Anda di halaman 1dari 16

Toko Kue dan Boneka Ibu

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 24-25 Agustus 2019)

Kamu kurus dan tampak telantar. Rambutmu kusut seperti tak pernah tersentuh
air. Baju kaus dan celana pendek kumal, sekumal kulit di sekujur tubuhmu.
Aku memegang es krim. Kamu berdiri di depanku. Tidak ada kata-kata.
Matamu menatapku tanpa bisa kumengerti artinya. Jalanan sangat ramai.
Dunia yang aneh, banyak gambar dan warna-warna. Tapi mata dan
pikiranku seperti diarahkan kepadamu.
Ibuku keluar dari toko kue. Mencari-cari aku. Lalu menemukanku berbagi es krim denganmu.
Ibu meraih lenganku, setengah terseret aku menjauh darimu. Dia tidak berkata-kata, tapi
aku rasakan dari genggaman tangannya suatu perintah, agar aku tak lagi melakukan hal
yang sama. Kami pergi, meninggalkanmu. Jalanan sangat ramai. Aku bisa memilih apa yang
akan aku lihat; barisan toko, papan-papan iklan, seorang anak yang membawa boneka. Tapi
aku tidak bisa memilih apa yang akan aku dengar. Semua suara masuk ke telingaku, tanpa
aba-aba, tanpa permisi. Aku tidak tahu dari mana sumber suara-suara itu. Mereka seperti
makhluk hidup yang tidak bisa mati. Tidak ada saat yang benar-benar sepi tanpa suara.
Bahkan, bila aku bermimpi, mimpi itu akan penuh suara-suara.
Tapi tak ada suaramu. Kita tidak pernah berbicara di menit-menit yang singkat itu. Di
jalanan, sebelum kami sampai rumah, aku membayangkan seperti apa suaramu. Mungkin
setelah kami jauh, kamu berkata, “Es krim…”Ah ya, es krim itu masih di tanganku. Lumer
dari bungkusnya, menyentuh punggung tanganku, seperti getah. Seharusnya aku berikan es
krim itu untukmu. Setidaknya kamu bisa memiliki saat-saat yang menyenangkan. Tapi ibuku
pasti akan marah, seperti dia marah ketika melihat es krim menyentuh punggung tanganku.
“Habiskan..,” katanya. Matanya setengah melotot, seperti mata robot. Aku menjilat lelehan
es krim itu.
Entah kenapa aku merasa seperti menjilat getah dari pohon yang dilukai. Aku pernah
melihat pohon yang dilukai. Kakakku yang melukainya. Dengan paku, kakakku membuat
gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak kukenal. Beberapa
hari kemudian, aku melihat dari gambar itu meleleh getah berwarna cokelat. Aku
menyentuh getah itu, seperti menyentuh hati dari nama-nama di gambar itu. Getah itu
sudah mengeras. Mungkin sepasang hati itu juga sudah mengeras. Sebab, kakakku
kemudian menghilang, tak pernah lagi kembali ke rumah.
Ibu dirundung muram. Ayah, ah, aku malas membicarakan ayah. Ia seperti hantu yang
kadang ada di rumah, kadang entah ada di planet mana. Ibu dan ayah suka bertengkar. Tapi
mereka bertengkar tanpa mengeluarkan suara. Mata merekalah yang bertengkar. Cahaya di
mata keduanya seperti tidak bisa bertemu untuk menerangi ruangan di dalam rumah.
Suatu ketika, seperti biasa ayah tak ada di rumah, tapi tak seperti biasa, semenjak itu ia tak
pernah lagi ada. Aku tinggal berdua dengan ibu. Semakin hari aku lihat ibuku semakin tak
pernah berbicara. Cahaya di matanya juga lenyap entah ke mana. Mungkin cahaya itu
memburu musuhnya. Ibu ada bersamaku, tapi cahaya matanya menghilang, pasti ayah
telah mengambil cahaya itu. Dunia yang aneh. Waktu memang berlalu; aku bersekolah,
bermain, menangis, jatuh sakit, bertambah besar, melihat kenyataan, lalu menua. Tapi aku
tak pernah sungguh-sungguh mengalami semua itu.
Suatu hari ibuku tiba-tiba tak bisa berjalan. Seluruh peristiwa pelan-pelan seperti terhapus
dan aku kembali menjadi seorang anak kecil yang sedang memegang es krim. Rasanya
pertemuan denganmu baru saja berlangsung tadi pagi dan malamnya ibuku sudah terbaring
di dipan seperti seekor penyu tua yang terdampar di pantai. Aku ingin mencari kakakku. Aku
ingin mencari ayahku. Mungkin kakakku berdiam di dalam pohon tempat ia pernah
menorehkan gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak
kukenal. Mungkin ayahku berdiam di mata ibu, masuk jauh ke dalam rongganya hingga tak
bisa dilihat lagi. Tapi pohon itu sudah ditebang dan mata ibu tak pernah lagi terbuka
selamanya. Mustahil aku bertemu dengan ayah dan kakakku. Dan karena ibu hanya
berbaring saja dengan mata terpejam, ia takkan marah lagi padaku kalau aku membiarkan
lelehan es krim menyentuh punggung tanganku. Ia juga tidak akan marah kalau aku berikan
es krim padamu.
Aku akan kembali ke toko kue, membeli es krim dan memberikannya padamu. Kamu masih
di sana, bukan?
Boneka Ibu
Ibuku sebuah boneka. Suatu ketika ayah membawanya dari kota. “Ini ibumu,” katanya
singkat. Ibu mengedip-ngedipkan mata. Rambutnya pirang terang, kulitnya cokelat
kekuningan. Aku memeluk ibu dan ia tertawa geli. Kadang kuajak ibu berjalan-jalan. Setiap
bertemu orang segera kupamerkan. “Wah, cantik, kulitnya halus sekali, bulu matanya
lentik,” ucap seseorang. Yang lain berdecak kagum, apalagi ketika mencium harum kulit ibu.
Aku senang sekali. Setiap hari kubawa ibu ke sana-kemari.
Kalau aku sudah cukup besar untuk sekolah, aku pasti akan membawa ibu ke dalam kelas.
Tapi, kata ayah, aku masih terlalu kecil. Teman-temanku yang setiap pagi berangkat sekolah
lewat depan rumah sering berhenti sejenak, melihat aku dan ibu bercengkerama. Mereka
ikut tertawa ketika kupeluk ibu dan ia tertawa geli. Aku senang sekali.
Karena semua orang di sekitarku sudah tahu, aku ajak ibu ke tempat lebih jauh, bajuku
sampai kotor oleh debu yang diterbangkan angin ketika aku berjalan. Tapi ibu tetap
tersenyum dan tertawa-tawa geli setiap kali kupeluk. Tempat itu ramai, jalanannya lebar,
gedung-gedungnya menjulang. Ada jembatan di atas sungai yang airnya keruh. Banyak
anak-anak sepantaranku bermain di sana. Aku menghampiri mereka, duduk tak jauh dari
tepi sungai. Aku ingin anak-anak itu melihat ibu, lalu seperti orang-orang lain, mereka akan
terkagum-kagum dan memuji kecantikannya. Namun, rupanya mereka tak tertarik. Mereka
lebih asyik bermain air, entah apa enaknya main di air keruh begitu, yang jelas mereka
bahkan tak melirik sedikit pun padaku. Meski telah kupancing-pancing dengan memeluk ibu
erat-erat sehingga ibu terus tertawa-tawa, anak-anak itu tak juga mengalihkan perhatiannya
padaku. Karena bosan, aku pergi dari tempat itu. Aku berjalan di depan barisan pertokoan
sembari memamerkan ibu pada setiap orang. Di depan sebuah toko kue, aku melihat
seorang anak laki-laki menyodorkan es krim pada seorang anak perempuan berambut kusut
yang mengenakan pakaian kumal. Aku mau memamerkan ibu kepada mereka, tapi seorang
perempuan tiba-tiba keluar dari dalam toko dan menarik lengan anak laki-laki itu agar
menjauh. Aku jadi takut. Muka orang-orang di sini tampak kusut seakan ada cacing yang
menggerogotinya. Bahkan, seseorang menyuruhku pergi ketika di depan deretan etalase
kaca aku melihat banyak orang berdiri diam mengenakan macam-macam pakaian. Aku
memamerkan ibu pada orang-orang yang diam itu, tapi tak ada reaksi apa-apa, bahkan
mereka tak bergerak sedikit pun. Ketika kudekatkan ibu pada kaca etalase, saat itulah
seseorang itu keluar dari dalam toko dan menyuruhku pergi.
Ayah marah-marah ketika aku pulang. Dua sabetan sabuk kulit cukup membuat betis dan
wajahku panas. Di betisku tercetak dua garis kemerahan dan di wajahku tumpahan air mata
membuat debu-debu basah dan luntur, mengotori kulitku. “Kecil-kecil ngapain main jauh-
jauh? Untung kamu tak diculik. Main di rumah saja, ibumu bisa mati kalau kamu ajak main
jauh-jauh!” seru ayah. Aku tidak mau diculik, juga tidak mau ibu mati. Jadi aku menurut.
Beberapa hari aku diam di rumah. Berdua saja dengan ibu. Tapi lama-lama aku bosan juga.
Lagi pula, sejak ada ibu, anak-anak di sekitar rumah seperti malas bermain denganku.
Mereka juga tidak lagi mengagumi dan memuji kecantikan ibu. Sementara ibu tetap saja
tertawa-tawa setiap kupeluk.
Karena rasa bosan itu, aku mulai berjalan lagi membawa ibu. Mula-mula ke tempat-tempat
sekitar, tak jauh dari rumah. Tapi makin hari makin jauh, meski aku selalu ingat untuk
pulang sebelum ayah pulang entah dari mana. Aku takut diketahui ayah.
Suatu hari, aku tak tahu jalan kembali. Rupanya, karena terlampau riang, aku dan ibu
berjalan sampai ke dalam hutan. Tanpa kuduga, petang tiba-tiba membentang. Burung-
burung siang pulang, kelelawar dan serangga malam ke luar sarang. Cahaya lebih cepat
sirna karena daun-daun menyerapnya. Aku jadi takut. Aku takut ayah akan marah lagi. Aku
takut diculik. Aku takut ibu mati, seperti kata ayah. Apalagi ketika kabut turun dengan
lembut, pandanganku samar hingga tak kulihat lagi di mana ibu berdiri. Aku seru berulang
kali, “Ibu, Ibu, Ibu…!” Tapi hanya gema suaraku berkumpul dan saling memantul.
Malam tiba. Gelap paripurna. Aku gemetar mendengar suara anjing hutan. Hampir
menangis, aku mencari ibu. Sambil memanggil-manggil, tanganku meraba-raba sekitar.
Meski sudah berjalan pelan, tetap saja kakiku terantuk batu atau selintang kayu. Ibu tak
menyahutku. Rasa sedih menjalar seperti akar, kecemasan bergoyang di sekitar. Lalu
kudengar suara seutas suara memanggil namaku.
Itu pasti suara ibu. Benar, itu pasti suara ibu. Dari balik pohon besar ada kulihat cahaya
memancar. Seorang perempuan keluar. Itu memang ibu, hanya saja kelihatan sedikit
berbeda. Sekarang ibu tak lagi kaku. Tubuhnya lentur seperti penari yang pernah kulihat di
televisi. Ibu menghampiriku. Dari rambutnya tercium aroma wangi. Pelan-pelan aku merasa
tenang kembali; ibu sudah kutemukan, kini, aku bisa pulang. Kupeluk ibu, tapi ia tak tertawa
geli seperti biasa. Aku ragu-ragu, benarkah ini ibu? Kulepaskan pelukan. Wajah perempuan
itu seperti tak kukenal. “Kau bukan ibuku!” kataku berseru. Senyumnya terlepas, pancaran
cahaya dari kulitnya seperti terkelupas. Aku merasa ngeri. Tak bisa kutahan kakiku untuk
lari. Tapi, yang terjadi, aku hanya bisa mengayunkan kaki tanpa bisa maju. Kupercepat
ayunan kaki, tetap saja aku tak bisa maju. Aku semakin ngeri. Tenagaku nyaris habis. Aku
menangis sejadi-jadinya. Gerakanku kian lambat dan berat, hingga tak sanggup lagi
bergerak. Aku jatuh tergeletak.
Saat itu kudengar suara manja seorang bocah, yang mirip suaraku sendiri, berkata hampir
menangis, “Ayah, ayah, bonekanya mati….”

(Kekalik, 2017-2019)
Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan,
Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Tokoh Seni Tempo 2018 bidang puisi untuk
buku Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018)

Matinya Seorang Peladang


Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 25 Agustus 2019)
IA tahu, ke ladang, ia harus kembali. Tentu. Meski kini ia harus menebas ladang
baru, jauh di balik bukit yang dipercaya angker. Karena itu, hatinya sedikit
cemas. Bukan, bukan takut pada segala mambang dan siluman yang konon
bermukim di sana sejak kampung belum berdiri, atau lantaran alangkah jauh
ia harus mengayuh sepeda kumbang [1] ke sana…
Kujang mengisap tembakau lintingannya dalamdalam. Diperhatikannya asap kelabu yang
keluar dari mulut dan hidungnya itu meliuk-liuk ke luar jendela. Lenyap diterpa angin yang
semilir. Langit petang sedikit mendung, walau hujan belum juga turun. Tapi ia yakin,
seminggu atau dua minggu ke depan, musim hujan bakal segera bertandang, menyuburkan
kembali tanah yang rekah, menghijaukan rumput dan pepohonan. Ah, betapa ia merindukan
bau tanah sehabis hujan, aroma humus dan merdu kicau burung-burung di rumpun sahang!
Bertahun-tahun, kerinduan itu menderanya, membuat hari-hari tuanya tak lagi sedamai
dulu.
Ya, sejak ia menyerahkan ladang subur itu—kebon, ia lebih suka menyebutnya demikian
sebagaimana orang-orang kampungnya yang lain—kepada anak bungsunya, dengan hati
yang tak sepenuhnya ikhlas. Sepetak ladang terakhir yang ditebasnya sebelum harga lada
jatuh. Tentu, tak bakal ia relakan ladang yang hijau itu kepada si Amir, kalau bukan tak
sampai hati mendengar anak bungsu tersayang itu merengek-rengek. Juga karena Aminah,
istrinya, ikut-ikutan terus membujuk rayu.
“Amir baru menikah,” tukas Aminah, “Apa Bapak tega melihat anak kita hidup morat-marit?
Belum lagi gunjingan orang nantinya kalau anak kita tak becus menghidupi anak orang!”
Ia pun goyah, limbung, dan akhirnya, sekali lagi, tak sepenuhnya ikhlas menyerahkan
ladang penghabisan itu kepada Amir untuk lokasi penambangan. Si bungsu memang
memperoleh hasil yang cukup layak, pasir timah ternyata cukup tebal lapisannya di bawah
ladang. Sehingga Amir kemudian bisa membangun sebuah rumah semipermanen dan
membeli sepeda motor baru. Tapi, betapa tak teganya Kujang ketika menyambangi bekas
ladangnya itu dan melihat tanah yang porak-poranda terbongkar, tinggal gundukan-
gundukan pasir dengan lubang-lubang menganga. Hampir terisak ia mengingat
batangbatang sahangnya yang hijau, yang sebentar akan berbunga. Tentu jangan ditanya
betapa perih hatinya, lebih dari tertusuk duri rukem atau tersengat tawon. Meskipun Amir
kemudian memberikan untuknya ganti yang pantas berupa seorang cucu perempuan yang
lama ia idamkan, setelah ketiga anaknya yang lain melulu memberikan cucu laki-laki.
Aih, telah lebih empat tahun, barangkali sudah lewat tahun kelima, atau mungkin lebih?—
Kujang lalai berhitung—Ia tak lagi menggarap sepetak ladang. Tubuhnya terasa kaku, urat-
uratnya suka kejang dan tulang-tulang tuanya sering pula linu.
“Bapak sudah tua, wajar kalau reumatik,” begitulah Amir berkilah. Ia hanya
menganggukangguk dengan mulut monyong. Dulu, rasanya tak pernah ia sakit. Walau
umurnya sudah kepala enam lewat, hampir tujuh, tapi badannya selalu bugar berkeringat.
Kini cuaca lebih panas atau dingin sedikit saja, ia sudah batuk-batuk atau masuk angin. “Itu
karena Bapak terlalu banyak merokok dan ngopi, cobalah sedikit dikurangi,” komentar
Aminah cerewet. Mira, putri sulungnya, kemudian membawakannya beberapa kotak susu
bubuk. Bagus untuk tulang orang tua, kata Mira. Dan ia meminumnya semata-mata karena
takut mengecewakan yang memberi.
Ia tahu, ia memang sudah tua, tapi itu karena kurang bergerak. Sejak ladang penghabisan
itu ia serahkan, hari-harinya hanya berlangsung di rumah atau di sekitar pekarangan yang
ditanaminya dengan sayur-mayur, cabe, jeruk kunci, pisang, dan sedikit singkong. Atau
terkadang mengunjungi rumah anak-anaknya bergantian untuk bermain dengan para cucu.
Kujang masih memandang ke luar jendela, sesekali mendongak memandang langit petang
yang mulai gelap. Dilintingnya lagi sebatang tembakau, lalu disulutnya. Beberapa anak
tetangga tampak bermain di tepi jalan bertanah kuning di muka rumah. Jalan yang semakin
rusak karena terus-menerus dilalui alat-alat berat dan truk sarat muatan dari dan ke lokasi-
lokasi penambangan. Debu-debu mengepul pekat ketika sebuah sepeda motor melintas,
melindas bebatuan dan sedikit terlompat oleh lubang. Ia menyedot tembakaunya dan
menyipitkan mata, melambungkan pandangan ke arah bukit di kejauhan. Dikepulkannya
asap tembakau yang bergumpal seperti mengembuskan beban. Ia tahu, keputusannya
sudah bulat. Apa pun yang bakal terjadi. Meskipun Aminah akan marah atau anak-anaknya
melarang. Ia harus kembali ke ladang. Tak akan dibiarkannya hari-hari tuanya yang damai
dengan menggarap ladang dirampas lagi. Takkan dibiarkannya badan tuanya sakit-sakitan
karena kurang bergerak. Walaupun nantinya orangorang kampung bakal mencerca, mungkin
mengecapnya tak tahu diri menyambangi rimba keramat dan tak penuhi amanah para
leluhur. Atau bakal membuat para lelembut gusar dan menjatuhkan kutuk-bala kepada
dirinya. Ah, sudahlah!
Kujang terus menerawang jauh ke balik bukit. Membayangkan pokok-pokok sahang hijau
yang menjulurkan reranting segar, memanjang merambati tiang-tiang penyanggah hingga
daun-daun melebar merebakkan bunga-bunga, lalu ranum buah-buah lada. Terus
memanjang dan memanjang, seperti doa, seperti harapan. Seperti kenangan…
Ia tahu, ia memang keras hati. Tetapi, bukankah karena itu pula ia dulu berani meminang
Aminah? Juga membesarkan anak-anaknya yang empat orang? Kujang sedikit limbung
dihunjam kenangan. Ya, ia ingat pada masa lalu yang tak manis itu. Bapaknya yang
meninggal tertimpa batang pohon nyatoh. Ibunya yang kemudian menjadi buruh cuci dan
mengambil upah memetik sahang jika musim panenan. Ia sendiri, belum genap sepuluh
tahun, sudah keluar-masuk hutan mencari kayu bakar untuk dijual atau mengambil upah
menyadap karet para tetangga. Dengan itulah mereka bisa makan, adik-adiknya yang dua
orang tak kelaparan.
Sampai ia tumbuh remaja. Meski berbadan kecil, ia tapi kuat dan ulet. Ditebasnya hutan
yang tak bertuan, sendirian, bersakit-sakit membuka ladang. Uang yang diperolehnya dari
menjual kayu bakar dan menyadap karet disisihkannya sedikit demi sedikit untuk membeli
bibit-bibit sahang yang ketika itu masih cukup murah. Barang siapa menabur dengan daya
dan air mata, ia akan menuai dengan penuh sukacita. Itulah pepatah yang pernah
dilontarkan sang bapak. Dan ia percaya. Disaksikannya bibit-bibit yang ditaburnya itu mulai
tumbuh oleh butiran hujan, di bawah terik ladang hingga kian memanjang dipupuk oleh doa
dan ketabahan. Hingga akhirnya kesabaran dan kerja keras itu berbuah panen yang
gilanggemilang bersamaan dengan melonjaknya harga lada di pasar dunia. Karena itu ia
bisa memperbaiki rumah yang sudah miring, memodali sang ibu membuka warung kecil-
kecilan di depan rumah, dan membayar uang sekolah dua orang adik perempuannya, Sari
dan Siti.
Mata Kujang sedikit berlinang kini tatkala coba lagi berkenang.
***
AH, di ladang jugalah dulu Kujang bertemu dengan Aminah, istrinya. Gadis berkulit sawo
matang dengan tinggi semampai itu memang menggoda hati. Setiap siang, gadis itu akan
selalu datang mengantar nasi untuk kedua orang tuanya yang berladang di sebelah ladang
Kujang, kemudian menggantikan menjaga ladang hingga menjelang petang. Pertemuan
demi pertemuan, betapa membuat jantung Kujang bakal berpacu lebih kencang setiap kali
berpapasan di tengah jalan atau bertemu muka di batas ladang.
Bermula dari saling melirik, sama melempar senyum, kemudian berlanjut dengan
lemparlemparan pantun. Begitulah galibnya tradisi berkenalan muda mudi di kampung kala
itu. Penuh umpama, kiasan, pepatah petitih, dan peribahasa. Namun tajam menukik ke hati.
Sarat maksud, terang arti, dan bikin getar hingga sepanjang badan.
Sembunyilah sahang di atas atap
Tepinya rapat jika dibungkus
Telah sedia jika ’nak hinggap
Tapi macam sarangnya tikus [2]
Tentu, lantaran pantun balasan Aminah itulah, Kujang akhirnya berani bertandang ke pondok
ladang si dayang. Ya, masih malu-malu dan tatkala kedua orang tua gadis itu sedang balik
ke kampung. Lamalama, bisa diterka, Kujang bertandang berulang. Hingga seperti halnya
bibit lada yang ditabur di tanah subur, benih cinta mereka pun tumbuh menjalar segembur
ladang. Namun, Kujang tidaklah terlampau percaya diri, kendati sudah punya ladang sendiri.
Tak begitu luas memang, tetapi jika dibandingkan kebanyakan pemuda kampung lain
seusianya yang lebih sering nongkrong main gaple, semestinya ia boleh berbangga atas
jerih payahnya seorang diri. Selain merasa kurang mampu, Kujang juga suka minder
lantaran tak pernah mengenyam bangku sekolah dan tak fasih pula mengaji Alquran. Tapi,
jodoh urusan Tuhan! Bukan saja Aminah yang telah berat hati padanya, tapi rupanya bapak
si gadis pun sejenis orang tua yang bijak.
“Asal kau mau bekerja, tak telantarkan anakku, kuterima kau jadi mantu.” Demikian sang
mertua ketika suatu hari ia beranikan diri datang ke rumah Aminah.
Maka, pada sebuah musim panenan, setelah lepas malam nyuluh belalang [3], orang tua si
gadis pun memintanya menjatuhkan pinangan. Betapa bahagianya Kujang ketika duduk
bersanding dengan gadis pujaannya bersama puluhan pasangan pengantin lainnya di depan
penghulu pada pesta nikah masal di masjid besar kampung waktu itu. Aminah ternyata
bukan saja perempuan yang sabar dan setia, tapi juga ulet. Berdua, mereka memulai
kehidupan berumah tangga dengan menebas ladang baru. Hingga Mira si sulung lahir,
menyusul anak kedua, sampai si bungsu Amir. Mengingat masa-masa itu, Kujang selalu saja
terharu dan merasa kian mencintai sang istri.
Tetapi, kini ia bimbang, adakah Aminah bakal mengizinkannya kembali berladang? Adakah
Aminah akan merestui niatnya? Sedangkan mencangkul di pekarangan sampai agak sore
saja, Aminah suka menggerutu dan menegur, “Sudahlah, Bang, nanti kau berkeluh dan
minta kerok pula!”
Hm, bukankah justru ia sering masuk angin ketika kurang berkeringat? Setelah ladang
penghabisan kelekak [4]. itu ia serahkan? Bahkan kemudian juga
Ya, juga kelekak…
Padahal, tanah tak seberapa luas yang turuntemurun diwariskan dari buyutnya itu
ditumbuhi beragam pohon buah, mulai duku, rambutan, rambe, manggis, sampai lima
batang durian yang apabila musim buah tiba selalu berbuah lebat. Kujang ingat bagaimana
semasa kecil setiap musim buah bertandang, ia akan bermalam di pondok kelekak,
menunggu durian-durian jatuh. Cukup membawa senter, korek api, parang, dan ketapel.
Senter untuk mencari durian, korek api untuk membakar kayu-kayu dan rumput kering
sebagai api unggun, parang untuk berjaga dari binatang buas atau membelah durian, dan
ketapel untuk menjepret tupai-tupai pengganggu! Dan kenyanglah perutnya setiap malam.
Belasan, kadang puluhan, buah durian keesokan pagi pun dibawanya ke pasar kota
kecamatan.
Kini kelekak itu juga tinggal kenangan. Tinggal hamparan pasir putih dengan lubang besar
menganga serupa dengan ladang penghabisan yang lebih dulu ia serahkan. Tak cukupkah
hasil penambangan di bekas ladang bagi si Amir? Tidak, sebetulnya lebih dari cukup. Ia
tahu, anaknya bukanlah seorang yang serakah. Ia selalu mendidik semua anaknya dengan
keras sedari mereka kecil. Tentu semuanya lantaran Rani, menantunya itu, pikirnya
bimbang. Sejak awal ia sebenarnya tak begitu merestui. Kebanyakan perempuan kota
memang suka silau dengan uang. Namun, bukankah semua orang kampung kini juga jadi
serakah sejak pemerintah mengeluarkan izin penambangan rakyat yang lazim disebut
Tambang Inkonvensional5 itu? Maka, demi timah, semua orang pun sepakat berlomba
membongkar kebunladang! Tak peduli batang-batang lada menunggu panen. Tak peduli
pohon-pohon buah penuh kenangan. Kujang bergetar.
***
YA, ke ladang ia harus kembali. Tentu. Meski kini ia harus menebas ladang baru lagi, jauh di
balik bukit yang dipercaya angker. Tak apalah ia mengayuh sepeda kumbang jauh ke balik
bukit. Maka, selepas subuh, selepas menunaikan salat, Kujang pun beranjak ke sumur
belakang. Diasahnya kapak dan parang hingga berkilau tajam. Mumpung istrinya sedang
menginap di rumah Mira sejak dua hari lalu, menunggui seorang cucu yang sakit.
Parang bersarung papan digantung di pinggang, kapak tajam terikat di belakang boncengan
sepeda dengan karet ban. Begitulah ia menyelinap keluar diam-diam sepagi itu. Disusurinya
jalan bertanah kuning yang basah. Dikayuhnya pedal sepeda tua yang telah ia minyaki
kemarin siang dengan riang. Tangkas menghindari kubangan demi kubangan air, meski
kadang kala ia terpaksa turun karena beceknya jalan yang tak mungkin dilewati dengan
kayuhan. Beberapa kali ia sempat berpapasan dengan satu–dua orang kampung yang
berangkat ke lokasi tambang. Dianggukkannya kepala dengan ramah dari atas sadel
sepeda. Namun, pertanyaan “Hendak ke mana, Mang?” hanya dijawabnya dengan
mengangkat tangan. Siulan kecil kemudian keluar dari mulutnya, menimpali kicauan merdu
burung-burung liar di lebat pepohonan. Pohonpohon, semak belukar liar, langit yang bersih
setelah hujan mengguyur semalam, seolah-olah menyambutnya di sepanjang jalan.
Tetapi, mendekati kaki bukit—oh, hutan larangan yang angker dan keramat, entahlah—
sayup-sayup Kujang seperti menangkap suara-suara bising yang tak asing lagi bagi telinga
tuanya. Dadanya berdebar kencang, dipercepatnya kayuhan sepeda kumbang mendaki
tanjakan.
“Tidak mungkin… Tidak mungkin!” desisnya berulang-ulang. Sepagi itu, keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya, memercik deras di dahi. Rasa cemas, kaget, dan tak percaya
bercampur baur mengimpit dada Kujang. Namun, suara deru itu tetap saja semakin
kencang, semakin nyata, terdengar seperti meraung-raung di kedua telinganya. Lalu, bekas-
bekas ban truk dan roda alat berat penggeruk tanah kini terlihat jelas di jalan becek yang
dilaluinya, membuat kedua matanya terbelalak lebar. Lantas, terdengar suara keras pohon
berderak tumbang, kembali disusul lengking gergaji mesin dan gemuruh mesin alat berat.
Ah!
Saat itulah, tepat di tikungan kecil, roda belakang sepeda Kujang tiba-tiba terperosok ke
dalam kubangan lumpur. Tak ampun lagi, sepeda kumbang itu bersama pengendaranya
seketika tumbang. Kujang memekik… Bahunya yang ringkih terempas di atas jalanan becek
penuh lubang.
Moncong sebuah truk tahu-tahu sudah berada di hadapannya.

Bangka, 2010/Jogjakarta, 2019


Barang siapa menabur dengan daya dan air mata, ia akan menuai dengan penuh sukacita

Perempuan Misterius dan Lelaki yang Kehilangan Dirinya


Date: August 24, 2019Author: lakonhidup 0 Comments

Rate This

Cerpen Jantan Putra Bangsa (Media Indonesia, 24 Agustus 2019)


SUDAH nyaris enam bulan aku lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamar.
Sebuah ruang sempit yang hanya berukuran 7 meter persegi. Hanya ada
sebuah kasur tanpa dipan, sebuah meja, dan komputer, ditambah air galon
yang selalu terisi penuh.
Sejak peristiwa itu, aku tak lagi mau keluar rumah. Bertemu seorang teman ialah hal
menyakitkan, apalagi bertemu seorang yang kuanggap musuh, akan membuatku jauh lebih
menderita. Aku terus mengurung diri di kamar.
Aku hanya keluar kamar sekali waktu untuk sekadar membeli makan, minum, dan rokok.
Selebihnya aku di dalam kamar. Menghabiskan waktu dengan membaca buku, menulis, dan
menggambar. Begitu seterusnya, sampai aku dihunjam oleh kebosanan yang mengerikan.
Peristiwa itu, telah membuat hidupku berubah. Dunia ini memang tidak mengenal
kompromi. Begitu salah mengambil keputusan, jangan berharap kamu bisa tertawa lebar.
Penyesalan dan kesedihan menjadi teman setia. Meratapi keadaan dengan
menumpahkannya ke dalam tulisan atau lukisan, itu pun jelek, setidaknya menurutku.
Beberapa teman ada yang mengunjungiku. Sekadar menanyakan kabar, atau berusaha
menyembuhkan luka yang telah bernanah di dalam benakku. Sia-sia. Tidak hanya menolak
kedatangan mereka, tetapi aku juga mengusir salah satu dari mereka yang menyarankan
agar aku menemui seorang ahli kejiwaan. Depresi, katanya. Sebentar lagi mungkin aku akan
memasuki tahap gila, lanjutnya.
Aku mengagumi keberaniannya menyampaikan beberapa kemungkinan yang terjadi padaku
tanpa tedeng aling-aling. Barangkali karena ia seorang lulusan fakultas psikologi sehingga
merasa banyak mengetahui tentang kejiwaan seseorang, atau mungkin ia telah banyak
mempunyai pasien yang sakit sepertiku. Aku tak menggubrisnya.
Kenangan atas peristiwa itu tak kunjung hilang. Membekas dan terus menggerogotiku.
Setiap kali aku mengingatnya, ada getir yang menyayat.
Disusul rasa mual, pusing, bahkan perasaan yang aku tak bisa mengungkapkannya dengan
kata-kata. Rasanya tak ada kata yang tepat untuk bisa memberikan gambaran atas
keadaanku.
Sesekali aku membuka telepon genggam, ada banyak pesan masuk dan tak semuanya
kubaca. Ada sebuah nama yang tidak begitu kukenal dan aku juga tak pernah benar-benar
mengingat orang itu. Seorang perempuan, yang hanya bertemu denganku sekali, itu pun
kebetulan. Entah mengapa, ia mengirimiku pesan pendek. Dengan rasa waswas aku
membukanya.
“Hei, anjing! Ada apa denganmu? Berengsek ya, kamu, telah menyakitiku. Kalau kamu
punya nyali, ayo temui aku secepat mungkin.”
Hatiku berdesir. Tak ada kemarahan. Aku senang ada seorang yang berani memaki-maki.
Menantangku, dan juga tanpa pengantar basa-basi yang hanya menambah sesak dadaku.
Kubiarkan pesan itu tak terjawab.
Pikiranku kembali melambung di antara langit-langit kamar.
“Hei, lelaki lemah. Aku tahu kamu sudah membuka pesanku. Kenapa? Kamu takut
menemuiku, berengsek?”
Kembali perempuan itu mengirimiku sebuah pesan. Belum sempat kubaca dengan tuntas,
ada serentet pesan menyusul darinya yang berisikan makian-makian. Yang lebih
mengherankan, katanya, aku telah menyakitinya beberapa waktu belakangan ini. Menyakiti?
Aku telah berdiam dikamar cukup lama, bagaimana mungkin aku bisa menyakiti seseorang.
Sungguh dunia ini tanpa kompromi, bahkan seorang yang berdiam diri di kamar bisa
menyakiti orang lain. Aku tersenyum. Aneh, baru kali ini aku bisa tersenyum lepas setelah
enam bulan mengurung diri di kamar. Tersenyum karena ada orang yang memaki-maki.
Benar memang kata temanku, aku sudah gila.
“Aku tunggu sore ini di kedai tempat pertama kita berjumpa. Temuilah aku sebentar. Kalau
nanti kamu mulai tak nyaman berbincang denganku, tulislah sebuah pesan wasiat kematian.
Aku yang akan membunuhmu.
Orang sepertimu tak layak hidup, hanya kematian yang akan membuatmu tenang.”
Baru kali ini ada orang yang berani memaki, mengancam, sekaligus menasihatiku. Hidupku
kembali bergairah sejenak. Aku bersiap menemuinya.
Beberapa bulan ini, aku tidak bisa bekerja dengan cukup baik. Setiap kali aku menjahit,
selalu saja jarum itu menusuk ibu jari. Sakit. Sudah tak terhitung berapa kali aku membuka
dan menempelkan kembali perban di jari-jariku, dari jempol, telunjuk, sampai kelingking
telah terluka oleh tusukan jarum.
Setiap kali aku melakukan aktivitas, selalu saja ada gangguan. Ketika memasak, minyak
goreng yang telah panas oleh api, muncrat mengenai lenganku. Sakit rasanya. Aku berhenti
memasak. Kemudian aku melakukan hal lain. Ketika aku berkebun, sekadar menyirami
tanaman di halaman rumah, kakiku tertusuk duri semak belukar yang kulewati.
Bedebah memang, dia telah mengusik hidupku!
Ada wajah lelaki yang tak begitu kukenal muncul di dalam lamunanku. Ia yang telah
melakukan semua ini. Mengganggu hidupku. Menusukkan jarum, duri, dan menyiramkan
minyak panas ke tubuhku. Aku akan membuat perhitungan denganmu.
Aku mendatanginya di sebuah kedai kopi yang cukup sepi. Ia duduk di pojok, dengan
penerangan yang temaram, seperti ingin mengajak berbincang dengan rahasia. Kudatangi ia
dengan langkah mantap.
Tanpa disuruh, aku duduk. Memesan secangkir kopi. Menyalakan rokok. Diam. Semua
terdiam beberapa menit tanpa percakapan. Matanya tajam menatap mataku, masuk
sepenuhnya. Aku merasa ada benda asing memasuki tubuhku merobek-robek jantungku.
Dadaku sesak.
Cukup. Cukup, kataku. Aku memberikan isyarat padanya agar dia berhenti menatapku. Lebih
baik segera siapkan pisau tajam atau pistol dengan peluru tajam dan kemudian tembuslah
badanku dengan alat pembunuh itu. Aku akan mati dengan segera tanpa rasa sakit.
Seperti mengejek, ia tak juga melepaskan pandangannya. Kemudian tersenyum. dan
keluarlah rentetan kalimat dari mulutnya.
Perempuan itu usianya lebih tua dariku. Mempunyai sikap yang sangat tenang. Meski kata-
kata yang keluar dari mulutnya pasti disertai makian, aku suka mendengarnya.
Dengan percaya diri ia memberedel semua kehidupanku. Peristiwa itu ia buka lebar. Luka-
luka yang belum kering di hatiku, ia sayat lagi. Terus dan terus begitu sampai aku nyaris
muntah.
Perempuan itu mulai bercerita. Katanya, ada seorang lelaki yang telah kehilangan daya
hidupnya. Kehilangan jati dirinya. Menjadi lelaki lemah tak berdaya, seperti mayat tanpa
jiwa. Mungkin, hanya kematian yang sanggup membebaskannya dari penderitaan, atau
lebih tepatnya dari kepengecutannya menghadapi hidup di dunia yang tak kenal kompromi.
Ia seorang seniman, lebih tepatnya orang yang selalu mencoba membuat karya seni.
Karyanya bagus, setidaknya menurutku. Ia membuat dan terus membuat sampai suatu
ketika, ia memutuskan untuk memamerkan karyanya kepada khalayak. Persiapan mulai
dilakukan.
Ia menghubungi beberapa teman seniman. Meminta bantuan untuk memberikan masukan
apakah karyanya layak untuk dipamerkan. Semua setuju. Semua terkesima oleh karyanya
yang cukup bagus. Satu per satu persiapan mulai dilakukan.
Semua karya dikumpulkan, tidak hanya dalam bentuk lukisan, tetapi akan dijadikan sebuah
pertunjukan. Latihan sudah dimulai. Ia terus membuat karyanya, menulis sendiri skenario
pertunjukannya. Tentu saja dibantu oleh beberapa temannya.
Waktu terus berlalu, hari yang telah ditentukan sebentar lagi tiba. Persiapannya nyaris
sempurna. Tak ada gangguan dan hambatan. Satu per satu karyanya telah dikumpulkan di
sebuah studio. Gambar-gambar yang luar biasa, yang kemudian ia gubah karakternya
menjadi tokoh-tokoh wayang, dan tentu saja sebuah pertunjukan. Ia akan membuat
pertunjukan semacam pergelaran wayang. Menampilkan seluruh karyanya melalui
pertunjukan itu.
Lukisannya bermetamorfosis menjadi tokoh wayang yang hidup. Berdirilah pakeliran itu
dengan gagah.
Waktu kurang satu minggu, acara pameran dan pertunjukannya bakal mengagetkan
khalayak, tetapi peristiwa yang tak disangka itu muncul.
Semua karya itu lenyap. Tidak sekadar satu atau dua, tetapi semuanya beserta pakeliran
yang sudah ditata dengan gagahnya. Bukan khalayak yang kaget, melainkan lelaki yang
telah membuat karya seninya itu yang kaget dan jatuh tersungkur tak lagi bisa bangkit dari
hidupnya yang lemah.
“Bukan begitu mas lelaki lemah tak berdaya yang bahkan untuk mati saja tak pernah berani.
Segera bangkit. Kamu memiliki daya hidup. Kamu memiliki api yang terus berkobar.”
Rasanya aku seperti dibacakan sebuah dongeng yang berakhir dengan penderitaan.
“Kamu memiliki gagasan-gagasan yang hebat, orang-orang yang mengambil karyamu
hanyalah mengambil abu dari sisa-sisa kayu yang kamu bakar dengan nyala apimu yang
berkobar.”
Belum sempat aku menanggapi omongan perempuan itu, ia menyodorkan sebuah koran.
Terlihat jelas ada gambar dan narasi yang berisikan tentang karya-karyaku telah dipamerkan
dan diapresiasi dengan luar biasa di hadapan khalayak ramai. Aneh, aku tidak merasa sakit,
aku justru tersenyum lebar.
Perempuan itu meninggalkanku. Ia memintaku tak lagi mengganggunya. (M-2)

Kampung Pelarian
Date: August 18, 2019Author: lakonhidup 0 Comments

Rate This

Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 18 Agustus 2019)


Setelah mengarungi hutan belantara, naikturun bukit dan lembah, dalam pelarian
sampailah si Monyet di sebuah kampung di balik bukit. Kampung yang
dikungkung dinding cadas, gerinjul tanah berkapur, dan pohon-pohon kurus
berdaun separuh kering meranggas. Tonjolan batubatu besar muncul dari
permukaan tanah serupa arca raksasa yang tak sempurna dikuburkan.
Sinar matahari yang jatuh dipantulkan kembali oleh tanah, sehingga udara
sejuk diisap tak bersisa.
Rumah penduduk sangat jarang dan berjauhan. Sulit sekali mendapatkan air. Untuk
membuat sumur harus menggali puluhan meter guna menemukan mata air. Di sanalah
mereka bergantian mengambil air untuk memasak dan minum. Mandi dan mencuci mereka
lakukan di anak sungai berair keruh jauh di kaki bukit.
Si Monyet tidak terlalu merasa asing dengan kampung ini. Ia merasa entah kapan dan untuk
apa pernah singgah dan akrab dengan kampung ini. Seperti de javu. Ia tak mengira dalam
pelarian sampai ke kampung ini. Penduduknya memang baik dan ramah, tapi miskin.
Mungkin karena miskin itulah mereka baik dan ramah. Mereka tak memiliki apa-apa yang
bisa disuguhkan ke para pejalan yang kemalaman, selain senyuman.
“Apa nama kampung ini, Nek?” Si Monyet bertanya kepada pemilik satu-satunya kedai yang
dia jumpai di kampung ini.
“Kampung Playon,” sahut si nenek, seraya mengangkat singkong rebus dari tungku di sisi
kedai. Meski sangat sepuh si nenek tampak masih kuat dan cekatan. Enteng saja dia
mengangkat panci besar dari tungku.
Si Monyet agak terperanjat. Jawaban si nenek seperti menyindir. “Mungkin hanya
kebetulan,” pikir si Monyet. Tak mungkin perempuan peyot itu menyindir. “Dari mana dia
tahu aku pelarian,” sergah si Monyet seraya menggaruk kepala.
“Kampung tempat singgah dan menetap para pelarian,” tambah si nenek tanpa lepas dari
kesibukan.
Kedai kecil ini beratap anyaman rumbia seperti keseluruhan atap rumah di kampung ini.
“Kami dulu para pelarian, dan sampai sekarang masih pelarian, tapi sudah dilupakan. Kami
menetap di sini karena tak tahu mesti lari ke mana lagi.”
Si Monyet ingin bertanya kenapa mereka jadi pelarian, tapi merasa tak nyaman.
Tenggorokannya kering dan dia merasa terjebak di tempat yang salah. Ia khawatir nenek ini
sungguhsungguh sedang menyindir. Ia harus hati-hati. Nalurinya berkata untuk sesegera
mungkin meninggalkan kampung ini.
“Bukankah Kisanak juga pelarian?”
Pertanyaan si nenek bagai palu menghantam dada dan membuatnya gelisah. Entah berapa
lama si Monyet akan singgah di kampung ini. Ia bertekad tak boleh lama-lama. Ia hanya
butuh dua-tiga hari untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan diri dari luka goresan di
tubuh. Ia harus segera keluar dari kampung ini dan meneruskan pelarian entah ke mana.
***
Begitu sampai kampung ini menjelang subuh hari kemarin, si Monyet menemukan satu-
satunya kedai di tepi desa. Kedai milik nenek yang sudah sangat sepuh yang tampaknya
selalu sepi pembeli. Hanya sesekali melayani petani atau pencari kayu bakar atau pejalan
yang singgah seperti si Monyet. Hampir tak ada makanan atau jajanan dijual, kecuali teh,
kopi, jagung, dan umbi-umbian rebus, serta nasi dengan lauk alakadarnya, yang seakan
mewakili keadaaan kampung ini yang serbaterbatas. Si Monyet yakin tak ada persitiwa
menarik untuk dicatat di sini.
Si Monyet memesan makan untuk mengisi perut yang keroncongan. Ia berharap pemiliki
kedai tak bertanya lebih jauh soal asal-usulnya, apalagi bertanya kenapa ia jadi pelarian.
Syukurlah, harapannya terkabul. Si nenek dan suaminya yang sama-sama sepuh sibuk
mengupas dan memreteli biji-biji jagung ke wadah anyaman bambu tanpa banyak bersuara,
kecuali mendehem dan batukbatuk kecil.
Si Monyet duduk berlama-lama seusai menandaskan makanan, menanti kesempatan bagus
untuk bertanya perihal tempat untuk menginap. Pemilik kedai, suami-istri yang telah sepuh
itu, menawarkan bilik belakang rumah, dekat kandang kambing.
“Atau Kisanak bisa datang ke kepala dusun. Mungkin beliau bisa menyediakan tempat lebih
layak,” kata si pemilik kedai.
Si Monyet memilih bilik belakang rumah mereka. “Lebih sedikit orang tahu keberadaanku
lebih baik,” pikir si Monyet. Dia memesan kopi secangkir lagi setelah sepakat soal harga
sewa bilik itu. Dia menyesap kopi sambil mengamati betapa misterius kampung ini. Selama
enam jam dia duduk di kedai ini, hanya dua orang singgah untuk membeli makanan.
Meski sempit, bilik itu tak terlalu buruk. Ada ambin dengan bantal pipih, meja kecil, dan
sebuah jendela. Lumayan buat sekadar istirahat. Si Monyet memeriksa luka goresan di
hampir sekujur tubuh. Luka-luka yang tak terlalu dalam dan sebagian mulai mengering, tapi
lumayan perih terutama bila terbasuh air. Ia kesulitan memeriksa luka di punggung. Bilik itu
tak menyediakan cermin. Ia hanya bisa meraba-raba. Ia merasa gatal di sekeliling luka,
tanda luka mulai sembuh.
Ia merasa luka goresan di punggung tak sebanyak di betis dan lengan. Sekarang giliran
memijit-mijit betis yang masih kaku. Pantaslah, ia berlari hampir tak pernah berhenti selama
seharisemalam. Setelah merasa lumayan enak ia merebahkan tubuh dan memejamkan
mata. Kegelisahan pun mendera demi memikirkan tujuan pelarian yang belum jelas sampai
kantuk menaklukkan.
Pagi-pagi ketika sinar matahari menerobos bilik membentuk batang-batang cahaya,
seseorang memanggil dari luar. Itu suara ibu sepuh pemilik kedai. Dia tak memanggil
Monyet, tentu saja, karena itu bukan namanya.
“Mas Badra,” panggil pemilik kedai.
Itu juga bukan nama sebenarnya. Ia menyebutkan nama yang ia pungut sekenanya saat
ditanya perihal nama. Memperkenalkan nama itu semata demi keamanan. Monyet sekadar
julukan yang diberikan bibi dan saudara-saudaranya lantaran waktu kecil tingkahnya lucu
dan cekatan mirip monyet kecil dalam pertunjukan sirkus. Ia tak keberatan dengan
panggilan itu karena tahu mereka tak bermaksud merendahkan. Sebaliknya ia bangga.
Adiknya yang pendiam dan sangat pemalu dipanggil si Moa, lantaran akan selalu
menyembunyikan diri di kamar setiap ada orang baru bertandang. Nama dia sebenarnya
Darma. Orang tuanya sangat menggemari cerita Raja Angling Darma. Seorang raja yang
mampu bercakap-cakap dengan serangga dan hewan-hewan lain. Ingatan itu membuatnya
merasa begitu kesepian, tapi tak tahu bagaimana mengobati.
Julukan Monyet seperti isyarat dia lebih menyukai tinggal di antara pepohonan yang banyak
tumbuh di kampungnya di tepi hutan. Adiknya pergi meninggalkan kampung di lereng
gunung untuk bekerja di kota. Beberapa tahun kemudian kembali untuk memboyong orang
tuanya. Sementara si Monyet lebih betah di kampungnya yang sepi dan hanya ditemani
suara-suara hewan.
Panggilan di luar terus terdengar dengan jeda lebih lama. Ia segera menyahut dan membuka
pintu. Si ibu berdiri di ambang pintu dengan nampan berisi penganan dan kopi. Si Monyet
segera meraih nampan berisi kopi dan jagung rebus. Dia genggam jagung rebus yang masih
panas dan mengepulkan uap tipis.
Selama lima hari di kampung ini, si Monyet lebih banyak termenung di dalam bilik. Ia hanya
keluar untuk menuntaskan kebutuhan tubuh yang tak bisa ditahan: makan dan membuang
ampas. Itu dia lakukan setenang mungkin supaya tak ada orang curiga. Ia termenung bukan
hanya memikirkan ke mana melanjutkan pelarian, melainkan juga mengingat- ingat kapan
dan untuk apa pernah ke kampung ini. Ia gusar karena tak menemukan ingatan. Namun
yang jauh lebih menggusarkan adalah peristiwa apa yang membuat dia jadi pelarian.
Seingatnya, sebelum menemukan diri berlari keluar-masuk hutan dan menyeberangi sungai,
ia sedang tidur-tiduran di rumahnya di tepi telaga. Tak mendengar suara-suara apa-apa
selain kemirisik dedaun diembus angin yang melintas pelahan, dan sesekali kecipak ikan
yang melompat dari bawah permukaan air. Ia yakin betul ingatannya tak keliru. Namun,
kenapa tiba-tiba jadi pelarian, membawa buntalan berisi satu setel baju dan buku, ke dalam
hutan?
Si Monyet untuk sementara pasrah dan mengalah pada ingatan yang serapuh abu kayu sisa
pembakaran. Semua berjalan mulus sampai ia berpapasan dengan seorang gadis saat
hendak ke sungai di kaki bukit. Gadis itu menatap terangterangan dan melemparkan
senyum yang membuatnya takjub dan kikuk. Si Monyet ingin segera berlalu. Namun si gadis
memanggil. “Mas Badra, saya tahu Anda pelarian,” kata si gadis. “Saya juga tahu Badra
bukan namamu yang sebenarnya.”
Gadis itu membuka ingatannya; ia mengingatkan si Monyet kepada Ratmi, perempuan yang
diam-diam mencintainya. Ratmi sering datang membawa gula kopi dan makanan ke rumah
yang si Monyet jadikan markas untuk tempat kumpul-kumpul dengan sejumlah teman yang
selalu tampak bersemangat mendengar wejangannya. Gula dan kopi dan penganan yang
dibawa Ratmi sungguh berguna membantu mereka untuk berdiskusi sampai jauh malam.
Mereka mengajari warga di kaki bukit itu untuk menolak menjual tanah.
Ah, si Monyet ingat sekarang. Suatu hari mereka bergandengan tangan menuruni bukit,
mengadang truk-truk yang hendak meratakan bukit. Mereka berhasil menghentikan truk-
truk itu. Mencegah mereka mengeruk bukit. Percekcokan tak dapat dihindarkan antara
teman-teman si Monyet dan para sopir truk. Situasi tak terkendali saat seorang sopir truk
menampar salah seorang kawan si Monyet, hingga terjungkal lantaran tak mampu menjaga
keseimbangan tubuh berdiri di tanah miring. Tubuhnya menggelinding ke bawah.
Mendadak kemarahan menguasai si Monyet. Ia memungut batu dan menghantamkan ke
kepala sopir truk. Si Monyet panik melihat sopir truk terhuyung dan terjengkang. Saat dia
ternganga panik, sebuah pukulan mendarat di pelipisnya dan mengempaskan dia. Ia
terpelanting dan menggelinding ke bawah. Sebongkah tunggul pohon menyambut
kepalanya.
“Aku bisa membawamu keluar dari pelarian ini atau selamanya di kampung pelarian ini,”
kata si gadis. (28)

Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Dia menulis cerpen, puisi, resensi, esai.
Buku cerpen terbarunya Monyet Bercerita (2019)

Anda mungkin juga menyukai

  • Otok
    Otok
    Dokumen6 halaman
    Otok
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Puisi Wiji Thukul
    Puisi Wiji Thukul
    Dokumen17 halaman
    Puisi Wiji Thukul
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen Basa Basi 2
    Cerpen Basa Basi 2
    Dokumen16 halaman
    Cerpen Basa Basi 2
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen Hasan Al Banna
    Cerpen Hasan Al Banna
    Dokumen15 halaman
    Cerpen Hasan Al Banna
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen 27 Juli 2019
    Cerpen 27 Juli 2019
    Dokumen44 halaman
    Cerpen 27 Juli 2019
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen 27 Juli 2019
    Cerpen 27 Juli 2019
    Dokumen44 halaman
    Cerpen 27 Juli 2019
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Alamat Koran
    Alamat Koran
    Dokumen3 halaman
    Alamat Koran
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen 15 Juni 2019
    Cerpen 15 Juni 2019
    Dokumen10 halaman
    Cerpen 15 Juni 2019
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Alamat Koran
    Alamat Koran
    Dokumen3 halaman
    Alamat Koran
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen 7 Agustus 2019
    Cerpen 7 Agustus 2019
    Dokumen12 halaman
    Cerpen 7 Agustus 2019
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Cerpen 13 July 2019
    Cerpen 13 July 2019
    Dokumen26 halaman
    Cerpen 13 July 2019
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Pollycarpus PDF
    Pollycarpus PDF
    Dokumen51 halaman
    Pollycarpus PDF
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Putusan Hotman Paris 7
    Putusan Hotman Paris 7
    Dokumen30 halaman
    Putusan Hotman Paris 7
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Putusan Hotman Paris 8
    Putusan Hotman Paris 8
    Dokumen60 halaman
    Putusan Hotman Paris 8
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Jandri Siadari 4
    Jandri Siadari 4
    Dokumen32 halaman
    Jandri Siadari 4
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Putusan Hotman Paris 6
    Putusan Hotman Paris 6
    Dokumen36 halaman
    Putusan Hotman Paris 6
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Putusan Hotman Paris 3
    Putusan Hotman Paris 3
    Dokumen56 halaman
    Putusan Hotman Paris 3
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Jandri Siadari 5
    Jandri Siadari 5
    Dokumen23 halaman
    Jandri Siadari 5
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Jandri Siadari 1
    Jandri Siadari 1
    Dokumen15 halaman
    Jandri Siadari 1
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat
  • Jandri Siadari 8
    Jandri Siadari 8
    Dokumen32 halaman
    Jandri Siadari 8
    Riduan Mangatas Aritonang
    Belum ada peringkat