PUTIH, gemuk, dan lembek, seperti gajih. Namanya belatung. Kelak, ia akan
menyembul dari lubang telingamu dan menggerogoti kenangan-kenangan
di dalam kepalamu. Tanpa sisa! Semua kenangan di dalam kepalamu lalu
sempurna hilang. Bahkan termasuk nama anakmu, Gara. Lengkapnya,
Kynan Garawiksa.
“Kenapa aku kok mesti mondok, Yah?” tanyanya di suatu malam seusai menyantap mi
goreng kesukaannya yang rutin kubuatkan.
Sekenanya saja aku menjawab—kepada anak berusia dua belas setengah tahun, tak bijak
bila kuderakan jawaban panjang bahwa kau harus memiliki ilmu pengetahuan yang dalam
dan luas agar nalarmu bisa selalu kritis dan pula kau mesti mengasah hatimu dengan laku-
laku riyadhah agar hatimu jernih supaya kelak kau tak menjadi cebong atau kampret yang
sama-sama bebal, tengik, bacin, dan bau comboren mampat akhlaknya—“Supaya kelak jika
sudah beristri dan beranak-cucu, kamu bisa mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan baik dan
bijak.”
Gara bertanya lagi, “Di pondok ada Indormart-nya nggak, Yah?”
“Oh, ada, ada,” jawabku cepat. Ini pertanyaan enteng, sangat enteng, maka jawabannya
pun enteng, sangat enteng. Toh, jikapun ternyata tak ada, tak sulit bagiku untuk
mengadakannya. Kau ini, Nak, kayak lagi berurusan sama siapa to?
Sebuah tangisan pecah dari mulut seorang lelaki sebaya Gara. Ada dua larik pekikan yang
mengiris wajah langit, juga hatiku. Semua mata seketika menyergap tubuhnya yang
berguncang. Sedihnya ia ditinggal orang tuanya, gumamku, hatinya pasti sangat tersayat.
Anak baru umur 12-13 tahun, betapa masih kecilnya. Seno Gumira Ajidarma barangkali
belum pernah menyaksikan jerit pilu seorang anak sekecil itu yang menangis karena harus
tinggal di pesantren dan berpisah dengan orang tuanya. Juga dunia kanaknya. “Tiada yang
lebih sedih dari hati seorang perempuan yang menangis karena cinta,” kata Seno. Ah, ada-
ada saja Seno ini. Semoga Gara selalu baik-baik saja, tak menangis seperti anak itu, doaku
dalam hati.
Gara sekilas tersenyum kecil kepada anak yang menangis itu dengan ekspresi wajah yang
sangat kuhafal. Tiap lekuk wajah dan tubuhnya, aku hafal. Kau tanya apa saja tentang Gara,
spontan aku akan sangat bisa menceritakannya. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya….
Orang-orang yang berkerumun di emper Masjid Pandanaran ini, dengan memojok atau
melingkar bersama anak masing-masing, pelan demi pelan mulai beranjak seiring
kumandang azan Asar. Waktu mengingsut—pelan memang, lebih pelan dari langkah bekicot,
tapi dengan pasti selalu maju, tak pernah berhenti. Sebagian besar pergi dan tak pernah
kulihat lagi. Sebagian lain ikut salat, juga aku dan Gara.
Usai salat, usai Gara mencium punggung tanganku, aku berbisik padanya, “Le, kerasan ya di
sini….”
Ia mengangguk, dengan sedikit tersenyum—senyuman yang kuhafal dengan hafalan yang
lebih kukuh menghunjam daripada hunjaman hafalan Al Mulk.
Di emperan, istri dan dua anakku, serta Budhe Iis dan putrinya, Bella, telah menunggu. Gara
ditawari pengin jajanan apa oleh mama dan budhenya. Ia bilang sate ayam. Di sisi selatan
masjid, sejarak sepuluh langkah, ada pedagang sate ayam pakai sepeda motor yang sedang
mangkal. Aku pun beranjak membelinya buat Gara.
Begitu kembali bersama sebungkus sate ayam, sekitar sepuluh menit berselang, kulihat
mamanya sedang memeluk Gara. Sangat erat. Erat sekali: helai-helai angin pun takkan
sanggup menyapih jarak keduanya.
“Sudah, sudah, Mah, nanti berat sendiri kalau mau pamit,” ujarku. Mereka saling berlepas
pelukan, lalu Gara menerima bungkusan sate dariku, dan menyantapnya dengan lahap.
Rabu, 19 Juni 2019. Jika kau bersua denganku sepuluh tahun lagi, itu pun bila aku berumur
panjang dan kau pun begitu, tanyakanlah padaku apa yang kukatakan dan kurasakan pada
pukul 16.00 itu.
“Bagaimana perasaan Bapak ketika melepaskan Gara saat itu….?”
Sepuluh tahun lagi, pertanyaanmu itu masih akan sangat perkasa membuatku terdiam
beberapa jenak, memaksa mataku terlontar ke ketinggian langit malam yang jelaga, lalu
ingatanku melesat jauh, sangat jauh, ke setangkup wajah kecil yang amat kusayangi, yang
tak lagi ada di depanku. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya, maka ia adalah selalu
seorang anak berwajah kecil yang gemar merekahkan senyum dengan gigi putih berbaris di
depanku. Baju kokonya hitam. Pecinya hitam. Sarungnya agak menggembung di bagian
perut karena cara ia menggulungnya dibuntal-buntal begitu saja sekenanya, asal nyantol.
“Ayah mau ke mana? Aku ikut….” Gara selalu mengucapkan kalimat itu setiap aku akan
pergi dari rumah, sejak ia berumur tiga atau empat tahunan. Siang atau malam. Hujan atau
terang.
“Ayah mau ketemu teman, Le.”
“Teman siapa?”
“Ada teman bisnis.”
“Di mana?”
“Jauh, di Jalan Kaliurang.”
“Aku ikut ya….”
“Jangan, Le, besok kamu kan sekolah. Nanti saja kalau pas liburan, kamu boleh ikut.”
“Ehmm…ehmmm….” Wajahnya merengut kecewa, lalu membalikkan badan dari hadapanku,
kemudian rebahan di depan tivi atau menjamah HP di meja.
Sepulang dari Jalan Kaliurang, nyaris pukul 00.00, tangan Gara-lah yang membukakan pintu
garasi buatku. Wajah kecilnyalah yang kujumpai pertama kali. Suaranyalah yang pertama
kali menyambutku.
“Kok belum tidur, Le?”
“Aku nggak bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Nunggu Ayah….”
Wajah kecilnya menyunggi rekahan senyum, deretan giginya yang putih berbanjar di
kelopak depanku. Lalu… Aku tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata apa saja, selain
segera mengelus kepalanya, menjamah pundaknya, dan menggandengnya masuk ke depan
ruang tivi atau kursi panjang di dekat dapur.
“Mau mi?”
“Mau…”
“Sebentar, ya, Ayah buatkan.”
Ia akan terus menemaniku hingga mi goreng buatanku tandas dilahapnya. Kemudian ia
kuminta naik ke kasur di kamar depan, di sebelah mamanya, untuk tidur. Ia pun tidur.
Bersebelahan denganku. Kerap kutindihi, dengan sengaja, semata untuk kurasakan hangat
kulit tubuhnya menjalari kulit tubuhku. Pori-pori kulitnya hangat, selalu hangat, menyelam
ke dalam hatiku…
Kuelus kepalanya yang berpeci hitam, kubacakan salawat beberapa kali, kutatap sekujur
wajahnya dan hatiku melepas jangkar di matanya yang jernih. ’’Le, kerasan ya di sini, baik-
baik sama teman-teman, ikuti semua aturan dan perintah guru-guru, ya…”
Sejumlah santri yang rata-rata sepantar dengan Gara terlihat bercanda di sekitar emperan
masjid ini. Suara kaki-kaki mereka bergedebak, berlarian. Cekikikan-cekikikan berlesatan.
Dan, nun jauh di sana, di kampung masing-masing, para orang tua mereka tentulah sedang
mengelus dada dan kepala menanggung epitaf rindu yang tak terperikan perihnya.
Sebulan atau dua bulan, Gara insya Allah juga akan begitu, seperti mereka, kan?” gumamku
seakan sedang mengajukan pertanyaan yang tak perlu jawaban kepada Tuhan.
“Ayah tenang saja, aku kayaknya sudah kerasan kok. Di sini banyak teman, jadi bisa enak
mainnya, hehe…” Suara Gara menerabas bukan ke liang telingaku, tapi ulu hatiku. Merobek
takhtanya di dalam sana dan terus membekas hingga berpuluh tahun kemudian begini.
“Amin, alhamdulillah,” ketika ucapan ini keluar begitu saja dari mulutku menimpali sahutan
Gara, mataku terlontar ke seberang, ke jalanan, melintas kelindan tembus ke mana-mana,
berpuluh tahun silam kala abah dan ibu yang telah tiada mengantarku ke Pondok Denanyar,
Jombang, dan meninggalkanku di antara orang-orang asing itu.
Aku mengisak seusai salat Magrib berjamaah. Sejumlah anak sebayaku juga menangis. Ibu,
bertahun kemudian saat aku telah jadi mahasiswa, berkisah tentang pilunya ia sampai
berderai air mata di dalam bus selama perjalanan pulang ke Madura karena harus terpisah
denganku, anaknya, dan aku tertawa ngakak seusai menyimak kisahnya.
Sekarang, Gara tak menangis, ia malah berkata mulai kerasan, dan tepat pada desiran
ucapannya itu akulah yang justru menangis. Pondok membuatku menangis dua kali: dulu
saat ditinggalkan orang tuaku dan kini saat mesti meninggalkan anakku.
Debu-debu, sesekali, berkesiut disaput angin. Dalam hitungan menit, senja akan sempurna
tandang, lalu digulung kelam, semakin hitam, hingga sempurna legam.
“Le, sudah sore, saatnya Ayah pulang. Ayah pamit dulu, ya,” kataku setelah memastikan air
mataku tak lagi tersisa di kelopak mata. Bukankah sebaiknya anak tak boleh tahu bahwa
ayahnya sedang menangis karena dera nestapa hidup menjadi seorang ayah?
“Iya, Yah…”
“Nanti hari Jumat, insya Allah Ayah ke sini lagi menengokmu.”
Ia mengangguk. Lalu kurenggut tubuhnya ke dadaku, kupeluk dengan sangat dalam, dalam,
dan dalam sekali. Beri aku kata yang lebih tebal dari kata ’’dalam”, maka pelukanku masih
lebih tebal lagi. Mamanya lalu memeluknya. Kemudian budhenya. Lalu kakaknya, adiknya,
dan sepupunya. Mereka lantas menyeberang ke sisi kiri di depan masjid, aku melaju ke
parkiran di sisi utara, Gara tampak berdiri di ujung teras masjid.
Nyaris sepuluh menit kemudian, aku baru berhasil melintas di depan masjid, di seberang
Gara berdiri, di tempat tadi aku menangis. Dan Gara masih setia berdiri di situ! Ia berdiri
dengan tangan melambai-lambai ke arahku di balik kemudi, berkali-kali mengecupkan jari-
jari ke bibirnya, sembari memanggilku.
“Yah, Ayah.”
“Le, dadah, assalamualaikum.” Mobilku berhenti di tengah jalan, kemacetan sejenak
mengular, hingga seseorang melambaikan tangan kepadaku memberi isyarat supaya aku
segera melaju. “Le, baik-baik ya, Nak…”
Kalimat terakhir yang bisa kukatakan itu merobek kembali takhta hatiku dan deraslah hujan
di mataku di depan kemudi. Ini kali ketiga aku menangis di pondok. Istri dan kerabat segera
naik ke mobil di tepi jalan, berseberangan dengan tubuh Gara yang masih tampak
mematung di ujung teras masjid.
Aku sengaja tak menolehinya lagi. Sengaja, Le!
Ia tak boleh tahu bahwa ayahnya menangis karena kehilangannya. Toh, tak semua hal tepat
baginya untuk tahu hari ini dan biarlah waktu yang kelak akan memberitahunya betapa
melepaskannya di pesantren merupakan peristiwa hebat yang membuatku menginsafi satu
hal perihal pernah sombongnya aku kepada Tuhan. Dulu, aku pernah berkata di depan
jamaah pengajian bahwa aku pasti tidak akan meneteskan air mata seumpama di suatu
masa Tuhan menakdirkanku lebih dahulu kehilangan anakku sebelum anak-anakku
merasakan luka kehilanganku.
“Aku ternyata sombong sekali ketika mengatakan hal itu atas nama kukuhnya tauhidku
kepada-Nya. Tapi, aku tak bohong ketika barusan berkata padamu bahwa kepergian Gara
dari rumah ini adalah kehilangan yang masih mengandung harapan nyata untuk berjumpa
lagi dengannya di Jumat yang akan datang, yang sungguh harapan itu tak lagi ada dalam
perpisahan karena melepas kematian,” kataku kepada mama Gara.
Mama Gara terdiam, mengusap matanya yang berlinang, dan pelan-pelan kembali
melanjutkan makan malamnya dengan tidak lahap. Kulihat ada Gara di piringnya, di setiap
suapannya, di setiap kunyahannya, di setiap kedipan matanya, di setiap tetes air matanya.
Dadaku nyeri, sangat nyeri. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya…
“Jadi, bagaimana perasaan Bapak saat melepaskan Gara saat itu?”
Kumasuki kamar Gara yang diisi 12 anak dengan langkah tergesa. Sungguh tak sabar ingin
menatapinya, memelukinya. Ia tak ada di kamar!
Aku pun keluar, menaburkan pandang ke segala penjuru, mencari hatiku yang berwajah
kecil itu dan senyumnya yang kuhafal sehafal-hafalnya. Selarik suara yang amat kukenal
menerpaku tiba-tiba dari arah belakangku. Suara Gara!
“Leee…..” Kupeluk ia, kuelus kepalanya. Sepiring nasi putih tergenggam di tangan kanannya
dengan bibir piring ditempelkan begitu saja ke baju kokonya. Beberapa butir nasi menempel
ke baju kokonya. Kau benar-benar tetap anakku yang kecil itu, Le….
“Kok makannya nggak ada lauknya, Le?”
“Iya, kantinnya masih tutup jadi cuma dapat nasi dan sayur. Kalau lauknya kadang pakai
abon, dikasih teman.”
“Pernah makan tanpa abon?”
“Ya pernah. Nasi sama sayur asem saja.”
Tanganku menggandengnya menuruni tangga kamarnya, lalu melaju ke luar, ke sebelah
pondok, setelah kukatakan mamanya sedang menunggu di luar dan membawakannya
banyak ayam goreng KFC kesukaannya.
“Sebagian nanti kukasih teman-teman kamar ya, Yah. Kasihan pada lama nggak makan
ayam goreng.”
Inilah, Le, apa yang dulu ayah maksudkan dengan gumaman betapa pintar ilmu saja, taklim,
tidaklah cukup untuk menyelamatkanmu dari pagebluk cebong dan kampret. Kau harus
menarbiyahi hatimu agar jernih dengan laku-laku riyadhah di sini sehingga akalmu, ilmumu,
bisa terpancari kejernihannya.
Gara menyantap dengan sangat lahap setiap iris ayam goreng KFC bawaan mamanya.
Sesekali terdengar suaranya bercerita tentang sandal, sikat gigi, odol, dan gantungan
bajunya yang di-ghasab, juga ziarah kuburnya ke makam Mbah Mufid.
“Siapa?” tanyaku.
“Mbah Mufid.”
“Kamu sudah bisa bilang Mbah sekarang, ya, Le.”
“Ya kata teman-teman semua juga bilangnya Mbah Mufid gitu, Yah.”
“Memangnya siapa beliau, Le?”
“Pendiri pondok ini.”
Tentu aku hanya sedang mencandainya dengan pertanyaan itu. Ia telah benar-benar
menjadi santri—sebagaimana aku dulu.
Tetapi, aku sama sekali tak secuil pun menyelipkan candaan tatkala di sore hari, seusai asar,
pamit kepadanya sembari berdoa di dalam hati: Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, karuniakanlah mata air kasih dan sayang-Mu kepada anakku ini berupa ilmu-
ilmu yang bermanfaat; ilmu-ilmu yang mengalirkannya pada danau kesalehan, bukan
sekadar kealiman, dan lautan akhlak karimah, agar kelak ia tumbuh menjadi sosok yang
migunani tumraping liyan. Amin.
Sekarang, kau sudah berhasil merasakan derasnya bah perasaanku saat melepaskan Gara?
Putih, gemuk, dan lembek, seperti gajih. Namanya belatung. Ketika belatung-belatung
semakin riuh keluar-masuk dari seluruh lubang tubuhku, termasuk telingaku, makin
sempurna memamah jasadku, kepalaku, dan seluruh kenangan di dalamnya, hingga aku tak
lagi berbentuk serupamu, dan kau pasti akan jijik benar umpama menyaksikan keadaanku,
di suatu malam yang gigil dan kelam, sangat kelam. Seorang lelaki kusaksikan dari balik
awan-awan seputih kapas sedang menangis seorang diri hingga dadanya bergelombang di
teras belakang rumahnya seusai membaca cerita lama ini.
Untukmu di alam kubur, Yah, Al Fatihah, bisiknya dalam hati sembari menyeka air mata.
Dialah Gara, anak ayahnya, aku, yang sore tadi tersayat-sayat hatinya karena mesti
melepaskannya di sebuah pesantren yang terkenal dengan amaliah salawat, yang selalu
membukakan pintu garasi untukku di malam-malam yang panjang.
“Kok kamu belum tidur, Le?” tanyanya.
“Aku nggak bisa tidur,” jawab anaknya.
“Kenapa?”
“Nunggu Ayah…”
“Mau dibuatkan mi goreng?”
“Mau…”
Lalu ia membuatkan mi goreng kesukaan anaknya dan menemaninya makan sampai tandas.
Kemudian keduanya bergandengan tangan masuk ke kamar depan dan tidur bersebelahan
sambil saling memeluk sampai jelang subuh.
Air mata adalah bahasa kehidupan yang paripurna.
Puisi tersebut dipahatnya di batu nisan ayahnya yang siang malam dikiriminya Fatihah—
suatu kelak, ia pun akan diberikan pahatan itu oleh anaknya. Agar aku sama dengan ayahku,
tuturnya kepada istri dan anak-anaknya.
Tiga malam lalu, Ibu digigit ular. Kaki kanannya membengkak dan kaku. Segera
dia dilarikan ke pawang ular di Pinggir Papas yang terkenal ampuh
menjinakkan berbagai macam ular dan racun yang kadung merasuk ke
tubuh manusia. Tak peduli jalan rusak, tak peduli anak perempuannya
hamil, tak peduli cuaca malam berembun tebal. Mobil laju dan tangkas.
Semua demi keselamatan Ibu.
Ayah membopong Ibu memasuki gang sempit di antara geriap air tambak dan percik cahaya
lampu rumah yang berdempetan membentuk pemandangan rumah apung. Akhirnya kami
sampai. Kiai Dullah hanya tersenyum tipis sambil memandangi wajah Ibu yang meringis. Dia
duduk menyimpuh, menundukkan kepala seperti hendak sujud.
Dia melekatkan bibir yang lebam oleh rokok ke kaki Ibu yang bengkak. Dia isap kuat-kuat
bisa ular di kaki Ibu. Ibu meringis. Kiai Dullah menggerak-gerakkan betis dan punggung
perlahan, tetapi terasa begitu kuat. Beberapa menit pemandangan itu tak berubah. Wajah
Ibu makin pias. Otot-ototnya menegang. Kiai Dullah gemetar dan menerjang-nerjang.
Mereka berdua seperti sedang bergulat dengan sesuatu yang teramat berat dan kuat. Bulir-
bulir keringat mereka menetes seperti kilauan air tambak terkena pantulan cahaya lampu
rumah-rumah.
Setelah beberapa menit yang berat dan penuh keringat, Kiai Dullah melepaskan kaki Ibu.
Dia memuntahkan gumpalan darah merah pekat hampir mendekati hitam ke dalam baskom.
Darah itu bergelembung dan membentuk gumpalangumpalan kecil yang menguarkan bau
amis. Saat Ibu melepaskan lelah, Kiai Dullah segera berkumur air kelapa yang telah terkupas
dan dilubangi.
“Tinggal menunggu penyembuhan,” Kiai Dullah berkata lirih sambil memperbaiki duduk
persis di samping kaki Ibu yang masih kaku dan menjulur begitu saja tanpa tenaga.
“Tolong perbanyak makan dan istirahat. Bekas luka ini lumuri parutan mentimun.”
Kami menunduk, mengiyakan perkataan Kiai Dullah. Meski tak begitu paham apa yang dia
maksudkan, bagi kami kesembuhan Ibu yang utama. Jadi tak perlu bertanya tujuan dan
fungsi resep itu. Kami pasrah dan melaksanakan sebaik-baiknya.
***
Konon, ular yang telah menggigit manusia tak pernah bisa hidup bahagia. Ia akan menangis
setiap hari. Bahkan empat puluh hari sebelum ia benar-benar menggigit mangsa.
Sebagai bentuk penyesalan, ia tak pernah beranjak dari tempat saat menggigit mangsa.
Berhari-hari ia akan berdiam dengan tubuh tanpa tenaga. Tak makan, tak minum, dan
sangat mungkin ia akan mati. Jika orang-orang yang mencari cepat menemukan, ia dalam
keadaan mengenaskan. Namun jika tak ada orang yang mencari, ia akan mati kelaparan dan
mengenaskan.
Sampai detik ini, tak seekor pun ular yang menggigit manusia selamat dari buruan
orangorang kampung. Mereka selalu sigap dan kompak, serimbun dan selebat apa pun
semak. Setelah menemukan, mereka menggiring ular itu ke rumah korban dan di sana
mereka membantai ular itu hingga mati mengenaskan. Kadang-kadang mereka membakar
ular itu karena menganggap akan hidup lagi setelah dilepaskan, separah apa pun
kondisinya. Sebagian orang percaya ular punya obat dan cara tersendiri untuk keluar dari
jurang maut yang mengerikan. Membakar adalah cara terbaik meyakinkan mereka: ular itu
sudah benar-benar binasa.
Namun ini tidak terjadi pada ular yang menggigit Ibu tiga hari lalu. Sudah hampir seluruh
warga kampung mencari di tempat kejadian dan beberapa tempat sekitar. Nihil. Semak-
semak rimbun telah mereka bersihkan, tetapi tetap nihil. Sejak Ibu digigit hingga saat ini,
pencarian tak kunjung berhenti. Mereka tetap berusaha menemukan. Ada keyakinan kuat di
masyarakat, jika ular yang menggigit tak bisa ditangkap, luka korban akan parah, bahkan
bisa berakibat sangat mengerikan: meninggal dunia.
Menurut penuturan Ibu, ular yang menggigit sebesar lengan orang dewasa, berwarna hitam
berbelang kuning. Panjang sekitar satu meter. Ia terjatuh di semak di kiri jalan setelah Ibu
kibaskan dengan kuat. Ibu tidak tahu persis saat ular itu menggigit karena saat itu matahari
sudah tenggelam dan mega merah di ufuk barat memancar lembut. Ibu hanya memprediksi
lewat cahaya senter yang menyorot sekilas. Setelah itu, dia terburu-buru memanggil Ayah
yang sedang mencuci rumput di sungai dan terburu berangkat ke pawang ular yang berjarak
sekitar 50 kilometer dari rumah.
Orang-orang berspekulasi. Ular itu mungkin sudah sangat tua dan sangat berbahaya.
Mungkin jenis ular kaber macan yang sangat berbisa. Namun dari ciri yang Ibu sebutkan,
sebagian waswas ia mungkin kaber kokon yang tak kalah berbisa. Orang-orang masih
beradu pendapat dan berbagai kemungkinan.
Sementara Ibu meringis kesakitan dan kakinya makin membengkak, orang-orang makin
sengit beradu kemungkinan dan menebak jenis ular yang telah mengigit. Setelah berhari-
hari mencari dan tak kunjung menemukan ular itu, orang-orang mengajukan kemungkinan
lain. Ular pangraksa.
Ular itu sangat jarang keluar. Ia hanya menampakkan diri pada waktu tertentu. Biasanya
malam Jumat dan malam Selasa. Oleh karena itulah, orang-orang bersepakat memberi
sesajen sebagai makanan setiap ia muncul agar tidak mengganggu warga dan binatang
ternak. Warga meyakini ia penjaga keamanan kampung ini sejak ribuan tahun lalu. Sebagai
wujud terima kasih, warga berela hati menaruh sesajen di tempat itu seminggu dua kali.
Sampai detik ini, tidak ada yang pernah melihat langsung ular itu. Hanya dari cerita ke
cerita. Konon, beberapa orang melihat ia sedang melingkar di semak belukar. Sebagian
orang lain melihat ia melilit rumpun bambu yang lebat di sekitar tempat ia muncul.
Gerakannya menimbulkan bunyi mengertap dan sesekali berbunyi persis seperti ayam
jantan yang berkokok.
Dari cerita itulah, setiap malam Jumat dan Selasa, apabila terdengar seperti kokokan ayam
jantan di sekitar tempat itu, orang-orang percaya itulah ular pangraksa yang keluar dari
sarang.
Ibu-ibu akan menyuruh anak-anak masuk ke rumah dan ntuk segera tidur. Orang-orang yang
nongkrong di warung menjadi kaku dan terdiam lesu. Sampai detik ini tidak seorang pun
berani memastikan itu ular yang dimaksud. Mereka memilih aman daripada menuruti rasa
penasaran. Memang ada satu-dua orang hendak membuktikan ular itu benar-benar ada.
Namun sebelum niat itu terlaksana, nyali mereka menciut karena provokasi tetangga dan
teman-teman yang sangat meyakinkan dan menggetarkan nyali.
Soal ular pangraksa sebenarnya tinggal cerita. Sudah lama tak ada kokokan serupa ayam
jantan dan tidak ada suara kertap bambu dilintasi ular. Mungkin sudah berbilang tahun.
Hingga orangorang lupa mereka punya kewajiban setiap dua malam seminggu. Mereka lebih
asyik dengan cerita masing-masing. Sebagian juga sudah tak percaya ular itu sungguh ada.
Penebangan demi penebangan dilakukan. Hampir semua rumpun bambu di tempat yang
dikeramatkan sudah habis terjual. Beberapa pohon besar juga mereka tumbangkan.
Kenyataannya tidak ada yang ganjil. Semua lancar dan aman. Sebagian bahkan berani
mencacimaki keyakinan sesepuh tentang ular itu. Mereka menganggap itu sekadar mitos
dan isapan jempol belaka.
Di warung-warung mereka berbicara lebih rasional tentang kondisi ekonomi yang makin
menjepit, kondisi politik yang memanas, dan tentu berita-berita yang membuat adrenalin
naik tak terkontrol. Tentu mereka tidak paham berita yang benar dan tidak. Terpenting
mereka sudah mendengar dan menonton di televisi. Apalagi sebagian yang lebih
berpendidikan mengompori.
Kamis sore itu, di tempat yang sudah tak lagi dirindangi rumpun bambu dan tinggal semak-
semak kecil, orangorang berkumpul membawa nasi takir yang ditaruh di atas ancak pelepah
pisang. Ada empat takir kecil berisi nasi ditumpangi pewarna merah. Di tengahtengah
kerumunan digantung kulit kambing yang sudah diisi jerami, sehingga terlihat masih hidup
seperti semula.
Mereka mengaji perlahan dan berbarengan. Sesepuh kampung membacakan mantra dan
doa sebelum menaruh sesajen itu di berbagai penjuru. Diam-diam mereka sadar, selama ini
sudah melupakan kewajiban.
Peristiwa yang menimpa Ibu bukan satu-satunya. Beberapa warga juga sudah digigit ular
sebelum Ibu. Namun peristiwa yang menimpa Ibu yang paling ganjil. Tak ada jejak ular
ditemukan. Itu membuat masyarakat tersadar, ular pangraksa sudah benar-benar keluar.
Ular dengan kombinasi setengah hewan dan setengah makhluk halus. Ular yang dimitoskan
dan tidak dianggap benar-benar ada. (28)
Catatan:
Kaber macan: sejenis ular sangat berbisa di Madura.
Kaber kokon: sejenis ular sangat berbisa di Madura, hampir sama dengan kaber macan,
tetapi lebih hitam.
Pangraksa: ular yang diyakini jelmaan makhluk halus yang menjaga suatu daerah, yang
menuntut warga memberikan sesajen setiap malam Jumat dan Selasa.
Catatan:
Kaber macan: sejenis ular sangat berbisa di Madura.
Kaber kokon: sejenis ular sangat berbisa di Madura, hampir sama dengan kaber macan,
tetapi lebih hitam.
Pangraksa: ular yang diyakini jelmaan makhluk halus yang menjaga suatu daerah, yang
menuntut warga memberikan sesajen setiap malam Jumat dan Selasa.
SETELAH setengah jam berbaring, mataku masih tak mau diajak terpejam.
Bayangan hal-hal yang kutemui hari ini terus terngiang. Mulai dari bapak
renta bersama angkot tuanya yang kutumpangi untuk tiba di toko buku.
Angkot itu kosong, namun demi melihatku yang terburu-buru ia segera
menghidupkan mesin dan tersenyum kecil ke arahku. “Ayo, Mbak,” ujarnya
dengan suara serak.
Aku memilih duduk di bangku paling depan, ya bangku di sebelah pak sopir. Sontak, ia
terlihat sedikit terkejut menyaksikan aku kini ada di sebelahnya. “Ada apa ya Pak? Ada yang
aneh?” Aku masih ingat kalimat pertama yang kulontarkan. “Iya, aneh betul. Seumur-umur
saya ngangkot, baru sekarang ada perempuan muda yang duduk di bangku depan. Biasanya
kalo bukan ibu-ibu dengan anaknya, ya laki-laki mbak. Apalagi angkotnya kosong begini,”
katanya dengan suara yang tidak terlalu jelas.
“Iya Pak, lagi pula tidak ada bedanya depan dan belakang, yang penting sampai tujuan,”
Jawabku seadanya.
“Beda, Mbak. Resiko kecelakaan lebih besar di depan.”
Glek aku menelan ludah. Selama menumpangi berbagai kendaraan umum, aku tak pernah
memikirkan risiko kecelakaan. Seluruh kepercayaan aku serahkan kepada sang pengemudi.
Tiba-tiba pikiranku membumbung menghayalkan kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi jika angkot ini mengalami kecelakaan. Kutatap wajah pak sopir di sebelahku. Mata
tuanya fokus pada jalanan, ia terlihat begitu tenang dalam berkendara. Ah, sepertinya aku
akan aman.
“Angkot sepi ya, Pak. Penumpang pada ke mana ya?” tanyaku sambil melihat suasana
jalanan yang cukup ramai saat itu.
“Penumpang itu ya harus ditarik, Mbak. Ditarik pake teriakan. Saya sudah tua, berdiri saja
terkadang susah apalagi harus teriak-teriak.”
“Jadi kenapa Bapak masih terus ngangkot?” kini pandanganku beralih pada tubuh ringkih
bapak itu.
“Kalau tidak begitu, saya mau dapat uang dari mana, Mbak? Tidak ada pekerjaan lain yang
bisa diandalkan. Saya cuman bisa menarik angkot.” Ia kembali menjawab dengan sabar.
“Ya, kalau angkotnya sepi sama saja Bapak seperti tidak bekerja Pak. Hanya membuang
tenaga saja. Bapak sudah tua, harusnya menghabiskan hari dengan cucu. Anak-anak Bapak
ke mana?” Tiba-tiba aku merasa marah, entah marah pada siapa.
“Saya tidak bisa punya anak, Mbak,” jawabnya. Mendengar itu, aku menjadi salah tingkah.
Terngiang kata-kataku soal menghabiskan hari dengan cucu, selanjutnya aku memilih diam.
Tak mau melanjutkan pembicaraan tersebut. Rasanya aku telah menjadi anak muda sok
tahu, yang merasa paling benar.
“Saya tidak tersinggung, Mbak. Ya, beginilah hidup. Mungkin sudah takdir saya. Toh, hidup
ini sejatinya mencari keridhaan Allah. Saya akan terus menjadi tukang angkot. Ini jalan saya
mencari ridaNya, Mbak,” ada sedikit senyum di wajah keriputnya.
“Maksud angkot ini sebagai jalan mencari rida?” Aku mulai merendahkan nada suara.
“Ah, itu urusan saya dengan Allah, Mbak. Cukup saya dan Dia yang tahu.”
Curang! Jawaban barusan sama sekali tak memuaskanku. Sungguh aku ingin mendesak agar
bapak tersebut menjelaskan keridaan Allah yang dia maksud barusan. Namun demi
mengingat sikap lancangku sebelumya, aku memilih diam.
***
Pagi itu aku berangkat sekolah lebih awal. Sengaja, aku ingin mengadakan pertemuan
eksklusif dengan seorang teman. Ia cerdas, bijak, panutan dan tentunya idaman banyak
gadis di sekolah ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ia sudah berada di kelas enam
puluh menit sebelum pelajaran dimulai. Empat puluh menit ia gunakan untuk mengecek
ruang kelas, kamar mandi, perpustakaan dan ruangan-ruangan lain dari sekolah ini. Ia
mendapat pekerjaan khusus itu langsung dari bapak wakil kepala sekolah. “kamu jadi duta
sekolah ini ya,” begitu ujar pak wakil kepada Rauf, setengah tahun yang lalu. Setelah selesai
melaksanakan tugas, ia biasa menggunakan sisa waktu dua puluh menitnya untuk
membuka beberapa buku. Rauf tak pernah keberatan mengemban tugas tersebut.
Aku melirik jam tangan perak di pergelangan. Sepuluh menit lagi ia selesai memeriksa
ruangan. Begitu perkiraanku, sepuluh menit ini akan aku manfaatkan untuk perjalanan
menuju sekolah. Sepagi ini, jalanan sudah mulai ramai. Berbagai jenis kendaraan melaju
memenuhi rute jalan. Angkot! Aku melihat kendaraan itu berlalu tepat di depan batang
hidungku. Melihat itu, kakiku seperti dirangsang untuk berlari lebih cepat menuju sekolah.
Tak sabar mendiskusikan soal pak tua dan angkotnya kemarin kepada Rauf, teman terbaik
yang pernah aku kenal.
“Menurutku kata-katanya terlalu klise. Keridaan Allah melalui angkot, apa maksudnya coba?
Anak bau kencur sepertiku belum bisa mencernanya,” seru Rauf sambil mengernyitkan dahi.
“Tidak mau bertanya dengan orang tuamu dulu?” tanyanya sambil meletakkan pena.
Ternyata ia menggambarkan skema ceritaku di buku catatannya.
Aku menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Rauf. “Tidak perlu. Orang tuaku
mungkin akan menjelaskan. Tapi aku tak akan paham, komunikasi mereka dengan anak-
anaknya tidak berjalan begitu baik. Aku butuh tempat diskusi yang hangat.”
“Baiklah. Kamu masih mengingat pangkalan angkot bapak itu kan, Husni? Jika iya, Pulang
sekolah kita berangkat ke sana.” Aku mengangguk.
Dari kisah dan kebingungan yang aku utarakan, hanya kata-kata itu yang dikeluarkan Rauf.
Ia tidak memberi penjelasan, nasihat atau apa pun yang berhubungan dengan kebijakan dan
solusi untuk mengatasi kebingunganku. Atau mungkin, Rauf terganggu karena
kedatanganku pagi ini? Ah sepertinya tidak. Selama mengenalnya sejak dua tahun lalu,
Rauf tak pernah mengecewakanku. Semoga kebingunganku terjawab siang ini.
***
Siang sepulang sekolah, Rauf mendatangiku. Entah mengapa tiba-tiba aku jadi tidak
bersemangat lagi untuk memikirkan hal tersebut. Lagi pula, apa pentingnya memikirkan
perkataan tukang angkot yang sudah renta dan tak punya masa depan cerah lagi. Rasanya
lebih baik aku yang masih muda dan kuat ini belajar lebih giat demi kebaikanku di masa
mendatang.
“Sepertinya sudah tidak tertarik lagi soal perkataan klise itu?” Rauf mengejutkanku. Aku
gugup, entah bagaimana ia bisa tahu apa yang di benakku saat ini. “Ah sudahlah Rauf. Gak
penting. Peer kita juga banyak bukan? Sudah sudah kita pulang ke rumah masing-masing
saja. Permisi,” aku segera membalikkan badan tanpa peduli bagaimana reaksi Rauf saat itu.
“Eh tunggu. Kalau memang begitu, kamu beri tahu saja pangkalan angkot dia. Biar aku saja
yang ke sana.” Langkahku terhenti mendengar kalimat itu. Tanpa pikir panjang, aku segera
mengambil kertas dan pena, kugambar denah menuju pangkalan tersebut tanpa berbalik ke
arah Rauf. Sejujurnya aku sangat malu. Malu karena tidak mampu menjaga konsistensi
perkataanku. Segera setelah selesai, denah acakadul tersebut kuberikan padanya. Ia
tersenyum. Senyuman seorang sahabat yang sangat tulus.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terngiang-ngiang soal apa yang akan Rauf lakukan
di pangkalan tersebut. Apakah ia akan bertanya langsung soal perkataan sang supir angkot
tua itu, atau bagaimana? Ah ya, lagi pula ia tak tahu angkot mana yang kumaksud.
***
“Husni, aku sudah dapat jawabannya,” seru seseorang dari belakangku. Suaranya tak asing
sama sekali, Rauf. Aku tak menggubris. Kupercepat langkah kakiku menuju kelas. “Sudah,
tak usah malu begitu, Hus,” ujarnya sambil mengimbangi langkahku. “Malu kenapa sih? Aku
biasa saja. Kamu beneran gak penasaran dengan jawabannya?” Suara Rauf santai dan
ringan sekali. Sungguh ia berhasil meluluhkan batu keras di hatiku. “Ok kita bicarakan di
kelas,” jawabku dengan senyum kecil.
“Jadi bagaimana? Kamu penasaran? Ini urusan laki-laki sekaligus urusan hati.”
“Haa maksudmu?”
Tanpa banyak bicara, ia menyodorkan sebuah rekaman video ke hadapanku. Dengan rasa
penasaran yang melunjak, aku menatap rekaman itu lekat-lekat. Kulihat seseorang dengan
tubuh ringkih dan rambut putih menyetir angkot tua sambil memamerkan gigi-gigi
ompongnya. Aku tahu, itu Si Pak Tua. Rauf duduk di sebelahnya sambil mengambil rekaman
yang sepertinya diambil secara sembunyi-sembunyi.
Bapak itu menghentikan angkotnya di pinggir jalan. Ia lama berdiskusi dengan beberapa
orang yang tak tampak di rekaman tersebut. Sekejap kemudian, kamera diarahkan ke
bagian belakang angkot. Dua ibu-bu muda dengan baju daster lusuh masuk ke dalamnya.
Ditambah dengan dua karung besar yang aku tak tahu itu apa. Angkot kembali berjalan
perlahan. Kira-kira sekitar 15 menit, angkot itu kembali berhenti di tempat dengan banyak
karung-karung yang mirip dengan dua karung di dalam angkot. Keduanya lalu turun
perlahan, menaikkan karung ke atas kepala mereka dan melambaikan tangan ke bapak tua,
si pengemudi.
Setelah itu, rekaman yang menurutku agak panjang tersebut selesai. Aku sama sekali tak
paham maksud rekaman itu dan kaitannya dengan perkataan angkot ini sebagai jalan
mencari rida. Rauf menatapku lekat-lekat. Dengan wajah tenang, ia memulai pembicaraan.
“Kamu tahu Husni, Allah itu tidak akan pernah membiarkan hamba-hambaNya terlantar
selagi mereka masih mau berusaha. Setelah diskusi panjangku dengan Pak Ali, aku jadi
paham tanggung jawab seorang laki-laki. Terima kasih ya Husni.”
“Maksudmu?”
“Tenang, aku belum selesai. Pak Ali memang sudah tua, angkotnya itu sepi. Sepi sekali. Ia
sudah tak mampu lagi menarik banyak penumpang untuk masuk ke angkotnya, disebabkan
karena jumlah saingan dari pengemudi-pengemudi angkot yang masih muda lainnya.
Namun uniknya, pak Ali sepenuhnya menyerahkan angkotnya kepada Allah. Ia jadikan
angkot itu sebagai jalan agar Allah rida padanya. Jadi begini Hus, dari hasil setengah hari
berkeliling dengan beliau, aku menemukan penumpang gratis yang masuk ke angkotnya
sejumlah dua puluh orang. Mulai dari ibu-ibu pengepul sampah yang ada di rekaman tadi,
pengamen jalanan, penjual koran lampu merah yang tak laku-laku dan masih banyak lagi.
Mereka tak pernah menyetop angkot karena sadar tak punya uang untuk bayar angkot.
Uangnya lebih baik untuk beli makan daripada bayar angkot. Hanya aku, satu-satunya
penumpang hari itu yang menyetop angkot dan membayar,” Rauf memberhentikan
ucapannya. Ditariknya napas panjang, aku tahu ini belum selesai.
“Melalui angkot tua dengan roda empat itu, ia berjalan menuju surga Allah. Ia bilang, sudah
tak mampu lagi menafkahi kebutuhan sehari-hari istrinya. Ia berniaga kepada Allah dengan
angkotnya yang “sepi penumpang” itu agar mendapat rezeki lebih untuk
mempersembahkan sebungkus nasi kepada istrinya, dan kau tahu ajaibnya? Ia bilang selalu
kelimpahan makanan. Entah datang dari mana, makanan selalu ada di tudung sajinya. Ia tak
pernah tahu asal makanan itu dari mana. Hanya istrinya dan tentu Allah yang tahu,” tambah
Rauf lagi. Ah, aku menyesal tak ikut nimbrung kemarin.
“Oh iya Rauf. Pak Ali, tidak pernah bertanya pada istrinya soal asal kelimpahan makanan
itu?”
“Istrinya seorang tuna wicara, Hus,” Jawab Rauf singkat. “Aku malah berpikir, makanan itu
datang dari orang-orang yang ditumpangi Pak Ali setiap harinya,” tambahnya lagi.
“Sama,” jawabku spontan.
Sekarang aku paham soal kata-kata yang mengganjal tersebut. Aku sangat paham sekali.
Rasanya aku ingin berlari menuju pangkalan angkot, mencari angkot Pak Ali dan
menyalaminya sambil memohon maaf sebanyak-banyaknya. Sungguh aku salah, masa
depan tukang angkot tua itulah yang cerah, entah bagaimana kelak aku di masa depan
dengan keegoisan yang seperti ini. Seketika, kulekatkan pandanganku ke arah Rauf. Aku
seperti melihat sosok Pak Ali muda di depanku. Laki-laki yang bijak, dengan masa depan
cerah menurutku.
“Hei, kamu kenapa diam saja?”
“Ayo setelah pulang sekolah kita berangkat ke pangkalan angkot. Bertemu beliau,” tiba-tiba
aku gugup sekali.
Kulihat Rauf tersenyum kecil. Mungkin ia menertawai kelabilanku. “Siap Husni.” ***
Hilwa Fitri, menetap di Takengon, Aceh tengah. Tengah menempuh pendidikan di UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Rayna Kumala
Cerpen Win Han (Koran Tempo, 20-21 Juli 2019)
Saya tidak memiliki teman yang suka membunuh hewan-hewan lucu kecuali Rayna
Kumala. Perempuan bertampang mirip artis drama Korea itu sama sekali
tak kelihatan punya bakat berbuat bengis. Orang-orang yang tidak cukup
mengenalnya akan mengira ia sebaik putri raja atau pemeran protagonis
dalam sinetron-sinetron di televisi. Tentu saja mereka keliru-semua orang
yang hanya mengenal sepintas perihal orang lain selalu keliru. Rayna
Kumala, meski bukan perempuan jahat, jelas punya masalah di dalam
otaknya.
Berkali-kali saya menanyakan kepadanya, “Sementara orang-orang di media sosial
memamerkan foto kucing, kelinci, dan marmut, mengapa kau malah membunuh mereka?”
Ia mempertontonkan senyum kecil, serekah senyum yang justru memperkuat tampang baik-
baik dan cantiknya. Tapi, hanya itu. Ia tak lantas memberi jawaban yang membuat rasa
penasaran saya sirna. Paling jauh, jawaban yang ia sodorkan hanyalah, “Kujelaskan pun kau
tak akan mengerti.” Sial betul. Bagaimana bisa saya mengerti kalau ia tak pernah
mengatakannya?
Saya sudah berusaha berulang-ulang menanyakan perihal itu kepadanya dan selalu gagal
memperoleh jawaban memuaskan. Oleh karena itu, lebih baik saya menceritakan bagian-
bagian lain saja, yang barangkali bisa membuatmu atau siapa saja yang membaca cerita ini
terbantu untuk memahami tingkah ganjil Rayna Kumala.
***
Pada sore berhujan lebat itu, saya berteduh di depan sebuah rumah kosong beratap lebar.
Saya berteduh sekira hampir satu jam. Tentu saja sepanjang waktu itu saya tidak hanya
diam sambil memperhatikan tetes-tetes hujan dan berencana membikin puisi romantis.
Tidak. Saya membuka ponsel, melihat-lihat kiriman terbaru orang-orang yang saya ikuti di
Instagram, membalas pesan-pesan, dan memandangi pemandangan sekitar.
Rumah kosong itu berada persis di depan sebuah rumah berdinding merah muda yang
kelihatan mencolok karena warna catnya yang berbeda dibanding rumah-rumah lain di
seputaran daerah tersebut. Rumah itu adalah rumah Rayna Kumala dan pada saat itulah
pertama kali saya bergidik ngeri dengan kelakuannya.
Di halaman rumahnya yang cukup luas, di bawah guyuran hujan, Rayna Kumala tampak
sedang bermain-main dengan seekor kucing hitam. Ia duduk dan memegangi kucing itu. Di
dekatnya ada sebuah ember kecil berwarna hitam. Saya selalu senang melihat seorang
manusia berakrab-akrab dengan hewan. Itu membuat saya percaya dunia masih akan eksis
selama seribu tahun ke depan. Tapi, kesenangan saya saat itu salah alamat. Sebab, manusia
itu—Rayna Kumala—bukan sedang berakrab-akrab dengan hewan. Mulanya ia memang
tampak memegangi dan mengelus-elus si kucing sebagaimana umumnya seorang pencinta
kucing. Namun, beberapa menit sesudahnya, saya melihat Rayna Kumala mengeluarkan
sebilah pisau dari balik pinggangnya. Ia mencengkeram leher si kucing, menggores-
goreskan pisau ke leher si kucing, dan setelah leher si kucing putus, ia lesakkan jasad kucing
hitam yang sudah berdarah-darah itu ke dalam ember.
Dari jauh, saya berteriak, “Hei, Rayna, apa yang sedang kaulakukan?”
Rayna menoleh kepada saya. Tapi ia tidak bicara apa-apa. Setelahnya ia bergegas
membawa ember berisi mayat kucing dan masuk ke dalam rumah.
Hujan reda tak lama setelah itu. Dan entah dari mana, samar-samar saya mendengar suara
ngeongan lemah seekor kucing. Namun, saya sama sekali tidak melihat keberadaan kucing.
Tidak ada kucing sama sekali.
***
Soal cerita Rayna Kumala memenggal kucing, saya membeberkannya kepada Rani Ansari,
kawan saya yang lain. Tapi, perempuan muda dengan mata besar dan alis tebal seperti
orang Arab itu tak memercayai saya. Ia bilang pastilah saya salah lihat atau kucing itu
adalah replika belaka. Saya menegaskan kepadanya bahwa saya tak salah lihat, bahwa saya
sungguh-sungguh melihat ujung pisau itu memutus leher seekor kucing hitam.
“Rayna tak mungkin sekejam itu. Aku bahkan jarang melihatnya menampakkan amarah.”
“Tapi ia membunuh seekor kucing.”
“Kau punya bukti apa?”
“Aku memang tak punya bukti apa-apa. Tapi, penglihatanku masih kelewat normal, Ran.”
Di tengah-tengah percakapan kami, entah terbawa angin apa, tiba-tiba Rayna Kumala
melintas di depan rumah saya. Ia tersenyum kepada kami. Kami bertanya ia mau ke mana
dan mengajaknya mampir. “Terima kasih. Aku sedang terburu-buru.”
Kami membiarkannya. Ia tampak berjalan ke arah barat dan berdiam di bawah sebuah
pohon jambu yang baru ditebang. Ia belum terlalu jauh. Pandangan mata kami masih
sanggup menjangkaunya. Saya bertukar cakap dengan Rani soal Rayna Kumala. Belum apa-
apa, Rani mengagetkan saya dengan suara histerisnya. “Lihat, lihat itu, apa yang ia bawa!”
Di halaman rumahnya yang cukup luas, di bawah guyuran hujan, Rayna Kumala tampak
sedang bermain-main dengan seekor kucing hitam. Ia duduk dan memegangi kucing itu. Di
dekatnya ada sebuah ember kecil berwarna hitam. Saya selalu senang melihat seorang
manusia berakrab-akrab dengan hewan. Itu membuat saya percaya dunia masih akan eksis
selama seribu tahun ke depan. Tapi, kesenangan saya saat itu salah alamat. Sebab, manusia
itu—Rayna Kumala—bukan sedang berakrab-akrab dengan hewan. Mulanya ia memang
tampak memegangi dan mengelus-elus si kucing sebagaimana umumnya seorang pencinta
kucing. Namun, beberapa menit sesudahnya, saya melihat Rayna Kumala mengeluarkan
sebilah pisau dari balik pinggangnya. Ia mencengkeram leher si kucing, menggores-
goreskan pisau ke leher si kucing, dan setelah leher si kucing putus, ia lesakkan jasad kucing
hitam yang sudah berdarah-darah itu ke dalam ember.
Dari jauh, saya berteriak, “Hei, Rayna, apa yang sedang kaulakukan?”
Rayna menoleh kepada saya. Tapi ia tidak bicara apa-apa. Setelahnya ia bergegas
membawa ember berisi mayat kucing dan masuk ke dalam rumah.
Hujan reda tak lama setelah itu. Dan entah dari mana, samar-samar saya mendengar suara
ngeongan lemah seekor kucing. Namun, saya sama sekali tidak melihat keberadaan kucing.
Tidak ada kucing sama sekali.
***
Soal cerita Rayna Kumala memenggal kucing, saya membeberkannya kepada Rani Ansari,
kawan saya yang lain. Tapi, perempuan muda dengan mata besar dan alis tebal seperti
orang Arab itu tak memercayai saya. Ia bilang pastilah saya salah lihat atau kucing itu
adalah replika belaka. Saya menegaskan kepadanya bahwa saya tak salah lihat, bahwa saya
sungguh-sungguh melihat ujung pisau itu memutus leher seekor kucing hitam.
“Rayna tak mungkin sekejam itu. Aku bahkan jarang melihatnya menampakkan amarah.”
“Tapi ia membunuh seekor kucing.”
“Kau punya bukti apa?”
“Aku memang tak punya bukti apa-apa. Tapi, penglihatanku masih kelewat normal, Ran.”
Di tengah-tengah percakapan kami, entah terbawa angin apa, tiba-tiba Rayna Kumala
melintas di depan rumah saya. Ia tersenyum kepada kami. Kami bertanya ia mau ke mana
dan mengajaknya mampir. “Terima kasih. Aku sedang terburu-buru.”
Kami membiarkannya. Ia tampak berjalan ke arah barat dan berdiam di bawah sebuah
pohon jambu yang baru ditebang. Ia belum terlalu jauh. Pandangan mata kami masih
sanggup menjangkaunya. Saya bertukar cakap dengan Rani soal Rayna Kumala. Belum apa-
apa, Rani mengagetkan saya dengan suara histerisnya. “Lihat, lihat itu, apa yang ia bawa!”
Sejak tadi saya juga sudah mengamati Rayna Kumala, tapi tetap saja volume suara Rani
menciptakan sensasi mendebarkan tersendiri bagi saya. Di bawah pohon itu, Rayna Kumala
berjongkok dan mengeluarkan sesuatu dari dalam kresek hitam yang ia bawa. Ia menengok
ke kanan-kiri dan sepertinya tidak menyadari bahwa kami bisa menyaksikan apa yang
sedang dilakukannya.
“Ia mengeluarkan martil,” seru Rani.
Saya melihat Rayna Kumala mengeluarkan martil berukuran besar.
“Dan… oh, tidak, ia mengeluarkan seekor kelinci,” sambung Rani sambil membekap
mulutnya.
Saya melihat Rayna Kumala mengeluarkan seekor kelinci mungil berwarna abu-abu.
“Dan…” Belum sempat menuntaskan kata-katanya, Rani jatuh pingsan.
Biar saya ceritakan: bersamaan dengan pingsannya Rani, Rayna Kumala menghantamkan
martil ke kepala kelinci malang itu. Ia memukulkan martilnya berkali-kali dan saya rasa
kepala kelinci itu pastilah seremuk mobil yang ketiban empat tiang listrik sekaligus.
Setelah siuman, Rani melarang saya untuk membicarakan soal Rayna Kumala.
***
Cerita ketiga sekaligus terakhir terjadi belum lama ini. Sekitar sebelas atau dua belas hari
silam. Waktu itu Minggu pagi yang cerah. Saya memutuskan untuk jogging keliling
kompleks. Tidak lama, kegiatan jogging tersebut hanya berlangsung kurang-lebih dua puluh
lima menit. Saya rehat sejenak di pos kompleks yang saat itu kosong melompong. Saya
menenggak air putih, mengelap keringat, dan menghitung jumlah burung gereja yang
menemplok di tiang-tiang sejauh mata memandang. Satu, dua, tiga, empat… empat burung.
Dari arah bertenggernya burung keempat, muncullah seorang perempuan yang sudah tak
asing bagi saya. Perempuan itu berjalan kaku seperti robot. Namun, langkahnya cepat dan
tiba-tiba saja ia sudah berada di dekat saya. Perempuan itu adalah Rayna Kumala.
Perempuan itu adalah Rayna Kumala dan ia menggenggam seekor marmut. Perempuan itu
adalah Rayna Kumala dan ia menggenggam seekor marmut yang kepalanya putus! Dan
mulut Rayna Kumala penuh bercak merah.
“Oh, Rayna, apa yang baru saja kaulakukan terhadap hewan kecil itu?”
“Aku habis bermain-main dengannya. Ya, bermain-main,” katanya seraya menyeringai. Gigi-
giginya memerah dan terselipi bulu-bulu halus. Pada saat itu, saya seolah bukan tengah
melihat Rayna Kumala, melainkan seorang hantu yang asing dan mengerikan.
“Rayna, marmut itu. Kepala marmut itu,” ujarku tergeragap.
“Ada apa? Kepala marmut itu sudah kumakan dan rasanya lezat. Lezat sekali, selezat
sebuah pengkhianatan.”
Saya semakin tidak mengerti dengan perbuatan dan kata-katanya. Dan ia mengulangi lagi
kata-kata terakhirnya sambil menyeringai lebar, “Lezat sekali, selezat sebuah
pengkhianatan.”
Selepas perjumpaan tak sengaja dengan Rayna Kumala itu, saya pulang ke rumah dan tidak
makan seharian.
***
Belakangan, saya mendapat sejumlah informasi baru terkait Rayna Kumala. Saya
mendengar ini antara lain dari Rani Ansari yang mendengarnya dari seseorang yang cukup
dekat mengenal Rayna Kumala.
Kata orang itu—sebut saja A—sebenarnya Rayna Kumala dalam beberapa minggu ke depan
akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya. Ia sering menceritakan mengenai
rencana pernikahan tersebut dengan riang gembira. Ia sangat antusias dan terlihat yakin
sekali segala rencana akan berjalan mulus.
Tetapi Rayna Kumala keliru. A bilang kekasih Rayna Kumala kepergok selingkuh oleh Rayna
Kumala pada suatu malam. Kekasihnya itu sedang mencium leher seorang perempuan asing
ketika Rayna Kumala memergokinya di suatu halte yang sedang sepi.
Cerita A berhenti di situ. Namun, ada tambahan lain, sedikit detail tentang kekasih Rayna
Kumala yang kiranya menjadi hal yang dapat memecahkan teka-teki dalam cerita ini. Kata
A, kekasih Rayna Kumala adalah seorang pencinta binatang dan kerap menghadiahi Rayna
Kumala hewan-hewan mungil nan lucu.
Apakah hewan itu berupa kucing, kelinci, dan marmut? Rani Ansari berujar, “Ya, itulah yang
dikatakan A.”
Kendati begitu, saya tetap akan terus menanyakan kepada Rayna Kumala, “Mengapa kau
malah membunuh hewan-hewan mungil dan lucu itu?” Meski saya tahu, Rayna Kumala tak
akan pernah menanggapinya, selain dengan senyuman dan perkataan, “Kujelaskan pun
kau tak akan mengerti.”
Tambun Selatan, 29-30 Juni 2019
Win Han, tinggal di Bandung. Dia produktif menulis cerpen dan puisi
Tentang Belly
Cerpen Ken Hanggara (Suara Merdeka, 28 Juli 2019)
Kami memanggilnya Belly. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu di
lantai ini dan konon itulah yang membuat orang menyebutnya Belly.
Tidak pernah ada yang tahu nama aslinya. Bagi Belly, itu tak
penting. Ia tak waras, tetapi pintar bernyanyi dan murah senyum.
Suatu malam, Belly bernyanyi di depan kamarku. Waktu itu pukul satu dini hari dan
aku belum tidur, padahal pukul tujuh harus ke bandara untuk urusan penting. Belly
bernyanyi seakan lingkungan sekelilingnya dipadati penonton. Seakan ia benar-
benar berdiri di atas panggung. Beberapa tetangga memarahinya.
“Dulu kami mengikatnya di gudang, dekat pipa-pipa busuk itu, tetapi kami kasihan
dan membiarkannya nyanyi sepanjang malam di lorong. Esoknya kami kelelahan
dan tak ada yang peduli Belly tidur ditemani hantu atau tidak di gudang itu,” kata
John, salah seorang tetangga.
Aku tahu banyak tentang Belly dari John, sebab ia pengangguran, tetapi mengaku
sebagai pengamat politik. Tulisannya tersebar di berbagai koran, sehingga ia tidak
perlu kerja. Honor yang ia dapat bisa membuatnya hidup. John bersumpah suatu
hari Belly dipaksa tidur di gudang karena suka mengganggu orang tidur.
“Belly diikat selama beberapa malam di gudang dan ia bukan menyanyi, justru
berteriakteriak seperti orang gila. Memang dia sinting. Maksud saya, dia berteriak
dan mengumpati orang satu per satu. Dia hafal nama kami, karena sesekali kami
menegurnya ketika nyanyi di lorong dan kami bertanya siapa namanya, begitu juga
dia menanyakan siapa nama kami. Lalu dia mengingat nama kami satu per satu. Itu
terjadi sejak bertahuntahun lalu, sejak pemilik gedung ini tidak lagi peduli apa
orang seperti Belly bisa mengganggu ketenteraman penghuni lain.”
John menjelaskan, Belly penghuni legal di sini. Punya kamar dan kadang tidur di
sana, tapi lebih sering meringkuk di lorong, tidur dalam posisi melingkar karena
masa lalu. Tidak ada yang tahu masalah Belly; ia sering menyanyikan lagu sedih. Ia
pernah menangis sambil terus bernyanyi, dan setiap orang yang mendengar pun
menangis. Aku menangis karena mendengar suara indah Belly. Usai nyanyi, ia
penceti bel satu per satu di tiap pintu di lantai ini. Lalu, tidur di sembarang tempat.
Bagaimana Belly kembali bernyanyi dengan tidak diikat, bagi John, adalah
kecelakaan. Waktu itu nenek-nenek yang sudah sangat sepuh dan berumur tidak
panjang lagi, mendatangi kerumunan di pintu gudang dan mengutuk perbuatan
semua orang.
Belly si suara emas, Belly si sinting yang memencet bel di pintu setiap orang, telah
seminggu terakhir dicari nenek itu. Ia merasa setiap kali Belly menyanyi, malaikat
turun membawa harpa dan berbisik, ‘Tidak lama lagi giliranmu. Bereskan bajumu
dan telepon anakmu yang tidak tahu diri itu dan sesudah itu kereta menuju surga
akan segera berangkat!’
Begitulah nenek itu berkisah secara mengharukan dan menghubungkan kejadian
yang sulit dipercaya dengan keberadaan Belly yang kebanyakan dianggap tidak
ramah lingkungan. Nenek itu meminta setiap orang membebaskan Belly, agar bisa
mendengar kembali malaikat turun membawa harpa, hingga si nenek tidak
ketakutan saat mati nanti.
Belly pun dibebaskan dan dua hari kemudian nenek itu mati gantung diri. Karena
syok, semua orang tidak ada yang berani mengurung Belly di gudang dan biarlah ia
menyanyi sesuka hati di lorong dan memenceti bel di pintu setiap orang, daripada
Anda didatangi hantu nenek itu. John menceritakan itu seakan aku di pihaknya dan
seakan aku merasakan kejengkelan yang sama dengan yang ia rasakan.
Aku menyimpan semua cerita tentang Belly dan sesekali kureka-ulang jadi cerita
pendek untuk kubaca sendiri. Belly sering menyapaku, karena aku pulang di atas
pukul am sembilan malam, dan sejak saat itu ia sudah duduk-duduk di anak tangga
menuju lantai di bawah lantai kami.
Ia berbicara dengan suara amat pelan, seperti orang berbisik, tetapi masih bisa
didengar. Sesekali berkata tentang musim dan membuat puisi tentang musim,
sebelum tengah malam bernyanyi, tetapi lebih banyak Belly bertanya soal makanan
apa yang kumakan dan apakah aku tidak kekurangan makanan enak di sini.
Aku tidak tahu bagaimana Belly bisa hidup seorang diri dalam keadaan tidak waras.
Namun, kata John, ia pintar memasak. Belly pernah memasak untuk setiap orang di
lantai ini dan semua orang tahu ia pandai memasak, tetapi untuk menelan masakan
itu mereka tidak sudi. Mereka cuma mencicipi, sebelum menuang semua pemberian
Belly ke toilet dan bersyukur tidak tertular gila atau dirawat di rumah sakit
beberapa hari kemudian.
Karena tidak ada yang mengapresiasi, Belly tidak lagi memasak dan sering ke
seberang apartemen, ke minimarket, membeli bertumpuk makanan sebagai stok
dua minggu.
Kami semua tahu di mana pintu Belly, tetapi tidak seorang pun pernah ia ajak
masuk. Belly seakan tinggal di lorong atau di sudut mana pun di luar pintu itu, dan
pintunya seperti sesuatu yang berjarak sangat jauh dari perempuan sinting itu. Aku,
sekalipun terganggu oleh suara Belly, sebab betapapun indah ia bernyanyi, tidak
bisa terlelap mendengar suara sekeras itu, tidak marah padanya. Namun aku
memaklumi sikap orang-orang sebelum nenek yang tidak kukenal itu mati.
John bercerita dengan detail sehingga aku bisa membayangkan seperti apa suasana
ketika Belly dikurung. Memikirkan itu, aku tidak tega. Belly si kurus yang pucat,
yang berwajah tirus dan manis, mengingatkanku kepada perempuan pada masa
lalu. Aku tidak mungkin memarahinya karena alasan tertentu. Jadi aku hanya duduk
dan menemani dia dalam diam, sementara ia terus bernyanyi.
Malam ini hal yang sama kulakukan. Belly memandangku sebentar dan ia teruskan
nyanyinya yang hampir putus. Selesai bernyanyi, ia bangkit dan menarik tangan
kananku dan menyuruhku memencet bel dari ujung lorong ke ujung lain.
“Pencet seakan kita sedang bertamu dan orang di dalam pintu itu harus benar-
benar bangun untuk membukakan. Kalau mereka tidak bangun, yah… biarkan.
Berarti nasib kita belum terlalu baik,” katanya.
Kukatakan aku tak mungkin melakukan itu dan nanti setiap orang akan terganggu
karena ulahku. Belly tertawa kecil dan menuduhku pengecut. Namun ia tidak
memaksa dan memencet bel di pintu pertama dengan jarinya. Itu pintu kamar John.
Aku tahu John bisa saja bangun dan langsung menyerbu gadis itu dengan katakata
sampah seperti biasa, tapi malam ini John si pengangguran tidak bangun.
Belly melompat-lompat bagai anak kecil menuju pintu berikut. Kukatakan, dengan
harapan malam ini ia tidak memencet bel di setiap pintu, bahwa seandainya Belly
berani mencoba hal baru, ia boleh menuduhku pengecut.
Belly tidak paham maksudku.
“Jadi begini,” kataku, “kamu tidak harus memencet bel di sini atau di pintu-pintu
berikutnya. Itu tidak harus, dan bukan semacam kewajiban. Kalau tidak kamu
lakukan, kamu tidak mungkin mati. Kamu bisa coba hal baru. Kamu bisa
menghitung siapa saja yang tinggal di dalam pintu tertentu dan mencatatnya dalam
otak. Dan kamu lakukan itu selama beberapa malam.”
“Tapi aku tidak kenal semua orang di sini dan mereka semua menganggapku gila.
Aku pernah dikurung seakan-akan aku seekor anjing!” Belly tampak tersinggung,
tetapi tidak panik. Ia tetap tegak di depan pintu tadi dan suaranya masih seperti
orang berbisik.
Aku diam beberapa saat karena bingung, tapi kukatakan itu tidak penting. Ia bisa
saja tidak memedulikan perkataan orang dan bukankah memang itu yang selama
ini selalu Belly lakukan? Ia tidak pernah peduli dan terus bernyanyi. Belly mengerti,
tetapi benci kenangan ketika dikurung. Ia takut dan mengira hantu di gudang
mengintainya. Ia harus terus membuat semacam pembalasan agar menang di atas
semua orang.
Belly tidak juga memencet bel di pintu kedua, tetapi ia juga tidak melakukan
saranku menghitung siapa saja yang tinggal di pintu itu, yang kutahu pasti Belly
hafal sesuai dengan cerita John. Belly tampak berpikir dan meremas jemarinya.
Kerutan di dahinya bertumpuk dan aneh, karena kulit Belly secara keseluruhan
seperti permukaan tulang yang halus.
Akhirnya ia mengikuti saranku dan menyebut satu demi satu nama siapa saja yang
berada di pintu tertentu, tanpa memencet bel, sehingga tak ada kebisingan seperti
biasa. Pintu demi pintu kami lalui dan akhirnya kuantar Belly ke ruangan miliknya
karena hari sudah larut.
Belly bertanya apa aku lapar dan merasa ada yang tak beres dengan masakan yang
kutemui di kota ini, sebab ia tahu aku belum menikah.
Kukatakan kadangkadang lidahku menemukan masalah, dan seseorang tak salah
jika memberiku hadiah berupa masakan terenak di dunia. Belly terdengar senang
dan ia berjanji mulai besok malam ia tidak lagi memencet bel di setiap pintu. Tentu
saja aku senang mendengar itu. Tidak kusangka apa yang kulakukan, walau kecil,
memberi perubahan besar.
Sayang, sore keesokan harinya kudengar kabar Belly mati dan aku belum bisa
pulang untuk tahu apa yang terjadi dan melihat bagaimana orang mengurus
jenazahnya. Belly mati dalam tidur siang hari di depan pintuku. Di sisinya,
tergeletak sepanci sop.
Sekembaliku, apartemen ini terasa asing. Tidak ada Belly, segalanya seakan diputar
tangan Tuhan. Kaki di kepala, kepala di kaki, dan aku tidak bisa berpikir selain
bertanya pada John di mana kuburannya. John dengan senang hati mengantarku.
Kini, kubaca dalam hati nama itu, Belly, yang terukir di batu nisannya. Orang tidak
tahu nama aslinya. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu dan konon itulah
yang membuat orang menyebutnya Belly. (28)
Gempol, 2017-2019
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan
skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali
(2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018),
dan Dosa di Hutan Terlarang (2018)
AKU hanya bisa merasakan tubuhku lunglai. Mungkin akibat tadi telat makan
siang hingga asam lambungku naik, pikirku. “Mbok, minta wedang jahe
anget seperti biasa,” pintaku.
“Gelas kecil kan, Den?” tanya Mbok Pinah.
“Iya, Mbok,” jawabku singkat.
Warung Mbok Pinah memang terkenal di kalangan santri. Ia tak hanya menjual aneka
wedang dan gorengan. Di sana juga tersedia nasi kucing dengan pincuk khas daun pisang.
Bukan bungkusan kertas seperti di warung kucingan lain.
“Sebenarnya, kalo kamu mau dapetin Gus Miftah tu mudah kok, cukup melobi Bu Nyai
Aminah, selesai perkara,” celetuk seorang pria paro baya sembari terus mengepulkan asap
rokoknya.
“Dengerin tu omongan Kang Naim. Apa aku bilang? Sampean cukup sowan Bu Nyai.”
“Tapi aku gak pede Kang sowan, nembung, Bu Nyai,” sahut Ning Dona, panggilan akrab Ning
Romdhonah.
“Lha Gus Miftah tu cesplengnya cuma dingendikani Bu Nyai. Aku pernah lihat sendiri Ning
waktu dia dituturi Bu Nyai. Hanya nunduk tanpa nyahut sepatah kata pun,” jawab Ririn alias
Rina Muyasaroh.
“Coba kamu selidiki dulu apa alasannya dia gak nikah-nikah, padahal teman-teman
seumurannya udah beranak tiga. Kalah dia ma aku. Aku sudah berpinak lima,” kata Gus
Rizal yang diam-diam iri pada laris manisnya Gus Miftah.
Obrolan itu tak sengaja mampir ke kupingku. Aku memang tidak kenal dekat dengan Ning
Dona. Ia terlihat modis. Pakaiannya menjuntai menutupi lekuk tubuhnya yang tinggi berisi
itu. Namanya sering dibicarakan para santri. Mungkin karena parasnya yang nggemesi.
Perihal jejaka yang telat nikah sebenarnya bukan barang baru di kampungku. Sudah sering
terdengar laqab kalo pemuda-pemuda di kampungku adalah kumpulan para bujang lapuk.
Ada yang bilang itu karena jarak kampungku yang amat terpencil sehingga menyulitkan
penduduk bergaul dengan kampung seberang. Banyak pula cerita lain yang sering
dihubungkan dengan kabar mistis.
Tetapi soal Gus Miftah memang lain. Nama lengkapnya Miftahus Surur. Putra satu-satunya
Kiai Usman itu selain dikenal jago ngaji, secara biologis ia adalah pria yang terhitung matang
dan sempurna. Umurnya sekitar 37 tahun. Tak heran, banyak gadis yang rela antre njagongi
pengajiannya. Emak-emak pun tak mau kalah, hanya beda tujuan. Sepertinya mereka
berhasrat menjodohkan putri mereka dengan Gus Miftah.
Tak terasa wedang jaheku tinggal seteguk. Aku pun pamit kepada Mbok Pinah, “Bakwan dua,
wedang jahe anget satu. Semuanya berapa, Mbok?”
“Lima belas ribu saja, Den”, ujarnya seraya memperbaiki sedekutnya.
Sembari menjulurkan selembar dua puluh ribuan, aku teringat utangku lima ribu kemarin.
“Berarti lunas ya Mbok, dengan kemarin.”
“Makasih, Den,” jawab Mbok Pinah.
Aku hanya bisa mengingat kata-kata Gus Rizal. Apa benar Gus Miftah menunda nikah karena
gosip santer itu. Ah, mana mungkin. Gus Rizal kalo bicara memang suka seenaknya sendiri.
Malam sudah semakin larut, tak kuat mataku menahan rasa kantuk. Yang kutahu tiba-tiba
punggungku jatuh melekat kuat tertempel di ubin bak Spiderman. Maklum, santri tidur tanpa
beralas kasur yang empuk, kelambu, ataupun selimut. Mungkin agar santri berakhlak
tawaduk. Membumi, berpantang tinggi hati dan memberhalakan diri, apa pun jadinya kelak.
***
Paginya, selesai menyimak ngaji Tafsir Jalalayn-nya Gus Miftah, seperti biasa aku nganter ibu
ke pasar dan setelahnya aku mampir ke warung Mbok Pinah. “Wedang jahe lagi kan, Den?”
tanya si mbok.
“Nasi goreng kecap pedas sama kopi tubruk tanpa gula, Mbok,” pintaku.
Mbok Pinah dengan cekatan membersihkan wajannya yang terlihat seperti bekas osrengan
pelanggan sebelumnya.
“Gus, sebenarnya Njenengan tu nyari cewek model gimana? Kalo modis dan bahenol ya
Ning Dona itu masuk kriteria, Gus. Kalo pengin dapat hafidzoh dan nurutan ya kayak Ning
Isti. Kalo uangnya banyak tapi ngambekan ya Ning Fatma. Lha wong tinggal milih kok, Gus.”
“Bener kata Gus Thohar, Sampean tu sudah berumur, nunggu apa lagi? Nanti teman-teman
Sampean sudah bawa cucu, Sampean masih nganter sekolah anak,” gojek Gus Rizal.
Suara gelak tawa terdengar riuh. Baru sadar ternyata aku terjebak dalam dialog Gawagis.
Semacam asosiasinya para putra kiai di kampungku. Aku sengaja meletakkan cangkir kopiku
di ujung siku sebagai penghambat keakraban. Gasakan demi gasakan bersahutan, beradu di
antara bunyi teko air panas yang dituang ke dalam secangkir kopi.
Gawagis pun tertawa riang, seakan puas nggasaki Gus Miftah. Sementara kulihat Gus Miftah
hanya senyum ala kadarnya. Mungkin baginya senyum adalah bentuk pertahanan dan
perlindungan terakhir. Sebaliknya, bagi mereka, cekikikan sebagai simbol kemenangan
semu. Karena mereka juga harus berdamai dengan realitas hidup sehari-hari yang tak jarang
menyudutkan mereka.
Aku jadi ingat, pernah dengar kabar kalo Gus Miftah punya daya linuwih. Ia dikenal gampang
hafal. Semacam laduni. Dapat ilmu dadakan tanpa harus capek-capek ikhtiar. Minimal bukan
hanya Kang Burhan yang cerita. Kalo opini Kang Burhan bisa jadi subjektif, menurutku.
Karena dia abdi dalemnya Kiai Usman dan terhitung sering ditraktir Gus Miftah. Namun,
banyak penduduk kampung yang terkagum dengan kaweruh Gus Miftah yang terhitung
tidak lumrah.
Aku memang pernah dengar slenthingan dari Ning Isti kalo tiap sebelum subuh Gus Miftah
selalu nglalar hafalan-hafalannya. Laku itu rutin ia lakukan sampai jelang ngajar tafsir. Lalu
ia teruskan dengan mengontrol bisnis ritelnya. Setelah itu ia lanjutkan nderes kitab-kitab
kuning koleksinya.
Bila diturut, sebenarnya maklum kalo orang serajin dia bisa secerdas itu. Namun, orang
yang tidak tahu prosesnya pasti mengira Gus Miftah punya rapalan laduni.
Aku pernah melihat koleksi buku-buku dan kitab-kitabnya saat diajak almarhum bapak
sowan Kiai Usman. Mirip perpustakaan, menurutku. Berderet rapi sesuai klasifikasinya.
Terekam kuat dalam memoriku betapa mereka berdua terlihat sangat akrab. Malah kalo
kuingat-ingat lagi, garis wajah bapak ada miripnya dengan Kiai Usman. Agak kearab-araban.
Itu saja kenanganku.
***
Gus Miftah meninggal dunia. Kabar ini kudapat dari Gus Rizal. Innalillahi wainna ilaihi raji’un.
Awalnya aku sempat tak percaya. Mungkin ini gara-gara Gus Rizal telanjur iri sama dia.
Namun, setelah membuktikan saat takziah, tubuhku berturut ikut kaku. Tersirap darahku.
Jiwaku mendadak beku. Membatu bagai manekin. Apalagi saat mendengar lantunan suara
Yasin dan tahlil berjamaah. Agak lama hatiku teraduk. Napasku menderu layaknya kerbau
menarik pedati di terik mentari. Akalku pun tersungkur. Aku harus memberi kabar emak,
demikian tekadku.
Teramat sering ia menceritakan kepadaku agar aku niru Gus Miftah. Kalo wajah apa mau
dikata, sudah takdir. Minimal meniru laku dan ilmunya. Itulah kata-katanya yang sering
menampar telingaku.
Sembari menyusuri lekuk jalan, aku mulai trenyuh. Gus Miftah yang berkarisma sudah
dipocong. Perawakannya yang bikin perawan dan emak-emak kesengsem telah lunas
dimandikan. Nafsunya yang tenang dan meneduhkan disalati. Kaweruh laduninya terkubur
bersama tubuhnya.
Tak ada penduduk yang tidak melinangkan air mata. Mungkin juga karena bingung siapa
penerus Kiai Usman. Atau bisa jadi gara-gara kehilangan asa karena anak gadisnya tidak jadi
bersanding dengan Gus Miftah. Pondok sebesar dan seluas itu seolah teronggok muspra
tanpa kehadiran Gus Miftah.
Tapi bukankah masih ada Gus Rizal? Selain terhitung adik sepupu, ia juga pernah
dipondokkan tujuh tahun di Pondok Keramat yang masyhur karena ilmu alat (gramatika) dan
ushul fiqihnya. Ah, tapi bisa apa dia. Setelah boyongan bukannya mbalah kitab. Saban hari
malah cuma nongkrong di warung Mbok Pinah.
Aku pernah dengar wejangan Kiai Usman bahwa ilmu itu tidak diturunkan, apalagi hanya
ditentukan faktor nasab. Ketekunan dan kegigihanlah yang menentukan. Tidak lupa restu
kiai dan doa orang tua.
“Mak, nyuwun diikhlaskan segala kesalahan Miftah,” pinta Nyai Usman.
“Injih, Njenengan juga yang sabar ya Jeng, diikhlaskan,” sahut emakku. Keduanya
berpelukan erat. Tak terasa air mataku menetes. Aku sendiri pun bingung kenapa ikut-ikutan
nangis seperti mereka. Seingatku, aku baru lihat mereka sekarib itu. Layaknya saudara tua
yang lama tak bersua.
Setelah pamitan pulang, emak membisikiku dengan suara parau. “Miftah itu paklikmu.
Waktu Bu Nyai dikabarkan mengandung, Kiai Usman langsung gelar tasyakuran. Seisi
kampung diundang, tak terkecuali. Yang ditugasi mimpin doa justru bapakmu.” Bagai
tersambar petir. Kaget bukan kepalang aku mendengar tausiah emak.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang. Yang jelas ia mati muda. Ia juga dikenal gak
mau merepotkan orang lain. Aku jadi ingat gosip santer penduduk kampung kalo Gus Miftah
punya linuwih lain yang unik. Ngerti sakdurunge winarah. Apa gara-gara itu ia keburu mati
muda belum menikah? Jangan-jangan dia gak mau merepotkan istrinya nanti kalo ditinggal
mati dalam usia muda.
Ah, mana mungkin, soalnya aku pernah lihat sendiri saat Ning Fatma malam-malam turun
dari mobilnya Gus Miftah. Awalnya aku gak ngeh kalo perempuan itu Ning Fatma. Tapi,
setelah turun di depan ndalemnya dan disambut Kiai Jakfar sendiri, aku makin yakin kalo
mereka sebenarnya ada hubungan. Yang jelas bukan pertemanan biasa.
Entah kenapa gosip santer pertunangan mereka lenyap seiring Kiai Usman yang sakit-
sakitan dan berujung wafat. Bisa jadi karena beratnya beban sosial dan moral yang dipikul
sendirian oleh Gus Miftah. Hingga ia harus menepikan egonya demi melanjutkan estafet
pondok dan meneruskan pengajian Kiai Usman.
Atau mungkin ia berangan ingin seperti Imam Nawawi ad-Dimasyqi, Ibn Jarir ath-Thabari,
Imam Zamakhsyari, atau sejarawan adz-Dzahabi yang betah menjomblo karena
kemasygulannya terhadap ilmu? Ah, itu kan dugaanku saja. Yang jelas ia orang yang alim
dan saleh. Minimal itu dibuktikan dengan senyumnya saat membujur kaku. Isyarat kelegaan
ruh bercerai dengan jasad. Setidaknya itu menurutku, bagaimana menurutmu? Wallahu
a’lam. (*)
Catatan:
njenengan, sampean : kamu
injih : iya
slenthingan : kabar
nglalar : mengulang hafalan
sowan : bertamu
nembung : nembak
nggemesi : bikin gemas
laqab : julukan, predikat
njagongi : nongkrong
gojek : canda
gasakan : gojekan berbau nyindir
trenyuh : tersentuh/prihatin
kaweruh : pengetahuan
nyuwun : minta
ngerti sakdurunge winarah : tahu sebelum terjadi
boyongan : pulang dari pondok untuk menetap di rumah
mbalah : mengajar
Mohammad Farid Fad adalah esais dan pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul
Muta’allimin Kendal. Dia juga mengajar di UIN Walisongo Semarang
Lelaki tua itu duduk di bangku paling belakang sebuah bus jurusan Surabaya-
Yogyakarta. Ia sudah tua, meski belum terlalu tua. Wajahnya tirus. Kulitnya
gelap. Kuku-kuku tangannya jarang dipotong dan kotor. Janggut dan alisnya
beruban. Giginya kuning-kuning dan mulutnya bau tembakau. Ia
mengenakan kopiah hitam yang warnanya sudah kemerahan. Bajunya
gombal. Celananya gombal. Dan ia mencangklong tas kain murahan warna
hijau tua—yang tampaknya isinya juga cuma gombal.
Tanpa saya minta, ia mengumbar cerita kepada saya. Ia bilang berasal dari Sukodono,
Sidoarjo, mau pergi ke Jogja, menyusul anak gadisnya yang minggat ikut pacarnya. Anak
satu-satunya. Ia bilang, sudah hampir sebulan anaknya belum pulang. Bilangnya mau cari
kerja di Jogja. Ia ditawari bisnis di Jogja sama pacarnya. Ia bilang seperti menggerutu, semua
itu gara-gara hape.
Semenjak dibelikan hape, anaknya ke mana-mana bawa hape, makan bawa hape, ke kamar
mandi bawa hape, bahkan tidur pun ngeloni hape. Sebab hape itu pula si anak kenal sama
pacarnya yang tinggal di Jogja. Kenalnya lewat pesbuk atau apa namanya. Dan semenjak
dapat pacar ganteng dari hape, anaknya selalu melawan kalau dikasih tahu. Disuruh bersih-
bersih rumah, malas. Disuruh jaga lapak sayur di pasar, malah ngomel-ngomel. Kalaupun
mau jaga, matanya terus melotot lihat hape.
Akibatnya gak ada yang mau mampir beli sayur. Akibatnya sayur-sayur busuk. Dimarahin
malah ganti marah. Hapenya diminta malah marah membabibuta, bapaknya gak diajak
bicara selama tiga hari, sampai dibela-belain pecah tabungan sama utang-utang duit
temannya buat beli hape baru. Setelah beli hape baru malah pergi ke Jogja. Bapaknya
ditinggal dhewean di kampung. Kalau ibunya masih ada pasti bakal mati berdiri lihat anak
gadisnya dugal seperti itu. Untung ibunya sudah tidak ada.
Setelah terdiam beberapa jenak, dengan ragu-ragu, lelaki tua itu mengeluarkan hape dari
saku celana.
Dia tunjukkan hape merek China itu kepada saya. Ia bilang, alamat pacar anaknya yang di
Jogja mungkin ada di hape itu. Pasti ada di situ. Soalnya anaknya menyinggung soal pergi ke
Jogja sebelum beli hape baru yang duitnya utang-utang itu.
Ia mengaku tak terlalu paham bagaimana menggunakan hape. Ia menyuruh saya
menyalakan hape itu, melihat-lihat, dan mencari alamat rumah pacar anaknya. Saya balik
tanya, alamat itu disimpan di mana? Dan ia balas, pokoknya alamat itu ada di dalam hape.
Ia juga bilang hape itu boleh saya otak-atik.
Sayang, hape yang diserahkan kepada saya itu rupanya hape mati. Saya sampaikan,
mungkin baterainya sudah habis dan perlu dicas. Saya tanya, apakah dia membawa kabel
cas. Ia bilang tidak tahu apa-apa soal kabel cas. Sejurus kemudian ia seperti mengingat-
ingat, lalu ia berujar di rumahnya memang ada kabel kecil pendek yang dibeli bareng hape
itu. Tapi ia tak membawanya. Hape ini tidak bisa nyala kalau tidak diisi listrik, kata saya. Ia
manggutmanggut, sambil mengawasi hape yang sudah berpindah ke tangannya.
Setelah itu ia diam, tangannya melambailambai ke lubang AC di atas kepalanya. “Anginnya
keluar terus dari sini,” gumamnya. Setelah itu ia bersedekap dan memejamkan mata.
Saya yakin ia tidak tidur. Sebab saya melihat air mata meleleh dari dua mata tuanya yang
terpejam pura-pura tidur itu. Saya terus memandangi wajah tua yang terpejam di samping
saya, dan diam-diam saya mengutuki anak gadisnya. Demi pacar yang baru dikenal lewat
hape ia rela meninggalkan orang tua yang waktu kecil sudah merawat dan menceboki. Balas
budi macam apa itu?
Karena tidak ada pembicaraan apa pun, saya memilih memejamkan mata. Membayangkan
diri saya menjadi lelaki tua yang ditinggal anak gadisnya pergi demi pacarnya. Mungkin itu
sangat menyakitkan.
Bus berhenti di Stasiun Madiun, saya turun. Dan lelaki tua itu masih saja memejamkan mata
sambil bersedekap tenang. Mulutnya menganga. Saya tidak berusaha membangunkan,
sebab takut itu akan menganggunya.
Selepas turun dari bus, tak henti-henti saya membayangkan bagaimana kisah lelaki tua itu
selanjutnya. Apakah ia akan sampai di Jogja dan menemukan anaknya dengan bekal hape
mati? Ataukah ia bakal tersesat di suatu tempat dan jadi gelandangan? Apakah anak
gadisnya masih mau menerima jika lelaki itu menemukannya? Atau barangkali anak
gadisnya juga kena tipu oleh pacarnya? Atau barangkali, anak gadisnya cuma mengarang,
sebenarnya ia tak pernah punya pacar dan ia tak pergi ke Jogja atau ke mana pun?
Atau bisa jadi, lelaki tua itu cuma mengarang cerita soal anak gadisnya yang pergi ke Jogja
mengikuti pacarnya? Tapi bagaimana dengan hape mati itu? Bukankah bisa saja itu hape
hasil mencopet atau nemu entah di mana.
Kepala saya pusing memikirkan alternatif cerita penutup untuk lelaki tua dalam bus yang
ditinggal anak gadisnya itu. Maka, akhirnya saya memilih untuk mengembalikan cerita itu ke
cerita semula: ia memang sedang pergi ke Jogja menyusul anak gadisnya yang durhaka
dengan bekal hape mati.
Dan, inilah akhir cerita yang kemudian saya putuskan: lelaki tua itu tak akan pernah
berjumpa lagi dengan anak gadisnya, sebab setelah ia bersedekap dan memejamkan mata,
ia tak pernah bangun lagi.
Rasanya mati adalah ending yang lebih mudah dan lebih baik baginya, daripada harus
menghadapi bermacam kemungkinan dan rasa sakit yang berlarut-larut. (28)
Malang, 2019
Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa.
Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran
(2018). Kini bermukim di Malang
Dungu
Cerpen Ikhsan Hasbi (Media Indonesia, 04 Agustus 2019)
Kelas Melukis
Cerpen Biyank Alejandra (Koran Tempo, 03-04 Agustus 2019)
Seminggu setelah bercerai, ia mendaftarkan diri pada sebuah kelas melukis yang
iklannya ia lihat tertempel di sebuah tiang listrik, bersebelahan dengan
iklan badut ulang tahun dan sedot WC. Pengajarnya seorang lelaki enam
puluhan tahun, dengan rambut jarang-jarang berwarna putih dan hanya
tumbuh di tepi-tepi kepala, namun menjuntai hingga punggung. Lelaki itu
bersendawa tiap dua puluh dua menit sekali, meski ia tidak baru makan.
Siti Alimah risih dengan kebiasaan buruk sang guru. Namun ia bertahan di
kelas itu, bersama empat perempuan dan tiga lelaki lain yang senantiasa
menyimak baik-baik apa yang dikatakan sang guru. Siti Alimah menyukai
cara sang guru mengajar. Dan ia, yang terakhir kali menggambar kelas 6
SD, merasa dirinya telat menyadari bakatnya.
“Coretanmu kuat dan berkarakter,” kata sang guru ketika Siti Alimah praktik menggambar
pertama kali di kelas itu. Ia awalnya gemetar. Keringat terbit di keningnya. Tangannya terasa
berat bergerak di atas kertas. Guru memintanya membuat lingkaran penuh dan sempurna.
Nyatanya, lingkaran yang ia buat lebih seperti bola plastik penyok. Ketika sang guru
mendekat ke mejanya, ia menelungkupkan badannya, menutupi kertas kerjanya. Guru itu
tersenyum setelah bersendawa. Dan dengan suaranya yang pelan dan lembut, guru
mengatakan bahwa Siti Alimah tak perlu malu.
“Dari awal kamu mendaftar, aku tahu ada yang berbeda darimu. Karena itulah, kamu tidak
perlu malu menunjukkan gambarmu,” kata sang guru. Siti Alimah menegakkan badannya.
Kertas kerjanya sedikit lungset, dan sang guru memungut kertas tersebut. Lantas keluarlah
pujian yang membuat Siti Alimah merasa terbang ke surga.
Pujian pendek itu mendongkrak kepercayaan diri Siti Alimah dan mendorongnya berkarya
gila-gilaan. Ia terus mencoret, menggambar, mewarnai, dan sebagainya sepanjang hari. Ia
membawa kertas-kertas dan alat gambar ke rumahnya, bekerja sampai larut malam, dan
tertidur menjelang subuh. Seakan tak ingin waktunya terbuang untuk hal lain, dalam tidur,
Siti Alimah bermimpi menggambar. Ketika terbangun pada pukul delapan pagi, hal pertama
yang dilakukan Siti Alimah adalah meraih kertas dan alat gambar yang sengaja ia letakkan
di meja rias, bersebelahan dengan tempat tidurnya, dan mulai mencoret-coret. Ia akan terus
sibuk dengan semesta kecilnya itu hingga terdengar azan zuhur dari masjid tak jauh dari
rumahnya. Ia bangkit, mandi, makan, lantas kembali tenggelam dalam kesibukannya. Bila
ada kelas—seminggu dua kali, Rabu dan Sabtu—kegiatan coret-mencoret sehabis tidur ia
akhiri pukul sembilan. Lantas bersiap, dan meneruskan kegiatannya di kelas yang dimulai
pukul sepuluh pagi dan berakhir pukul tiga sore.
Kesibukan luar biasa itu sukses membuat Siti Alimah melupakan penderitaan akibat
perceraian dengan lelaki yang telah membangun rumah tangga bersamanya selama enam
tahun. Ia memang pernah mendengar bahwa melukis atau menulis merupakan terapi yang
bagus untuk orang-orang yang sedang limbung. Dan satu-satunya alasan kenapa ia tidak
memilih kelas menulis dan malah pergi ke kelas melukis adalah bahwa kelas melukis itulah
yang ia lihat iklannya. Ia tak tahu mesti mencari kelas menulis di mana.
Sang guru gembira melihat semangat dan perkembangan kemampuan Siti Alimah. Dalam
dua bulan, Siti Alimah sudah bisa melukis di atas kanvas menggunakan cat minyak.
Perempuan itu suka menggambar kamar mandi. Kamar mandi kotak, bulat, berdinding kaca,
berkeramik, berlantai batu kali, kamar mandi dengan pancuran, kamar mandi yang hanya
berisi ember kecil, kamar mandi yang dipenuhi ikan-ikan, kamar mandi dengan tembok
dilapisi emas, dan lain sebagainya.
“Ada apa dengan kamar mandi?” tanya gurunya suatu kali. Lelaki itu tidak mengerti apa
yang indah dari kamar mandi hingga Siti Alimah tak jenuh-jenuh melukisnya. Ia
sesungguhnya menginginkan murid-muridnya menggambar pemandangan, musim panen,
atau bunga-bunga. Lukisan-lukisan semacam itu bisa dipajang di pinggir jalan dan gampang
laku meski murah. Pada masa mudanya, sang guru yang hidup menggelandang tersebut
telah banyak mencoba genre lukisan, dari surealisme hingga abstrak. Namun, hingga
bertahun-tahun, tak ada satu pun kolektor atau galeri yang tertarik pada karyanya. Pada
waktu itulah, dengan perut lapar dan putus asa, ia melukis panen padi di sebuah kaki
gunung. Ia meletakkan lukisan itu di trotoar dan duduk di samping lukisan tersebut,
menekuk lutut, dan menenggelamkan kepalanya di antara dua lutut tersebut. Satu jam
kemudian, seorang pengemudi mobil berhenti, bertanya berapa harganya, dan langsung
membelinya. Sejak itu ia tahu, di mana ia harus berdiri dalam rimba kesenian yang demikian
buas.
“Aku hanya suka kamar mandi,” jawab Siti Alimah, sebuah jawaban yang sepertinya tidak
memuaskan bagi sang guru.
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan tentang kamar mandi, dan itu muncul dalam
lukisanmu,” kata sang guru. Mata tuanya, yang telah banyak menyaksikan lukisan, tidak
bisa dibohongi begitu saja.
Siti Alimah menghela napas panjang. Ia melonggarkan bajunya, meregangkan otot-otot
tangannya, lantas bangkit dari tempat duduknya dan berbisik ke pangkal telinga sang guru.
“Aku menyukai kamar mandi dan aku bercerai karena kamar mandi,” desisnya. Sang guru
refleks menoleh. Dan, karena jarak muka mereka begitu dekat, apa yang dilakukan sang
guru membuat mereka berdua hampir berciuman. Bau tembakau dari mulut sang guru
menyergap hidung Siti Alimah yang mancung dan berminyak. “Aku tidak pernah
menceritakannya kepada siapa-siapa. Dan aku juga tidak ingin Bapak tahu lebih banyak
ketimbang apa yang barusan kukatakan. Urusan kita adalah kelas melukis. Tidak lebih,” ujar
Siti Alimah.
Sang guru mengangguk. “Maafkan aku,” katanya. “Memang tidak seorang pun berhak
mencampuri urusan orang lain.”
Siti Alimah kembali ke tempat duduknya dan sang guru berkeliling ke siswa yang lain. Ia
meraih kuas dan menatap kanvas. Pikirannya tiba-tiba terasa penuh. Itu pasti efek samping
dari pembicaraannya dengan sang guru barusan. Sedemikian penuh pikirannya hingga ia
tidak bisa menuangkan satu saja pikiran itu ke dalam kanvas. Setengah jam ia bengong di
depan kanvas, dengan kuas tergantung lunglai di tangan kanan. Pada akhirnya, ia pamit
pulang lebih awal.
Ia membanting dirinya di atas tempat tidur. Di situlah dulu suaminya kerap menggumulinya.
Ia masih mencium bau keringat lelaki itu. Lelaki yang selalu saja marah setiap kali Siti
Alimah menghabiskan waktu duduk meringkuk di dalam kamar mandi. Awalnya, lelaki itu
akan menjerit-jerit dan menggedor pintu kamar mandi, dan tak berapa lama kemudian ia
sudah membanting piring atau vas bunga.
“Kau gila. Kau sudah gila, dasar perempuan terkutuk!” teriak suaminya. Dan, setiap kali itu
pula, Siti Alimah semakin betah mengurung diri di dalam kamar mandi. Setelah berjam-jam
yang mengerikan, setelah lantai penuh pecahan beling dan suaminya terduduk di sofa
kecapekan, Siti Alimah akan keluar dari kamar mandi, memeluk lelaki itu, dan berkata, “Aku
mencari kedamaian.”
“Kau tidak merasa damai duduk di sampingku?” suaminya bertanya lemah. Matanya
bengkak dan pipinya sembap.
Siti Alimah menggeleng. “Kedamaian seperti masa kecil,” gumamnya.
Suaminya tahu Siti Alimah menjalani masa kecil yang unik. Ia memiliki tenaga yang tak
habis-habisnya. Dan, dengan pasokan tenaga itu, Siti Alimah terus berceloteh, berlarian,
memanjat tiang rumah, tiba-tiba sudah berada di seberang jalan raya, duduk-duduk di
wuwungan rumah, dan lain sebagainya. Capek menghadapi tingkah Siti Alimah, orang
tuanya kemudian mengunci Siti Alimah di kamar mandi. Kadang, pasangan itu lupa hingga
berjam-jam dan baru ingat setelah mereka hendak pergi ke kamar mandi untuk kencing atau
mandi. Waktu-waktu Siti Alimah yang berharga ia habiskan di kamar mandi. Ia lalu jadi
pemurung, penyendiri, dan kadang kala, tanpa dipaksa oleh orang tuanya, Siti Alimah akan
masuk sendiri ke dalam kamar mandi, duduk meringkuk berjam-jam dengan pakaian yang
basah. Kebiasaan berdiam di dalam kamar mandi itu terbawa hingga Siti Alimah menikah.
Dan, setelah enam tahun, lelaki itu akhirnya menyerah. Lelaki itu merasa dirinya tidak
berarti apa-apa bagi Siti Alimah. Lelaki itu tidak bisa membuat Siti Alimah merasa damai dan
terlindungi. Hanya kamar mandi yang bisa. Dan, dalam sidang perceraian, lelaki itu berkata,
“Perempuan itu seharusnya menikah dengan kamar mandi, Yang Mulia.”
Sang guru mengangguk. “Maafkan aku,” katanya. “Memang tidak seorang pun berhak
mencampuri urusan orang lain.”
Siti Alimah kembali ke tempat duduknya dan sang guru berkeliling ke siswa yang lain. Ia
meraih kuas dan menatap kanvas. Pikirannya tiba-tiba terasa penuh. Itu pasti efek samping
dari pembicaraannya dengan sang guru barusan. Sedemikian penuh pikirannya hingga ia
tidak bisa menuangkan satu saja pikiran itu ke dalam kanvas. Setengah jam ia bengong di
depan kanvas, dengan kuas tergantung lunglai di tangan kanan. Pada akhirnya, ia pamit
pulang lebih awal.
Mereka bercerai. Lelaki itu pergi entah ke mana. Dan Siti Alimah mendaftar kelas melukis.
Seperti bulan-bulan awal pernikahannya dulu, Siti Alimah berhasil melupakan kebiasaannya
mengurung diri di dalam kamar mandi. Dan, seperti dulu pula, akan tiba suatu hari di mana
pikiran Siti Alimah mendadak terasa penuh, dan hasrat untuk kembali ke kamar mandi tak
tertanggungkan. Seperti kini, ketika ia bangkit dari tempat tidurnya, mengumpulkan semua
kertas dan kanvas, lantas membakarnya di halaman belakang rumah.
Siti Alimah hanya ingin berada di dalam kamar mandi. Damai dan aman.
Biyank Alejandra, tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Ia menulis cerita pendek dan novel. Ia
juga suka jalan-jalan