BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
22. Umum
26
Karnavian, M.Tito dalam Thamrin Tamagola. 2008. Indonesian Top Secret
Membongkar Konflik Poso. Jakarta: Gramedia, hal. 72
39
27
Trijono, Lambang dkk. 2004. Potret Retak Nusantara. CSPS Books: Jogjakarta, hal. 1.
40
28
Ibid, hal. 373.
41
Konflik terbuka yang terjadi pada fase pertama hingga kelima lebih
mengarah kepada konflik massal dan destruktif, artinya saling
menghancurkan dan melibatkan banyak pihak. Yang perlu dipahami disini,
bahwa di Poso tercipta suatu kondisi yang sangat mencekam antara
kedua komunitas, yang dulu saudara pun, karena memang berbeda
agama, pada masa-masa tersebut jadi berjauhan. Meski aparat sudah
datang mengamankan, karena keterbatasan, upaya untuk benar-benar
29
Soetrino, Loekman. 2003. Konflik Sosial. Yogyakarta. Tajidu Press Timur, hal. 37.
42
yang disebabkan oleh hal sama yakni perkelahian antara dua pemuda
yang berbeda agama. Mereka ini yang pada akhirnya membawa
persoalan kepada kelompok pemuda masing-masing, kemudian karena
pemuda masih memiliki tingkat emosi yang amat tinggi, jelas memerlukan
suatu pengakuan bahwa salah satu dari mereka adalah yang terkuat dan
patut disegani, dalam memperebutkan pengakuan tersebut, maka mereka
saling menyerang. Meskipun disisi lain adanya perasaan ingin membela
keyakinan/agama masing-masing akan menjadi motif tersendiri.
Teori Identitas, dimana pihak yang bertikai, timbul perasaan
terancam atau tidak diakuinya identitas orang atau sekelompok orang,
berkaca pada pembahasan bagian sebelumnya, bahwa masyarakat
Kristen di Poso Kota di masa lalu yang identitasnya semakin terdesak
akibat kedatangan para pendatang yang mayoritas beragama Islam, hal
ini menimbulkan perasaan terancam yang terus dipendam, hingga
menyebabkan suatu pola pikir yang negatif terhadap umat Islam, oleh
karena itu suatu perkelahian kecil antara pemuda berbeda beragama
pada bulan Ramadan 1998 pada fase pertama mampu menjadi pemicu
konflik yang sangat ampuh bagi timbulnya konflik lanjutan, karena
pemikiran melakukan permusuhan telah lama dipendam oleh provokator
yang pandai membua suatu opini kelompok tertentu, dari kedua belah
pihak beragama. Contoh lain pada konflik massal kedua adalah
penunjukan para pejabat daerah yang masih saja mempertimbangkan
agama sebagai penentu pengisi jabatan yang ada, yang secara mudah
akan dipolitisir oleh pihak yang menginginkan keuntungan dibalik
kericuhan bertopeng faktor agama. Arief Patanga sebagai tersangka
kasus fase kedua adalah calon bupati yang menggunakan selebaran-
selebaran berisi sentimen agama agar masyarakat membedakan dirinya
dengan lawan politiknya Yahya Parino yang memang berbeda agama
dengannya. Hal ini akan membuka luka-luka akan konflik yang telah lalu.
Teori Kesalahpahaman Antar Budaya, kurangnya komunikasi
karena telah berlarutnya kekerasan antar agama di Poso semakin
44
30
http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2006/04/29/972/Lanto-Dago-Datangkan-
Personel-Tambahan-ke-Poso diakses pada tanggal 20 Februari 2013 pukul19.00
31 Karnavian.Op.cit, hal. 373.
46
diguncang bom, menewaskan enam korban jiwa. Masih pada 2004, pada
bulan Desember merembetlah kasus kekerasan hingga ke Kota Palu.
Di tahun 2005, aksi-aksi kekerasan terus meningkat. Diantaranya
adalah perampokan terhadap karyawan Pemda Poso, mutilasi terhadap
tiga sisiwi SMU Kristen Poso serta peledakan bom pada 31 Desember
2005 di jalan Sulawesi Palu pukul 07.30 WITA yang menewaskan delapan
orang tewas. Namun, tidak berakhir disitu, rangkaian bom juga terus
meledak sepanjang tahun 2006.
Pada triwulan I tahun 2006, ada tiga kasus penembakan dan dua
kasus peledakan bom, sedangkan pada bulan Oktober 2006 ada 15 kasus
bom meledak di Poso. Bahkan setelah eksekusi mati atas tersangka
konflik Fabianus Tibo dilakukan, banyak terjadi pembunuhan dan
pengeroyokan di Poso.
Rangkaian aksi teror tersebut sebagai imbas dari tidak tuntasnya
penyelesaian konflik Poso di masa lalu yang nantinya penulis bahas di
bagian berikutnya.
32
Susan,Novri dalam Rule.2012.Negara Gagal Mengelola Konflik. Jakarta:Sleman.hal. 22
47
a. Dendam
Rasa dendam menyelimuti warga muslim Poso yang
menjadi korban konflik, misalnya korban dibunuh, rumah dibakar,
kebun dijarah, dsb. Hal ini menjadi suatu motivasi tersendiri bagi
komunitas muslim yang akan membalas tindakan pada warga
Nasrani karena kehilangan harta maupun keluarga karena
pembantaian.
b. Trauma Psikologi
33
Karnavian,Loc.cit.
48
ini tidak hanya berasal dari luar negeri, namun juga para provokator eks
konflik Ambon beberapa waktu sebelumnya, yang mencari lahan baru
untuk berjihad di Poso. Dan mereka ini bergabung dengan kelompok
ekstrimis lokal. Hal-hal diatas adalah dampak dari konflik massal sebelum
Deklarasi Malino yang sekaligus menjadi akar permasalahan pasca
Deklarasi Malino. Namun pada babak baru nanti, lebih mengarah pada
radikalisme serta terorisme.
36
Karnavian.Op.cit, hal. 194.
51
37International Crisis Group. 2012. “How Indonesian Extrimist Regroup”. Crisis Group
Asia Report. No. 127. Hal. 12.
52
bom, menewaskan enam korban jiwa. Masih pada 2004, pada bulan
Desember merembetlah kasus kekerasan hingga ke Kota Palu. Di tahun
2005, aksi-aksi kekerasan terus meningkat hingga memasuki tahun 2006,
dimana puluhan kasus peledakan bom terjadi.
Pada periode 2007-2011 kondisi Poso relatif lengang, setelah
sebelumnya didominasi oleh konflik horizontal maupun serangkaian aksi
teror. Mengapa sempat terhenti pada tahun 2007? Karena setelah
peristiwa bom Bali, semua konsentrasi jaringan teroris terutama JI
(Jama’ah Islamiyah) mendapatkan perlawanan hebat dari para aparat
yang saat itu gencar-gencarnya memburu para teroris, apalagi semakin
percaya dirinya aparat Indonesia dengan bantuan pihak asing, dalam hal
ini bantuan dari polisi federal Australia. Sehingga pada saat kantong-
kantong JI (Jama’ah Islamiyah) terpecah belah di seluruh Indonesia, Poso
menjadi wilayah satu-satunya dimana kegiatan JI (Jama’ah Islamiyah)
masih aktif. Namun kepemimpinan yang buruk dan serangan-serangan
yang semakin tidak professional dari pihak teroris, akhirnya mengakhiri
cabang JI (Jama’ah Islamiyah) Poso tersebut, dan dalam sebuah peristiwa
baku tembak dengan polisi tanggal 22 Januari 2007, JI (Jama’ah
Islamiyah) cabang Poso akhirnya berhasil ditaklukkan dalam sebuah
operasi yang menghasilkan penangkapan sebagian besar pemimpin
senior yang hingga saat itu berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi.
Operasi yang dilakukan polisi adalah bagian rangkaian “Operasi
Penindakan“ yang memang digelar dari 11 Januari hingga 22 Januari
2007 untuk memburu para pelaku teror. Sebelum dilakukan operasi
penindakan, aparat polisi telah lebih dulu melakukan pendekatan agar
pelaku utama pemboman segera menyerahkan diri, namun hal tersebut
tidak mendapat respon yang baik, sehingga operasi terhadap pusat teroris
di tanah runtuh perlu dilakukan.
Namun yang perlu diperhatikan, penulis disini menganalisis bahwa,
setelah lumpuhnya JI (Jama’ah Islamiyah), pada rentang waktu antara
2007-2011 tersebut dapat digunakan oleh para jaringan teroris yang
53
38
Ibid.
39 Ibid, hal 13.
40 Ibid.
41 http://www.tempo.co/read/news/2012/11/04/063439572 diakses pada 21 April 2013
pukul 19.22
54
Tabel 2
Rangkaian Peristiwa Teror Sepanjang 2012
No. Peristiwa Tanggal Lokasi
42
Zen, Op.cit, hal xi.
56
a. Faktor Internal. Faktor ini berasal dari pola pikir dari lingkungan
konflik itu sendiri.
1) Tidak mampunya butir-butir dalam Deklarasi Malino
dimaksimalkan untuk meredakan permasalahan Poso
hingga akar-akar masalah secara optimal dan menyeluruh.
57
Tabel 3
Persebaran Pengungsi Sebelum Deklarasi Malino
No. Lokasi pengungsian Jumlah
1. Kota Palu 22.940 jiwa
2. Kabupaten Poso 43.443 jiwa
3. Kabupaten Donggala 11.827 jiwa
4. Kabupaten Morowali 10.757 jiwa
e. Dampak psikologis
Munculnya trauma berkepanjangan akibat konflik yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat dan akan terbawa sampai
generasi berikutnya. Dan tentunya akan sangat berpengaruh pula
bagi pola perkembangan generasi berikutnya tersebut.
f. Kerusakan infrastruktur
43
Ecip, Op.cit ,hal.106.
61
44
Ibid, hal.107.
45
Wirawan, Op.cit, hal. 59.
62
46http://id.scribd.com/doc/58858189/35/Ingatan-Kolektif-sebagai-Alat-Kepentingan
diakses pada tanggal 14 April 2013 pukul 16.50
63
47Lengkong, Elkana. 2008. Tangan Dingin Jenderal, Poso Damai. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, hal. 57.
64
48
Ecip,Op.cit, hal.95.
65
49 Adi Susilo, Taufik. 2010. Biografi Singkat Jusuf Kalla. Jogjakarta: Garasi House of
Book, hal. 68.
50 Ibid, hal.117.
66
2006 dilakukan eksekusi mati pada Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan
Dominggus Da Silva.53 Kemudian setelahnya kembali terjadi gejolak,
karena gelombang protes dari warga Nasrani di Tentena yang
menganggap putusan tersebut tidak adil, banyak massa mengamuk dan
menyerang pos polisi. Tak hanya di Sulawesi, namun juga di Nusa
Tenggara Timur (NTT). Perlu diketahui juga, bahwa Fabianus Tibo berasal
dari NTT. Semakin menguatkan penulis bahwa memang banyak pihak
diluar Poso yang semakin memanaskan konflik saat itu.
Sebelum eksekusi sendiri juga telah terjadi gejolak, karena selama
proses persidangan, banyak pro-kontra mengenai tuntutan mati terhadap
para tersangka. Dimana umat muslim mendesak aparat segera
mengeksekusi para tersangka, namun disisi lain eksekusi pasti
mengundang kemarahan umat Nasrani. Namun, dalam proses yang
cukup panjang, aparat mampu bertindak bijak demi penegakan supremasi
hukum, karena memang para terdakwa terbukti bersalah, sehingga tetap
dilaksanakan hukuman mati.
Belum lengkap bila tidak menyinggung kinerja TNI maupun Polri
hingga saat ini. Penempatan pasukan keamanan dilakukan untuk menjaga
keamanan di Poso. Pada April hingga Juni 2000, Polda Sulteng mulai
menggelar operasi keamanan yaitu Operasi Sadar Maleo. Operasi digelar
hingga lima tahap ini efektif dimulai 1 Juli 2000. Ada empat belas Satuan
Setingkat Kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk
mengamankan Poso. Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang
membawahi Komando Resort Militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi
Cinta Damai. Namun serangkaian penyerangan, pembakaran rumah
warga, penculikan, dan pembunuhah masih saja terjadi. Hingga akhirnya
digelar Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso dengan sandi
Operasi Sintuwu Maroso pada Desember 2001.
53
Ibid, hal.224.
69
54 http://hizbut-tahrir.or.id/2013/04/11/densus-88-dikecam-polri-kami-juga-ingin-masuk-
surga/ diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 15.00
70
55 http://sindikasi.net/warta/isi-tuntutan-komnas-ham-terkait-pelanggaran-ham-yang-
dilakukan-densus-88 diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 17.00
56 http.:// Ombudsman-Soroti-Perkosaan-Tahanan-di-Poso diakses pada tanggal 11 April
2013 pukul 17.00
57http://lampost.co/berita/komnas-ham-penanganan-terorisme-di-poso-tidak-sesuai-
prosedur diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 17.00
71
“ The issue of most concern to the NGO (Non Govermental Organization)s and
community leaders Crisis Group interviewed in post-conflict Poso is not renewed
deadly conflict or other violence but corruption and mismanagement of recovery
funds. The whiff – or in some cases, stench – of corruption has long hung over
Poso….” 60
Dalam tulisan tersebut sangat disayangkan, para pejabat daerah
yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Sekaligus
mencerminkan buruknya sistem birokrasi yang ada dan kurangnya pejabat
dalam menggunakan wewenangnya. Lemahnya unsur pengawasan dan
pengendalian dalam birokrasi pemerintahan juga ikut berperan.
Sedangkan untuk pencapaian Deklarasi Malino, keberhasilan ini
bukan semata-mata upaya pemerintah, namun memang kesadaran dari
warga Poso sendiri untuk mencapai kata damai dengan mengingat
semangat “Sintuwu Maroso”. Itulah sedikit perbedaan namun memiliki
banyak arti bagi tercapainya sebuah Deklarasi. Sedangkan pada era
pasca Deklarasi Malino, lebih ditekankan pada usaha yang disebut
rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan proses solusi konflik yang
mentransformasi ke keadaan sebelum terjadinya konflik, yakni keadaan
kehidupan yang harmonis dan damai.61
Dalam kasus Poso, setelah kedua pihak sama-sama menyetujui
kesepakatan dalam deklarasi, pemerintah berusaha mengembalikan
kondisi Poso seperti semula, yakni dengan rehabilitasi wilayah,
penanganan pengungsi, tindakan penegakan hukum dan keamanan
terkait tokoh-tokoh yang memicu konflik, pembenahan sektor pendidikan
agama dan kebudayaan serta program pembinaan sektor sosial ekonomi.
Namun karena adanya penyimpangan-penyimpangan seperti yang
disebutkan diatas, proses rekonsiliasi tidak berjalan maksimal. Hingga
60 International Crisis Group. 2008. “Indonesia Tackling Radicalism in Poso”. Crisis Group
Asia Report. No. 75. Hal.10.
61
Wirawan.Op.Cit, hal.195.
73
63 http://www.voaislam.com/counter/intelligent/2013/03/05/23492/kompolnas-
terjadipelanggaran-ham-berat-di-poso/ diakses pada tanggal 13 April 2013 pukul 19.09
74
HAM.
75
67
Karnavian, Op.cit, hal. 391.
68
Wirawan, Op.cit, hal. 140.
82
69
http://www.arrahmah.com/news/2013/04/14/kh-adnan-arsal-beberkan-teror-terhadap-
muslim-poso-di-hadapan-jurnalis-islam.html diakses pada 16 April 2013 pukul 08.11
85
70
http://lampost.co/berita/sby-keluarkan-inpres-penanganan-konflik diakses pada 12 April
2013 pukul 22.26
88
71
International Crisis Group, Op.cit, hal. 10.
90