Raja Abdul Aziz Syah diketahui memimpin sejak tahun 225 hingga 249 H atau pada 840 M
hingga 964 M. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Alaidin Saiyid Maulana
Abdrrahim Syah.
Selanjutnya, kursi raja Perlak diisi oleh Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abbas Syah di tahun 285-
300 H. Kemudian, di tahun 302 H kepemimpinan dipegang oleh Sultan Alaidin Saiyid Maulana
Ali Mughayar Syah.
Kepemimpinan raja silih berganti hingga 18 kali dan terakhir dipimpin oleh Sultan Makhdum
Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat di tahun 662-692 H atau 1263 sampai 1292 M
dan akhirnya Kerajaan Perlak runtuh.
Masa kejayaan kerajaan ini berhasil didapatkan pada masa pemerintahan Muhammad Amin Syah
Johan Berdaulat II. Kerajaan ini mampu berkembang terutama di bidang pendidikan Islam dan
dakwah Islamiah.
Pada masa ini juga, raja mengawinkan dua putrinya dengan pangeran dari Kerajaan Samudera
Pasai, yakni Putri Ganggang Sari dan Putri Ratna Kumala sehingga mendorong kesejahteraan
kesultanan ini.
Selain itu, Kesultanan Perlak sangat tenar di kalangan para pedagang Arab dan non-Arab
terutama Bandar Khalifah. Menurut Ali Hajsmy dalam bukunya Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandar Khalifah telah menjadi pelabuhan penting dan
tempat persinggahan mereka dalam perjalanan ke Cina atau balik ke Asia Barat.
Mata uang itu menjadi yang tertua di Tanah Air. Uniknya, pada salah satu sisinya terdapat
tulisan 'A'la' dan sisi lainnya tertulis 'Sulthan' yang tertuju pada Perdana Menteri masa Sultan
Makhdum Alaidin Ahmad Syah Jouhan Berdaulat.
Kemudian, peninggalan stempel kerajaan ini menggunakan bahasa Arab yang membentuk
kalimat 'Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512' yang merupakan bagian dari
Kerajaan Perlak.
Peninggalan raja terakhir adalah makam raja Benoa (Benoa adalah negara bagian dari Kerajaan
Perlak) yang terletak di tepi sungai Trenggulon. Pada makam tersebut nisan dituliskan dengan
bahasa Arab dan dibuat sekitar abad ke-4 H.