Anda di halaman 1dari 4

Paramitha Kartika Putri

18210141051

Sastra Indonesia B

Analisis Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” karya Nh. Dini

A. Unsur Stile

Unsur Leksikal

Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” ini menceritakan tentang keluarga Dini yang berlatar
belakang pada masa penjajahan Jepang. Hal ini terlihat pada awal cerita pada kalimat Kemudian
Jepang masuk. Kota jatuh ke tangannya tanpa ada yang melawan. Serta beberapa kata yang
menggambarkan penjajahan jepang seperti tentara Jepang, penjajah, dll.

Kemudian terdapat beberapa bahasa daerah atau dialek yang menggambarkan cerita yang
berlatar tempat di Semarang ini. Terlihat pada sapaan yang digunakan antartokoh seperti mbakyu
untuk panggilan pada kakak perempuan, dimas untuk kakak laki-laki, den, dan ndoro. Ada juga
beberapa istilah seperti didukani yang berarti dimarahi, glewo yang artinya makanan, kendit atau ikat
pinggang, serta beberapa istilah lain dalam bahasa daerah.

Dalam novel ini, tokoh ibu merupakan seorang pengrajin batik, maka ditemukan juga beberapa
istilah dalam proses membatik seperti gawangan yang merupakan alat menyampirkan kain, diwedel
dan disoga yang berarti mencelup kain batik pada cairan warna.

Unsur Grammatikal

Novel ini banyak menggunakan kalimat kompleks yang ditandai dengan tanda koma (,) dan kata
konjungsi dalam satu kalimat.

Unsur Kohesi

hhhhhh

Permajasan

Penulis memiliki ciri khas masing-masing dalam menulis sebuah karya. Salah satunya yaitu dengan
menggunakan majas untuk mengungkapkan makna secara tidak langsung dan memperindah cerita.
Dalam novel ini terdapat beberapa majas seperti majas perbandingan (metafora dan simile) seperti
pada kalimat

“Sebagian kalimat kakakku itu bagaikan jatuh ke lubang yang dalam…” hlm. 2
“…bangkai manusia bertumpukan. Bagaikan barang tak berguna, sampah yang harus
dibuang…” — hlm. 82

“Rumah-rumah yang menjadi took berhimpitan langsung menyentuh tepian aspal tempat pejalan
kaki.” Hlm. 4

“Udara yang terang mulai muram, seperti berselubungkan kain tipis berwarna kelabu.” Hlm. 6

Penyiasatan Struktur

Peniyasatan struktur disebut juga sarana retorika. Fungsi dari penyiasatan struktur ini sama
dengan majas, yaitu untuk memperindah cerita. Terdapat asidenton dalam novel ini pada kalimat

“Baunya bercampur-baur amat sedap: gurih, kecut, manis.” — hlm. 4

“Sebaliknya kata-kata yang sering kami sebut atau ucapkan, lagu-lagu yang sering
dinyanyikan di kamar mandi oleh kakak-kakakku, pada suatu hari tiba-tiba keluar dari
tenggorokan burung itu. — hlm. 45

Kalimat diatas tidak menggunakan kata hubung, namun menggunakan tanda koma (,) untuk
menekankan suatu kejadian yang sederajat.

Citraan

Citraan berfungsi membangkitkan pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata.


Gambaran tersebut dituliskan secara jelas seperti apa peristiwa yang diterima oleh indra manusia.
Pada novel ini terdapat beberapa citraan antara lain citraan visual yang terkait dengan pengonkretan
objek yang dapat dilihat oleh mata yang terdapat pada kalimat:

“Kucoba mengintip piring-piring yang sedang dihadapi langganan.” — hlm. 37

“Di dalam sungai, di arah kampung Bedagan, dimana ada pintu air yang mengatur tinggi-
rendahnya aliran air, aku melihat bangkai manusia bertumpukan.” — hlm. 82

“Sekali pandang aku melihat pakaiannya yang kuning, hijau atau coklat, seragam tantara
maupun kesatuan-kesatuan militer.” — hlm. 82

Citraan pengecapan atau citraan yang berkenaan dengan indra pengecapan atau perasa juga ada
dalam novel ini. Hal ini dapat dilihat pada beberapa contoh kalimat berikut:

“Tak seorangpun diantara kami dapat menahan tantangan buat menenggelamkan jari
telunjuk barang sekali ke wadah adonan yang begitu mengundang, lalu menjilatnya
dengan iringan suara “mmmmm, mmmmm,” baik keras-keras maupun secara sembunyi-
sembunyi.” — hlm. 9

“Setiap pagi itu pula air liurku keluar tanpa kusadari, teringat betapa lezatnya makanan
yang dijajakan di sana.” — hlm. 37

Selain itu, terdapat pula citraan penciuman untuk menghidupkan penuturan dan membangun
imajinasi seperti pada kalimat berikut:
“Baunya bercampur-baur amat sedap: gurih, kecut, manis. Harumnya empat atau lima
macam pisang saja telah cukup buat memenuhi udara lembut sore itu.” — hlm. 4

“Bagaikan barang tak berguna, sampah yang harus dibuang, sisa-sisa tubuh manusia itu
tertimbun disana, basah dan berbau busuk.” — hlm. 82

Citraan pendengaran (auditif) berkaitan dengan pengonkretan objek bunyi yang didengar oleh
telinga, baik yang ditunjukkan lewat deslripsi verbal maupun tiruan bunyi, sehingga seolah-olah
pembaca dapat mendengar bunyi-bunyi. Berikut contoh citraan pendengaran dalam novel ini:

“Sekolahnya dekat. Sedangkan sekolahku lebih jauh. Aku harus bergegas agar bisa
sampai disana sebelum lonceng pertama berbunyi.” — hlm. 50

“Mula-mula aku tidak memperhatikannya. Ketika terjadi untuk kedua dan ketiga kalinya,
kupingku kupasang baik-baik. Heratih Nampak asyik. Bicaranya lemah lembut dengan
suara rendah.” — hlm. 54

“Tetapi tak seorang pun menjawab atau mendekat. Dari jauh sayup-sayup suara
tembakan bersahut-sahutan.” — hlm. 78

Selanjutnya, citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek
gerak yang dapat dilihat. Seperti melakukan suatu aktivitas gerak motoric, bukan objek diam. Hal ini
dapat dilihat pada beberapa contoh kalimat berikut:

“Dengan susah payah Teguh bergerak, berusaha melipatkan sebelah kaki untuk bertolak
dan mengangkat diri ke atas. Tetapi sia-sia. Tidak ada tumpuan buat gerakan semacam
itu. Lalu dia berganti cara. Kedua lengan terentang ke atas dan sambal memeluk salah
satu batang ia berusaha mengangkat diri, naik barang sejengkal.” — hlm. 21

“Pada bagian yang merentang dari tiang ke tiang itulah Edi naik, berdiri sambil menari
sebisanya, lalu meloncat sekuat tenaga ke atas kasur, dan terus menari berputar
mengelilingi keluasan tempat tidur, dan sekali lagi melompat ke atas lantai.” — hlm. 35

B. Deviasi

Deviasi Leksikal

Deviasi leksikal adalah suatu bentuk penyimpangan pada aspek leksikal, kata, atau diksi. Suatu
bentuk leksikal dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan makna
dari makna konvensional baku sebagaimana dalam kamus.

Deviasi Fonologis

Deviasi fonologis adalah penyimpangan yang berkaitan dengan bunyi bahasa yang dianggap tidak
wajar. Novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” ini terdapat deviasi fonologis seperti pada kalimat
berikut:
“Tak seorangpun diantara kami dapat menahan tantangan buat menenggelamkan jari
telunjuk barang sekali ke wadah adonan yang begitu mengundang, lalu menjilatnya
dengan iringan suara “mmmmm,mmmmm,” baik keras-keras maupun secara sembunyi-
sembunyi” — hlm. 9

Kata mmmmm,mmmmm pada kalimat diatas merupakan tiruan bunyi (onomatope) dari suara
seseorang yang sedang menjilat jari dalam mulutnya. Jika dibaca dengan nada yang sesuai bunyi
tersebut dapat membangkitkan suasana tertentu.

Deviasi Morfologis

Suatu bentuk morfologi dipandang sebagai bentuk deviasi jika mengalami penyimpangan dari
kaidah morfologi yang baku. Pada novel ini terdapat beberapa deviasi morfologis, diantaranya:

“Masakan diam mau jualan begitu di pinggir jalan!”— hlm. 3

“Masakan aku tidak tahu bedanya mana si penjual mana si pembeli?”— hlm. 3

Pada potongan kalimat diatas, masakan yang dimaksud bukan masakan hasil pengolahan
makanan, melainkan masa untuk menyatakan ketidakpercayaan. Namun Nh. Dini menuliskannya
dengan memberi sufiks -kan untuk memberi efek imajinatif untuk pembaca dan menciptakan kata
baru (neologis).

Deviasi SIntaksis

Deviasi sintaksis terkait dengan struktur dan tata bentukan kalimat. Dalam puisi ini terdapat
deviasi sintaksis berupa kata yang lazim namun tidak kohesif dan koherensif. Hubungan antarkata
sebenarnya tidak disatukan dengan logis seperti pada kalimat:

Deviasi Semantis

Deviasi semantis menyorot tentang pemaknaan yang digunakan oleh para penulis sehingga
memunculkan efek keindahan. Penggunaaan majas sebagai perwujudan penggunaan bahasa kias atau
makna konotasi juga merupakan bentuk deviasi semantis. Contoh:

“Becak-becak belum memasang lampu minyak, kelihatan warna-warni gambaran


sampingnya yang berkeliaran seperti kunang-kunang.”— hlm. 6

Kalimat tersebut menuliskan becak-becak belum memasang lampu. Dalam hal ini bukan dalam
artian sebenarnya becak memasang lampu karena becak merupakan benda mati atau non-human.
Yang dimaksud adalah tukang-tukang becak belum memasang lampu pada becak mereka. Penulis
sengaja menuliskannya seperti ini untuk mempersingkat kalimat serta hanya dengan menuliskan
becak saja pembaca dapat mengetahui karena itu merupakan simbol.

Anda mungkin juga menyukai