Anda di halaman 1dari 37

1.

KENANGAN AYAH DAN KUMIS LEBATNYA


Waktu bagaikan penentu perjalanan manusia yang terjadi dimasa lalu,sekarang hingga masa
depan.Waktu dapat dikatakan sebagai perekam yang merekam perjalanan hidup dan proses
yang dialami oleh setiap umat manusia yang dapat teringat kembali dimasa yang akan datang.
Berbagai waktu senang,waktu sedih, hingga waktu susahpun terselip di antara waktu yang
menceritakan perjalanan seseorang yang kemudian terangkai menjadi sebuah kisah yang disebut
dengan kenangan . Hal inipun tak luput terjadi pada diriku sendiri, kenangan itu kujadikan
sebagai salah satu pelajaran hidup yang berarti maupun candaan yang tak akan terulang kembali
dalam perjalanan hidupku. Banyak kenangan masa kecil yang selalu telintas dalam ingatanku
seperti salah satunya kenangan ketika aku masih duduk ditaman kanak-kanak, masih teringat
dengan jelas bagaimana banyak kenangan yang terjadi pada masa itu padahal sekarang aku telah
duduk dibangku sekolah menengah atas ,entah mengapa kenangan ini tak dapat lepas dari
ingatanku . Kini kenangan itu kuceritakan kembali untuk mengenangnya.
Inilah salah satu pengalamanku. Ketika aku masih duduk disalah satu taman kanak-kanak di
daerah tempat tinggalku, aku selalu dijemput oleh ayahku. Ayahku adalah orang yang sangat baik
dan penyayang. Ayahku memiliki badan yang cukup tinggi dan besar serta berkumis lebat.
Ayahku bekerja sebagai seorang pegawai negeri yang mengabdi didaerah tempat tinggalku.
Setiap aku pulang sekolah dari taman kanak-kanak ,ayahku selalu menjemputku dengan mobil
dinasnya dan aku selalu menunggunya didepan kelasku. Seperti biasa yang kulakukan ketika
lonceng sekolahku berbunyi disiang hari, aku menunggu ayahku untuk menjemputku.
Namun hari itu tampak berbeda dengan hari-hari biasanya karena aku tak melihat ayahku
sehingga membuatku gelisah bukan main .Oleh karena itu kuputuskan untuk berjalan menuju
pintu gerbang sekolahku, ketika kuberjalan aku berpapasan dengan sesosok laki-laki yang
menyerupai ayahku berbadan besar dan tinggi namun tak berkumis lebat. Lalu orang tersebut
berkata Ayo, Hana mari pulang! langkahku terhenti sejenak sambil memerhatikan wajah orang
itu, namun tak kukenal sama sekali siapa orang itu .Sehingga membuat begitu banyak pertanyaan
yang muncul dalam kepalaku, siapakah dia? Apakah ia adalah orang utusan ayahku untuk
menjeputku?. Tak ada satupun jawaban yang terlintas untuk menjawab pertanyaan pertanyaan
itu. Tetapi aku masih merasa bahwa aku mengenalnya ,lalu kucoba memperhatikan wajahnya
kembali. Betapa terkejutnya dan malunya aku waktu itu.Orang tersebut adalah ayahku namun
ayahku tanpa kumis lebatnya. Lalu ayahku merangkul bahuku mengajakku jalan bersamanya
menuju mobil dan pulang kerumah. Dalam rangkulannya aku tak berani melihat mukanya
karena perasaan sangat malu yang bercampur dengan rasa tawa. Selama perjalanan aku masih
terheran-heran terhadap diriku sendiri karena aku tak bisa mengenali ayahku ketika ia tidak
memiliki kumis, apalagi jika ia botak mungkin aku benar-benar tak mengenalinya sama sekali
dalam benakku .
Oleh karena itu,jika kuteringat kejadian ini kembali aku ingin tertawa yang bercampur
malu,namun itu adalah salah satu kenangan yang mungkin tak akan kulupakan hingga sekarang
dan aku tahu sekarang alasan ayahku tak pernah mencukur habis kumis lebatnya itu,ia takut aku
tak mengenalinya lagi hingga sekarang sehingga ia memilih untuk memeliharanya. Itu

merupakan salah satu kenangan yang kualami ketika kumasih kecil,mudah-mudahan pengalaman
ini dapat menghibur kalian yang membacanya.Salam kenal

Unsur Intrinstik Cerpen antara lain:

Tema

-mengenai pegalaman masa kecil yang tidak dapat dilupakan

Tokoh dan penokohan.

-Tokoh : Aku dan ayahku.


-penokohan : Aku :pelupa.
Ayahku : sangat baik dan penyayang.

Alur

-merupakan alur gabungan ( alur yang merupakan gabungan dari alur maju dan alur mundur) .

Latar

-Latar tempat : Lingkungan sekolah taman kanak-kanak(depan kelas,pintu gerbang sekolah).


-Latar waktu : Siang hari.
-Latar suasana : bingung,menghibur,gelisa.

Sudut pandang

-Sudut pandang orang pertama ( I ).


-Sudut pandang orang ketiga (III) .

Gaya bahasa

-Menggunakan bahasa yang efektif sehingga isi cerita dapat dimengerti oleh pembaca.

Amanat

-Semua orang mempunyai masa lalu yang berkesan maupun yang mengecewakan
namun semua pengalaman tersebut selalu memiliki makna tersendiri yang dapat

kita ambil dan dikenang kembali dimasa hidup kita kemudian . Selain dikenang
pengalaman dapat juga menjadi obat rindu kita terhadap masa lalu kita. Oleh
karena itu apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan pengalaman yang
akan dikenang kembali dikemudian hari.

2. Arin dan Mimpinya


Arin berasal dari keluarga yang cukup harmonis yang terdiri dari ayah ibu dan dengan 2 anak
perempuan mereka yaitu Arin dan Raty. Karena keterbatasan dana, sejak SMP Arin sudah
bersekolah jauh dari orang tuanya. Dia tinggal bersama saudara dikeluarga ibunya. Seringkali ia
merasa ingin bersekolah bersama keluarga, ibu, ayah dan 1 adiknya. Tapi sayangnya, ia sudah
terlanjur meminta kepada orang tuanya untuk tinggal dan bersekolah dengan bibinya yang
tinggal
sangat
jauh
dari
tempatnya
berada.
Tiga tahun sudah berlalu, Arin meminta kepada orangtuanya supaya setelah lulus SMP ia
melanjutkan kesekolah negeri dekat dengan orang tuanya. Permintaan itu dikabulkan oleh ibunya
tetapi ayahnya sedikit keberatan. kenapa kamu pindah, Rin ? apakah ada masalah di sekolahmu
sehingga kamu ingin pindah? tanya ayahnya. Tidak yah, Arin ingin pindah sekolah karna Arin
ingin mencari pengalaman lebih banyak lagi di sekolah lain jawab Arin. Lalu bagaimana
dengan bibi mu, apakah dia setuju dengan keputusanmu itu? tanya ayahnya. Dengan berat hati
Arin menjawab, Aku belum bicara kepad bibi, tetapi pasti aku akan mengatakan padanya
segera
Arin sebenarnya tahu jika orang tuanya merasa keberatan bukan karena dia harus tinggal
bersama bibinya. Namun karena mereka tidak mampu untuk mensekoahkan Arin di sana. Arin
pun bimbang dan ragu. Di satu sisi dia ingin kumpul lagi bersama orang tuanya, di sisi lain dia
tahu ayahnya tak punya uang untuk menyekolahkannya. Hari demi hari berlalu, Arin semakin
rindu kepada keluarga kecilnya. Tak jarang dia selalu menangis hingga larut malam.
Bibi Arin pun menyadari apa yang Arin rasakan saat ini. Kamu kenapa nak? tanya bibinya.
Aku baik-baik saja kok bulek, aku hanya sedang kelelahan, jawab Arin. Sebenarnya Bibinya
pun sudah mengetahui apa yang sedang Arin rasakan tetapi dia tak mau menambah beban Arin
saat ini. Nak bibi akan selalu mendoakanmu, Bibi juga akan selalu mendukung apa yang ingin
kau lakukan, berusahalah dengan giat untuk mendapatkan keinginanmu, nasehat bibinya.
Setelah mendapatkan nasehat itu, Arin menjadi semangat. Meskipun Arin belum membicarakan
masalah kepada bibinya, dia tahu bahwa bibinya akan selalu mendukungnya.
Beberapa hari setelah itu, Arin mendapat kabar bahwa sekolah SMAN 1 Bumi Putera di dekat
rumah orang tuanya mengadkan lomba pidato dan pemenangnya akan diterima bersekolah disana
dan mendapatkan beasiswa. Arin pun mengikuti lomba pidato itu dan akhirnya keluar sebagai
pemenang. Dia pun memberitahukan kabar gembira itu kepada orang tua dan Bibinya.
Pada awalnya mereka belum menyetujuinya. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari Arin,
akhirnya permintaanny diperbolehkan oleh orangtua dan bibinya. Tapi sayang, pihak sekolah
sempat menahan Arin karena prestasi-prestasi dari dirinya. Sekolah tidak mengizinkan Arin

pindah ke SMA lain karna ia membawa prestasi cemerlang. Tetapi setelah mendesak kepala
pimpinannya, akhirnya Arin diperbolehkan pindah. Ia sangat senang sekali. Ia juga sedih ketika
ia berpamitan dengan teman-temannya yang sayang padanya. Arin berpesan kepada temantemannya untuk selalu semangat dan giat dalam belajar dan juga tidak melupakannya.
Ketika masuk tahun ajaran baru, Arin pun bisa kembali berkumpul bersama orang tuanya. Ia
berkumpul bersama ayah, ibu, dan adiknya. Rasa rindu yang sangat mendalam dapat berkumpul
bersama keluarga walaupun makan dengan lauk sambal akan terasa lebih nikmat bila berkumpul
bersama.
Unsur Intrinsik Arin dan Mimpinya
1. Tema : Kebersamaan keluarga
2. Latar
Tempat : Rumah bibinya, Sekolah Arin, Rumah Arin
Suasana : Sedih (Tak jarang dia selalu menangis hingga larut malam), Bahagia (Dia pun
memberitahukan kabar gembira itu kepada orang tua dan Bibinya), Haru (Ia juga sedih ketika ia
berpamitan dengan teman-temannya yang sayang padanya)
Waktu : Malam (Terbukti saat Arin menangis karena rindu keluarganya), Pagi hari (Terlihat
ketika Arin mengikuti lomba pidato dan berpamitan kepada temannya)
3. Alur : Maju
4. Tokoh: Arin (Antagonis), Bibi dan Ayah (Tritagonis), Tidak ada tokoh antagonis karena
konflik yang terjadi adalah konflik batin tokoh utamanya
5. Penokohan:
Arin : Penyayang, Pintar, Berkemauan tinggi,
Bibi : Penyayang, Baik
Ayah : Pesimis, Baik
6. Sudut pandang : Orang ke tiga tunggal
7. Gaya Bahasa : Pengarang menyampaikaan ceritanya dengan bahasa yang mudah dimengerti
tanpa kiasan sehingga cerita mudah dimengerti
8. Moral Value: Jangan menyerah dengan keadaan karean setiap masalah pasti ada jalan keluar

3. Liburan seru, bertemu Bule


Suatu hari, di pagi hari yang cerah ketika aku terbangun aku mendengar suara kicauan burung
yang merdu dan disaat itu aku merasa bahagia karena hari libur akan segera tiba , aku tidak sabar
lagi untuk pergi berlibur bersama keluargaku.
Keesokan harinya , setelah berunding dahulu kami sepakat untuk pergi berlibur ke salah satu
tempat liburan yang populer yang terletak di kota Makassar. Aku pergi kesana bersama bapakku,
ibuku, kakakku yang bernama Wiwi yang cantik dan adikku yang bernama Ari yang ganteng.
Tempat liburan itu bernama Trans Studio.
Hari libur telah tiba ibuku telah mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa kesana.
Keesokan harinya kami pun pergi kesana dengan mengendarai mobil selain, kami menempuh
perjalanan yang cukup jauh sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk dapat sampai disana.
Setelah beberapa jam kami pun sampai di kota Makassar, kami pergi kerumah saudara
perempuan dari Bapak saya, saya pun bertemu dengan sepupu saya yang bernama Adnan dengan
badan yang gemuk dan bertubuh besar, kami disana saling berjabat tangan dan saling
menanyakan kabar dan Bapakku menawarkan kepada tanteku untuk pergi liburan bersama-sama
dan tanteku menyetujuiya.dan kami pun beristirahat disana karena telah menempuh perjalanan
yang jauh.
Keesokan harinya kamipun berangkat ke Trans Studio tersebut, Aku, saudaraku dan sepupuku
pergi bermain bersama kami memainkan hampir semua wahana permainan yang tersedia seperti
rooler coaster, dragon's tower, dunia lain dan masih banyak lagi. Setelah berlama-lama disana
kami pun pulang kerumah.
Dalam perjalanan pulang kami melihat ada restoran makan KFC kami pun berhenti disana
karena kami semua lapar, kami pun makan disana. Setelah makan kami juga pergi ke pantai
Losari yang indah dan disana ada wahana air. Aku, Adikku dan Adnan pergi menaiki wahana
tersebut.
Saat dipantai Aku,Wiwi,Ari dan Adnan melihat ada Bule yang berkulit putih dan bertubuh besar
dan tinggi, kami ingin rasanya berkenalan dan berfoto bersama tapi sayang kami tidak bisa
berbahasa Inggris setelah beberapa lama kami mengikutinya dari belakang ternyata Bule itu bisa
berbahasa Indonesia karena tadi dia berbicara dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia,
tanpa sungkan-sungkan kami pun menghampiri Bule tersebut dan kami saling berkenalan dan
foto bersama dan nama Bule itu Van de Jong yang berasal dari Belanda, kami semua sangat
senang karena dapat bertemu dengannya.dan kami pun kembali kerumah Adnan untuk
beristirahat.
Di malam hari keluargaku dan keluarga Adnan pergi makan Coto Makassar yang terletak tidak
jauh dari rumah Adnan. Setelah makan kami pergi ke Mall untuk berbelanja dan Ibuku
berbelanja perlengkapan sekolahku dan Adikku karena hari sekolah akan segera tiba.
Keesokan harinya kami berencana untuk kembali kedesa karena hari libur telah usai, sebelum
kami pulang aku dan keluargaku berpamitan dahulu kepada Adnan dan keluarganya. Dan kami
pun pulang kedesa dengan perasaan yang sedih karena akan berpisah. Tapi liburan kali ini tidak
akan kami lupakan.

Unsur Intrinsik Cerpen antara lain :


Tema
-Liburan
Tokoh dan penokohan
-Aku (Rian), Kakak (Wiwi), adik (Ari), Bapak, Ibu dan Sepupuku (Adnan).
Alur
-Alur maju
Setting
-Latar tempat: Makassar (Trans Studio,Pantai Losari)
-Latar waktu: pagi hari, siang hari dan sore hari.
-Latar suasana :penasaran, bahagia dan sedih.
Sudut pandang
-Sudut pandang orang pertama
Gaya bahasa
-Menurut saya bahasa yang saya gunakan cukup efektif Sehingga mudah di mengerti oleh si
pembaca
Amanat
-karena liburan hanya dapat didapatkan hanya di akhir semester sekolah kita harus
memanfaatkan liburan tersebut dengan sebaik baiknya dan memiliki makna agar dapat dikenang
di kemudian hari.

4. Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi.
Karena semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang
sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat
ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas
yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawankawan banyak yang betah kalau main di rumah Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu
kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu
Dwi tidak main ke rumah Tyas.
Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen.
Selalu datang.
Mungkin sakit! jawab Mama.
Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!
katanya bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka.
Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat
keterangan bahwa Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa.
Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan
menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa
Dwi tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
Oh, kasihan Dwi, ucapnya dalam hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap
pulang sekolah ia selalu murung.
Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah
selalu tegar dan ceria! Papa menegur
Dwi, Pa.
Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia? Tyas menggeleng.
Lantas! Papa penasaran ingin tahu.

Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang
ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan
omongan Tyas.
Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!
ujarnya.
Lalu apa rencana kamu?
Aku harap Papa bisa menolong Dwi!
Maksudmu?
Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku! Tyas memohon dengan agak
mendesak.
Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu! kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia
merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak
keluarga Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi
rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer.
Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi
ketika bertemu dengan Tyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa
rindu. Semula Dwi agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya
ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.
Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!
Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa
kembali!
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya
kepada orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan
segala keputusan kepada Dwi sendiri.
Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke
Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana
Wi, apakah kamu mau? Tanya Papa.
Soal sekolah kamu, lanjut Papa, kamu tak usah khawatir. Segala biaya
pendidikan kamu saya yang akan menanggung.
Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia.
Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu
saya.

Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak
mata Tyas berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul
kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi
tinggal di rumah Tyas. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan
sawah, mereka juga merawat nenek Dwi yang sudah tua.

Unsur Instrinsik :
Tema : Persahabatan
Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas
Watak :

Tyas : Suka Menolong


Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain
Papa Tyas : Baik Hati
Mama Tyas : Peduli
Alur : Maju
Latar :
Tempat

Rumah Dwi (Lama)


Rumah Tyas
Rumah Dwi (Di Desa).
Waktu

Siang Hari
Suasana : Mengharukan
Sudut pandang : Orang Pertama
Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan Berbagi
kepada sesame

5. TAKDIR
Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi
tak keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah
menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi
buku yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia
selonjoran di kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya.
Ditariknya foto tu dari dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di
dompetnya. Bodohnya aku! Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun
penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. Iih, Tari
menggumam. Kenapa aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang
bersyukur? Atau, dia yang terlalu seperti anak kecil?
Kenangan itu masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang dikenangnya itu
memberikan surat kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari putus dengannya.
Memang sosok Audra yang seperti anak kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat,
wajahnya yang bersih, dan bertubuh tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit
untuk memutuskan putus atau tidak pada saat itu. Selama ini semenjak putus
dengan Audra, ia sering berkhayal, berkhayal seandainya ia bisa lebih berpikir
dewasa lagi. Namun yang sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
Daripada ia teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending terlintas
kenangannya dengan Audra.:Plak!! Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke
bundanya itu sampai menggerakkan gendang telinganya. Bapak, Bapak! Cukup!

Tari berlari menangis. Tak heran kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya.
Wajah gelisahnya membuat dirinya penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia
termasuk perempuan sabar dan kuat karena ia dapat bertahan dengan kondisin
keluarga seperti itu.
Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang menandakan jam istirahat telah
usai. Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya sampai Yanti sobatnya
itu membangunkannya dari lamunannya.
Tar!
Ei, kowe kok ngelamun aja toh?
Iya nih, lagi pusing aku.
Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.
He, itu itu Audra! Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan
kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak
kemarin ia terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu menampar bundanya
yang tak sengaja mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok dan pulang malam.
Yan, aku tuh udah putus dengannya! Tari menyela sobatnya denan menahan ketawa
sebab melihat wajah Yanti yang berekspresi kayak Aming komedian itu.
Tentu saja Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan
menangisi takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu
bersedih lantaran kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pikirannya
masih melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi kekasihku! pasti
masalahku akan reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya nasibku. Eiiiiihh!!
Teriakannya membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal dari Bejo yang
menepuk bahu Tari.
Tar, hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar! Bejo pura-pura tak ngerti
kesalahannya. Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik, guru
paling killer di sekolah.
Tari! Maju ke depan.
Oh, My God!
Bilang apa kamu tadi ?
Ndak Bu, ndak!
Semua teman Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik
mendengar ketawa mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat
sedang berpikir sesuatu.
Ono opo ya ma Tari ?
Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?

Teman sebangku Yanti dan yang tak lain adalah Audra mencetuskan kata-kata
seperti itu. Dan membuat Yanti terkejut dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua
masih saling suka.
Tapi
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan
menganggu pelajaran Ibu! muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak
habis makan 100 cabe merah keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia
memasak dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet
Untung penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu
menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari, teman-temannya juga
terselamatkan. Karena mereka ingin sekali tak mengikuti pelajaran ini. Tapi begitu
melihat Bu Tartik, akhirnya mereka mengikutinya.
Duduk kamu! Ketua kelas pimpin doa!
Iya Bu. Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari
kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe
kenapa?
Iya, kamu kenapa ?
Oh My God, Audra! Tari yang semula cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra
menghampiri dan perhatian kepadanya.
Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma..
Cuma ngelamunin kamu Dra. Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela
sobatnya.
Bejo! kowe ojo ngono.
Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ? Tari mengalihkan
suasana dan itu berhasil.
Ya uda, aku pulang dulu ya. Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa
membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
Tar, kowe bener-bener pusing ta ?
Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu,
aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.
Ooo, emang kowe tuh!
Eeemang!!! Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera
pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru
berlabelkan AMG(Arjosari-Gadang) itu.
Jam 7 malam
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau
bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman
Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam

sekolah selesai.
Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.
Kamu bisa tunangan dulu dan setelah lulus dari kuliah, kamu baru menikah
dengannya!
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A,
maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat
apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar
Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
Sabar ya anakku, Bunda selalu disini menemanimu. Mereka menangis berdua.
Keesokan harinya Tari tak masuk sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek.
Capek menangis semalaman. Ini merupakan takdir atau hanya kebetulan saja,
Audra juga tak masuk. Entah apa alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu,
ada perbincangan antar keluarga.
Papa, Audra tak mau dijodohkan!
Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu
siap-siap untuk sore nanti!
Pa!!!
Jam di kamar Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan
dilamar. Bun! Aku nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya berwarna putih
jika dipakenya akan pas di badannya yang ramping itu. Bunda, aku mau dengan
perjodohan ini hanya karena agar Bunda tak disakiti Bapak! Tari memperjelas
alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah sedan hijau masuk pelan ke
halaman rumah Tari dan berhenti tepat di depan teras. Bapak menyambut keluarga
itu. Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat murung dan
malas sama seperti Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak mempersilahkan
mereka masuk.
Dibantu dengan bunda, ia segera memakai sepatu highheels warna putih mengkilat
itu dengan buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui
keluarga pelamarnya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka
yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu??
Tari terheran dengannya.
Ya benar, aku Audra! Dia memang Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah
ini? Secara reflek, Tari langsung memeluk Audra dan
Tar,Aku sayang kamu!
Aku juga Dra, aku sayang kamu!

1.Tema:Percintaandantakdir
2. Amanat :

Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.

Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran

3.AlurCampura

4. Setting :
Kamar tari pukul 17.15
Kelas sehabis jam istirahat sekolah
5. Penokohan/perwatakan :

Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.

Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu

Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan

Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi

Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban

Bejo : Usil, medok, nakal

Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer

Papa : Egois

6. Sudut pandang : Orang ketiga

6. Veteran Tua
Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki
itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa
saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah
yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si
petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak
mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil
menyerahkan
kembali
map
merah
milik
kakek.
Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun
ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa
mobil
dan
sepeda
motor.
Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang
kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali
teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua
adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa
lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka digusur polisi
seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit,
sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah
menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek
memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi
basah
dan
rusak.
Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa semakin
lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua
lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan
lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir
kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal
mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang
pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas
hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat
mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang
pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan
rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya.
Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak
punya
nasionalisme,
rakyat
negerinya
atau
para
pejabat
itu?

Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya
kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia
rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah
rakyatnya
berdesakan
di
gerbong
kereta

mati
saat
saat
api?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang.
Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali
mengayuh
sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju
kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya.
Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi
untuk
mengurus
surat
keringanan
ke
ketua
RT
dan
RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan
kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia
tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke
tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi
memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang
berada.
Dokter
pun
menatap
wajah
si
kakek
dengan
mata
berkaca-kaca.
Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak sudah
meninggal sejam yang lalu. Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari
pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si
kakek
pun
sekarang
sudah
tak
ingat
apa-apa
lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin
Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya
lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu
sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak
orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak
yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.

Unsur

Intrinsik

1. Tema

: Perjuangan

2.
Sudut
Pandang

: Orang ketiga

3. Amanat

: Tetaplah sabar dan tetap berjuang sesulit apapun keadaan.

4. Alur

: campuran

Perkenalan : Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa

Penampilan masalah: bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme,


rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya.
Klimaks: Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu

Klimaks : negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang
bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu,
banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk
makan sekali sehari.
5. Latar :

:Tempat: kantor balai desa, emperan toko, rumah sakit.


Waktu: siang hari, jam dua siang.
Suasana: sedih, mengharukan.
6.
Penokohan :

Kakek Tua : pekerja keras, penyabar, ramah.


Istri : setia, penyabar.

7. LIANG HARIMAU

Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang
wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini:
Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tibatiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan,
Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi,
Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena
Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang
sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran,
celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya
yang lusuhterlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang;
cara duduknya yang anehmembungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang
bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang
menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.Dan
memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.Ia
berada pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di
kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah,
tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu
membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di
kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah
empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke
Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau
liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka
urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat
bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti
Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai angker, tetapi bagi urangurang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain
setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala
Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani sembarangan keapalagi
mengganggu diLiang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya
mulai tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung
padi keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar
untuk mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah
kampung-kampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan
kemudian heran, kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan
memakai apa yang disebut orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga,
kenapa para leluhur tak membolehkan mereka bertanam padi dengan cara
bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan

sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari barang pecah-belah; dilarang
memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing; dilarang tidur berbantal dan
bertikar, memakai pici, naik kendaraan.
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang
khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya
akan menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting,
upacara membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap
warga urang Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan
lain yang sangat banyak itudengan mencuri-curimasih bisa dirinya langgar.
Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh
Sadim tak berani.
Ngasep Serang? Upacara apa itu? tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur
Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di
hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena
Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan,
Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah
semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan
diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim
menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalahmasalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian, dan
Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara
adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara? tanya
Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum
musim hujan.
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di
sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus.
Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman
marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, Seluruh alam dan isinya bakal
melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat. Mengincar? Sebelum
pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia
menoleh ke seberang sungaisungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang
Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor
harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!

Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si


majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam
binatang buas termasuk harimau. Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu,
takkan melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka, tambah
Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di
sana. Menatap, bukan hanya nanaptetapi kini bagai mengancam, ke arahnya.
Sungai itu sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada
di ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak
seolah kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak
nyambung, tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa), tanya Kepala
Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang
ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu.
Maung (harimau), jawab Sadim, lirih .
Unsur intrinsic :
1. Tema :
2. Sudut Pandang : Orang Ketiga
3. Amanat : 4. Alur : campuran
klimaks : . Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita
acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan
karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa
Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah
yang ia minta.

5 : Latar: Hutan , Rumah Rasikin , ruang sidang


6.Penokohan: Rasikin : egois ,sombong
Sadim : Jujur

8. Fiction
Saya mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy ,
Gery , Rifki , Irfan dan Riki.
Pada hari Kamis itu kami mendapat tugas dari seorang guru
IPA untuk membuat percobaan tentang Bioteknologi, tetapi kami
tidak mengerjakannya pada hari itu! karna kami mempunyai
kesibukan masing-masing jadi kami mengerjakannya pada hari
rabu pulang sekolah minggu depannya dan itu pun dilaksanakan
bersamaan dengan latihan menari.
Pada awalnya kami akan latihan menari dulu di Sekolah tetapi
karna ada teman kami yang merayakan ulang tahun Rizal(teman
satu sekolah kami) jadi kami ikut merayakannya walaupun
sebenarnya kami hanya ingin merasakan kue ulang tahunnya,
kebanyakan dari kami hanya memakan kue dan lupa member
ucapan selamat terhadap Rizal. Karna keasyikan kami lupa untuk
latihan menari, jadi kami buru buru pergi ke rumah Gery untuk
berlatih tetapi Afif tidak ikut karna ada urusan.
Sesampainya dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak
sambil menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh kami,
Gery pun datang dan membawakan seikat pisang dan sebotol air
dingin, Tidak lama Rifki dan Irfan pun datang kami pun menikmati
makanan itu dengan lahap. Pada saat menikamati makanan itu
RIfki mendapat Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput
didepan komplek karna akan ikut kerja kelompok , karna jarak
dari rumah Gery menuju depan komplek jauh jadi kami
memutuskan untuk menjemput Afif dan pergi ke rumah Rifki yang
jaraknya agak dekat dari depan komplek. Pada saat diperjalanan
saya hampir jatuh dari motor karna jalannya yang berlumpur
karna terkena air hujan, tetapi karna keahlian saya mengnedarai
motor saya tidak jadi jatuh.
Sesampainya di rumah Rifki bersama Afif kami pun beristirahat
kembali di kamar Rifki yang ada di atas kami pun bercakap-cakap

dan ada seseorang yang bicara kepada RIfki ingin memakan


sesuatu, Tidak lama Rifki pun memanggil Ibunya yang ada di
bawah dengan logat sundanya yang khas Mah ieu rerencangan
hoyong tuang, Gery pun berkata Padahal sakalian jeung fantana, Rifki pun berteriak lagi Sakalian jeung Fantana cenah, Kami
pun tertawa karna sebenarnya kami hanya bercanda.
Kami pun pergi kebawah untuk berlatih ,tidak lama Ibu Rifki
dating membawa makanan ,Kami hanya tersenyum malu karna
pada walnya kami hanya bercanda. latihan pun berjalan tidak
terlalu baik karna kami tidak hafal gerakannya. tiba tiba hujan
turun ,kami pun kaget karna kami belum mengerjakan tugas
Bioteknologi,terutama Afif karna ia juga harus les, jadi pada saat
hujan mereda kami mengantar Afif untuk les dan lekas pergi ke
rumah kenalan Rifki yang mempunyai usaha membuat Roti
rumahan untuk meminta bantuan.
Pada saat diperjalanan hujan pun turun kembali kami akhirnya
berteduh di sebuah saung yang tidak jauh dari tempat pembuat
roti. Rifki dan Irfan memutuskan untuk pergi ke rumah pembuat
roti itu agar tugas cepat selesai jadi saya , Cepy , Gery dan Riki
pun menunggu di saung yang juga adalah tempat ronda,. setelah
beberapa menit Rifki dan Irfan pun keluar menghampiri kami
pada saat hujan gerimis ,kami menyangka semuanya telah
selesai ternyata masih ada proses untuk meng-oven roti,ternyata
dirumah itu hanya membuat adonan saja dan nanti akan di oven
di toko kecil yang agak jauh dari tempat itu.kami pun pergi walau
hujan gerimis,pada saat sampai di took Rifki mengusulkan agar
roti dibentuk kata kata 9F kami pun setuju ,tetapi Riki
mengusulkan kata kata 9Fiction yang artinya 9 Fiksi saya tidak
tau mengapa ia ingin kata kata itu tetapi kami menyetujuinya,
karna Rifki takut hujan semakin membesar ia menyuruh kami
untuk pulang dan sisanya ia yang mengerjakan,kami pun
menyetujuinya karna memang langit semakin gelap.

Keesokan harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9FICTION sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami.
akhirnya kami mendapat nilai tertinggi dari Guru atas hasil karya
kami..

Unsur intrinsic :
1.Tema : Usaha , Pertemanan
2. Sudut Pandang : orang pertama
3. Amanat : kebersamaan adalah hal yang paling indah.
4. Alur : maju
perkenalan : Saya mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery ,
Rifki , Irfan dan Riki.
penampilan masalah : kami tidak mengerjakannya pada hari itu! karna kami
mempunyai kesibukan masing-masing
Klimaks : lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi
anti klimaks : Sesampainya dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak sambil
menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh kami
klimaks: RIfki mendapat Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput didepan
komplek karna akan ikut kerja kelompok
anti klimaks: beristirahat kembali di kamar Rifki yang ada di atas kami pun
bercakap-cakap
penyelsaian : Keesokan harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9-FICTION
sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami. akhirnya kami mendapat nilai
tertinggi dari Guru atas hasil karya kami..
5. Latar : sekolah , rumah Rifki , Rumah Gery
6. Penokohan :
afif : Baik

Aughy : Baik
Cepy : Baik
Gery : Baik
Irfan : Baik
Rifki : Baik dan Humoris
Riki : Baik

9. BANGKIT
Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian
malam. Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari
ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena
tak lulus, belum lagi si adik yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan,
sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku
walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi.
Sakit memang putus cinta.
Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-ngiang
merobek otak ku.
sudah sana Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah caramu, oke aku
ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini. beberapa kata yang sempat masuk ke
hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya.. seorang pemabuk
dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya
sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya. ini ambil semua.. Aku tak
butuh semua ini. Aku hanya ingin mati! Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan
senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir
airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap
langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan
menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku
perlahan mengangkat kaki kananku dan?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar pipiku
kuat, keras sekali tamparannya
ini uang dan tas mu!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah
sepertimu ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah
Dan ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi,
pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus
sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.
boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu. Aku berdiri di
sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.
kenapa kamu menamparku..?
Kenapa kamu menolongku?
Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan tuduhan yang tak
jelas, aku memulai pembicaraan.

Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. apa kamu akan terdiam atau aku
telah mengusikmu?. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas
tercium saat ia bicara maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah,
masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia
berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding
karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di
potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh
nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku
tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari
tempat lain yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku
tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku
mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu
jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.Ia terdiam dan mengalihkan
pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut
terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di
posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku
hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi
ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta,
selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa
yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih
karena aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya
yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. ambil lah.. Aku tak mengenalmu
tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan
nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena
cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama, rasa
sakitku. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali
langit yang menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan
berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar
banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping
mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.maafkan aku sayang, ternyata aku yang
salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan
bunga dengan sebuah diary usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku
bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya
lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum
senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku
banyak hal. Khususnya arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari
namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku
untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan ini harus
berakhir
Tamat
1. Unsur Intrinsik cerpen Bangkit
1.Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan
2.Latar:
-Waktu : Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
-Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan
Bukti : Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku.
-Suasana : Sunyi sepi
Bukti : Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.
3. Alur : Maju
-Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan
masalah sampai ke
konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
4.Penokohan :

- Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh


Bukti :
Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.
Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya.
-Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup
Bukti :
seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan
Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja
itu sulit.
5.Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.
-Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti aku sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang
dirinya sendiri.
6. Nilai :
-Nilai Moral : Saat tokoh aku menyadari selama ini hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang
tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa yang telah kita miliki tidak hanya
menuntut sesuatu karna diluar sana masih banyak orang yang kekurangan.
-Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang keras. Di kehidupan nyata
banyak orang yang melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup
di dunia yang keras ini.
-Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh aku yang akan terjun dari jembatan.
Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah kita seharusnya membantu
mereka tidak membiarkannya.
7.Amanat :
a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.
b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.
c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
d. Jangan lari dari permasalahan.
e. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
f. Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit

10. Perjalanan Terindah


Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul
Sang Pemimpi. Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam
menunjukkan pukul 03.00. Aku tetap terbaring, bukan berarti malas. Kuhayati setiap lirik musik
yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat
itu. Musik reff terdengar, semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun dan langsung kubuka
jendela kamarku. Angin pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Bibir ini
berbisik, ucapan doa tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak kukenal.
Aku siap melewati hari ini.
Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur. Hari ini
hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis. Ku
tersenyum pada ibu, kuteruskan langkahku untuk membasuh muka, menyegarkan wajah kusutku
seusai bangun tidur. Berdua saja kami duduk di depan meja makan, aku dan ibuku.
Sudah siapkah semua barangnya, Nak? tanya ibuku.
Tentu saja sudah, Bu. Tinggal berangkat saja, jawabku.
Hati-hati ya kalau sudah di sana. Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa ucap ibuku,
sedikit khawatir.
Tenang saja, Bu. Lily bisa jaga diri kok, insya Allah, ujarku.
Baguslah kalau begitu. Seusai shalat subuh, ayah akan langsung mengantarmu ke
stasiun.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kulanjutkan membereskan apa saja yang harus
ku bawa. Aku mungkin terlalu keasyikan, setelah shalat subuh aku malah terdiam dan merenung.
Bersama kesunyian aku membayangkan, mimpiku ternyata bisa terwujud. Dengan keadaan
keluarga yang apa adanya, aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Di dalam
lamunanku, aku terkejut.
Neng! ucap ayahku dengan kerasnya.
Iya Ayah? jawabku kaget.
Ayo, sudah pukul lima. Nanti terlambat masuk kereta ucap ayahku cemas.
Oh, baiklah Ayah.
Dengan menaiki motor yang begitu khas suaranya, kami mulai berangkat. Ibu tak ikut
mengantarku, katanya dia harus menjaga rumah. Lagipula tak bisa bila harus menaiki motor
dengan tiga orang penumpang sambil membawa barang yang cukup banyak, sungguh hal yang
mustahil.

Jaga diri baik-baik, Nak. Banyak berdoa. Tetap semangat, jangan lupa ibadahnya,
nasehat dari ibuku.
Baik, Bu. Doakan saja Lily semoga semuanya bisa barakah bagi kehidupan Lily
ucapku, dengan mata yang cukup berkaca-kaca.
Iya, Nak. Ibu pasti akan selalu mendoakanmu. Kalau begitu lekaslah, takut ketinggalan
kereta, ucap ibuku dengan air matanya yang menetes.
Kalau begitu kami berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum, ucap ayahku.
Waalaikumsalam, jawab ibuku.
Aku pun bersalaman dengan ibu, begitupun ayah. Air mata membasahi pipi ibu. Aku
mengerti, memang seperti itulah perasaan seorang ibu. Air mataku pun ikut terjatuh, hatiku luluh.
Segera ku bergegas menaiki motor sambil menghapuskan air mataku. Begitu dinginnya subuh
itu. Namun untungnya aku tetap merasakan kehangatan, dari jaket pemberian ibuku dan dari
hangatnya punggung ayahku.
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku,
membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdoa di jalan.
Musafir doanya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai. ucap ayahku dengan
lembutnya.
Baik, Ayah. Doakan Lily ya, ucapku tersenyum, namun dengan air mata yang menetes.
Ayah mengangguk. Aku masih tetap tersenyum. Tepat saat itu, kereta mulai berjalan. Aku
pun masuk, kucari tempat duduk yang masih kosong, tepat di pinggir jendela. Kulihat ayahku
masih berdiri, menunggu keberangkatan kereta hingga sampai jauhnya. Aku masih tetap
tersenyum bersama linangan air mata. Ayahku, ibuku, dan juga desa yang kucintai ini pasti akan
amat kurindukan. Di dalam hati aku semakin bertekad, aku harus bisa menggapai cita-citaku
dengan baik. Ikhtiar dan doa, sudah pasti harus selalu kulakukan.
Perjalanan di dalam kereta memang amat membuatku nyaman, menurutku. Apalagi
dengan duduk tepat di pinggir jendela. Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu
sudah sangat cukup untuk menyegarkan penglihatan ini. Asri, indah nan permai. Inilah salah satu
tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta.
Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat
tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru,
bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
Maaf Mba, bisakah Anda menyingkir dulu dari sini?, ucap seorang lelaki berbaju
merah dengan celana jinsnya yang begitu rapi, ditambah dengan sepatu ala boybandnya
berwarna matching dengan kaos merahnya. Aku sedikit ilfeel dengan gayanya saat berbicara itu.
Ditambah gaya pakaiannya yang seperti orang kota. Memang tampan, namun raut wajahnya
seperti orang yang angkuh. Itulah pemikiranku, sebagai seseorang yang sederhana.
Kalau ga mau, gimana?, ucapku sinis.
Maaf mba, hati-hati kalau berdiri di situ, berbahaya.
Aku terdiam. Di hatiku terjadi perdebatan. Aku menganggapnya orang kota yang angkuh,
namun setelah kulihat ternyata ucapannya terasa lembut. Aku bingung, namun saat itu aku lebih
memilih sinis kembali padanya. Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan
terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila
dia memang berlaku baik padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang
dikatakan orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-

laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati
seorang wanita.
Lelaki itu berkata Maaf mba, berbahaya berdiri di situ, saya hanya memberi tahu.
Lagipula...., aku memotong ucapannya.
Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat
Mas! ucapku semakin sinis.
Tapi mba..
Tapi apa? Jangan paksa saya dong! ucapku dengan lebih sinis lagi.
Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi..., ucapannya dipotong lagi
olehku.
Tapi apa? sentakku. Aku tahu ini tidak baik, tapi aku tetap pada pendirianku yaitu
berlaku sinis kepada laki-laki, apalagi yang belum kukenal.
Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh
teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di
situ, ucapnya dengan sopan.
Aku cukup malu sebenarnya. Dia begitu lembut padaku, tapi aku malah menyentaknya.
Akupun melangkah menjauhi pintu kereta itu dan kembali ke tempat dudukku. Dia pun melewat.
Makasih, Mba ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Aku tersenyum kecil. Aku pun melangkah, dalam hati aku masih ingin tetap berdiri di
sana. Kutengok ke arah belakangku, kulihat lelaki itu malah berdiri di tempat dimana aku berdiri
tadi kemudian tersenyum. Aku sedikit kesal, kemudian akupun menghampirinya.
Katanya mau lewat, nyatanya kamu malah berdiri di situ! teriakku padanya.
Oh, iya maaf Mba. Cuma mau berdiri sebentar, sekarang pun mau ke gerbong sebelah.
sekali lagi maaf ya, Mba ucapnya dengan begitu ramah. Dia pun berjalan meninggalkan
gerbong yang ku tempati, menuju gerbong sebelah. Aku terdiam. Aku pun berdiri kembali di
pintu kereta sambil melihat pemandangan dari setiap jalan yang kulewati. Akupun dapat
tersenyum kembali dengan melihat semua itu.
Dari pagi sampai siang, gerbong yang ku tempati memang penuh. Namun ternyata lamakelamaan, penumpang satu persatu turun dari kereta. Gerbong mulai kosong, maklumlah
memang tujuan yang ku tuju adalah stasiun pemberhentian akhir, jadi aku harus tetap duduk di
kereta hingga stasiun akhir, yaitu di Malang. Cukup sepi juga. Aku masih tetap asik melihat
pemandangan sambil duduk di kursi dekat jendela kereta. Aku merenung dan terkadang
tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah tadi, duduk di dekat pintu gerbong
sambil memegang kamera SLRnya. Dia memotret segala yang ada di sekitarnya, dan dia seperti
memotret ke arahku. Rasa suudzon mulai muncul kembali di dalam hatiku, sepertinya dia hendak
mengambil fotoku. Bagaimana bisa aku membiarkan seseorang yang tak kukenal mengambil
foto wajahku. Aku pun beranjak dari tempatku, dan langsung menghampirinya.
Kamu mengambil foto-fotoku? Buat apa, kamu orang asing, berani-beraninya
mengambil fotoku! ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dia hanya terdiam. Aku pun
merebut SLR di tangannya. Kulihat foto-foto yang tadi dia ambil. Ternyata bukan fotoku, ada
beberapa foto yang kulihat dan itu adalah foto-foto pemandangan di sepanjang jalan yang telah
dilewati. Seketika itu dia merebut kembali SLRnya dengan wajah yang sinis. Aku amat tak
berkutik waktu itu. Dia sepertinya kesal padaku. Aku terdiam, aku merasa amat bersalah.
Maaf, Mas, ucapku. Tanpa melihat wajahnya, aku langsung berlari ke tempat dudukku.
Aku malu. Mengapa aku harus suudzon kepadanya, ditambah lagi kejadian tadi pagi saat aku
menyentaknya. Semakin ku mengingatnya, semakin ku merasa bersalah padanya. Perjalanan

masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar. Kereta berhenti di
sebuah stasiun, menunggu penumpang yang akan segera masuk. Sesekali pengamen dan juga
para pedagang masuk. Seorang anak kecil datang menghampiri penumpang dan memberikan
amplop yang bertuliskan sesuatu.
Bapak/Ibu, mohon kasihani kami. Kami belum makan, kami lapar. Mohon minta keikhlasannya.
Semoga amalan Bapak/Ibu diterima di sisi Allah, Amin.
Itulah kata-kata yang tertulis di amplop itu. Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya
kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja,
mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka
berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku
tersentuh melihat anak kecil itu.
Sesekali aku melihat ke ujung kereta, duduk seorang lelaki berkaos merah tadi. Teringat
kembali rasa bersalahku tadi. Aku hanya diam. Walaupun begitu, aku masih tetap saja ingin
berdiri di dekat pintu kereta. Akupun berdiri kembali di sana, di dekatku duduk lelaki itu. Namun
dia tidak menolehku sedikitpun, dia sepertinya marah padaku.Aku pun memakluminya bila dia
bersikap seperti itu padaku. Handphone ku bergetar, ku kira ada telepon dari ayah atau ibu,
ternyata hanya sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali, aku lupa tidak mengisi pulsaku,
jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tuaku.
Aku kembali merenung, melamun. Itulah kebiasaanku di waktu senggang, memikirkan
berbagai hal, memberaikan segala fantasi yang ada di benakku. Aku terkejut. Lelaki berkaos
merah itu menghampiriku dan langsung membawa handphone yang ku pegang. Dia berlari
keluar dari gerbong kereta. Aku refleks mengejarnya keluar. Dia tersenyum. Aku kelelahan,
sambil berlari aku berteriak.
Hey kamu! Kembalikan handphoneku! Mau kau apakan handphoneku. Heyy!. Dia
menoleh, kemudian tersenyum kembali. Sini saja ambil, kejar dong!.
Aku cape! Kamu siapa sih! Tolong jangan ambil hp itu. Aku masih memerlukannya
untuk menghubungi keluargaku. Heeeeey!, teriakku dengan lebih kencangnya lagi.
Dia malah berlari semakin kencang. Apa boleh buat, akupun harus berlari dengan
kencang pula. Tapi jangan diremehkan, akupun bisa berlari dengan kencang, maklum juara
estapet se-kecamatan pada saat sd. Aku semakin sulit mengejarnya. Aku tak tahu seberapa jauh
aku berlari, yang pasti aku harus mendapatkan handphoneku. Di suatu tempat dia berhenti. Aku
menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah.
Kok berhenti! Kenapa gak lari lagi aja sih sekalian! Puas kan! teriakku dengan begitu
kerasnya.
Santai aja, Mba. nih Hpnya, ucapnya sambil tersenyum.
Loh, maksud kamu apa sih! Bawa hp saya, terus sekarang dikembalikan lagi. Ga ada
kerjaan ya emangnya ......, ucapanku berhenti. Dia memegang dahuku, dan mengarahkannya ke
segala arah di sekitarku. Dia pun tersenyum. Seketika aku berkata, Subhanallah.
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang
penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas.
Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan
atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna
yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu
membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat. Setelah itu aku teringat kembali akan suatu
hal.
Mengapa kau membawaku kemari, Mas? tanyaku pada lelaki berkaos merah itu.

Sudahlah, tak usah banyak tanya. Nikmati keindahan dari Sang Pencipta ini, ucapnya
sambil tersenyum.Dia memegangku dan membawaku lari. Dia tertawa, akupun tertawa. Aku tak
tahu pasti mengapa aku tertawa, mungkin karena di dalam hati kecilku tumbuh perasaan yang
amat membahagiakan. Dia membawaku berlari di sekitar taman, memetik banyak bunga yang
berwarna-warni.
Tunggu, Mas. Saya belum shalat. Bisakah kita shalat dahulu, ucapku.
Astagfirullohaladzim, saya pun lupa Mba. Baiklah kita shalat terlebih dahulu. Di sekitar
sini ada mesjid, ucapnya dengan raut wajah yang menyejukan hati.
Kami berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan pohon. Daun beguguran diterpa
angin yang bertiup dengan begitu lembutnya. Kesejukan hati ini amat dapat kurasakan. Beberapa
menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid. Subhanallah, mesjid yang megah dan
indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Quran, ada yang sedang
duduk beristirahat, dan masih banyak lagi. Kami pun shalat berjamaah di sana.
Seusai shalat, kami berjalan-jalan kembali. Sesekali kami membeli dagangan yang ada di
sekitar taman, seperti es krim, roti bakar, dan yang lainnya. Tempat singgah yang terakhir yaitu
di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk bersama.
Mengapa kau mengajakku kemari? tanyaku padanya.
Tak apa, aku hanya ingin merasakan bisa dekat denganmu saja, jawabnya.
Memangnya mengapa? Kau tak mengenalku bukan?, tanya ku kembali.
Tentu saja tidak. Tapi saat aku melihat wajahmu, sepertinya ada suatu hal yang
kurasakan. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, jelasnya.
Memangnya perasaan apa? Kamu itu memang aneh ya, ujarku.
Ternyata kamu itu bawel ya. Tapi bikin asyik juga ucapnya tersenyum kembali.
Maaf ya atas perlakuanku tadi, ucapku menyesal.
Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau
kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila
mengingatnya, ujarnya.
Yah, gausah ngegombal lah. Eh iya, aku hampir lupa. Aku kan sedang dalam perjalanan
menuju Malang. Ya Allah, tasku masih di dalam kereta. Pasti kereta telah meninggalkanku sejak
tadi! Astagfirullohaladzim, ucapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku pun berlari
meninggalkan lelaki itu. Dia memegang tanganku.
Tak usah terburu-buru. Kamu masih punya waktu sekitar satu jam lagi ucapnya seakan
menghiburku.
Satu jam lagi? Bagaimana bisa? Kereta pasti sudah berangkat dari tadi! ucapku dengan
nada cukup tinggi.Memang sudah berangkat ujarnya malah tersenyum.
Terus, aku gimana? Ini dimana? Bagaimana aku bisa sampai ke Malang. Ditambah lagi
barangku masih ada di kereta. Aku mau ke stasiun sekarang.
Akupun berlari meninggalkannya. Dia mengejarku, aku berlari lebih kencang lagi sambil
menangis. Aku takut, aku takut tak bisa sampai menuju cita-cita yang kutuju. Lelaki berkaos
merah itu berhasil mengejarku.
Mau kemana, Mba? ucapnya khawatir.
Tentu aku mau ke stasiun. Aku mau ke Malang. Kamu siapa berani mencegahku? Kamu
mau menculikku? teriakku padanya.
Ya Allah Mba. Sabarlah dulu, ucapnya semakin khawatir.
Maaf Mas. Aku ketakutan, ucapku kemudian terdiam.
Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba, ujarnya. Aku terdiam.

Jangan khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang
akan dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun. Untuk
sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai. Saya takut
terjadi apa-apa pada Mba, jelasnya dengan penuh perhatian.
Benarkah?, ucapku. Dalam tangisku aku tersenyum. Dia sungguh lelaki yang baik. Aku
tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman dengannya. Dia hanya mengangguk, setelah itu
kami berjalan-jalan kembali ke tempat yang lebih menakjubkan lagi. Hingga akhirnya, jam
menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
Terima kasih ya Mba atas hari ini, ucapnya dengan wajah yang berseri-seri.
Justru aku yang berterima kasih. Maaf telah merepotkanmu, ucakpku.
Dia tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil. Aku berdiri di pintu kereta. Perlahan
kereta berjalan. Dia memberikan sehelai amplop, entah berisi apa. Senyumnya melebar. Aku
semakin menjauh darinya. Seketika aku lupa menanyakan suatu hal. Siapa namamu? teriakku.
Dia menjawab, namun tak terdengar olehku. Yang ada hanyalah tersirat senyum manis di
bibirnya yang seakan terus mengikutiku saat di dalam kereta kemudian merasuki fikiranku. Aku
melangkah menuju kursi dekat jendela kereta. Kubuka amplop yang dia berikan. Isi dari amplop
itu adalah foto-fotoku saat berdiri di dekat pintu kereta. Ternyata memang benar, dia mengambil
foto-fotoku. Aku tersenyum. Aku bisa merasakannya, merasakan kehangatan tangannya, lembut
suaranya, dan senyuman menawan di wajahnya.
Perjalanan ini akan selalu kuingat, perjalanan terindah di dalam hidupku. Sejak saat itu,
aku semakin merasakan indahnya hari-hariku. Aku tak tahu dia ada dimana. Yang pasti, untuk
saat ini yang harus aku lakukan adalah menggapai cita-citaku. menjadi kebanggaan orang tuaku
dan dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku yakin, suatu saat dia akan datang kembali. Entah
kapan, tinggal menunggu waktu yang tepat dari Sang Pencipta. Inilah keyakinan hatiku. Semoga
kita dapat bertemu kembali, dengan kisah yang indah dan diridhai olehNya, semoga...

Unsur-unsur Intrinsik
1. Tema
2. Alur

: Cinta / Kasih Sayang


: Maju

Karena peristiwa yang terjadi pada cerpen tersebut berjalan sesuai urutan waktu yang maju tanpa
adanya cerita tentang peristiwa dio waktu yang sebelumnya/ yang pernah terjadi sebelumnya.
3. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama
Karena tokoh yang ada pada cerpen tersebut berperan sebagai aku yang merupakan tokoh
utamanya.
4. Penokohan :
Adapun tokoh serta wataknya yang terdapat pada cerpen tersebut adalah.
Lily, dengan watak: baik/ solehah, keras kepala, terkadang mudah marah, selalu bersikap
suudzon.
Watak tersebut dapat dilihat pada beberapa kutipan cerpen sebagai berikut:
Hari ini hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan
kamis.

Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati
orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik
padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan orang-orang di
sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang terlihat angkuh
namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati seorang wanita.
Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu
banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak
mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka
membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.
Kalau ga mau, gimana?, ucapku sinis.
Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat Mas!
ucapku semakin sinis.
Tapi mba..
Tapi apa? Jangan paksa saya dong! ucapku dengan lebih sinis lagi.
Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi..., ucapannya dipotong lagi olehku.
Tapi apa? sentakku.
Ibu, dengan watak perhatian dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari salah satu kutipan isi cerpen yaitu berupa
dialog:
Hati-hati ya kalau sudah di sana. Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa ucap ibuku, sedikit
khawatir.
Ayah, dengan watak lemah lembut dan penyayang.
Watak tersebut dapat dilihat dari salah satu kutipan dialog cerpen yaitu:
Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdoa di jalan. Musafir
doanya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai. ucap ayahku dengan lembutnya.
Lelaki berbaju merah, dengan watak lemah lembut, penyayang, murah senyum, sopan
santun dan romantis.
Watak tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan cerpen sebagai berikut:
Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman
saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ,
ucapnya dengan sopan.
Makasih, Mba ucap lelaki itu sambil tersenyum.

Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal
padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila
mengingatnya, ujarnya.
Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba, ujarnya. Aku terdiam.
Jangan khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan
dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun. Untuk
sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai. Saya takut
terjadi apa-apa pada Mba, jelasnya dengan penuh perhatian.
5. Latar/ setting :
a. Tempat
Di kamar, sesuai dengan kutipan:
Ku terbangun dan langsung kubuka jendela kamarku.
Di ruang makan, sesuai dengan kutipan:
Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur.
Di stasiun kereta, sesuai dengan kutipan:
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku,
membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
Di taman bunga, sesuai dengan kutipan:
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh
dengan bunga.
Di mesjid, sesuai dengan kutipan:
Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid.
Di bawah pohon, sesuai dengan kutipan:
Tempat singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan
sederhana, kami duduk bersama.
b. Waktu
Dini hari, sesuai dengan kutipan:
Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul
03.00.
Pagi hari, sesuai dengan kutipan:
Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan
penglihatan ini.
Siang hari, berdasarkan kutipan:
Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar.
Sore hari, berdasarkan kutipan:
Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
c. Suasana
Sunyi, sesuai dengan kutipan:

Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang
Pemimpi.
Nyaman, sesuai dengan kutipan:
Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat
dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku,
menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku
terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang
beterbangan semakin memperindah suasana ini.
Indah, menakjubkan, sesuai dengan kutipan:
Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan
atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan
warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu
membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
Ramai, sesuai dengan kutipan:
Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang
membaca Al Quran, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
6. Gaya bahasa : hiperbola
Gaya bahasa yang digunakan kebanyakan berupa gaya bahasa hiperbola, karena terdapat
banyak kata yang sekan-akan dilebih-lebihkan agar terasa lebih dari biasanya, contohnya dari
beberapa kutipan yaitu
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh
dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku
tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas
segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna
yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu
membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
7. Amanat
:
Jangan berprasangka buruk terlebih dahulu kepada orang lain sebelum kita mengetahui
kebenaran yang sebenarnya dari orang tersebut.
Dalam cerita ini diceritakan, Lily merasa bahwa lelaki berkaos merah itu orang yang angkuh
akan tetapi setelah dekat dengan laki-laki tersebut, barulah dia merasa bersalah karena
prasangka buruknya itu ternyata salah.
Jangan mudah marah kepada seseorang.
Diceritakan pada cerpen tersebut bahwa Lily selalu mudah marah kepada lelaki yang ia temui
di kereta. Pada akhirnya, kemarahan hanya dapat membuatnya merasa malu dan merasa
bersalah.

Syukuri segala kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah.


Di dalam cerpen tersebut mengingatkan kita akan kekuasaan Allah yang ada di bumi. Kita harus
bisa menyukurinya karena kekuasaan itu merupakan suatu keindahan yang dapat kita rasakan
secara langsung.
Urusan cinta, hanya Allah yang tahu. Kita tidak tahu kapan cinta itu akan datang, namun kita
harus percaya bahwa suatu saat Allah akan menunjukan jalanNya yang indah dalam menunjukan
cinta itu. Tinggal keyakinan dan kesabaran yang harus dimiliki.
Dalam cerpen tersebut, di akhir cerita tersirat bahwa Lily pada akhirnya harus berpisah dengan
sseorang yang dikaguminya. Walaupun begitu, dia yakin bahwa suatu saat cinta itu akan datang
kembali. Yang penting, cita-cita dan mimpi-mimpi indah kita harus bisa kita capai.

Anda mungkin juga menyukai