Anda di halaman 1dari 6

TIANG-TIANG JEMBATAN TUA

Kalau orang bertanya apa pekerjaanku, aku bisa membungkam seseorang dengan
mengatakan bahwa aku seorang wanita mandiri dan pekerja sosial. Orang yang mengerti
akan mengangguk meskipun aku yakin di dalam hatinya, mereka akan sibuk mengukur-
ukur besar pendapatan yang kuterima dan sadar bahwa "sosial" adalah sebuah istilah
yang lebih sopan dari pada mengatakan bahwa aku "tidak bergaji."
Aku bekerja di sebuah LSM berbasis kesehatan mental. Teritori tugasku adalah
mengampanyekan gerakan anti-menghakimi terhadap setiap tindakan bunuh diri yang
dilakukan orang-orang.
Sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di dunia ini, aku sadar bahwa uang
makanku juga bergantung pada seminar dan event atau pada titik tertentu, aku memilih
untuk kelaparan. Namun, bisa kupastikan. Aku tidak pernah menguap dengan perut
kenyang di balik meja kerjaku dan pada waktunya menerima gaji. Aku juga punya
teman-teman yang baik. Sebuah konstelasi yang disatukan oleh pemikiran bahwa orang
tidak boleh hidup tenang hanya dengan memikirkan perutnya sendiri.
Masih banyak kelancangan yang harus kami bungkam. Aku tidak merasa hebat
tetapi setiap kali orang bertanya, aku dengan senang hati mengatakan bahwa
pekerjaanku berhubungan dengan nyawa seseorang dan tentangnya tak ada uang yang
sanggup mengukur nilainya.
Benar memang. Tidak ada manusia yang sepenuhnya bahagia dengan apa yang ia
dapat. Ketidakpuasan adalah ekor dari setiap kepuasan. Seperti saat kami berhasil
menyelenggarakan event bertema kesehatan jiwa dan mengumpulkan lebih dari 1000
partisipan, tetapi, pada sesi evaluasi kami menyesal karena mereka yang harus kami
dekati kenyataannya tak sesedikit itu, dan dalam istilah kami, kami menyebutnya siaga
satu.
Namun, sejauh ini aku menyukai pekerjaanku dan aku bersumpah bahwa aku
bersungguh-sungguh ketika melakukannya. Aku juga bergabung dalam seminar-seminar
yang berkaitan dengannya, mendengarkan para psikiater dan psikolog yang diundang itu
berbicara mengenai jiwa. Ya. Jiwa seseorang. Betapa itu bisa jauh lebih kuat daripada
bobot tubuhku sendiri dan di sisi lain dapat sangat lemah seperti sepotong kapas.
Aku dan rekanku yang lain juga sering mengundang para psikater itu ke acara-
acara yang kami adakan dan merasa ironis sebab masih banyak telinga yang terpanggil
karena masalah yang sama. Dunia ini gila. Orang menjadi depresi. Namun, alih-alih
menunjukkannya dengan memakai pakaian compang-camping dan berbicara kalimat-
kalimat ngawur, orang zaman ini lebih memilih tersenyum dan berkata "aku baik-baik
saja".
Bidang tugasku bukanlah tentang melarang atau mencegah seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Itu dilakukan oleh rekanku yang lain. Aku adalah orang yang
dengan getol melarang lingkungan sekitarku untuk berdecak heran di depan jenazah
orang-orang yang mati karenanya, menyuruh mereka tutup mulut atau mengerjakan
kesibukan lain yang sekiranya dapat menjauhkan mereka dari gosip tak beradab.
Aku merasa penting untuk berbicara selagi masih ada orang-orang di sekitarku
yang mengucapkan kalimat klise nan bodoh seperti "Kasihan. Gadis cantik itu
mengakhiri hidupnya dengan jalan seperti itu".
Aku marah. Setiap jiwa berharga tak peduli yang jatuh dari ketinggian jembatan
atau yang meminum racun itu adalah model atau pengemis. Orang berpikir bahwa
bunuh diri adalah tindakan bodoh yang merugikan banyak pihak, tanpa memedulikan
ranjau di sekitar korban semasa ia hidup, yang memicunya untuk sampai pada
keputusan itu. Singkatnya, aku mau orang-orang tahu bahwa bagi setiap korban, bunuh
diri sebagai jalan pintas yang buruk juga merupakan pilihan terakhir yang terselip di
dalam akal mereka.
“Akal orang yang tidak dibebani dengan tekanan seperti udara segar di puncak
bukit. Kau tidak perlu pintu sebab semua sisinya telanjang tak berbatas, dan
keterbukaan itu menyajikan begitu banyak pilihan untuk tetap hidup. Sementara akal
orang-orang yang putus asa serupa lemari yang terkunci. Kecil, sempit, tidak bisa
terbuka,” kataku dalam sebuah wawancara di radio.
Keluargaku, seperti juga keluarga-keluarga lain di lingkunganku, mencecarku
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai pekerjaanku, posisiku di dalam LSM tempatku
bekerja atau lebih tepatnya mengabdi, apa yang kulakukan, dan apakah itu bisa
dikatakan sebuah progres. Pertanyaan terakhir itu menurutku bodoh. Lalu, percakapan
itu akan mengalir ke perbandingan-perbandingan yang lain. Bagaimana anak si A telah
lulus ujian pengacara, bagaimana sepupuku yang B baru saja disahkan sebagai Briptu,
atau tentang seorang teman masa kecilku yang kabarnya telah membuka sebuah toko
kue yang terkenal di pusat kota dan bahagia bersama keluarga kecilnya.
Keluarga kecil? Aku bahkan baru putus dua minggu lalu dari seorang bankir yang
sering berurusan denganku terkait rekening-rekening LSM hanya karena dia berpikir
pekerjaanku membuang-buang waktu.
“Teman kuliahmu? Siapa namanya? Si Rani itu? Kudengar dia melanjutkan S3-nya
di Amerika?”
Aku tak masalah. Kata-kata itu seolah-olah menjelma daging yang menebalkan
daun telingaku. Sungguh. Semua itu tak ada masalah jika saja ayahku tidak semakin
jarang bergabung di acara-acara keluarga atau ibuku yang selalu menunduk setiap kali
mereka mulai melempar pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mereka memojokkan ibu
dengan mencoba membanding-bandingkan nasib orang yang mereka kenal denganku
lalu tertawa-tawa, menggamit tangan ibuku sambil mengklaim bahwa semua itu hanya
lelucon.
Kuakui. Aku bukan anak yang bisa membeli jam tangan saat hari ulang tahun
ayahnya atau bahkan sebotol minyak pelumas untuk mesin jahit ibunya. Aku bukan
tante yang mengajak ponakan-ponakanku membeli mainan sesuka hati mereka dengan
kartu kreditku, sementara aku menunggu di kafe sambil menyeruput secangkir kopi.
Aku orang yang mengingatkan orang lain untuk tidak sembarangan bertanya kepada
orang tua atau keluarga korban tentang bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang
meninggal akibat bunuh diri.
Teman-temanku perlahan-lahan menjauh sebab mereka merasa bahwa berada di
dekatku sama seperti berada di sekitar kematian. Sangat sering yang kubahas adalah
tentang para korban bunuh diri yang memang menjadi job desk-ku.
“Hasnah, 35 tahun, ibu rumah tangga biasa. Pasca kematian anak sulungnya,
Hasnah mengakhiri hidupnya dengan membungkusi wajahnya sendiri dengan sebuah
plastik hitam. Ia mati kehabisan napas,” kataku suatu hari di acara reuni kecil-kecilan.
Menarik. Salah seorang dari mereka akhirnya memutuskan untuk meladeni
topikku.
“Menurutku, Hasnah terlalu rapuh. Kalau seperti katamu, ia bunuh diri karena
anaknya yang sulung meninggal, dia masih punya anak lain untuk diurus, kan?”
Kelancangan yang sama. Lagi.
“Mungkin lebih tepatnya, untuk dicintai,” balasku. “Dengar. Ini wanita yang tidak
pernah bergulat dengan buku-buku filosofi. Ibu rumah tangga biasa yang tidak pernah
mengatakan 'aku mencintaimu' kepada suaminya. Ini wanita yang bahkan
pernikahannya hampir tidak didasari oleh cinta. Kau mungkin familiar dengan kondisi
di mana chat-mu dibalas dengan emotikon hati atau kue tar mahal di setiap perayaan
hari jadi. Tetapi, cobalah berpikir dari sudut pandang sepasang manusia yang menikah
karena dihantui usia, orang-orang desa sederhana yang bahkan menabukan pengakuan
bahwa seks bisa saja menjadi peretak hubungan.”
“Calm down, Sis,” kata seorang temanku yang lain.
“Aku tenang. Sungguh, tetapi, pembicaraan ini haruslah diluruskan. Anggaplah
aku pengacara bagi orang-orang mati itu dan sekarang aku mau kalian mendengarkan
ini. Ini mungkin pembicaraan terakhir kita sebab kalian terlalu takut untuk berbicara
tentang kematian dan aku tahu setelah ini kalian akan membuat-buat alasan agar bisa
mencoretku dari daftar perkumpulan ini.”

Aku memandang mata mereka satu per satu dan seorang pelayan yang sedang
meletakkan gelas berisi jus di meja lain pun berhenti untuk mendengarkan lanjutan
kalimatku.
“Kalian tahu? Hasnah mati sebab ia tahu anak sulungnya adalah hal pertama yang
lahir dengan cinta. Cinta bagi seorang Hasnah bukanlah tentang kali pertama ia dan
suaminya dijodohkan atau tentang malam pertama mereka yang liar dan segar. Cinta
adalah tentang sembilan bulan keintiman yang ia bangun dengan putra sulungnya, yang
kemudian beranjak dewasa dan mati dibacok preman. Kutekankan sekali lagi. Hasnah
adalah ibu. Sekarang bayangkan perusahaan-perusahaan tempat kalian bekerja.
Bayangkan juga bahwa kalian adalah pemilik sahamnya. Jika kalian sudah bertaruh
seratus persen dari harta yang ada kepada perusahaan, tapi perusahaan itu malah
bangkrut, bagaimana rasanya? Kau Abi? Kalau jawabanmu kujadikan analogi dalam
kasus ini, apakah kita bertaruh lagi saja pada perusahaan yang lain? Apakah
keyakinanmu masih sebulat seratus persen yang pertama?”
“Tapi ....”
“Aku belum selesai berbicara,” potongku. “Jangan pernah menghakimi jalan hidup
orang lain sebelum kau berjalan menggunakan sepatunya. Kalian mencekoki otakku
dengan keterampilan mesin-mesin di tempat kalian bekerja, barang-barang bermerek,
hingga tren kekinian yang tengah membanjiri media sosial, tetapi tidak punya nyali
untuk memikirkan sesuatu yang bisa saja terjadi kurang dari 24 jam? Kau Bobi. Tidak
usah jauh-jauh. Kalau di ruangan ini kau tiba-tiba tersedak potongan steak dan mati, kau
akan tahu bahwa peluang matimu jauh lebih besar daripada peluangmu untuk
mendapatkan promosi.”
Aku menarik napas panjang lalu merapikan rambutku. Emosiku mulai mereda dan
kurasakan urat-uratku yang semula tegang mulai kembali ke posisinya semula. Bobi,
yang menjadi sasaran empuk kemarahanku menghentikan aktivitasnya memotong
daging dan membiarkan beef tenderloin miliknya menggantung di ujung pisaunya.
“Dengar. Definisi bahwa hidup itu adil selalu kembali pada porsi yang dimiliki
masing-masing orang. Ukuran piring keadilan tiap orang berbeda-beda, teman-teman.
Tidak sedikit orang dengan kehidupan yang terlihat baik-baik saja nyatanya membeli
puluhan buku untuk mengeluarkan mereka dari depresi. Aku pamit.”
Sore itu, setelah meninggalkan restoran tersebut dengan kesadaran penuh bahwa
mereka pasti sedang membicarakanku, aku memesan taksi yang mengantarku ke sebuah
seminar jam 8 malam dengan komunitas berbasis kesehatan mental di pinggiran kota.
Dalam seminar di mana aku menjadi salah satu narasumber mereka, aku menceritakan
pertemuan di restoran itu. Aku berharap, anggukan audiens di seminar itu adalah
anggukan yang memang mengerti dan menyerap setiap kalimat dan analogi yang
kusajikan dengan baik.

“Tuhan mungkin akan menghakimi saya karena telah mati-matian membela


mereka yang menghabisi nyawa yang Dia beri dengan penuh cinta. Bagaimana pun,
saya hanya berjuang agar mereka pergi dengan sisa-sisa ketenangan yang bisa
disisihkan oleh dunia untuk mereka, berikut keputusan-keputusan keliru yang mereka
buat dari sisa-sisa kemerdekaan yang mereka punya.”
Kalimat penutupku disambut tepuk tangan.
Aku tidak langsung pulang malam itu. Aku berjalan menyusuri langit malam,
menelepon ibuku dan memberitahukan padanya kalau aku mungkin pulang keesokan
paginya. Mereka maklum, sebab begitulah kebiasaanku ketika dihadang dengan kasus
atau program-program baru.
“Nak, terima kasih untuk minyak pelumas dan kacamatanya,” kata Ibuku di ujung
pembicaraan kami.
Ya. Setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk ulang tahun pernikahan mereka.
Aku merasa tubuhku ringan. Jiwaku seperti sepotong kapas dan dari bahuku keluar
sepasang sayap putih yang besar. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku meraba-
raba jembatan yang biasa kulewati sepulangnya dari kantor, mengukur-ukur ketinggian
yang bisa tubuhku jelajah hingga ke permukaan kali mati di bawah sana. Memastikan
tempat mana yang memungkinkanku terbebas dari ranting pohon dan langsung mati
begitu saja tanpa menderita.
Di bawah sana aku bisa mendengar Hasnah, Tyas, dokter Lukas, Kino, semua
mayat yang kubela di sepertiga umurku. Jika polisi bertanya apakah aku meninggalkan
suicide note, aku percaya bahwa setiap perjuangan yang kutorehkan adalah catatan yang
jauh lebih penting dari sekadar sepotong kertas belaka.
Aku mengampanyekan gerakan anti-menghakimi terhadap setiap tindakan bunuh
diri yang dilakukan orang-orang.
Namun, aku tak pernah menyangka bahwa puncak bukit yang kupijak seketika
berubah menjadi lemari yang sempit dan terkunci. Di luar lemari itu adalah ayahku yang
menjauhi acara-acara keluarga, ibuku yang menunduk, keluarga dan para tetangga dan
pertanyaan-pertanyaan mereka, bahkan wajah Tania dengan tas bermerek di tangannya.
Tiba-tiba, aku melihat orang-orang berkerumun. Kendaraan-kendaraan berhenti.
Sirene polisi dan ambulans berdenging. Tidak, tidak. Siapa yang sudah lebih dulu
melakukan aksinya sebelum aku?
“Apa yang dia lakukan?” tanyaku pada seorang wanita yang juga mencoba
menangkap informasi dari kerumunan itu.

Tak ada jawaban. Seketika tiang-tiang jembatan itu terlihat begitu arogan. Desir
angin malam dan flashlight dari kamera milik orang-orang yang berkumpul itu
mengekspos sekelumit ketidakberdayaan di bawah sana.
Andai orang itu melihatku di ujung lain jembatan ini, aku mungkin akan berhasil
membujuknya untuk minum kopi dan mengulas masalah yang tengah ia hadapi.
Mencegah seseorang untuk tidak bunuh diri memang merupakan teritori rekan-rekanku
yang lain, tetapi dalam situasi genting itu aku mungkin bisa memantiknya untuk
menemukan alasan-alasan untuk hidup sekecil dan seremeh apa pun itu.
Lucu memang. Kau mungkin bertanya-tanya mengapa itu tidak coba kulakukan
untuk diriku sendiri, tetapi satu kesamaan yang kuyakini dimiliki oleh setiap pekerja
sosial adalah mereka akan memberi segelas air untuk orang lain sedangkan mereka
sendiri kehausan.
Kuputuskan untuk berjalan menembus kerumunan. Tak kupedulikan garis polisi
yang telah terpasang di sekitar jembatan. Di bawah sana, aku bisa melihat sesosok
tubuh. Dari ciri-cirinya tampaknya wanita. Bisa kubayangkan bagaimana ia terjun
menembus udara bersih tanpa halangan apa-apa setinggi 75 meter dan tidur di atas
genangan darahnya sendiri. Kepalanya miring ke kanan dan saat polisi mulai menyasar
objek dengan senter mereka yang besar dan terang, aku menyadari. Wanita itu aku.
Aku meraba jembatan tua itu tetapi yang kurasakan adalah udara. Seketika aku
menyadari bahwa sedari tadi tubuhku juga mampu menembus tubuh kerumunan tanpa
sedikit pun merasa sakit atau sesak. Jam raksasa di taman kota berdentang. Pukul 5
pagi.
Perkenalkan. Aku seorang wanita mandiri dan pekerja sosial. Aku bahkan
mempersiapkan kematianku sendiri sembari berharap, darma yang kurawat selama ini
mampu membuatku terbebas dari lemari sempit ini. Perlahan-lahan aku melihat pintu
lemari itu terbuka. Di luarnya ada ibu dan ayahku yang mengenakan kacamata
pemberianku sambil tersenyum bahagia. Aku pulang, Bu. Seperti kataku, aku pulang
saat hari sudah pagi.

Anda mungkin juga menyukai