Anda di halaman 1dari 12

TUGAS AKHIR PAPER

MATA KULIAH AKTUALISASI DIRI

Dosen Pengampu:

Aulia Suhesty, S.Psi., M.Psi., Psi.

Disusun oleh:

Meilin Christiana (1902106047)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2019
Aku akan menceritakan kisah singkat hidupku dari kecil hingga saat ini yang seiring
dengan alur pembacaan dibawah ini akan aku selipkan beberapa makna dari arti hidup yang
telah aku lewati sampai sekarang dan kiranya melalui cerita ini aku dapat berbagi motivasi.

Nama aku Meilin Christiana, aku biasa dipanggil Meilin, Meimei, Meng atau Chris.
Sesuai Kartu Keluarga sih, aku ditulis lahir di Kota Samarinda, tapi spesifiknya aku lahir
pada tanggal 18 Mei 2000 di Kecamatan Palaran-ku yang terkenang dan tercinta. Bicara
mengenai mengapa aku selalu mengenang dan mencintai Palaran, karena mau sejauh apapun
aku pergi dari tempat kelahiranku ini, Palaran akan selalu memiliki ruang yang sangat lekat
di dalam memoriku. Berkat lingkungan pertama dan mungkin yang terakhir inilah seorang
Meilin Christiana lahir dan akan terus bertumbuhkembang sampai sekarang.

Jika aku mengatakan bahwa masa kecilku tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil
normal lainnya, maka aku berbohong dengan diriku sendiri terlebih kepada Tuhan. Ya,
kenapa berbohong? Karena, pada faktanya kenangan masa kecilku sangat jauh dari kata
bahagia ataupun menyenangkan. Tetapi tenang saja, justru aku selalu bersyukur berkat
pengalaman demi pengalaman, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, yang
telah Tuhan izinkan terjadi di dalam hidupku. Sebenarnya penggalan setiap pengalaman ini
sangat banyak dan aku bingung untuk meruntutkan atau memperiodesisasikan setiap cerita
demi cerita. Menurut Ilmu Kesusaseteraan Indonesia, aku pikir jenis alur yang akan aku
gunakan di penulisan ini adalah alur campuran, tapi aku akan berusaha menulis sebaik dan
semampu mungkin agar siapapun yang membaca ini akan paham dan mengerti setiap alurnya.

Dimulai pada saat aku masih dalam tahap kanak-kanak yang masih belum terlalu
mengerti pasti bagaimana dunia bekerja bisa membentuk suatu kepribadian seseorang. Jadi,
kala itu aku masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak dan awalnya aku masih menjalani
hari seperti layaknya anak-anak yang lainnya, sampai suatu ketika aku menyaksikan sendiri
suatu kejadian yang tidak pernah kusangka-sangka aku pantas melihatnya, di umur sedini itu.
Ah, pantaskah aku menjelaskan semua ini? Beliau yang akan kuungkapkan setelah ini
sebenarnya sudah 5 tahun tidak bersama-sama kita di dunia ini. Beliau adalah ayahku sendiri
dan sejujurnya aku merasa bersalah jika harus mengungkapkan dan menceritakannyanya
dalam penulisan ini, tapi yang aku yakin Tuhan tentu mengerti apa maksud dan tujuanku
untuk mengungkapkan Almarhum di dalam cerita ini, karena menurutku setiap pengalaman
yang akan aku ceritakan setelah inilah klimaks dari setiap makna atau tujuan dari hidupku,
yang Tuhan maksud dan akhirnya telah aku temukan.

1
Baiklah, aku akan kembali ke cerita, jadi kejadian yang aku maksud adalah ketika aku
sedang berjalan ke dapur kemudian aku melihat pemandangan ayahku yang sedang
memegang sabuk di hadapan kakak keduaku (laki-laki) yang merunduk seperti ketakutan di
dekat tiang penyangga dapur. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi, aku
hanya memperhatikan ayahku terus mengeluarkan omelan dan cacian terhadap kakakku
sambil sesekali melayangkan sabuknya ke tubuh kakakku. Aku meringis melihatnya
kemudian tak lama setelah itu aku menyaksikan ayahku mendorong tubuh kakakku ke tiang
dan lehernya ditahan lalu ayahku sibuk seperti sedang ingin mencekik leher kakakku dengan
sabuk yang dipegangnya, dan dugaanku benar. Kemudian, aku berlari sambil menangis
memukul ayahku sebisa mungkin dengan tangan kecilku,

“Mama...! Ayah jahat sama kakak. Mama cepat pulang. Aku gabisa nolong kakak.”
teriakku.

Ayah seperti mengabaikanku dan membiarkan kakakku tercekik sampai sekitar 5 menit
kemudian melepaskannya. Aku masih menangis sambil memeluk kakakku sampai akhirnya
mama datang pulang dari sekolah, ayah berpura-pura kembali ke kamarnya dan kejadian
terjadi begitu saja tanpa mama tahu. Sampai sekarang kejadian ini masih menjadi rahasia
namun sangat lekat di memoriku, dan biar kuberitahu satu fakta lagi, kakakku adalah seorang
penderita autis ringan dengan karakteristik temperamentalnya ketika dia merasa terganggu
atau terancam, dia bisa langsung marah sejadi-jadinya. Oleh karena itu, kami sekeluarga
sebagai tempat perlindungan pertamanya berusaha mengedukasinya, bagaimana cara
mengontrol emosi dengan sering melakukan metode sharing pengalaman selama keseharian
baik yang langsung maupun tidak langsung kepadanya. Sangat banyak pengalaman tentang
penolakan, cemoohan serta hal buruk lainnya yang mungkin secara psikis tak akan pernah
bisa kakakku sadari bahwa pengalaman tersebut secara tidak langsung mempermalukan atau
merendahkan harga dirinya tetapi kami sebagai keluarganya yang merasakan dampak
langsung betapa teririsnya hati kami ketika mendengarnya. Karena aku dari kecil selalu
dipasangkan dengan kakak keduaku ketimbang dengan kakak pertamaku (umur kami beda 11
tahun), jadi segala suka duka yang kakak keduaku rasakan pasti juga aku rasakan. Walaupun
aku berstatus sebagai si bungsu, namun sampai saat ini Tuhan mengizinkanku untuk
merangkap peran sebagai pembimbing kakakku didalam setiap langkah hidupnya agar kami
tidak hanya bisa bersandar pada mama saja. Sedikit demi sedikit, dengan sabar aku menuntun
kakakku agar setidaknya bisa sama atau menyeimbangkan diri dengan lingkungan “orang
normal” dan ternyata usaha pembentukan karakter yang telah kami sekeluarga usahakan

2
sampai sekarang membuahkan hasil walau mungkin masih belum maksimal. Aku akan selalu
bermimpi dan berharap, dengan menjadi mahasiswa Psikologi, aku bisa dapat lebih
mendalami ilmu-ilmu yang sekiranya dapat berguna untuk aku aplikasikan terhadap kakakku
sehingga setidaknya aku dapat membimbingnya sampai dapat sukses dan berumahtangga
sendiri. Tidak hanya itu, tentu aku juga akan mengaplikasikannya didalam perkembangan
kehidupan sosialku sehari-hari sehingga aku dapat memiliki value dari personal branding
yang aku usahakan sebaik mungkin untuk dapat menjadi berguna kepada sesama.

Setelah bercerita tentang kejadian yang kualami bersama kakakku, aku akan
melanjutkan alur cerita ini tentang momen duka yang kualami bersama mamaku. Pengalaman
pahit yang kulalui bersama mamaku, dua kali lebih menyakitkan dibandingkan dengan
pengalamanku bersama kakakku, mulai dari yang menyakitkan secara verbal maupun non
verbal (fisik maupun psikis). Disaat umurku masih sangat belia, selain menyaksikan kakakku
yang pernah diperlakukan kasar secara fisik, Tuhan juga seperti mengizinkanku menyaksikan
mamaku yang dapat dianalogikan sebagai “samsak tinju” ayahku dikala lagi “kumat”.
Sebelumnya, maaf jika aku akan menggunakan banyak kata perumpaan disini, karena aku
tidak terlalu pandai dalam membahasakannya menggunakan kata yang terlalu baku dan
sistematis. Baiklah, lanjut sedikit biografi tentang mamaku, beliau adalah seorang pengajar di
salah satu Sekolah Dasar di Palaran dan tentu juga seorang ibu rumah tangga. Aku tidak
pernah bisa membayangkan jadi seorang mamaku, jika tanpa peran penengah dan petuah
beliau mungkin sampai pada hari ini hidup kami akan berantakan dengan segala DNA
keegoisan yang diturunkan oleh ayah kami. Aku yang dulu selalu bertanya-bertanya dengan
keadaan yang tidak adil bahkan meragukan dengan yang namanya pertolongan Tuhan.
Bagaimana bisa beliau dapat menahan egonya saat difitnah? Bagaimana bisa tubuh lemah dan
kecilnya masih dapat menahan sakitnya saat dihujani berbagai pukulan? Inti dari semuanya:
bagaimana bisa beliau tidak mengeluh sepatah kata ataupun memiliki niat untuk membalas
apple to apple atas semua musibah yang dialaminya?

Pada waktu itu, saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, pernah suatu ketika
aku menyaksikan mamaku dicaci maki ayah hanya karena beliau tidak sempat mengurus
semua pekerjaan rumah dan kemudian ayah membanting segala sesuatu yang ada di meja
makan dan mamaku hanya terdiam sambil melanjutkan makan malamnya yang tidak hikmat
lagi. Aku yang pada waktu itu masih polos terkejut hebat berkat kejadian itu kemudian
makan sambil menangis diatas nasiku. Ayah kemudian berjalan ke dapur untuk mencuci
tangannya sambil mengoceh ngalur ngidul sampai mengeluarkan kata-kata fitnah andalannya.

3
Sambil mengunyah, aku memperhatikan ekspresi mama yang tetap tenang sambil terus
melanjutkan makan malamnya sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya atas
apa yang terjadi,

“Ma, ayah kenapa kayak orang kesetanan lagi, sih?” tanyaku.

“Memang sudah wataknya seperti itu. Cepat selesaikan makan terus belajar di kamar
aja ya, biar mama yang beresin semuanya. Jangan lupa kasih tahu kakak-kakakmu di kamar
untuk makan malam dulu.” jawab mama dengan suara yang tetap lembut dan tampak tidak
seperti orang yang terkejut.

Aku yang sudah tidak tahu ingin merespon seperti apa lagi kemudian mengiyakan
perintah mama. Namun, ketika aku sudah dalam posisi sedang belajar, aku kembali
mendengar suara keributan dari ruang tengah dan mama berteriak minta tolong karena aku
yang aku liat mama sudah dalam posisi terjepit di ujung dinding dan ayah memukul,
menampar bahkan mencekik mama. Aku langsung berteriak memanggil kakak untuk
memisahkan mereka berdua, kemudian kakakku yang laki-laki dengan sergap langsung
berusaha menarik tubuh ayah dan tangan kakakku yang perempuan juga berusaha untuk
menahan amukan tangan ayah dari mama. Aku hanya bisa menangis sambil melihat satu-
persatu tetangga yang masih bangun dari samping kanan kiri datang menghampiri rumah
kami untuk menanyakan ada keributan apa yang terjadi di tengah malam, bahkan pak RT
juga sampai harus turun tangan untuk menengahi kejadian pada waktu itu. Ini baru satu
penggalan klimaks kejadian, setelah ini masih banyak klimaks-klimaks kejadian yang duduk
perkaranya kurang lebih seperti yang kuceritakan diatas ini tapi tentu masih ada yang lebih
ekstrem dari ini.

Pada minggu pagi yang tenang, aku yang waktu itu sudah duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama bersama mama yang masih adem sedang tidur bersama di ruang belakang
tiba-tiba terbangun ketika mendengar suara langkah kaki yang menggebu-gebu memasuki
ruang tidur kami dengan ocehan dan membuka paksa gorden beserta jendela kamar kami.
Mama yang sudah mengetahui hal itu langsung terbangun lalu duduk di pinggir kasur sambil
berkata,

“Kamu kenapa lagi pagi-pagi gini? Ini hari minggu, harinya kita istirahat, hari dimana
kita akan pergi beribadah ke gereja dengan hati yang penuh syukur dan sukacita. Kenapa
harus membangunkan kami dengan omelan seperti itu?” tanya mama.

4
Kemudian ayah tanpa rasa bersalah menjawab dengan nada tinggi, “Tidur terus
kerjaanmu. Urusan rumah itu selesaikan dulu baru pergi.”

Lalu mama membalas dengan nada lembutnya, “Kalau kerjaanku hanya tidur, beras dan
lauk yang kamu makan dari kemarin itu datangnya darimana? Kamu kira turun begitu saja?”

Aku yang masih setengah bangun pada saat itu kemudian terkejut saat melihat ayah
tiba-tiba berjalan menghampiri mama dan langsung melingkarkan tangan ke leher mama,
seperti mencekiknya, dan aku langsung berteriak dan berlari memanggil kakak-kakakku yang
mungkin masih tertidur di kamarnya sampai pada akhirnya ibarat seperti satpam yang hampir
kemalingan mereka jalan dengan sigap ke ruang tidur kami di belakang kemudian berusaha
kembali memisahkan mereka. Setelah berhasil memisahkan mereka, ayah lalu pergi keluar
entah melakukan apa dan kami berempat saling berpelukan untuk menenangkan mama.
Sejujurnya, aku tak sanggup harus menceritakan sejauh ini dan mungkin setiap orang tidak
akan pernah percaya bahwa aku juga dulu seorang broken home yang beneran sekacau ini.
Aku yang selalu dikenal ceria dan seperti tak pernah punya punya masalah dalam hidup, tentu
juga menyimpan masa lalu yang menyedihkan dan tak banyak orang tahu sampai sedetail itu.
Tapi dalam tulisan ini, aku berusaha menorehkan beberapa yang kuingat dari setiap
penggalan pengalaman itu. Kau tahu apa yang dilakukan ayahku ketika dia keluar ruang tidur
kami pada waktu itu? Pernah membayangkan seorang ayah memegang mandau sambil
mencoba diarahkan kepada keluarga yang berasal dari darahnya sendiri? Pada waktu itu jujur
aku bersama kakak-kakakku sangat terkejut dan berusaha berteriak sekeras mungkin untuk
meminta tolong karena kebenaran posisi ruang tidur kami saat itu berada di paling belakang
rumah kami, jadi mungkin agak sulit untuk tetangga mendengar apabila terjadi keributan di
ruang tidur ini. Sampai akhirnya kakak perempuanku alias kakakku yang pertama berani
menaikkan suaranya sambil berkata,

“Apa? Ayah mau ngapain sama mandau itu? Ayah yakin mau sejauh itu?” tanyanya.

“Mana mamamu? Sini.” jawab ayah dengan nadanya yang serius.

“Ayah berani bunuh mama? Lebih baik ayah bunuh kami bertiga aja dulu.”

“MAMAMU KESINI!” kemudian ayah maju mengambil satu langkah sambil


mengarahkan mandaunya ke kami. Aku yang panik langsung berlari melewati ayah dan
berusaha berlari keluar rumah dan memanggil tetangga terdekat kami untuk segera membagi
tugas untuk menahan ayah dan untuk membawa mama lari sejauh mungkin untuk

5
mengamankan diri. Kemudian, hampir seluruh tetangga di RT kami masuk ke dalam rumah
untuk melaksanakan apa yang kujelaskan sebelumnya dengan lancar, dan sampai sekarang
aku bersyukur atas kasih Tuhan yang senantiasa menyertai kami dan menjamah hati ayah
pada saat itu sehingga kejadian yang tak kami harapkan dapat terhindarkan. Aku bersama
mama buru-buru mengambil barang-barang yang ada dan dengan bantuan tetangga kami
diantar dan mama menyarankan kami untuk diamakan ke rumah salah satu keluarga mama di
Samarinda. Jika kalian bertanya-tanya bagaimana kondisi kedua kakakku di tangan ayahku
pada saat itu, mereka sangat baik-baik saja, karena pada dasarnya ayahku memang paling
sering menargetkan amarahnya tak jelasnya kepada mamaku. Di sepanjang jalan, aku ditanya
sama mbak berinisial N yang membonceng aku pada saat itu,

“Dek, gapapa kan? Gaada disakitin?”

“Iya, mbak. Aku gapapa. Tapi aku masih kaget mama tadi digituin sama ayah.”

“Mbak juga ga nyangka ayahmu sampai sejahat itu. Kamu yang sabar, ya. Sementara
mbak ngikutin maunya mama buat bawa kalian kerumah keluarga mama dulu. Nanti
sekolahnya Meilin besok biar mbak izinkan saja.” terus terang mbak N.

“Tapi Meilin gamau izin, mbak. Meilin mau sekolah.”

“Barang kamu kan masih dirumah, nanti tunggu beberapa hari sampai ayahmu udah
tenang nanti mbak antar kamu balik kerumah, ya. Kalau untuk sekarang kamu dibawa sama
mama biar ada yang nemenin.”

“Oh, yaudah, mbak.” jawabku menyerah untuk menerima keadaan pada saat itu.

Sampai pada akhirnya kami sampai di rumah keluarga mama dan kami disambut
dengan ekspresi wajah yang bingung oleh orang rumahnya pada saat itu, karena penampilan
kami masih menggunakan baju tidur dan acak-acakan. Kakak sepupuku kemudian
menghampiri mama yang terduduk di teras depan rumahnya dan berusaha mengajak mama
untuk masuk lalu menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya bisa menangis sambil mengikuti
mbak N yang mengajak aku masuk mengikuti mereka. Ketika sudah diseduhkan teh dan
disiapkan berbagai cemilan, kakak sepupuku kemudian menanyakan keadaan mamaku yang
masih menangis tersedu-sedu,

“Tante kenapa lagi? Om apain tante lagi?” tanya kakak sepupuku yang seperti sudah
hafal dengan kejadian negatif yang sering terjadi dirumah kami.

6
“Tante hampir dibunuh sama om.” jawab mama dengan nadanya yang jika kuingat
sekarang sangat memilukan hatiku.

“Aw, kenapa bisa sampai begitu? Gila sudah om tuh, bah!”

“Tante juga ga ngerti lagi. Tante udah berusaha merangkap menjadi tulang punggung
dan juga sebagai ibu rumah tangga yang baik, tapi om tetap seperti itu.” jelas mama.

Biar kuberitahu satu fakta lagi, jadi ayahku adalah seorang pengangguran yang
mungkin kerjaannya hanya sering menciptakan suasana negatif dirumah kami. Ayah masih
bekerja sampai aku duduk di kelas 4 Sekolah Dasar kemudian berhenti dan menjadi
pengangguran sampai akhir hayatnya. Sekarang terungkap khan, siapa yang memiliki beban
paling berat di dalam keluarga kami and she is my mom who’s my forever heroes. That’s why,
berkat setiap pembelajaran yang kupetik dari pohon perncobaan keluarga kami sampai saat
ini membuahkan satu tujuan hidup yang matang bagiku, yaitu untuk dapat membagikan
kebahagiaan dan menjadi berguna untuk orang-orang di sekitarku. Ibaratnya sekarang aku
sudah kebal dari segala bentuk fase badai “kekecewaan dan kawan-kawannya” karena hidup
ini adalah tentang perjuangan, tentang siapa yang tetap memilih bertahan atau meninggalkan
pendakian. Karena ketika kita sudah mencapai puncak dari sebuah gunung, pasti akan ada
gunung yang lebih tinggi untuk kita kalahkan. Seorang pendaki profesional tentu dibentuk
melalui pengalaman merintangi setiap medan yang paling tersulit, begitu pula medan
kehidupan membutuhkan orang-orang hebat dan handal dalam mengatasi setiap tantangan
agar bisa memaknai arti dari tujuan kehidupan mereka. Karena tanpa pengalaman yang
mempersulit kita mencapai suatu “tempat”, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti makna
hidup yang akan membawa kita kepada “kemenangan” saat titik akhir perjalanan itu tercapai.

Aku pikir sekian, penggalan momen menyedihkan namun bermakna itu saja yang dapat
kuceritakan di dalam penulisan ini. Karena jika kujelaskan lebih runtut lagi, aku bisa saja
menciptakan satu buku cerpen atau bahkan novel tentang setengah perjalanan hidupku.
Sekarang, aku akan melanjutkan alur ini kepada momen suka-dukaku ketika aku bersama
ayahku. Jika dari sudut pandang mamaku, mungkin terlalu bohong dan berat untuk
mengatakan bahwa ayahku bukanlah orang jahat. Bolehkah aku mengaku? Aku yang dulu
sangatlah membenci ayah kandungku sendiri atas perkara negatif yang sudah dia lakukan
kepada keluargaku, yang padahal mamaku sudah mengajarkanku untuk tidak boleh
membenci ayahku sendiri karena bagaimanapun juga kalau bukan karena almarhum aku tidak
mungkin ada dan lahir ke dunia ini.

7
Percaya atau tidak, sebenarnya aku punya sudut pandangku sendiri ketika menilai
ayahku pada saat itu. Memang dimulut aku selalu mengatakan “Aku sangat membenci ayah!”
dan “Aku tidak akan pernah memaafkan ayah!” tapi pada faktanya ada sedikit ruang di hatiku
yang masih dapat tersentuh ketika mengingat beberapa penggalan pengalaman sederhana
yang sebenarnya tidak benar-benar membenci ayahku. Pada saat itu, ketika jari telunjukku tak
sengaja tersayat silet saat sedang mencoba memasukan tanganku ke dalam sebuah kotak saat
mencari barangku yang hilang, awalnya aku meringis kesakitan sambil menekan lukanya
menggunakan tisu namun karena luka itu lumayan dalam, darahnya jadi susah berhenti.
Kemudian aku melihat ayahku yang juga kebetulan sedang membawa kotak obatnya untuk
mengobati luka yang ada di kakinya yang tak kunjung kering karena riwayat penyakit
diabetesnya. Beliau yang melihatku meringis kemudian mendatangiku,

“Ini kenapa ada darah berceceran? Lha, ini jarimu luka kenapa?” tanyanya panik.

“Tanganku ga sengaja terseret silet, yah.” jawabku sambil sesenggukan.

“Sini diobatin dulu.” pungkas ayah kemudian langsung mengeluarkan betadine, kapas
dan kain kasa dari kotak obatnya. Tangannya yang perlahan mulai menua dan kasar
menggenggam jari telunjukku yang terluka untuk di obatinya. Aku memperhatikan wajahnya
yang teliti saat mengobati telunjukku kemudian tak terasa mataku berlinang air mata pada
saat itu. Hampir saja aku ketahuan menangis karena saat aku hampir mengeluarkan air
mataku, tepat juga saat ayahku selesai membalut lukaku dan aku langsung berdiri terus pergi
begitu saja ke kamarku. Sejujurnya, aku sengaja tidak mengucapkan terima kasih secara
langsung karena pada waktu itu ego masih berkuasa atas diriku, tapi aku mengucapkannya
dari lubuk hatiku yang paling dalam...

Ah, ada satu lagi pengalaman yang sampai sekarang aku sesali dan terkadang hanya
dengan mengingatnya saja aku seperti kembali ke masa di mana saat aku belum bisa
memaafkan diriku sendiri, yaitu bulan-bulan sebelum ayahku dipanggil ke pangkuan yang
Maha Kuasa. Sebentar, biasanya ketika aku akan menceritakan ini, pasti aku bisa menangis.
Baiklah, aku harus tetap melanjutkan ini, walaupun harus mengetik sambil meneteskan air
mata. Bulan-bulan tersebut adalah ketika aku sudah dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah
Pertama dan hanya tinggal menghadiri acara seremonial perpisahan. Pada saat itu, aku seperti
diperhadapkan dalam berbagai pilihan yang membuatku harus merelakan momen
kebahagiaan di dalam hidupku. Hal pertama yang sudah kuduga bahwa aku tidak akan bisa
menghadiri perpisahan karena aku bersama ibu dan kakak laki-lakiku harus mendampingi

8
ayahku ke Jakarta untuk berobat disana. Kakak pertamaku pada saat itu sudah berada di Jogja
untuk melanjutkan studi pascasarjananya, oleh karena itu kami hanya berangkat berempat
dari Balikpapan. Dengan modal seadanya, mama nekat dan mau tidak mau bahkan harus
sampai berhutang demi memenuhi permintaan ayah, yang sekarang kumaknai sebagai
permintaan terakhir ayah.

Selama kami di Jakarta, kondisi ayah justru semakin menurun dan emosionalnya juga
semakin tidak karuan. Ayah menjadi orang yang super cerewet dan terkadang sering
ngomong ngelantur, seperti membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak ada atau tidak
terjadi. Aku yang masih bocah labil pada saat itu jadi sering terikut arus emosi ayah karena
menurutku beliau menjadi dua kali lipat lebih menyebalkan daripada ketika beliau sehat. Aku
jadi sering membalas omongan ngelantur ayah yang padahal mamaku sudah menegurku
untuk tidak disahuti karena kalau kusahuti sama saja aku orang sakit seperti ayah, katanya.
Kemudian, aku terkadang jadi kesel juga sama mama karena mama seperti selalu membela
atau membenarkan ayah sedangkan apa yang kulakukan selalu salah. Ternyata, setelah aku
sudah bisa memaknai kehidupan lamaku, justru tempaan pembentukan karakterku menuju
dunia dewasa dimulai dari progress ini. Walau pada saat itu aku masih belum terlalu bisa
mengontrol emosi, tetapi berkat pengingat mama yang kutahu pasti juga berkat pimpinan
Tuhan ternyata mujarab dalam menghadapi dan mengatasi setiap persoalan di dalam hidupku.
Aku belajar untuk lebih dekat kepada ayahku pada saat itu, sejujurnya agak canggung karena
hubungan kami pada saat itu khan masih belum baik-baik. Aku diajarkan mama untuk
menyuapi makanan dan membantu ayah meminum obatnya, menyiapkan bantal dan
gulingnya sebelum tidur dan menyelimutinya ketika sudah tertidur. Oke, aku melaksanakan
semua itu tapi tetap saja pada saat itu aku melakukannya dengan setengah hati karena disela
aku melakukan semua itu, ada saja kejadian sederhana yang membuatku kesel, misalnya
ketika ayah berbicara ngalur ngidul ketika makan dan ujung-ujungnya harus berhenti makan,
padahal makan khan wajib ya sebelum minum obat, terus juga ketika ayah menolak untuk
memakai selimut padahal aku sudah menyiapkannya agar beliau tidak kedinginan yang
kemudian aku langsung melempar selimutnya sembarangan dan alhasil mama yang melihat
kejadian itu langsung memarahiku. Setelah aku pikir-pikir, aku seperti dirundung dalam rasa
kekecewaan, kemarahan dan kesenangan dalam satu waktu pada saat itu. Kecewa karena aku
tidak bisa menghadiri momen kebahagiaan sekali dalam hidupku yaitu hari perpisahanku,
marah karena aku seperti terkurung dalam kandang singa di Jakarta pada saat itu, serta

9
terselip momen bahagia karena sesekali tante mengajakku jalan mengelilingi Jakarta untuk
menghilangkan penat sementara.

Sampai pada akhirnya, karena keadaan ayah tidak pernah berubah selama berbulan-
bulan di Jakarta dan kami sekeluarga akan mulai kembali berhadapkan ke kesibukan masing-
masing, misalnya tante yang sudah harus kembali dinas, mama yang sudah harus kembali
untuk urusan sekolah dan aku yang juga harus mengurus untuk mendaftar ke Sekolah
Menengah Atas dan kakak keduaku untuk mengurus berkas ke Universitas. Kemudian, tante
mengakali bagaimana ayahku dirawat dan ditempatkan di salah satu gereja yang mau
merawat orang sakit di Jawa Tengah saja, yang ternyata tidak lain adalah gereja awal ayah
dan mama pertama kali menikah. Setelah perjuangan mengantar ayah ke Jawa Tengah
menggunakan ambulans yang pada saat itu macet parah karena masih musim arus balik
lebaran, setelah 8 jam akhirnya sampai dan mama beserta tante sempat menginap beberapa
hari disana. Posisiku pada saat itu bersama kakakku masih menetap di rumah Jakarta bersama
budeku, sehingga setelah aku sadari sekarang, ternyata momenku merawat ayah di Jakarta
merupakan momen terakhirku bersama beliau pula. Dan tahu apa yang lebih membuatku
terpukul, disaat kami semua sudah ada seminggu setelah kepulangan kami kembali (tanpa
ayah) ke rumah kami di Palaran? Baik, akan kuceritakan.

Waktu itu di minggu yang kukira akan menjadi hari minggu yang biasa seperti hari
minggu yang normal, aku terbangun pada jam 7 pagi dengan perasaan yang tidak tenang tapi
aku tetap tidak sadar tentang itu karena aku pikir hanya perasaan lewat semata. Namun, yang
membuatku heran adalah tumben mamaku tidak ada di kamarnya, karena aku memiliki
kebiasaan mengecek kamar mama di pagi hari untuk memastikan beliau ada di kamarnya.
Ketika aku sedang memotong sayur, aku mendengar suara pintu depan terbuka dan langkah
kaki yang seperti terburu-buru, yang terrnyata mamaku. Dan beliau dengan segera
mengungkapkan itu yang kusebut diatas, bahwa ayah sudah tiada, saat aku sedang memotong
sayur. Aku yang masih mencoba mencerna keabsahan kalimat yang diucapkan mamaku
kemudian tersadar dan mendadak blank. Ya, disepanjang perjalanan kami terbang menuju
Jawa Tengah kembali setelah baru saja pulang dan sudah menjalani aktivitas rutin kami
selama seminggu kemudian harus kembali lagi itu membuatku hanya bisa ngeblank. Bahkan
ketika mobil yang membawa keluarga sampai di gereja, ya, di gereja tempat ayahku terbaring
di dalam tempat tidur abadinya dengan tenang terakhir kalinya saja aku masih ngeblank. Aku
menyaksikan kakak pertamaku bersama keluarga besar kami menangis sejadi-jadinya
disamping peti ayah pada saat itu, dan aku hanya bisa ngeblank.

10
Tentu timbul pertanyaan mengapa aku hanya ngeblank selama menyaksikan semua itu,
dan akan kujawab, karena pada saat itu aku benar-benar merasa terpukul karena mengingat
bahwa aku bahkan belum bisa mengucapkan kata maaf dan terima kasih secara langsung
kepada ayahku. Aku sangat marah besar terhadap diriku sendiri pada waktu itu. Ayahku
dimakamkan pada pagi harinya, jadi pada malam itu kami tidur di gereja itu dan aku justru
tidak bisa tidur sampai pagi. Ibadah pagi berlangsung ditempat itu, orang-orang setempat
yang merupakan teman baik ayahku pada saat muda dan warga sekitar yang mengenal
keluarga besarku di Jawa Tengahku banyak menghadiri ibadah hikmat pada saat itu. Selesai
ibadah, satu persatu orang mendekati peti ayahku dan mengucapkan kata perpisahan
terakhirnya kepada ayahku sampai akhirnya tiba giliranku. Dan aku langsung memegang
tangan ayahku yang sudah dingin dan kaku, ah, aku sudah tidak sanggup untuk
menceritakannya. Intinya yang kulakukan setelah itu adalah hanya bisa merutuki penyesalan
dan terus menangis sejadi-jadinya, dan aku belum bisa memaafkan diriku pada saat itu.

Waktu berlalu begitu cepat, sehingga aku yang sekarang menuliskan ini adalah aku
yang seorang mahasiswa. Aku yang sekarang sudah bisa menyampaikan maaf dan terima
kasihku melalui doa kepada ayahku di surga sana. Aku yang sekarang sudah memaafkan
diriku yang lama. Aku yang sekarang berusaha menjalani hidupku dengan bekal pengalaman
yang sudah kulalui bersama diriku yang lama dan juga berkat pimpinan Tuhan yang selalu
kuhadirkan dalam hidupku. Tanpa ragu, aku melangkah dan membuktikan pada dunia bahwa
arti kebahagiaan itu sebenarnya bersumber dari hal-hal sederhana yang terkadang dianggap
sepele. Dan yang terakhir, aku yang sekarang akan selalu mulai belajar menerima hidup yang
keras lalu segera belajar untuk lebih dari sekadar baik, tetapi juga berdampak positif untuk
orang lain. Hanya ini yang bisa aku tuliskan, secara penulisan ilmiah dan tata bahasa yang
baik mungkin tulisan ini masih kurang dari kata baik karena aku masih sangat amatir dalam
bidang ini tetapi aku tidak akan pernah berhenti belajar. Terima kasih sudah membaca.

For what it’s worth:


It’s never too late to be whoever you want to be.
I hope you live a life you’re proud of,
and if you find that you’re not,
I hope you have the strength to start over.

-F. Scott Fitzgerald

11

Anda mungkin juga menyukai