Kamu kurus dan tampak telantar. Rambutmu kusut seperti tak pernah tersentuh
air. Baju kaus dan celana pendek kumal, sekumal kulit di sekujur tubuhmu.
Aku memegang es krim. Kamu berdiri di depanku. Tidak ada kata-kata.
Matamu menatapku tanpa bisa kumengerti artinya. Jalanan sangat ramai.
Dunia yang aneh, banyak gambar dan warna-warna. Tapi mata dan
pikiranku seperti diarahkan kepadamu.
Ibuku keluar dari toko kue. Mencari-cari aku. Lalu menemukanku berbagi es krim denganmu.
Ibu meraih lenganku, setengah terseret aku menjauh darimu. Dia tidak berkata-kata, tapi
aku rasakan dari genggaman tangannya suatu perintah, agar aku tak lagi melakukan hal
yang sama. Kami pergi, meninggalkanmu. Jalanan sangat ramai. Aku bisa memilih apa yang
akan aku lihat; barisan toko, papan-papan iklan, seorang anak yang membawa boneka. Tapi
aku tidak bisa memilih apa yang akan aku dengar. Semua suara masuk ke telingaku, tanpa
aba-aba, tanpa permisi. Aku tidak tahu dari mana sumber suara-suara itu. Mereka seperti
makhluk hidup yang tidak bisa mati. Tidak ada saat yang benar-benar sepi tanpa suara.
Bahkan, bila aku bermimpi, mimpi itu akan penuh suara-suara.
Tapi tak ada suaramu. Kita tidak pernah berbicara di menit-menit yang singkat itu. Di
jalanan, sebelum kami sampai rumah, aku membayangkan seperti apa suaramu. Mungkin
setelah kami jauh, kamu berkata, “Es krim…”Ah ya, es krim itu masih di tanganku. Lumer
dari bungkusnya, menyentuh punggung tanganku, seperti getah. Seharusnya aku berikan es
krim itu untukmu. Setidaknya kamu bisa memiliki saat-saat yang menyenangkan. Tapi ibuku
pasti akan marah, seperti dia marah ketika melihat es krim menyentuh punggung tanganku.
“Habiskan..,” katanya. Matanya setengah melotot, seperti mata robot. Aku menjilat lelehan
es krim itu.
Entah kenapa aku merasa seperti menjilat getah dari pohon yang dilukai. Aku pernah
melihat pohon yang dilukai. Kakakku yang melukainya. Dengan paku, kakakku membuat
gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak kukenal. Beberapa
hari kemudian, aku melihat dari gambar itu meleleh getah berwarna cokelat. Aku
menyentuh getah itu, seperti menyentuh hati dari nama-nama di gambar itu. Getah itu
sudah mengeras. Mungkin sepasang hati itu juga sudah mengeras. Sebab, kakakku
kemudian menghilang, tak pernah lagi kembali ke rumah.
Ibu dirundung muram. Ayah, ah, aku malas membicarakan ayah. Ia seperti hantu yang
kadang ada di rumah, kadang entah ada di planet mana. Ibu dan ayah suka bertengkar. Tapi
mereka bertengkar tanpa mengeluarkan suara. Mata merekalah yang bertengkar. Cahaya di
mata keduanya seperti tidak bisa bertemu untuk menerangi ruangan di dalam rumah.
Suatu ketika, seperti biasa ayah tak ada di rumah, tapi tak seperti biasa, semenjak itu ia tak
pernah lagi ada. Aku tinggal berdua dengan ibu. Semakin hari aku lihat ibuku semakin tak
pernah berbicara. Cahaya di matanya juga lenyap entah ke mana. Mungkin cahaya itu
memburu musuhnya. Ibu ada bersamaku, tapi cahaya matanya menghilang, pasti ayah
telah mengambil cahaya itu. Dunia yang aneh. Waktu memang berlalu; aku bersekolah,
bermain, menangis, jatuh sakit, bertambah besar, melihat kenyataan, lalu menua. Tapi aku
tak pernah sungguh-sungguh mengalami semua itu.
Suatu hari ibuku tiba-tiba tak bisa berjalan. Seluruh peristiwa pelan-pelan seperti terhapus
dan aku kembali menjadi seorang anak kecil yang sedang memegang es krim. Rasanya
pertemuan denganmu baru saja berlangsung tadi pagi dan malamnya ibuku sudah terbaring
di dipan seperti seekor penyu tua yang terdampar di pantai. Aku ingin mencari kakakku. Aku
ingin mencari ayahku. Mungkin kakakku berdiam di dalam pohon tempat ia pernah
menorehkan gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak
kukenal. Mungkin ayahku berdiam di mata ibu, masuk jauh ke dalam rongganya hingga tak
bisa dilihat lagi. Tapi pohon itu sudah ditebang dan mata ibu tak pernah lagi terbuka
selamanya. Mustahil aku bertemu dengan ayah dan kakakku. Dan karena ibu hanya
berbaring saja dengan mata terpejam, ia takkan marah lagi padaku kalau aku membiarkan
lelehan es krim menyentuh punggung tanganku. Ia juga tidak akan marah kalau aku berikan
es krim padamu.
Aku akan kembali ke toko kue, membeli es krim dan memberikannya padamu. Kamu masih
di sana, bukan?
Boneka Ibu
Ibuku sebuah boneka. Suatu ketika ayah membawanya dari kota. “Ini ibumu,” katanya
singkat. Ibu mengedip-ngedipkan mata. Rambutnya pirang terang, kulitnya cokelat
kekuningan. Aku memeluk ibu dan ia tertawa geli. Kadang kuajak ibu berjalan-jalan. Setiap
bertemu orang segera kupamerkan. “Wah, cantik, kulitnya halus sekali, bulu matanya
lentik,” ucap seseorang. Yang lain berdecak kagum, apalagi ketika mencium harum kulit ibu.
Aku senang sekali. Setiap hari kubawa ibu ke sana-kemari.
Kalau aku sudah cukup besar untuk sekolah, aku pasti akan membawa ibu ke dalam kelas.
Tapi, kata ayah, aku masih terlalu kecil. Teman-temanku yang setiap pagi berangkat sekolah
lewat depan rumah sering berhenti sejenak, melihat aku dan ibu bercengkerama. Mereka
ikut tertawa ketika kupeluk ibu dan ia tertawa geli. Aku senang sekali.
Karena semua orang di sekitarku sudah tahu, aku ajak ibu ke tempat lebih jauh, bajuku
sampai kotor oleh debu yang diterbangkan angin ketika aku berjalan. Tapi ibu tetap
tersenyum dan tertawa-tawa geli setiap kali kupeluk. Tempat itu ramai, jalanannya lebar,
gedung-gedungnya menjulang. Ada jembatan di atas sungai yang airnya keruh. Banyak
anak-anak sepantaranku bermain di sana. Aku menghampiri mereka, duduk tak jauh dari
tepi sungai. Aku ingin anak-anak itu melihat ibu, lalu seperti orang-orang lain, mereka akan
terkagum-kagum dan memuji kecantikannya. Namun, rupanya mereka tak tertarik. Mereka
lebih asyik bermain air, entah apa enaknya main di air keruh begitu, yang jelas mereka
bahkan tak melirik sedikit pun padaku. Meski telah kupancing-pancing dengan memeluk ibu
erat-erat sehingga ibu terus tertawa-tawa, anak-anak itu tak juga mengalihkan perhatiannya
padaku. Karena bosan, aku pergi dari tempat itu. Aku berjalan di depan barisan pertokoan
sembari memamerkan ibu pada setiap orang. Di depan sebuah toko kue, aku melihat
seorang anak laki-laki menyodorkan es krim pada seorang anak perempuan berambut kusut
yang mengenakan pakaian kumal. Aku mau memamerkan ibu kepada mereka, tapi seorang
perempuan tiba-tiba keluar dari dalam toko dan menarik lengan anak laki-laki itu agar
menjauh. Aku jadi takut. Muka orang-orang di sini tampak kusut seakan ada cacing yang
menggerogotinya. Bahkan, seseorang menyuruhku pergi ketika di depan deretan etalase
kaca aku melihat banyak orang berdiri diam mengenakan macam-macam pakaian. Aku
memamerkan ibu pada orang-orang yang diam itu, tapi tak ada reaksi apa-apa, bahkan
mereka tak bergerak sedikit pun. Ketika kudekatkan ibu pada kaca etalase, saat itulah
seseorang itu keluar dari dalam toko dan menyuruhku pergi.
Ayah marah-marah ketika aku pulang. Dua sabetan sabuk kulit cukup membuat betis dan
wajahku panas. Di betisku tercetak dua garis kemerahan dan di wajahku tumpahan air mata
membuat debu-debu basah dan luntur, mengotori kulitku. “Kecil-kecil ngapain main jauh-
jauh? Untung kamu tak diculik. Main di rumah saja, ibumu bisa mati kalau kamu ajak main
jauh-jauh!” seru ayah. Aku tidak mau diculik, juga tidak mau ibu mati. Jadi aku menurut.
Beberapa hari aku diam di rumah. Berdua saja dengan ibu. Tapi lama-lama aku bosan juga.
Lagi pula, sejak ada ibu, anak-anak di sekitar rumah seperti malas bermain denganku.
Mereka juga tidak lagi mengagumi dan memuji kecantikan ibu. Sementara ibu tetap saja
tertawa-tawa setiap kupeluk.
Karena rasa bosan itu, aku mulai berjalan lagi membawa ibu. Mula-mula ke tempat-tempat
sekitar, tak jauh dari rumah. Tapi makin hari makin jauh, meski aku selalu ingat untuk
pulang sebelum ayah pulang entah dari mana. Aku takut diketahui ayah.
Suatu hari, aku tak tahu jalan kembali. Rupanya, karena terlampau riang, aku dan ibu
berjalan sampai ke dalam hutan. Tanpa kuduga, petang tiba-tiba membentang. Burung-
burung siang pulang, kelelawar dan serangga malam ke luar sarang. Cahaya lebih cepat
sirna karena daun-daun menyerapnya. Aku jadi takut. Aku takut ayah akan marah lagi. Aku
takut diculik. Aku takut ibu mati, seperti kata ayah. Apalagi ketika kabut turun dengan
lembut, pandanganku samar hingga tak kulihat lagi di mana ibu berdiri. Aku seru berulang
kali, “Ibu, Ibu, Ibu…!” Tapi hanya gema suaraku berkumpul dan saling memantul.
Malam tiba. Gelap paripurna. Aku gemetar mendengar suara anjing hutan. Hampir
menangis, aku mencari ibu. Sambil memanggil-manggil, tanganku meraba-raba sekitar.
Meski sudah berjalan pelan, tetap saja kakiku terantuk batu atau selintang kayu. Ibu tak
menyahutku. Rasa sedih menjalar seperti akar, kecemasan bergoyang di sekitar. Lalu
kudengar suara seutas suara memanggil namaku.
Itu pasti suara ibu. Benar, itu pasti suara ibu. Dari balik pohon besar ada kulihat cahaya
memancar. Seorang perempuan keluar. Itu memang ibu, hanya saja kelihatan sedikit
berbeda. Sekarang ibu tak lagi kaku. Tubuhnya lentur seperti penari yang pernah kulihat di
televisi. Ibu menghampiriku. Dari rambutnya tercium aroma wangi. Pelan-pelan aku merasa
tenang kembali; ibu sudah kutemukan, kini, aku bisa pulang. Kupeluk ibu, tapi ia tak tertawa
geli seperti biasa. Aku ragu-ragu, benarkah ini ibu? Kulepaskan pelukan. Wajah perempuan
itu seperti tak kukenal. “Kau bukan ibuku!” kataku berseru. Senyumnya terlepas, pancaran
cahaya dari kulitnya seperti terkelupas. Aku merasa ngeri. Tak bisa kutahan kakiku untuk
lari. Tapi, yang terjadi, aku hanya bisa mengayunkan kaki tanpa bisa maju. Kupercepat
ayunan kaki, tetap saja aku tak bisa maju. Aku semakin ngeri. Tenagaku nyaris habis. Aku
menangis sejadi-jadinya. Gerakanku kian lambat dan berat, hingga tak sanggup lagi
bergerak. Aku jatuh tergeletak.
Saat itu kudengar suara manja seorang bocah, yang mirip suaraku sendiri, berkata hampir
menangis, “Ayah, ayah, bonekanya mati….”
(Kekalik, 2017-2019)
Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan,
Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Tokoh Seni Tempo 2018 bidang puisi untuk
buku Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018)
Rate This
Kampung Pelarian
Date: August 18, 2019Author: lakonhidup 0 Comments
Rate This
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Dia menulis cerpen, puisi, resensi, esai.
Buku cerpen terbarunya Monyet Bercerita (2019)