Anda di halaman 1dari 55

39

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

22. Umum

Poso merupakan daerah konflik yang ditandai oleh perselisihan


awal pada tahun 1992 dan 1995 yang mulai membawa isu agama, namun
belum sampai berbuntut panjang karena mampu diredam oleh aparat saat
itu. Aparat di masa Orde Baru yang memang kita ketahui sangat handal
dalam melaksanakan tugasnya, dimana keamanan dan ketertiban dapat
dijamin oleh aparat. Sedangkan 1998 keatas lebih tertuju pada pertikaian
massal antar dua komunitas agama yang berbeda yang dilatarbelakangi
banyak faktor. Pertikaian massal ini yang terjadi dalam lima fase dan
melibatkan massa dalam jumlah yang besar. Harus diakui bahwa solusi
konflik belum sepenuhnya berhasil, terbukti masih terdapat benturan di
sana sini yang bersifat horisontal. Justru setelah munculnya kesepakatan
Malino terdapat fenomena yang sangat meresahkan yaitu merebaknya isu
terorisme. Pada bahasan ini peneliti karena keterbatasan waktu, hanya
akan memfokuskan diri pada era 1998 keatas.
Sedangkan berdasarkan sumber yang penulis dapatkan dari
media internet bahwa hingga pada bulan Maret 2013, isu terorisme yakni
pengejaran terhadap pelaku terror oleh aparat masih terjadi di Kota Poso,
hal ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang terjadi di
Kota Poso yang kini mulai berkembang ke arah terorisme.
Masing-masing era ataupun fase permasalahan memiliki akar yang
berbeda pula, namun memiliki akibat yang relatif sama yakni menjadikan
Poso sebagai wilayah yang mencekam hingga saat ini. Bila dianalisis lebih
lanjut, pusat massa yang terlibat konflik massal sebelum Deklarasi Malino
terbagi menjadi dua, yakni massa berbasis Islam yang berada di Poso
Kota, dan massa berbasis Kristen di Kota Tentena, Ibukota kecamatan
Pamona Utara.
40

23. Akar Permasalahan Lama Sebelum Deklarasi Malino


Konflik yang terjadi pada era pertama lebih mengarah pada konflik
horisontal. Konflik horisontal sendiri adalah konflik yang terjadi antar
individu atau kelompok yang sederajat. Dalam konfik massal ini, menurut
analisis yang dikemukakan Dr.Thamrin Tamagola, ia melihat faktor-faktor
penyebab konflik Poso sebagai piramida bertingkat tiga
Yaitu tingkat dasar, tingkat tengah, dan puncak piramida.26
26 Pada tingkat dasar terdapat dua transfomasi yang mengubah Poso
secara mendasar, pada tingkat tengah terdapat faktor kesukuan,
keagamaan yang dibalut dengan faktor politik. Kemudian pada piramida
puncak terdapat faktor penyulut konflik yang lebih mengarah pada
strereotip ataupun labeling sosial.
Menyelami lebih dalam pada piramida tersebut, pada tingkat
dasar, transformasi yang mengubah wajah Poso yang pertama adalah
transformasi demografi, pada era Orba, dimana kebijakan transmigrasi
telah membuka jalan bagi para pendatang baik yang beragama Islam
maupun Kristen, dari proporsi tersebut, agama Islam mendominasi,
sehingga kaum Kristiani merasa semakin terjepit. Para pendatang
kemudian mengembangkan tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti
kakao dan kelapa (kopra). Pengembangan tanaman itu lantas
menghasilkan peningkatan kesejahteraan pemiliknya. Meski penduduk
asli mengikuti pola tanam tersebut, namun pemasaran hasil-hasil
perkebunan dikuasai para pendatang. Karena keadaan sosial ekonominya
tidak sebaik para pendatang, akibatnya penduduk asli merasa dirugikan.
Daerah Poso dihuni oleh masyarakat asli dan pendatang. Suku Toraja di
Poso yang terbagi dalam 3 kelompok besar yakni Toraja Koro, Toraja Palu
dan Toraja Sa’dan adalah penduduk asli Sulawesi Tengah. Tinggal pula
suku To Bungku, To Mori, dan Togean.

26
Karnavian, M.Tito dalam Thamrin Tamagola. 2008. Indonesian Top Secret
Membongkar Konflik Poso. Jakarta: Gramedia, hal. 72
39

Sedangkan para pendatang yang datang ke Poso berasal dari suku


Bugis, Gorontalo, Toraja, Minahasa, Jawa, Bali, suku-suku dari Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Tionghoa dan Arab. Suku-
suku itu umumnya memasuki Poso, baik melalui migrasi secara mandiri,
juga melalui program-program transmigrasi yang dilakukan oleh
pemerintah.
Kedua, masalah transformasi ekonomi. Lagi-lagi
bersinggungan dengan masalah demografi, masyarakat Islam pendatang
membawa pola perekonomian baru yakni perdagangan ketimbang
pertanian yang telah lama dibudayakan oleh kaum Kristen di Poso.
Akhirnya masyarakat Kristen merasa tertinggal dalam bidang
perekonomian, perlahan-lahan menimbulkan pandangan negatif terhadap
kedatangan umat Islam.
Selain itu krisis ekonomi telah menciptakan kemiskinan,
pengangguran, kelas pariah, ketidakadilan, pengungungsian, korupsi, dan
kesenjangan sosial maupun ekonomi. Sementara itu, kebijakan publik pro
kelas bawah tidak juga kunjung datang meski genderang demokratisasi
telah dikumandangkan di berbagai tempat. Politik desentralisasi yang
digulirkan pemerintah transisi sejak pemerintahan B.J. Habibie belum juga
menjawab krisis yang ada. Yang terjadi justru otoritarianisme dan korupsi
merajalela di daerah. Munculnya “raja-raja kecil” di daerah membuat
demokratisasi menjadi tersendat-sendat. Bahkan, lebih jauh lagi telah
bergulir pemekaran daerah-daerah baru berbasis etnis dan agama ulah
sekelompok elit lokal dalam upayanya untuk bertahan dan mencari
keuntungan di tengah peluang politik otonomi. Demikian itu telah
menanamkan bom waktu konflik politik komunal tersendiri di masa yang
akan datang.27
Pada tingkat tengah, yakni tingkat dimana tempat peralihan dari
tingkat dasar dan puncak piramida, terdapat faktor ketegangan antar umat
Islam dan Kristen yang membawa mereka naik ke jenjang panggung

27
Trijono, Lambang dkk. 2004. Potret Retak Nusantara. CSPS Books: Jogjakarta, hal. 1.
40

politik. Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso pada 1998


adalah karena pertikaian dua pemuda namun sebenarnya terdapat
muatan politik berkaitan dengan pemilihan Bupati pada 1998, ketika
mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa
kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi
partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara
politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya
muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan
dengan kebijakan politisi partai. Karena kebetulan para politisi yang ingin
berkuasa dan yang menginginkan perubahan berbeda agama, maka
masing-masing kandidat menggalang dukungan dengan mengeksploitasi
sentimen agama. Upaya sistematis pun dilakukan oleh elite politik lokal
untuk menggunakan identitas agama demi mengkotak-kotakkan
masyarakat Poso. Karena itulah konflik yang terjadi lantas bertopeng suku
dan agama.
Sedangkan pada tingkat atas terdapat insiden-insiden yang
menjadi faktor pemicu (trigger) yang membuat konflik semakin memanas
antara kedua komunitas. Yakni insiden-insiden yang makin membuat
konflik tak kunjung usai, seperti pembunuhan umat Islam oleh Fabianus
TIbo, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan sebagainya.
Situasi ini ditambah dengan faktor-faktor ekstern yang memicu
konflik semakin parah antara pihak yang bertikai di Poso. Yakni elemen
keamanan dan birokrasi yang semrawut dan kurang bersinergi, sehingga
hal-hal yang menjadi pemicu pun tak mampu ditangani dengan baik. Lebih
lanjut Tamagola menguraikan penyebab konflik pada saat itu adalah:28 (1)
elite nasional sedang sibuk dengan pertarungan politik di Jakarta; (2)
pemerintahan Habibie maupun Gusdur tak memiliki genggaman yang kuat
atas aparat hukum dan keamanan; (3) militer masih sedikit belum nyaman
atas kondisi pasca reformasi; (4) disiplin yang sangat rendah dikalangan
aparat keamanan, korupsi yang menjalar pada aparat hukum;(5) faksi

28
Ibid, hal. 373.
41

tertentu dalam aparat keamanan serta pemerintah daerah setempat yang


mengambil keuntungan dari konflik horisontal tersebut; (6) masih
bergeliatnya para provokator dalam memicu kerusuhan Poso.
Ditambah lagi dengan ketidakharmonisan antar aparat telah
membuat konflik Poso terus berangkai. Apakah agama menjadi faktor
utama? sepertinya bukan, lantas mengapa agama menjadi hal yang paling
disorot? Padahal agama masih lebih mencerminkan identitas kepercayaan
orang per orang terhadap Tuhannya ketimbang eksklusifisme dari suatu
komunitas agama.29
Meskipun pendapat diatas berbeda dengan kenyataan di lapangan,
yakni dengan adanya pemahaman yang salah terhadap pengertian jihad.
Sejak runtuhnya WTC di New York pada 2001, sentiment terhadap agama
terutama terhadap Islam semakin merebak, Islam diidentikkan dengan
teroris oleh dunia barat. Hal ini tidaklah benar. Konflik Poso pun juga
begitu, faktor agama hanyalah menjadi pemicu dan penyemarak konflik,
bukan faktor utama.
Berkaca kembali pada konflik Poso, memang telah ada Deklarasi
Malino yang telah mampu meredakan konflik. Namun, kesepakatan
tersebut belumlah mampu meredam semua akar masalah yang menjadi
penyebab konflik.

24. Analisis Konflik Fase Pertama Hingga Kelima

Konflik terbuka yang terjadi pada fase pertama hingga kelima lebih
mengarah kepada konflik massal dan destruktif, artinya saling
menghancurkan dan melibatkan banyak pihak. Yang perlu dipahami disini,
bahwa di Poso tercipta suatu kondisi yang sangat mencekam antara
kedua komunitas, yang dulu saudara pun, karena memang berbeda
agama, pada masa-masa tersebut jadi berjauhan. Meski aparat sudah
datang mengamankan, karena keterbatasan, upaya untuk benar-benar

29
Soetrino, Loekman. 2003. Konflik Sosial. Yogyakarta. Tajidu Press Timur, hal. 37.
42

membuat kondisi tercipta damai sangatlah sulit sebelum Deklarasi Malino.


Semua karena memang kondisinya mencekam, bahkan menurut informan
yang penulis ambil keterangannya, bahwa kegiatan ekonomi di saat itu
pun seperti ada sebuah DMZ (De-Militarised Zone) layaknya pada Perang
Korea. Suatu batas yang memisahkan antara wilayah yang dikuasai
Kristen ataupun Islam, di daerah tersebut terjadi aktivitas jual-beli,
perdagangan yang terbatas dan dijaga ketat aparat. Bisa dibayangkan
betapa mencekamnya kondisi tersebut. Meskipun konflik yang
berlangsung bersifat menyeluruh pada warga Poso, tentunya ada
kelompok-kelompok yang digunakan sebagai laskar perjuangan masing-
masing kelompok agama. Hal ini senada dengan keterangan yang
diberikan oleh informan, yakni komunitas Islam diantaranya adalah:
Jundullah, Laskar Jihad, Majelis Dzikir, Jamaah Tabligh. Sedangkan
Kristen memiliki kelompok kelelawar, macan, kupu-kupu, dan Crisis
Center.

Dihadapkan pada teori penyebab konflik pada bab kedua,


penyebab konflik dari fase pertama hingga kelima yang telah disinggung
pada Bab II dapat dianalisis sebagai berikut :
Teori Hubungan Masyarakat, terjadinya ketidakpercayaan antara
umat Islam maupun Kristen, terjadi permusuhan antara kedua golongan
masyarakat tersebut. Sehingga menyebabkan konflik terjadi berlarut-larut,
ditambah tidak maksimalnya peran aparat keamanan sebagai penetralisir
suasana.
Teori Kebutuhan Manusia, disini dapat dijelaskan, bahwa manusia
memiliki sifat dasar saling membutuhkan, antara lain adalah kebutuhan
fisik dan mental, dalam konflik massal ini, umat Islam dan Kristen, tidak
seluruhnya berkonflik, namun hanya diatasnamakan oleh beberapa
kelompok pemuda sebagai provokator, yang dapat diartikan mengenakan
topeng agama karena adanya sentimen atau provokasi dari pihak yang
tidak bertanggungjawab, contohnya pada konflik fase pertama dan kedua
43

yang disebabkan oleh hal sama yakni perkelahian antara dua pemuda
yang berbeda agama. Mereka ini yang pada akhirnya membawa
persoalan kepada kelompok pemuda masing-masing, kemudian karena
pemuda masih memiliki tingkat emosi yang amat tinggi, jelas memerlukan
suatu pengakuan bahwa salah satu dari mereka adalah yang terkuat dan
patut disegani, dalam memperebutkan pengakuan tersebut, maka mereka
saling menyerang. Meskipun disisi lain adanya perasaan ingin membela
keyakinan/agama masing-masing akan menjadi motif tersendiri.
Teori Identitas, dimana pihak yang bertikai, timbul perasaan
terancam atau tidak diakuinya identitas orang atau sekelompok orang,
berkaca pada pembahasan bagian sebelumnya, bahwa masyarakat
Kristen di Poso Kota di masa lalu yang identitasnya semakin terdesak
akibat kedatangan para pendatang yang mayoritas beragama Islam, hal
ini menimbulkan perasaan terancam yang terus dipendam, hingga
menyebabkan suatu pola pikir yang negatif terhadap umat Islam, oleh
karena itu suatu perkelahian kecil antara pemuda berbeda beragama
pada bulan Ramadan 1998 pada fase pertama mampu menjadi pemicu
konflik yang sangat ampuh bagi timbulnya konflik lanjutan, karena
pemikiran melakukan permusuhan telah lama dipendam oleh provokator
yang pandai membua suatu opini kelompok tertentu, dari kedua belah
pihak beragama. Contoh lain pada konflik massal kedua adalah
penunjukan para pejabat daerah yang masih saja mempertimbangkan
agama sebagai penentu pengisi jabatan yang ada, yang secara mudah
akan dipolitisir oleh pihak yang menginginkan keuntungan dibalik
kericuhan bertopeng faktor agama. Arief Patanga sebagai tersangka
kasus fase kedua adalah calon bupati yang menggunakan selebaran-
selebaran berisi sentimen agama agar masyarakat membedakan dirinya
dengan lawan politiknya Yahya Parino yang memang berbeda agama
dengannya. Hal ini akan membuka luka-luka akan konflik yang telah lalu.
Teori Kesalahpahaman Antar Budaya, kurangnya komunikasi
karena telah berlarutnya kekerasan antar agama di Poso semakin
44

memperparah keadaan, meski sudah berkali-kali diadakan pertemuan


pada tingkat Muspida dengan mempertermukan tokoh masing-masing
agama, namun, karena pada tingkat akar rumput juga tak pernah
melakukan komunikasi serupa, maka komando dan perintah penghentian
kekerasan tak pernah dapat diterjemahkan dengan baik dan benar.
Teori Transformasi Konflik, teori ini dapat penulis kemukakan
adalah teori yang dapat menggambarkan semua permasalahan penyebab
konflik Poso fase pertama hingga keempat, faktor ekonomi, sosial politik,
dan budaya bertransformasi menjadi konflik yang berkepanjangan dimana
perkelahian antar kelompok pada fase pertama hingga kelima hanyalah
sebagai pemicu konflik, berkembang dari perkelahian antar individu,
politisasi pemilihan pejabat daerah, identitas umat Kristen yang terancam
baik dalam perekonomian maupun kehidupan sosial, yang akhirnya
bertransformasi menjadi suatu pertentangan besar-besaran berkedok
agama, Islam vs Kristen. Konflik personal bertransformasi menjadi konflik
interpersonal.

25. Permasalahan Baru Pasca Deklarasi Malino

Deklarasi Malino yang disepakati dan ditandatangani oleh kedua


komunitas yang bertikai bak oase di padang gurun. Dengan cara
kompromi mencoba menyelesaikan konflik yang telah lama berlangsung.
Deklarasi Malino mengagendakan kesepakatan yang tidak ringan untuk
diimplementasikan. Tentunya kita tahu bahwa konflik yang sudah lama
terjadi akan membekas di benak pikiran masyarakat yang terkena dampak
konflik ini. Hal ini membuat banyak hal baru pasca konflik massal tahun
1998-2001. Dan diantaranya telah menjadi bibit baru babak berikutnya
pada konflik yang lebih mengerikan, karena penyelesaiannya yang tak
kunjung tuntas hingga saat ini. Dimana-mana terjadi teror bom,
penculikan, mutilasi, pembunuhan, hingga penembakan misterius.
Hingga akhirnya digelar Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di
Poso. Operasi yang pertama dengan sandi Operasi Sintuwu Maroso pada
45

Desember 2001. Pada 17 Juni 2002, setelah dilakukan monitoring,


analisis dan evaluasi (monev), diputuskan Opslihkam Sintuwu Maroso
tetap dilanjutkan selama tiga bulan dengan operasi kemandirian wilayah,
mulai 1 Juli hingga 30 September 2002 dengan sandi Sintuwu Maroso-1.
Sesuai Deklarasi Malino, pemulihan keamanan dengan operasi terpusat
tersebut semestinya berakhir 30 Juni 2002. Namun dalam perjalanannya
operasi tersebut terus diperpanjang hingga 7 kali pada tahun 2005 tanpa
evaluasi yang menyeluruh atas operasi sebelumnya. Kedua, Komando
Operasi Pemulihan Keamanan Poso atau Koospkam (Januari - Juni 2006
berdasarkan Inpres No 14/2005) dan yang ketiga adalah Operasi Lanto
Dago.30
Meski diperpanjang beberapa kali, operasi tersebut tidak mampu
mengurangi angka kekerasan yang terjadi di Poso. Berikut beberapa
rangkaian kejadian pasca Deklarasi Malino pada Desember 200131;
Penyerangan Beteleme pada 9 Oktober 2003, yakni penyerangan pada
komunitas Kristen pada pukul 12.30 WITA, pelakunya berhasil dibekuk
oleh polisi beberapa minggu setelah kejadian; Penyerangan Desa Saatu,
Pinadepa, Pantangolemba pada 12 Oktober 2003; Bom rakitan meledak
di Kecamatan Poso Pesisir pada 14 Oktober 2003, sedangkan pada 19
November 2003, pos penjagaan aparat di Kecamatan Poso Pesisir
diserang kelompok tak dikenal.
Memasuki tahun 2004, keamanan masih belum dapat dikendalikan,
terdapat penembakan misterius pada 27 Maret 2004, pada 30 Maret 2004
terjadi kembali aksi penembakan misterius terhadap Dekan FH
Universitas Sintuwu Maroso Poso, Rosye Pilongo SH.MH di kampusnya.
Pada 21 April 2004 ditemukan dua puluh satu bom rakitan tersebar
di tiga kecamatan di Poso. Pada 13 November 2004, Pasar Sentral

30
http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2006/04/29/972/Lanto-Dago-Datangkan-
Personel-Tambahan-ke-Poso diakses pada tanggal 20 Februari 2013 pukul19.00
31 Karnavian.Op.cit, hal. 373.
46

diguncang bom, menewaskan enam korban jiwa. Masih pada 2004, pada
bulan Desember merembetlah kasus kekerasan hingga ke Kota Palu.
Di tahun 2005, aksi-aksi kekerasan terus meningkat. Diantaranya
adalah perampokan terhadap karyawan Pemda Poso, mutilasi terhadap
tiga sisiwi SMU Kristen Poso serta peledakan bom pada 31 Desember
2005 di jalan Sulawesi Palu pukul 07.30 WITA yang menewaskan delapan
orang tewas. Namun, tidak berakhir disitu, rangkaian bom juga terus
meledak sepanjang tahun 2006.
Pada triwulan I tahun 2006, ada tiga kasus penembakan dan dua
kasus peledakan bom, sedangkan pada bulan Oktober 2006 ada 15 kasus
bom meledak di Poso. Bahkan setelah eksekusi mati atas tersangka
konflik Fabianus Tibo dilakukan, banyak terjadi pembunuhan dan
pengeroyokan di Poso.
Rangkaian aksi teror tersebut sebagai imbas dari tidak tuntasnya
penyelesaian konflik Poso di masa lalu yang nantinya penulis bahas di
bagian berikutnya.

26. Akar Permasalahan Baru Pasca Deklarasi Malino

Pelacakan perilaku kekerasan penyebab konflik di Indonesia bisa


dilacak melalui teori akar kekerasan oleh Rule.32 Rule memilih akar
kekerasan konflik menjadi dua yaitu kekerasan sebagai kalkulasi rasional
dan kekerasan irasional. Dalam segi kalkulasi rasional, kekerasan
memang digunakan oleh beberapa pihak untuk mencapai tujuannya,
seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, ada yg
memanfaatkan konflik ini demi kepentingan politik mereka, yakni
memperoleh kekuasaan. Dengan kalkulasi irasional, adalah tercabutnya
perilaku dalam tatanan yang normatif sering terjadi dalam kondisi atau

32
Susan,Novri dalam Rule.2012.Negara Gagal Mengelola Konflik. Jakarta:Sleman.hal. 22
47

situasi kerumunan, yang memungkinkan situasi semakin memanas karena


para individu yang ada bertindak irasional dan menuruti kemauan “liar
mereka” karena lahirnya mentalitas kerumunan (crowd mentality). Dalam
konflik Poso pasca Deklarasi Malino yang lebih tertutup sifatnya, yakni
pembuat chaos muncul secara tiba-tiba dan membuat kekacauan dalam
kerumunan yang membuat situasi tak terkendali, kemudian mereka ini
menghilang dalam sekejap. Sesungguhnya akar dari permasalahan Poso
pasca Deklarasi Malino tak jauh dari dampak dari konflik massal sebelum
Deklarasi Malino. Bisa dikategorikan bahwa konflik Poso pasca Deklarasi
Malino lebih mengarah pada radikalisme dan terorisme. Meminjam
pengamatan para ahli, Marc Seagman dalam bukunya Understanding
Teror Networks serta Louis Richardson dalam mempelajari Al Qaeda
secara mendalam, serta beberapa kelompok teroris lainnya, membagi
teori tentang terjadinya kekerasan atau terorisme menjadi tiga yaitu:
elemen tuntutan/permasalahan perseorangan, tuntutan kolektif yang
membuat individu secara kolektif memiliki tanggungjawab atas
komunitasnya, serta pandangan ideologi atau politik untuk membenarkan
penggunaan kekerasan dalam mencapai tuntutan tersebut. Dalam konteks
Poso, elemen tuntutan perseorangan antara lain adalah dendam, trauma
psikologi, kesulitan ekonomi, hak keperdataan, serta keputusasaan.33

a. Dendam
Rasa dendam menyelimuti warga muslim Poso yang
menjadi korban konflik, misalnya korban dibunuh, rumah dibakar,
kebun dijarah, dsb. Hal ini menjadi suatu motivasi tersendiri bagi
komunitas muslim yang akan membalas tindakan pada warga
Nasrani karena kehilangan harta maupun keluarga karena
pembantaian.
b. Trauma Psikologi

33
Karnavian,Loc.cit.
48

Keluarga korban yang mengalami pembantaian, terutama


masyarakat ataupun komunitas Islam, mengalami trauma
psikologis yang membuat mereka tega untuk melakukan
pembalasan terhadap komunitas Nasrani.
c. Kesulitan ekonomi
Pasca konflik massal, sektor ekonomi di Poso Kota yang
menjadi basis komunitas Islam menjadi runtuh. Membuat lajur
pertumbuhan ekonomi semakin melambat dan sulitnya lapangan
kerja serta meningkatnya pengangguran. Para pemuda akhirnya
yang menganggur ini membuat mereka putus asa dan melakukan
tindakan yang mengarah pada destruksi.
d. Hak Keperdataan
Sebelum konflik, kedua komunitas memiliki tanah/kebun
yang menyebar, Nasrani memiliki daerah Islam, begitu pula
sebaliknya. Setelah konflik, masing-masing pihak takut untuk
kembali ke wilayahnya masing-masing. Sehingga, tanah yang
ditinggalkan tersebut terpaksa diambil oleh pihak lain, karena
ternyata pemilik yang sah tidak mampu memberikan bukti
kepemilikan lahan akibat hilang atau rusak akibat konflik yang
berkepanjangan.
e. Keputusasaan
Banyak janda dan anak-anak korban konflik, maupun orang
yang telah kehilangan sanak saudaranya mengalami keputusasaan
dalam menjalani hidup..
Elemen kedua adalah tuntutan kolektif berupa kemarahan publik
yang terjadi akibat warga Muslim merasa didzalimi oleh warga Nasrani
dalam pembantaian komunitas Islam di Kilo Sembilan dan Dusun Buyung
Katedo dengan menewaskan empat belas korban jiwa. Sedangkan
elemen ketiga adalah adanya pandangan yang melegalkan para radikalis
untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Pandangan ini dibawa dari luar
Poso oleh kelompok Islam radikal. Adapun menurut informan, kelompok
49

ini tidak hanya berasal dari luar negeri, namun juga para provokator eks
konflik Ambon beberapa waktu sebelumnya, yang mencari lahan baru
untuk berjihad di Poso. Dan mereka ini bergabung dengan kelompok
ekstrimis lokal. Hal-hal diatas adalah dampak dari konflik massal sebelum
Deklarasi Malino yang sekaligus menjadi akar permasalahan pasca
Deklarasi Malino. Namun pada babak baru nanti, lebih mengarah pada
radikalisme serta terorisme.

27. Radikalisme dan Terorisme Membayangi Poso

Seperti telah dikemukakan pada bahasan sebelumnya, pasca


Deklarasi Malino, konflik telah jauh berkembang menjadi terorisme,
dimana para pengacau kemanan beraksi dengan sporadis, dalam artian
mereka bertindak pada saat-saat tertentu, kemudian menghilang dengan
cepat, tidak ada lagi front terbuka disini. Lantas apa itu radikalisme dan
terorisme? Meminjam kamus Webster 1913, radikalisme adalah kualitas
atau pernyataan atau prinsip atau doktrin politik atau perubahan sosial
yang mengakar. Radikalisme juga diartikan sebagai orientasi politik
kelompok yang menghendaki perubahan pemerintahan dan masyarakat
secara revolusioner.34 Sedangkan menurut Wikipedia yang mengutip
pendapat teori milik US Federal Bureau of Investigation (FBI), terorisme
adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang
atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan
elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.35
Lantas bagaimana sepak terjang kedua ideologi ini dalam
meramaikan konflik di Poso? Akar permasalahan yang telah disebutkan
dalam bagian sebelumnya masih ikut andil dalam proses terjadinya
radikalisme dan terorisme di Poso. Ketidakpuasan komunitas muslim atas
proses hukum terhadap tersangka pembantaian pada konflik sebelum
Deklarasi Malino, membuat kemarahan publik. Disisi lain juga

34 Zen, Fathurin.2012. Radikalisme Retoris. Jakarta: Bumen Pustaka Emas, hal 1.


35 http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme. Diakses pada 2 April 2013 pukul 17.30
50

menimbulkan ketidakpercayaan terhadap otoritas negara. Hal ini sangat


berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kondisi diatas dengan mudahnya dimanfaatkan oleh empat
kelompok yakni Al Jamaah Al Islamiyah, NII, Kompak, dan Jundullah
untuk membawa ideologi radikalisme dan praktik terorisme ke dalam
Poso. JI (Jama’ah Islamiyah) membentuk Kelompok Tanah Runtuh, disisi
lain Kompak dan Jundullah bekerja sama menjadi satu, sedangkan NII
membawa ideologi yang memang telah lama dimiliki oleh organisasi Darul
Islam di Indonesia. Di Poso dengan mudahnya mereka masuk, karena
kondisi memang mendukung sedemikian rupa, kelompok-kelompok
tersebut dianggap sebagai perkuatan barisan Muslim Poso dalam
membalas dendam pada warga Nasrani, yang telah dianggap mendzalimi
umat Islam. Proses rekrutmen pun berjalan dengan menggunakan dua
metode utama yakni pertama dakwah jihad, kemudian melakukan latihan-
latihan militer terbatas dengan materi fisik, persenjataan, taktik perang,
serta dengan pembuatan bahan-bahan peledak.
Sedangkan menurut laporan Hendropriyono mantan Kepala BIN
pada 2001 pernah menyatakan adanya keterlibatan asing di Poso.36
Hendropriyono mengatakan bahwa pada bulan Desember 2001 ia
diberitahu oleh Spanyol bahwa di Desa Kapompa Tojo ada camp
pelatihan militer. Pada antara 2000-2001 muncul orang asing di Poso
yakni Umar Bandon, Abu Dahdah, dan Umar Farouq yang berangkat dari
Madrid, Spanyol menuju Indonesia melalui Bali dengan pemandu orang
Indonesia bernama Parlindungan Siregar. BIN menengarai bahwa mereka
akan melakukan training di Poso. Parlindungan Siregar sendiri menurut
BIN memiliki hubungan dengan Al Qaeda di Spanyol dan pernah ke Poso
pada 2000. Bahkan dokumen di pengadilan Spanyol mengatakan bahwa
Parlindungan Siregar adalah pemimpin salah satu camp di Indonesia
untuk kepentingan Bin Laden. Sedangkan Omar Bandon sendiri nantinya
terlibat pada penyerangan Desa Beteleme yang sudah penulis bahas

36
Karnavian.Op.cit, hal. 194.
51

pada bagian sebelumnya. Informasi intelijen yang lain menyebutkan


bahwa seorang beernama Agus Dwikarna juga memiliki hubungan dengan
Al-Qaeda di Eropa. Dimana Agus Dwikarna juga adalah pemimpin Laskar
Jundullah di Poso.
Laporan ini senada dengan temuan International Crisis Group
dimana sejak pertengahan tahun 2000, JI (Jama’ah Islamiyah) telah mulai
mengirim ustadz-ustadz dan instruktur militer, kebanyakan dari mereka
pernah berlatih di Mindanao, untuk membantu pihak Muslim. Sebuah
perjanjian damai pada bulan Desember 2001 telah menghentikan konflik
antar agama disitu, tapi serangan-serangan oleh kelompok ekstrimis,
sebagian besar oleh kelompok lokal yang terkait dengan JI (Jama’ah
Islamiyah) dan KOMPAK, terus berlanjut. Kelompok JI (Jama’ah
Islamiyah) berbasis di wilayah Tanah Runtuh, sementara KOMPAK tak
jauh dari situ, di wilayah Kayamanya.37
Sehingga, sebenarnya, pasca Deklarasi Malino, konflik belum
benar-benar usai, bahkan telah memasuki babak baru antara lain:
Penyerangan Beteleme pada 9 Oktober 2003, yakni penyerangan pada
komunitas Kristen pada pukul 12.30 WITA; Penyerangan Desa Saatu,
Pinadepa, Pantangolemba pada 12 Oktober 2003; Bom rakitan meledak
di Kecamatan Poso Pesisir pada 14 Oktober 2003, sedangkan pada 19
November 2003, pos penjagaan aparat di Kecamatan Poso Pesisir
diserang kelompok tak dikenal.
Memasuki tahun 2004, keamanan masih belum dapat dikendalikan,
terdapat penembakan misterius pada 27 Maret 2004, pada 30 Maret 2004
terjadi kembali aksi penembakan misterius terhadap Dekan FH
Universitas Sintuwu Maroso Poso, Rosye Pilongo SH.MH di kampusnya.
Pada 21 April 2004 ditemukan dua puluh satu bom rakitan tersebar di tiga
kecamatan di Poso. Pada 13 November 2004, Pasar Sentral diguncang

37International Crisis Group. 2012. “How Indonesian Extrimist Regroup”. Crisis Group
Asia Report. No. 127. Hal. 12.
52

bom, menewaskan enam korban jiwa. Masih pada 2004, pada bulan
Desember merembetlah kasus kekerasan hingga ke Kota Palu. Di tahun
2005, aksi-aksi kekerasan terus meningkat hingga memasuki tahun 2006,
dimana puluhan kasus peledakan bom terjadi.
Pada periode 2007-2011 kondisi Poso relatif lengang, setelah
sebelumnya didominasi oleh konflik horizontal maupun serangkaian aksi
teror. Mengapa sempat terhenti pada tahun 2007? Karena setelah
peristiwa bom Bali, semua konsentrasi jaringan teroris terutama JI
(Jama’ah Islamiyah) mendapatkan perlawanan hebat dari para aparat
yang saat itu gencar-gencarnya memburu para teroris, apalagi semakin
percaya dirinya aparat Indonesia dengan bantuan pihak asing, dalam hal
ini bantuan dari polisi federal Australia. Sehingga pada saat kantong-
kantong JI (Jama’ah Islamiyah) terpecah belah di seluruh Indonesia, Poso
menjadi wilayah satu-satunya dimana kegiatan JI (Jama’ah Islamiyah)
masih aktif. Namun kepemimpinan yang buruk dan serangan-serangan
yang semakin tidak professional dari pihak teroris, akhirnya mengakhiri
cabang JI (Jama’ah Islamiyah) Poso tersebut, dan dalam sebuah peristiwa
baku tembak dengan polisi tanggal 22 Januari 2007, JI (Jama’ah
Islamiyah) cabang Poso akhirnya berhasil ditaklukkan dalam sebuah
operasi yang menghasilkan penangkapan sebagian besar pemimpin
senior yang hingga saat itu berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi.
Operasi yang dilakukan polisi adalah bagian rangkaian “Operasi
Penindakan“ yang memang digelar dari 11 Januari hingga 22 Januari
2007 untuk memburu para pelaku teror. Sebelum dilakukan operasi
penindakan, aparat polisi telah lebih dulu melakukan pendekatan agar
pelaku utama pemboman segera menyerahkan diri, namun hal tersebut
tidak mendapat respon yang baik, sehingga operasi terhadap pusat teroris
di tanah runtuh perlu dilakukan.
Namun yang perlu diperhatikan, penulis disini menganalisis bahwa,
setelah lumpuhnya JI (Jama’ah Islamiyah), pada rentang waktu antara
2007-2011 tersebut dapat digunakan oleh para jaringan teroris yang
53

masih tersisa berupa kelompok-kelompok kecil untuk melakukan


konsolidasi dan persiapan-persiapan dalam melakukan gerakan-gerakan
balasan yang telah direncanakan. Sebagaimana diketahui melalui laporan
International Crisis Group, bahwa pada 2011 telah diketemukan kembali
basis latihan para teroris di Poso. Sosok yang dikenal sebagai otak atau
pimpinan kelompok Poso terbaru ini adalah bernama Santoso, anggota
dari Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok yang dibentuk oleh
Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008, kelompok yang menggantikan Jemaah
Islamiyah sebagai organisasi jihad paling besar dan aktif di Indonesia. 38
Karena melalui laporan International Crisis Group Di bulan Agustus 2010,
Abu Bakar Ba’asyir ditangkap di Jawa Barat, tapi hal ini tidak
menghentikan rencana untuk mendirikan cabang JAT di Poso –
kemungkinan malah menambah bulat tekad mereka. Di bulan November,
Mohammad Achwan, pemimpin JAT sementara, datang ke Poso bersama
dengan Abdul Rahim Ba’asyir, anak bungsu Abu Bakar Ba’asyir, untuk
menjelaskan tentang misi JAT ke para anggota baru. Di akhir kunjungan
mereka, cabang baru JAT mulai beroperasi.39
Dalam Laporan International Crisis Group pada 16 Juli 2012, ada
indikasi bahwa memang Poso adalah camp dimana basis yang aman bagi
kaum ekstrimis untuk melancarkan aksi-aksinya, terutama dari jaringan JI
(Jama’ah Islamiyah) yang terpecah-pecah akibat pengusutan kasus Bom
Bali. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya camp training di Kecamatan
Poso Pesisir pada Januari dan Maret 2011.40 Semakin memperkuat bukti
bahwa masih adanya gerombolan teroris yang terus berkonsolidasi demi
melancarkan serangan demi serangan pada instansi pemerintah. Berikut
rangkaian kejadian pada tahun 2012 yang penuh rangkaian aksi teror oleh
kelompok teroris yang masih tersisa berikut penanganannya:41

38
Ibid.
39 Ibid, hal 13.
40 Ibid.
41 http://www.tempo.co/read/news/2012/11/04/063439572 diakses pada 21 April 2013

pukul 19.22
54

Tabel 2
Rangkaian Peristiwa Teror Sepanjang 2012
No. Peristiwa Tanggal Lokasi

1. Noldy R, 27 tahun tewas ditembak 26 Agustus 2012 Desa Sepe,


orang tak dikenal Kab. Poso
2. Briptu Andi Sapa dan Brigadir 8 Oktober 2012 Dusun
Sudirman, hilang Tamanjeka,
Kab.Poso
3. Dua bom rakitan meledak 9 Oktober 2012 Kab. Poso

4. Briptu Andi Sapa dan Brigadir 16 Oktober 2012 Dusun


Sudirman, ditemukan tewas Tamanjeka
dengan leher teriris.
5. Dua teroris tertangkap, atas nama 20 Oktober 2012 Kec. Poso Kota
Ibrahim dan Abu Bakar.
6. Dua bom meledak di Pos Polisi 22 Oktober 2012 Kab. Poso
lalu lintas.
7. Ditemukan bom high explosive 29 Oktober 2012 Gunung
seberat sepuluh kilogram. Tamanjeka
8. Ditemukan dua bom ranjau. 30 Oktober 2012 Gunung Biru
dan Tamanjeka
9. Penggerebekan rumah terduga 31 Oktober 2012 Desa Kalora,
teroris, satu tewas empat luka- Poso Pesisir
luka.
10. Diamankan sebuah bom dan tujuh 31 Oktober 2012 Desa Kalora,
pucuk pistol dari sebuah rumah. Poso Pesisir
11. Penyergapan dua orang terduga 3 November 2012 Kayamanya,
teroris, salah satu orang Kota Poso
diantaranya tewas bernama Abdul
Khalid.
(Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/11/04/063439572 )
55

Fenomena radikalisme agama sesungguhnya berakar dari


kemiskinan budaya, yakni apa yang sesungguhnya masuk wilayah
kebudayaan dipandang sebagai suatu doktrin agama, padahal kaidahnya
berbeda.42 Penulis berargumen bahwa ini juga adalah salah satu
penyebab mengapa konflik Poso tak kunjung tuntas hingga akarnya,
bahkan semakin meluas keranah terorisme. Kemisikinan budaya,
kemudian kemiskinan pengetahuan akan agama, rendahnya pendidikan,
juga memudahkan proses rekrutmen jaringan teroris. Selama terjadi
konflik massal sebelum Deklarasi Malino, banyak sekolah-sekolah yang
bangkunya ditinggalkan siswanya. Masing-masing komunitas beragama
terkonsentrasi dengan komunitas dan lingkungan religinya masing-masing
yang juga berperan sebagai akar kembali meluasnya konflik ini. Selain itu
bila penulis mencermati, bukankah konflik Poso yang bermula tahun 1998
hingga saat ini, adalah saat dimana Orde Baru jatuh, dan dimulainya
babak baru reformasi, dan di saat itu juga dimana bangsa Indonesia
sebenarnya belum siap dengan adanya perubahan tatanan birokrasi,
inilah yang menyebabkan celah untuk menuding bahwa birokrasi yang
lemah turut mendukung konflik Poso ini semakin berkembang.
Bila dicermati lagi maka konflik berkembang dengan adanya pula
kesalahan pembudayaan ajaran agama tak hanya di Poso, namun juga di
wilayah-wilayah lain di bumi ini. Itu pun dapat dilihat dari meningkatnya
kasus terorisme pasca Tragedi WTC yang menuding Al-Qaeda sebagai
aktor utama. Sebagaimana diketahui dari media-media bahwa jaringan
teroris ini meluas hingga ke Asia Tenggara. Sejak saat Tragedi WTC itu
pula, satu dekade lebih, Indonesia diguncang kasus-kasus terorisme
seperti Bom Bali, Bom Kedubes Australia, Bom JW Marriot, dan lain-lain.
Pemerintah pun telah melakukan banyak usaha untuk menangani
terorisme dengan terbitnya UU tentang penanggulangan terorisme

42
Zen, Op.cit, hal xi.
56

maupun pembentukan badan-badan dalam rangka kebijakan anti-teroris


seperti Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) pada 2010.
Sedangkan pada kondisi saat ini, ketidakpercayaan masyarakat
inilah yang lantas juga membuat lemahnya kekuatan situation handling
oleh aparat, yang semakin memudahkan konflik Poso memasuki babak-
babak baru setelah tahun 2011-an, setelah sebelumnya sempat vakum.
Dengan mulai banyaknya kasus terorisme yang muncul pada tahun 2012.
Ironisnya, penanganan ini terhambat juga disebabkan oleh
ketidakbecusan aparat sendiri dalam menangani kasus Poso, dalam hal
ini tudingan ditujukan pada Densus 88 yang khusus memburu para teroris,
didukung dengan memprihatinkannya kredibilitas polisi di mata
masyarakat dengan berbagai temuan pelanggaran yang dilakukan oleh
petinggi Polri di Jakarta ataupun anggotanya. Bahkan, ditemukan kasus
yang sungguh memilukan yakni kasus pemerkosaan tahanan di penjara
oleh polisi di Poso.
Kembali pada konflik Poso, diindikasikan, Densus 88 melakukan
penggerebekan ataupun penangkapan, dengan tidak manusiawi,
sehingga banyak masyarakat yang menuding Densus 88 salah tangkap.
Meskipun proses penyelidikannya sendiri belum tuntas.
Dapat penulis analisis bahwa hal-hal yang dijelaskan diatas,
kemunculan radikalisme serta terorisme di Poso setelah sempat mulai
merasakan sedikit berkurangnya gangguan pada 2007-2011, dapat
berdasarkan objek penelitian/ berdasarkan keterlibatan yang berasal dari
pihak warga Poso sendiri disebabkan oleh hal-hal berikut dibawah ini :

a. Faktor Internal. Faktor ini berasal dari pola pikir dari lingkungan
konflik itu sendiri.
1) Tidak mampunya butir-butir dalam Deklarasi Malino
dimaksimalkan untuk meredakan permasalahan Poso
hingga akar-akar masalah secara optimal dan menyeluruh.
57

2) Kesalahan penafsiran pemahaman jihad yang


diperparah dengan melunturnya nilai-nilai Sintuwu
Maroso.
3) Kurangnya pengetahuan agama dan rendahnya
kualitas pendidikan pasca konflik massal 1998-2001.
4) Kekecewaan sebagian masyarakat komunitas
tertentu terhadap beberapa proses peradilan terhadap
tersangka kasus Poso sebelum Deklarasi Malino.
5) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas
aparat, terutama pada Densus 88 yang dituding banyak
melakukan pelanggaran.
6) Lemahnya pondasi birokrasi akibat transformasi
politik dari Orde Baru ke reformasi.
7) Ketidakpuasan pihak-pihak tertentu di Poso yang
kecewa terhadap penyelewengan-penyelewengan dari butir
kesepakatan Malino terutama dalam bidang rekonstruksi
daerah, pembangunan, maupun kondisi sosial ekonomi,
yang sekarang berkembang menjadi perlawanan terhadap
aparat atau penguasa (terorisme).
8) Masih ada keberpihakan aparat keamanan yang
bertugas di Poso. Menurut informan yang penulis ambil
keterangannya, saat itu untuk personil TNI AD di Poso
banyak yang berasal dari Jawa dan beragama Islam,
sedangkan Polri banyak berasal dari Sulawesi dan
beragama Kristen. Pada penyelesaian masalah, masih ada
indikasi keberpihakan aparat terhadap kelompok tertentu
yang menyebabkan tidak maksimalnya kinerja aparat.

b. Faktor eksternal. Penyebab yang berasal dari lingkungan luar


sekitar wilayah konflik
58

1) Munculnya ideologi dari luar yang memicu adanya


radikalisme dan terorisme yang dibawa oknum tertentu.
2) Terlalu kuat dan besarnya jaringan teroris diluar
Indonesia yang ikut men-support gerakan radikalisme dan
terorisme.
3) Kurang mampunya aparat keamanan dalam
menjaga simpati masyarakat di daerah tugas.
4) Pemerintah dinilai terlalu represif dalam
menggunakan wewenang aparat dalam penugasan di
Poso.
5) Buruknya sistem birokrasi sehingga menyebabkan
penyelewengan-penyelewengan dalam proses rehabilitasi
pasca konflik.
6) Lemahnya intelijen dalam mengantisipasi serangan
ataupun teror yang mungkin terjadi.

28. Dampak-dampak Akibat Konflik Poso

Dalam setiap konflik ataupun permasalahan yang terjadi


dimanapun, pasti menyisakan akibat ataupun dampak konflik, tak
terkecuali konflik yang terjadi di Poso. Konflik Poso, terbagi dalam dua
era, yakni yang pertama rentang antara 1998-2001 yang didominasi oleh
kekerasan massal antar komunitas agama, yang kedua pasca Deklarasi
Malino pada 2001-sekarang yang lebih didominasi oleh tindakan terorisme
yang nampaknya berusaha kembali untuk memicu atau memprovokasi
masyarakat agar kembali saling bermusuhan.
Tentu saja hal diatas pasti menimbulkan suatu dampak dan
perubahan tatanan kehidupan masyarakat Poso secara menyeluruh.
Yang pastinya, dampak dapat berupa materiil dan non materiil. Banyaknya
korban berjatuhan, infrastruktur serta sarana prasarana umum yang
hancur, maupun tempat-tempat ibadah yang rusak.
59

Dampak dari kerusuhan Poso dapat di bedakan dua fase, fase


sebelum Deklarasi Malino dan pasca Deklarasi malino, adapun dampak
yang ada pada fase sebelum Deklarasi Malino antara lain:
a. Dampak dari segi budaya, diantaranya:
1) Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok
yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
2) Runtuhnya nilai–nilai kesepakatan bersama “Sintuwu
Maroso” yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial
masyarakat Poso yang pluralis.
b. Dampak hukum sosial yang terjadi, diantaranya:
1) Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke
dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok
putih ( Kristen dan Islam )
2) Tidak dapat dipertahankannya nilai- nilai
kemanusiaan akibat terjadi kejahatan terhadap manusia
seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan
terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
3) Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan
kewibawaan hukum di masyarakat kabupaten Poso.
4) Munculnya perasaan dendam dari korban–korban
kerusuhan terhadap pelaku kerusuhan.
c. Dampak politik sosial yang terjadi, diantaranya:
1) Terhentinya roda pemerintahan.
2) Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap
masyarakat.
3) Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan
terhadap perbedaan pendapat masing– masing kelompok
kepentingan.
d. Dampak ekonomi sosial yang terjadi, diantaranya:
60

1) Lepas dan hilangnya faktor sumber produksi ekonomi


masyarakat seperti; sawah, tanaman kebun, dan
sebagainya.
2) Munculnya banyak pengangguran.
3) Para investor kehilangan menanam modalnya di
Sulawesi Tengah, khususnya Poso.
4) Kegiatan ekonomi berlangsung dibawah pengawasan
senjata aparat yang berjaga di Poso.
5) Eksodus besar–besaran penduduk Poso
(pengungsian). Terjadi karena warga Poso saat konflik pergi
dari Poso untuk menghindari permasalahan .
Berikut tabel jumlah pengungsi sebelum Deklarasi Malino
yang diperoleh dari Kodam VII Wirabuana:43

Tabel 3
Persebaran Pengungsi Sebelum Deklarasi Malino
No. Lokasi pengungsian Jumlah
1. Kota Palu 22.940 jiwa
2. Kabupaten Poso 43.443 jiwa
3. Kabupaten Donggala 11.827 jiwa
4. Kabupaten Morowali 10.757 jiwa

(Sumber: Ecip,Sinansari.2002.Rusuh Poso Rujuk Malino.Jakarta:Cahaya Timur, hal.106)

e. Dampak psikologis
Munculnya trauma berkepanjangan akibat konflik yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat dan akan terbawa sampai
generasi berikutnya. Dan tentunya akan sangat berpengaruh pula
bagi pola perkembangan generasi berikutnya tersebut.
f. Kerusakan infrastruktur

43
Ecip, Op.cit ,hal.106.
61

Setelah terjadi konflik, secara kasat mata pun dapat dilihat


apakah dampak konflik secara nyata.
Berikut tabel kerusakan sarana yang penulis peroleh
sebelum Deklarasi Malino berdasarkan laporan Gubernur Sulteng
pada 3 Desember 2001.44
Tabel 4
Kerusakan Sarana dan Prasarana
No. Sarana Hangus Rusak Rusak
Berat Ringan
1. Rumah 10.650 823 554
2. Masjid 21 5 2
3. Gereja 37 10 2
4. Pura - - 1

(Sumber:Ecip,Sinansari.2002.Rusuh Poso Rujuk Malino.Jakarta:Cahaya Timur, hal.107)

Konflik dapat diidentifikasikan menjadi dua, yakni konflik destruktif


dan konstruktif. Sehingga, dampak diatas memang temasuk konflik
destruktif. Konflik destruktif, pihak-pihak yang terlibat konflik tidak fleksibel
atau kaku karena tujuan konflik untuk mengalahkan satu sama lain.
Interaksi konflik berlarut-larut, siklus konflik tidak terkontrol karena
menghindari isu konflik yang sesungguhnya.45
Sedangkan untuk konflik Poso pasca Deklarasi Malino yang
berkembang menjadi terorisme dan perlawanan terhadap aparat,
membuat masyarakat yang telah lama bertikai menjadi lelah dengan
konflik, dalam kurun waktu setelah JI (Jama’ah Islamiyah) dapat
dilumpuhkan aparat, hingga kini sudah sama sekali tidak ada gesekan-
gesekan horizontal. Inilah yang dimaksud konstruktif, konflik masa lalu

44
Ibid, hal.107.
45
Wirawan, Op.cit, hal. 59.
62

sebelum Deklarasi Malino, yang mengubah tatanan kehidupan


masyarakat Poso, telah memberikan dampak pada pola pikir masyarakat
yang berpikiran lebih maju, bahwa berkonflik dengan saudara sendiri
tidak ada gunanya.
Dalam analisis penulis, didasarkan pada temuan-temuan yang
telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, mengingat kondisi Poso
yang sebenarnya telah membaik pasca dilumpuhkannya JI (Jama’ah
Islamiyah) pada 2007, sebenarnya masyarakat telah mulai membangun
apa yang disebut dengan nilai-nilai “Sintuwu Maroso”, terbukti dengan
tidak adanya gangguan keamanan dan ketertiban hingga tahun 2011.
Hingga muncullah kembali rangkaian aksi terorisme pada 2012, yang
membuat aparat dalam hal ini Polri untuk beraksi memberantas
terorisme. Sehingga dapat dilihat, bentuk implikasi atas kegiatan-kegiatan
terorism serta counter terorism telah membuat seakan Poso menjadi
ajang pertarungan bagi aparat melawan teroris.
Hal ini lah yang mengakibatkan masyarakat Poso kembali
diselimuti perasaan was-was akan keselamatannya, di satu sisi takut
pada tindakan para teroris, disisi lain takut akan kehadiran aparat yang
dalam temuan-temuan di bagian sebelumnya beberapa kali melakukan
tindakan salah tangkap pada orang-orang terduga teroris juga dugaan
pelanggaraan prosedur dalam penangkapan teroris.
Hal-hal tersebut berdampak sekali pada kondisi psikologis
masyarakat setempat yang sebenarnya sudah memulai lembaran baru
sejak Deklarasi Malino ditandatangani. Sehingga penulis menganalisis
lebih dalam lagi melalui teori ingatan, dimana trauma yang dialami warga
Poso adalah karena ingatan-ingatan konflik di masa lalu. Sebagaimana
dalam teori ingatan kolektif, oleh Pennebaker (1997: vii):
“powerfull collective memories – wether real or concocted – can be
at theroots of war, prejudice, nationalism, and cultural identities” 46

46http://id.scribd.com/doc/58858189/35/Ingatan-Kolektif-sebagai-Alat-Kepentingan
diakses pada tanggal 14 April 2013 pukul 16.50
63

Berdasarkan kutipan di atas dapat diartikan bahwa ingatan kolektif,


yakni ingatan bersama atas suatu kejadian di masa lalu, dapat
menimbulkan konflik yang serupa atau sama sekali berbeda di masa yang
akan datang, ditambah ketakutan masyarakat atas kejadian-kejadian
mengerikan di masa lalu yang mengenai mungkin saja dapat muncul
kembali di masa yang akan datang.
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa, karena
proses penyelesaian secara compromising, dapat penulis kembali
tegaskan bahwa konflik Poso merupakan bahaya laten yang bisa
kapanpun meletup kembali, apalagi sekarang Poso selalu diidentikkan
oleh isu terorisme dan kekerasan aparat. Masyarakat dikhawatirkan bisa
terpengaruh hasutan dari pihak-pihak yang menginginkan Poso kembali
berkonflik.
Konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Poso membuat
kondisi masyarakat Poso menuju kearah anomi, baik secara personal,
sosial, maupun institusional.47 Anomi, dalam arti masyarakat dalam suatu
keadaan dimana tidak tahu lagi standar perilaku yang harus diterapkan.

29. Usaha-usaha pemerintah dalam Rangka Penanganan Konflik


Poso

Setiap krisis ataupun permasalahan yang dihadapi suatu negara


pasti akan mendapatkan penanganan dari pihak pemerintah dalam rangka
mewujudkan civil society. Apalagi kasus Poso yang telah lama menyita
perhatian publik nasional sejak 1998 hingga sekarang. Berdasarkan
sumber data yang telah didapat, bila diurut dari kasus Poso pada 1998
hingga sekarang, maka banyak sekali upaya yang telah dilaksanakan oleh
pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah daerah setempat (baik
jajaran Muspida Kabupaten maupun Pejabat Provinsi Sulteng),
pemerintah pusat, jajaran aparat kepolisian, TNI, maupun organisasi-

47Lengkong, Elkana. 2008. Tangan Dingin Jenderal, Poso Damai. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, hal. 57.
64

organisasi non pemerintah yakni NGO (Non Govermental Organization)


lainnya. Diawal kasus massal pada 1998 hingga 2001 sebelum Deklarasi
Malino, jajaran Muspida Poso melakukan berkali-kali usaha untuk
memfasilitasi pihak-pihak yang bertikai untuk berunding, namun masih
saja menemui jalan buntu, bukan hanya jalan buntu dalam perundingan,
akan tetapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selalu mewarnai proses
penciptaan suasana damai di Poso. Berikut usaha-usaha yang telah
dilakukan untuk menciptakan perdamaian di Poso oleh pemerintah lokal
Poso:48
a. Pada 27 Desember 1998 dilaksanakan perundingan di
Togalu disaksikan oleh Bupati Poso, namun dilanggar oleh
beberapa kelompok yang dipimpin oleh Herman Parimo yang
memicu terjadinya kembali pertikaian.
b. Pada tanggal 8 Januari 1999, seratus dua puluh sembilan
tokoh masyarakat dan agama kembali menggelar kesepakatan di
Poso untuk penghentian kekerasan.
c. Pada 23 April 2000, masyarakat dan Pemerintah Poso
kembali menggelar pertemuan untuk meredakan suasana dengan
syarat saat itu pasukan Brimob segera ditarik keluar Poso. Masa-
masa inilah saat mulai terjadi pengungsian massa komunitas Kristen
ke Tentena.
d. Pada 25 Mei 2000 di Desa Tokorondo terjadi kesepakatan
lokal antara Kades Tokorondo dan Kades Masani untuk
menghentikan bentrokan antara komunitas beragama. Namun, tetap
terjadi pelanggaran.
e. Pada 8 Juni 2000, di Desa Malei, Fabianus Tibo dan
Domingus Da Silva sebagai provokator bentrokan menyerahkan diri
f. Pada 12 Juni 2000, Pemerintah Poso memprakarsai
pertemuan tokoh kedua pihak yang bertikai di Gedung Torulembah.

48
Ecip,Op.cit, hal.95.
65

g. Pada 28 Juli 2000 berlangsung pertemuan Gubernur se-


Sulawesi di Manado yang menghasilkan beberapa butir
kesepakatan yang intinya berupaya menghentikan segala jenis
kekerasan dan meminta permohonan bantuan pada pimpinan Pusat
dan lembaga donor internasional. Dan pertemuan dengan agenda
dan peserta yang sama dilanjutkan pada 13-14 Agustus 2000.
h. Rujuk “Sintuwu Maroso” pada 21 Agustus 2000 di Poso yang
dihadiri oleh Gus Dur, namun implementasi dari rujuk ini terhambat
karena banyak tokoh agama maupun etnis yang tidak menghadiri
pertemuan ini.
Karena beberapa usaha perundingan diatas gagal, oleh karena
banyaknya pelanggaran pasca perundingan-perundingan yang ada,
untuk perundingan berikutnya tidak lagi menyandarkan pada upaya
pemerintah, namun lebih didasarkan pada keinginan masyarakat Poso
sendiri yang menginginkan perdamaian. Disini pemerintah hanya
sebagai pihak yang memfasilitasi saja. Dimana terlibat juga mantan
Wakil Presiden RI yang saat itu menjabat sebagai Menko Kesra dalam
proses pertemuan Malino nantinya, yakni Jusuf Kalla.
Peserta pertemuan adalah dua puluh tiga perwakilan Kristen, 25dua
puluh lima dari komunitas Islam, tujuh mediator (pejabat-pejabat sipil
dan militer daerah), serta dua puluh dua orang observer.49 Akhirnya
pada 20 Desember, Deklarasi Malino lahir. Adapun inti petikan Deklarasi
adalah sebagai berikut:50
a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan
mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang
melanggar.

49 Adi Susilo, Taufik. 2010. Biografi Singkat Jusuf Kalla. Jogjakarta: Garasi House of
Book, hal. 68.
50 Ibid, hal.117.
66

c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil dalam


upaya menjaga keamanan.
d. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak
memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan asing.
e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap
semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan
memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup
bersama.
f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena
itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan
tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke
pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik
berlangsung.
h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-
masing.
i. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan
prasarana.
j. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara
dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang
telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah dan ketentuan lainnya.
Tentunya sebuah deklarasi tidak akan berjalan sesuai harapan bila
tidak diikuti dengan implementasi yang baik oleh semua pihak, pada saat
itu pemerintah yang dimotori oleh Menko Kesra langsung membuat
program-program dengan membentuk Pokja (Kelompok Kerja) dalam
usaha untuk merehabilitasi dampak-dampak akibat konflik sebelum
Deklarasi Malino antara lain adalah rehabilitasi mental masyarakat;
renovasi rumah-rumah yang terkena dampak konflik; tindakan penegakan
hukum dan keamanan terkait tokoh-tokoh yang memicu konflik;
rehabilitasi para tersangka; operasi sweeping senjata; pemulangan
67

pengungsi; pembenahan sektor pendidikan, agama, dan kebudayaan;


program pembinaan sektor sosial ekonomi. Namun, sayangnya dalam
proses rahabilitasi maupun rekonstruksi kembali dampak dari konflik
horisontal, terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu seperti proses pemulangan pengungsi yang
terhambat akibat belum percayanya masyarakat akan kondisi yang
sekarang (trauma), tidak meratanya bantuan yang ada, hingga tidak
terorganisir dengan baiknya LSM yang ikut membantu pemerintah pasca
konflik 1998-2001. Contoh tidak terkoordinasinya dengan baik LSM di
Poso adalah kasus yang dialami CWS (Church War Service) ,dimana
bantuan minyak yang diberikan oleh CWS pada 2003 dipermasalahkan
oleh umat muslim. Waktu itu bantuan yang diberikan tidak memiliki
sertifikat halal sehingga masyarakat muslim menolaknya. Masyarakat
Muslim juga curiga bantuan yang diberikan oleh CWS karena bantuan
banyak diberikan secara langsung dan banyak tertuju pada pihak
Kristen.51
Contoh lain penanganan pasca deklarasi adalah pemecahan
Kabupaten Poso menjadi tiga bagian yakni: Kabupaten Poso, Kabupaten
Morowali dan Kabupaten Tojo Una-Una, namun pemecahan ini membuat
masyarakat Islam di Kabupaten Poso menjadi minoritas yang sebelumnya
dominan, sehingga pemilihan kepala daerah pun lebih ditentukan oleh
masyarakat Kristen, hal ini juga akan membuat sakit hatinya masyarakat
Islam yang berbuntut pada ketidakpuasan penanganan pasca konflik yang
akhirnya memicu tindakan-tindakan perlawanan oleh kelompok
ekstrimis.52
Di bidang penegakan hukum contohnya adalah ketika penjatuhan
hukum terhadap para tersangka provokator kasus Poso dilakukan. Disini
penulis akan membahas penjatuhan hukuman mati terhadap tersangka
pembantaian warga Islam oleh Fabianus Tibo dkk. Pada 22 September
51
Anshari, Luthfi. 2004. Dinamika Pemerintahan Kabupaten. Jakarta: Conflict and
Community Development Research Team, hal.45.
52
Karnavian.Op.cit, hal.374.
68

2006 dilakukan eksekusi mati pada Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan
Dominggus Da Silva.53 Kemudian setelahnya kembali terjadi gejolak,
karena gelombang protes dari warga Nasrani di Tentena yang
menganggap putusan tersebut tidak adil, banyak massa mengamuk dan
menyerang pos polisi. Tak hanya di Sulawesi, namun juga di Nusa
Tenggara Timur (NTT). Perlu diketahui juga, bahwa Fabianus Tibo berasal
dari NTT. Semakin menguatkan penulis bahwa memang banyak pihak
diluar Poso yang semakin memanaskan konflik saat itu.
Sebelum eksekusi sendiri juga telah terjadi gejolak, karena selama
proses persidangan, banyak pro-kontra mengenai tuntutan mati terhadap
para tersangka. Dimana umat muslim mendesak aparat segera
mengeksekusi para tersangka, namun disisi lain eksekusi pasti
mengundang kemarahan umat Nasrani. Namun, dalam proses yang
cukup panjang, aparat mampu bertindak bijak demi penegakan supremasi
hukum, karena memang para terdakwa terbukti bersalah, sehingga tetap
dilaksanakan hukuman mati.
Belum lengkap bila tidak menyinggung kinerja TNI maupun Polri
hingga saat ini. Penempatan pasukan keamanan dilakukan untuk menjaga
keamanan di Poso. Pada April hingga Juni 2000, Polda Sulteng mulai
menggelar operasi keamanan yaitu Operasi Sadar Maleo. Operasi digelar
hingga lima tahap ini efektif dimulai 1 Juli 2000. Ada empat belas Satuan
Setingkat Kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk
mengamankan Poso. Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang
membawahi Komando Resort Militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi
Cinta Damai. Namun serangkaian penyerangan, pembakaran rumah
warga, penculikan, dan pembunuhah masih saja terjadi. Hingga akhirnya
digelar Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso dengan sandi
Operasi Sintuwu Maroso pada Desember 2001.

53
Ibid, hal.224.
69

Sesuai Deklarasi Malino, pemulihan keamanan dengan operasi


terpusat tersebut semestinya berakhir 30 Juni 2002. Namun dalam
perjalanannya operasi tersebut terus diperpanjang hingga tujuh kali pada
tahun 2005 tanpa evaluasi yang menyeluruh atas operasi sebelumnya.
Dan pada 2006 dilaksanakan Operasi Lanto Dago. Dimana aparat sudah
mencoba penerapan secara persuasive and conditioning dalam
penyelesaian konflik Poso yang makin mengarah pada aksi terorisme.
Namun tetap belum berhasil dalam menyelesaikan masalah, sehingga
pada Januari 2007 dilakukan Operasi Penindakan dan berhasil
menghancurkan kantung Jamaah Islamiyah.
Setelah penindakan tersebut, Poso relatif damai, namun karena
masih adanya bibit-bibit kelompok teroris yang masih tersisa, pada 2012
kembali muncul aksi teror di Poso. Hal ini langsung mendapat perhatian
aparat dan langsung melaksanakan kejaran terhadap pelaku terorisme.
Sayangnya sering kali tindakan aparat menimbulkan peningkatan eskalasi
konflik di masyarakat lantaran aparat keamanan justru menjadi pelaku
kekerasan berupa pemukulan, penembakan, pencurian, kekerasan
terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang disertai
penyiksaan, dan stigmatisasi terorisme kepada warga. Berikut adalah
temuan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat, yang
berhasil penulis himpun dari media internet:
a. Munculnya video berdurasi 13 menit tentang kekerasan yang
diduga dilakukan oleh Densus 88, salah satunya menampilkan
penangkapan Wiwin Kalahe, terduga teroris Poso yang ditembak
setelah menyerah pada 22 Januari 2007 silam.54 Setelah
melakukan investigasi lapangan selama lima hari sejak tanggal 7
hingga 11 Maret 2013, dan Komnas HAM menemukan bukti-bukti
kuat pelanggaran HAM, dengan tewasnya sebelas orang yang
bukan DPO terduga teroris dan tewasnya satu terduga teroris

54 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/04/11/densus-88-dikecam-polri-kami-juga-ingin-masuk-
surga/ diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 15.00
70

dengan tubuh mengenaskan, padahal saat penangkapan dalam


keadaan baik-baik saja, di tangan Densus 88 di Tanah Runtuh,
kelurahan Gebang Rejo, kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso
pada 2007 lalu.55 Ini adalah hasil operasi penyisiran, dimana
mencari pelaku atas empat orang Brimob yang tewas dalam baku
tembak dengan kelompok bersenjata di Desa Ambrana, Poso
Pesisir dan di sekitar Gunung Kalora, Sulawesi Tengah pada Kamis
(20/12/2012). Mereka adalah Briptu Wayan, Briptu Ruslan, Briptu
Narto dan menyusul Briptu Eko Wijaya.
b. Kasus pemerkosaan tahanan wanita yang dilakukan polisi
dari Satuan Narkoba Polres Bripka AH terbongkar setelah korban
bernama FM melapor. Kejadian terjadi akhir Februari lalu. Bripka
AH sudah diamankan. 56
c. Tim investigasi Komnas HAM menduga penanganan teroris
di Poso tidak sesuai dengan prosedur, seperti tertembaknya
seorang terduga teroris pada tanggal 3 November 2012, dan
kekerasan warga saat diperiksa polisi pada Desember 2012.
Komnas HAM mendesak Polri untuk merehabilitasi nama baik
belasan warga Poso yang ditangkap polisi karena dituduh sebagai
teroris. Warga sipil yang mengaku mengalami penganiayaan itu
berasal dari Desa Kalora yang ditangkap oleh polisi setelah terjadi
penembakan enam anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah
(empat di antaranya tewas) pada tanggal 20 Desember 2012.57

30. Analisis Terhadap Penanganan Konflik oleh Pemerintah


Sebelum Deklarasi Malino, khusus untuk penanganan konflik yang

55 http://sindikasi.net/warta/isi-tuntutan-komnas-ham-terkait-pelanggaran-ham-yang-
dilakukan-densus-88 diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 17.00
56 http.:// Ombudsman-Soroti-Perkosaan-Tahanan-di-Poso diakses pada tanggal 11 April
2013 pukul 17.00
57http://lampost.co/berita/komnas-ham-penanganan-terorisme-di-poso-tidak-sesuai-
prosedur diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 17.00
71

bersifat horizontal dan massal, digunakan penyelesaian masalah yaitu


intervensi pihak ketiga, dalam hal ini adalah Pemerintah setempat,
berperan sebagai mediator, dengan menggunakan gaya manajemen
konflik berupa compromising. Compromising sendiri adalah gaya
manajemen konflik tengah atau menengah, dimana tingkat kerjasama
sedang. Dengan menggunakan strategi give and take, kedua belah pihak
yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan
sebagian keinginan mereka.58 Sehingga, dapat diperkirakan bahwa
seluruh usaha tersebut semu, karena kompromi hanya memuaskan
sebagian keinginan kedua pihak, selebihnya, sangat rentan akan muncul
kembali konflik yang serupa. Sebagaimana telah dibahas pada bagian
sebelumnya, tercatat ada tujuh kali perundingan sebelum Deklarasi Malino
dari rentang tahun 1998 hingga 2000. Bahkan para gubernur se-Sulawesi
juga mengadakan pertemuan tingkat gubernur guna meredakan
ketegangan. Namun tetap saja terjadi pertikaian diselang waktu
perundingan tersebut. Kedua belah pihak yang bertikai dalam prakteknya
lebih memilih gaya manajemen konflik berupa competing. Gaya
manajemen konflik dengan tingkat kesertaan tinggi dan kerjasama
rendah.59 Yakni saling ingin mendominasi satu sama lain secara
bergantian, saling membalas aksi kekerasan. Hal ini disebabkan karena
belum maksimalnya usaha untuk berdamai, pihak yang berunding hanya
beberapa tokoh antara etnis atau komunitas saja, sedangkan di akar
rumput? Mereka belum sepenuhnya berdamai. Selalu muncul sosok-
sosok provokator baru di tiap edisi pertikaian. Jangankan akar rumput,
pada rujuk “Sintuwu Maroso” yang dihadiri Gus Dur pun, ketika hasil
perundingan dibacakan justru mendapat cemoohan karena dianggap
kurang sah karena hanya sedikit peserta yang hadir. Dalam penanganan
dibidang sosial ekonomi, adanya kasus penyelewengan dana bantuan
untuk rehabilitasi pasca konflik yang dilakukan oleh pejabat daerah

58 Wirawan, Op.cit, hal.141.


59 Ibid, hal 140.
72

setempat. Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh International Crisis


Group bersama LSM pada Januari 2008 sebagai berikut:

“ The issue of most concern to the NGO (Non Govermental Organization)s and
community leaders Crisis Group interviewed in post-conflict Poso is not renewed
deadly conflict or other violence but corruption and mismanagement of recovery
funds. The whiff – or in some cases, stench – of corruption has long hung over
Poso….” 60
Dalam tulisan tersebut sangat disayangkan, para pejabat daerah
yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Sekaligus
mencerminkan buruknya sistem birokrasi yang ada dan kurangnya pejabat
dalam menggunakan wewenangnya. Lemahnya unsur pengawasan dan
pengendalian dalam birokrasi pemerintahan juga ikut berperan.
Sedangkan untuk pencapaian Deklarasi Malino, keberhasilan ini
bukan semata-mata upaya pemerintah, namun memang kesadaran dari
warga Poso sendiri untuk mencapai kata damai dengan mengingat
semangat “Sintuwu Maroso”. Itulah sedikit perbedaan namun memiliki
banyak arti bagi tercapainya sebuah Deklarasi. Sedangkan pada era
pasca Deklarasi Malino, lebih ditekankan pada usaha yang disebut
rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan proses solusi konflik yang
mentransformasi ke keadaan sebelum terjadinya konflik, yakni keadaan
kehidupan yang harmonis dan damai.61
Dalam kasus Poso, setelah kedua pihak sama-sama menyetujui
kesepakatan dalam deklarasi, pemerintah berusaha mengembalikan
kondisi Poso seperti semula, yakni dengan rehabilitasi wilayah,
penanganan pengungsi, tindakan penegakan hukum dan keamanan
terkait tokoh-tokoh yang memicu konflik, pembenahan sektor pendidikan
agama dan kebudayaan serta program pembinaan sektor sosial ekonomi.
Namun karena adanya penyimpangan-penyimpangan seperti yang
disebutkan diatas, proses rekonsiliasi tidak berjalan maksimal. Hingga

60 International Crisis Group. 2008. “Indonesia Tackling Radicalism in Poso”. Crisis Group
Asia Report. No. 75. Hal.10.
61
Wirawan.Op.Cit, hal.195.
73

konflik berkembang menjadi terorisme sebagai imbas dari tidak


maksimalnya penerapan butir kesepakatan Deklarasi Malino. Aparat
keamanan baik polisi maupun TNI penulis yakini telah mampu meredakan
situasi yang kembali memanas pasca Deklarasi Malino (2001-sekarang),
namun sayangnya kembali ditemukan oleh tim-tim investigasi independen
seperti Komnas HAM, terjadi penyelewengan dan kesalahan prosedur
dalam pelaksanaan operasi tersebut.62 Meskipun harus penulis akui,
dalam konteks ini terlepas dari isu yang berkembang, bahwa Komnas
HAM selalu mengkritisi upaya aparat dalam penegakan ketertiban dan
keamanan di daerah konflik. Sehingga dilihat dari sudut pandang lainnya,
penindakan oleh aparat keamanan, akhir-akhir ini dinilai berlangsung
secara represif dan demonstratif, sehingga masyarakat menjadi antipati
terhadap aparat. Tidak hanya Komnas HAM yang memiliki temuan-
temuan hasil dari investigasi langsung di Poso, namun juga laporan dari
masyarakat setempat serta Panja DPRD Poso, dan LSM lainnya yang ikut
menginvestigasi konflik ini seperti KONTRAS, dan ormas-ormas Islam.
Dan umumnya dengan adanya temuan kasus pelanggaran yang
telah disebutkan dalam bagian sebelumnya, Densus 88 dinilai telah
melakukan pelanggaran HAM. Bahkan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) menyimpulkan ada indikasi pelanggaran HAM (Hak Asasi
Manusia) berat yang dilakukan aparat kepolisian pada saat penanganan
terduga teroris di Poso, Sulawesi Tenggara.63
Disini, mengenai statement-statement diatas, penulis berpendapat
bahwa terlepas dari kasus yang terus dalam proses penyidikan pihak yang
berwaJI (Jama’ah Islamiyah), penulis melihat bahwa dengan adanya
indikasi kekerasan yang dilakukan Densus 88, dapat masuk kategori

63 http://www.voaislam.com/counter/intelligent/2013/03/05/23492/kompolnas-
terjadipelanggaran-ham-berat-di-poso/ diakses pada tanggal 13 April 2013 pukul 19.09
74

pelanggaran HAM, dikaitkan dengan UU No. 39 tahun 1999 yang


mengatur HAM pada pasal 18 ayat 1 sebagai sebagai berikut:
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan… “64

Pasal diatas penulis tujukan untuk menanggapi adanya kasus


penganiayaan yang dilakukan aparat saat para korban menjalani
pemeriksaan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Untuk kasus
pemerkosaan yang dilakukan aparat polisi terhadap tahanan wanita, dapat
dituntut dengan UU yang sama dalam pasal 49 ayat 2, petikannya sebagai
berikut:
“Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan
dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.” 65

Namun bila melihat statement Kompolnas yang menyimpulkan ada


indikasi pelanggaran HAM berat, penulis disini tidak sependapat karena
didasarkan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 7
dimana jenis-jenis pelanggaran HAM berat antara lain:
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.” 66

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan


dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, antara
lain dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan
penderitaan terhadap kelompok, mencegah kelahiran dalam kelompok,
serta memindahkan anak-anak dengan paksa.
Sedangkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas
64
Undang-undang Republik Indonesia (RI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
65 Ibid.
66 Undang-undang Republik Indonesia (RI) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM.
75

atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan


secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pemindahan dengan paksa, kejahatan
apartheid, penyiksaan, perkosaan, maupun perampasan hak
kemerdekaan seseorang.
Terlihat dari penjelasan di atas, pelanggaran yang diindikasikan
dilakukan oleh aparat, bila nanti terbukti benar, tidak dapat memenuhi
kriteria kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan,
yang keduanya bersifat memusnahkan dan dilakukan secara meluas dan
sengaja.
Lantas, bagaimana dengan pelanggaran pidana? Dalam
perkembangan selanjutnya, kasus penganiayaan yang terjadi, untuk
sementara aparat yang terlibat didakwa dengan Pasal 351 ayat 2 KUHP.
Sampai sekarang, masih dalam proses penyelidikan. Penulis tidak akan
membahas terlalu jauh mengenai proses hukum terhadap kasus ini,
namun yang jelas disini, terjadi ekses atau gesekan antara tujuan
memerangi terorisme dengan perlindungan terhadap kepentingan
masyarakat di Poso. Penulis diatas hanya mencoba menganalisis tentang
temuan-temuan di lapangan. Yang perlu menjadi atensi, pelanggaran
tersebut ( yang memiliki bukti video ) masih belum terbukti secara hukum,
dan masih menjadi pro kontra. Entah benar atau tidaknya pelanggaran
yang dilakukan dalam video penangkapan masih diperdebatkan, apakh
memang benar pelanggaran, atau sekedar rekayasa dari pihak-pihak yang
tidak menginginkan keberadaan aparat di Poso.
Perlu diketahui disini, bahwa usaha pemerintah yang terbaru
adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi
presiden untuk meningkatkan efektifitas dalam menangani konflik di
berbagai daerah, temasuk di daerah konflik seperti Poso. Presiden
meminta pemerintah dan aparat keamanan bertindak tegas saat
mengatasi konflik yang terjadi di daerah mereka masing-masing. Namun
hal ini mendapat sorotan di media-media dimana Inpres No.2 tahun 2013
76

ini disinyalir akan semakin membuat aparat semakin arogan di daerah


konflik, termasuk di Poso.
Dengan adanya kontroversi pada Inpres ini, penulis berpendapat
bahwa justru Inpres tersebut akan menjadi faktor pendukung
pemberantasan terorisme, dimana akan menjadi payung hukum bagi
aparat yang melaksanakan tugas anti terorisme, untuk semakin tegas lagi
dalam melakukan operasi, untuk masalah pelanggaran HAM, hal itu tetap
ada aturannya dalam hukum humaniter maupun dalam hukum HAM yang
ada.Pada akhir analisis ini, penulis kemukakan bahwa pemerintah masih
kurang maksimal dalam penanganan konflik Poso, karena pemerintah
kurang mendapat simpati masyarakat, didukung dengan adanya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah maupun
pejabat daerah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Pemerintah memang telah berhasil menjadi fasilitator dalam
Deklarasi Malino, meskipun deklarasi itu sebenarnya mengisyaratkan
bahwa masyarakat setempatlah yang telah sadar untuk segera mengakhiri
konflik. Karena dalam perkembangannya, justru terdapat banyak
penyimpangan yang ditemukan dalam proses rekonsiliasi konflik,
sehingga inilah yang menghambat terselesaikannya konflik ini yang
sekarang lebih mengarah pada aksi terorisme.
Memang sebuah fenomena, dimana disatu sisi, pemerintah harus
tegas dalam melaksanakan peberantasan terorisme, namun disisi lain
selalu dihadapkan dengan dugaan-dugaan pelanggaran HAM di daerah
konflik.

31. Identifikasi Konflik Poso Menggunakan Analisis SWOT

Penulis memberikan solusi dengan mengidentifikasikan konflik


Poso saat ini dengan analisis SWOT. Oleh karena itu penulis bertujuan
deskripsi SWOT di bawah ini mampu memberikan suatu mind mapping
atau deskripsi bagi para pembaca tentang kekuatan, kelemahan, peluang,
serta ancaman yang ada dalam konflik Poso.
77
78

Dari segi kekuatan (strengths), disini dapat dilihat, beberapa faktor


yang mengacu pada kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh
masyarakat Poso untuk menangkal timbulnya kembali konflik serupa atau
konflik yang mengarah pada terorisme maupun radikalisme. Weaknesses
yakni kelemahan yang ada dalam proses konflik yang bisa menghambat
proses penyelesaian konflik, yang lebih berasal dari lingkungan konflik.
Opportunities adalah peluang yang ada guna mendukung penyelesaian
konflik, sedangkan threats adalah berbagai ancaman yang bisa
memperparah kondisi konflik bila tidak segera ditangani.
Disini terdapat suatu fenomena yang penting untuk penulis garis
bawahi bahwa alasan penulis meletakkan LSM ataupun NGO (Non
Govermental Organization) lainnya di dalam suatu peluang, karena NGO
(Non Govermental Organization) tersebut berpotensi membantu aparat
pemerintah dalam proses pemberantasan terorisme, yakni ikut
mengumpulkan fakta, bukti-bukti keberadaan teroris, hingga membantu
rehabilitasi dan rekonstruksi kembali wajah masyarakat Poso. Seperti
yang telah dilakukan dalam laporan-laporan International Crisis Group
yang pernah penulis himpun dalam bagian sebelumnya. Namun, disisi lain
ada juga organisasi seperti KontraS, Komnas HAM, organisasi Islam-
Islam lainnya yang terus mengkritisi kinerja aparat keamanan dalam
penindakan para teroris. Sehingga disini sangat dibutuhkan ketegasan
dan profesionalisme aparat keamanan.
Selanjutnya pada tabel berikutnya penulis akan menampilkan
analisis SWOT, bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada,
bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada,
selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi
ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara
79

mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman


(threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.
80

32. Solusi Penanganan Konflik Poso

Setelah dipahami dan dianalisis apakah hal yang sebenarnya


terjadi di Poso, penulis dalam bagian ini akan memberikan suatu solusi
yang dapat ditawarkan kepada pembaca berdasarkan analisis SWOT
diatas, lebih luas lagi kepada pemerintah yang dalam hal ini sebagai pihak
yang harus mampu memunculkan tata konflik yang baik. Sepuluh poin
solusi yang akan penulis berikan, didalamnya mencakup penyelesaian
secara kekerasan maupun tanpa kekerasan. Kekerasan digunakan saat
memang melawan teroris yang terbukti bersalah dan melawan aparat,
sedangkan non kekerasan dalam hal ini adalah pendekatan yang harus
dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Poso.
Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa saat ini, yang
terjadi bukanlah Islam melawan Kristen, namun lebih pada radikalisme
dan terorisme yang bercampur bersama ketakutan masyarakat akan rasa
tidak aman karena dugaan pelanggaran-pelanggaran prosedural yang
dilakukan oleh aparat keamanan pada penindakan kelompok teroris.
Dengan adanya analisis SWOT diatas, penulis dapat memetakan
dan menganalisis masalah, sehingga pada bagian ini akan dibahas solusi
konflik Poso. Namun, sebelum itu, penulis akan kembali menyentuh
tentang kondisi Poso saat ini. Poso kini telah menjadi sebuah ajang
pertempuran antara aparat dan teroris. Bila diamati lebih seksama lagi,
banyak kepentingan yang berperan disana. Seperti yang penulis dapatkan
informasi dari pengasuh Akademi Militer, Lettu Inf. Anshari yang saat ini
menjabat sebagai komandan peleton taruna yang pernah bernah bertugas
antara 1998-1999 sebagai anggota Intel di Poso dan Tentena, ia
mengatakan bahwa banyak pihak yang berkepentingan di dalam konflik
Poso, memanaatkan konflik Poso untuk mencari keuntungan pribadi, ia
juga mengatakan bahwa tidak semua LSM disana murni bertujuan baik,
ada yang ditunggangi kepentingan-kepentingan asing maupun
81

kepentingan elit politik setempat. Penulis disini menganggap bahwa


konflik Poso telah menjadi lahan empuk bagi banyak pihak yang
menginginkan keuntungan. Memang, tidak dapat disebutkan alasan bila
menuduh LSM ditunggangi kepentingan organisasi lain, namun secara
logika hal itu dapat dimungkinkan. Namun, dalam bahasan ini penulis
tidak akan lebih jauh membahas dugaan tersebut karena menyimpang
dari pokok permasalahan.
Mengingat begitu kompleksnya masalah Poso ini, dengan didukung
dan diperkuat analisis SWOT diatas, penulis menggunakan gaya
manajemen konflik kolaborasi, karena compromising yang dilakukan
pemerintah belum maksimal. Adapun gaya kolaborasi yang digunakan
disini adalah solusi integratif atau integracy approach, yakni pendekatan
integral antara semua pihak yang berperan dalam konflik dimana hal ini
senada dengan pendapat Drs. Karnavian yang juga memberikan suatu
pendekatan integratif yang beliau kemas dalam interagency approach
yang menekankan pada kerjasama antara komponen pemerintah dalam
menangani konflik.67
Integracy approach disini melibatkan peran yang lebih antara
komponen pemerintah yang didalamnya termasuk aparat, media massa/
LSM sebagai pihak yang independen, maupun masyarakat Poso sendiri.
Sebagai bagian dari gaya manajemen kolaborasi, dimana
mengakomodasi kepentingan semua pihak, dengan tingkat keasertifan
dan kerjasama tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif, dasar
bersama dan sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat.68
Integracy approach membutuhkan kerjasama yang baik antar komponen-
komponen yang terlibat, lebih jelasnya dalam tujuan melawan terorisme
serta menyelesaikan masalah yang ada akibat konflik di masa lalu agar
tidak muncul kembali, masalah di masa lalu dapat dijabarkan meliputi
trauma masyarakat, dendam, ataupun berbagai hal yang mampu

67
Karnavian, Op.cit, hal. 391.
68
Wirawan, Op.cit, hal. 140.
82

membuat konflik meletus kembali.Dalam solusi yang penulis tawarkan


antara lain adalah:
Pertama, evaluasi secara menyeluruh kinerja aparat keamanan di
Poso, terutama di tubuh Polri, khusus lagi Densus 88. Hal ini guna
memperbaiki citra aparat keamanan yang bertugas di Poso. Dibutuhkan
profesionalisme dan ketegasan dalam bertugas dengan tidak
mengesampingkan hukum humaniter, pidana, maupun HAM. Aparat
jangan malah memalukan dengan melakukan tindakan-tindakan yang
tidak patut.
Pemerintah dalam hal ini Polri maupun TNI, harus bisa
mengirimkan satuan yang terbaik dan berpengalaman dalam konflik
sosial. Bukan sekedar unit yang handal melawan teroris, namun satuan
yang juga mampu melakukan pendekatan pada masyarakat.
Memaksimalkan peran pembinaan teritorial oleh aparat TNI AD,
seperti keberadaan Koramil, Kodim maupun Kodam dalam melaksanakan
pembinaan territorial.. Misalnya adalah dilakukan Bhakti TNI-Polri pada
masyarakat, hal ini adalah sebagai operasi pendahuluan. Meyakinkan
bahwa aparat adalah teman masyarakat, bukan musuh.Hal itu memang
membutuhkan proses yang lama, namun perlu diingat, peran intelijen
sangat penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
mencegah provokator, dan terus melaksanakan pengawasan pada
kelompok-kelompok ekstrimis. Oleh karena itu deteksi dini sangatlah
penting. Kemudian pada tahap kedua, baru lakukan serangkaian
penindakan terhadap anggota teroris yang telah didapatkan informasinya
oleh intel. Tugas ini cukup berat, karena dibutuhkan kekompakan dan pola
integrasi dengan operasi-operasi lain, karena jaringan teroris yang ada di
Poso, memiliki hubungan yang erat dengan jaringan teroris lainnya di
Indonesia bahkan di dunia. Juga menyangkut DPO (Daftar Pencarian
Orang), DPO yang kurang akurat akan membuat aparat tanpa sadar salah
tangkap pada orang yang diduga teroris, dan buntutnya akan menjadi
pelanggaran HAM dan kesalahan procedural dalam penangkapan.
83

Dibutuhkan kerjasama yng baik dan terorganisir, lagi-lagi bagian ini


membutuhkan waktu yang lama dan perlu perencanaan yang matang.
Catatan penting bahwa khusus satuan yang akan melawan
langsung teroris, perlu dibekali pemahaman SOP yang baik dan benar,
mengerti hukum humaniter dan HAM, sehingga dalam prosesnya,
mengecilkan kemungkinan dugaan pelanggaan prosedur atau HAM.
Pasalnya, LSM seperti Komnas HAM dan Kontras akan selalu menyoroti
masalah yang berkaitan dengan HAM di daerah konflik. Hal ini juga
termasuk mengembalikan wibawa aparat di hadapan masyarakat, ubah
stigma tersebut. Apalagi sampai seorang polisi memperkosa tahanan, hal
ini sangat mencoreng nama baik institusi kepolisian.
Kedua, politik di daerah Poso harus stabil. Indikatornya adalah,
para pejabat atau elit politik baik di eksekutif maupun legislatif harus terdiri
dari orang-orang yang setidaknya berbuat bersih dan mampu dipercaya
masyarakat Poso. Bila perangkat nya sudah bersih, maka otomatis pula
proses rekonstruksi, dan rehabilitasi Poso tidak akan terhambat hanya
karena kasus korupsi dana bantuan yang sebenarnya digunakan untuk
mendukung rehabilitasi wilayah bekas konflik. Sehingga nantinya,
bantuan-bantuan yang ada dapat digunakan secara maksimal dan
totalitas demi perbaikan kondisi pascakonflik.
Ketiga, kehadiran negara sangat diperlukan. Dalam hal ini,
meskipun memang dihadapkan pada otonomi daerah, pemerintah pusat
harus berani menjabarkan bahwa konflik Poso bukan konflik daerah,
namun lebih pada tragedi nasional yang memerlukan bantuan pihak
secara nasional. Karena, dampak konflik Poso sendiri ditakutkan bisa
berimbas pada daerah-daerah lain di Indonesia, mengingat kembali
bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang beranekaragam, secara
otomatis, isu-isu SARA sangat mudah memancing permasalahan. Para
elite nasional harus meningkatkan kepekaannya, dalam hal ini saya
menganalisis batalnya Komisi III DPR berkunjung ke Poso karena alasan
yang masih simpang siur. Hal seperti ini lah yang jangan sampai terjadi,
84

karena menandakan bahwa pemerintah kurang memiliki iktikad baik untuk


lebih pro aktif dalam penyelesaian konflik.
Pemerintah jangan menggunakan momentum kondisi politik yang
mendekati pemilu 2014 untuk mengabaikan permasalahan sosial yang
ada, dan lebih memikirkan urusan politik. Contoh terbaru yakni ketika
Ketua Forum Silaturrahim dan Perjuangan Umat Islam Poso, KH Adnan
Abdurrahman Saleh (Arsal), sedikit kecewa. Jauh-jauh datang dari Poso,
Sulawesi Tengah, untuk mengadukan persoalan umat Islam di daerahnya
ke DPR, ternyata hanya diterima oleh seorang anggota Komisi III Al
Muzammil Yusuf dari PKS.69 Entah karena kesibukan atau hal lain,
hendaknya dewan juga mencermati kedatangan tokoh daerah seperti ini,
agar masyarakat Poso yang kali ini diwakili oleh ketua salah satu ormas,
tidak merasa dianakritikan atau tidak dianggap.
Negara harus menyadari bahwa konflik Poso bukan perkara
mudah, lebih mengarah pada bahaya laten, radikalisme terorisme yang
bisa muncul tiap saat. Pemerintah harus menempatkan agenda
penanganan konflik sebagai agenda terpenting dan tidak dibiarkan
berlatut. Sehingga diharapkan faktor pendukung seperti dana tidak
menghambat penyelesaian konflik
Kebijakan-kebijakan yang nantinya dibuat oleh pemerintah harus
pro rakyat, sebagai daerah konflik, masyarakat Poso harusnya mendapat
perhatian lebih dari pemerintah. Berikan pelayanan terbaik, fasilitas
terbaik, menandai bahwa pemerintah memang memberikan suatu prioritas
terhadap penanganan konflik. Bangun kembali pondasi ekonomiya serta
kualitas pendidikan yang baik, jangan ada lagi penyelewengan-
penyelewengan dana bantuan. Dengan ekonomi yang kuat, dapat
dipastikan kemakmuran tercapai, dengan kemakmuran yang didapat,
rakyat sejahtera dan simpatik kembali terhadap usaha-usaha pemerintah
dalam penanganan konflik, selain itu dengan pendidikan yang berkualitas,

69
http://www.arrahmah.com/news/2013/04/14/kh-adnan-arsal-beberkan-teror-terhadap-
muslim-poso-di-hadapan-jurnalis-islam.html diakses pada 16 April 2013 pukul 08.11
85

masyarakat akan dengan mudah mencerna dan memilah mana ajaran


yang benar dan mana yang salah. Sehingga tidak mudah terhasut isu
yang provokatif.
Masyarakat yang belum 100% stabil pasca konflik, kapanpun bisa
terpancing untuk melakukan gerakan-gerakan yang menandai dimulainya
kembali konflik horisontal. Maksimalkan jajaran pemerintah yang ada
seperti departemen-departemen terkait juga dengan lembaga legislatif.
Jadi disini masyarakat tidak merasa bahwa mereka terkesan dibiarkan,
namun masyarakat tahu ternyata negara selalu ada untuk mengayomi
warganya.
Keempat, ciptakan iklim kondusif di Poso. Semua pihak
bertanggung jawab menciptakan iklim yang kondusif. Masyarakat
memerlukan ketenangan dan kedamaian. Hal ini bisa didapat dengan hal
yang disebut di bagian pertama, yakni mampu mengambil hati masyarakat
Poso. Kepedulian aparat keamanan, aparat Pemerintah Pusat maupun
Daerah. Bila masyarakat sudah kondusif dan kembali mempercayai
aparat, barulah pemerintah dan aparat keamanan mengaja masyarakat
Poso bersama melawan terorisme dan paham-paham radikal. Lakukan
pendekatan-pendekatan guna mengambil hati masyarakat dengan
berbaur dengan masyarakat.
Kelima, ideologisasi empat pilar kebangsaan, penanaman kembali
nilai dan semangat juang Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinekka
Tunggal Ika Mungkin bisa dikatakan pada bagian rehabilitasi ataupun
rekonstruksi pasca konflik. Namun mengambil perhatian khusus pada
indoktrinasi karena perannya yang vital dalam counter terrorism itu sendiri.
Bagaimana tidak? pendidikan sangat penting, agar tidak kembali muncul
jaringan teroris baru atau dengan kata lain memutus rantai jaringan
teroris, salah satunya dengan pendidikan agama yang benar, jangan
menyalah artikan Jihad fi sabillilah. Penanaman kembali nilai-nilai
Pancasila sangat perlu, untuk menanamkan bahwa semua sama, hidup
bersama dalam kebhinekaan. Yang harus saling menghargai satu sama
86

lain. Indoktrinasi Pancasila berguna menghambat tumbuhnya radikalisme


baru.
Selain beberapa poin diatas, juga perlu ditegakkannya operasi
sweeping senjata api oleh aparat keamanan, terhadap para pemilik
senjata secara illegal. Karena bagaimanapun dengan adanya senjata api,
meskipun sama-sama sudah dinyatakan aman, senjata api tetap
berbahaya bagi siapapun bila disalahgunakan. Dan akan menjadi pemicu
permasalahan baru.
Keenam, law enforcement. Kalau diatas sudah sedikit disinggung
peran eksekutif dan legislatif, sekarang menyentuh ranah penegakan
hukum. Dalam setiap operasi melawan teroris, tak jarang dikaitkan
dengan isu-isu pelanggaran HAM ataupun pelanggaran pidana, dll. Dalam
hukum ini, penulis menyarankan agar makin digiatkannya kegiatan seperti
seminar ataupun sosialisasi tentang hukum humaniter, hukum HAM bagi
aparat yang akan melakukan tugas operasi. Jadi dihadapkan dalam
situasi daerah konflik, mereka juga paham mana yang harus dilakukan,
mana yang tidak boleh dilakukan. Sehingga tidak terjadi dugaan-dugaan
pelanggaran yang terus memojokkan upaya aparat dalam pemberantasan
terorisme.
Kalaupun memang terbukti ada pelanggaran yang dilakukan
aparat, harus benar-benar dilakukan penyelidikan dan penindakan secara
transparan dan nyata. Bukan berarti aparat penegak hukum tidak bisa
dihukum. Indonesia adalah negara hukum, hal ini juga dalam rangka
mengembalikan wibawa aparat penegak hukum di Poso.
Masih berbicara tentang law enforcement, dibutuhkan juga suatu
program rehabilitasi bagi para tersangka yang telah ditangkap
sebelumnya pada konflik-konflik sebelum Deklarasi Malino. Mereka ini
jangan sampai terkena pengaruh untuk terkena kembali isu-isu
radikalisme dan terorisme sehingga aktor-aktor lama menjadi pemicu
konflik baru ini. Diadakan pengawasan yang melekat oleh pihak aparat
87

keamanan maupun intel pada aktor-aktor lama ini, dengan sesuai


prosedur yang ada.
Masih mengenai hukum, adanya Inpres No. 2 tahun 2013,
hendaknya ditanggapi positif oleh masyarakat sebagai niatan baik dari
presiden untuk memberikan payung hukum pada aparat yang
menjalankantugas operasi keamanan di berbagai daerah rawan konflik di
Indonesia.Seperti pada kutipan saah satu surat kabar nasional:
"Inti dari Inpres No. 2 tahun 2013 ini adalah instruksi saya untuk meningkatkan
efektifitas penangganan gangguan keamananan di seluruh tanah air dengan
inpres ini saya berharap situasi keamanan dalam negeri kita benar-benar bisa
kita jaga," kata SBY, pada Rapat Kerja Pemerintah (RKP) di Jakarta, Senin (28-
1).” 70
Presiden menggarisbawahi peran dari kepala daerah untuk ikut
mencegah dan menjaga keamanan daerahnya, terutama mencegah
konflik sosial meluas. Keamanan dalam negeri diingatkan SBY menjadi
tanggung jawab Polri dan kepala daerah.
Inpres tersbut memang mengundang banyak kontroversi. Namun,
penulis tidak setuju dengan tanggapan negatif yang menduga Inpres ini
yang nantinya sebagai cikal bakal UU Kamnas yang dikhawatirkan dapat
mengembalikan arogansi TNI/POLRI seperti era Orde Baru. Disisi lain,
memang benar bila pemerintah harus melakukan pendekatan persuasif
pada masyarakat setempat, namun tidak menghalangi aparat untuk
bertindak tegas, selama sesuai SOP, tidak akan ada masalah.
Ketujuh, peran media massa, penulis disini mengikutkan media
massa, karena alas an tersendiri. Karena media massa sebenarnya bisa
menjadi pembentuk opini publik. Hendaknya media massa bersikap netral
dan independen, bukan terkesan seperti oposisi yang terus mengkritisi
pemerintah. Karena yang penulis amati, sejak era reformasi bergulir,
selalu ada media-media yang mengeluarkan editorial bernada mengkritisi
secara tajam, memang tidak ada bukti kuat, namun siapa yang mengira
bila dibalik media-media tersebut ada kepentingan politik dibelakangnya?

70
http://lampost.co/berita/sby-keluarkan-inpres-penanganan-konflik diakses pada 12 April
2013 pukul 22.26
88

Penulis menyarankan, tanpa mengecilkan arti demokrasi pemerintah


harus tetap melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap media
massa saat ini, sekali lagi, tanpa mengurangi makna demokrasi dan
kebebasan pers. Karena bukan tidak mungkin teroris menggunakan peran
media massa untuk mempropagandakan gerakan melawan anti terrorism,
yang berbuntut pada kebencian masyarakat terhadap Densus 88.
Terlepas dari itu media yang independen dan netral hendaknya ikut
memberitakan sisi positif dari daerah konflik seperti Poso, sehingga juga
mampu mempromosikan daerah Poso sebagai daerah yang aman.
Tentunya bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah yang harus
terlebih dahulu mampu memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat
pendatang, lebih bagus lagi kalau investor lokal sudah berani masuk
kembali untuk menanamkan modalnya di Poso dalam rangka memajukan
perekonomian Poso.
Kedelapan, menjadikan teroris sebagai common enemy. Indonesia
sudah sangat baik dalam penanganan kasus terorisme seperti bom Bali,
JW Marriot, Kuningan, dan lain-lain. BNPT pun dibentuk sebagai badan
pusat penanggulangan terorisme, UU anti teror pun disahkan pada era
Megawati. Sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak dapat memberantas
terorisme, namun seperti yang telah penulis katakan pada bagian-bagian
sebelumnya, semua akan terhambat apabila aparat keamanan melakukan
hal-hal diluar ketentuan, kesalahan prosedur, ataupun pelanggaran yang
lain. Pada intinya dalam proses perlawananan terhadap teroris,
dibutuhkan koordinasi antara pihak terkait. Penyiapan SDM yang tangguh
akan membantu dalam proses peningkatan kemempuan perlawananan
anti teroris, ditambah dengan bantuan TNI beserta intel-intel yang
ditugaskan. Disini yang juga perlu diperhatikan, jangan sampai teroris
mampu berasimilasi dengan masyarakat, mengadu domba masyarakat
untuk berkonflik kembali bahkan untuk melawan pemerintah. Terlepas dari
kejadian temuan pelanggaran HAM benar atau tidak, apakah hanya
89

sebuah propaganda pihak-pihak yang tidak menginginkan Poso damai,


patut ditunggu penyelesaian dari yang berwajib dalam penyelidikan.
Penulis yakini, Indonesia mampu memerangi terorisme dengan
baik, dengan adanya Densus 88 yang sudah diakui ketangguhannya
dalam counter terrorism. Investigasi tentang jaringan-jaringan luar negeri
di Indonesia harus terus dilakukan. Tentunya dimungkinkan kerjasama
dengan dunia internasional .
Kesembilan, peran LSM (lembaga non pemerintah). LSM bertugas
mengawasi kinerja pemerintah dan aparat di wilayah konflik.
Bila dapat berkoordinasi dengan baik, pemerintah juga dapat
memanfaatkan LSM sebagai sumber informasi, namun sebaliknya, bila
tidak mampu berkoordinasi dengan pemerintah, artinya tidak bisa
mengembangkan hubungan mutualisme saling menguntungkan, LSM
bisa dengan mudah membuat opini publik, yang semakin menurunkan
wibawa pemerintah dengan mengsusut sisi negatif dari upaya penindakan
para teroris. Kembali dibutuhkan profesionalisme aparat pemerintah disini.
Hal tersebut harusnya sudah disadari oleh pemerintah, bahwa LSM dapat
menjadi peluang maupun ancaman bagi proses perang melawan
terorisme.
Kutipan dibawah menunujukkan betapa pentingnya peran LSM
ataupun NGO (Non Govermental Organization) dalam penyelesaian
konflik Poso tidak hanya saat ini, namun juga kedepannya, disamping
perlunya penegakan hukum dan transparansi dana bantuan, menurut
Laporan International Crisis Group:

“The government at all levels – national, provincial and district – needs urgently to
institute strict auditing measures and increase transparency about how and to
whom funds are being disbursed. Police and NGO (Non Govermental
Organization)s need to find ways to end their cold war. And donors need to ensure
that a useful vocational training program for released prisoners and young men
deemed potential troublemakers can be evaluated and continued.” 71

71
International Crisis Group, Op.cit, hal. 10.
90

Maknanya, tanggung jawab konflik Poso adalah tanggungjawab


seluruh komponen bangsa, baik pemerintah daerah, provinsi maupun
pusat.
Kesepuluh, menggali kembali serta memaksimalkan nilai-nilai adat
“Sintuwu Maroso” yang berarti: hidup saling menghargai (tuwu
mombetuwunaka), hidup saling menghidupi (tuwu mombepatuwu), dan
hidup saling menolong (tuwu mombesungko). Disini peran tokoh agama
sangat penting, penting dalam memberikan pengertian bahwa kehidupan
bertenggang rasa adalah mutlak. Melupakan trauma pasca konflik,
dengan bantuan lembaga-lembaga pemerintah. Ataupun cara lain adalah
dialog-dialog antar komunitas yang merpakan usaha guna menangkal
masuknya pemahaman yang salah terhadap ajaran agama maupun isu-
isu yang provokatif.
Mengenai terorisme yang sekarang berkembang, masyarakat harus
bisa membedakan, mana paham yang benar, mana yang salah. Sehingga
kembali pada penmahaman dan pengamalan Pancasila dan ajaran agama
yang benar. Biarlah umat Islam yang benar-benar mengerti agama dan
tidak berpandangan ekstrim hidup berdampingan dengan umat Kristen
lainnya. Pihak-pihak yang terkait harus mampu mencegah asimilasi
antara teroris dengan masyarakat yang lain, oleh karena itu, disinilah
peran tokoh agama sangat vital.
Dari kesepuluh tawaran penulis untuk solusi Poso, penulis
beranggapan bahwa semua pihak sangat berperan dalam penanganan
konflik. Mengingat bahwa konflik ini adalah suatu permasalahan yang
kompleks dan bersifat laten, maka pemerintah harus benar-benar serius
dan totalitas dalam penanganannya. Segala bentuk penanganan oleh
pemerintah hendaknya didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Poso
khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Penanganan ini bersifat
integratif, yakni juga disinergikan dengan penanganan terorisme di daerah
lain, karena penulis yakini jaringan teroris di Indonesia memiliki hubungan
satu sama lain.
91

Sedangkan dari masyarakat Poso sendiri, nilai-nilai adat SIntuwu


Maroso hendaknya benar-benar merasuk kembali dalam diri masyarakat
Poso, nilai-nilai tersebut diyakini juga mampu menangkal indoktrinasi
radikalisme dan terorisme yang masih membayangi Poso. Berangkat dari
nurani masyrakat Poso sendiri, nilai-nilai adat Sintuwu Maroso harus
dimaksimalkan. Sehingga masyarakat Poso pun tidak terpecah belah
akibat hasutan teroris untuk berkonflik antar umat beragama apalagi untuk
melawan aparat.

Anda mungkin juga menyukai