Anda di halaman 1dari 3

ANAK JALANAN JUGA INGIN PINTAR

Karangan : Afriyanti Rimayu

Di bawah panasnya terik matahari, aku mengendarai motor di tengah keramaian kota
Depok. Aku terus melaju sambil mengendarai motorku kearah tujuan kampus Universitas Udayana
tempat aku kuliah yang berada di Denpasar. Setiap hari kecuali hari minggu, aku selalu melewati
kota Denpasar dari Tabanan tempat aku tinggal. Walaupun panas-panas aku tetap semangat untuk
berangkat kuliah demi menimba ilmu dan sudah menjadi kewajibanku sebagai Mahasiswa. Pada
waktunya istirahat tiba, seperti biasa aku dan teman-teman beristirahat dan kami memilih untuk
pergi makan . Seketika saat aku sedang mengunyah makanan yang aku makan kemudian berhenti
dan datanglah para pengamen dan pengemis berdatangan ke setiap rumah makan termasuk rumah
makan yang aku kunjungi saat itu. Demi kenyamanan saat makan dan tidak ingin merasa
terganggu, aku langsung bergegas membuka tas dan mengambil uang receh senilai seribu rupiah,
lalu aku berikan kepada pengamen tersebut. Tidak lama kemudian aku telah selesai makan dan
kami kembali ke kelas untuk melanjutkan perkuliahan jam selanjutnya.

Waktu pun berlalu, aku pun pulang. Ketika sedang mengedarai motor menuju arah
pulang, aku melihat ada sekumpulan para anak jalanan yang sedang berkelahi memperebutkan
baju-baju bekas dan sekardus buku bekas yang diberikan oleh seorang Ibu-Ibu. Lalu aku berhenti
dan menghampiri mereka. “ mengapa kalian berkelahi?”, tanyaku singkat. “Dia ingin mengambil
baju yang telah ku pilih sebelumnya, kak” sahut seorang anak. “ kalian sekolah?” lanjutku. “tidak
kak”. “mengapa?”. “kami tidak mempunyai uang untuk membeli buku dan peralatan sekolah kak”.
“kalian bisa baca dan berhitung?”. “tidak kak”. “lalu terakhir kalian sekolah, kelas berapa?”. “
kelas 2 SD kak”. “Kakak mengapa nanya seperti itu kepada kita? Memangnya kakak bisa bantu
kami? Jika kakak hanya ingin menghina kami, lebih baik kakak pergi saja”, sambung salah seorang
anak bertubuh besar diantara mereka. “Tidak dik! Kakak malah ingin membantu”, jawabku.
Ucapan itu keluar dari mulutku tanpa ku pikir sebelumnya. “dimana Kakak dapat menemui kalian
lagi?”, sambungku. “Dihalte Bus seberang tempat biasa kita mengamen dan berjualan koran kak,
kami setiap siang selalu disana.” jawab seorang anak. “Okelah, minggu depan Kakak akan
menemui kalian lagi disana ya, tapi sekitar jam 3 sore bisa tidak? Kakak baru pulang dari kampus
jam 3”, ujarku. “ “Iya kak, bisa!” saut anak itu. “Oiya, nama kalian siapa?” tanyaku. “aku Raka, ini
Dana, yang gendut Tono, dia Fita, dan itu Dani”, jawab Raka. “Sip, kakak pulang dulu ya”. Aku
pun pergi meninggalkan mereka. Diperjalanan, aku terus memikirkan tentang kisah kehidupan
mereka dan membandingkannya dengan kehidupanku yang serba cukup malah lebih dari ini.
Dan aku menyadari bahwa menjalani hidup serba kekurangan itu sangat sulit dan tidak mudah
mereka lalui. Dan tidak seharusnya aku berpikir bahwa pengamen-pengamen yang tadi datang di
rumah makan itu pekerjaan yang tidak halal atau yang dilakukan itu rendah.

Setelah aku sampai dirumah, aku langsung menemui kedua Orang Tua aku dan
menceritakan kejadian tadi. Aku menceritakan semuanya yang aku lihat di kampus dan saat aku
pulang tadi. Dan lumayan lama aku membicarakannya, aku berniat untuk membantu anak-anak
jalanan tadi untuk belajar bersama dan Orang Tua ku pun setuju memperbolehkan aku untuk
mengajarkan mereka belajar.

Hari pun telah berganti dan tak terasa minggu setelah kejadian itu pun tiba. Lalu aku
menemui mereka di halte bus tempat biasa mereka mencari penghasilan. Dari kejauhan, aku
melihat Raka dan kawan-kawannya merasa kelelahan selama siang hari ini mereka mengamen dan
menjualkan Koran-koran dibawah panasnya terik matahari saat itu. Aku langsung menghampiri
mereka di halte seberang dan menyaut “Hai adik-adik apa kabar kalian?” kataku. “baik-baik saja
kok kak”, jawab Raka. “sepertinya kalian terlihat sangat lelah ya? Kalian laper tidak? Kakak ingin
mengajak kalian makan ayam goreng sebelum mengajak kalian belajar, mau tidak??” tanyaku.
“Mauuuuuuu” teriak mereka dengan serentak. “Oke, setelah itu kita belajar ya” ujarku.

Setelah selesai makan, aku mengajak mereka ke suatu tempat yaitu Perpustakaan
Daerah untuk mengajarkan mereka belajar dan mereka bisa melihat buku yang didalamnya terdapat
banyak gambar. Melihat mereka yang semangat ingin belajar, memotivasi ku untuk tidak menyerah
menimba ilmu di perkuliahan saat ini aku jalani dan mengajarkan mereka belajar sampai mereka
pintar nantinya. Mengajarkan mereka dapat membaca, menulis, dan menghitung seperti anak-anak
seusia mereka saat ini. Tak terasa waktu sudah sore, belajar kami hentikan dan dilanjutkan dihari
selanjutnya. Dan aku mengantarkan mereka pulang kerumah mereka masing-masing. Mereka
tinggal di lingkungan padat penduduk, dengan sampah berserakkan dimana-mana. Banyak anak
jalanan dan para pengemis tinggal disana. Aku masih memikirkan bagaimana cara membuat
mereka dapat membaca dan menghitung seperti anak-anak normal seusia mereka. Menjelang sore
aku pun pulang dan menceritakan semua yang ku lihat tadi kepada kedua Orang Tua ku.

Seiring berjalannya waktu, aku berhasil mengajarkan mereka membaca, menulis, dan
berhitung. Dan sekarang mereka pun bisa membaca, menulis, dan berhitung seperti anak-anak
normal seusia mereka dan akhirnya mereka menjadi pintar. Aku sangat senang dan merasa sangat
berguna bisa membantu mereka belajar hingga pintar saat ini. Aku mengerti bahwa para anak
jalanan juga butuh membaca, karena dengan membaca mereka mendapatkan informasi dari media
cetak yang mereka jual. Mereka juga butuh berkomunikasi dengan yang lain, menggunakan
perantara musik yang mereka mainkan. Mereka juga ingin seperti kita, mendapatkan pendidikan
yang layak tetapi belum mendapatkan kesempatan seperti yang kita miliki saat ini. Maka
bersyukurlah, berpikirlah bahwa apa yang kita miliki, belum tentu orang lain bisa memilikinya dan
merasakan sama seperti yang kita rasakan.

Anda mungkin juga menyukai