Anda di halaman 1dari 10

PERAN AMIR HAMZAH DALAM PERKEMBANGAN

SASTRA INDONESIA: RIWAYAT HIDUP DAN


KARAKTERISTIK KARYA-KARYANYA

Tugas ini Disusun sebagai UAS Mata Kuliah Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu : Dra. Rr. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum.

Disusun oleh
JOKO SUJARWO
(B0220033)

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021

0
PERAN AMIR HAMZAH DALAM PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA: RIWAYAT HIDUP DAN
KARAKTERISTIK KARYA-KARYANYA
Oleh: Joko Sujarwo

A. PENDAHULUAN
Berkaca dalam sejarah, perkembangan sastra Indonesia telah mengalami
proses yang cukup panjang. Sebagaimana periodisasi sejarah sastra Indonesia
yang telah dibuat oleh H.B Jassin, bahwa pembabakan sastra Indonesia dimulai
dari Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan
’66 (Prasisko, 2017). Setiap periode dalam pembabakan sejarah sastra Indonesia
tersebut, tentunya, didukung oleh adanya peran tokoh-tokoh intelektual atau para
sastrawan yang berhasil menciptakan karya sastra dengan ciri khas masing-masing
yang berbeda tiap zamannya.
Amir Hamzah merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang dikenal
dengan sebuatan “Raja Pujangga Baru”. Sebutan itu disandang oleh Amir Hamzah
atas karya-karyanya yang menjadikan munculmya nuansa baru dalam karya sastra
Indonesia pada Angkatan Pujangga Baru. Sebagaimana dikatakan oleh Santoso
(2011) bahwa Amir Hamzah adalah pelopor penyair zaman Pujangga Baru, di
mana saat itu karya sastra berkembang atas semangat budaya lokal atau budaya
kembali ke kampung halaman, yaitu Melayu. Dalam memodernkan sastra
Indonesia, Amir Hamzah tidak mencontoh karya-karya sastra Barat. Hal ini dapat
terlihat, khususnya, dari puisi-puisinya yang membongkar kesusastraan Melayu
Lama (Badan Bahasa, TT).
Bagi penulis, peran Amir Hamzah dalam khazanah kesusastraan Indonesia
sangat menarik untuk ditelisik lebih dalam. Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan mencoba menjelaskan peran Amir Hamzah dalam perkembangan sastra
Indonesia secara ringkas yang ditinjau dari riwayat hidup Amir Hamzah dan
karakteristik karya-karya Amir Hamzah. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia dan menambah wawasan bagi
penulis dan pembaca.

1
B. RIWAYAT HIDUP AMIR HAMZAH (1911-1946)

Amir Hamzah, yang dikenal dengan


sebutan “Raja Pujangga Baru” ini, lahir pada
tanggal 28 Februari 1911 di Langkat,
Sumatera Timur. Ia merupakan keturunan
dari bangsawan Kesultanan Langkat.
Ayahnya bernama Tengku Muhammad Adil,
sedangkan ibunya bernama Tengku
Mahjiwa. Dalam keluarganya ia mempunyai
Gambar 1. Amir Hamzah
Sumber: Badan Bahasa, TT sebelas saudara, di mana keluarganya
tersebut sangat taat dalam menjalankan
Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin
(2016:5), pendidikan Amir Hamzah dimulai sejak ia masuk di Sekolah Dasar
(Langkatsche School) pada tahun 1918-1924. Sekolah Dasar tersebut dikelola oleh
Sultan Langkat dengan dana dari Kesultanan Langkat sendiri. Selain aktif di
sekolah umum, ia juga menjadi murid pendidikan agama Islam ketika sore hari. Ia
belajar bahasa Arab dengan gurunya bernama Tua Syekh Haji Abdul Karim dan
Tuan Kadji Haji Muhammad Nur di Binjai.
Tahun 1925, Ia melanjutkan pendidikannya dengan bersekolah di MULO
Medan. Ia masuk pada voor klas atau kelas pendahuluan sampai kelas dua.
Kemudian, pada tahun 1926 ia meminta ayahnya agar memindahkannya ke
sekolah di Jawa. Hal ini karena ia memiliki pandangan bahwa Jawa merupakan
pusat ilmu kebudayaan pada waktu itu. Ayahnyapun menghendaki untuk ia
bersekolah di Jawa. Akhirnya, ia bersekolah di Christelijk MULO di Batavia.
Dalam sekolah tersebut, ia belajar agama Katolik untuk menambah
pengetahuannya dalam ilmu perbandingan agama. Tahun 1927, Amir Hamzah
berhasil menamatkan pendidikannya (Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin, 2016:5).
Setelah lulus dari Christelijk MULO di Batavia, Amir Hamzah melanjutkan
pendidikannya ke AMS Solo, jurusan Sastra Timur. Semasa di Solo ia aktif dalam
pergerakan Indonesia merdeka. Bahkan, ia menjadi Ketua Muda Indonesia cabang

2
Solo dan membentuk Kepnduan Bangsa Indonesia, organisasi ini merupakan cikal
bakal dari Pramuka. Selain itu, di sela-sela belajar, ia juga mengabdikan ilmunya
dengan mengajar di beberapa sekolah di Surakarta (Takari, A. Zaidan B.S., dan
Fadlin, 2016:5).
Saat bersekolah di Solo, kisah asmara Amir Hamzah dimulai. Tahun 1928
kekasihnya yang bernama Aja Bun di Langkat dinikahi oleh kakaknya sendiri
yaitu Tengku Husin Ibrahim. Menurut Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin
(2016:10) hal inilah yang menunjukkan bahwa ia lebih memngedepankan
kepentingan dalam keluarganya. Hal ini karena pernikahan kakaknya dengan
dengan kekasihnya ini ditukan agar keluarga besar mereka tetap menyatu dalam
kesatuan keturunan yang besar. Akan tetapi, tidak lama kemudian, ia pun bertemu
dan jatuh cinta kepada seorang gadis Jawa, yang bernama Ilik Sundari. Takari, A.
Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:10) mengatakan bahwa Ilik Sundari merupakan
teman satu kelas Amir Hamzah di AMS Solo.
Lulus dari AMS Solo, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di Reach
Hoge School (RHS) di Batavia. Hal ini karena ia ingin menjadi seorang sarjana
hukum. Menurut Badan Bahasa (TT), pertama kali bekerja di Batvia, ia menjadi
seorang guru di Perguruan Rakyat. Dalam pekerjaannya tersebut, ia bertemu
dengan Sultan Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Ia juga mulai menulis
karya-karya sastra dalam beberapa majalah, antara lain Pandji Poestaka,
Poedjangga Baroe, Timboel, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1931, ibu Amir Hamzah, Tengku Mahjiwa, meninggal dunia.
Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:5) mengatakan bahwa kesedihan Amir
Hamzah saat ibunya meninggal dunia, dapat dilihat dari puisi yang telah
ditulisnya yang berjudul “Bunyi Bunda I” dan “Bunyi Bunda II”. Kesediahan
Amir Hamzah pun timbul lagi karena ayahnya juga meninggal pada tahun 1933.
Kematian ayahnya ini menjadikan ia seorang yatim piatu. Bagaimanapun ayahnya
tersebutlah yang membiayai sekolah dan kuliahnya selama ini. Akan tetapi, ia
tetap bisa menyelesaikan pendidikannya di Reach Hoge School (RHS) Batavia
atas bantuan biaya dari pamannya, Sultan Langkat, sehingga ia dapat menjadi
sarjana muda hukum.

3
Pada tahun 1934, Amir Hamzah disuruh pulang ke Langkat oleh Sultan
Langkat dan akan dinikahkan dengan putrid Sultan Langkat yang bernama
Tengku Kamaliah. Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:5) menjelaskan
bahwa alasan dibalik pulangnya Amir Hamzah ke Langkat atas perintah Sultan
langkat tersebut merupakan sebuah siasat politik Belanda pada waktu itu. Semua
gerakan Amir Hamzah di Jawa yang berorientasi untuk menjadikan Indonesia
terlepas dari jajahan Belanda, telah dimata-matai oleh Belanda. Sebenarnya, siasat
politik yang dilakukan oleh Belanda tersebut juga sudah diketahui oleh Amir
Hamzah, tetapi karena ia sangat memegang erat budaya Melayu maka ia tetap
memenuhi permintaan Sultan Langkat tersebut. Dalam budaya Melayu yang
dianutnya, menganggap bahwa Sultan merupakan wakil Allah SWT di bumi,
sehingga semua perintahnya harus dipatuhi. Amir Hamzah pun menikah dengan
Tengku Kamaliah dan dikaruniai lima orang anak.
Singkat cerita, adanya revolusi sosial di Langkat pada tahun 1946
menyebabkan terbunuhnya Amir Hamzah. Dalam revolusi tersebut, Amir Hamzah
difitnah bahwa ia bekerja sama dengan pihak Belanda. Revolusi sosial di langkat
membuat Sultan Langkat termasuk juga Amir Hamzah pada tanggal 7 Maret
1946. Amir Hamzah tewas dipancung oleh algojo pada tanggal 20 Maret 1946
(Badan Bahasa, TT). Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:5) mengungkapkan
bahwa jasad Amir Hamzah dikebumikan di Kuala Begumin, lalu dipindahkan ke
laman kuburan Masjid Azizi.

C. KARAKTERISTIK KARYA-KARYA AMIR HAMZAH


Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:3) menjelaskan bahwa
kepengarangan Amir Hamzah dalam karya-karyanya didasari oleh ajaran-ajaran
sufi atau disebut sebagai ilmu tasawuf dan landasan-lamdasan religiusnya. Ajaran
ini berkembang di tempat kelahirannya, yaitu Langkat, Sumatera Utara.
Sebagaimana dikatakan oleh Muthari (dalam Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin
(2016:3)) bahwa sajak-sajak yang telah ditulis oleh Amir Hamzah tidak sekadar
sajak percintaan biasa, tetapi memiliki hubungan erat dengan tradisi sastra penulis

4
sufi. Amir Hamzah merupakan salah satu anggota tarekat Naqsabandiyah seperti
halnya kakeknya dahulu.
Ditegaskan dalam Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:4) bahwa
perkembangan ajaran agama Islam di tempat kelahiran Amir Hamzah, Langkat,
Sumatera Utara dapat dikatakan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan,
dalam Kerajaan Langkat, agama Islam dijadikan sebagai pedoman terhadap
pembuatan kebijakan-kebijakan kerajaan. Begitu pula dengan masyarakat di sana
yang mayoritas memeluk agama Islam. Sistem kehidupan masyarakat di wilayah
tersebut terikat dengan adat resam Melayu. Adat tersebut merupakan hasil dari
pengaruh agama Islam. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Melayu yang tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam akan dihilangkan. Kederadaan agama Islam dan
tarekat tersebutlah yang diinternalisasikan dalam diri Amir Hamzah dan
diimplentasikan lewat karya-karyanya.
Selain dari sisi religiusitas, Amir Hamzah juga memiliki semangat
kebangsaan yang tinggi. Hal tersebut diwujudkan sejak ia masih bersekolah dulu.
Ia dan teman-temannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia agar terlepas
dari jajahan Belanda melalui gerakan-gerakan pemuda yang telah mereka buat.
Semangatnya tersebut juga ia ungkapan dalam karya-karya sastranya yang ia buat
dengan menggunakan bahasa Indonesia (yang berakar dari bahasa Melayu) karena
dalam gagasannya ingin agar bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional.
Menurutnya, bangsa Indonesia harus memiliki bahasa sendiri, ia mengusulkan
bahasa Melayu sebagai dasar dalam pembentukkan bahasa Indonesia pada waktu
itu. Kebanyakan para sastrawan dalam membuat karya-karya sastra, mereka
menggunakan bahasa Belanda, tetapi ia Amir Hamzah dalam karyanya
memperkenalkan bahasa Melayu (dasar dari bahasa Indonesia). Dalam
perjuangannya untuk Indonesia merdeka perjuangan yang dilakukan oleh Amir
Hamzah paling menonjol adalah melalui integrasi budaya dan sosial (Takari, A.
Zaidan B.S., dan Fadlin, 2016:13).
Semasa hidupnya, Amir hamzah telah membuat banyak karya sastra.
Terdapat 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 13 prosa asli, 77 prosa terjemahan, 1
prosa liris terjemahan, dan 18 prosa liris terjemahan (Takari, A. Zaidan B.S., dan

5
Fadlin, 2016:14). Dalama hal ini dapat dilihat bahwa ia lebih banyak membuat
sajak, kemudian prosa. Selain mengeksplorasi kebudayaan Melayu dalam karya-
karyanya, ia juga menmpatkan unsur-unsur kebudayaan Nusantara dan dunia.
Amir Hamzah bertidak sebagai seorang penerjemah atau pengalihbahasa terhadap
karya-karya sastra asing. Ia memandang bahwa semua kebudayaan tersebut adalah
bagian dari globalisasi sebagaimana ajaran adat melayu yang telah ia peroleh.
Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:14) menjelaskan bahwa karya-
karya Amir Hamzah terkumpul dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Setanggi
Timur, Nyanyi Sunyi, dan Baghawat Gita. Atas karya-karyanya tersebutlah yang
mejadikan ia sebagai penyair hebat dikalangan penyair-penyair lain pada zaman
itu. Bahkan, beberapa mpenyair menyebut karya-karya Amir Hamzah sebagai
salah satu puncak dari kepenyairan Indonesia selama ini. H.B Jassin dan Zuber
Usman menyebut Amir Hamzah sebagai “Raja Pujangga Baru”.
Karya Amir hamzah, terutama sajak-sajaknya dapat dinilai sebagai
pribadinya yang memiliki kemampuan dalam menyusun dan merangkai suara
serta perbendaharaan kata-kata atau diksi yang kaya. Kemudian, kata-kata yang ia
pakai dalam membuat sajak-sajaknya tersebut adalah sebuah prosodi verbal dan
nonverbal yang sangat merdu (Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin, 2016:14).
Selain penggunaan kata-kata bahasa Melayu dalam sajaknya, Amir Hamzah juga
menggunakan bahasa Jawa, Kawi, ataupun Sansekerta. Kapiawaiannya dalam
menggunakan bahasa tersebut diperoleh saat ia bersekolah di AMS Solo, jurusan
Sastra Timur. Amir Hamzah dapat dikatakan sebagai seorang pengarang yang
sangat produktif, Menurut Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:14-15), Amir
Hamzah mampu menghasilkan sebanyak 160 karya dalam 14 tahun. Dengan kata
lain, setiap tahun menghasilkan sekitar 11 karya atau setiap bulannya rata-rata
menghasilkan satu karya sastra.
Menurut Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016:23-24) mengatakan
bahwa karya-karya yang telah dibuat oleh Amir Hamzah menunjukkan bahwa ia
merupakan sosok yang eksploratif. Hal ini dapat dilihat dari tekadnya yang kuat
untuk melestarikan adat dan budaya Melayu sebagai budaya nasional yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Jiwa yang eksploratif juga dimilikinya dalam

6
melakukan pembaharuan terhadap perkembangan karya sastra pada waktu itu.
Sebelumnya, karya sastra yang berkembang masih dipengaruhi oleh budaya-
budaya dari luar Indonesia. Amir Hamzah muncul dengan karya-karya sastranya
yang berusaha untuk mengemas budaya-budaya dari luar Indonesia tersebut ke
dalam konteks Indonesia dan Melayu.
Amir Hamzah juga dapat dikatakan seorang sosok yang kreatif dalam
menciptakan karya-karyanya. Sebagai seorang penyair, ia mampu menciptakan
loncata-loncatan kultural yang sangat estetis. Inovasinya yang berbeda dengan
karya-karya sastra lain tersebut dapat dibilang melampaui zaman di mana pada
waktu itu ia hidup. Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin (2016: 24) menegaskan
bahwa karya-karya sastra yang telah diciptakan oleh Amir Hamzah ini dapat
menjadi sebuah rujukan bagi para penyair di masa sekarang dan masa mendatang.
Karya-karya sastra Amir Hamzah dapat memberi gambaran bagaimana
melakukan strategi budaya yang bijaksana.
Badan Bahasa (TT) menyebutkan ada beberapa karya-karya sastra Amir
Hamzah yang diangkat ke media massa, di antaranya sebagai berikut.

Prosa yang dimuat dalam majalah Pandji Poestaka, antara lain "Atik",
"Gambang", "Pujangga Baru", "Leka Kanda Merenung Kusuma", dan lain
sebagainya. Sedangkan, dimuat yang dalam majalah Poedjangga Baroe,antara
lain "Bhagavad Gita", "Raja Kecilku", "Bertemu", "Bhagavad Gita", "Mudaku",
"Berselisih", "Kekasihku", "Nyoman", "Mudaku", "Burungku", dan lain
sebagainya.

Puisinya dimuat dalam majalah Pandji Poestaka, antara lain "Di Tepi
Pantai", "Bonda", "Tuhan Apatah Kekal", "Rindu", "Buah Rindu (I)", "Buah
Rindu (II)”, "Buah Rindu (III)”, "Buah Rindu (IV)”, "Kemboja", "Cempaka,
Aduhai Bunga Penglipur Lara", "Tinggallah", "Senyum, Hatiku Senyum",
"Kusangka", "Purnama Raya", "Seorang", dan lain sebagainya.

Tulisan yang dimuat dalam majalah Timboel, antara lain "Kenang-Kenangan


Mabuk", "Dagang", dan "Hang Tuah, Harum Rambutmu", dan lain sebagainya.

7
Sedangkan, yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain berjudul
"Malam", "Sunyi, Berdiri Aku", "Dalam Matamu", "Berlagu Hatiku", "Sajak
Sebuah", "Di Gapura Swarga", "Kebangkitan Badan", "Naik-Naik", "Menjelma
Pula", "Elok Tunduk", "Astana Rela", "Barangkali", "Batu Belah", "Di Dalam
Kelam", "Do'a", "Do'a Poyangku", "Hanya Satu", "Hanyut Aku", "Hari Menuai",
"Ibuku Dahulu", “Insyaf", "Karena Kasihmu", "Kurnia", "Memuji Dikau", dan
"Mengawan", dan lain sebagainya.

D. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
diambil simpulan sebagai berikut
1. Amir Hamzah merupakan seorang bangsawan dari Langkat. Sejak masih
bersekolah ia sudah memiliki ketertarikan dalam bidang sastra dan
kebudayaan. Selain itu, ia juga dapat dikatakan sebagai seseorang yang
memiliki intelektual dan semangat kebangsaan yang tinggi. Kondisi inilah yang
mendorongnya dalam mengemukakan gagasannya dalam karya-karya sastra.
2. Dari segi karakteristik, tema dan nilai-nilai yang diangkat olehnya dalam
karya-karyanya berkisar tentang kebudayaan Melayu dipadukan dengan
budaya-budaya di seluruh Nusantara, serta kebudayaan Timur dan kebudayaan
Barat. Selain itu, karya-karyanya juga berisi tentang pengalaman
kehidupannya, asmara, kondisi politik di zamannya, dan lain sebagainya.
Karakteristik karya-karya sastra Amir hamzah tersebut, dinilai menjadi
gubahan terhadap karya-karya sastra yang telah berkembang sebelumnya,
sehingga menciptakan kemodernan dalam khazanah kesusastraan Indonesia
saat itu,

8
DAFTAR PUSTAKA

Badan Bahasa. TT. Amir Hamzah (1911-1946).<http://ensiklopedia.kemdikbud.


go.id/sastra/artikel/Amir_Hamzah>.(diakses tanggal 4 Januarai 2021 pukul
12.00).

Muthari, Abdul Hadi Wiji. 1996. “TAH dan Relevansi Sastra Melayu”. Dalam
Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin. 2016. “Tengku Amir Hamzah: Wira
Dunia Melayu Bersenjatakan Pena”. Makalah Seminar Amir Hamzah di
Dewan Bahasa dan Pustaka.<https://www.researchgate.net/profile/Muh
ammadTakari/publication/311542449_TENGKU_AMIR_HAMZAH_WI
RA_DUNIA_MELAYU_BERSENJATAKAN_PENA/links/584b7bad08ae
4bc8992ab60e.pdf>.(diakses tanggal 4 Januari 2021 pukul 14.00).

Prasisko, Yongky Gigih. 2017. Regionalisme Sastra Indonesia: Sebuah Kritik


Sastra.<https://matatimoer.or.id/wp-content/uploads/2017/11/REGIONAL
ISME-SASTRA-INDONESIA.pdf>.(diakses tanggal 4 Januari pukul 11.30).

Santosa, Puji. 2011. Sastra dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi dan
Multikulturaldalam Sastra Indonesia. <http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/
lamanbahasa/content/sastra-dan-jati-diri-bangsa-kontribusi-mitologi-dan-mu
ltikultural-dalam-sastra-indonesia113>.(diakses tanggal 4 Januari 2021
pukul 11.00).

Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin. 2016. “Tengku Amir Hamzah: Wira Dunia
Melayu Bersenjatakan Pena”. Makalah Seminar Amir Hamzah di Dewan
Bahasa dan Pustaka.<https://www.researchgate.net/profile/Muhammad
Takari/publication/311542449_TENGKU_AMIR_HAMZAH_WIRA_DUN
IA_MELAYU_BERSENJATAKAN_PENA/links/584b7bad08ae4bc8992ab
60e.pdf>.(diakses tanggal 4 Januari 2021 pukul 14.00).

Anda mungkin juga menyukai