Kelas: XI.1
Absen: 32
Tugas: Membuat cerpen bertema remaja. Pada cerpen ini, saya mengangkat kisah
seorang anak remaja yang kebingungan menemukan jati dirinya akibat kurangnya
dukungan dari pihak keluarga, khususnya sang ayah.
*Kisah ini bersifat fiktif.
KERIKIL
Kata orang, masa remaja merupakan masa pencarian jati diri, tapi tanyaku,
“apa memang seberisik ini?”
Begitu banyak jawaban yang belum aku temukan. Dan untuk menemukan
jawaban itu, aku harus tetap hidup mencari jawaban yang seiring masa akan terus
menerus berkejaran. Sama halnya dengan satu tanya ini, “Akan jadi apa aku nanti
kalau dewasa? Apa benar kata Ayah aku akan menjadi seorang gelandangan yang
hidup di kolong jembatan karena menyukai musik?”
Tentunya aku tidak akan mendapatkan jawaban itu sebelum menjadi dewas
a. Kalaupun ada jawaban nantinya, aku selalu berharap jawaban Ayah salah. Aku
hendak menciptakan jawabanku sendiri. Aduh lihat kan, aku meracau lagi karena
berisiknya kepala ini. Aku sampai lupa untuk fokus kepada guruku yang tengah m
emberi penjelasan panjang di papan tulis. Aku pusing, kacau sekali isi papan tulis
nya. Penuh dengan angka juga dengan deretan kata. Tapi, jika isi kepalaku dapat d
ivisualisasikan, aku dapat menjamin bahwa kacaunya jauh melebihi papan tulis itu.
Di kelasku, aku berada pada peringkat dua di kelas. Pernah sekali jadi peri
ngkat satu, walaupun itu terjadi karena sainganku tersebut tidak unggul dariku
akibat sering absen gara-gara penyakitnya. Jadi, kala sembuh aku tak lagi menjadi
peringkat satu selama di sekolah ini. Sejak kecil, aku akan senang dan berbangga
diri menunjukkan raporku ke Ibu. Ibu juga setia menyanjungku sampai Ayah akan
datang dari kantor dan menghina nilaiku yang katanya seperti sampah.
Sejak hari itu, aku merasa peringkat yang aku dapatkan tak akan memuask
an Ayah. Lalu, aku belajar bermain gitar. Yang dimana niat awalku hendak mema
merkannya pada Ayah agar ia memujiku, tapi kembali lagi usahaku gagal. Ia meng
hinaku dengan berbagai kata yang dulunya tak aku pahami, sehingga aku hanya
bisa tersenyum. Walau kini, setelah aku tahu maknanya itu menusuk hatiku denga
n hebat.
Ayah juga pernah berkata bahwa ia membenciku. Tapi aku sedikit bersyuk
ur akan hal itu, sebab, dari kecil aku tidak ingin dicintai oleh seorang monster. Tap
i begitu aku besar, aku sadar bahwa aku berbeda dengan teman-teman sebayaku y
ang rumahnya sangat hangat. Berbanding terbalik dengan suasana rumahku yang
dingin bak Antartika. Aku juga ingin seperti temanku, aku ingin merasakan kasih s
ayang seorang ayah.
“Kenapa di dunia ini ada Ayah yang jahat dan ada Ayah yang baik? Saat ak
u menjadi orang tua, aku akan seperti siapa? Apa aku akan sebaik Ibu? Atau sejah
at Ayah? Apabila menjadi sebaik Ibu, tidak ada jaminan aku akan mendapatkan pa
sangan yang baik. Bisa jadi aku mendapatkan monster baru dalam hidupku. Jadi u
ntuk sementara, kuputuskan aku tidak akan menikah, demikian prinsip sementarak
u. Kecuali aku mendapat jawaban, aku akan mengubah keyakinanku,” gumamku.
Sudah 17 tahun aku hidup bersama ibu, aku tentunya sudah hafal gerak-
gerik ibu. Bahkan saat ini, aku langsung tahu bahwa ibu sedang dilanda kesakitan
yang hebat sebab suaranya bergetar dengan matanya yang lebam. Aku kerap kali j
uga mendapatkan luka seperti itu, tapi tampaknya hatiku sudah kebas. Aku pun be
ranjak duduk di dekat ibu, memperhatikan matanya dengan ia yang segera menun
duk.
“Nanti Ibu belikan gitar yang baru, ya. Ibu nggak berhasil nyelamatin gitar
kamu, Nak,” ucap ibuku bergetar.
“Nak, darah lebih kental daripada air. Dulunya, mendiang kakekmu adalah
pemain band tapi terkena skandal yang membuat nenekmu harus tergopoh-gopoh
sendirian mencari uang demi membesarkan Ayahmu. Ayahmu mungkin membenci
musik karena hal itu. Tapi Nak, Ibu tahu kamu anak yang baik, Ibu sangat tahu kal
au kamu berbakat, musikmu indah, demikian lagu yang kamu tulis begitu elok. Na
k, berjalanlah di jalanmu sendiri, minimal jadikan musikmu penyelamat untuk diri
mu sendiri atau juga lagumu akan dikenang sebagai penyelamat bagi orang lain,”
balas Ibu.
“Nak … apa tidak apa-apa hidup tanpa Ayah?” lanjut Ibu bertanya.
Harusnya, aku berbahagia kala Ibu mengucapkan itu, aku juga harusya lan
gsung mengiyakan Ibu. Tapi entah mengapa aku masih mencuri waktu untuk berpi
kir. Namun, pupuslah harapanku untuk merasakan kasih sayang seorang Ayah seb
ab di detik berikutnya, aku mengangguk. “Jika bahagia adalah pisah dari Ayah ma
ka mari kita pisah dengannya, Bu.”
Lalu benar saja, di hari itu, aku berpisah dengan Ayah sebab di esok pagi,
kala aku membuka mata, kulihat Ayah tergeletak tak berdaya dengan busa yang ke
luar dari mulutnya. Belum sempat aku mendekati Ayah, pintu rumahku dibuka den
gan paksa. Lantas datanglah dua orang polisi yang segera memojokkan ibu dan m
emborgolnya. Tampak, Ibuku tak melawan seolah membenarkan bahwa ialah dala
ng di balik kematian Ayah.
“Nak, kamu ingin berada di jalanmu, bukan? Maka, teruslah berjalan, Nak,
teruslah mencari jati dirimu yang lain. Uang tabungan Ibu dan uang Ayahmu akan
sangat cukup untuk membiayai hidupmu sampai kamu sukses dengan karirmu sen
diri. Ibu hanya ingin memudahkan jalanmu dengan menyingkirkan kerikil seperti
Ayahmu. Nak … sekali-kali kunjungi Ibu dan mainkan musik terindahmu untuk Ib
u.”
TAMAT