 95

2
keperluan adanya juri adalah semata untuk memberikan rekomendasi ketimbang
memaksakan keputusan.keputusan. Menggantikan hukum, kekuatan opini publik akan
memadai untuk memeriksa perilaku anti-sosial. Dan sekali „aturan keadilan“ secara pas
dipahami oleh komunitas, maka hukum-hukum tidaklah diperlukan.
Setelah Godwin, adalah Kropotkin yang mengajukan kritisisme anarkis yang
paling meyakinkan terhadap hukum. Seluruh legislasi di dalam Negara, tegasnya,
selalulah dibuat demi kepentingan kelas-kelas yang teristimewakan. Kropotkin
menjejaki muasal hukum pertama-tama ada pada tahayul primitif dan kemudian pada
beragam tingkatan penaklukan atau penjajahan. Sejatinya, relasi manusia diatur oleh
kebiasaan dan adat, namun minoritas dominan menggunakan hukum untuk membuat
kebiasaan-kebiasaan itu tak bisa diubah demi keuntungan mereka. Alhasil hukum
diberlakukan „dibawah sanksi pendeta dan satuan-satuan prajurit diposisikan untuk
melayaninya“58.
Kropotkin membagi jutaan hukum yang ada untuk mengatur kemanusiaan
kedalam tiga kategori utama : proteksi properti, proteksi pemerintah dan proteksi
manusia. Yang pertama ditujukan bagi produk dari hasil kerja para buruh atau untuk
berurusan dengan sengketa antar para pemegang monopoli; sepanjang itu
mempertahankan penyesuaian yang timpang dari kerja manusia. Kedua, hukum
konstitusional, diniatkan untuk menjaga mesin administratif yang nyaris sepenuhnya
memproteksi kepentingan kelas-kelas yang menguasai sumberdaya. Ketiga, proteksi
manusia, adalah yang terpenting karena hukum-hukum tertentu dinilai harus ada untuk
menjamin keamanan masyarakat-masyarakat Eropa. Hukum-hukum ini berkembang
dari inti atau nukleus yang berasal dari kebiasaan yang dianggap bermanfaat bagi
komunitas-komunitas manusia, namun sejak himpunan aturan yang memproteksi
manusia itu diadopsi oleh penguasa guna menjamin dominasi mereka, himpunan aturan
menjadi sama tak berguna dan mencederai sebagaimana dua kategori hukum lainnya.
Kropotkin menegaskan bahwa dukungan utama terjadinya kejahatan adalah
kemubaziran, hukum dan otoritas. Namun mengingat kira-kira dua pertiga kejahatan-
kejahatan yang ada adalah kejahatan terhadap properti, „kejahatan tersebut akan
menghilang atau bisa dibatasi hingga jumlah yang sangat kecil andaikata properti yang
kini merupakan hak istimewa (privilege) sekelompok kecil dikembalikan kepada
sumber nyatanya – yakni komunitas“59. Bagi mereka orang-orang yang akan masih saja

58 Kropotkin, “Law and Authority”, Revolutionary Pamphlets, op.cit., hal. 205


59 Kropotkin, In Russian and French Prisons (1887), dalam Anarchist Reader, op.cit., hal. 363

2
anti-sosial dan dilumuri kejahatan, Kropotkin menandaskan bahwa sanksi atau hukuman
tidaklah cocok sebab keburukan sanksi tidak mengurangi jumlah kejahatan. Berbicara
berdasarkan pengalamannya sendiri di penjara-penjara Rusia dan Perancis, ia mengutuk
penjara yang telah membunuh energi fisik, melumatkan kehendak individu dan
menumbuhkan masyarakat yang memperlakukan orang-orang yang sehabis dipenjara
sebagai „sesuatu yang dijangkiti campak“60.
Adalah tak mungkin memperbaiki penjara. Semakin penjara-penjara
direformasi, semakin ia dibenci : penjara-penjara modern jauh lebih buruk ketimbang
ruang-ruang penyekapan di bawah tanah di Abad Pertengahan. Obat terbaik untuk
kecenderungan anti-sosial berada pada simpati manusia. Kropotkin menyimpulkan :

Orang-orang tanpa organisasi politik dan oleh sebab itu kerusakan-moral


mereka tidak separah diri kita, memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa
orang yang disebut ‘kriminal’ adalah semata tak beruntung; bahwa ajuannya
bukanlah dengan mencambuk dia, merantai dia, atau membunuh dia di
panggung hukuman mati atau di penjara, tetapi dengan menolong dia
dengan perawatan persaudaraan yang paling penuh, dengan perlakuan yang
berdasarkan kesetaraan, itulah tiada lain kebiasaan-kebiasaan kehidupan di
kalangan manusia-manusia lurus hati61.

Para anarkis mengandaikan bahwa akan ada harmoni yang lebih besar dari kepentingan-
kepentingan antar individu yang hidup di sebuah masyarakat tanpa pemerintah, hukum
dan ketimpangan properti. Namun bukan berarti mereka berpikir bahwa setiap orang
akan mendadak begitu saja berperilaku dalam polah yang langsung bertanggungjawab
dan juga bukan berarti tidak ada lagi sengketa dan konflik. Guna menggantikan hukum
yang memaksa, Godwin dan Kropotkin menyarankan pengaruh opini publik dan kritik
yang saling menguntungkan (mutual censure) guna mengubah perilaku. Tentu saja ada
kemungkinan tirani opini publik yang serupa penindasan hukum. Namun sembari
mengajukan kritik sebagai bentuk kontrol sosial, Godwin dan Kropotkin juga
menegaskan bahwa orang-orang seharusnyalah memutuskan bagi diri mereka sendiri
bagaimana mereka sebaiknya berperilaku.

60 Ibid., hal. 124


61 Kropotkin, “Law and Authority”, dalam Anarchist Reader, op.cit., hal. 116. Lihat juga C. Cahm,
“Kropotkin and Law”, Anarchism and Law, op.cit., hal. 119-40

2
Kembali di sini, di masyarakat di mana individu-individu anti-sosial dinilai sakit
dan membutuhkan obat, manipulasi psikologis bisa lebih memaksa dan lebih tiran
ketimbang pemenjaraan. Penggunaan psikiatri untuk mengubah pembangkang telah
menjadi amat dikenal karena buruknya dalam masyarakat-masyarakat otoriter. Kata
Stirner dengan lugas : “Kelengkapan kuratif atau penyembuhan adalah semata-mata sisi
lain sekeping matauang yang sama dari sanksi atau penghukuman, teori pengobatan
berjalan secara bergandengan dengan teori sanksi atau penghukuman; jika yang
belakangan melihatnya sebagai tindakan terhadap dosa yang melawan kebenaran, yang
pertama menempatkannya untuk dosa dari seseorang yang melawan dirinya, sebagai
sesuatu yang dekaden dari ukuran kesehatan dirinya”62 .
Dengan perhatian mereka pada otonomi personal dan kebebasan individu, para
anarkis – lebih daripada para sosialis – paham benar betapa tidak manusiawinya baik itu
penghukuman fisikal maupun pengobatan manipulatif terhadap kelakuan anti-sosial dari
anggota-anggota komunitas. Para anarkis berupaya menata argumen yang bernalar dan
menggali perawatan yang bersahabat untuk berurusan dengan kriminal serta berharap
tetap menghormati kemanusiaan dan individualitas mereka.

Negara-bangsa
Negra-bangsa telah menjadi norma modern keorganisasian politik dan objek utama
kesetiaan warganegara. Negara ditimbang sebagai penjaga identitas bangsa dan
masyarakat-masyarakat terkolonisasi yang lantas berhasil merdeka dari jajahan itu,
secara beragam, berjuang untuk menata Negara-bangsa milik mereka sendiri. Toh masih
banyak bangsa-bangsa bertebaran tanpa memiliki Negara dan banyak Negara terdiri atas
beberapa bangsa. Dengan begitu, Bangsa dan Negara tidaklah sama. Tidak juga mereka
mesti saling menginginkan. Sedari awal, para anarkis mempertanyakan legitimasi
Negara-bangsa dan dengan keras menolak bentukan mereka63. Meskipun demikian para
anarkis tidak mengabaikan dorongan emosional yang kuat dari nasionalisme dan
patriotisme. Sebagian mereka, sebutlah itu Proudhon dan Bakunin, terjun berkiprah ke
dalam medan itu.
Sebagaimana kaum Stoik kuno, para anarkis senantiasa berpandangan
kosmopolitan dan internasionalis, dan menimbang diri mereka sebagai „warga dunia“.

62 Stirner, The Ego and Its Own, op.cit., hal. 91


63 Simak Geoffrey Ostergaard, “Resisting the Nation-State: the Pacifist and Anarchist Traditions”,
The Nation-State: The Formation of Modern Politics, editor Leonard Tivey (Oxford: Martin Robertson,
1981), hal. 171-95

2
Secara umum mereka mendukung perjuangan kemerdekaan nasional sebagai bagian
dari perjuangan yang lebih luas demi kebebasan, namun mereka menentang aspirasi-
aspirasi kenegaraan (statist) dan kesetiaan eksklusif dari para nasionalis. Mereka secara
khusus tertentu mengkritisi patriotisme yang membuat kalangan yang diperintah
melebur-hilangkan diri mereka di bawah penguasanya dan menjadi bubuk mesiu yang
patuh bagi penguasanya. Mereka juga paham betul bahwa rivalitas antar berbagai
Negara-bangsa merupakan salah satu penyebab utama terjadinya peperangan.
Godwin sangat mengkritik Rousseau dan lainnya yang menyulut orang-orang
untuk mencintai negeri mereka dan untuk „meleburkan eksistensi personal individu-
individu ke dalam eksistensi komunitas“ seakan ini bicara tentang mahluk yang abstrak.
Kecintaan pada negeri kita adalah „salah satu dari ilusi-ilusi yang seakan-akan benar,
yang dimanfaatkan oleh para penipu dengan tujuan untuk memainkan sejumlah besar
instrumen-instrumen buta dalam kerangka rekayasa tipu-tipu mereka“. Hal ini membuat
kita menilai apa pun yang diperuntukkan bagi negeri adalah demi „yang paling kekasih
dari diri kita“. Lebih jauh lagi, patriotisme menjuruskan pada „semangat kebencian dan
segala yang tak bermurah hati terhadap negeri-negeri lain di sekitar kita“. Dalam
menggusur patriotisme sempit ini, Godwin mengajarkan kebaikan universal : kita
seharusnya menolong mereka yang paling membutuhkan dan berharga, yang
mempertimbangkan pertautan personal. Kita seharusnya bertindak dalam keterlibatan
yang adil dan tidak ditelan oleh ikatan keluarga, suku, negeri atau ras. Dan mengingat
gagasan-gagasan tentang imperium besar dan kesatuan legislatif adalah terang-terangan
„merupakan jejak-jejak barbar zaman heroisme militer“, maka Godwin membidikkan
visinya pada masyarakat yang terdesentralisasi yang berupa unit-unit umat yang
federatif guna menggantikan Negara-bangsa64.
Seperti Godwin, Tolstoy juga mengutuk keras patriotisme.Dalam pandangannya
patriotisme secara tak terhindarkan berhubungan dengan pemerintah. Dengan
mendukung pemerintah dan menyulut perang, maka ia nyatakan bahwa patriotisme
sebagai „perasaan yang kasar, tercela, jahat dan buruk, dan lebih dari semua itu ia
amoral“ sebab ia mempengaruhi manusia untuk memandang dirinya sebagai „putra-
putri tanah air dan budak dari pemerintahnya, ia membuat manusia melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan nalar dan kesadarannya“65. Tolstoy merasa bahwa
jika orang-orang dapat memahami bahwa mereka bukan putra-putri dari tanah air dan

64 Godwin, Anarchist Writings, op.cit., hal. 107, 164


65 Tolstoy, “Patriotism and Government”, op.cit., hal. 252

3
tidak juga dari pemerintah, melainkan kanak-kanak Tuhan, maka mereka tak akan
menjadi budak serta tidak juga akan saling bermusuhan.
Tidak semua anarkis mengutuk patriotisme sebulat Godwin dan Tolstoy.
Proudhon tak diragukan lagi seorang nasionalis Perancis. Seiring menua umurnya, ia
tidak saja merayakan tradisi revolusioner Perancis namun juga ia merayakan rakyat
Perancis beserta warisan-warisan mereka. Ia ditandai juga anti kaum Yahudi. Meskipun
begitu ia menandaskan bahwa jawaban untuk mengakhiri persaingan antar bangsa dan
untuk menghapus imperium hanyalah federalisme. Sebagaimana Rousseau ia menilai
bahwa semakin besar sehimpunan bangsa dalam teritori maupun populasi, kian besar
juga bahaya menjadi tirani. Karenanya ia mengharuskan proses dekolonisasi,
sebagaimana dijalani Amerika Serikat dan Kanada yang lepas dari Inggris dan
memperkirakan suatu masa manakala Aljazair menyatakan dirinya sebagai „Perancis-
Afrika“66.
Sementara Bakunin tampil sebagai nasionalis sebelum menjadi anarkis. Ia
cenderung berpegang pada prasangka-prasangka nasionalis, merayakan cinta-kebebasan
dan spontanitas orang-orang Slavia dan mengutuk Jerman yang militeristik. Ia berpikir
Marx orang yang sepenuhnya otoriter sebagian lantaran Marx adalah orang Jerman dan
Yahudi. Betapapun demikian, dukungan awal Bakunin terhadap nasionalisme Polandia
dan Panslavianisme didorong oleh kehendak untuk bebas dari kekaisaran Rusia dan
untuk membebaskan orang-orang terjajah. Ia mengekspresikan „simpati mendalam bagi
setiap kebangkitan nasional yang menentang setiap bentuk penindasan“ dan menyatakan
bahwa setiap warga memiliki „hak untuk menjadi dirinya dan tak seorang-lain pun
berhak memaksakan seragam, kebiasaan, bahasa, opini atau hukum bagi dirinya“67.
Sementara Bakunin meyakini nasionalisme merupakan „fakta alamiah“ dan
bahwa setiap bangsa memiliki hak tak terbantahkan untuk bebas berkembang, ia tidak
berpikir bahwa nasionalisme bisa diterima sebagai prinsip politik yang legitimate
karena nasionalisme cenderung eksklusif dan bolong sebagai „kekuatan pendorong
universalitas“68. Dalam analisis mendalam terhadap patriotisme, ia membedakannya ke
dalam tiga jenis. Pertama, jenis „alamiah yang instingtif, mekanis, sesuatu yang melekat
tanpa kritisisme sebagai warisan yang secara sosial dapat diterima atau dalam pola
kehidupan tradisional“. Namun dalam hal ia merupakan ekspresi solidaritas sosial,

66 Proudhon, dikutip dari Guérin, Anarchism, op.cit., hal. 68


67 Bakunin, ibid.
68 Bakunin, dikutip dari Socialism and Nationalism, editor E.Cahm & V.C. Fisera (Nottingham:
Spokesman, 1978), hal. 42

3
patriotisme hadir dalam rasio yang berkebalikan dengan evolusi kemanusiaan. Kedua, ia
„borjuis“ yang bertujuan mempertahankan kekuasaan Negara-bangsa, yakni „tempat
utama berlabuhnya seluruh posisi istimewa (privileges) dari para penghisap di sekujur
tubuh bangsa“. Dan ketiga, ia „proletarian“, satu-satuya bentuk yang benar-benar bisa
diterima dari patriotisme yang tidak terikat keberbedaan nasional dan batas-batas
Negara serta lebih memeluk dunia69.
Bakunin oleh sebab itu menatap kepada „perserikatan luas persaudaraan umat
manusia“ dan melebarkan prinsip federalisme ke arah dunia sebagai keseluruhan-utuh.
Untuk transisi menuju federasi segenap bangsa-bangsa, ia menyerukan Kesatuan Eropa
Serikat sebagai satu-satunya jalan agar perang sipil antar berbagai warga-warga di
„keluarga Eropa“ menjadi mustahil. „Kesatuan Serikat“ dalam benaknya bagaimanapun
tidak boleh menjadi federasi yang tersentralisasi, birokratis dan militeristik, namun
terorganisir dari bawah ke atas dengan negara-negara anggotanya berhak untuk
memisahkan diri. Internasionalisme sejati, tandasnya, berpijak pada penentuan diri
sendiri : „setiap individu, setiap asosiasi, komune atau pedesaan, setiap wilayah dan
bangsa, memiliki hak absolut untuk menentukan takdir dirinya sendiri, untuk
bekerjasama dengan yang lain atau pun tidak, untuk bersekutu dengan apa pun yang ia
kehendaki, atau mundur dari setiap aliansi, tanpa harus menimbang apa yang dikenal
sebagai klaim-klaim historis atau semata menyenangkan tetangganya“ 70. Hanya dengan
jalan inilah bangsa-bangsa akan bisa menghentikan produk-produk penaklukan dan
distorsi historis dan gegografis. Dalam jangka panjang Bakunin meyakini bahwa
persoalan-persoalan nasional menjadi sekunder di hadapan revolusi sosial dan revolusi
sosial harus menjadi revolusi dunia.
Rudolf Rocker menyajikan pengkutukan yang tajam terhadap Negara-bangsa
dalam studi menyeluruhnya, Nationalism and Culture (1937). Di mata Rocker, bangsa
bukanlah muasal melainkan produk dari Negara : „Adalah negara yang menciptakan
bangsa dan bukan bangsa mencipta negara“. Bangsa dengan demikian tak bisa hadir
tanpa Negara. Namun ia tidak mengabaikan peran emosi lokal terhadap kebudayaan dan
daratan. Ia membedakan antara orang-orang, warga atau rakyat, yang merupakan „hasil
alamiah dari persatuan sosial, sebuah asosiasi mutual“ yang dihantarkan oleh kesamaan
bahasa dan kondisi-kondisi khusus kehidupannya, dan bangsa yang merupakan

69 The Political Philosophy of Bakunin: Scientific Anarchism, editor G.P. Maximoff (New York:
Free Press, 1953), Bag. Dua, bab x-xi
70 Bakunin, dikutip dari Guérin, Anarchism, op.cit., hal. 6-7

3
„perjuangan artifisial demi kekuasaan politik“71. Warga senantiasa terdiri atas komunitas
dengan batas-batas yang kecil, sementara bangsa kerap merangkum keseluruhan sebaran
berbagai warga yang dengan sedikit-banyak cara kekerasan ditekan ke dalam satu
kerangka negara bersama. Oleh sebab itu ia mengutuk nasionalisme karena berupaya
menciptakan batasan-batasan artifisial dan melukai persatuan organik komunitas.
Gustav Landauer, yang amat diilhami oleh Proudhon, melakukan upaya menarik
untuk mengkombinasikan nasionalisme dengan anarkisme. Sebagaimana Rocker, ia
mengkontraskan antara „Komunitas“ yang berhadapan dengan „Negara“; warga dalam
masyarakat kenegaraan (statist) tidak akan menemukan dirinya sendiri dalam
kebersamaan seabagaimana layaknya organisme dalam komunitas sejati. Komunitas,
betapapun ia hadir berseiring dan di luar Negara, namun ia masih belum disadari
sepenuhnya. Oleh karena itu, komunitas bebas bukanlah pendiri sesuatu yang baru
melainkan „ia aktualisasi dan rekonstitusi, pembentukan kembali, dari sesuatu yang
sebenarnya senantiasa ada, yang hadir seiring negara, apakah ia selama ini terkuburkan
atau terbiarkan percuma“72. Maka merupakan keperluan untuk mengembangkan
komunitas ini, yang terbentuk dari persatuan orang-orang dan keluarga-keluarga
menjadi beragam komunitas dan komunitas menjadi asosiasi-asosiasi.
„Panggilan-kebangsaan“ warga, menurut Landauer, adalah sesuatu yang tetap
ada manakala „panggilan-Negara“ telah tergantikan. Panggilan-kebangsaan dibangun
oleh kedekatan segenap warga yang bergandengan tangan dalam cara hidup mereka,
bahasa, tradisi dan memori akan takdir bersama dan mereka bekerja untuk kehidupan
komunal yang sebenarnya. Lebih lanjutnya, „hanya dengan kelahiran kembali segenap
warga melalui semangat komunitas regional yang bisa membawakan penyelamatan“ 73.
Namun kendati Landauer hendak menyegarkan kembali tradisi-tradisi komunal tua dan
menggusur Negara, visinya tidaklah sempit. Tampaknya apa yang merupakan tampilan
esensial dalam konsep „warga“ dari Rocker, bisa ditemukan dalam konsep „bangsa“
Landauer. Bangsa bagi Landauer bukanlah keseluruhan yang artifisial melainkan justru
ia adalah komunitas dari sekumpulan komunitas. Individu tidaklah mesti
mengindentifikasikan diri hanya terhadap bangsanya, namun melihatnya sebagai satu
lingkar di dalam lingkaran kemanusiaan yang lebih luas.

71 Rudolf Rocker, Nationalism and Culture, op.cit., hal. 200-1


72 Gustav Landauer, dikutip dari Ward, Anarchy in Action, op.cit., hal. 11
73 Landauer, dikutip oleh Buber, Paths in Utopia, op.cit., hal. 49

3
Alhasil, para anarkis telah merangkai kritik yang paling konsisten dan tajam
terhadap negara, apakah itu tampil dalam bentuk liberal, sosial-demokratis atau Marxis.
Manakala Negara sepertinya berniat menekan ketimpangan dan penindasan, para
anarkis menegaskan bahwa itu hanyalah untuk membikin kedua hal tersebut kian
menjadi-jadi. Pemerintah dan hukum sebagai medium bagi negara untuk membebankan
kehendaknya, sungguh tidak diperlukan dan berbahaya. Pada saat yang sama,
kepercayaan akan tatanan alamiah mengantarkan para anarkis meyakini bahwa
masyarakat akan berkembang tanpa dibebani otoritas dan koersi eksternal. Kewargaan
akan tumbuh subur ketika semakin sedikit yang campur tangan; tanpa Negara, mereka
akan mampu mengembangkan inisiatif, membentuk kesepakatan sukarela dan
menerapkan saling berbantu-menguntungkan. Mereka akan mampu menjadi sepenuhnya
mewujudkan individu-individu, membaurkan pola-pola ko-operasi masa silam dengan
panggilan individualitas modern. Kritik para anarkis terhadap Negara tidak hanya
mempertanyakan banyak asumsi fundamental dari filsafat politik, melainkan juga
menantang praanggapan-praanggapan otoritarian dari peradaban Barat.

Anda mungkin juga menyukai